You are on page 1of 118

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA

PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG (INCEST)

(Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms)

SKRIPSI

Disusun Oleh :

DHIMAS PANDU PUTRA

E1A007203

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK

PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG (INCEST)

(Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms)

SKRIPSI

Disusun Oleh :

DHIMAS PANDU PUTRA

E1A007203

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat

rahmat, karunia serta hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM

TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG

(INCEST) (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/

2009/PN. Bms)”. dengan melalui proses yang panjang, berlomba dengan waktu,

pengorbanan, serta suka dan duka telah penulis lewati. Skripsi ini merupakan

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara materiil maupun

immateriil. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

2. Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H ., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I,

sekaligus sebagai P embimbing Akademik Saya. Terimakasih atas

segala wawasan, saran, nasihat, dan dan dukungan dalam akademis

serta tidak lupa mendidik saya menjadi pribadi yang perfeksionis

seperti beliau;

iv
4. Pranoto S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II, yang telah

sudi meluangkan waktu untuk konsultasi dan berdiskusi dengan

penulis, sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berfikir

lebih baik serta segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang

telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini;

5. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji. Terimakasih

atas segala masukan baik berupa saran dalam penulisan maupun

segala pengertian serta kesabaran yang dicurahkan, sehingga

menjadikan penulis tidak patah arang untuk menyelesaikan penulisan

skripsi ini;

6. Kedua orang tua saya, Babe Kunto (Tuan Takur) dan Mama Aries

Setyamami, S.Sos.,M.Si., (Kumis). yang telah melahirkan, mendidik

dan membesarkan penulis de ngan segala kasih sayang, memberi

dukungan, dan selalu memotivasi penulis hingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan tak henti mengucap syukur dan

penuh rasa bangga ;

7. Dewi Sinta S.E Beserta Keluarga Kecilnya, Bripka. Wahyu

Pamungkas, S.H dan Kedua buah hatinya Panjul dan Gutheng yang

akan selalu menjadi saudari dan keluarga kedua saya;

8. Nenek Murwati (Guruh), Dini Famz, Iig Famz, Cunong Famz, Wa’

Sur Famz, Mas Pur Fams, dan Seluruh keluarga besar saya yang tidak

bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih te lah memberikan

dukungan kepada penulis dan baik materiil maupun spiritual hingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

v
9. Yayu Usri Famz yang selalu memberi petuah-petuah bijak dan

dorongan spiritual bagi kehidupan penulis;

10. Budiman Haryanto S.H.,M.H., selaku dosen sekaligus ayah kedua

saya yang selalu memberi masukan-masukan dalam bentuk dukungan

moral maupun spiritual yang berma nfaat untuk penulis dalam

menjalani dan mengilhami kehidupan penulis hari ini dan seterusnya ;

11. Hj. Rochani Urip Salami S.H.,M.S., selaku dosen sekaligus ibu kedua

saya, yang tak pernah luput untuk menghimbau perjalanan hidup

penulis selama menjadi mahasisw a. Beliau selalu membantu, memberi

masukan, memberi nasihat, dan memberi petuah-petuah yang

menjadikan penulis menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari.

Terimaksih Ibunda Rochani untuk semuanya, mungkin bila tidak ada

beliau penulis tidak akan pernah menyelesaikan studinya di Fakultas

Hukum Unsoed;

12. Seluruh staf dan jajaran dosen yang sudah memberi ilmu kepada

penulis;

13. Para keajaiban penulis selama penulis menjadi mahasiswa, Ghifari

(PAY), Angger Pradipta Tama (Kustarika), Iwan Saefudin (Udet),

Talenta Gilang Sidiq Purwanto (Tatul), Nimas Linggar Panggraita

(Fat Nimsky) , Yosephin Elkontantia Rizki Wiharyanti (Pipin), Inggit

Wahyu Putra (The Legend Of Banyuwangi), Gideon Manurung (Prof.

Grandson Of Gates), Ayu Nahdiatuzahra, Rika Fitriyani, Danang

Satriyo, Rosandra Gisca Andiny (Medina Kimcil), Tedy Jawono,

Kiswanto;

vi
14. Rekan-rekan penulis di Fakultas Hukum Unsoed, Arinal Nusisyad

Hanum, Khairah Ummah, Friska Mahardika, Chandra Kurniawan,

Muhammad Abduh (Rival), Muhammad Iqbal, David Prima,

Subkhan Hidayatulloh, Ikhsan Fathony, Eky Nurizky, Ilham

Mahardika, Nugraha Irman, Raden Ahmad Fauzi Zulfikar, Gatot

Sudewo;

15. Para wanita yang mengisi kehidupan penulis sejak penulis menjadi

mahasiswa. (maaf tidak bisa disebutkan) terimakasih telah mengajari

penulis arti cinta;

16. Bapak dan Mas Baiz, yang selalu memberi tempat dan kemudahan

penulis dengan materi fotokopi, dan juga kopinya;

17. Ibu Kantin, yang selalu memberi menu terlezat dalam setiap hidangan

masakanya disaat suntuk dan lelah menjalani kuliah;

18. Bapak Satpam, yang selalu memberi perlindungan intern dan extern

terhadap keamanan Fakultas Hukum Unsoed;

19. Team HOTSPOT F H Unsoed Tyas Swastyo Aji (El-Com mander),

Nawaf Abdullah (The Captain), Zaky Abdullah (The Handsome Boy),

Raditya Alferro (The Care Boy) Thanks Buat P utusanya. Reymon

Fanal, Danang Satriyo, Adhitia Pradana (Kopet) Bayu Sendy Pratama,

Indra Santosa, Ali Dwi Iskandar, Denny Zambrut (Sang Penerus),

Ryan Boby;

20. Team Pra Seminar (Rio, Lulu, Heru, Wahyu, Gideon, Nimas, Inggit,

Ozi, dll) ;

vii
21. Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

angkatan 2007. Terimakasih atas bantuan, dukungan, dan

kerjasamanya selama menjalani masa studi bersama;

22. Seluruh pihak, baik di dalam maupun diluar Fakultas Hukum yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Mohon maaf belum sempat

tersebut semuanya , namun bukan berarti penulis melupakanya.

Kepada seluruh pihak yang terkait, penulis mengucapkan

terimakasih banyak untuk bantuan, dukungan, serta kerjasamanya,

hingga pada akhirnya terselesaikannya skripsi ini. Dalam

perjalana nnya, penulis merasa bahwa cinta, tawa, duka, dan usaha,

adalah bait setiap prosa dalam kehidupan penulis, semuanya itu

menjadi inspirasi terbesar dalam perjalanan kehidupan penulis.

(dhimaspanduputra.blogspot.com,“RONA” Karna Hidup Penuh

Warna).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karenanya penulis

mengharapkan kritik dan sa ran dari berbagai pihak demi penyempurnaan skripsi

ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Purwoke rto, Agustus 2014

DHIMAS PANDU PUTRA


E1A007203

viii
ABSTRAK

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK


PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG (INCEST)
(Tinjauan Yuridis terha dap Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN.Bms)

Kasus perkosaan terhadap anak kandung yang dilakukan oleh seorang bapak
ternyata bukan hanya fenomena perkotaan, tapi juga fenomena kejahatan di
daerah. Di Kabupaten Banyumas tepatnya di Desa Tanggeran RT 06 RW 01
Tuslam Turyadi melakukan perkosaan terhadap satu ana k tirinya dan satu anak
kandungnya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis
diperlukannya Visum et Repertum dalam tindak pidana perkosaan terhadap anak
kandung (incest). Selain itu ditujukkan pula untuk mengetahui akibat hukum dari
putusan pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor : 124/Pid.Sus/2009/Pn.Bms.
Guna mencapai tujuan tersebut maka peneletian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder yang terkumpul
kemudian diolah, disajikan, dan dianalisa secara kua litatif dengan penyajian data
teks naratif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa, diperlukannya Visum et Repertum
dalam tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest), pada dasarnya
untuk membuktikan unsur “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang orang lain”
pada Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Keterangan saksi pada dasarnya kurang cukup untuk dapat
memberikan keyakinan hakim bahwa terdakw a telah melakukan perbuatan incest
terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Visum et Reppertum dalam Putusan
Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan
mengikat. Pada alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang
mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai
kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Dalam Putusan
Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN. Bms, Visum et Repertum RSUD Banyumas
No.440/1082/X/2009 dan visum et Repertum RSUD Banyumas
No.440/1081/X/2009 yang masing-masing ditandatangani oleh dr.Amrizal, Sp.Og
tanggal 7 Oktober 2009 dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagai dasar untuk
membuktikan adanya persetubuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

*Kata Kunci: Incest dan Visum

ix
ABSTRACT

VISUM ET REPERTUM EVIDENTIARY POWER IN CRIMINAL ACTS OF


RAPE AGAINST CHILDREN(INCEST)
(Juridical Review verdict Number of 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms)

Cases of rape against children committed by a father turns out to be not


just an urban phenomenon, but also the phenomenon of crime in the area.
Banyumas Regency at Tanggeran Village RT 01 RW 06, Tuslam Turyadi do rape
against one his stepdaughter and one his children. This research was conducted
with the aim to analyze the need for Visum et Repertum in criminal acts of rape
against children (Incest). In addition it is intended also to know the legal
consequences of a criminal Verdict in the award number: 124/Pid.
Sus/2009/PN.Bms. in order to achieve these goals then this research was
conducted by using the juridical normative approach. Secondary Data are
collected and then processed, presented, and analyzed qualitatively with the
presentation of narrative text data.

Results of the study stated that, it needs Visum Et Repertum In criminal


acts of Rape Against Children (incest) basically to prove the element of "doing
violence or threats of violence to force children perform coitus with him or with
others", in section 81 subsection (1) of Act No. 23 of 2002 on child protection.
Witnesses are essentially lacking enough confidence to give judges that the
defendant has committed acts of Incest against a child as set forth in article 81,
paragraph (1) of Act No. 23 of 2002 on child protection. Visum et Repertum
award number: 124/Pid. Sus/2009/PN. Bms. is not evidence, which has the force
of law. On the evidence of these letters are not attached to the power of proof
which is binding. Rating the strength of evidence proving the letter as well as the
value of the strength of witnesses and proof evidence expert description, equally
has the power of proof are free. The award number: 124/Pid.Sus/ 2009/PN.Bms.
Visum et Repertum Bms HOSPITALS Banyumas No. visum et Repertum and
440/1082/X/2009 HOSPITALS Banyumas No. 440/1081/X/2009 who each
signed by dr.Amrizal, SP. Og 7 October 2009 considered by Tribunal Judges as
the basis to prove the existence of promiscuity as provided for in article 81,
paragraph (1) of Act No. 23 of 2002 on child protection.

*Keywords: Incest and Visum

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................. iii

KATA PENGANTAR....................................................................….............. iv

ABSTRAK......................................................................................................... ix

ABSTRACT……………………………………………………………............ x

DAFTAR ISI..................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Perumusan Masalah .................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6

D. Kegunaan Penelitiaan ................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tujuan Hukum Acara Pidana …………………………..……… 8

B. Pembuktian…………………………………………………….. 10

1. Pengertian Pembuktian……………………………………. 10

2. Alat Bukti Menurut KUHAP……………………………... 12

3. Teori Pembuktian…………………………………………. 25

C. Visum et Repertum…………………………………………………... 32

1. Pengertian Visum et Repertum………………………………... 32

2. Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum………………….. 36

D. Tindak Pidana Perkosaan, Incest,dan Persetubuhan…..……..... 37

xi
BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan……………………………………………… 46

B. Spesifikasi Penelitian……………………………………………. 46

C. Sumber Data................………………………………………….. 47

D. Metode Pengumpulan data……………………………………… 48

E. Metode Penyajian data................................................................... 48

F. Metode Analisis data……………………………………………. 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian………………………………………………….. 49

1. Duduk Perkara …………………………………………….. 49

2. Dakwaan Penuntut Umum…………………………………. 53

3. Pembuktian…………………………………………………. 53

4. Tuntutan Penuntut Umum………………………………….. 72

5. Putusan……………………………………………………… 73

B. Pembahasan……………………………………………………... 80

1. Tujuan Diperlukannya Visum Et Repertum Dalam Tindak

Pidana Perkosaan Terhadap Anak Kandung (Incest)............. 80

2. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Berupa Visum Et

Repertum Dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN.

Bms…………………………………………………………. 90

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................... 102

B. Saran ....................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA

xii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Kejahatan merupakan bagian kehidupan sosial, hidup, dan tidak terpisahkan

dari kegiatan manusia sehari-hari. Perampokan, pemerkosaan, penipuan,

penodongan, dan berbagai bentuk perilaku sejenis, menunjukan dinamika sosial,

suatu bentuk normal dari kehidupan sosial. 1 Tindak pidana perkosaan terhadap

anak kandung merupakan fenomena sosial yang melampaui batas moral. Tindak

pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur, termasuk pula ke dalam salah

satu masalah hukum yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam.

Sejumlah kasus pemerkosaan anak yang dilakukan ayah kandung kembali

terkuak. Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto

Mulyadi, memaparkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak di

lingkungan keluarga meningkat. Hal ini menurut lelaki yang biasa disapa Kak

Seto itu karena perubahan situasi lingkungan dan maraknya peredaran video

porno. 2

Data statistik dari Komnas Nasional Perlindungan Anak menyatakan, telah

menerima 673 pengaduan eksploitasi seksual komersial terhadap anak sepanjang

2012. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 480 kasus.

Sedangkan untuk kasus perkosaan tercatat pada periode 1998-2010 terjadi 4.845

1
Mien Rukmini, 2006, Apek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai),
Alumni, Bandung, hal. 81.
2
Edo, Kekerasan Seksual terhadap Anak Meningkat ,
http://news.liputan6.com/read/398970/kekerasan-seksual-terhadap -anak-meningkat, diakses pada
tanggal 10 Desember 2013.
2

di Indonesia.Bahkan lebih jauh lagi, dari catatan Indonesia Police Watch (IPW)

sudah ada 25 kasus perkosaan yang terjadi sepanjang Januari 2013.Mengutip

keterangan Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, “Pada Januari 2013 tepatnya

hingga 25 Januari 2013 sudah terjadi 25 kasus perkosaan dan dua kasus

pencabulan, dengan jumlah korban sebanyak 29 orang dan jumlah pelaku

mencapai 45 orang diantaranya perkosaan terhadap anak kandung. 3

Maraknya kasus pemerkosaan dengan korban anak di bawah umur

khususnya terhadap anak kandung memang sungguh memilukan. Tindakan

tersebut tidak hanya merusak masa depan korban, tetapi juga berpotensi

mengganggu kejiwaan korban dan kehidupan sosialnya. Korban yang merasa

dirinya telah ternoda mungkin tidak berani berbaur dengan lingkungan sosialnya,

karena malu. Selain itu, gunjingan masyarakat sekitar bisa saja mengakibatkan

korban semakin terpuruk. Jika hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada

dukungan yang memicu keberanian korban untuk tampil kembali di depan publik,

tidak tertutup kemungkinan korban justru akan mengalami gangguan kejiwaan

sehingga mengakibatkannya depresi.

Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur umumnya dilakukan oleh orang

terdekat, bisa keluarga baik itu ayah, paman, kakak, ataupun teman-temannya.

Pelaku diduga mengalami depresi dengan kehidupannya sendiri. Kondisi tersebut

menyebabkan pelaku mengalami penyimpangan sosial sehingga

melampiaskannya kepada orang-orang terdekat. Oleh sebab itu, banyak ditemukan

3
Junet Rajagukguk, Fenomena Meningkatnya Pemerkosaan (Pencabulan) Terhadap Anak
di Bawah Umur, http://hukum.kompasiana.com/2013/02/14/fenomena-meningkatnya-
pemerkosaan-pencabulan-terhadap-anak-di-bawah-umur-533665.html, diakses pada tanggal 10
Desember 2013.
3

kasus-kasus pemerkos aan yang dilakukan oleh kakak, paman, bahkan ayah

kandung sendiri.

Penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut tentunya perlu dilakukan.

Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid )

yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat waktu dengan

tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu

pelanggaran hukum.

Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui tahapan-

tahapan tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan

dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menentukan lebih lanjut putusan

pidana yang akan diambil. Putusan pidana oleh hakim itu sendiri didasarkan pada

adanya kebenaran materiil yang tepat dan berlaku menurut ketentuan undang-

undang, dalam hal ini hukum acara pidana. Penemuan kebenaran materiil tidak

terlepas dari masalah pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan

senyatanya. Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan

hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengutarakan hal-hal tersebut

secara logika. 4

Dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib

mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang

ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah

4
Y.A. Triana Ohoiwutun, 2006, Profesi Dokter dan Visum et Repertum (Penegakan Hukum
dan Permasalahannya) , Dioma, Malang, hal. 10.
4

sebagaimana dimaksud di atas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan

perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (yang

selanjutnya disebut KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1). 5

Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dalam

penyelesaiannya memerlukan bantuan seorang ahli dalam rangka mencari

kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya. Mengenai permintaan bantuan

tenaga ahli diatur dalam KUHAP yakni Pasal 120 ayat (1), yang menyatakan :

“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau

orang yang memiliki keahlian khusus”. Keterangan dokter yang dimaksudkan

tersebut dituangkan secara tertulis sebagai hasil pemeriksaan medis yang disebut

dengan Visum et Repertum.

