You are on page 1of 35

PROPOSAL

SEMINAR ADVOKASI PELAYANAN GIZI


“Sinergi Memutus Mata Rantai Stunting untuk Mewujudkan
Guntur Sehat”

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV GIZI


JURUSAN GIZI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN
KESEHATAN SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN
“Sinergi Memutus Mata Rantai Stunting untuk Mewujudkan Guntur Sehat”

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV JURUSAN GIZI POLTEKKES


KEMENKES SEMARANG

Semarang, 26 Agustus 2019

Hormat kami,
Ketua Panitia Sekretaris

Safira Arsy Sahara Miftahul Jannah Riri


NIM. P1337431216019 NIM. P1337431216062

Mengetahui,

Ketua Program Studi DIV Gizi Ketua Bidang Gizi Masyarakat

Mohammad Jaelani, DCN, M. Kes Sunarto, SKM, M. Kes


NIP. 196208061991031004 NIP. 196403091988011003

Mengesahkan,
Ketua Jurusan Gizi
Poltekkes Kemenkes Semarang

Susi Tursilowati, SKM, M.Sc.PH


NIP. 196611241991022001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG...................................................................................1

B. BESAR MASALAH.....................................................................................2

C. DAMPAK......................................................................................................3

1. Konsekuensi jangka pendek......................................................................3

2. Konsekuensi Jangka Panjang....................................................................5

D. FAKTOR RESIKO........................................................................................7

E. INTERVENSI.............................................................................................19

1. Kontribusi Pemerintah Indonesia............................................................19

F. TUJUAN PROGRAM................................................................................24

G. SASARAN..................................................................................................24

H. RENCANA KEGIATAN.............................................................................24

I. RENCANA MONITORING & EVALUASI..............................................25

BAB II....................................................................................................................28

PELAKSANAAN..................................................................................................28

A. TUJUAN KEGIATAN................................................................................28

1. Tujuan Umum..........................................................................................28

2. Tujuan Khusus.........................................................................................28

B. MANFAAT..................................................................................................28

C. DASAR KEGIATAN..................................................................................28

D. TEMA KEGIATAN.....................................................................................29

iii
E. WAKTU PELAKSANAAN........................................................................29

F. PESERTA KEGIATAN...............................................................................29

G. SUSUNAN KEPANITIAAN......................................................................30

H. SUSUNAN ACARA...................................................................................30

I. RENCANA ANGGARAN..........................................................................31

BAB III..................................................................................................................33

PENUTUP..............................................................................................................33

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa hanya 44,12% saja balita yang
tidak mempunyai masalah gizi, 43,49% mengalami kurang gizi, dan 12,49%
mengalami gizi lebih. Balita yang mengalami masalah gizi yaitu pendek atau
stunting (37,2%), kurus atau wasting (12,1%), gizi kurang atau underweight
(19,6%), dan overweight (8,8%) (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Menurut
data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 diperoleh prevalensi
proposi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita atau yang disebut
stunting pada tingkat nasional yaitu 37,2%, sedangkan berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 terjadi penurunan menjadi 30,8%.
Prevalensi stunting secara nasional dibagi menjadi pendek dan sangat pendek.
Prevalensi pendek mendapat nilai 19,3%, sedangkan prevalensi sangat pendek
11,5%. Sedangkan menurut hasil Penilaian Status Gizi (PSG) Jawa Tengah
pada status Gizi Anak Balita Umur 0 -23 Bulan Berdasarkan Indeks TB/U
pada tahun 2017 prevalensi balita sangat pendek sebesar 5,5%, balita pendek
sebesar 12,5%.
Faktor yang mempengaruhi stunting terdiri dari faktor secara langsung
dan tidak langsung. Faktor secara langsung penyebab stunting adalah asupan
makan dan penyakit infeksi. Adapun faktor tidak langsung penyebab stunting
adalah pengetahuan tentang gizi, pendidiakan orang tua, pendapatan orang
tua, distribusi makanan, dan besar keluarga. Berdasarkan Jurnal Pustaka
Kesehatan, vol. 3 (no. 1) Januari 2015 dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan ibu mengenai gizi merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita
baik yang berada di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hasil
penelitian yang dilakukan di Semarang juga menunjukkan ibu dengan
pengetahuan gizi yang baik dapat menyediakan makanan dengan jenis dan
jumlah yang tepat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
anak balita.

1
Stunting memiliki dampak jangka pendek menurut WHO 2018
peningkatan kejadian kesakitan dan kematian, perkembangan kognitif,
motorik, dan verbal pada anak tidak optimal, dan meningkatan biaya
kesehatan. Selain memiliki dampak pendek, stunting juga memiliki dampak
panjang yaitu postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya), menurunnya kesehatan reproduksi, kapasitas
belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah dan produktivitas
dan kapasitas kerja yang tidak optimal, menderita penyakit kronik, seperti
obesitas dan mengalami gangguan intoleransi glukosa. Sebuah penelitian
menunjukkan stunting berhubungan dengan oksidasi lemak dan penyimpanan
lemak tubuh. Stunting dapat meningkatkan risiko kejadian hipertensi.
(Bulletin stunting 2018). Dampak panjang lainnya kualitas kerja yang tidak
kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi. (Info datin
2016)
Mengingat luas dan besarnya dampak yang ditimbulkan karena stunting,
muncul gerakan Scaling Up Nutrition yang juga diikuti di Indonesia dengan
Germas 1000 HPK yaitu Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam Rangka
Percepatan Perbaikan Gizi Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan. Gerakan 1000
HPK mengintervensi faktor risiko penyebab kurang gizi dengan intervensi gizi
spesifik yang umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan dan intervensi gizi
sensitif merupakan berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan.
Dalam organisasinya Germas 1000 HPK membentuk gugus-gugus tingkat
nasional hingga desa untuk mencapai sasaran keluarga dengan balita stunting
dan ibu hamil.
Dalam rangka meningkatkan peran pendidikan gizi dalam upaya perbaikan
gizi masyarakat. Kami akan melakukan kegiatan Advokasi Kegiatan
Pembinaan Gizi Masyarakat. Pertemuan ini dimaksudkan untuk melakukan
advokasi tentang konsekuensi, faktor risiko dan intervensi untuk menangani
masalah gizi yang menekankan pada pendekatan keluarga.

B. BESAR MASALAH
Pada negara berkembang masih banyak dijumpai masalah gizi, salah
satunya yang sedang dialami Indonesia yaitu masalah gizi pada balita seperti
gizi kurang dan pendek. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018

2
melaporkan bahwa prevalensi status gizi kurang dan gizi buruk (Berat Badan
Menurut Umur di bawah standar) pada anak balita sebesar 17,7%, dimana
prevalensi ini mengalami penurunan dari tahun 2013 yang mencapai 19,6%.
Walaupun prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada balita mengalami
penurunan akan tetapi kekurangan gizi pada balita masih tetap menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan masyarakat yang
lain pada balita yaitu pendek dan sangat pendek atau biasa disebut stunting.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 prevalensi balita
pendek dan sangat pendek sebesar 30,8%.
Menurut hasil Penilaian Status Gizi (PSG) Jawa Tengah pada status Gizi
Anak Balita Umur 0 -23 Bulan Berdasarkan Indeks TB/U pada tahun 2017
prevalensi balita sangat pendek sebesar 5,5% dan balita pendek sebesar
12,5%. Di Kabupaten Demak, berdasarkan IPKM tahun 2013 angka kejadian
stunting pada balita mencapai 50.780 jiwa dengan prevalensi 50,28% dan
berdasarkan Pengambilan Data Dasar yang dilakukan mahasiswa Gizi
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang pada bulan Maret
tahun 2019 prevalensi stunting di wilayah Puskesmas Guntur II kecamatan
Guntur Kabupaten Semarang mencapai 31% dan prevalensi balita gizi kurang
sebesar 22%.

