You are on page 1of 116

Modul Mata Kuliah Patofisiologi

MODUL

MODUL PATOFISIOLOGI

DISUSUN OLEH:
M. Syamsul Arif Setyo N, SKep.Ns.,MKes.
Rodhi Hartono, SKep.Ns.,MKes.

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN-POLTEKKES KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN 2013

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 1


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

BIO DATA MAHASISWA

1. NAMA MAHASISWA : ____________________________


2. NIM. : ____________________________
3. TINGKAT/SEMESTER : ____________________________
4. PROGRAM STUDI : ____________________________

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 2


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami
sehingga Modul Mata Ajar Patofisiologi bagi mahasiswa Program Studi Diploma III
Keperawatan Semarang Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang ini dapat
kami susun. Modul ini terdiri dari empat belas (14) Kegiatan Belajar tentang patofisiologi
berbagai penyakit.

Kami menyadari bahwa modul Mata Ajar Patofisiologi ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu, kami mengharapkan masukan dan saran demi sempurnanya modul ini,
serta kesesuaian isi modul dengan perkembangan praktek klinik keperawatan dalam
pelaksanaan intervensi keperawatan.

Semoga modul praktikum Patofisiologi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa untuk
menjadi panduan dalam mempelajari suatu penyakit sehingga mampu melaksanakan
asuhan keperawatan pada pasien yang memerlukan tindakan keperawatan di tatanan
pelayanan kesehatan.

Semarang, Januari 2013

Penyusun.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 3


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

DAFTAR ISI

BIODATA MAHASISWA ........................................................................................ 2


KATA PENGANTAR ............................................................................................... 4
DAFTAR ISI .............................................................................................................. 5
TATA TERTIB PRAKTIKUM DI LABORATORIUM KEPERAWATAN ........... 6
PENDAHULUAN ...................................................................................................... 7
Peradangan ................................................................................................................. 9
Cidera Sel dan Kematian Sel ...................................................................................... 21
Gangguan Sirkulasi .................................................................................................... 30
Gangguan Cairan dan Elektrolit ................................................................................. 38
Cidera Kepala ............................................................................................................. 53
Stroke ......................................................................................................................... 58
Gagal Jantung ............................................................................................................. 63
PPOK .......................................................................................................................... 66
Diabetes Mellitus ....................................................................................................... 69
Sirosis Hati ................................................................................................................. 73
Gagal Ginjal Kronis ................................................................................................... 77
HIV/AIDS .................................................................................................................. 85
Krisis Adrenal ............................................................................................................ 93
TBC ............................................................................................................................ 98
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 112
PENUTUP .................................................................................................................. 115

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 4


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

TATA TERTIB PEMBELAJARAN DI LABORATORIUM KEPERAWATAN

A. Sebelum Praktikum

1. Mahasiswa dapat mengikuti praktikum bila memenuhi syarat-syarat sebagai


berikut:
a. Membawa Modul Praktika Mata Ajar.
b. Berpakaian seragam dan memakai jas laboratorium (sesuai dengan ketentuan
Prodi D III Keperawatan Semarang yang berlaku).
c. Mahasiswa telah mempelajari materi terkait
2. Praktikan harus hadir 15 menit sebelum praktikum dimulai, praktikan yang
terlambat lebih dari 5 menit, tidak diperkenankan mengikuti praktikum pada hari
tersebut.
3. Sehari sebelum kegiatan praktikum laboratorium, mahasiswa diwajibkan meminjam
alat dan bahan kepada petugas laboratorium dan wajib menjaga kelengkapan alat
sampai kegiatan praktikum selesai.
4. Praktikan harus memahami apa yang akan dikerjakan dengan membaca modul
praktikum dan acuan lain.
5. Praktikan tidak diperkenankan mengikuti praktikum apa bila :
a. Tidak membawa modul praktikum, apabila modul praktikumnya hilang,
praktikan harus melaporkannya ke penanggung jawab mata ajar 30 menit
sebelum praktikum dimulai dan hanya diberikan kesempatan satu kali untuk
mengganti dengan yang baru, disertakan sangsi membayar biaya cetak.
6. Ketika memasuki laboratorium, praktikan :
a. Harus tenang, tertib dan sopan.
b. Dilarang membawa makanan, minuman, dan barang lain yang tidak
diperlukan.
c. Tas, jaket dan HP harus dititipkan.