Dalam hukum positif Indonesia arti perbuatan perkosaan dapat dikaitkan

dengan kekerasan terhadap perempuan. Perkosaan adalah bagian dari kekerasan

terhadap perempuan yang terdiri atas kekerasan fisik, psikis, dan seksual. 6

Perkosaan dapat disebabkan karena korban, pelaku dan situasi yang

memungkinkan terjadinya perkosaan terhadap anak kandung.

Tindak pidana perkosaan merupakan tindakan penggunaan ancaman,

kekuatan fisik, atau intimidasi dalam rangka memperoleh relasi seksual dengan

kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang tersebut.Laki-laki

5
Waluyadi, 1999, Pengetahuan dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, hal.
100.
6
A gus Purwadianto, 2003, Perkosaan Sebagai Pelanggaran HAM, Djambatan Jakarta,
hal. 65.
5

pelaku berniat bukan hanya sekedar melampiaskan hasrat seksualnya saja, tetapi

berkeinginan untuk menista dan merendahkan perempuan korban dengan cara

memakai seks sebagai senjata untuk menyatakan kekerasan, kekuatan, dan

agresinya. 7

Wirjono, 8menyatakan bahwa :

Kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya (belanda) yakni


Verkrachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan tidak menggambarkan
secara tepat tentang perkosaan menurut arti yang sempit sebenarnya, dari
kualifikasi Verkrachting , yakni perkosaan untuk bersetubuh oleh karena itu
menurut beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 ini adalah perkosaan
untuk bersetubuh.

Kasus perkosaan terhadap anak kandung yang dilakkan oleh seorang bapak

ternyata bukan hanya fenomena perkotaan, tapi juga fenomena kejahatan di

daerah. Di Kabupaten Banyumas tepatnya di Desa Tanggeran RT 06 RW 01

Tuslam Turyadi melakukan perkosaan terhadap satu anak tirinya dan satu anak

kandungnya. Perilaku ini dilakukan terus menerus dan dilatarbelakangi

ketidakpuasan terhadap istrinya. Perilaku amoral tersebut tentunya menarik untuk

dikaji secara mendalam.

Berdasarkan latar belakang di atas maka, penulis tertarik melakukan

penelitian yang menitik beratkan aspek normatif dengan judul

“KekuatanPembuktian Visum et Repertum Dalam Tindak Pidana Perkosaan

Terhadap Anak Kandung (Incest)(Tinjauan Yuridis terhadap Putusan

Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms ).

7
Oka Dhermawan, 2005, Perlindungan Hukum Pelaksnaan Aborsi Bagi Perempuan
Korban Perkosaan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 20
8
Adam Chazawi, 2005, Tindak Pidana mangenai Kesopanan, Raja Grafindo, Jakarta,
hal. 62 -63.
6

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan

sebagai berikut :

1. Apakah dalam (incest) tindak pidana perkosaan terhadap anak

kandung Visum et Repertumdiperlukan ?

2. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti surat berupa Visum et

RepertumdalamPutusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisisdiperlukannya Visum et Repertum dalam tindak

pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest).

2. Untuk menganalisis kekuatan pembuktian alat bukti surat berupa

Visum et RepertumdalamPutusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN. Bms.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada pengembangan teori

dalam hukum acara pidana khususnya mengenai kekuatan

pembuktian alat buki surat berupa Visum et Repertumdalam

tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung.

b. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan

pengajaran menambah materi perkuliahan khususnya dalam

Mata Kuliah Hukum Acara Pidana.


7

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penelitian

sejenis.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi aparatur

penegak hukum baik Polisi, Jaksa, maupun Hakim khususnya

mengenai kekuatan alat bukti Visum et Repertumdalam tindak

pidana perkosaan terhadap anak kandung.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tujuan Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana merupakan peraturan hukum yang mengatur tentang

bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana

dan menjatuhkan pidana. 9 Oleh karena itu Hukum Acara Pidana mempunyai suatu

tujuan, tujuan dari Hukum Acara Pidana tersebut dimuat dalam Pedoman

Pelaksanaan KUHAP merumuskan bahwa :

"Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 10

Simons dan J.M. van Bemmelen menganggap tujuan hukum acara pidana

sebagai ketentuan hukum yang mencari kebenaran materiil sehingga kebenaran

formal bukanlah merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Lilik Mulyadi juga

menyataklan bahwa:

Pedoman pe laksanaan KUHAP yang menyebutkan bahwa tujuan hukum


acara pidana guna "... mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiil rasanya kurang sepadan dan selaras dengan ketentuan
hukum acara pidana sebagai bagian dari ketentuan hukum publik yang
mengatur kepentingan umum juga mencari, mendapatkan, serta menemukan

9
Nikolas Simanjuntak. 2009. Acura Pidana Indonesia datum Sirkas Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 23.
10
Andi Hamzah, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8.
9

"kebenaran materiil". Jadi, bukantah untuk "setidak-tidaknya mendekati ke-


benaran materiil. 11

Hakikat kebenaran materiil yang ingin dicapai oleh hukum acara pidana ini

merupakan manifestasi dari fungsi hukum acara pidana, yaitu sebagai ber ikut:

1. Mencari dan menemukan kebenaran;

2. Pemberian keputusan oleh hakim; dan

3. Pelaksanaan keputusan. 12

Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini selaras dengan ketentuan Pasal

183 KUHAP sehingga dapat disimpulkan sekati lagi merupakan "hakikat

kebenaran materiil sesungguhnya", jadi bukan "mendekati kebenaran materil"

atau tertebih lagi bukan "setidak-tidaknya mendekati kebenaran materill".Tujuan

dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-

tidaknya mendekati kebenaran meteriil, ialah kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepa t, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang

dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta

pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti

bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu

dapat dipersalahkan.

Dalam tujuannya mencari kebenaran materil, maka suatu proses peradilan

pidana harus dilakukan proses pembuktian. Pembuktian tindak pidana

persetubuhan terhadap anak kandung, di pengadilan sangat tergantung sejauh

11
Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 12
12
Ibid.
10

mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah

terjadi tindak pidana persetubuhan. Harus diakui pembuktian dalam tindak pidana

persetubuhan adalah sangat sulit, sebab pihak yang berwenang harus memastikan

benar apakah perbuatan persetubuhan tersebut dilakukan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan.

B. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Jimly Asshidiqie 13 menyatakan bahwa:

Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang


didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan
perkara, merupakan bagian penting hukum acara di pengadlan, karena
di dalamnya terkait persoalan hak-hak hukum bahkan hak-hak asasi
setiap orang atau pihak-pihak yang dipersangkakan telah melakukan
peanggaran hukum.

Menurut Eddy O.S. Hiariej14,hukum pembuktian didefinisikan sebagai

Ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti,


barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada
penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan
beban pembuktian. Seda ngkan hukum pembuktian pidana adalah
ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti,
barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada
penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan
beban pembuktian dalam perkara pidana.

Menurut Andi Hamzah 15 Pembuktian dalam hukum acara pidana

(KUHAP) adalah:

13
Jimly Asshidiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang , Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 139.
14
Eddy O. S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian¸ Erlangga, Jakarta, hal. 15.
11

Suatu upaya mendapatkan keterangan-ketarangan melalui alat-alat


bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar
tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui
ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.

Menurut R. Soesilo 16, peraturan pembuktian di dalam KUHAP adalah

mengenai :

a. Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat


dipergunakan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan
pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa).
b. Peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara
bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu (cara
penyumpahan saksi-saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa,
pemberian alasan-alasan pengetahuan pada kesaksian dan lain-
lain).
c. Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat-alat
bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya
keterangan terdakwa itu hanya merupaka n bukti yang sah
apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal
189 KUHAP).

Berdasarkan pendapat Jimly Asshidiqie, Andi Hamzah dan R. Soesilo

pembuktian selalu terkait atas atas alat-alat bukti. R. Soesilo memberikan

penjelasan lebih detail me ngenai masalah pembuktian yaitu mengenai arti

dan jenis alat-alat bukti, peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan

cara bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu dan juga

kekuatan alat-alat bukti. Pembuktian merupakan salah satu esensi dalam

suatu peradilan pidana.

15
Andi Hamzah, Op cit., hal. 77.
16
R.Soesilo, 2002, Hukum Acara Pidana, Politeia, Bogor,hal. 111.
12

17
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril mendefinisikan

pembuktian yang merupakan masalah yang memegang peranan penting

dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, ia menyatakan bahwa :

Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil


pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa, terdakwa dibebaskan dan hukuman. Sebaliknya, kalau
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang
disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan
bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para
hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan
mempertimbangkan masalah pembuktian

Pembuktian diatur lebih lanjut oleh Undang-Undangan yaitu KUHAP

hal ini guna penerapan azas legalitas dalam suatu peraturan. Menurut

Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, apabila hasil pembuktian dengan

alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dan

hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan

alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus

dinyatakan bersalah. Berdasarkan hal tersebut jelas, bahwa pembuktian

memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.

2. Alat Bukti Menurut KUHAP

Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur dalam Pasal

184 ayat (1) KUHAP, terdiri dari :

a. Keterangan saksi

17
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 102 -103.
13

Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi

adalah :

"orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan


penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri".

Mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti telah diatur dalam

Pasal 185 ayat (1) KUHAP ialah apa yang saksi nyatakan di sidang

pengadilan. Sedangkan pengertian umum keterangan saksi ada dalam

Pasal 1 butir 27 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut :

"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara


pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu".

Kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut

dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi.

Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil

pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5)

KUHAP).

Berdasarka n Pasal 1 butir 27 KUHAP dihubungkan dengan

Pasal 135 ayat (1) KUHAP dapat diketahui sebagai berikut :

1) Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya


sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar
dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana
yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar
pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar
mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat
14

dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan


semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian.
2) Testimonium de Auditu keterangan saksi yang diperoleh
sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak
mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di
sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang
didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini
tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
3) Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran
bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena
itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau
hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari
pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan
pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti.18

Darwin Prints 19 berpendapat bahwa, keterangan saksi supaya

dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi dua syarat

yaitu :

1) Syarat Formil.
Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah jika
diberikan di bawah sumpah. Keterangan saksi yang tidak
di bawah sumpah hanya boleh digunakan sebagai
penambah penyaksian yang sah.

2) Syarat Materil
Bahwa keterangan saksi saja tidak dapat dianggap sebagai
alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang
dituduhkan.

Menjadi saksi adalah suatu kewajiban setiap orang namun

demikian Pasal 168 KUHAP menentukan siapa-siapa yang tidak dapat

18
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 266.
19
Darwan Prints, 1989, Hukum Acara Pidana suatu Pengantar, Bina aksara, Jakarta, hal.
108.
15

didengar keterangannya dan dapat minta mengundurkan diri sebagai

saksi, yaitu apabila :

1) Mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda


dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
2) Saudara terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka
yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-
anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau
bersamasama sebagai terdakwa.

Nilai kekuatan pembuktian yang melihat pada alat bukti

keterangan saksi :

1) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.


Pada alat bukti kesaksian tidak melekat pembuktian yang
sempurna (volledig bewijs kracht) dan juga tidak melekat
di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan
menentukan (besliessende bewijs kracht). Tegasnya alat
bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai
nilai pembuktian bebas. Oleh karena itu alat bukti
kesaksian sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak
mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau
dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian
sebagai alat bukti yang sah adalah alat bukti yang bersifat
bebas dan tidak sempurna serta tidak menentukan atau
tidak mengikat.

2) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian


hakim. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang
bebas, yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak
mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai
kesempurnaan dan kebenarannya tergantung pada
penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau
tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima
16

kebenaran setiap saksi. Hakim bebas untuk menilai


kekuatan dan kebenaran yang melekat pada keterangan itu.
Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya.20

Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang diberikan dalam

persidangan dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu :21

1) Keterangan yang diberikan “tanpa sumpah”

Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi:

a) Karena saksi menolak bersumpah

Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena

saksi menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji,

bukan merupakan alat bukti.Pasal 161 ayat (2) KUHAP

menilai kekuatan pembuktian keterangan tersebut

“dapat menguatkan keyakinan hakim” apabila

pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas

minimum pembuktian.

b) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah

Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161

KUHAP, yakni saksi yang telah memberikan

keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan

tidak disumpah, ternyata “tidak dapat dihadirkan”

dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.Keterangan

saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan

20
M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 273-274.
21
Yahya Harahap, op. cit. , hal. 291-295
17

dibacakan di sidang pengadilan, dalam hal ini undang-

undang tidak meyebut secara tegas nilai pembuktian

yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang

dibacakan di sidang pegadilan.

c) Karena hubungan kekeluargaan

Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga

tertentu dengan terdakwa tidak dapat memberi

keterangan dengan sumpah.

d) Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171

KUHAP

Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan

belum pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit

jiwa meskipun kadang-kadang baik kembali, boleh

diperiksa memberi keterangan tanpa sumpah di sidang

pengadilan. Nilai keterangan mereka dinilai bukan

merupakan alat bukti yang sah.Penjelasan Pasal 171

KUHAP telah menentukan nilai pembuktian yang

melekat pada keterangan itu dapat dipakai sebagai

petunjuk.

2) Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang

disumpah

a) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas


18

Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah

bersifat bebas dan “tidak sempurna” dan tidak

“menentukan” atau “tidak mengikat”.

b) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada

penilaian hakim

Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menarima

kebenaran setiap keterangan saksi.

b. Keterangan ahli

Pengertian umum dari keterangan ahli tercantum dalam Pasal 1

butir 28 KUHAP, yang merumuskanbahwa:

"Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang


yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
Pemeriksaan"

Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah dari seorang

ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Dalam penjelasan Pasal 186

KUHAP disebutkan :

"Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu


pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan, maka di
sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam
berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah
ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim".
19

Keterangan ahli diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau

janji di hadapan hakim dan juga keterangan ahli itu diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan,

baik itu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik maupun

pemeriksaan yang dilakukan di pengadilan.

Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai

kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan

demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya

dengan nilai pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli.

Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti

keterangan ahli :

1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas ( Vrij Bewijs


Kracht) Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan menentukan, terserah
pada penilaian hukum. Tidak ada keharusan bagi hakim
untuk menerima ke benaran keterangan ahli dimaksud.
2) Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP. Keterangan ahli yang berdiri
sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain,
tidak Cukup dan tidak memadai dalam membuktikan
kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2)
KUHAP yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan kesalahan, terdakwa. Oleh karena itu
agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan
kesalahan terdakwa harus disertai oleh alat bukti lain. 22

22
Ibid., hal. 283-284
20

R Wirdjono Prodjodikoro, yang dikutip oleh Djoko Prakoso 23

dan I Ketut Murtika berpendapat bahwa :

"Keterangan ahli dapat dinamakan alat bukti atau sebagai alat


bukti apabila keterangan tentang penghargaan dan kesimpulan
dari para ahli mengenai akibat dalam suatu perbuatan terdakwa
menimbulkan bukti atau dapat membuktikan peristiwa pidana".

c. Surat

Pasal 187 KUHAP memberikan pengertian alat bukti surat

sebagai berikut :

Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c


KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah adalah;

1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami
sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu;
2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai
hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggungjawabnya diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu hal keadaan;
3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
keadaan yang secara resmi daripadanya;
4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain".

Surat yang dimaksud pada Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat


yang dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat

23
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Mengenal Lembaga Kejaksaan Di Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, hal.38.
21

keterangan atau surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara


yang sedang diadili.
Syarat mutlak dalam menentukan suatu surat dikategorikan
sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus
dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Nilai
kekuatan pembuktian surat :

1) Ditinjau dari segi fomil


Ditinjau dari segi formil, alat bukti surat yang disebut
Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP adalah alat bukti yang
sempurna. Sebab bentuk-bentuk surat yang disebut di
dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang
ditentukan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya
ketentuan formil dalam pembuatannya dan dibuat berisi
keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang
serta keterangan yang terkandung dalam surat tadi dibuat
atas sumpah jabatan, maka jika dari segi formil alat bukti
surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c
KUHAP adalah alat bukti yang bernilai sempurna. Oleh
karena itu alat bukti surat resmi mempunyai nilai
"pembuktian formil yang sempurna".

2) Ditinjau dari segi materiil


Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut
dalam Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang
mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat ini
tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai
kekuatan pembuktian alat bukti surat inipun sama halnya
dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan
alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Tanpa
mengurangi sifat kesempurnaan formil alat bukti surat
yang disebut Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP, sifat
kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya
mengadung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat.
Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya.
Hakim dapat saja menggunakan atau menyingkirkannya. 24

24
M Yahya Harahap , Op cit., hal.. 288-289.
22

d. Petunjuk

Alat bukti petunjuk dapat ditemukan dalam pasal 188 KUHAP

yang terdiri dari ayat (1), (2), dan (3). Dalam ayat (1) yang diartikan

dengan petunjuk adalah :

"Petunjuk ialah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena


persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya".

Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP petunjuk hanyalah dapat

diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Syarat-syarat untuk da pat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti

haruslah :

1) Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan


yang terjadi;
2) Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu lama
lain dengan kejahatan yang terjadi;
3) Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan
terdakwa maupun saksi di persidangan. 25

Berdasarkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP dapat diketahui bahwa

tidak semua pristiwa dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Djoko

Prakoso dan I Ketut Murtika 26 berpendapat bahwa :

“Alat bukti petunjuk baru dapat digunakan sebagai alat bukti


jika petunjuk tersebut mempunyai persesuaian dengan
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Jika petunjuk

25
Andi Hamzah, 2002, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 263.
26
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op cit., hal. 44
23

tidak memiliki persesuaian dengan ketiga alat bukti tersebut


tidak bisa dipergunakan sebagai alat bukti”.

Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP bahwa penilaian

atas kekuatan pembuktian dan suatu petunjuk dalam setiap keadaan

tertentu dilaksanakan oleh hakim dengan arif dan bijaksana. Setelah

hakim melakukan pemeriksaan dengan cermat dan keseksamaan

berdasarkan hati nuraninya.

Alat bukti petunjuk mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang

bebas yakni :

1) Hakim tidak terikat pada kebenaran persesuaian yang


diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas
menilainya dan menggunakannya sebagai upaya
pembuktian.
2) Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri
membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar
petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu
alat bukti yang lain. 27

e. Keterangan terdakwa

Alat bukti terdakwa didapati pada urutan terakhir dari alat-alat

bukti yang ada dan uraiannya terdapat pada Pasal 189 ayat (1)

KUHAP dinyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah yang terdakwa

nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau alami sendiri. Di dalam HIR, alat bukti ini disebut

dengan istilah pengakuan terdakwa, dalam KUHAP disebut dengan

istilah keterangan terdakwa.


27
M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 296
24

Andi Hamzah 28 berpendapat bahwa, “keterangan terdakwa


sebagai alat bukti tidak perlu sama ata u berbentuk pengakuan,
semua keterangan terdakwa hendaknya didengar apakah itu
berupa penyangkalan ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan
atau keadaan”.

Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan

karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat :

1) Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan;


2) Mengaku ia bersalah. 29

Pada pengakuan terasa mengandung suatu pernyataan tentang

sesuatu yang dilakukan seseorang sedangkan pada keterangan

pengertiannya lebih bersifat suatu penjelasan akan sesuatu yang akan

dilakukan seseorang.

Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah

menurut undang-undang dengan diperlukan beberapa alat sebagai

landasan berpijak, antara lain :

1) Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.


2) Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri
atau ia alami sendiri. Sebagai asas kedua ini, agar
keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti,
keterangan itu harus memuat pernyataan atau penjelasan
tentang :
a) Perbuatan yang dilakukan terdakwa;
b) Apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa;
c) Atau apa yang dialami sendiri oleh
terdakwa.
3) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi
dirinya sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan
:"keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri". Semua yang diterangkan seseorang dalam

28
Andi Hamzah, Op cit., hal. 273.
29
Ibid ., hal. 273.
25

persidangan yang kedudukannya sebagai terdakwa, hanya


dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya
sendiri. Jika dalam suatu perkara pidana terdakwanya
terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan
setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang
mengikat pada diri sendiri.
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan
kesalahannya. Pasal 189 ayat (40) KUHP merumuskan
bahwa : "keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain". Ketentuan tadi merupakan
penegasan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP menentukan
asas pembuktian bahwa untuk me njatuhkan pidana
terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat
dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah. 30

Berdasarkan penjelasan di atas maka alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, terdiri dari

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Masing-masing alat bukti memiliki kekuatan pembuktian dan sahnya alat

bukti masing-masing.

3. Teori Pembuktian

Rusli Muhammad31 menyatakan bahwa :

“Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian


yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan
terhadap terdakwa di sidang pengadilan. Berdasarkan praktik
peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal ada 4 (empat)
macam sistem atau teori pembuktian. Masing-masing teori ini
memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari
masing-masing sistem pembuktian ini.

30
M.Yahya Harahap, Op cit., hal. 299-300.
31
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 187.
26

Adapun teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :32

a. Conviction Intime (Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim

Belaka)

Conviction intime dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian ini lebih memberikan

kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat

bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim.

Artinya jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti

suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya yang timbul dari hati nurani,

terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhi putusan. Keyakinan

hakim pada sistem ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal

lainnyajika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan

hakim tersebut. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah maka teori

berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan

hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan yang telah didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan

dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-

undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.33

Konsekuensi dari sistem pembuktian yang demikian tidak membuka

kesempatan atau paling tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan

pembelaan dengan menyodorkan bukti-bukti lainnya sebagai pendukung

pembelaannya itu.

32
Ibid., hal. 187.
33
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.248.
27

Andi Hamzah34 menyatakan bahwa :

“Sistem yang demikian memberi kebebasan kepada hakim terlalu


besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat
hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan sehingga di dalam
penerapan dengan sistem tersebut membuat pertimbangan berdasarkan
metode yang dapat mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas
yang sangat aneh”.

b. Conviction Rasionnee(Pembuktian Berdasarkan Keyakinan

Hakim dan Alasan Rasional)

Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian

yang tetap menggunakan keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim

didasarkan pada alasan-alasan (reasoning ) yang rasional. Berbeda dengan

sistem conviction intime, dalam sistem ini hakim tidak lagi memiliki

kebebasan untuk menentukan keyakinannya, keyakinannya itu harus diikuti

dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya itu dan alasan-alasan

itupun harus “reasonable ”yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima

oleh akal pikiran. Sistem conviction rasionnee masih menggunakan dan

mengutamakan keyakinan hakim didalam menentukan salah tidaknya

seseorang terdakwa. Sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti

yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari

keyakinan hakim semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

sistem ini hampir sama dengan sistem pembuktian conviction intime yaitu

sama-sama menggunakan keyakinan hakim, bedanya adalah terletak pada

ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Jika

dalam sistem conviction intime keyakinan hakim bebas tidak dibatasi oleh

34
Ibid ., hal. 248.
28

alasan-alasan apapun sementara dalam pembuktian conviction rasionnee

kebebasan itu tidak ada tetapi terikat oleh alasan-alasan yang dapat diterima

oleh akal sehat.

Andi Hamzah35 menyatakan ba hwa :

“Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah berdasar atas


keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa
adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya
ialah pertama berpangkal tolak kepada keyakinan hakim, teta pi
keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie)
yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi
ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri,
menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang
mana yang ia akan pergunakan, kemudian yang kedua berpangkal
tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif
oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan
hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu
pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang tidak
didasarkan dengan suatu konklusi undang-undang, sedangkan kedua
pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.

c. Positief Wettelijk Bewijstheorie(Pembuktian Berdasarkan Alat

Bukti Belaka)

Sistem ini adalah sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut

undang-undang secara positif. Pembuktian menurut sistem ini dilakukan

dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan

dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan

seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti. 36

Peradilan pidana terutama pada waktu mengadili perkara yang tidak

ringan sudah banyak keberatannya untuk menggunakan teori pembuktian

35
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 250.
36
Rusli Muhammad, Op cit., hal.189.
29

menurut undang-undang secara positif karena ada kecenderungan dengan

mutlak memperlakukan pemeriksaan perkara secara inquisitoir dan apabila

sudah dapat pengakuan terdakwa atau keterangan saksi-saksi, wajib diputus

terbukti dan dipidana oleh hakim sekalipun dapat dirasakan pengakuan dan

keterangan itu bohong sebagai versi buatan. 37

d. Negatief Wettelijk Bewisjtheorie (Pembuktian Berdasarkan Alat

Bukti dan Keyakinan Hakim)

Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun pembuktian berdasarkan

undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan

alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang juga

menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim,

namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam

undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam

undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga

disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). Sistem pembuktian

berdasarkan undang-undang secara negatief adalah sistem yang

menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara

positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime,

dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang

tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif.

37
Loc cit.
30

Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

negatief adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya

perbuatan atau ada tidaknya perbuatan kesalahan terdakwa harus

berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang-undang dan

terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya.

Jika alat bukti terpenuhi tetapi hakim tidak memperoleh keyakinan

terhadapnya, hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya

pemidanaan. Sebaliknya sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa

terdakwa adalah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak

dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan

putusan pidana tetapi putusan bebas.

Berkaitan dengan sistem pembuktian maka dalam KUHAP, diatur

dalam Pasal 183 KUHAP yang merumuskan bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dalam pembuktian

diperlukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan

hakim. Kedua syarat ini harus ada dalam setiap pembuktian dan dengan

terpenuhinya kedua sya rat tersebut, memungkinkan hakim menjatuhkan

pidana kepada seorang terdakwa, sebaliknya jika kedua hal ini tidak

terpenuhi berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.

Berdasarkan penjelasan tersebut, nyatalah bahwa sistem pembuktian

yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang


31

secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) karena kedua syarat yang

harus dipenuhi dalam sistem pembuktian ini telah tercermin dalam Pasal

183 KUHAP dan dilengkapi Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun

pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian

yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam

undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim. Rusli Muhamad 38

menyatakan bahwa :

“Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim


terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang.
Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-
undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga
disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag)”.

Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatiefadalah

sistem yang menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-

undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction intime, dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling

bertolak belakang tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif.

Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

negatief adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya

perbuatan atau ada tidaknya perbuatan kesalahan terdakwa harus

berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang-undang dan

terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya.

Sebaliknya sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa adalah

38
Ibid., hal. 187.
32

pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak dilengkapi dengan alat-

alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan putusan pidana tetapi

putusan bebas.

Pasal 184 KUHAP menyebutkan alat-alat bukti yang sah dan

digunakan dalam sistem pembuktian yang dianut KUHAP yaitu :39

1) Disebut wetelijk atau menurut undang-undang karena untuk


pembuktian undang-undanglah yang menentukan tentang jenis
danbanyaknya alat bukti yang harus ada.

Disebut negatief karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti

yang ditentuakan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim

harus menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis

dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada

dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa

terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

C. Visum et Repertum

1. Pengertian Visum et Repertum

Istilah Visum et Repertum tidak disebutkan dalam KUHAP, tetapi

terdapat dalam Stbl. Tahun 1937 No. 350 tentang Visa Reperta . Visa

Reperta merupakan Bahasa Latin. Visa berarti penyaksian atau pengakuan

telah melihat sesuatu; dan Reperta berarti laporan. Dengan demikian,

apabila diterjemahkan secara bebasberdasarkan arti kata, Visa

39
Ibid., hal. 187.
33

Reperta,berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau pengakuan

telah melihat sesuatu. 40

Visum et Repertum merupakan bentuk tunggal dari Visa et Reperta.

Stbl. Tahun 1937 No. 350 selengkapnya menyatakan, bahwa "Visa Reperta

para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada

waktu menyelesaikan pelajarannya di Indonesia, maupun atas sumpah

khusus seperti tercantum dalam Pasal 2, mempunyai daya bukti yang sah

dalam perkara pidana, selama berisi keterangan mengenai hal yang dilihat

oleh dokter itu pada benda yang diperiksa. 41

Stbl. Tahun 1937 No. 350 hingga saat ini belum dicabut, meskipun

KUHAP telah berlaku lebih dari dua puluh tahun. Namun demikian,

KUHAP tidak menggunakan istilah Visum et Repertum untuk menyebut

keterangan ahli, yang merupakan hasil pemeriksaan ahli kedokteran

kehakiman. Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.

M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan, bahwa hasil aemeriksaan ilmu

kedokteran kehakiman disebut Visum et Repertum. Dengan demikian,

menurut KUHAP keterangan ahli yang diberikan oleh ahlikedokteran

kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya disebut Visum et Repertum.42

Menurut Karjadi dan Soesilo, “dokter juga seorang ahli kesehatan

yang dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan (menerangkan tentang

besar kecilnya luka atau tentang sebab kematian korban). Dalam pemeriksa-

an perkara oleh penyidik, dokter sebagai seorang ahli harus tunduk pada
40
Y.A. Triana Ohoiwutun, Op cit., hal. 12
41
Ibid ., haal. 13
42
Ibid ., hal. 14
34

Pasal 120 KUHAP, yaitu untuk melaksanakan pembuatan surat keterangan

yang disebut Visum et Repertum”.

Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 dan pendapat M. Karjadi

maka dapat diambil kesimpulaan bahwa, “Visum et Repertumadalah laporan

tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang

berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat

dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada

waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-

baiknya. Meninjau pada definisi tersebut, maka Visum et Repertum dapat

digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam pasal 187

huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):

“Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat


berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya.”

Pengertian alat bukti surat khususya Visum et Repertum ialah surat

yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau dengan sumpah,

sebagaimana ketentuan Pasal 187 KUHAP. Jadi surat yang dimaksud pada

Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat resmi yang

berbentuk berita acara, akte, surat keterangan atau surat lain yang

mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Sebagai syarat

mutlak dalam menentukan suatu surat dikategorikan sebagai suatu alat bukti

yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di atas sumpah jabatan

atau dikuatkan dengan sumpah.


35

Visum et Repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil

pemeriksaan medik yang tertuang di dalam Pemberitaan, yang karenanya

dapat dianggap sebagai benda bukti. Kekuatan pembuktian dari alat bukti

surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya kekuatan

pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat

alat bukti surat tersebut berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun

tidak. Walaupun begitu bukan berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan

suatu alat bukti surat yang sudah terbukti kebena rannya dan bersesuaian

dengan alat-alat bukti lainnya.

Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang

dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa

keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai

keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda

kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara

tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan

Visum et Repertum.43

R. Antang Ranoemihardja 44mengatakan berpendapat sebagai berikut:

“Visum et Repertummerupakan rencana (verslag) yang diberikan


seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada
waktu dilakukan pemeriksaan secara objektif, sebagai pengganti
peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang
bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga
akhirnya dari padanya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat”.

43
NN, Peran Visum et Repertum Dalam Pennyidikan Tindak Pidana Di Indonesia Beserta
Hambatan yang Ditimbulkannya, www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ea793e8c75da.diakses
pada tanggal 10 Desember 2013.
44
R. Atang Ranoenihardja, 1991, Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensik science),
Bandung, Torsito, hal. 21.
36

Visum et Repertumselain dari pada itu dipakai pula sebagai dokumen

dengan mana dapat dinyatakan pada dokter lain tentang barang bukti yang

telah diperiksa apabila yang bersangkutan (Jaksa, Hakim) tidak menyetujui

hasil pemeriksaan tersebut. Unsur dari Visum et Repertum yaitu :

a. Laporan tertulis;
b. Dibuat oleh dokter;
c. Permintaan tertulis dari pihak yang berwajib;
d. Apa yang dilihat atau diperiksa berdasarkan keilmuannya. 45

Menurut M. Yahya Harahap46, alat bukti keterangan ahli mempunyai

sifat dualisme sebagai alat bukti yaitu :

a. Pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk


laporan atau Visum et Repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat
bukti keterangan ahli;
b. Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan
juga menyentuh alat bukti surat sebagaimana ketentuan Pasal
187 huruf c KUHAP yang menentukan surat keterangan dari
seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diterima secara
resmi dari padanya.

2. Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum

H.M. Soerdjatmiko47 mengatakan, “sebagai suatu keterangan tertulis

yang berisi hasil pemeriksaan seorang dokter ahli terhadap barang bukti

yang ada dalam suatu perkara pidana, maka Visum et Repertum mempunyai

peran sebagai berikut :

a. Sebagai alat bukti yang sah.


Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP Pasal 184 ayat
(1) jo Pasal 187 huruf c;
b. Bukti penahanan tersangka.

45
Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hal. 1.
46
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta,
Sinar Gra fika, hal.282.
47
Ibid., hal. 303.
37

Di dalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan


penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus
mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan
tersebut. Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai
pengganti barang bukti untuk melengkapi sur at perintah
penahanan tersangka;
c. Sebagai bahan pertimbangan hakim
Meskipun bagian kesimpulan Visum et Repertumtidak mengikat
hakim , namun apa yang diuraikan di dalam bagian pemberitaan
sebuah Visum et Repertumadalah merupakan bukti materiil dari
sebuah akibat tindak pidana, di samping itu bagian pemberitaan
ini adalah dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti yang
telah dilihat dan ditemukan oleh dokter. Dengan demikian dapat
di pakai sebagai bahan pertimbangan hakim yang sedang
menyidangkan perkara tersebut.

D. Tindak Pidana Perkosaan, Incest dan Persetubuhan

Dalam hukum pidana kita mengenal beberapa rumusan pengertian tindak

pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaarfeit".

Sedangkan dalam perundang-undangan negara kita istilah tersebut disebutkan

sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang

dimaksud di atas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten

dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana

mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri. Soedarto menyebut

Staafbaarfeit dengan istilah tindak pidana, dengan unsur-unsur sebagai

berikut :

Perbuatan
1) Perbuatannnya memenuhi rumusan undang-undang;
2) Bersifat melawan hukum.
Orang (Berupa Kesalahan / Pertanggungjawaban)
1) Mampu bertanggungjawab;
2) Tidak ada alasan pemaaf. 48

48
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007, hal. 23
38

Pipin Syarifin menyatakan bahwa, secara mendasar perumusan delik dalam

teori Sudarto mempunyai dua elemen (unsur dasar) yaitu :

1. Bagian yang objektif menunjuk delik dari perbuatan/kelakuan dan


akibat, yang merupakan kejadian-kejadian yang bertentangan dengan
hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum yang dapat
diancam dengan pidana ;
2. Bagian-bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan dari
delik. 49

Berdasarkan hal-hal tersebut maka syarat dapat dipidananya seseorang /

syarat pemidanaan di dasari oleh dua kritera yaitu subjektif dan objektif. Secara

objektif seorang yang dapat dipidana haruslah terlebih dahulu melanggar rumusan

suatu aturan perundang-undangan. Kedua perbuatan tersebut memiliki sifat

melawan hukum.

Salah satu unsur dari tindak pidana adalah sifat melawan hukum. Perbuatan

dikatakan sebagai tindak pidana apabila memiliki unsur sifat melawan hukum.