C. DAMPAK
1. Konsekuensi jangka pendek
a. Konsekuensi kesehatan
Stuting memiliki dampak jangka pendek menurut WHO 2018.
Dampak jangka pendek stunting terkait kesehatan yaitu peningkatan
kejadian kesakitan dan kematian. Adapun menurut Dr. dr. Damayanti
R. Sjarif, Sp. A (K), spesialis anak, konsultan nutrisi, dan penyakit
metabolik, stunting memiliki dampak jangka pendek yaitu
perkembangan anak menjadi terhambat serta penurunan fungsi
kekebalan tubuh.
Penurunan ukuran antropometri pada anak dapat meningkatkan
bahaya kematian dari infeksi saluran pernapasan, diare, campak, dan
infeksi lain. Infeksi biasa terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan
anak. Kondisi fisiologis yang terkait dengan infeksi yaitu dapat

3
mengganggu pertumbuhan dengan menekan nafsu makan,
mengganggu penyerapan, meningkatkan kehilangan zat gizi,
meningkatkan katabolisme, dan mengalihkan transport zat gizi tidak
untuk pertumbuhan.

b. Konsekuensi perkembangan
Stunting adalah suatu sindrom dimana kegegalan pertumbuhan
linier yang mana berfungsi sebagai penanda beberapa gangguan
patologis berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan motalitas,
hilangnya potensi pertumbuhan fisik, berkurangnya neuron
perkembangan dan kognitif, dan peningkatan resiko penyakit kronis
pada usia dewasa (Onis, 2016).
Anak stunting juga mengalami kesulitan dalam belajar membaca
dibandingkan anak normal. Salah satu organ yang paling cepat
mengalami kerusakan pada kondisi gangguan gizi ialah otak. Otak
merupakan pusat syaraf yang sangat berkaitan dengan respon anak
untuk melihat, mendengar, berfikir, serta melakukan gerakan (Picauly
dan Magdalena, 2013).
Penelitian Picauly dan Magdalena (2013) mengenai pengaruh
stunting terhadap prestasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba
Timur, NTT menemukan bahwa setiap kenaikan status gizi TB/U anak
sebesar 1 SD maka prestasi belajar anak meningkat sebesar 0,444,
demikian pula sebaliknya. Sehingga disimpulkan bahwa stunting
berdampak sangat signifikan terhadap prestasi belajar anak.

c. Konsekuensi ekonomi
Kerugian ekonomi akibat stunting berhubungan erat dengan
peningkatan pengeluaran biaya kesehatan dan biaya yang timbul dalam
merawat anak yang sakit. Peningkatkan pengeluaran rumah tangga
untuk perawatan anak yang sakit akibat infeksi berhungan secara
langsung dengan stunting. Berdasarkan penelitian dari Nepal, sekitar
10% dari total penduduk dilaporkan sakit, 69% di antaranya mencari
pelayanan kesehatan, dan menghabiskan antara 2,5% hingga 4,3%

4
total per kapita pengeluaran rumah tangga tahunan mereka untuk
pelayanan kesehatan (Pokhrel and Sauerborn, 2004).
Dari hasil perhitungan yang dilakukan (Brigitte Sarah Renyoet,
dkk. 2013) balita stunting memberikan potensi kerugian ekonomi
keluarga maupun Negara dilihat dari faktor risiko yang disebabkan
oleh stunting yaitu rendahnya imun berakibat pada tingginya risiko
terkena penyakit infeksi serta kelebihan berat badan yang
mengakibatkan obesitas. Hal ini dapat dicegah dengan memperhatikan
1.000 HPK bagi ibu dan balita. Karena 1.000 HPK merupakan masa
periode emas pertumbuhan bayi sebagai system imun agar terhindar
dari permasalahan gizi dan kesehatan.

2. Konsekuensi Jangka Panjang


a. Konsekuensi Kesehatan
Pada penelitian tindak lanjut pada intervensi yang dilakukan oleh
Kathryn G. Dewey dan Khadija Begum di Guetemala menunjukkan
bahwa stunting memilki efek jangka panjang pada perkembangan
kognitif, prestasi sekolah,produktivitas ekonomi pada masa dewasa
dan hasil reproduksi ibu. Seorang wanita yang kurang dari 145 cm
dianggap kerdil, yang menghadirkan risiko bagi kelangsungan hidup,
kesehatan dan perkembangan keturunan. Prevalensi stunting pada
perempuan yang tertinggi ada di Asia Selatan/ Tenggara seperti di
Bangladesh 15% dan di beberapa bagian Amerika Latin seperti di
Guetamala 29%.(Dewey and Begum, 2011)
Konsekuensi dari stunting pada masa kanak-kanak terkait jangka
panjang dengan konsekuensi jangka panjang antara lain menurunkan
perawakan saat dewasa, meningkatkan obesitas dan terkait dengan
angka kesakitan, dan menurunkan kesehatan reproduksi.Wanita yang
stunting pada masa anak-anaknya memiliki panggul yang lebih sempit
dan mengakibatkan persalinan berjalan lambat dan berdampak pada
kematian perinatal (lahir mati dan kematian selama 7 hari pertama
setelah kelahiran). Bayi dengan ibu pendek memiliki risiko kematian
40% lebih tinggi dibanding yang tidak. Peningkatan risiko kematian
bayi ini sebanding dengan peningkatan risiko pada kematian bayi

5
akibat orang tua yang tidak memilki pendidikan dan di keluarga
miskin. Selain itu wanita yang memiliki tinggi badan kurang dari 145
cm memiliki risiko lebih besar mengalami asfiksia atau bayi
kekurangan oksigen di otak saat lahir. (Visser, 2016)

b. Konsekuensi pada perkembangan


Stunting juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan balita
sebagai dampak jangka panjang. Terdapat penelitian di Bangladesh
dengan melibatkan 994 anak perempuan dan 987 anak laki-laki yang
ibunya berpartisipasi pada intervensi gizi pada ibu hamil dan bayi.
Penelitian cohort tersebut diikuti sejak subjek lahir sampai pubertas,
yaitu tahun 2001 sampai 2017. Subjek laki-laki yang terindikasi
stunting pada usia 12 bulan sebesar 37,2% sedangkan perempuan
sebesar 31,6%. Setelah diikuti selama 16 tahun, didapatkan hasil
bahwa subjek yang terindikasi stunting pada usia 12 bulan (HR 0,70;
95% CI 0,60-0,84) memiliki keterlambatan dalam perkembangan
pubertas dan usia pertama menstruasi (Svefors et al, 2019).
Selain itu, penelitian dengan desain cross sectional di Kota Kupang
dan Kabupaten Sumba Timur, NTT pada bulan Maret-Desember 2012
mendukung penelitian di atas dari segi perkembangan kognitif.
Terdapat 25,66% dari 265 siswa di Kota Kupang dan 31,75% dari 274
siswa di Kabupaten Sumba Timur yang stunting. Prosentase tersebut
melebihi ambang batas derajat kesehatan masyarakat, yaitu 10% yang
menandakan adanya masalah serius pada sumber daya manusia. Di
Kota Kupang, sebesar 41,18% dari siswa stunting dan 18,39% dari
siswa stunting di Kabupaten memiliki prestasi belajar yang kurang.
Menurut Baker (2008), penting menjaga anak dari stunting karena
berkaitan dengan tingkat kecerdasan dan produktivitas kerja di masa
mendatang (Intje dan Sarci, 2013).