B. Selama Praktikum

7. Praktikan dapat memulai praktikum setelah lulus latihan unjuk kerja sesuai standard
nilai yang ditetapkan untuk prosedur yang akan dilakukan dan mendapat petunjuk
serta ijin dari tutor yang bersangkutan untuk menyiapkan pelaksanaan prosedur.
8. Selama praktikum berlangsung, praktikan :
a. Dilarang meninggalkan ruangan tanpa seijin tutor atau penanggung jawab hari
tersebut.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 5


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

b. Harus dapat menjaga keselamatan diri, keamanan alat-alat, kebersihan


laboratorium, dan ketertiban.
c. Dilarang menggangu atau membantu kelompok lain
9. Praktikan harus mengganti alat-alat yang rusak atau hilang selama praktikum
berlangsung dengan alat yang sama, sebelum melanjutkan praktikum minggu
berikutnya.

C. Selesai Praktikum

10. Setelah praktikum selesai dan disetujui tutor, praktikan :


a. Melaporkan kelengkapan dan merapikan peralatan yang digunakan kepada
piket/staf penanggung jawab laboratorium.
b. Harus meminta tanda tangan / paraf tutor pada lembar kompetensi di dalam
modul.

D. Ketentuan Lain

11. Bagi praktikan yang tidak hadir dengan keterangan/gagal, dapat melakukan
praktikum susulan pada jadual pengulangan yang telah ditentukan.
12. Bagi praktikan yang sakit dapat menunjukkan surat keterangan dari dokter dan
orang tua, paling lambat pada saat melaksanakan praktikum minggu berikutnya.
Melampaui batas waktu tersebut, surat dinyatakan tidak berlaku lagi dan praktikan
dinyatakan gagal.
13. Bagi praktikan yang sudah gagal/tidak mengikuti praktikum sebanyak tiga kali
berturut-turut dinyatakan tidak lulus dan diulang pada semester berikutnya.
14. Praktikan dapat diberikan peringatan, dikeluarkan ataupun digagalkan jika
melanggar tata tertib ini.
15. Tata tertib ini untuk dilaksanakan dengan penuh kesadaran.
16. Hal-hal yang belum tersurat dalam tata tertib ini akan diatur sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 6


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

PENDAH ULUAN
Deskripsi Modul, Relevansi, dan Petunjuk Belajar

Selamat berjumpa, selamat mempelajari Modul Praktika Patofisiologi. Modul


praktika ini terdiri dari dari empat belas (14) kegiatan belajar praktikum laboratorium.

Modul yang sedang Anda pelajari ini merupakan praktika MK Patofisiologi. Modul
praktika ini berisi dasar – dasar teori patofisiologi berbagai penyakit.
Setelah selesai mempelajari setiap kegiatan belajar Anda diminta untuk melakukan
simulasi prosedur pada kegiatan belajar tersebut serta menilainya berdasarkan lembar unjuk
kerja yang dilampirkan. Jika Anda berhasil mendapatkan nilai batas lulus (75) maka Anda
dapat melanjutkan pada kegiatan belajar berikutnya. Setelah menyelesaikan 7 kegiatan
belajar (1-7) pada modul ini Anda diperbolehkan mengikuti evaluasi sumatif Ujian
Praktikum Tengah Semester untuk mengetahui sejauh mana Anda mengetahui tentang
patofisiologi penyakit pasien. Selanjutnya setelah Anda menyelesaikan 7 kegiatan belajar
berikutnya (kegiatan belajar 8-14) Anda diperbolehkan mengikuti evaluasi sumatif Ujian
Praktikum Akhir semester untuk mengetahui sejauh mana Anda mengetahui tentang
patofisiologi penyakit pasien.
Untuk mengikuti kegiatan pembelajaran praktik laboratorium ini, Anda para
mahasiswa akan dibagi dalam kelompok (anggota kelompok antara 5- 8 mahasiswa)
Masing-masing kelompok akan mengikuti pembelajaran praktek laboratorium sesuai jadual
yang tercantum dalam rencana pembelajaran semester (RPS). Sebelum mengikuti kegiatan
ini, Anda dianjurkan untuk membaca setiap kegiatan belajar dan menyiapkan alat dan
bahan yang diperlukan untuk praktikum. Di awal pembelajaran akan dilakukan apersepsi
oleh tutor/dosen, kemudian tutor akan memberi kesempatan kepada Anda untuk

