Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses
kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar 93 persen
SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama
jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati (juga disebut
Sudden Cardiac Arrest) adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian
jantung). Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu dan cara kematian
yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah gejala muncul. Yang paling umum yang
alasan pasien mati mendadak dari perhentian jantung adalah penyakit jantung koroner (fatty
buildups dalam arteries bahwa pasokan darah ke otot jantung).
Mati jantung mendadak harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam konteks waktu, kata
“mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu 24 jam setelah timbulnya kejadian
klinis yang menyebabkan henti jantung (cardiac arrest) yang fatal; batas waktu ini untuk
kepentingan klinis dan epidemiologic dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang yang terdapat di
antara saat timbulnya keadaansakit terminal dan kematian.
Serangan jantung mendadak adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak pada
orang yang didiagnosis mungkin atau tidak mengidap penyakit jantung. Waktu dan cara
kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi segera atau segera setelah gejala muncul (AHA
Guidelines For CPR and ECC, 2010).
2.2 Etiologi
Faktor-faktor Risiko :
1. Usia
Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada pasien yang bebas dari CAD
simtomatik.
2. Jenis kelamin
Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang bebas
dari CAD yang mendasari.
3. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden SCD (ada efek
aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium ventrikel). Tetapi menurut
pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria. Yang
menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti merokok. Merokok juga
meningkatkan insiden CAD yang tampil pada kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.
4. Penyakit jantung yang mendasari
i. Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
Pasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD, bila dibandingkan dengan pasien CAD atau
pasien dengan pengurangan fungsi ventrikel kiri.
ii. Penyakit arteri koronaria (CAD)
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD mempunyai frekuensi SCD
Sembilan kali pasien dengan usia yang sama tanpa CAD yang jelas. The Multicenter Post
Infarction Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang menderita MI.
Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
kurang dari 40%, 10 atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum MI dan
ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan
dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko
SCD yang lebih besar.
iii. Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan tingginya insiden aritmia
ventrikel yang dapat di induksi, terutama pada pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop.
Terapi anti aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.
iv. Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel yang bisa
menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat
VT atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko SCD.
v. Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu jalur tambahan atau AF
dengan respon ventrikel sangat cepat (juga karena hantaran jalur tambahan antegrad)
menimbulkan frekuensi ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan kematian
mendadak.
vi. Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik mempunyai peningktan resiko
SCD. Kematian sering timbul selama masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa berhubungan
dengan kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi ke VF.
5. Lain-lainnya
i. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic merupakan predisposisi SCD
ii. Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol serum dan SCD yang telah
ditemukan
iii. Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita ditemukan peningkatan
insiden SCD yang menyertai intoleransi glukosa.
iv. Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam mengurangi insiden
SCD.
v. Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD pada pria, bukan
wanita.
vi. Riwayat aritmia
- Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia supraventrikel disertai dengan
peningkatan insiden SCD. Pasien CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel
menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat menyebabkan tidak stabilnya
listrik, yang mengubah sifat elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus atau
VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
- Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-menerus menpunyai
peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang tidak
terus-menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD dan VT
spontan mempunyai ambang VT yang lebih rendah dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat
VT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF atau VT terus-
menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.
6. Faktor pencetus
a) Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien yang meninggal
mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau segera setelah
gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas
berlebih dan selama tidur SCD jarang terjadi.
b) Iskemia
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia dalam distribusi
arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan
tidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih
banyak daerah beresiko dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c) Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan brakikardia sinus,
blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak bahwa
lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar
resiko SCD. Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan derajat
CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme
arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien spase arteri
koronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap.
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya
mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah
akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.
Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk
otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest
tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden
cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang mendasari
terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal sebagai
serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark
miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras
dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin
meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung
tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga
dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan
parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung,
meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal berfungsi, diantaranya:
a. perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
b. sengatan listrik
c. kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang berat
d. Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
e. Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang memiliki gangguan
jantung.
f. Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga. Kecenderungan ini
diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki peningkatan
resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat
mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat menyebabkan
perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik.
Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit
jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin, aspirin,
asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang ditemukan pada
pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical
record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada
laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak mampu
untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan terus
masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan
menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik
ke jantung.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Cardiac Arrest :
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen,
termasuk otak.
2. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit,
selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa
pada arteri.
6. Tidak ada denyut jantung.
1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh dokter, perawat, personil
paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat keperluan untuk meningkatkan keterampilan saat
pasien berlanjut melalui tingkat dukungan kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan
penatalaksanaan jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar disebabkan oleh
henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada
pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah
terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat
menetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi
adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing
atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan
benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan
terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga bawah
kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga
dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah
dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor;
rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial adalah
membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di dalam mulut dikeluarkan, dan
maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang
terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory
arrest) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat dilakukan
setelah saluran napas dibersihkan.
2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner
(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan dasar yang
bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang definitive dapat
dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan untuk menghasilkan serta
mempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut
dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya pipa napas
orofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu bag dengan masker.
Langkah-langkah penting yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiopulmoner :
Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.
Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau kartilago tiroid.
Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung (Isselbacher: 228)
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai
penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang berhasil diresusitasi,
perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung
tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi
terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10
persen setelah henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir
henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan obstruksi jalan
nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan gangguan metabolic yang
berat, kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi
dengan cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI akut
dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang menderita henti jantung
selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji
diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan
elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang
mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI
akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau ketidakstabilan elektrofisologik
merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk
mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau Intervensi medis (seperti
angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik
paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram untuk menentukan
apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya, informasi ini dapat digunakan
sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan.
Informasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik
dengan tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien
dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang dari 10
persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan
fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak
dari kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapi
obat tidak dapat diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron,
penanaman defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator) dalam tubuh,
atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat
dianggap sebagai pilihan. Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup
prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih baik
dari 90 persen bila pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD
juga dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk kemampuan untuk memacu
lebih baik dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih. Susunan
Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan perbaikan perbaikan
yang berlanjut pada hasil akhir jangka panjang.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus :
Seorang mahasiswa laki-laki berusia 20 tahun sedang merokok di parkiran kampus. Tiba-tiba
dadanya sesak dan dia tidak sadarkan diri. Setelah di cek nadi carotisnya tidak ada.
ANALISA DATA
Data Analisa Masalah Keperawatan
DS: Cardiac arrest Gangguan Perfusi serebral
DO: - kemampuan pompa jantung menurun
- Warna kulit pucat - Curah Jantung menurun
- Kulit Dingin - Suplai O2ke otak tidak terpenuhi
- CRT > 2 detik
DS: Cardiac arrest Gangguan perfusi jaringan
DO: - kemampuan pompa jantung menurun
- Cianosis kuku dan bibir - Curah Jantung menurun
- Suplai O2ke jaringan tidak terpenuhi
DO: Cardiac arrest Gangguan pertukaran gas
DS: - kemampuan pompa jantung menurun
- Nilai GDA tidak normal - Curah Jantung menurun
- Terlihat distress pernafasan - Suplai O2ke seluruh tubuh menurun
- Kebutuhan O2di paru-paru tidak
Terpenuhi
DS: Cardiac arrest Penurunan curah jantung
DO: - kemampuan pompa jantung menurun
- Tekanan darah tidak ada - Curah Jantung menurun
- nadi perifer tidak teraba
DIAGNOSA KEPERAWATAN :
1. Penurunan Curah Jantung
2. Gangguan perfusi cerebral
3. Gangguan Perfusi Jaringan
4. Gangguan pertukaran gas
INTERVENSI
a. Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun
Tujuan : Meningkatkan kemampuan pompa jantung
Kriteria hasil :
- Nadi perifer teraba
- Tekanan darah dalam batas normal
No Intervensi Rasional
1 Lakukan Pijat Jantung untuk mengaktifkan kerja pompa jantung