c. Konsekuensi ekonomi
Jumlah kelahiran yang tinggi dan meningkatnya kejadian stunting
pada balita menyebabkan potensi kerugian ekonomi yang juga tinggi
karena setiap bayi yang lahir sebagai sumber daya manusia yang baru

6
memiliki nilai ekonomi produktivitas masing-masing. Menurut WHO
(2013), stunting juga bisa memberikan dampak ekonomi jangka
pendek dan jangka panjang. Dampak jangka panjang yaitu penurunan
kemampuan, produktivitas dan kapasitas kerja, sedangkan jangke
pendek yaitu peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan. Secara
nasional, stunting pada balita menyebabkan penurunan produktivitas
2% dan 9%, yaitu Rp 3.057 miliar-Rp 13.758 miliar atau 0,04%-0,16%
dari total PDB Indonesia tahun 2013. Provinsi Jawa Tengah merupakan
provinsi dengan potensi nilai kerugian ekonomi tertinggi sebesar Rp
435 miliar-Rp 1.957 miliar atau persentase kehilangan potensi
ekonomi akibat penurunan produktivitas provinsinya sekitar 0,08%
pada penurunan produktivitas 2% dan 0,35% penurunan produktivitas
9% terhadap PDRB. Masalah stunting memengaruhi tingkat
produktivitas bagi pemasukan ekonomi yang dapat meningkatkan
pengeluaran negara.

D. FAKTOR RESIKO
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian stunting
diantaranya:
1. Status Gizi Ibu saat Hamil
Pengamatan terhadap penambahan BB selama hamil dengan
pemeriksaan antropometri, pemantauan BB sebelum hamil, dan
pemantauan BB bumil saat kunjungan pertama merupakan cara
pemantauan status gizi ibu hamil, menurut Sulistyoningsih.
LiLA (Lingkar Lengan Atas) serta pengukuran kadar Hb darah juga
dapat dijadikan cara lain untuk menentukan status gizi ibu hamil. Selain
itu untuk menentukan status gizi ibu hamil dapat dengan cara:
a. Memantau penambahan BB, selain bertujuan untuk memantau
pertumbuhan janin.
b. Mengukur LiLA, tujuannya untuk mengetahui risiko KEK serta untuk
mencegah risiko melahirkan BBLR. LiLA WUS (Wanita Usia Subur)
memiliki ambang batas 23,5 cm.
c. Mengukur kadar Hb, bertujuan ntuk mengetahui apakah seseorang
menderita anemia gizi (Waryana, 2010). Status gizi serta status anemia

7
sangat berpengaruh terhadap angka kejadian BBLR di Mataram (Ni
Putu Karunia Ekayani, 2011).
Menurut Murliyanti, Notobroto and Hidayati (2015),
perkembangan dan masa pertumbuhan anak ditentukan dari kecukupan
gizi ibu saat hamil yang sangat mempengaruhi status gizi anak dalam
kandungannya.

2. Diare
Diare merupakan salah satu infeksi saluran pencernaan yang dapat
mengganggu penyerapan makanan sehinggi seseorang dapat kehilangan
zat gizi. Penyerapan zat gizi seperti protein, karbohidrat, dan lemak akan
terganggu apabila balita mengalami diare (Margawati dan Astuti, 2018).
Diare merupakan masalah utama yang menyumbangkan angka 95%
terhadap kejadian stunting di Negara berkembang dan secara
globalmenyumbangkan 95% presentase stunting (Danaei et al., 2016).
Terdapat penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Simolawang, Surabaya yang melibatkan masing-masing 33 balita usia 24-
59 bulan sebagai kelompok kasus dan kontrol. Dengan desain kasus
kontrol didapatkan hasil bahwa balita yang memiliki riwayat penyakit
diare, berisiko stunting 3,619 kali (72,2%) lebih besar daripada balita yang
jarang atau tidak mengalami diare. Dapat disimpulkan bahwa salah satu
factor risiko yang signifikan berpengaruh terhadap kejadian stunting yaitu
riwayat (Adani dan Nindya, 2017)
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Bulak Banteng Surabaya dengan melibatkan 38 balita, 19
balita stunting dan 19 balita non stunting dengan desain crosssectional,
disebutkan bahwa tidak ada hasil yang signifikan antara frekuensi diare
maupun ISPA dengan balita stunting maupun non stunting. Dimana
sebanyak 66,7% balita stunting jarang menderita diare (Fatimah dan
Wirjatmadi, 2018).

3. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas)


ISPA merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan atas yang
sering dialami balita yang bahkan dapat menyebabkan kematian. Penyakit
infeksi mempengaruhi balita dalam mencerna makanan sehingga dapat

8
mengganggu penyerapan zat gizi yang akan berpengaruh terhadap
penurunan status gizinya (M, Subagio dan Margawati, 2016). Penelitian di
wilayah kerja Puskesmas Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas bertujuan
untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi stunting pada batita dengan
sampel kasus batita berstatus pendek (stunting) sebanyak 50 anak
sedangkan sampel control adalah batita normal sebanyak 50 anak.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengukuran
sedangkan analisis data menggunakan analisis data univariat, bivariate (uji
chi square), dan multivariate (uji regresi logistic ganda). Hasil analisis
bivariat pada penelitian tersebut menunjukkan hubungan faktor anak
dengan stunting didapatkan hasil kejadian stunting berhubungan secara
bermakna (nilai p < 0,05) pada batita yang menderita penyakit infeksi
( OR = 8,84), dan pelayanan kesehatan dan imunisasi yang kurang baik
(OR = 3,17). Diintrepretasikan faktor anak yaitu batita yang sering sakit
infeksi akan berisiko 8,84 kali untuk menderita stunting. Sedangkan
berdasarkan analisis multivariate diperoleh tiga variable yang
menunjukkan faktor resiko yang bermakna pada kejadian stunting yaitu
penyakit infeksi, sanitasi lingkungan, dan ketersediaan pangan. Variabel
yang paling dominan berhubungan dengan kejadian stunting adalah
penyakit infeksi dengan nilai OR yang paling besar yaitu 8,28 artinya
bahwa anak yang sering menderita penyakit infeksi berisiko mengalami
stunting 8,28 kali lebih besar dibandingkan anak sehat (Kusumawati et al.,
2013).

