You are on page 1of 15

Asuhan Keperawatan Sudden Cardiac Arrest

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kematian jantung mendadak (SCD) adalah kematian akibat kehilangan fungsi jantung.
Korban mungkin atau mungkin tidak memiliki didiagnosa penyakit jantung. Waktu dan cara
kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi dalam beberapa menit setelah gejala muncul. Alasan
yang mendasari paling umum untuk pasienmiokardia.
mati mendadak dari serangan jantung adalah penyakit
jantung koroner (buildups lemak dalam arteri yang memasok darah ke otot jantung). Sehingga
pembuluh darah sempit, otot jantung bisa berhenti karena kekurangan suplai darah.
2 Posisikan kaki lebih tinggi dari Mempercepat pengosongan vena superficial,
Dari
jantung90 % korban dewasa sudden cardiac death (SCD), dua atau lebih dari korban
disebabkan karena arteri koroner utama menyempit oleh lemak. Sedangkan dua-pertiga dari
korban ditemukan bekas luka dari serangan jantung sebelumnya. Ketika kematian mendadak
terjadi pada orang dewasa muda, kelainan jantung lainnya merupakan penyebab yang lebih
mungkin. Adrenalin dilepaskan selama aktivitas fisik atau olahraga yang sering menjadi pemicu
munculnya SCD. Dalam kondisi tertentu, berbagai obat jantung dan obat lainnya, serta
penyalahgunaan obat terlarang dapat menyebabkan irama jantung abnormal yang juga dapat
menyebabkan kematian SDC.
Serangan tiba-tiba jantung (SCA) adalah suatu kondisi dimana jantung tiba-tiba dan tak
terduga berhenti berdetak. Ketika ini terjadi, darah berhenti mengalir ke otak dan organ vital
lainnya. SCA biasanya menyebabkan kematian jika tidak dirawat dalam beberapa menit.
SCA tidak sama dengan serangan jantung . Serangan jantung terjadi ketika darah
mengalir ke bagian dari otot jantung tersumbat. Selama serangan jantung, jantung biasanya tidak
tiba-tiba berhenti berdetak. SCA, bagaimanapun mungkin dapat terjadi setelah atau selama
pemulihan dari serangan jantung.
Penangkapan mendadak Jantung (SCA) adalah penyebab utama kematian di Amerika
Serikat, mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap tahun. SCA membunuh 1.000 orang per hari
atau satu orang setiap dua menit. Dan paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit jantung,
terutama mereka yang telah gagal jantung kongestif.
Sebanyak 75 persen orang yang meninggal karena tanda-tanda menunjukkan SCA
serangan jantung sebelumnya. Delapan puluh persen memiliki tanda-tanda penyakit arteri
koroner.
SCA dicatat 10.460 (75,4 persen) dari seluruh 13.873 kematian penyakit jantung pada
orang berusia 35-44 tahun, dan proporsi penangkapan jantung yang terjadi out-of-rumah sakit
meningkat dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun 61,0 persen pada orang usia
lebih dari 85 years.
Orang yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk SCA. Namun,
kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit jantung atau
faktor risiko lain untuk SCA. Seorang yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung
atau ada anggota keluarga yang pernah meninggal mendadak perlu mewaspadai terjadinya
cardiac arrest. Upaya pencegahan lain adalah dengan menjalankan gaya hidup sehat dan rutin
berolahraga.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses
kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar 93 persen
SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama
jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati (juga disebut
Sudden Cardiac Arrest) adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian
jantung). Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu dan cara kematian
yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah gejala muncul. Yang paling umum yang
alasan pasien mati mendadak dari perhentian jantung adalah penyakit jantung koroner (fatty
buildups dalam arteries bahwa pasokan darah ke otot jantung).
Mati jantung mendadak harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam konteks waktu, kata
“mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu 24 jam setelah timbulnya kejadian
klinis yang menyebabkan henti jantung (cardiac arrest) yang fatal; batas waktu ini untuk
kepentingan klinis dan epidemiologic dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang yang terdapat di
antara saat timbulnya keadaansakit terminal dan kematian.
Serangan jantung mendadak adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak pada
orang yang didiagnosis mungkin atau tidak mengidap penyakit jantung. Waktu dan cara
kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi segera atau segera setelah gejala muncul (AHA
Guidelines For CPR and ECC, 2010).
2.2 Etiologi
Faktor-faktor Risiko :
1. Usia
Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada pasien yang bebas dari CAD
simtomatik.
2. Jenis kelamin
Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang bebas
dari CAD yang mendasari.
3. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden SCD (ada efek
aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium ventrikel). Tetapi menurut
pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria. Yang
menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti merokok. Merokok juga
meningkatkan insiden CAD yang tampil pada kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.
4. Penyakit jantung yang mendasari
i. Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
Pasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD, bila dibandingkan dengan pasien CAD atau
pasien dengan pengurangan fungsi ventrikel kiri.
ii. Penyakit arteri koronaria (CAD)
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD mempunyai frekuensi SCD
Sembilan kali pasien dengan usia yang sama tanpa CAD yang jelas. The Multicenter Post
Infarction Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang menderita MI.
Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
kurang dari 40%, 10 atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum MI dan
ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan
dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko
SCD yang lebih besar.
iii. Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan tingginya insiden aritmia
ventrikel yang dapat di induksi, terutama pada pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop.
Terapi anti aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.
iv. Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel yang bisa
menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat
VT atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko SCD.
v. Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu jalur tambahan atau AF
dengan respon ventrikel sangat cepat (juga karena hantaran jalur tambahan antegrad)
menimbulkan frekuensi ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan kematian
mendadak.
vi. Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik mempunyai peningktan resiko
SCD. Kematian sering timbul selama masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa berhubungan
dengan kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi ke VF.