Sudarto menyatakan perbuatan dikatakan memiliki sifat melawan hukum apabila

perbuatan et rsebut masuk dalam rumusan delik sebagaimana yang dirumuskan

dalam undang-undang. 50 Pengertian perbuatan melawan hukum lebih luas dan

umum daripada kejahatan maupun pelanggaran. 51

Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP, Bab XIV tentang

Kejahata n Terhadap Kesusilaan. Namun demikian ada pasal-pasal lain yang dapat

digunakan untuk menjaring pelaku perkosaan, yaitu Pasal 286 dan 287 KUHP.

Pasal 285 KUHP sifatnya adalah pasal pokok untuk kasus perkosaan. Ketiga pasal

49
Pipin Syarifin, 2000, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Jakarta, hal. 55
50
Sudarto, Op cit., hal. 44
51
Ibid.
39

tersebut mengandung unsur yang sama yaitu adanya persetubuhan diluar

perkawinan.

Pasal 285 KUHP merumuskan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang


wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena
melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”. 52

Dengan demikian unsur -unsur pasal yang terdapat dalam Pasal 285 KUHP

adalah sebagai berikut:

1. Barang siapa

Tentang unsur “barang siapa ” (subyek tindak pidana) dalam

KUHP memang tidak ada penjelasan yang expressis verbis.

Namun kalau kita simak makna Pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50,

dan 51 KUHP dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

barang siapa adalah “orang” atau subyek tindak pidana adalah

“orang” atau “manusia”;53

2. Kekerasan

Yang dimaksud dengan “kekerasan” adalah kekuatan fisik atau

perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak

berdaya tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan.

Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana perkosaan antara lain

berupa perbuatan mendekap, mingikat, membius, menindih,

memegang, melukai dan lain sebagainya perbuatan fisik yang

52
Moeljatno, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 278
53
Abdul Wahid, Op, Cit., hal. 110.
40

secara obyektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak

berdaya;54

3. Ancaman kekerasan

Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan

orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan

pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum di

wujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak

mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang

mengancam dengan kekerasan; 55

4. Unsur memaksa

Dalam perkosaan menunjukkan adanya pertentangan kehendak

antara pelaku dan korban. Pelaku mau/ingin bersetubuh

sementara korban tidakmau/tidak ingin, pelaku ingin berbuat

cabul sementara korban tidak mau/tidak ingin. Karenanya tidak

ada perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan

itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak

ada kekerasan atau ancaman kekerasan bila tidak ada

memaksa;56

5. Adanya persetubuhan

Dalam KUHP tidak ditemukan pengertian dari persetubuhan.

Persetubuhan dalam arti biologis adalah Suatu perbuatan yang

memungkinkan terjadinya kehamilan, sehingga harus terjadi:


54
Ibid ., hal. 111
55
Abdul Wahid, Loc cit
56
Ibid ., hal.112
41

erection penis; penetration penis ke dalam vagina; dan

ejaculation penis ke dalam vagina. Namun dalam ilmu hukum

hanya mensyaratkan adanya penetrasi penis kedalam va gina;57

6. Di luar perkawinan

Maksudnya adalah bahwa persetubuhan secara paksa dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan itu dilakukan terhadap

seorang wanita yang bukan istrinya. Hal itu berarti bahwa

seorang suami tidak mungkin dituntut telah melakukan

perkosaan terhadap istrinya atas dasar Pasal 285 KUHP.58

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, 59 bahwa :

“Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang


lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan
atau hukum yang berlaku melanggar”.

Menurut R.Sugandhi,60 yang dimaksud dengan perkosaan adalah :

“Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk
melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana
diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dala m lubang kemaluan seorang
wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”.

Adapun unsur-unsur selengkapnya tentang perkosaan menurut

R.Sugandhi61adalah :

1. Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki kepada wanita yang bukan


menjadi istrinya;
2. Pemaksaan bersetubuh itu diikuti dengan tindakan atau ancaman
kekerasan;
3. Kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita, dan

57
Ibid ., hal. 113
58
Ibid ., hal. 114
59
Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual Advokasiatas Hak Asasi Perempuan, Rafika Aditama, Malang, hal. 40.
60
Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, Loc cit
61
Ibid ., hal. 41
42

4. Mengeluarkan air mani.

Pendapat itu menunjukkan pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas,

artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah menyelesaikan perbuatannya

hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka

secara eksplisit, apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut dikategorikan

sebagai perkosaan.

Incest berasal dari bahasa latin Incest us yang berarti tidak suci, tidak

senonoh dan Incestare yang berarti menodai atau mengotori. Definisi incest yang

diterima masyarakat luas sekarang ini adalah hubungan seks atau aktivitas seksual

lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan

diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. 62

Ruth. S. Kempe dan C. Henry Kempe mendefenisikan Incest sebagai

hubungan seksual antara anggota keluarga dalam rumah, baik antara kakak-adik

kandung atau tiri, ayah-anak kandung, ayah-anak tiri, paman-keponakan kandung

atau tiri. 63 Sedangkan pengertian yang lebih luas lagi ialah hubungan seksual yang

dilakukan seseorang dalam keluarga atau seseorang yang sudah seperti keluarga,

baik laki-laki ataupun perempuan seperti ayah kandung, ayah tiri, ibu dari pacar,

saudara laki-laki, saudara tiri, guru, teman, pendeta/ulama, guru, paman atau

kakek. 64

Incest (hubungan seksual yang dilakukan oleh individu didalam sebuah

keluarga dengan anggota keluarga lainnya, baik itu ayah dengan anak, ibu dengan

62
Akademia, Vol. 4 No. 3 Juli 2000, hal. 1
63
Sulaiman Zuhdi Manik, 2002, Penanganan dan Pendampingan Anak Korban Incest,
PKPA, Jakarta. hal.37
64
Ibid ., hal. 38
43

anak, kakek dengan cucu, kakak dengan adik) sebagian termasuk kedalam

kejahatan atau penganiayaan seksual, dimana perilaku seksual yang dilakukan

dapat berupa penganiayaan secara fisik maupun non fisik, oleh orang yang lebih

tua atau memiliki kekuasaan yang bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual.

Pengaturan perbuatan incest atau yang lebih dikenal dengan hubungan

seksual seda rah dalam KUHP Indonesia sangatlah penting, terutama mengenai

sanksi-sanksinya. Pengaturan untuk kasus -kasus incest masih berdasarkan pada

Pasal 285, Pasal 287, Pasal 294 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) butir (1). Untuk

Pasal 285 KUHP kurang tepat, karena Pasal 285 KUHP adalah pasal perkosaan.

Pasal 287 KUHP juga belum tepat untuk pengaturan incest. Sedangkan bagi

Pasal 294 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) butir (1) masih relevan untuk mengatur

incest. Kasus incest bukanlah kasus perkosaan biasa, melainkan menyangkut juga

kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga, masa depan anak, dan kondisi

psikologi yang terbentuk. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika UU Indonesia

memperlakukan pelaku incest sama dengan korban perkosaan biasa. Oleh karena

itu, sangat disayangkan jika UU Indonesia memperlakukan pelaku incest sama

dengan korban perkosaan biasa.

Pertanggung jawaban pidananya terhadap pelaku incest, menurut KUHP

hanya relevan dengan Pasal 294 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) butir (1). Dalam

kedua Pasal ini tidak dikenal pidana penjara dan denda paling sedikit/minimalnya,

hanya mengenal pidana penjara paling banyak/maksimal saja, yaitu 7 (tujuh)

tahun pada Pasal 294 ayat (1) dan 5 (lima) tahun untuk Pasal 295 ayat (1) butir

(1).
44

Pengaturan mengenai kejahatan incest dalam KUHP berada di dalam Pasal

294 ayat (1) :

“Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tiri, anak angkat, anak
belum dewasa, yang pemeliharaanya, pendidikan atau pengawasannya
diserahkan padanya atau pun dengan bujangnya atau bawahannya yang
belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun”.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, mengatur

masalah incest sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan anak di Pasal 59,

dimana pemerintah dan/atau lembaga negara secara jelas menyebutkan memberi

kepastian perlindungan khususnya antara lain kepada anak dalam situasi yang

tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual. Incest dititik beratkan pada

adanya tindak pidana persetubuhan. Tindak pidana persetubuhan pada anak secara

khusus diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman


kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 60.000. 000,00 (enam puluh juta rupiah);
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Baik perkosaan maupun Incestmemiliki persamaan yaitu adanya perbuatan

persetubuhan. Persetubuhan dalam arti biologis adalah suatu perbuatan yang

memungkinkan terjadinya kehamilan, sehingga harus terjadi: erectio n penis;

penetration penis ke dalam vagina; dan ejaculation penis ke dalam vagina.


45

Namun dalam ilmu hukum hanya mensyaratkan adanya penetrasi penis kedalam

vagina. 65

Secara khusus berdasarkan azas asas lex specialis derogat legi generalisdan

asas lex posterimaka incestdiatur berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Konteks pemidanaannyapun lebih

berat yaitu pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3

(tiga) tahun. Hal ini berbanding jauh dengan Pasal 294 ayat (1) KUHP yang hanya

memberikan ancaman pidana 7 (tujuh) tahun penjara. Namun Pasal 81 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak justru tidak

memperlihatkan kekhususan pengaturan incest.

Hal ini terlihat dari rumusan Pasal 81ayat (1) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak setiap orang yang dengan sengaja

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ketentuan Pasal 81ayat (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 et ntang Perlin dungan Anakjuga tidak

menambahkan spesifikasi incest, namun hanya menambahkan bahwa, ketentuan

tersebut berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu

muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain. Apabila dibandingkan dengan Pasal 294 ayat

(1) KUHP terlihat jelas unsur ke khususan incest yaitu melakukan perbuatan cabul

dengan anaknya, anak tiri, anak angkat, anak belum dewasa, yang

pemeliharaanya, pendidikan atau pengawasannya.

65
Ibid ., hal. 113
46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif,

yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan

logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat

sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang

ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas anatara sistem hukum dengan

sistem lainya. 66

Metode pendekatan yuridis normatif digunakan dengan tujuan untuk

menganalisis diperlukannya Visum et Repertum dalam tindak pidana perkosaan

terhadap anak kandung (Incest). Selain itu ditujukan pula untuk menganalisis

kekuatan pembuktian alat bukti surat berupa Visum et RepertumdalamPutusan

Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms melalui peraturan perundang-undangan dan

kajian literatur.

B. Spesifikasi Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum,

maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian preskripsi. Spesifikasi penelitian

ini adalah preskripsi, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan obyek

66
Ibrahim, Jhonny, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Cetakan Ketiga, Banyumedia Publishing.
47

yang akan diteliti melalui kaca mata disiplin hukum, atau sering disebut oleh Peter

Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya. 67

C. Sumber Data

Penelitian yang dilakukan ini adalah merupakan penelitian yuridis normatif,

maka sumber data yang digunakan yaitu data sekunder data utama dan data primer

sebagai penunjang data sekunder.Data sekunder adalah data yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. 68 Data sekunder merupakan data

pokok dalam penelitian ini yang bersumber dari studi pustaka berupa peraturan

perundang-undangan, buku literatur, dokumen-dokumen atau arsip -arsip yang

ada kaitannya dengan masalah penelitian.Data sekunder di bidang hukum dapat

dibedakan menjadi:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu

diperoleh melalui peraturan perundang-undangan serta dokumen-

dokumen resmi lain yang sesuai dengan pokok masalah penelitian

yang diajukan. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang 8 Tahun 1981 tentangKitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Putusan Nomor:

124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms.


67
Ibid ., hal 91.
68
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.13.
48

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang bersumber

langsung dari kepustakaan, doktrin maupun referensi ilmiah yang

relevan dengan penelitian atau bahan hukum yang memberikan

penjelasan ter hadap/ mengenai bahan hukum primer.

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian,

kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh.

E. Metode Penyajian Data

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara

sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan

satu dengan lainya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga

merupakan satu kesatuan yang utuh.

F. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif

kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh

berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah, teori-teori, pe ngertian-pengertian

hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam

hukum pidana.
49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Duduk Perkara

Terdakwa TS BIN TR pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat

diingat lagi dengan pasti tahun 1998 sampai dengan Januari 2008 dan pada

hari minggu tanggal 28 Desember 2008 sekira pukul 22.00 WIB sampai

dengan 15 Juni 2009 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu di tahun 1998

sampai dengan Januari 2008, bertempat di Pekarangan Ny Dinem dan di

dalam kamar rumah orang tua saksi korban Desa Tanggeran RT.06Rw.01,

Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya di suatu

tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Banyumas, setiap orang

yang dengan kekerasan memaksa anak yaitu saksi korban SR umur 16 tahun

dan saksi TRS umur 13 tahun melakukan persetubuhan dengannya.

Terdakwa TS BIN TR sewaktu berada di pekarangan/ kebun bersama

saksi korban SR mengambil daun pisang sebanyak 4 buah yang berada di

pekarangan tersebut kemudian mengelarnya di tanah dan mengatakan

kepada saksi korban SR supaya dipakai untuk duduk setelah itu terdakwa

dengan tiba-tiba menarik tangan dan mendorong tubuh saksi korban SR

kemudian membaringkan di atas daun pisang melihat saksi korban SR

memberikan perlawanan terdakwa menampar pipi kiri, saksi korban SR

yang mengetahui perangai sehari-hari terdakwa yang kalau marah bisa

berbuat apapun ketakutan dan tidak memberikan perlawanan terdakwa


50

kemudian menciumi pipi dan membuka pakaian yang dikenakan saksi

korban SR kemudian terdakwa melepas celananya sampai lutut kemudian

memegangi alat kelamin dan melumat payudara saksi

korban SR setelah itu terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam

lubang vagina saksi korban yang saat itu saksi korban merasakan kesakitan

dan pedih dan terdakwa terus saja menggerak-gerakkan alat kelaminnya

hingga merasakan puas dan mengeluarkan sperma di vagina saksi korban di

vagina saksi korban SR yang perbuatan tersebut

dilakukan terdakwa berulang kali yang terakhir dilakukan pada bulan

Januari 2008 kepada saksi SR yang perbuatan tersebut dilakukan di dalam

kamar rumah terdakwa maupun di pekarangan, selain dengan saksi korban

SR terdakwa juga melakukan kepada anakkandungnya sendiri yaitu saksi

korban TRS yang dilakukan pada hari Minggu tanggal 28 Desember 2008

sekira pukul 22.00 WIB terdakwa yang pada waktu itu sedang berada di

rumah bersama anaknya yaitu saksi korban TRS melihat TRS di dalam

kamar sendirian dankeadaan rumah sepi karena istri terdakwa sedang

memba ntu di rumah tetangga yang punya hajatan timbul hasrat se ks

terdakwa kepada saksi korban TRS kemudian terdakwa masuk ke kamar

saksi korban yang tidak dalam keadaan terkunci dan mendapati saksi korban

sudah tertidur terdakwa membangunkannya kemudian melepas celana

panjang dan celana dalam yang dikenakan saksi korban TRS kemudian

terdakwa melepas celana yang dikenakannya dan menindih tubuh saksi

korban melepas celana yang dikenakannya dan menindih tubuh saksi korban
51

TRS yang atas tindakan terdakwa tersebut saksi korban TRS berusaha untuk

melawan dengan mendorong tubuh terdakwa dan bertetiak melihat itu

terdakwa marah dengan memelototkan matanya kearah saksi korban TRS

dan membungkam mulutnya hingga saksi korban takut apalagi saksi korban

mengetahui perangai terdakwa sehari-harinya suka memukul jika marah

melihat saksi korban takut terdakwa menindih dan kedua kaki terdakwa

berada di dalam kedua kaki saksi korban TRS, selanjutnya terdakwa

memegang alat kelaminnya yang telah tegang dan memasukannya ke dalam

lubang vagina saksi korban TRS sambil menggerak-gerakkan berulang-

ulang hingga terdakwa merasakan puas dan mengeluarkan spermanya di

dalam lubang vagina saksi korban TRS, sedangkan saksi korban TRS

merasakan kesakitan dan menangis yang mana terdakwa mengulangi

perbuatan tersebut sebanyak kurang lebih 11 kali hingga kurun waktu

terakir perbuatan tersebut dilakukan pada saksi korban TRS hari Senin

tanggal 15 Juni 2009 yang atas perbuatan terdakwa tersebut tidak berani

melawan karena mengetahui perangai terdakwa sehari-hari yang suka marah

dan melakukan pemukulan jika emosi sehingga para saksi korban takut dan

saksi korban TRS hanya bisa menangis dan pada hari Senin tanggal 28

September 2009 saksi korban TRS menuangkan perasaannya dalam surat

dan diketahui oleh saksi korban SR dan membaca surat yang ditulis oleh

saksi korban TRS yang berisi "bahwa terdakwa telah diperkosa saksi

TRS"dan memberikan surat tersebut kepada saksi Satinem setelah membaca

surat tersebut dan mendengar pengakuan para saksi korban melaporkan ke


52

pihak berwajib pada tanggal 02 Oktober 2009, kemudian pada hari Sabtu

tanggal 03 Oktober 2009 dilakukan pemeriksaan oleh dokter di RSUD

Banyumas kepada saksi SR dan saksi korban TRS.