4. Asupan Energi
Stunting (pendek) adalah ganguan pertumbuhan linier yang
merupakan akibat dari malnutrisi asupan zat gizi kronis atau infeksi kronis
maupun berulang yang diketahui apabila nilai z-score tinggi badan
menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD (Aridiyah, Rohmawati dan
Ririanty, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan jenis
kelamin perempuan memiliki risiko lebih rendah 29% mengalami stunting
daripada anak laki-laki dengan nilai OR= 0,71. Hasil penelitian lain
menyebutkan bahwa 54,9% anak yang konsumsi energi rendah berstatus
gizi stunting dan terdapat pada anak berjenis kelamin laki-laki sebesar

9
60,5%. Penelitian dengan desain cross sectional yang melibatkan 3005
anak berusia 13-36 bulan sebagai populasi dan diambil 97 anak sebagai
sampel tersebut menyatakan bahwa kejadian stunting pada anak usia 13-36
bulan di wilayah kerja Puskesmas Tuminting Kota Manado lebih banyak
pada anak usia 25- 36 bulan daripada pada anak usia 13-24 bulan.
persentase yang terbanyak adalah defisiensi energi yaitu ada 67 orang
(69,1%), sedangkan asupan energi normal ada 30 orang (30,9%)
(Tangkudung, 2014).
Asupan energi kurang yang terjadi pada anak-anak usia 13-36
bulan di wilayah kerja Puskesmas Tuminting karena faktor-faktor yang
dapat berpengaruh terhadap pemilihan makanan anak yaitu dalam
kebiasaan menerima makanan, dan pengaruh dari orangtua yaitu
ketersediaan makanan dan pengetahuan gizi dari orang tua tersebut
(Almatsier dkk, 2011). Asupan energi kurang lebih banyak terjadi pada
usia 13-24 bulan, hal tersebut dipengaruhi oleh perilaku makan anak
tersebut yang susah/rewel makan, makanan yang dikemut di mulut dan
meminta makanan yang sama setiap makan (Soetardjo, 2011).

5. Asupan Fe
Fe merupakan salah satu mikromineral yang berfungsi dalam
pembentukkan sel darah merah (Hb). Fe berfungsi sebagai pembentuk
mioglobin, kolagen, dan sebagai sistem pertahanan tubuh (Is
Susiloningtyas, 2015). Berdasarkan data penelitian anak yang mengalami
stunting sebanyak 39 anak, terdapat 7 anak (17,9%) memiliki asupan zat
besi yang cukup dan terdapat 32 anak (82,1%) memiliki asupan zat besi
yang kurang. Pola asupan zat besi yang kurang pada penelitian ini lebih
banyak dimiliki oleh anak yang mengalami stunting dibandingkan dengan
anak yang tidak mengalami stunting dengan nilai p =<0,001.

6. Asupan Kalsium
Kalsium berfungsi terhadap pembentukkan kekuatan tulang karena
kalsium dapat membentuk ikatan kompleks dengan fosfat sehingga apabila
seseorang mengalami defisiensi kalsium dapat mengganggu pertumbuhan.
Pada penelitian observasional analitik dengan metode kuantitatif dan

10
desain cross sectional yang dilakukan di Kecamatan Pontianak Timur dan
Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak pada bulan Juli-Agustus 2015.
Sampel terdiri dari 90 anak umur 24-59 bulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 90 sampel, 37 balita stunting 31 balita terbukti
asupan kalsiumnya rendah (58,49%) dan 6 balita lainnya dikategorikan
cukup (16.22%). Sedangkan 53 balita yang tidak stunting, diketahui 22
balita memiliki asupan kalsium yang rendah (41.51%) dan 31 balita
lainnya dinyatakan cukup asupan kalisumnya (83.78%). Prevalensi
stunting pada kelompok balita dengan asupan kalsium rendah lebih besar
3.625 kali daripada kelompok balita dengan asupan kalsium cukup, Hal ini
sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa tinggi badan dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain asupan kalsium (Sari et al.,
2014).

7. ASI Eksklusif
Faktor penting dalam menentukkan pertumbuhan dan
perkembangan salah satunya yaitu dengan pemberian ASI Eksklusif dan
pemberian MPASI yang tepat. Pemberian ASI Eksklusif pada enam bulan
pertama dapat menurunkan angka stunting dan meningkatkan
kelangsungan hidup. ASI Eksklusif yang diberikan pada bayi BBLR akan
memberi kesempatan dalam mengejar pertumbuhan.
Pada suatu penelitian dengan jenis penelitian observasional analitik
dengan rancangan crosssectional. Data penelitian di analisis di yogyakarta
pada bulan November 2014 dengan menggunakan daa riskesdas yang
diambil pada tanggal 1 Mei hingga 30 Juni 2013 di 33 provinsi, 497
kabupaten/kota di Indonesia. Dengan metode sampling yang digunakan
dalam Riskesdas 2013. Sampel pada penelitian ini berjumlah 6.956 anak
usia 6-23 bulan diambil scara purposive berdasarkan kriteia inklusi dan
eksklusi.
Distribusi kejadian stunting dan praktik pemberian ASI eksklusif
beserta variabel-variabel yang berhubungan seperti berat badan lahir, IMD,
makanan prelakteal, usia pemberian MPASI, sakit saat neonatus dan
penyakit infeksi. Dari total subjek penelitian, sebanyak 34,73% menderita
stunting dan 52,85% tidak mendapat ASI eksklusif. Hasil analisis
bivariabel menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif justru cenderung

11
berhubungan secara positif dengan kejadian stunting (OR=1,19; 95%
CI:1,06 – 1,33).

8. Penggunaan Yodium dalam Rumah Tangga


Zat gizi mikro yang mempunyai fungsi sebagai pembentuk hormon
tiroid, tiroksin, dan triiodotironim yaitu yodium. Yodium merupakan zat
gizi mikro yang secara alami terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang
sangat sedikit, hormone yang dihasilkan oleh yodium berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan (Kusuma and Budiono, 2016). Kualitas
sumber daya manusia dipengaruhi oleh salah satunya tercukupinya
konsumsi yodium. Jika konsumsi yodium tidak tercukupi akan
menyebabkan terganggunya pertumbuhanan perkembangan seperti kreatin
dan menurunnya kecerdasan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah cakupan garam yodium yang memenuhi syarat mengalami
peningkatan dari tahun ketahun, yaitu pada tahun 2013 sebesar 70,52%,
pada tahun 2014 sebesar 76,07% tahun 2015 sebesar 78,97%, dan tahun
2016 sebesar 81,29%, dari data tersebut diharapkan 90% masyarakat
mengkonsumsi garam yodium (Wardani, 2018).
Pada penelitian dengan menggunakan rancangan cross sectional
yang dilakukan diwilayah Puskesmas Bangetayu Kecamatan Genuk Kota
Semarang, mengunakan sampel 69 anak diperoleh dengan metode Simple
Random Sampling. Data asupan diperoleh melalui Semiquantitative Food
Frequency Questionnaire. Pengukuran status yodium dilakukan di
laboratorium GAKI Fakultas Kedokteran UNDIP dengan sampel urine.
Data dianalisis menggunakan uji korelasi rank spearman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rerata panjang badan subjek yaitu 75,3±4,4 cm.
Median status yodium yaitu 299 mg/L dengan nilai maksimum 338 mg/L
dan minimum 36 mg/L. Sebanyak 94,2% subjek memiliki status yodium
dengan kategori tinggi. Tidak terdapat hubungan signifikan antara status
yodium dan panjang badan pada anak stunting usia 12-24 bulan (p=0,948)
dan asupan yodium juga tidak memiliki hubungan yang signifikan
(p=0,675). (Sulistyaningsih, Panunggal and Murbawani, 2018).