5. Lain-lainnya
i. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic merupakan predisposisi SCD
ii. Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol serum dan SCD yang telah
ditemukan
iii. Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita ditemukan peningkatan
insiden SCD yang menyertai intoleransi glukosa.
iv. Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam mengurangi insiden
SCD.
v. Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD pada pria, bukan
wanita.
vi. Riwayat aritmia
- Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia supraventrikel disertai dengan
peningkatan insiden SCD. Pasien CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel
menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat menyebabkan tidak stabilnya
listrik, yang mengubah sifat elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus atau
VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
- Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-menerus menpunyai
peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang tidak
terus-menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD dan VT
spontan mempunyai ambang VT yang lebih rendah dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat
VT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF atau VT terus-
menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.

6. Faktor pencetus
a) Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien yang meninggal
mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau segera setelah
gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas
berlebih dan selama tidur SCD jarang terjadi.
b) Iskemia
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia dalam distribusi
arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan
tidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih
banyak daerah beresiko dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c) Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan brakikardia sinus,
blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak bahwa
lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar
resiko SCD. Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan derajat
CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme
arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien spase arteri
koronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap.
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya
mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah
akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.
Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk
otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest
tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden
cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang mendasari
terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal sebagai
serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark
miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras
dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin
meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung
tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga
dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan
parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung,
meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal berfungsi, diantaranya:
a. perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
b. sengatan listrik
c. kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang berat
d. Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
e. Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang memiliki gangguan
jantung.
f. Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga. Kecenderungan ini
diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki peningkatan
resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat
mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat menyebabkan
perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik.
Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit
jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin, aspirin,
asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang ditemukan pada
pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical
record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada
laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak mampu
untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan terus
masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan
menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik
ke jantung.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Cardiac Arrest :

1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen,
termasuk otak.
2. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit,
selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa
pada arteri.
6. Tidak ada denyut jantung.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika dipasang EKG,
sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh lainnya missal tangan dan kaki.
EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan
gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal,
EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik
abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
i. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan jantung.
Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk
mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
ii. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada jantung, di
antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan
tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat
memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
3. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia, termasuk
resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
4. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac arrest.
5. Imaging tes
i. Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga dapat
menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
ii. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran darah
ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam
aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung
dan paru-paru.
iii. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung. Echocardiogram
dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan
tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada
kelainan katup.
6. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah sembuh dan jika
penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter
mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes
ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter
dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di area
jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung
pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien
untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini
memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.
7. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah seberapa baik
jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat menentukan kapasitas pompa jantung
dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah
yang dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55
sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.
Dokter Anda dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung
Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
8. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat merupakan
prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam
arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui
kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada
X-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan
memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
2.6 Penatalaksanaan
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:

1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka panjang

Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh dokter, perawat, personil
paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat keperluan untuk meningkatkan keterampilan saat
pasien berlanjut melalui tingkat dukungan kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan
penatalaksanaan jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar disebabkan oleh
henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada
pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah
terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat
menetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi
adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing
atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan
benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan
terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga bawah
kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga
dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah
dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor;
rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial adalah
membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di dalam mulut dikeluarkan, dan
maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang
terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory
arrest) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat dilakukan
setelah saluran napas dibersihkan.
2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner
(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan dasar yang
bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang definitive dapat
dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan untuk menghasilkan serta
mempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut
dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya pipa napas
orofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu bag dengan masker.
Langkah-langkah penting yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiopulmoner :
 Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.
 Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
 Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau kartilago tiroid.
 Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung (Isselbacher: 228)