Saksi korban SR adalah anak tiri dari terdakwa yang pada saat

kejadian berumur 16 tahun yang lahir pada tanggal 03 Nopember 1992

sesuai dengan surat kelahiran yang dikeluarkan dari Pemerintahan Desa

Tanggeran Banyumas yang ditandatangani oleh Reksomihardjo. Sedangkan

saksi korban TRS bin Tuslam Turyadi adalah anak kandung terdakwa yang

saat kejadian berumur 13 tahun yang lahir pada tanggal 09 Mei 1996 sesuai

dengan kutipan akta kelahiran No.4749/TP/2001 yang dikeluarkan Catatan

Sipil, Kabupaten Banyumas.

Akibat perbuatan terdakwa saksi korban SR bin Sardi dan saksi

korban TRS bin Tuslam Turyadi sesuai dari hasil pemeriksaan/Visum et

Repertum RSUD Banyumas No.440/1082/X/2009 dan Visum et Repertum

RSUD Banyumas No.440/1081/X/2009 yang masing-masing ditandatangani

oleh dr.Amrizal,Sp.Og tanggal 7 Oktober 2009 mengalami : Pada waktu

Pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 06 Oktober 2009 pada saksi korban

SR sekitar kemaluan tidak ada tanda -tanda kekerasan, dilakukan colok

dubur didapati selaput dara sobek (sobekan lama pada arah jam 2,7 dan 10

dan liang senggama dalam posisi terbuka. Kesimpulan : Liang senggama

seperti orang yang sudah sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai anak,

sedangkan untuk saksi korban TRS pada waktu pemeriksaan pada hari

Selasa tanggal 06 Oktober 2009 terdapat luka robek tidak teratur pada
53

selaput darah alat kelamin akibat dimasuki benda tumpul seperti penis orang

dewasa secara paksa kesimpulan luka-luka dan lain-lain tersebut di atas

disebabkan karena benda tumpul secara paksa.

2. Dakwaan Penuntut Umum

Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan

Dakwaan subsideritas sebagai berikut :

a. Dakwaan Primair

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

tentang perlindungan anak.

b. Dakwaan Subsidair

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

tentang perlindungan anak.

c. Dakwaan Lebih Subsidair

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak.

3. Pembuktian

a. Keterangan Saksi

1) Saksi Sutrisno
54

Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan membenarkan isi

dalam BAP yang telah dibuat penyidik. Saksi hadir

dipersidangan karena diberitahu saksi Satinem terdakwa telah

berbuat cabul terhadap anaknya yaitu saksi TRS dan anak tirinya

yaitu saksi SR. Saksi tidak tahu persis kapan kejadiannya

tersebut.

Saksi Satinem yang merupakan ibu dari saksi TRS dan

saksi SR datang ke rumah saksi pada hari rabu tanggal 30

September 2009 sekira pukul 15.00 WIB ketika bertemu saksi,

Satinem menceritakan ai selesai membaca surat yang diberikan

saksi SR yang dari surat tersebut mengetahui terdakwa yang

telah berbuat cabul dengan saksi TRS dan saksi SR.

Benar saksi mendengarkan cerita dari saksi Satinem

bersama dengan istrinya yang bernama Kamitri. Berdasarkan

keterangan saksi Satinem yang menulis surat tersebut saksi TRS

yang menuangkan perasaannya setelah diperkosa terdakwa.

Surat tersebut diambil saksi SR sewaktu mengetahui saksi TRS

menangis sambil menulis surat yang surat tersebut kemudian

diambil saksi SRdan dberikan kepada saks i Satinem.

Dari cerita saksi Satinem, saksi TRS dalam surat tersebut

menuliskan bapaknya/terdakwa jahat sekali dan telah

memperkosanya. Saksi Satinem meminta saksi agar diantar ke

kantor polisi untuk melaporkan kejadian tersebut, dan saksi


55

bilang nanti setelah saksi selesai nderes, dan sekitar jam 19.00

WIB, saksi Satinem diantar ke rumah ketua RT dan Kadus

(Kepala Dusun) sete lah sampai di rumah ketua RT dan Kadus

menyarankan supaya melaporkan kejadian ke kantor Polsek

Somagede. Tanggal 2 Oktober 2009 saksi menemani saksi

Satinem melaporkan terdakwa ke kantor Polsek Somagede.

Yang melaporkan ke polisi adalah saksi, saksi Satinem dan saksi

TRS, sedangkan saksi SR tidak ikut karena sedang bekerja di

Purwokerto, kemudian hari berikutnya saksi SR baru diperiksa

di kantor Polsek Somagede.

Sete lah melapor korban TRS dan SR diperiksa di Rumah

Sakit Umum Banyumas, dan sete lah ditunjukkan hasil visumnya

saksi membenarkan. Saksi korbap pada saat kejadian masih

sekoiah di SDNTanggeran umur 13 tahun dan be lum pernah

menikah, sedangkan saksi SR saat ini berumur 16 tahun dan

belum pernah menikah. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa

menyatakan benar dan tidak keberatan.

2) Saksi Kamitri

Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan membenarkan isi

dalam BAP yang telah dibuat penyidik. Saksi hadir

dipersidangan karena diberitahu saksi Satinem terdakwa telah

berbuat cabul terhadap anaknya yaitu saksi TRS dan anak tirinya
56

yaitu saksi SR. Saksi tidak tahu persis kapan kejadiannya

pencabulan tersebut dan kejadia nnya dirumah terdakwa di

grumbul labruk, Desa Tanggeran RT.06 RW.01, Kecamatan

Somagede, Kabupaten Banyumas.

Saksi Satinem yang merupakan ibu dari saksi TRS dan

saksi SR datang ke rumah saksi pada hari Rabu tanggal 30

September 2009 sekira pukul 15.00 WIB bermaksud mencari

suami saksi yang bernama Sutrisno,dan setelah bertemu,saksi

Satinem bercerita kepada saksi Sutrisno dan saksi ia selesai

membaca surat yang diberikan saksi SR yang dari surat tersebut

mengetahui terdakwa yang telah berbuat cabul dengan saksi

TRS dan saksi SR.

Berdasarkan keterangan saksi Satinem yang menulis surat

tersebut saksi TRS yang menuangkan perasaannya setelah

diperkosa terdakwa. Surat tersebut diambil saksi SR sewaktu

mengetahui saksi TRS menangis sambil menulis surat yang

surat tersebut kemudian diambil saksi SR dan diberikan kepada

saksi Satinem.

Dari cerita saksi Satinem, saksi TRS dalam surat tersebut

menuliskan bapaknya/terdakwa jahat sekali dan telah

memperkosanya. Saksi tidak membaca surat terseut hanya

mendengar dari saks i Satinem dan menurut Satinem surat

tersebut telah disobek-sobek dan dibakarnya. Menurut


57

keterangan dari saksi Satinem saksi TRS dinakali bapaknya di

rumah sedangkan saksi SR dikebun pekarangan milik Bu Dinem

dan dirumah.

Menurut keterangan dari saksi Satinem, TRS diperkosa

bapaknya sejak bulan Desember 2008 dan saksi SR sejak tahun

1998 sampai bulan Januari 2008. Saksi Satinem meminta suami

saksi agar diantar ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian

tersebut, dan suami saksi bilang nanti setelah ia selesai nderes,

dan sekitar jam 19.00 WIB, saksi Satinem diantar ke rumah

ketua RT dan kadus (kepala dusun) setelah sampai di rumah

ketua RT dan kadus menyarankan supaya melaporkan kejadian

ke kantor Polsek Somagede. Tanggal 2 Oktober 2009 suami

saksi menemani saksi Satinem melaporkan terdakwa ke Kantor

Polsek Somagede. Yang melaporkan ke polisi adalah suami

saksi, saksi Satinem dan saksi TRS, sedangkan saksi SR tidak

ikut karena sedang bekerja di Purwokerto, kemudian hari

berikutnya saksi SR baru diperiksa di kantor Polsek Somagede.

Setelah melapor korban TRS dan SR diperiksa di Rumah

Sakit Umum Banyumas, dan saksi mengantarnya setelah

ditunjukkan hasil visumnnya saksi membenarkan, selaput dara

saksi TRS dan saksi SR telah robek. Saksi sewaktu dilakukan

pemeriksaan di Polsek Somagede saksi ikut dan mendengar

pengakuan saksi TRS dan saksi SR kalau terdakwa jahat dan


58

telah memperkosa, dan jika menolah terdakwa marah-marah dan

mengancam akan menempeleng para saksi korban, hingga

mereka takut, dan hanya diam dan menangis saja.

Saksi korban pada saat kejadian masih sekolah di

SDNTanggeran umur 13 tahun, lahir tanggal 09 Mei 1996 dan

belum pernah menikah, sedangkan saksi SR saat ini berumur 16

tahun dan belum pernah menikah dan menur ut keterangan saksi

SR sejak umur 7 (tujuh) tahun ia disetubuhi oleh terdakwa.

Saksi membenarkan barang bukti yang ditunjukan majelis

dipersidangan. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa

menyatakan benar dan tidak keberatan.

3) Saksi Satinem

Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan membenarkan isi

dalam BAP yang telah dibuat penyidik. Saksi hadir

dipersidangan ia melaporkan suami/terdakwa telah berbuat

cabul terhadap anaknya yaitu saksi TRS dan anak tirinya yaitu

saksi SR. Tanggal 02 Oktober 2009 saksi melaporkan bersama-

sama dengan saksi Sutrisno dan anak saksi TRS sedangkan SR

tidak ikut karena sedang bekerja sebagai pembantu rumah

tangga di Purwokerto. Saksi mengetahui anaknya yang bernama

TRS dan SR dicabuli terdakwa dari tulisan surat yang ditulis

oleh anak saksi TRS.


59

Tulisan surat yang ditulis oleh TRS diterima saksi pada

tanggal 28 Oktober 2009 sekira jam 18.00 WIB dirumah saksi

sendiri dari anak saksi yang bernama SR yang isinya bapak

jahat, aku habis diperkosa sama bapak, itu yang masih saksi

ingat dan sekarang tulisan surat tersebut sudah saksi sobek dan

saksi bakar sedangkan anak saksi SR mengalami itu juga telah

diperkosa oleh ba pak tiri/terdakwa.

Setelah menerima tulisan surat tersebut saksi menanyakan

kepada suami saksi/terdakwa apa benar telah melakukan

pencabulan terhadapTRS dan SR tetapi terdakwa marah marah-

marah dan saksi TRS dilempar sandal, akhirnya saksi diam takut

terjadi keributan yang lebih parah.

Pada hari Rabu tanggal 30 September 2009 sekira jam

15.00 WIB saksi datang ke rumah saksi Sutrisno bercerita

tentang isi tulisan yang ditulis anak saksi TRS dan saksi minta

tolong diantar ke kantor Polsek Somagede, tetapi saksi diantar

ke rumah ketua RT dan kadus setelah itu disarankan oleh ketua

RT dan kadus supaya melaporkan kejadian tersebut ke kantor

Polsek Somagede.

Menurut keterangan dari TRS dan SR sudah banyaksekali

suami saksi/terdakwa telah melakukan pencabulan/

pemerkosaan.Saksi TRS lahir pada tanggal 09 mei 1996 sesuai

dengan akte kelahiran dan saksi SR lahir pada tanggal 03


60

Nopember 1992, usia anak saksi TRS sekitar 13 (tiga belas)

tahun sedangkan SR sekitar 16 (enam belas) tahun. Saksi

mempunyai 4 (empat) orang anak yaitu SR, anak saksi dari lain

bapak,TRS , Misem, dan Imam Catur Mahyudi, anak kandung

terdakwa. Menurut keterangan dari TRS perbuatan pencabulan/

pemerkosaan yang dilakukan oleh terdakwa sejak bulan

Desember 2008 sampai dengan bulan Juni 2009 sedangkan SR

sejak tahun 1998 sampai dengan bulan Januari 2008.

Menurut keterangan dari TRS kejadian yang dilakukan

oleh terdakwa sejak bulan Desember 2008 sampai dengan bulan

juni 2009, sedangkan SR sejak tahun 1998 sampai dengan bulan

janua ri 2008. Pertama kali dicabuli/diperkosa usia saksi TRS

sekitar 12 tahun, sedangkan SR sekitar 7 tahun.

Menurut keterangan dari TRS kejadian pencabulan di

rumah sendiri di Grumbul Labruk, Desa Tanggeran

RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas,

sedangkan saksiSR di rumah dan di kebun pekarangan milik Ibu

Dinem.Saksi TRS dan saksi SR pada hari Sabtu tanggal 3

Oktober 2009 dilakukan pemeriksaan di RSUD Banyumas, dan

diketahui hasil pemeriksaan pada saksi TRS selaput darah robek

begitu pula yang terjadi pada saksi SR. Saksi membenarkan

mengenali barang bukti yang ditunjukkan majelis ha kim di


61

persidangan. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa

menyatakan benar dan tidak keberatan.

4) Saksi SR

Saksi pernah diperiksa di penyidik dan keterangan yang

diberikan adalah benar. Saksi kenal dengan terdakwa karena

terdakwa adalah suami ibunya dan merupakan bapak tiri

terdakwa. Saksi diajukan dipersidangan karena saksi telah

diperkosa/dicabuli oleh terdakwa. Pada hari minggu tanggal 28

September 2009 sekira pukul 16.00 WIB saksi mengetahui

korban TRS sedang menangis sambil menulis surat, karena

penasaran saksi merebut surat tersebut kemudian membacanya.

Saksi kemudian membaca isi surat yang ditulis saksi

korban TRS yang salah satunya mengatakan kalau terdakwa

jahat dan telah memperkosa saksi TRS berulang-ulang pada

bulan Desember 2008

Sampai dengan Maret 2009 di rumah terdakwa di

Grumbul Labruk, desa Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan

Somagede, Kabupaten Banyumas. Setelah membaca dan

mengetahui isinya saksi memberikan surat yang ditulis saksi

TRS tersebut kepada ibunya saksi Satinem. Saksi, sewaktu

saksi Satinem membacanya dan menanyakan kepada saksi TRS

dan saksi TRS membenarkan dan menceritakan is diperkosa

berulang-ulang oleh terdakwa dikamarnya disaat saksi Satinem


62

pergi membantu ke hajatan tetangganya. Karena jengkel surat

tersebut oleh saksi Satinem dirobek-robek dan dibakar. Saksi

Satinem juga menanyakan kejadian tersebut kepada terdakwa

atas kebenaran isi surat yang ditulis saksi TRS, kemudian

terdakwa marah-marah dan melempar sandal kepada saksi TRS.

Atas kejadian tersebut saksi TRS sering menangis dan

menjadi pendiam. Menurut keterangan saksi TRS kepada saksi,

ia tidak menghendaki perbuatan yang dilakukan terdakwa

kepadanya dan saksi TRS tidak berani melawan karena takut

dengan terdakwa yang perangainya sehari-hari suka marah-

marah dan suka memukul dan terdakwa selalu memaksa jika

melakukan perbuatan tersebut dan mengatakan anak harus nurut

orang tua.

Selain saksi korban TRS, terdakwa juga memperlakukan

saksi sebagaimana yang dilakukan terhadap saksi TRS.

Perbuatan terhadap saksi dilakukan terdakwa pada hari dan

tanggal yang tidak diingat lagi oleh terdakwa, namun dipastikan

sekitar tahun 1998 sewaktu terdakwa bersama saksi sedang

berada di kebun dekat rumah terdakwa di Grumbul Labruk,

Desa Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede,

Kabupaten Banyumas, terdakwa pada waktu itu mengambil 4

(empat) lembar daun pisang dan diletakkan ke tanah.


63

Terdakwa menyuruh saksi untuk duduk, melihat saksi

diam saja terdakwa menarik tangan saksi. Kemudian terdakwa

mendorongnya dan membaringkan saksi di atas daun pisang

tersebut karena saksi melakukan perlawanan, terdakwa

menampar pipi saksi sebelah kiri, setelah saksi diam karena

takut, terdakwa menciumi pipi saksi sambil melepas pakaian

yang dikenakan saksi.

Setelah itu terdakwa melepas celana yang dikenakannya

sampai sebatas lutut ke mudian meraba-raba alat kelamin/vagina

saksi. Terdakwa juga memegang payudara saksi dan

memasukkan alat kelamin terdakwa yang telah tegang ke dalam

lubang vagina saksi dan digerak-gerakan hingga terdakwa puas

dan keluar sperma di vagina saksi. Saat itu saksi merasa

kesakitan dan pedih pada alat kelamin saksi dan benar saksi

tidak menghendaki perbuatan tersebut. Terdakwa melakukan

perbuatan tersebut pertama kalinya saat usia saksi 7 (tujuh)

tahun dan masih sekolah di SDN.Tanggeran kelas 2 dan belum

menstruasi.

Hingga saksi lulus SD terdakwa masih melakukan

perbuatan berulang ulang lebih dari 15 kali dan setelah lulus SD ,

saksi bekerja ke Purwokerto sebagai pembantu rumah tangga

dan jika pulang terdakwa masih memaksa saksi mau melayani

terdakwa walaupun saksi menolak terdakwa terus memaksa jika


64

teriak terdakwa membungkam saksi dan tidak segan-segan

memukul saksi sehingga saksi takut dan menurut saja.

Terdakwa pernah menjajikan akan membelikan baju, sepatu dan

memberi Rp.500,-(lima ratus rupiah) jika habis melakukan

perbuatan tersebut kepada saksi. Atas keterangan saksi tersebut

terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan.

5) Saksi TRS Binti Tuslam Turyadi

Saksi pernah diperiksa di penyidik dan keterangan yang

diberikan adalah benar. Saksi kenal dengan terdakwa karena

terdakwa merupakan bapak kandung terdakwa. Saksi telah

dicabuli/diperkosa oleh terdakwa, dan juga memperkosa kakak

tirinya yang bersama SR.