9. Frekuensi Makan

12
Jumlah makanan sehari-hari yang dikonsumsi baik kualitatif
maupun kuantitatif disebut frekuensi makanan (Rambu and Loya, 2017).
Pertumbuhan balita yang optimal dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas
makanan. Pemberian makanan untuk balita seperti ASI, MP-ASI, maupun
susu formula dapat melihat frekuensi pemberian makanan untuk balita.
Frekuensi makan balita yang diberikan saat ini dapat mempengaruhi
pertumbuhan balita di masa yang akan datang (Rambu and Loya, 2017).
Menurut DEPKES RI, pemberian frekuensi makanan yang tepat bagi bayi
usia 6-12 bulan yaitu makanan lumat atau lembek dengan frekuensi makan
3 kali sehari (Rambu and Loya, 2017). Frekuensi makan dan bahan makan
MP-ASI yang tidak beragam dapat meningkatkan risiko kekurangan zat
gizi, sehingga menyebabkan stunting.
Pada bulan Juni – Oktober 2017 dilakukan penelitian di Desa
Lebak Mekar, Kecamatan Greged, Kabupaten Cirebon. Prevalensi stunting
tertinggi pada balita berada di Kabupaten Cirebon, yaitu sebesar 22,28%
sehingga ditetapkan sebagai lokasi penelitian. Populasi target dalam
penelitian ini adalah semua anak usia 6-24 bulan di Kabupaten Cirebon.
Subjek penelitian diperoleh dengan menggunakan metode consecutive
sampling dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 84
subjek. Kemudian subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu stunting dan
tidak stunting dengan masing-masing kelompok berjumlah 42 subjek
menunjukkan hasil kelompok usia 9-24 bulan, mengkonsumsi MPASI
dengan frekuensi yang rendah yaitu ≤2 kali/hari dan 2-3 kali/hari
(Nurkomala, Nuryanto and Binar, 2018). Sehingga dapat dilihat dari
jumlahnya, frekuensi konsumsi MPASI rendah lebih banyak terjadi
pada kelompok stunting, yaitu sebanyak 32.35% subjek memiliki
frekuensi konsumsi ≤2 kali/hari, sedangkan pada kelompok tidak
stunting sebanyak 16.21% (Nurkomala, Nuryanto and Binar, 2018).

10. Umur Balita


Berdasarkan WHO 2005 dengan nilai zscore kurang dari -2SD atau
-3SD merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi
kronis sehingga anak terlalu pendek dari tinggi badan yang disebut
Stunting. Faktor - faktor yang mempengaruhi stunting yaitu usia seorang

13
anak, status pekerjaan kepala rumah tangga, ukuran keluarga, dan
pendidikan ayah.
Berdasarkan hasil penelitian lain di Puskesmas Cepu Kabupaten
Blora, yang menggunakan jenis penelitian kuantitatif yang bersifat analitik
observasional dengan pendekatan kasus kontrol diketahui bahwa sampel
berdasarkan umur balita 24 – 59 bulan menunjukkan bahwa kelompok
usia 24–35 bulan persentasenya lebih banyak terdapat pada kelompok
balita stunting (71,1%) dibandingkan dengan kelompok balita normal
(60,5%), sedangkan pada kelompok balita usia 36–59 bulan, persentasenya
lebih banyak terdapat pada kelompok balita normal (39,5%) dibandingkan
dengan kelompok balita stunting (28,9%) (Aini, dkk, 2018).

11. Berat Badan Lahir Rendah


Bayi lahir yang memiliki berat badan lahir kurang dari 2500 gram
disebut dengan BBLR. Bayi yang lahir dengan BBLR 20 kali lebih
beresiko kematian dibandingkan dengan bayi berat badan normal.
Persalinan prematur (pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu bayi
sudah dilahirkan) ataupun Intrauterin Growth Restriction (IUG)
merupakan penyebab terjadinya BBLR. Berdasarkan derajatnya, bayi
BBLR yaitu Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-
2499 gram, Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR) dengan berat lahir
1000-1499 gram, dan Berat Badan Lahir Ekstrem Rendah (BBLER)
dengan berat lahir <1000 gram. (Anggraini and Septira, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Wellina dengan desain penelitian
yang digunakan adalah kasus kontrol,dengan kriteria inklusi anak berusia
12-24 bulan, diwilayah kerja puskesmas Brebes Kabupaten Brebes, lahir
cukup bulan, orang tua bersedia menjadi responden, subjek sejumlah 77
anak stunting dan 77 anak tidak stunting untuk kontrol. Hasil penelitian
hubungan antara berat badan lahir dengan stunting didapatkan bahwa
proposi baduta dengan berat badan lahir rendah lebih cenderung menjadi
stunting yaitu sebesar 3,63 kali dibandingkan dengan baduta yang berat
badan lahirnya normal. Baduta dengan panjang badan lahir rendah
mempunyai risiko 6,29 kali lebih besar untuk menjadi stunting daripada
baduta dengan panjang badan lahir normal. Hasil uji statistik menunjukan
adanya ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir rendah

14
dengan stunting. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya,
yang menyimpulkan bahwa riwayat Berat Badan Lahir Rendah
mempengaruhi kejadian stunting pada anak 1-2 tahun (p=0,002, OR=1,75;
95% CI: 1, 09-2,29). Janin yang kekurangan nutrisi didalam kandungan
dapat menyebabkan BBLR, sedangkan malnutrisi dalam jangka waktu
yang lama menyebabkan Stunting. (Wellina, Kartasurya and Rahfilludin,
2016).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Christian et al, turut
mendukung teori yang dilakukan oleh penelitian ini. Berdasarkan
penelitian tersebut menunjukkan bahwa berat lahir rendah merupakan
faktor risiko stunting pada anak usia 12-60 bulan di negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah (OR=2,92; 95%CI, 2.56-3.33).
Adanya hubungan BBLR dengan stunting merupakan faktor yang
cenderung memiliki faktor risiko, yaitu baduta yang terlahir BBLR 3,6 kali
lebih berisiko mengalami stunting dibandingkan dengan baduta yang tidak
BBLR.

12. Defisiensi Vitamin A


Anak yang mengalami defisiensi vitamin A memiliki
kecenderungan mengalami stunting karena vitamin A mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan sel, apabila anak mengalami defisiensi
vitamin A dapat merusak system kekebalan tubuh serta dapat
meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti campak dan diare. Hal ini
ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh wiwien fitrie pada tahun
2013 di kecamatan brebes, penelitian menunjukkan bahwa 72,7% (n=56)
baduta yang kurang taat konsumsi vitamin A mengalami stunting dan
angka tersebut lebih besar dibandingkan baduta yang normal

15
13. Tingkat kecukupan energi, protein, zinc, pada anak stunting
Penelitian menunjukkan anak yang tingkat kecukupan energi,
protein, seng dalam kategori kurang berisiko menjadi stunting dilihat dari
p<0,005 yang berate ada hubungan bermakna TKE (p=0,001) sedangkan
ketaatan dalam mengkonsumsi vitamin A yang sesuai umur bukan
merupakan faktor resiko dimana p=0,299.
Kurangnya asupan energi, protein dan seng merupakan faktor
risiko terjadinya stunting. Baduta yang tingkat kecukupan proteinnya
kurang memiliki kemungkinan menjadi stunting sebesar 7,65 kali
dibandingkan dengan baduta yang tingkat kecukupan proteinnya baik dan
baduta yang tingkat kecukupan sengnya rendah memiliki peluang stunting
sebesar 8,78 kali dibandingkan dengan baduta yang tingkat kecukupan
sengnya baik.
Penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Bogor menunjukkan
bahwa tingkat asupan energy anak normal hamper sebagian tercukupi
namun pada kelompok anak stunting masih rendah. Sedangkan penelitian
lain yang dilakukan di Brazil pada anak sekolah menunjukkan bahwa
asupan protein yang tidak adekuat berhubungan signifikan dengan
stunting.
Defisiensi zinc juga dapat mempengaruhi perubahan pada beberapa
sistem organ seperti sistem saraf pusat, saluran pencernaan, sistem
reproduksi dan fungsi pertahanan tubuh. Anak usia 12-24 bulan
mempunyai risiko mengalami anemia defisiensi besi karena meningkatnya
kebutuhan zat besi serta makanan yang tidak cukup mengandung zat besi.
Defisiensi seng juga dapat disebabkan karena adanya defisiensi zat besi.
Interaksi zat besi dan seng berdampak pada hambatan pertumbuhan tinggi
badan sehingga anak terlahir pendek. Defisiensi seng dapat mengakibatkan
gagal tumbuh s, penurunan nafsu makan, dan penyembuhan luka yang
lambat.