Langkah-Langkah Bantuan Hidup dasar :


1) Berikan ventilasi dengan 2 kali tiupan efektif
2) Lakukan tindakan Pijat jantung Luar pada pertengahan Sternum dengan kedalaman 4-5 cm
sebanyak 30 kompresi setiap siklus (dilakukan dengan 1 atau 2 orang penolong) dan dilakukan
selama 4 siklus (kurang lebih 1 menit menjadi 100 kompresi) 2 kali ventilasi setiap siklusnya dan
pastikan saat memberikan ventilasi posisi kepala dalam keadaan Head Til-Chin Lift.
3) Cek kembali denyut nadi karotis
4) Bila ada DC shock atau AED, bisa diberikan kejut jantung sebanyak 200 Joule (pada VT/VF)
5) Untuk Henti jantung, pertimbangkan pemberian model Cardiac Tumb.

Lanjutkan tindakan RJP sampai :


a. Bila ada respon atau pasien menjadi sadar kembali
b. Penderita dinyatakan meninggal dunia (pupil dilatasi dan refleks cahaya negatif)
c. Penolong kelelahan dan tidak ada penolong lain
d. Sudah ada penolong lain yang lebih berkompeten

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan RJP :


- RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
- Jangan menekan pada daerah Prosesus xifoideus karena dapat berakibat robeknya hati
- Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi tetap melekat pada sternum, jari-
jari jangan menekan iga korban
- Hindari gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
- Perhatikan komplikasi yang mungkin terjadi karena RJP
Dalam AHA Guidelines For CPR and ECC, 2010 review 07 Desember 2011, langkah
penanganan pada pasien Cardiac arrest adalah :
 Pengenalan dini dari Sudden cardiac Arrest berdasarkan pengkajian terhadap ketidak-sadaran
(un-responsiveness) dan tidak adanya nafas normal (tidak bernafas atau hanya Gasping/agonal).
 Teknik Look, Listen, Feel atau Lihat, Dengar, Rasakan untuk mengkaji Breathing korban, pada
Guidliness CPR menurut AHA tahun 2010 ini di tiadakan. Check nafas dilakuakan pada saat
pengenalan dini keadaan emergency (terutama cardiac) satu paket dengan pengkajian kesadaran
(responsiveness / un-responsiveness )
 Di dorong / dianjurkan untuk hanya melakukan Hand Only CPR (hanya melakukan penekanan
dada saja, tanpa memberikan tiupan dua kali) bagi penolong awam yang tidak terlatih.
 Perubahan sequence atau urutan langkah-langkah CPR. Kalau di Guidelines tahun 2005 atau
yang sebelumnya kita mengenal urutan ABC (Airway, Breathing, Circulation), maka di
Guidelines AHA tahun 2010 ini menjadi CAB (Circulation, Airway, Breathing), jadi setelah call
for help dan di pastikan kondisi aman untuk menolong, lalu check response korban termasuk
mengkaji ada / tidak adanya nafas secara visual tanpa tehnik LLF. Kalau ternyata korban tidak
sadar dan tidak bernafas atau bernafas tapi Cuma gasping (nafas abnormal), langsung ke C, yang
artinya kalau untuk orang awam langsung lakukan kompresi atau untuk Health Care provider
(Paramedic, Nurse, Dokter) check nadi karotis dulu dengan tidak lebih dari sepuluh detik. Kalau
selama itu nadi tidak terasa atau tidak yakin, jangan buang waktu, segera lakukan kompresi tiga
puluh kali di ikuti dengan dua tiupan yang mana durasi tiap tiupan tidak lebih dari satu detik,
bagi yang tidak terlatih bisa hanya melakukan kompresi saja tanpa di ikuti dengan tiupan atau di
sebut dengan Hand Only CPR seperti yang sudah di jelaskan pada point diatas.
 Seperti halnya Guidelines tahun 2005, guidelines 2010 ini pun menekankan pada focus untuk
melakukan High Quality CPR, yang mana hal itu bisa tercapai bila kita bisa melakukan High
Quality Compression. Adapun factor-faktor yang mempengaruhi kualitas kompresi adalah Rate
(kecepatan), depth (kedalaman), dada re-coil sempurna antara kompresi, minimal intrupsi pada
saat melakukan kompresi dan menghindari pemberian ventilasi (tiupan) yang berlebihan.
 Pada guidelines 2005, term yang di gunakan untuk menggambarkan rate atau kecepatan dari
kompresi adalah “ approximately” 100 x/menit, yang artinya kecepatan kompresi kurang lebih
seratus kali per menit (kurang atau lebih dikit boleh lah-red). sedangkan untuk Guidelines 2010
ini di gunakan term “at least” 100 x/m, yang artinnya kecepatan kompresi yang baik pada saat
CPR tidak boleh kurang dari seratus kali per menit.
 Pada guidelines 2005, kedalaman kompresi pada orang dewasa adalah 1.5- 2 inches (4-5 cm).
tahun 2010 ini di tetapkan bahwa kedalaman kompresi untuk orang dewasa adalah 2 inches (5
cm), anak-anak juga 2 inches dan 1.5 inches untuk infant
 Untuk penggunaan AED, di guidelines terbaru ini tidak ada perbedaan dengan Guidelines tahun
2005
3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan aritmia
jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung) dan
memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
i. Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
ii. Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
iii. Pemasangan lini infuse.
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan segera, dapat
memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera. Kecepatan melakukan defibrilasi
atau kardioversi merupakan elemen penting untuk resusitasi yang berhasil. Kalau mungkin,
tindakan defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna selang infuse.
Resusitasi kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan arusnya.
Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan listrik sebesar 200-
J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan yang lebih tinggi hingga maksimal 360-J,
dapat dicoba bila kejutan pertama tidak berhasil menghilangkan takikardia atau fibrilasi
ventrikel. Jika pasien masih belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi, atau bila 2 atau 3
kali percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera, ventilasi dan analisis gas
darah arterial harus segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang sebelumnya
diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi sebagai keharusan yang rutin dan bisa
berbahaya bila diberikan dalam jumlah yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap mengalami
asidosis setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada
awalnya dan tambahan 50% dosis diulangi setiap 10-15 menit.
Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini berhasil atau tidak,
preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan pemberian ini diulang dalam waktu 2
menit pada pasien-pasien yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap
menunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh infuse lidokain dengan
takaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan keadaan tersebut, pemberian
intravena prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai dosis total 500-800mg, diikuti
dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu dengan dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat
(dosis awal 5-10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5-2
mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang per sisten, preparat epinefrin
(0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali selama resusitasi dengan upaya
defibrilasi pada saat-saat diantara setiap pemberian preparat tersebut. Obat tersebut dapat
diberikan secara intrakardial jika cara pemberian intravena tidak dapat dilakukan. Pemberian
kalsium glukonat intravena tidak lagi dianggap aman atau perlu untuk pemakaian yang rutin.
Obat ini yang hanya digunakan pada pasien dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetus
VF resisten, pada keadaan adanya hipokalsemia yang diketahui, atau pada pasien yang menerima
dosis toksik antagonis hemat kalsium.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani dengan cara
yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki peranan.
Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus diupayakan untuk
mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan
intravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah
dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur, tetapi prognosis
pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti
jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung
ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich
atau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang
menyumbat di jalan napas.
4. Perawatan Pasca Resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti jantung.
Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsive terhadap teknik-
teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian permulaan.
Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah
serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan
hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah
defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan
abnormalitas hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa
kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi,
angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan
hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengontrol
gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi
elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien
yang secara hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi.

Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai
penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang berhasil diresusitasi,
perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung
tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi
terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10
persen setelah henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir
henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan obstruksi jalan
nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan gangguan metabolic yang
berat, kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi
dengan cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.

5. Penatalaksanaan Jangka Panjang


Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi klinis karena
perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas. Pasien yang tidak
menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas
hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan
penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta
bahwadata statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung di
luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen pada 1 tahun, 45 persen pada
2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun. Perbandingan historis
mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan intervensi yang baru. Tetapi
seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang
terkendali.

Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI akut
dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang menderita henti jantung
selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji
diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan
elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang
mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI
akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau ketidakstabilan elektrofisologik
merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk
mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau Intervensi medis (seperti
angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik
paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram untuk menentukan
apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya, informasi ini dapat digunakan
sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan.
Informasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik
dengan tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien
dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang dari 10
persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan
fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak
dari kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapi
obat tidak dapat diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron,
penanaman defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator) dalam tubuh,
atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat
dianggap sebagai pilihan. Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup
prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih baik
dari 90 persen bila pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD
juga dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk kemampuan untuk memacu
lebih baik dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih. Susunan
Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan perbaikan perbaikan
yang berlanjut pada hasil akhir jangka panjang.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus :
Seorang mahasiswa laki-laki berusia 20 tahun sedang merokok di parkiran kampus. Tiba-tiba
dadanya sesak dan dia tidak sadarkan diri. Setelah di cek nadi carotisnya tidak ada.
ANALISA DATA
Data Analisa Masalah Keperawatan
DS: Cardiac arrest Gangguan Perfusi serebral
DO: - kemampuan pompa jantung menurun
- Warna kulit pucat - Curah Jantung menurun
- Kulit Dingin - Suplai O2ke otak tidak terpenuhi
- CRT > 2 detik
DS: Cardiac arrest Gangguan perfusi jaringan
DO: - kemampuan pompa jantung menurun
- Cianosis kuku dan bibir - Curah Jantung menurun
- Suplai O2ke jaringan tidak terpenuhi
DO: Cardiac arrest Gangguan pertukaran gas
DS: - kemampuan pompa jantung menurun
- Nilai GDA tidak normal - Curah Jantung menurun
- Terlihat distress pernafasan - Suplai O2ke seluruh tubuh menurun
- Kebutuhan O2di paru-paru tidak
Terpenuhi
DS: Cardiac arrest Penurunan curah jantung
DO: - kemampuan pompa jantung menurun
- Tekanan darah tidak ada - Curah Jantung menurun
- nadi perifer tidak teraba
DIAGNOSA KEPERAWATAN :
1. Penurunan Curah Jantung
2. Gangguan perfusi cerebral
3. Gangguan Perfusi Jaringan
4. Gangguan pertukaran gas
INTERVENSI
a. Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun
Tujuan : Meningkatkan kemampuan pompa jantung
Kriteria hasil :
- Nadi perifer teraba
- Tekanan darah dalam batas normal
No Intervensi Rasional
1 Lakukan Pijat Jantung untuk mengaktifkan kerja pompa jantung

2 Berikan oksigen tambahan dengan Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan


kanula nasal/masker dan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia.
obat sesuai indikasi (kolaborasi) Banyak obat dapat digunakan untuk
meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki
kontraktilitas.
3 Palpasi nadi perifer Penurunan curah jantung dapat menunjukkan
menurunnya nadi radial, dorsalis pedis dan
postibial. Nadi mungkin hilang atau tidak teratur
untuk dipalpasi.
4 Pantau Tekanan Darah Pada pasien Cardiac Arrest tekanan darah
menjadi rendah atau mungkin tidak ada.
5 Kaji kulit terhadap pucat dan Pucat menunjukkkan menurunnya perfusi
sianosis sekunder terhadap tidak adekuatnya curah
jantung.
b. Gangguan perfusi serebral b.d penurunan suplai O 2ke otak
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O 2 kembali lancar
Kriteria hasil :
- Pasien akan memperlihatkan tanda-tanda vital dalam batas normal
- Warna dan suhu kulit normal
- CRT < 2 detik.
No Intervensi Rasional
1 Berikan vasodilator misalnya Obat diberikan untuk meningkatkan sirkulasi
nitrogliserin, nifedipin sesuai
indikasi

mencegah distensi berlebihan dan meningkatkan


aliran balik vena
3 Pantau adanya pucat, sianosis dan Sirkulasi yang terhenti menyebabkan transport
kulit dingin atau lembab O2ke seluruh tubuh juga terhenti sehingga akral
sebagai bagian yang paling jauh dengan jantung
menjadi pucat dan dingin.
4 Pantau pengisian kapiler (CRT) Suplai darah kembali normal jika CRT < 2 detik
dan menandakan suplai O2 kembali normal
c. Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2tidak adekuat
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung
Kriteria hasil :
- Nilai GDA normal
- Tidak ada distress pernafasan
No Intervensi Rasional
1 Berikan O2 sesuai indikasi Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar dan
dapat memperbaiki hipoksemia jaringan
2 Pantau GDA Pasien Nilai GDA yang normal menandakan pertukaran
gas semakin membaik
3 Pantau pernapasan klien Untuk evaluasi distress pernapasan
DAFTAR PUSTAKA

PPGD basic I, Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat Indonesia, 2011


PPGD basic I, Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. Hasan Sadikin, Bandung
Ulfah AR,. Advance Cardiac Life Sipport, Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Jakarta. 2003
AHA Guidelines For CPR and ECC, 2010
http://cardiacku.blogspot.com/2011/07/resusitasi-jantung-paru.html
askep-net.blogspot.com/2012/03/resusitasi-jantung-paru.html, Postingan 12 Maret 2012

You might also like