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 7


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

mendemonstrasikan prosedur pada kegiatan belajar yang sedang Anda pelajari. Bila anda
kurang jelas anda boleh bertanya kepada tutor. Setelah Anda menyelesaikan unjuk kerja,
maka akan diberikan umpan balik dari hasil unjuk kerja Anda untuk perbaikan sebelum
Ujian Praktik Sumatif.
Empat belas (14) kegiatan belajar praktika yang akan Anda pelajari pada modul 1 ini
adalah sebagai berikut:
a. Peradangan
b. Cidera Sel dan Kematian Sel
c. Gangguan Sirkulasi
d. Gangguan Cairan dan Elektrolit
e. Cidera Kepala
f. Strok
g. Gagal Jantung
h. PPOK
i. Diabetes Mellitus
j. Sirosis Hati
k. Gagal Ginjal Kronis
l. HIV/AIDS
m. Krisis Adrenal
n. TBC
Modul ini akan Anda selesaikan dalam waktu 2 x 120 menit x 14 pertemuan
pembelajaran praktika di laboratorium. Semoga Anda dapat mempelajari modul ini dengan
baik. Bila Anda sudah selesai membaca modul ini dan telah mencoba mempraktekkan
prosedur pada setiap kegiatan belajar, silahkan Anda menilai kemampuan keterampilan
Anda secara mandiri sebelum dilakukan penilaian akhir. Selamat belajar, jangan pernah
ragu untuk mencoba dan tetap berlatih.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 8


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 1
PERADANGAN
 120 Menit

URAIAN MATERI
A. Definisi
Radang dalam bahasa medik dikenal dengan Inflammasi yaitu suatu respon
jaringan tubuh yang kompleks saat menerima rangsang yang kuat akibat pengrusakan
sel, infeksi mikroorganisme patogen dan iritasi. Radang juga merupakan proses
tubuh mempertahankan diri dari aneka rangsangan tadi agar tubuh dapat
meminimalisir dampak dari rangsangan tadi. Peradangan dapat dikenali dengan
adanya beberapa tanda khas yang sering menyertai, Aulus Cornelius Celcus (30 SM –
45 M) memberi istilah latin yaitu Rubor, Calor, Dolor, Tumor. Sementara Galen
menambahkan dengan Functio laesa. Menurut Katzung (2002):Radang ialah suatu
proses yang dinamis dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau injury
(jejas) yang dilakukan terutama oleh pembuluh darah (vaskuler) dan jaringan ikat
(connective tissue).
B. Penyebab Peradangan
a. Infeksi dari mikroorganisme dalam jaringan.
b. Trauma fisik.
c. Cedera kimiawi, radiasi, mekanik atau termal.
d. Reaksi imun (menimbulkan respon hipersensitif dalam jaringan).
C. Jenis-jenis Radang
1. Radang Akut

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 9


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang
didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera.Leukosit membersihkan
berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran
jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu
perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari
leukosit.Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh
darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan
sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan
emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera
2. Radang Kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang
(berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan
dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan.
Perbedaannya dengan radang akut,radang akut ditandai dengan
perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah
besar.Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti
makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan.
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul
menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan
radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak
dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat
gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak
awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas
rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut.
Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten
oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 10


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak
dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang
berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena
banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka
batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik
sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi.
D. Tanda-Tanda Radang
Reaksi tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
1. Rubor : Warna merah
Rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami peradangan.Saat reaksi peradangan timbul,terjadi pelebaran
arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan.
Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler
meregang dengan cepat terisi penuh dengandarah.Keadaan ini disebut hiperemia
atau kongesti, menyebabkan warna merahlokal karena peradangan akut.
2. Kalor : Panas
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan
akut.Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah
yang memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami
radang lebih banyak dari pada ke daerah normal.
3. Tumor : Pembengkakan
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar
ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-
jaringan interstitial.
Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut
eksudat meradang.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 11


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

4. Dolor : Rasa nyeri


Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf.Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif
lainnya dapat merangsang saraf.Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang
meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.
5. Functiolaesa : Gangguan fungsi
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang
(Dorland, 2002).Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal.
Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi
jaringan yang meradang.