14. Penanganan Limbah


Berdasarkan Pasal 1 angka (20) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Limbah

16
adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Sedangkan limbah rumah
tangga adalah limbah yang dihasilkan dari satu atau beberapa rumah.
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2014,
menunjukkan bahwa berbagai intervensi perilaku melalui modifikasi
lingkungan dapat mengurangi angka kejadian diare sampai dengan 94%
melalui pengolahan air yang aman dan penyimpanan di tingkat rumah
tangga dapat mengurangi angka kejadian diare sebesar 32%, meningkatkan
penyediaan air bersih dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 25%
dan melakukan praktek mencuci tangan yang efektif dapat menurunkan
kejadian diare sebesar 45% Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang
mencakup 5 pilar, yaitu: 1) Stop BABs (Buang Air Besar sembarangan), 2)
Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), 3) Pengelolaan Air Minum dan
Makanan yang aman di Rumah Tangga (PAM RT), 4) Mengelola sampah
dengan benar dan 5) Mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman.
(Syahrizal, 2018)
Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai kebersihan diri dan lingkungan, keterbatasan dan kurang
terjangkaunya sarana air bersih, kualitas lingkungan yang kurang baik,
kurangnya penggunaan jamban yang sehat, tidak tersedianya sarana
penampungan limbah atau sampah yang memadai juga merupakan faktor
yang mempengaruhi kurang baiknya pola asuh Ibu yang diberikan pada
anaknya
Data dari Water Sanitation Program (WSP) World Bank
menunjukkan bahwa masih tingginya angka kematian bayi dan balita, serta
kurang gizi sangat terkait dengan masalah kelangkaan air bersih dan
sanitasi. (Bulan et al., 2018)
Menurut hasil penelitian di India dengan menggunakan metode
cross sectional mengatakan bahwa prevalensi hasil stunting berkisar dari
25% sampai 50% di tiga study. Praktek mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan (OR = 0,85, 95% CI 0,76-0,94), setelah buang air
besar(OR = 0,86, 95% CI 0,80 - 0,93) berbanding terbalikterkait dengan
stunting anak. Perbaikan kondisi sanitasi dan praktik kebersihan dikaitkan
dengan berkurangnyaprevalensi stunting di pedesaan India. Kebijakan
danpemrograman yang bertujuan untuk mengatasi anak stunting

17
seharusnyameliputi intervensi WASH, sehingga menggeser penekanan dari
nutrisi-spesifik untuk nutrisi-sensitif pemrograman (Rah et al., 2015)

15. Ketersediaan Jamban


Sanitasi dasar merupakan sanitasi minimum dalam rangka
penyediaan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang
menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan dan dapat
mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Penyediaan air bersih,
pembuangan kotoran manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran
pembuangan air limbah merupakan upaya upaya sanitasi dasar.
Berdasarkan konsep dan definisi Milenium Development Goals
(MDGs) yang pada tahun 2016 dilanjutkan dengan Sustainable
Development Goals (SDGs), rumah tangga dapat dikatakan memiliki
akses sanitasi layak apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi
syarat kesehatan antara lain dilengkapi dengan leher angsa, tanki septik
(septic tank)/Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL) yang digunakan
sendiri atau bersama. Di Indonesia persentase rumah tangga yang
memiliki akses terhadap sanitasi layak pada tahun 2014 sebesar 61,08%
dan meningkat ditahun 2015 menjadi 62, 14% (Novitry, 2017)
Di Indonesia salah satu pemasalahan sanitasi yang masih banyak
terjadi adalah perilaku masyarakat yang masih terbiasa buang air besar
(BAB) di sembarang tempat. Data yang diperoleh dari sekretariat Sanitasi
Terpadu Berbasis Masyarakat (STBM), pada tahun 2015 sebanyak 62 juta
penduduk pedesaan masih belum memiliki akses terhadap sanitasi yang
layak dan 34 juta diantaranya masih melakukan praktik buang air besar
sembarangan (Hafid, 2017).
Ada banyak faktor yang memengaruhi tinggi badan salah satu
diantaranya adalah faktor kesehatan lingkungan, penelitian dengan desain
kohor retrospektif yang dilakukan (Hafid, 2017) di Kabupaten Banggai
dan Sigi ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara Z-
Score panjang badan menurut umur di kelompok buang air besar
sembarangan dibanding dengan kelompok yang tidak buang air besar
sembarangan (p=0,000). Z-Score Panjang badan menurut umur kelompok
tidak buang air besar sembarangan rata-rata -0,31±1,6 lebih tinggi
dibanding pada kelompok buang air besar sembarangan yaitu -0,96±1,5.

18
Prevalensi stunting pada kelompok buang air besar sembarangan juga
lebih rendah 8,6% dibanding dengan kelompok yang buang air besar
sembarangan yaitu 19,1% dengan perbedaan signifikan p=0,017.
Pada penelitian cross-sectional yang dilakukan (Torlesse et al.,
2016) di Klaten, Sikka, dan Jayawijaya menunjukkan ada hubungan
signifikan antara fasilitas sanitasi rumah tangga, pengolahan air rumah
tangga dengan stunting.
Prevalensi stunting secara signifikan lebih tinggi di antara anak-
anak yang tinggal di rumah tangga tanpa memiliki jamban yaitu sebesar
35,3% dibandingkan yang memiliki jamban 24,0%.

E. INTERVENSI
1. Kontribusi Pemerintah Indonesia
Stunting terutama disebabkan karena ada pengaruh dari pola asuh,
cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, dan ketahanan
pangan, maka berikut ini mencoba untuk membahas dari sisi pola asuh dan
ketahanan pangan tingkat keluarga. Dari kedua kondisi ini dikaitkan
dengan strategi implementasi program yang harus dilaksanakan. Terdapat
dua tindakan sebagai cara menurunkan angka stunting yaitu tindakan
Pencegahan dan tindakan penanganan atau penanggulangan.

a. Pencegahan

Stunting dapat dilakukan pada 1000 HPK atau mulai kehamilan


hingga anak usia 2 tahun. Upaya pencegahan stunting yang konvergen

19
dan terintegrasi perlu segera dilakukan. Sejak akhir tahun 2017,
Kementerian PPN/Bappenas telah meluncurkan “Intervensi
Pencegahan Stunting Terintegrasi” sebagai upaya komprehensif
dengan pendekatan multi sektor. Upaya ini mencakup intervensi multi
sektor yang cukup luas mulai dari akses makanan, layanan kesehatan
dasar termasuk akses air bersih dan sanitasi, serta pola pengasuhan.
Hal ini menegaskan kembali bahwa permasalahan stunting bukanlah
semata-mata masalah sektor kesehatan tetapi melibatkan faktor-faktor
lain di luar kesehatan. Sebagai langkah awal, pada tahun 2018
sebanyak 100 kabupaten/kota dan 1000 desa telah terpilih sebagai
fokus area intervensi. Selanjutnya, untuk tahun 2019, 60
kabupaten/kota dan 600 desa telah ditambahkan sebagai area fokus
intervensi pencegahan stunting terintegrasi.

b. Penanggulangan atau penanganan


Penanggulangan dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu perbaikan
pola asuh, pola makan, dan pemanfaatan air bersih sebagai cara
menghindari infeksi yang menjadi salah satu factor utama penyebab
stunting.

i. Pola Asuh
Pola asuh termasuk diantaranya adalah Inisiasi Menyusu Dini
(IMD), menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan pemberian
ASI dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI (MPASI) sampai
dengan 2 tahun merupakan proses untuk membantu tumbuh
kembang bayi dan anak.
Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh ada pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
128, Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015.
Isi UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 128 adalah :
 Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan
selama 6 bulan, kecuali atas indikasi medis.