Saksi mengetahui sewaktu saksi sedang me nulis surat

sambil menangis dikamarnya lalu saksi SR membaca surat yang

saksi buat tersebut, berisi tentang perbuatan yang dilakukan oleh

terdakwa terhadap saksi. Ternyata kakaknya juga menceritakan

bahwa ia mengalami perbuatan yang sama yang dilakukan ole h

terdakwa.

Setelah itu saksi SR langsung menyerahkan surat tersebut

kepada ibu kandung saksi yaitu saksi Satinem, setelah itu surat

tersebut dirobek-robek kemudian dibakar oleh ibu saksi. Minggu

tanggal 28 Desember 2008 sekira pukul 22.00 WIB bertempat di


65

dalam kamar saksi Grumbul Labruk, Desa Tanggeran,

RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas,

telah disetubuhi terdakwa.

Saat itu saksi dan terdakwa berada berdua di rumah

sedangkan ibu saksi sedang berada di rumah tetangga yang

sedang punya hajatan. Waktu itu saksi sedang tid ur sendirian di

dalam kamar, pintu kamar tidak dalam keadaan terkunci,

terdakwa tiba-tiba masuk ke kamar saksi dan membangunkan

saksi.

Terdakwa selanjutnya melepas celana dalam dan celana

panjang yang dipakai saksi setelah itu terdakwa melepas celana

dalam dan celana pendeknnya. Terdakwa waktu itu tidak

menggunakan pakaian sewaktu masuk ke kamar saksi sehingga

waktu celananya sudah terlepas, terdakwa sudah telanjang.

Dalam keadaan telanjang terdakwa menindih tubuh saksi dan

menciumi pipi serta meraba vagina saksi, kemudian terdakwa

memasukan alat kelaminnya.yang telah tegang ke dalam lubang

vagina saksi digerak-gerakkan, naik turun hingga terdakwa

merasakan puas dan mengeluarkan cairan sperma yang

ditumpahkan di alat kelamin saksi.

Saat terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke lubang

vagina saksi yang dirasakan sakit pada alat kelaminnya, dan

saksi tidak menghendaki perbuatan yang dilakukan terdakwa


66

tersebut. Saat kejadian tidak ada orang lain di rumah,saksi tidak

melakukan perlawanan karena takut dengan bapaknya, hanya

diam, mau menangis takut, dan terdakwa mengatakan kepada

saksi, jadi anak harus nurut sama orang tua sambil

memelototkan matanya sehingga membuat saksi takut, apalagi

melihat perangai sehari-hari terdakwa suka marah kepada

anak-anaknya dan suka memukul.

Setelah selesai kejadian terdakwa bilang jangan

diomongkan keorang-orang termasuk ibunya, lalu terdakwa

memakai celana dalamnya dan celana panjangnya lalu keluar

kamar, sedangkan saksi memakai celana dalam dan celana

panjangnya sendiri dan kembali tidur sambil menangis.

Terdakwa sering mengulangi perbuatannya menyetubuhi

saksi dan terakhir dilakukan pada bulan maret 2009 sehingga

saksi merasakan batinnya tersiksa dan dihantui rasa takut, saksi

hanya bisa menangis dan menuangkan perasaan saksi kedalam

tulisan/surat.

Sewaktu terdakwa menyetubuhi saksi pertama kali saat

usia saksi 12 (dua belas) tahun dan belum menstruasi dan masih

kelas 3 SD, dan sekarang berumur 13 (tiga belas) tahun (lahir

tanggal 9 mei 1996). Setiap melakukan persetubuhan terdakwa

selalu memaksa dan saksi takut untuk menolaknya karena

terdakwa sering memukul saksi. Terdakwa menyetubuhi saksi


67

berulang-ulang, lebih dari 15 (lima belas) kali, dari bulan

Desember 2008 dan terakhir dilakukan tahun 2009, dan

tempatnya selalu di kamar saksi.

Senin tanggal 28 September 2009 saksi menuangkan

perasaan saksi atas perbuatan terdakwa ke saksi melalui tulisan

surat yang diketahui kakak saksi yaitu SR yang kemudian

dibacanya yang isinya pada pokoknya adalah bapak jahat, dan

telah memperkosa saksi. Kemudian surat tersebut oleh saksi SR

diberikan kepada ibunya yaitu saksi Satinem.

Sewaktu saksi Satinem menanyakan kepada terdakwa

tentang kebenarannya, terdakwa marah-marah dan melempar

sandal kepada saksi, sehingga saksi menjadi takut. Perbuatan

terdakwa telah dilaporkan ibu saksi yaitu saksi Satinem tanggal

2 Oktober 2009. Hari Sabtu tanggal 3 Oktober 2009, saksi

diperiksa di rumah sakit banyumas. Saksi membenarkan hasil

Visum et Repertum yang ditandatangani oleh dr. Amrizal,

Sp.Og, dari Rumah Sakit Umum Banyumas tertanggal 9

September 2009. Atas kejadian tersebut saksi mohon agar

terdakwa dihukum seumur hidup.

b. Keterangan Terdakwa

Terdakwa pernah diperiksa oleh penyidik dan membenarkan

semua keterangan yang ada dalam Berita Acara P emeriksaan.


68

Diajukan dipersidangan karena telah menyetubuhi anak tirinya yang

bernama SR dan anak kandungnya yang bernama TRS. Pada hari dan

tanggal yan tidak lagi diingat, namun dapat dipastikan pada tahun

1998 sewaktu di pekarangan/kebun Ny.Dinem,di Grumbul Labruk,

Desa Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten

Banyumas, melihat SR sedang bekerja timbul hasrat sexnya.

Cara terdakwa mengajak SR ke kebun pekarangan Ibu Diwen,

dengan mengatakan,“ayo main ke kebun bu D iwen”, sambil terdakwa

menujukan ibu jari diapit ditengah dengan kedua jari (isyarat kawin)

kepada SR. Terdakwa kemudian mengambil 4 (empat) batang daun

pisang dan menggelarnya di atas tanah kemudian menyuruh saksi

korban SR untuk dipakainya istirahat/duduk. Kemudian saksi korban

oleh SR tidak segera duduk dan oleh terdakwa ditarik, kemudian

didekap, didorong dan dibaringkan di atas daun pisang.

Selanjutnya terdakwa membuka paksa celana dalam dan pakaian

dari saksi korban SR, kemudian terdakwa melepas celana yang

dikenaka nnya sendiri, kemudian menindih tubuh korban. Setelah itu

terdakwa menciumi pipi dan diremasnya payudara dan vagina korban

SR. Setelah itu terdakwa menindih saksi korban sambil memasukkan

alat kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban SR, sambil naik

turunkan pantatnya sampai akhirnya ia mengeluarkan air mani.

Sewaktu memasukkan alat kelaminnya ke lubang vagina saksi

korban SR, terdakwa merasa kesulitan, dan terdakwa mengetahui


69

saksi korban SR masih berumur kurang lebih 7 tahun dan masih

duduk di sekolah dasar, saat itu belum menstruasi dan belum tumbuh

bulu pada alat kelamin saksi SR. Terdakwa kemudian masih

mengulangi perbuatan tersebut berkali-kali, dan terakhir sekitar bulan

Januari 2009 pada malam hari sewaktu SR pulang kerja sebagai

pembant u rumah tangga di Purwokerto. Perbuatan terhadap saksi SR

tersebut dilakukan terdakwa di kebun/pekarangan dan juga di kamar

saksi SR.

Saksi SR, selalu menolak melayani terdakwa, tetapi terdakwa

selalu marah-marah sehingga saksi SR takut, dan te rdakwa

mengetahui saksi korban mau melayani karena takut pada terdakwa,

dan tidak pernah menangis. Waktu pertama kali terdakwa

memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin SR, terdakwa

tidak tahu keluar darah atau tidak. Saksi korban diancam untuk tidak

bercerita kepada siapa-siapa termasuk ibunya dan diberi uang ratus

rupiah,dibelikan seragam dan sepatu.

Terdakwa mengetahui saksi korban tidak menikmati saat

terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke lubang vagina saksi SR.

Hari Minggu tanggal 28 Desember 2008 sekira jam 22.00 WIB

sewaktu terdakwa melihat acara TV dan saat istri terdakwa tidak

berada di rumah sedang di hajatan tetangga, tiba-tiba terdakwa yang

sudah tidak memakai baju dan celana dalam masuk ke kamar anak
70

kandungnya TRS yang sedang tidur di kamar yang tertutup namun

tidak terkunci.

Di dalam kamar , anak kandungnya yang bernama TRS ia

bangunkan, setelah bangun celana anak kandungnya ia lepas,

kemudian ia melepas celana yang dipa kainya sendiri, kemudian ia

meniduri anaknya dengan cars kedua kaki terdakwa berada di dalam

kedua belah kaki anak kandung saksi TRS, kemudian terdakwa

memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam alat

kelamin saksi TRS, kemudian menggerak-gerakka n berulang kali

sampai terdakwa puas dan mengeluarkan mani.

Terdakwa mengetahui saksi korban TRS saat itu ketakutan , dan

terdakwa tidak menghiraukannya, sambil memelototkan matanya dan

mengatakan agar saksi TRS sebagai anak menuruti orang tuanya. Saat

kejadian tersebut saksi TRS berusia kurang lebih 12 (dua belas) tahun,

dan masih sekolah kelas 2 SD dan belum menstruasi tumbuh payudara

dan dan rambut pada alat kelaminnya.

Terdakwa mengetahui sewaktu alat kelamin terdakwa masuk ke

alat kelamin TRS, korban merasa sakit dan mau menangis tetapi

ditahannya dan terdakwa tahu saksi korban takut melawan keinginan

terdakwa. Kemudian terdakwa menyuruh saksi korban TRS untuk

memakai celananya dan mengatakan jangan bilang ke siapa-siapa.

Terdakwa mengulangi perbuatannya berkali-kali karena ibu korban


71

tidak mau melayani. Terdakwa terakhir melakukan kepada korban

TRS hari Senin tanggal 15 Juni 2009 sekira pukul 21.00 WIB.

Sekarang saksi korban TRS berumur 13 tahun dan masih

sekolah di SD kelas 3. Sekitar bulan September 2009 perbuatan

terdakwa tersebut diketahui saksi Satinem, karena tulisan saksi TRS,

kemudian terdakwa dilaporkan ke P olsek Somagede dan ditahan.

Terdakwa mengetahui barang bukti yaitu 1 (satu) celana kolor pendek

pria warna coklat tua yang bertuliskan Spor t,1 (satu) buah kaos

berkerah warna hitam milik terdakwa Tuslam Turyadi, 1 (satu) buah

celana kolor pendek wanita warna abu-abu, 1 (satu) baju wanita

lengan panjang warna pink,1 (satu) buah celana dalam warna pink

milik saksi TRS yang dikenakan pada saat kejadian. Atas pembacaan

Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh

dr.Amrizal,Sp.OG dari Rumah Sa kit Umum Banyumas pada tanggal 7

Oktober 2009, Nomor: 440/1082/X/2009 atas nama SR, dan tanggal 9

Oktober 2009 nomor : 440/1081/X/2009 atas nama TRS, terdakwa

tidak keberatan.

c. Barang Bukti

Selain bukti saksi,dan alat bukti lainnya Jaksa Penuntut Umum

mengajukan barang bukti berupa:

1) 1 (satu) celana kolor pendek pria warna coklat tua yang

bertuliskan Sport, 1 (satu) buah kaos berkerah warna


72

hitam, milik terdakwa Tuslam Turyadi, 1 (satu) buah

celana kolor pendek wanita warna abu-abu.

2) 1 (satu) baju wanita lengan panjang warna pink,

3) 1 (satu) buah celana dalam warna pink milik saksi TRS

4. Tuntutan Penuntut Umum

Berdasarkan pembuktian dan fakta-fakta hukum yang terungkap di

dalam persidangan,maka Jaksa Penuntut Umum berdasarkan tuntutan

pidana tanggal 4 Februari 2009, yang pada pokoknya memutuskan sebagai

berikut:

a. Menyatakan terdakwa TS Bin TR telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

yaitu saksi korban SR 16 tahun dan TRS bin Tuslam Turyadi

berumur 13 tahun, melakukan perbuatan dengannya

sebagaimana terurai dalam dakwaan primair kami yaitu Pasal

81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak.

b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan

pidana penjara selama 14 (empat belas) tahun dengan

dikurangkan sepenuhnya selama ditahan dengan perintah

terdakwa tetap berada dalam tahanan, dan denda sebesar Rp.

60. 000.000,- (enam puluh juta rupiah).

c. Menetapkan barang bukti berupa :


73

1 (satu) celana kolor pendek pria warna coklat tua yang

bertuliskan Sport,

1 (satu) buah kaos berkerah warna hitam

dikembalikan kepada TS Bin TR.

1 (satu) buah celana kolor pendek wanita warna abu-abu.

1 (satu) baju wanita lengan panjang warna pink,

1 (satu) buah celana dalam warna pink

di kembalikan kepada saksi TRS.

d. Membebankan supaya TS Bin TR membayar biaya perkara

kepada terdakwa sebesar Rp.2. 500,-(dua ribu lima ratus rupiah)

5. Putusan

a. Pertimbangan Hakim

Dakwaan Penuntut Umum disusun secara Subsidaritas, oleh

karena itu majelis hakim akan mempertimbangkan dakwaan Primair

terlebih dahulu, yaitu melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang unsur-

usurnya sebagai berikut:

1) Setiap orang

2) dengan sengaja

3) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang orang lain


74

Ad. Unsur Setiap Orang

Setiap orang adalah subyek hukum penyandang hak dan

kewajiban, yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dipersidangan Penuntut Umum telah menghadirkan terdakwa

bernama TS bin TRlengkap dengan identitasnnya, yang selama

persidangan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta mampu

menjawab pertanyaan majelis dengan baik, dengan demikian unsur ini

telah terpenuhi.

Ad. Unsur dengan sengaja

Sengaja adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan

kesadaran dan akibat dari perbuatan tersebut diketahui serta

dikehendaki oleh pelaku. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan

saksi-saksi, keterangan terdakwa.

Pada hari dan tanggal yang tidak bisa diingat lagi pada tahun

1998 sewaktu di pekarangan/kebun Ny.Dinem, di Grumbul Labruk,

Desa Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten

Banyumas, terdakwa telah menyetubuhi SR (anak tirinya) yang saat

itu terdakwa tahu saksi masih berumur kurang lebih 7 (tujuh) tahun

dan masih duduk di sekolah dasar,

Terdakwa kemudian masih mengulangi perbuatan tersebut

berkali-kali dan terakhir sekitar bulan Januari 2009 pada malam hari

sewaktu SR pulang kerja sebagai pembantu rumah tangga di

Purwokerto.
75

Kemudian hari Minggu tanggal 28 Desember 2008 sekira jam

22.00 WIB sewaktu terdakwa juga menyetubuhi anak kandungnya

yang bernama TRSyang sedang tidur di kamar, dan saat kejadian

tersebut saksi TRS berusia kurang lebih 12 (dua belas) tahun, dan

masih sekolahkelas 2 SD dan belum menstruasi tumbuh payudara dan

dan rambut pada alat kelaminnya.

Terdakwa terakhir melakukan kepada korban TRS hari Senin

tanggal 15 Juni 2009 sekira pukul 21.00 WIB. Menimbang, bahwa

terdakwa menyetubuhi anak tirinya yaitu saksi korban SR dan anak

kandungnya yang bernama TRS dalam keadaan sadar dan mengetahui

akibat perbuatannya dan dilakukan terdakwa berulang-

ulang,berdasarkan pertimbangan tersebut menurut majelis unsur ini

telah terpenuhi.

Ad. Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain.

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah

mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak

sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam

senjata,menyepak, menendang, dan sebagainya, sehingga membuat

orang tidak berdaya atau tidak mempunyai kekuatan atau tenaga

sehingga tidak dapat mengadakanperlawanan, sedangkan yang

dimaksud dengan memaksa artinya perbuatan yang mengakibatkan


76

sesuatu yang buruk, atau yang merugikan, atau perbuatan yang tidak

dikehendaki. Kekerasan tersebut tidak hanya kekerasan fisik tetapi

juga kekerasan psikis, sedangkan persetubuhan adalah peraduan antara

kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk

mendapatkan anak, jadi alat kelamin laki-laki harus masuk ke dalam

alat kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.

Pada hari dan tanggal lupa ta hun 1998 sewaktu di

pekarangan/kebun Ny.Dinem ,di Grumbul Labruk, Desa Tanggeran

RT.06 /RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas,

terdakwa telah menyetubuhi SR (anak tirinya) yang saat itu terdakwa

tahu bahwa anak tirinya masih berumur kurang lebih 7 tahun dan

masih duduk di sekolah dasar, dan terakhir dilakukan terdakwa sekitar

bulan Januari 2009 pada malam hari sewaktu SR pulang kerja sebagai

pembantu rumah tangga di Purwokerto.

Kemudian hari Minggu tanggal 28 Desember 2008 sekira jam

22.00 WIB sewaktu terdakwa juga menyetubuhi anak kandungnya

yang bernama TRS yang sedang tidur di kamar , dan saat kejadian

tersebut saksi TRS berusia kurang lebih 12 tahun, dan masih sekolah

kelas 2 SD, dan belum menstruas, belum tumbuh payudara, dan

rambut pada alat kelaminnya ,dan dilakukan terdakwa berulang-ulang,

terakhir melakukan kepada korban TRS hari Senin tanggal 15 Juni

2009 sekira pukul 21.00 WIB .