20
 Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Sedangkan isi PP Nomor 33 Tahun 2013 tentang ASI yang
menyebutkan:
 Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif.
Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk
- menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI
Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam)
bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya
- memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan
ASI Eksklusif kepada bayinya; dan
- meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat,
pemerintah daerah, dan pemerintah terhadap pemberian ASI
Eksklusif.
 Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan
kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi
yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu)
jam. Inisiasi menyusu dini sebagaimana dimaksud dilakukan
dengan cara meletakkan bayi secara tengkurap di dada atau
perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada kulit ibu.

ii. Pola Makan


Pemberian makanan sesuai pola isi piringku yaitu dengan porsi
seimbang dimana porsi makanan pokok sama dengan sayur dan
porsi lauk sama dengan buah. Porsi makanan pokok dan sayur
adalah 2/3 dan 1/3 lainnya adalah untuk porsi lauk dan buah.
Makanan pokok berfungsi sebagai sumber KH, sayur-sayuran
sebagai sumber vitamin dan serat, lauk pauk sebagai sumber
protein, buauh- buahan sebagai sumber vitamin dan serat.

iii. Air Bersih dan Sanitasi


Selain pola asuh dan pola makan, kebersihan dan juga sanitasi
lingkungan perlu diupayakan karena salah satu factor utama

21
penyebab stunting adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
kurang terpeliharanya kebersihan diri dan lingkungan.

c. Intervensi gizi spesifik dan sensitive


Selain upaya pencegahan dan penanggulangan, dalam mengatasi
permasalahan gizi stunting ini, pemerintah telah menetapkan Peraturan
Presiden Nomor 42 Tahun 2013 yang mengatur mengenai Pelaksanaan
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Peta Jalan Percepatan
Perbaikan Gizi terdiri dari empat komponen utama yang meliputi
advokasi, penguatan lintas sektor, pengembangan program spesifik dan
sensitif, serta pengembangan pangkalan data. ada pula strategi utama
penurunan stunting: pendekatan multisektor dan intervensi terintegrasi
yang meliputi intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitive.

i. Intervensi gizi spesifik


Intervensi gizi spesifik adalah intervensi yang bersifat langsung.
- Suplementasi gizi makro danmikro (TTD)
- Vitamin A,taburia)
- ASI Eksklusif,MP-ASI
- Fortifikasi
- Kampanye giziseimbang
- Kelas ibuhamil
- Obatcacing
- Penanganan kekurangangizi
- JKN

ii. Intervensi gizi sensitive


Intervensi gizi spesifik adalah intervensi yang bersifat tidak langsung
yang meliputi:
- Air Bersih, Sanitasi
- Fortifikasi-KetahananPangan
- Akses kepada Layanan Kesehatan dan KB
- JKN, Jampersal, Jamsoslain
- Pendidikan Pola Asuh Ortu.
- PAUD HI-SDIDTK
- Pendidikan Gizi Masyarakat.
- Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizipada
Remaja

22
- Program Padat KaryaTunai

Intervensi perlu dilakukan secara bersama-sama oleh


kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan lainnya.
Penanganan stunting tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri (scattered)
karena tidak akan memiliki dampak yang signifikan. Upaya
pencegahan stunting harus dilakukan secara terintegrasi dan
konvergen dengan pendekatan multi sektor. Untuk itu, pemerintah
harus memastikan bahwa seluruh kementerian/lembaga serta mitra
pembangunan, akademisi, organisasi profesi, organisasi masyarakat
madani, perusahaan swasta, dan media dapat bekerjasama bahu-
membahu dalam upaya percepatan pencegahan stunting di Indonesia.
Tidak hanya di tingkat pusat, integrasi dan konvergensi upaya
pencegahan stunting juga harus terjadi di tingkat daerah sampai
dengan tingkat desa.

F. TUJUAN PROGRAM
Menurunkan prevalensi angka stunting pada balita di Kecamatan Guntur
Kabupaten Demak khususnya di wilayah kerja Puskesmas Guntur II sebesar
2% dalam satu tahun dengan memberikan beberapa program kegiatan selama
12 bulan, paling lambat kegiatan 5 September 2020.

23
G. SASARAN
Sasaran primer yaitu kepada remaja, calon pengantin, calon ibu hamil, balita,
dan ibu hamil KEK
Sasaran sekunder yaitu suami, ayah, dan ibu.
Sasaran tersier yaitu DKK, SKPD, Dikpora, Dikbud, dan KUA.

H. RENCANA KEGIATAN
Implementasi program akan mengintegrasikan strategi peningkatan
pengetahuan dan perubahan perilaku pada remaja, calon pengantin, ibu hamil
dan keluarga dekat dengan pengembangan intervensi yang landasan teorinya
kuat. Kegiatan yang akan diselenggarakan untuk mencapai tujuan adalah
sebagai berikut:

1. Buku Resep Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berbasis pangan


lokal
2. Tikar pertumbuhan
3. Posyandu remaja
4. Sertifikat pada kelas ibu hamil
5. Pengadaan dan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

I. RENCANA MONITORING & EVALUASI


1. Indikator Spesifik
Kegiatan Indikator Ibu Hamil
a. Perlindungan terhadap kekurangan zat besi, asam folat dan
kekurangan energi dan protein kronis

1) % cakupan suplementasi besi-folat

2) % cakupan supplemen ibu dengan zat gizi mikro

3) % ibu hamil mengkonsumsi energi < 70% AKG)

4) Jumlah Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Ekslusif termasuk


konseling KB

b. Perlindungan terhadap kekurangan Iodium

% ibu mengkonsumsi garam beriodium

Ibu Menyusui

a. ASI Ekslusif

24
1) % cakupan Promosi ASI perorangan dan kelompok

2) % cakupan ibu yang memberi ASI eksklusif

3) % cakupan sasaran ter-ekspos KIE Gizi

b. Anak Umur 0 – 59 bulan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI),


imunisasi, zat gizi mikro

1) % cakupan KIE Pemberian MP-ASI

2) % cakupan Pemberian MP-ASI anak usia > 6 bulan;

3) % anak memperoleh akses garam beriodium

4) % cakupan penanganan gizi buruk akut pada anak balita

5) % cakupan suplementasi Vitamin A

6) % cakupan pengobatan kecacingan

7) % penurunan prevalensi kecacingan

8) % cakupan program Program Keluarga Harapan (PKH)

9) % cakupan imunisasi dasar

Remaja

1) % cakupan distribusi Tablet Tambah Darah (TTD)

2) % Wanita Usia Subur (WUS) yang tidak Kurang Energi Kronik


(KEK)

3) % cakupan sasaran ter-ekspos Komikasi Informasi Edukasi (KIE)


Gizi

4) % partisipasi mengikuti posyandu remaja

2. Indikator Sensitif

a. Kegiatan Indikator Pengelolaan limbah

1) % cakupan keluarga yag menggunakan TPA

2) % cakupan rumah tangga dengan Saluran Pembuangan Akhir


Limbah (SPAL) tertutup

b. Jaminan Kesehatan Masyarakat

25
1) Persentase penduduk yang tercakup program kesehatan

2) Persentase puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan


dasar bagi penduduk dengan jaminan kesehatan

3) Persentase rumah sakit yang memberikan pelayanan rujukan


dari jaminan kesehatan

c. Pelayanan Persalinan

1) Akses layanan kesehatan bagi ibu hamil dan melahirkan

2) Akses jaminan kesehatan nasional bagi ibu bersalin

d. Pendidikan Gizi Masyarakat

1) Meningkatnya materi KIE untuk sosialisasi dan advokasi

2) Meningkatnya pengetahuan masyarakat terhadap perilaku


hidup bersih dan sehat

a. Remaja Perempuan

1) Usia menikah pertama anak perempuan

2) Jumlah remaja yang mengalami kehamilan

26
BAB II

PELAKSANAAN

A. TUJUAN KEGIATAN

1. Tujuan Umum
Memberikan informasi dan advokasi serta alternatif pemecahan
masalah kepada Satuan Kerja Pemerintah Daerah dalam menanggulangi
masalah stunting di Kecamatan Guntur Kabupaten Demak, khususnya di
wilayah kerja Puskesmas Guntur II.

2. Tujuan Khusus
a. Memaparkan kejadian masalah stunting
b. Memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi stunting
c. Memaparkan dampak jangka pendek dan jangka panjang masalah
stunting
d. Memaparkan program alternatif untuk menangani masalah stunting
e. Membuat kesepakatan bersama dalam rangka untuk menangani
masalah stunting

B. MANFAAT
1. Program dapat memberikan saran kepada para pejabat di satuan kerja
perangkat daerah mengenai program alternatif untuk menanggulangi
permasalahan stunting
2. Program dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa
dalam bidang advokasi
3. Program dapat ikut berkontribusi dalam memberikan ide program untuk
kebijakan penanggulangan masalah stunting
4. Program dapat meningkatkan kesadaran pemerintah daerah untuk
mengelola pelayanan gizi.

C. DASAR KEGIATAN
Sebagai pemenuhan kompetensi keahlian mahasiswa Prodi D IV Gizi

D. TEMA KEGIATAN
Sinergi Memutus Mata Rantai Stunting untuk Mewujudkan Guntur Sehat

27
E. WAKTU PELAKSANAAN
Hari, tanggal : Rabu, 5 September 2018
Waktu : 08.00 – selesai
Tempat : Aula Kecamatan Guntur

F. PESERTA KEGIATAN
1. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Demak
2. Bagian Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Demak
3. Kepala Kecamatan Guntur
4. Ketua Puskesmas Guntur II
5. Bagian Gizi Puskesmas Guntur II
6. Bidan Koordinator Puskesmas Guntur II
7. Kesehatan Lingkungan Kecamatan Guntur
8. Kepala Desa Pamongan
9. Kepala Desa Sukorejo
10. Kepala Desa Sarirejo
11. Kepala Desa Sidokumpul
12. Kepala Desa Gaji
13. Kepala Desa Blerong
14. Kepala Desa Banjarejo
15. Kepala Desa Wonorejo
16. Kepala Desa Krandon
17. Kepala Desa Tangkis
18. Dosen Pembimbing Lapangan PKL BGM
19. KUA Kabupaten Demak
20. Ketua PKK Kecamatan Guntur
21. Kepala UPTD
22. Danramil
23. Kapolsek

G. SUSUNAN KEPANITIAAN
Pelindung : Ketua Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Semarang
Susi Tursilowati SKM, MSc. PH
Penasehat : Ketua Program Studi D IV Gizi Poltekkes Kemenkes
Semarang
Mohammad Jaelani, DCN, M. Kes
Ketua panitia : Safira Arsy Sahara
Wakil ketua : Nur Amalia Faidiyati
Koordinator : Safrin Khabila
Sekretaris : Miftahul Jannah Riri
Husna Tsabita
Bendahara : Presti Ayu Ariani
Indah Fadlun Maula
Moderator : Nur Intan Permatasari
Pemateri : Shela Rizky Tarinda

28
Ihda Rosyida Indradewi
Sie. Humas : Theo Prima Christ Alberto
RR. Nurmalita Sasi
Sie. Acara : Anita Argawati
Nur Amalia Faidyati
Sie. Perlengkapan : Elma Nurmalisa Dina
Ainun Nur Maghfirah
Sie. Konsumsi : Presti Ayu Ariani
Indah Fadlun Maula
Sie Dekdok : Irine Seylla Ayu Damayanti

H. SUSUNAN ACARA

No. Alokasi Waktu Agenda Acara PenanggungJawab


1 08.00 – 09.00 Registrasi Husna Tsabita
2 09.00 – 09.30 Menyanyikan Lagu Indonesia Safira Arsy
Raya

Sambutan :

 Laporan Ketua
Panitia
 Sambutan Ketua
Jurusan Gizi
 Sambutan Kepala
Kecamatan
 Sambutan Dinas
Kesehatan
3 09.30 – 09.45 Pemutaran Video Sie dekdok
4 09.45 – 09.50 Moderator Nur Intan Permatasari
5 09.50 – 10.05 Pembicara I

6 10.05 – 10.20 Pembicara II

8 10.20 – 10.35 Diskusi Panel I

9 10.35 – 10.50 Kesepakatan Nur Amalia Faidiyati


13 10.50 – 11.00 Penandatangan Kesepakatan Afin Ulya
14 11.00 – 11.10 Hiburan Ainun Nur M
15 11.10 – 11.20 Doa Farizy Bintang

29
16 11.20 Penutup Nur Intan permatasari

I. RENCANA ANGGARAN
1. Pemasukan

Dana Kampus Rp 5.000.000


TOTAL Rp 5.000.000

2. Pengeluaran

No Kegunaan Rincian Biaya


1 Transport
35 orang x @Rp
Transport Peserta Rp 3.500.000
100.000
Jumlah Rp 3.500.000
2 Kesekretariatan
Proposal & LPJ Rp 75.000
Print surat & Amplop Rp 55.000
Jumlah Rp 130.000
3 Sie. Konsumsi
35 orang x @Rp
Snack Peserta Rp 350.000
10.000
13 orang x @Rp
Snack Tamu Rp 130.000
10.000
73 orang x @Rp
Snack Mahasiswa Rp 365.000
5.000
Jumlah Rp 845.000
4 Sie. Perlengkapan
Handout materi 35 x @Rp 2.000 Rp 70.000
Cetak buku 3 x @Rp 35.000 Rp 105.000
Jumlah Rp 175.000
Dana Tidak
5 Rp 350.000
Terduga
Jumlah Rp 350.000
TOTAL Rp 5.000.000

30
BAB III

PENUTUP

Diharapkan hasil program ini bisa membantu pemerintah untuk menurunkan


prevalensi stunting pada balita. Hasil akhir program ini diharapkan bisa
menciptakan budaya yaitu: “Semua bayi mendapatkan awal kehidupan yang
baik dan sehat dengan menciptakan lingkungan yang sadar akan pelayanan
kesehatan dengan menjadikan pola hidup sehat dan berimbang sebagai norma,
mencegah bayi stunting sebagai standar, dan melarang ibu untuk hamil
sebelum memenuhi syarat kesehatan sebagai peraturan”

31

You might also like