77

Saksi SR, selalu menolak me layani terdakwa, tetapi terdakwa

selalu marah-marah sehingga saksi SR ketakutan, dan terdakwa

mengetahui saksi korban mau melayani karena takut padaterdakwa

dan tidak pernah menangis. Terdakwa juga mengetahui saksikorban

TRS saat itu juga ketakutan dan terdakwa tidakmenghiraukannya,

sambil memelototkan matanya dan mengatakan agar saksi TRS

sebagai anak menuruti orang tua dan mengancam jangan bilang ke

siapa-siapa termasuk ibunya yang bernama Satinem.

Terdakwa menyetubuhi para korban tidak hanya dengan denga n

kekerasan secara fisik saja tetapi juga kekerasan ps ikis sehingga saksi

korban SR dan saksi korban TRS tidak berdaya dan mau menuruti

kehendak terdakwa, hal itu juga diperkuat dari hasil Visum et

Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Arnrizal,Sp.OG dari

Rumah Sa kit Umum Banyumas pada tanggal 7 Oktober 2009,

Nomor440/1082/X/2009 atas nama SR , pada waktu Pemeriksaan hari

Selasa tanggal 6 Oktober 2009 pada saksi korban SR , sekitar

kemaluan tidak ada tanda-tanda kekerasan, dilakukan colok dubur

didapati selaput dara sobek (sobekan lama pada arah jam 2,7, 10, dan

liang senggama dalam posisi terbuka. Kesimpulan : Liang senggama

seperti orang yang sudah sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai

anak, dan tanggal 9 Oktober 2009 nomor : 440/1081/X/2009 atas

nama TRS pada sedangkan untuk saksi korban TRS pada waktu

pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 terdapat luka


78

robek tidak teratur pada selaput darah alat kelamin akibat dimasuki

benda tumpul seperti penis orang dewasa secara paksa, kesimpulan

luka-luka dan lain -lain tersebut di atas disebabkan karena masuknya

benda tumpul secara paksa. Berdasarkan pertimbangan tersebut

menurut majelis unsur ini telah terpenuhi pula.

Karena semua unsur dalam dakwaan tersebut telah terpenuhi,

maka majelis berkeyakinan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah

dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana

dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya.

Hal-hal yang memberatkan:

- Perbuatan terdakwa terhadap anak tirinya SR dan anak

kandungnya TRS yang masih di bawah umur

menyebabkan trauma bagi korban.

- Terdakwa sebagai seorang ayah tidak melindungi bagi

anak-anaknya malah merusak masa depan mereka.

- Perbuatan terdakwa melanggar norma agama, sosial dan

nilai-nilai dalam masyarakat.

- Bahwa para korban dan ibu korban mohon terdakwa

dihukum seberat-beratnya.

Hal-hal yang meringankan :

- Terdakwa mengaku terus terang, menyesali perbuatannya,

dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.


79

- Terdakwa belum pernah dihukum.

b. Amar Putusan

1) Menyatakan terdakwa TS Bin TR telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan

sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan pe rsetubuhan dengannya

dengannya.

2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, da n

denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

3) Menetapkan apabila denda tidak dibayar maka diganti

dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

4) Menetapan masa tahanan yang telah dijalani oleh

terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan.

5) Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan.

6) Menetapkan barang bukti berupa :

1 (satu) celana kolor pendek pria warna coklat tua yang

bertutiskan Sport,

1 (satu) buah kaos berkerah warna hitam

dikembalikan kepada TS Bin TR.

1 (satu) buah celana kolor pendek wanita warna abu-abu.


80

1 (satu) baju wanita lengan panjang warna pink,

1 (satu) buah celana dalam warna pink

di kembalikan kepada saksi TRS.

7) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar

Rp.2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah)

B. Pembahasan

1. Tujuan Diperlukannya Visum et Repertum Dalam Tindak Pidana

Perkosaan Terhadap Anak Kandung (Incest)

Incest(hubungan seksual yang dilakukan oleh individu didalam sebuah

keluarga dengan anggota keluarga lainnya, baik itu ayah dengan anak, ibu

dengan anak, kakek dengan cucu, kakak dengan adik) sebagian termasuk

kedalam kejahatan atau penganiayaan seksual, dimana perilaku seksual yang

dilakukan dapat berupa penganiayaan secara fisik maupun non fisik, oleh

orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan yang bertujuan untuk

memuaskan hasrat seksual pelakunya.

Incestakan dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhinya,

baik itu secara internal dan eksternal. Kasus incest yang terjadi, banyak

sekali tidak dilaporkan oleh korban incest. Jika dibandingkan dengan kasus

yang terjadi, hal itu tidak sebanding dengan kasus yang terjadi sebenarnya.

Karena hal itu dianggap sebagai aib keluarga, apabila diketahui masyarakat

umum akan menyebabkan keluarga yang bersangkutan menanggung malu

dalam kehidupan sosial bermasyarakat.


81

Penyebab atau pemicu timbulnya incest salah satunya adalah karena

pengaruh aspek struktural, yakni situasi dalam masyarakat yang semakin

kompleks. Kompleksitas situasi menyebabkan ketidakberdayaan pada diri

individu. Khususnya apabila ia seorang laki-laki (notabene cenderung

dianggap dan menganggap diri lebih berkuasa) akan sangat terguncang, dan

menimbulkan ketidakseimbangan mental-psikologis. Dalam

ketidakberdayaan tersebut, tanpa adanya iman sebagai kekuatan

internal/spiritual, seseorang akan dikuasai oleh dorongan primitif, yakni

dorongan seksual ataupun agresivitas.

Perbuatan Incest TS Bin TR pada dasarnya dilakukan tanpa

sepengetahuan Satinem sebagai ibu korban. TS Bin TR pada saat itu sangat

berkuasa di rumah karena, istri terdakwa bekerja di luar rumah, sehingga

anak-anak tidak berada dalam pengawasan Saksi satinem, bahkan

mengetahui perbuatan te rsebut melalui surat. Senin tanggal 28 September

2009 saksi korban TRS menuangkan perasaannya dalam surat dan diketahui

oleh saksi korban SR dan membaca surat yang ditulis oleh saksi korban

TRS yang berisi bahwa terdakwa telah diperkosa saksi TRS,dan

memberikan surat tersebut kepada saksi Satinem, setelah membaca surat

tersebut dan mendengar pengakuan para saksi korban melaporkan ke pihak

berwajib pada tanggal 2 Oktober 2009, ke mudian pada hari Sabtu tanggal 3

Oktober 2009 dilakukan pemeriksaan oleh dokter di RSUD Banyumas

kepada saksi SR dan saksi korban TRS.


82

Ketidakberdayaan korban untuk mengungkapkan kasus incest yang

dialaminya disebabkan adanya pengalaman di masyarakat yang

menunjukkan bahwa terjadinya kasus incest, adalah kesalahan dan aib si

korban, rasa malu yang tinggi sangat menghambat terbukanya kasus incest

ini ke permukaan. Oleh karena itu saksi korban TRS hanya dapat

menuangkan perasaannya dalam surat.

Korban yang notabene adalah anak perempuan, tidak tahu dan tidak

memiliki kapabilitas untuk membuat pengaduan, sistem hukum yang

kompleks membuat anak korban incest hanya mampu memendam apa yang

telah dialaminya. Hal inilah yang dialami SR , sehingga korban bahkan tidak

mengadukan sama sekali perbuatan ayah tirinya tersebut.

Perilaku incest merupakan hubungan seksual diantara keluarga yang

mempunyai pertalian darah yang dekat. Yang dimaksud pertalian darah

yang dekat adalah hubungan antara ayah dan anak perempuannya, antara ibu

dan anak laki-lakinya, antara saudara sekandung, antara paman dan

keponakan dan antara ayah tiri dan anak tiri. Pengertian incest pada masa

sekarang ini telah diperluas lagi meliputi peradaban pada genital, buah dada

dan pantat, oral-genital, dan hubungan seksual anal maupun vagina”. Di

sini incest meliputi tindakan seksual yang tidak hanya bersifat penetrasi alat

seksual secara wajar, namun juga dapat dikatakan kurang wajar, yang

meliputi tindakan anal sex, juga tindakan yang bersifat peradaban terhadap

daerah-daerah sensitif. 69

69
Sulaiman Zuhdi Manik, Op cit., hal. 37
83

Pengaturan mengenai kejahatan incest dalam KUHP berada di dalam

Pasal 294 ayat (1) :

Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tiri, anak angkat,


anak belum dewasa, yang pemeliharaanya, pendidikan atau
pengawasannya diserahkan padanya atau pun dengan bujangnya atau
bawahannya yang belum dewasa diancam dengan pidana penjara
paling lama 7 tahun.

Sebelum diterbitkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, konteks kejahatan incest hanya diatur dalam

Pasal 294 ayat (1) KUHP. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, mengatur masalah incest sesuai dengan Undang-undang

Perlindungan anak di Pasal 59, dimana pemerintah dan/atau lembaga negara

secara jelas menyebutkan memberi kepastian perlindungan khususnya

antara lain kepada anak dalam situasi yang tereksploitasi secara ekonomi

dan/atau seksual. Incest dititik beratkan pada adanya tindak pidana

persetubuhan. Tindak pidana persetubuhan pada anak secara khusus diatur

dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau


ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
84

Dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak tidak menekankan apakah itu perkosaan ataupun incest,

namun yang ditekankan adalahperbuatan persetubuhan. Persetubuhan dalam

arti biologis adalah S uatu perbuatan yang memungkinkan terjadinya

kehamilan, sehingga harus terjadi: erectio n penis; penetration penis ke

dalam vagina; dan ejaculation penis ke dalam vagina. Namun dalam ilmu

hukum hanya mensyaratkan adanya penetrasi penis kedalam vagina.70

Oleh karena itu bentuk unsur yang perlu dibuktikan adalah ada atau

tidaknya persetubuhan. Dalam kasus kejahatan seksual dalam kaitannya

dengan fungsi penyidikan ditujukan kepada:

1. Menentukan adanya tanda -tanda persetubuhan, persetubuhan


adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin pria masuk ke dalam
alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan
atau tanpa terjadinya orgasme.
2. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, kekerasan tidak
selamanya meninggalkan bekas luka tergantung antara lain dari
penanpang benda, daerah yang terkena kekerasan serta kekuatan
dari kekeresan itu sendiri.
3. Memperkirakan umur, merupakan pekerjaan yang paling sulit,
oleh karena tidak ada satu metode apapun yang dapat
memastikan umur seseorang dengan tepat, walaupun
pemeriksaan sendiri memerlukan sarana serta keahlian, seperti
pemeriksaan keadaan pertumbuhan gigi atau tulang dengan
memakai alat rontgen71

Peranan Visum et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus incest,

menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian

selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana incest dari

70
Abdul Wahid, Op cit. hal. 113
71
Abdul Mun’in Idries , Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses
Penyidikan, Karya Unipers, Jakarta, 1982, hal. 113-115.
85

hasil pemeriksaan yang termuat dalam Visum et Repertum, menentukan

langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus incest.

Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan

pada hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

waarheid ) yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara

pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat waktu dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum.

Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui

tahapan-tahapan tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan,

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk

menentukan lebih lanjut putusan pidana yang akan diambil. Putusan pidana

oleh hakim itu sendiri didasarkan pada adanya kebenaran materiil yang tepat

dan berlaku menurut ketentuan undang-undang, dalam hal in i hukum acara

pidana. Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah

pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan senyatanya.

Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal

yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengutarakan hal- hal tersebut

secara logika.72

Proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib

mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana

yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti

72
Y.A. Triana Ohoiwutun, 2006, Profesi Dokter dan Visum et Repertum (Penegakan
Hukum dan Permasalahannya) , Dioma, Malang, hal. 10.
86

yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut

ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1). 73

Usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dalam

penyelesaiannya memerlukan bantuan seorang ahli dalam rangka mencari

kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya. Mengenai permintaan

bantuan tenaga ahli diatur dalam KUHAP yakni Pasal 120 ayat (1), yang

menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta

pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”. Keterangan

dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis sebagai hasil

pemeriksaan medis yang disebut dengan Visum et Repertum. Berdasarkan

ketentuan tersebut diatas jelas bahwa untuk mengungkap ada tidaknya

persetubuhan maka harus dilakukan pemeriksaan dokter melalui Visum et

Repertum.

Sesuai Dakwaan Penuntut Umum yang disusun secara Subsidaritas,

majelis hakim lebih mempertimbangkan dakwaan Primair terlebih dahulu

yaitu mela nggar Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak yang unsur -usurnya sebagai ber ikut:

1) Setiap orang

2) dengan sengaja

73
Waluyadi, 1999, Pengetahuan dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung,hal.
100.
87

3) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang orang

lain.

Berdasarkan unsur -unsur Pasal 81 ayat (1) undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka penuntut umum harus dapat

membuktikan adanya unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang

orang lain.

R Sugandhi menyatakan bahwa, baru dikatakan persetubuhan apabila

anggota kelamin pria telah masuk ke dalam lubang anggota kelamin wanita

sedemikian rupa sehingga akhirnya mengeluarkan air mani. 74 Berdasarkan

pendapat tersebut maka ketika seorang Jaksa Penuntut Umum akan

membuktikan adanya persetubuhan, terlebih dahulu ia harus membuktikan

adanya proses masuknya anggota kelamin pria telah ke dalam lubang

anggota kelamin wanita sedemikian rupa sehingga akhirnya mengeluarkan

air mani dengan mendasarkan pada bekas luka, adanya unsur paksaan,

robeknya selaput dara ataupun bercak mani. Hal ini tentunya hanya dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan dokter atau Visum et

Repertum.

Majelis Hakim dalam membuktikan adanya atau terpenuhinya unsur

“melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang orang lain”, ternyata

74
R. Sugandhi, 2006, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, hal. 301
88

mempertimbangkan Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh

dr. Arnrizal, Sp.OG dari Rumah Sakit Umum Banyumas pada tanggal 07

Oktober 2009, Nomor 440/1082/X/2009 atas nama SR. Majelis hakim

menyatakan bahwa:

Terdakwa menyetubuhi para korban tidak hanya dengan dengan


kekerasan secara fisik saja tetapi juga kekerasan ps ikis, sehingga saksi
korban SR dan saksi korban TRS tidak berdaya dan mau menuruti
kehendak terdakwa, hal itu juga diperkuat dari hasil Visum et
Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Arnrizal, Sp.OG
dari Rumah Sakit Umum Banyumas pada tanggal 7 Oktober 2009,
Nomor 440/1082/X/2009 atas nama SR, pada waktu Pemeriksaan hari
Selasa tanggal 6 Oktober 2009 pada saksi korban SR , sekitar
kemaluan tidak ada tanda-tanda kekerasan, dilakukan colok dubur
didapati selaput dara sobek (sobekan lama pada arah jam 2,7, 10, dan
liang senggama dalam posisi terbuka. Kesimpulan : Liang senggama
seperti orang yang sudah sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai
anak, dan tanggal 9 Oktober 2009 nomor : 440/1081/X/2009 atas
nama TRS, sedangkan untuk saksi korban SR pada waktu
pemeriksaan hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 terdapat luka robek
tidak teratur pada selaput darah alat kelamin akibat dimasuki benda
tumpul seperti penis orang dewasa secara paksa, kesimpulan luka-luka
dan lain -lain tersebut diatas disebabkan karena masuknya benda
tumpul secara paksa.

Apabila di hadapkan terhadap kasus incestTuslam Turyadi, memang

menimbulkan pertanyaan bahwa, kasus tersebut sudah lama terjadi yaitu

Tahun 1998, apakah masih terlihat bekas perbuatan terdakwa. Kemudian

dengan adanya pengakuan korban, apakah tidak cukup untuk memastikan

bahwa, terdakwa telah melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak

kandung/anak tiri (Incest).

Berdasarkan fakta hukum yang terbukti di dalam persidangan,

mendeskripsikan bahwa, telah terjadi persetubuhan (incest) pada tahun 1998

yang dilakukan olehterdakwa TS BIN TR, bertempat di Pekarangan


89

Ny.Dinem dan di dalam kamar rumah orang tua saksi korban Desa

Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas,

memaksa anak yaitu saksi korban SR umur 16 tahun dan saksi TRS umur 13

tahun untuk melakukan persetubuhan dengannya.

Minggu tanggal tanggal 28 Desember 2008, sekira pukul 22.00 WIB

terdakwa melakukan persetubuhan bersama saksi korban TRS. Terdakwa

juga mengulangi perbuatan tersebut sebanyak kurang lebih 11 (sebelas) kali

hingga kurun waktu terakir perbuatan tersebut dilakukan pada saksi korban

TRS hari Senin tanggal 15 Juni 2009.

Berdasarkan perbuatan yang berulang tersebut, maka jelas akan

menimbulkan kerusakan pada organ vital korban, mengingat usia korban

masih anak. Hal ini juga dapat dibuktikan sesuai dari hasil pemeriksaan/

Visum et Repertum RSUD Banyumas No.440/1082/X/2009 dan Visum et

Repertum RSUD Banyumas No.440/1081/X/2009 yang ma sing-masing

ditandatangani oleh dr.Amrizal, Sp.Og tanggal 7 Oktober 2009 mengalami :

Pada waktu Pemeriksaan hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 pada saksi

korban SR sekitar kemaluan tidak ada tanda -tanda kekerasan, dilakukan

colok dubur didapati selaput dara sobek (sobekan lama pada arah jam 2, 7,

10, dan liang senggama dalam posisi terbuka. Kesimpulan : Liang senggama

seperti orang yang sudah sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai anak,

sedangkan untuk saksi korban TRS pada waktu pemeriksaan pada hari

Selasa tanggal 06 Oktober 2009 terdapat luka robek tidak teratur pada

selaput darah alat kelamin akibat dimasuki benda tumpul seperti penis orang
90

dewasa secara paksa, kesimpulan luka-luka dan lain-lain tersebut di atas

disebabkan karena masuknya benda tumpul secara paksa.

Ketepatan penggunaan Visum et Repertumtidak dapat digantikan

hanya dengan kesaksian saksi yang melaporkan adanya tindak pidana

persetubuhan pada anak kandung/tiri (incest). Hal ini karena pada saat ibu

korban melaporkan, bukti-bukti yang dikumpulkan kurang lengkap. Bahkan

bisa saja karena unsur kekerasan, saksi akan bersikap diam sebagaimana

yang dialami saksi korban, baik TRS dan Sri Wahyuni.

Diperlukannya Visum et Repertumdalam tindak pidana perkosaan

terhadap anak kandung (incest) pada dasarnya untuk membuktikan unsur

“melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang orang lain” pada Pasal 81 ayat

(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Keterangan saksi pada dasarnya kurang cukup untuk dapat memberikan

keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan incestterhadap

anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Berupa Visum et

RepertumDalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms .

Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang

dihadapi oleh setiap masyarakat. Karakteristik di setiap masyarakat masing-

masing memberikan corak permasalahannya tersendiri didalam kerangka


91

penegakan hukumnya. Penegakan hukum pada hakekatnya adalah

perlindungan kepentingan manusia, yang merupakan pedoman tentang

bagaimana sepatutnya seseorang harus bertindak75. Penegakan hukum pada

prins ipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi

masyarakat, dan diharapkan masyarakat turut serta dalam penegakan hukum

yang berkeadilan, dan penegakan hukum berkeadilan itu adalah bagian dari

perjuangan hidup dan sekaligus menggambarkan karekteristik

masyarakatnya.

Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan

bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap

sederhana dan mudah. Ketika penegak hukum dihadapkan pada suatu tindak

pidana yang tingkat pembuktiannya sangat kompleks dan sulit, tidak

mustahil produk putusan pengadilan yang dihasilkanpun dapat berakibat

menjadi keliru atau tidak tepat. Apabila hal tersebut terjadi akan membawa

dampak penegakan hukum yang dapat menyakiti rasa keadilan bagi pihak

terkait atau masyarakat tertentu.

Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan

pada hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

waarheid ). Lilik Mulyadi menyatakan bahwa:

Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini selaras dengan


ketentuan Pasat 183 KUHAP sehingga dapat disimputkan sekati lagi
merupakan "hakikat kebenaran materiil sesungguhnya", jadi bukan

75
Sudikno Mertokusumo, 2006, Bunga Rampai Ilmu Hukum ,Yogyakarta Liberty, hal. 107,.
92

"mendekati kebenaran mate riil" atau terlebih tagi bukan "setidak-


tidaknya mendekati kebenaran mate riil"76

Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna

kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak

hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak

dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar

kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang

ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil

selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.

Dalam rangka membuktikan adanya suatu tindak pidana incest dan

guna memperoleh kebenaran materil, pembuktian dapat dimintakan bantuan

ahli. Mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan

didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap

penyidikan disebutkan pada P asal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam

hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau

orang yang memiliki keahlian khusus”.

Untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan

persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP menyatakan :

“Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang

timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan

ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang

berkepentingan”.

76
Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Suatu Tinjauan Khusus
Terhadap: Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12
93

Keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP

diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke -28 KUHAP, yang

menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh

seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan

perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap

pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam

membantu apara t yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara

pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus,

memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta

pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan

tepat terhadap perkara yang diperiksanya.

Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses

penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana,

tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan

untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan

pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian atau

pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi

dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari


94

tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses

pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.

Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses

pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan

juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik

mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan

kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu,

bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk

mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya.

Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan

perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan

tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk

memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya

cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut

kasus tersebut.

Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak kepolisian selaku

aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan

yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus incest. Kasus kejahatan

kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan

tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman

kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam

penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari

dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa


95

keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai

keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda

telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan

atau ancaman kekerasan.

Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara

tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan

Visum et Repertum. Menurut pengertiannya, Visum et Repertum diartikan

sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas

permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala

sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti,

berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan

pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Dalam Perkara incest yang dilakukan oleh TS Bin TR, Visum et

Reppertum digunakan sebagai suatu data utama untuk melanjutkan

penyidikan dan dasar membuktikan unsur persetubuhan. Setelah perbuatan

TS Bin TR, korban melakukan pemeriksaan di RSUD Banyumas.

Berdasarkan surat Visum et Repertum RSUD Banyumas

No.440/1082/X/2009 dan Visum et Repertum RSUD Banyumas

No.440/1081/X/2009 yang masing-masing ditandatangani oleh dr.Amrizal,

Sp.Og tanggal 7 Oktober 2009 mengalami : Pada waktu Pemeriksaan pada

hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 pada saksi korban SR sekitar kemaluan

tidak ada tanda-tanda kekerasan, dilakukan colok dubur didapati selaput

dara sobek (sobe kan lama pada arah jam 2, 7, 10, dan liang senggama dalam
96

posisi terbuka. Kesimpulan: Liang senggama seperti orang yang sudah

sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai anak, seda ngkan untuk saksi

korban TRS pada waktu pemeriksaan hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009

terdapat luka robek tidak teratur pada selaput darah alat kelamin akibat

dimasuki benda tumpul seperti penis orang dewasa secara paksa kesimpulan

luka-luka dan lain-lain tersebut di atas disebabkan karena masuknya benda

tumpul secara paksa.

Berdasarkan visum tersebut dapat diketahui bahwa, benar korban telah

mengalami robek pada bagian selaput dara akibat perkosaan. Apabila

dikaitkan dengan perbuatan pelaku, maka terdapat kesamaan fakta bahwa

telah terjadi persetubuhan (incest) tahun 1998 Terdakwa TS bin TR,

bertempat di Pekarangan Ny.Dinem dan di dalam kamar rumah orang tua

saksi korban,yaitu memaksa SR umur 16 (enam belas) tahun dan saksi TRS

umur 13 (tiga belas) tahun melakukan persetubuhan dengannya. Pada hari

Minggu tanggal tanggal 28 Desember 2008, sekira pukul 22.00 WIB

terdakwa juga melakukan persetubuhan bersama saksi korban TRS.

Terdakwa juga mengulangi perbuatan tersebut sebanyak kurang lebih 11

(sebelas) kali hingga kurun waktu terakhir perbuatan tersebut dilakukan

pada saksi korban TRS hari Senin tanggal 15 Juni 2009. Berdasarkan fakta

tersebut jika dikaitkan dengan pemeriksaan dr.Amrizal, Sp.Og yang

dituangkan dalam Visum et Repertum No.440/1082/X/2009 dan Visum et

Repertum No.440/1081/X/2009 terhadap korban SR diketahui liang

senggama seperti orang yang sudah sering bersetubuh. Hal ini sesuai dengan
97

fakta hukum perbuatan pelaku. Sedangkan pada korban TRSterdapat luka

robek tidak teratur pada selaput darah alat kelamin akibat dimasuki benda

tumpul seperti penis orang dewasa. Hal ini juga memperlihatkan perbuatan

pelaku yang telah dilakukan.

Peranan Visum et Repertumselain sebagai bukti permulaan yang telah

dilakukan pada tahap penyidikan di Kepolisian, juga dipertimbangkan

hakim dalam pertimbangannya unsur ke dua yaitu dengan sengaja

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan , dan unsur ke tiga yaitu

memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain .

Visum et Repertumsangat bermanfaat dalam pembuktian suatu perkara

berdasarkan hukum acara. Di dalam upaya pembuktian, biasanya barang-

barang bukti akan diperlihatkan di sidang pengadilan untuk memperjelas

masalah. Tetapi pada prakteknya tidak semua barang bukti dapat dibaw a ke

depan sidang pengadilan, seperti misalnya, tubuh manusia baik hidup

maupun mati. Pada perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap

tubuh manusia, maka antara lain akan dibuktikan penyebab luka atau

kematian. Bahkan tidak jarang dapat dicari pembuktian tentang tempos

delicti dan locus delicti. Untuk itu tentu yang seharusnya diketengahkan di

sidang pengadilan adalah luka atau kelainan pada saat (atau paling tidak

mendekati saat) peristiwa pidana terjadi. Hal ini boleh dikatakan sangat sulit

dikerjakan karena tubuh manusia senantiasa mengalami perubahan, baik

berupa penyembuhan luka (pada korban hidup) atau proses pembusukan


98

(pada korban mati), sehingga gambaran mengenai benda bukti tersebut

(luka, kelainan, jenazah) tidak sesuai lagi dengan semula.

Karena itu semua hal yang terdapat pada tubuh manusia (benda bukti)

harus direkam atau diabadikan oleh seorang dokter dan dituangkan ke dalam

sebuah Visum et Repertumyang berfungsi sebagai pengganti barang bukti

(tubuh manusia). Kemudian guna memudahkan para praktisi hukum dalam

memanfaatkan Visum et Repertumtersebut, perlu dibuat suatu kesimpulan

dari hasil pemeriksaan. Bagian kesimpulan ini akan menjembatani ilmu

kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga para praktisi hukum dapat

menerapkan norma-norma hukum pada benda atau bukti tersebut.

Visum et Repertumadalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang

apa yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan apa yang ia dengar,

sehubungan dengan orang yang luka, seseorang yang terganggu

kesehatanya, dan seseorang yang mati. Berdasarkan pemeriksaan tersebut

diharapkan akan terungkap sebab-sebab terjadinya itu dalam kaitanya

dengan kemungkinan telah terjadinya tindak pidana.

Aktivitas seorang dokter ahli sebagaimana di atas, dilaksanakan

berdasarkan permintaan dari pihak yang berkompeten dengan masalah

tersebut. Visum et Repertumadalah merupakan surat yang dibuat atas

sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat

tersebut mempunyai keotentikan.


99

Dalam proses selanjutnya, Visum et Repertumdapat menjadi alat bukti

petunjuk. Yang demikian itu didasarkan, oleh karena petunjuk sebagaimana

tersebut dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP hanya dapat diperoleh dari :

a. Keterangan saksi

b. Surat

c. Keterangan terdakwa ( simak Pasal 188 ayat (2) KUHAP )

Kemudian, apabila kita berkeyakinan bahwa pada proses awalnya

Visum et Repertumyang selanjutnya disebut sebagai alat bukti surat, yang

untuk memperoleh Visum et Repertumtersebut berasal dari keseksian dokter

terhadap seseorang, menunjukan bahwa di dalamnya telah terselip alat bukti

berupa keterangan saksi. 77

Yahya Harahap menyatakan bahwa :

Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut dalam Pasal
187 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, bukan alat bukti
yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat ini tidak
melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan
pembuktian alat bukti surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan
pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-
sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas.
Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formil alat bukti surat yang
disebut Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, sifat kesempurnaan formil tersebut tidak dengan
sendirinya mengadung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat.
Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat
saja menggunakan atau menyingkirkannya. 78

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti Visum et reppertum sama halnya

dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti

77
Waluyadi, Op.Cit,. hal. 37 - 38
78
M. Yahya Harahap, 2002, Op cit, hal. 288-289.
100

keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian

yang bersifat bebas. Alat bukti rekam medis yang dikategorikan surat formil

dalam Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana, sifat kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya

mengadung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk

menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat saja menggunakan atau

menyingkirkannya.

Kedudukan Visum et reppertum sebagai bukti tidak dapat dilepaskan

dengan dukungan alat bukti lainya, seperti halnya keterangan terdakwa tidak

dapat berdiri sendiri dengan alat bukti lainnya ataupun keterangan ahli dan

surat. Dalam hal ini terlihat bahwa nilai kekuatan pembuktiannya tergantung

pada penilaian hakim. Visum et Reppertum sebagai bukti yang bebas, yang

tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak

menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim.

Hakim bebas untuk menilai kesempurna an dan kebenarannya


tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna
atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima
kebenaran setiap saksi. Hakim bebas untuk menilai kekuatan dan
kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapa t menerima
atau menyingkirkannya. 79

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan Visum et

Repertumdalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms selain sebagai

bukti permulaan yang telah dilakukan pada tahap penyidikan di kepolisian,

juga dipertimbangkan hakim dalam pertimbangannya , unsur ke tiga yaitu

memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain .

79
Ibid ., hal. 273-274.
101

Visum et Repertum dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN. Bms

bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat

ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan

pembuktian alat bukti surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan

pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas.


102

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka

dapat diambil suatu simpulan sebagai berikut:

1. Diperlukannya Visum et Repertumdalam tindak pidana perkosaan

terhadap anak kandung (incest) dituju kkan untuk membuktikan unsur

“melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang orang lain”

pada Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Keterangan saksi saja kurang cukup untuk dapat

memberikan keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan incestterhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat

(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

2. Visum et Reppertum dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.

Bmsbukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat

bukti surat ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat.

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai

kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli,

sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat

bebas. Dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.BmsVisum et


103

Repertum RSUD Banyumas No.440/1082/X/2009 dan Visum et

Repertum RSUD Banyumas No.440/1081/X/2009 yang masing-

masing ditandatanga ni oleh dr.Amrizal, Sp.Og tanggal 7 Okt ober

2009 dipertimbangkan oleh majelis hakim sebagai dasar untuk

membuktikan adanya persetubuhan sebagaimana diatur dalam Pasal

81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

B. Saran

1. Sebaiknya Pasal 81ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002


Tentang Perlindungan Anakjuga menambahkan spesifikasi incest
sebagai pemberatan.
2. Sebaiknya hakim memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa,
yang telah melakukan tindak pidana incest.
DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Asshidiqie, Jimly. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang . Sinar
Grafika. Jakarta.

Chazawi, Adam. 2005. TindakPidanaMengenaiKesopanan . Raja Grafindo.


Jakarta.

Dhermawan, Oka. 2005.


PerlindunganHukumPelaksnaanAborsiBagiPerempuanKorbanPerkos
aan . PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Hamzah,Andi. 2000. HukumAcaraPidana Indonesia.SinarGrafika. Jakarta .

Harahap, M. Yahya. 2002. PembahasanPermasalahandanPenerapan


KUHAP.SinarGrafika. Jakarta.

Hiariej, Eddy O. S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian¸ Erlangga. Jakarta.

Jhonny,Ibrahim. 2007. TeoridanMetodelogiPenelitianHukumNormatif.


Banyumedia Publishing. Malang.

Makarao, Mohammad TaufikdanSuhasril. 2004.


HukumAcaraPidanaDalamPraktek. GhaliaIndonesia. Jakarta.

Manik, Sulaiman Zuhdi. 2002. Penanganan dan Pendampingan Anak


Korban Incest. PKPA. Jakarta.

Moeljatno.2007. KitabUndang-UndangHukumPidana.BumiAksara. Jakarta.

Purwadianto,Agus. 2003. PerkosaanSebagaiPelanggaran HAM. Djambatan


Jakarta.

Ranoenihardja , R. Atang. 1991. IlmuKedokteranKehakiman (forensik


science). Torsito. Bandung.

Rukmini, Mien. 2006. ApekHukumPidanadanKriminologi


(SebuahBungaRampai).Alumni. Bandung.

Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acura Pidana Indonesia datum


SirkasHukum.Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto. 1981. PengantarPenelitianHukum. UI Press. Jakarta.


Soekanto,Soerjonodan Sri Mamuji. 2003. PenelitianHukumNormatif. Raja
GrafindoPersada. Jakarta.
Soesilo, R. 2002. Hukum Acara Pidana . Politeia. Bogor.

Ohoiwutun, Y.A. Triana. 2006. ProfesiDokterdanVisum et Repertum


(PenegakanHukumdanPermasalahannya) .Dioma. Malang.

Wahid,AbduldanMuhamadIrfan. 2001.
PerlindunganTerhadapKorbanKekerasanSeksualAdvokasiatasHakAsa
siPerempuan.RafikaAditama. Malang.

Waluyadi. 1999. PengetahuandasarHukumAcaraPidana.MandarMaju.


Bandung.

PeraturanPerundang -undangan.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana

-------------,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981,
Tambahan Lembaran Negara No. 3258).

-------------,Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(Lembaran Negara No. 109 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara No.
4235).

Sumber Lainnya
Edo.KekerasanSeksualterhadapAnakMeningkat.http://news.liputan6.com/re
ad/398970/kekerasan-seksual-terhadap-anak-meningkat. diakses pada
tanggal 10 Desember 2013.

NN, PeranVisum et RepertumDalamPennyidikanTindakPidana Di


Indonesia BesertaHambatan yang Ditimbulkannya.
www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ea793e8c75da. diakses pada
tanggal 10 Desember 2013.

Rajagukguk, Junet. FenomenaMeningkatnyaPemerkosaan (Pencabulan)


TerhadapAnak di
BawahUmur.http://hukum.kompasiana.com/2013/02/14/fenomena -
meningkatnya -pemerkosaan-pencabulan-terhadap-anak-di-bawah-
umur-533665.html. diakses pada tanggal 10 Desember 2013.

You might also like