E. Faktor Yang Mempengaruhi Peradangan Dan Penyembuhan


Seluruh proses peradangan bergantung pada sirkulasi yang utuh kedaerah yang
terkena. Jadi, jika ada defisiensi suplai darah kedaerah yang terkena, maka proses
peradangannya sangat lambat, infeksi yang menetap dan penyembuhan yang jelek.
Banyak faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka atau daerah cidera atau
daerah peradangan lainnya,salah satunya adalah bergantung pada poliferasi sel dan
aktivitas sintetik,khususnya sensitif terhadap defisiensi suplai darah lokal dan juga
peka terhadap keadaan gizi penderita.
Penyembuhan juga dihambat oleh adanya benda asing atau jaringan nekrotik dalam
luka, oleh adanya infeksi luka dan immobilisasi yang tidak sempurna.
Komplikasi pada penyembuhan luka kadang-kadang terjadi saat proses penyembuhan
luka. Jaringan parut mempunyai sifat alami untuk memendek dan menjadi lebih
padat, dan kompak setelah beberapa lama. Akibatnya adalah kontraktur yang dapat
membuat dareah menjadi cacat dan pembatasan gerak pada persendian.
Komplikasi penyembuhan yang kadang-kadang dijumpai adalah amputasi
atau neuroma traumatik, yang secara sederhana merupakan poliferasi regeneratif dari

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 12


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

serabut-serabut saraf kedalam daerah penyembuhan dimana mereka terjerat pada


jaringan parut yang padat.

F. Penyembuhan Luka
Fase Penyembuhan Luka menurut Long
1. Fase I (1-3 hari)
Leukosit mencerna bakteri dan jaringan yang rusak. Fibrin menumpuk dan
mengisi luka, pembuluh darah dari benang fibrin tumbuh pada luka sebagai
kerangka (Garisson, 2001).
2. Fase II (6-7 hari)
Leukosit mulai menghilang dan dasar luka mulai berisi kolagen serabut protein
putih., jaringan vaskuler, jaringan ikat kemerahan karena banyak pembuluh
darahnya.
3. Fase IiI (minggu kedua-keenam)
Luka berwarna merah jambu yang luas.
4. Fase IV
Berlangsung beberapa bulan, klien akan mengeluh gatal di sekitar luka,
walaupun kolagen terus menimbun. Pada fase ini luka menciut dan menjadi tegang.

Bentuk Penyembuhan Luka


Menurut Long (1996) penyembuhan luka akan terjadi dalam bermacam tahap :
1. Penyembuhan primer
Luka tajam, bersih dan dijahit, tanpa komplikasi. Hasilnya sembuh dengan
sedikit-sedikit.
2. Penyembuhan sekunder
Luka diisi oleh jaringan granulasi, epitel, merambat dari tepi luka ke jaringan
granulasi, penyembuhan berjalan lama, hasilnya sikatrik yang tampak jelek.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 13


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

3. Penyembuhan tersier
Luka dijahit setelah beberapa hari kemudian. Luka sudah lebih terkontaminasi
dari penyembuhan primer, granulasi lebih banyak.

G. Patofisiologi terjadinya Inflamasi


Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit —hari) dengan ciri khas utama
eksudasi cairan, akumulasi neutrofil memiliki tanda-tanda umum berupa rubor
(redness), calor (heat), tumor (swelling), Dolor (pain), Functio laesa (lose of function).
bersihkan setiap mikroba. Dengan dua proses utama, perubahan vaskular (vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas) dan perubahan selular (rekrutmen dan aktivasi selular).
Perubahan makroskopik yang dapat diamati berupa hiperemia yang memberikan
penampakan eritema, exudation yang memberikan penampakan edema, dan emigrasi
leukosit.Terjadi karena tujuan utama : mengirim leukosit ke tempat jejas
1. Hyperaemia
Jejas yang terbentuk pertama-tama akan menyebabkan dilatasi arteri lokal
(didahului vasokonstriksi sesaat). Dengan demikian mikrovaskular pada lokasi
jejas melebar, aliran darah mengalami perlambatan, dan terjadi bendungan darah
yang berisi eritrosit pada bagian tersebut, yang disebut hiperemia seperti terlihat
pada Gambar 1. Pelebaran ini lah yang menyebabkan timbulnya warna merah
(eritema) dan hangat. Perlambatan dan bendungan ini terlihat setelah 10-30 menit
Hyperaemia di dalam inflamasi berhubungan dengan perubahan
mikrovaskular, yang disebut Lewis’ triple response – berupa “a FLUSH, a FLARE
and a WEAL”. The FLUSH ditandai dengan garis putih (dikarenakan adanya
vasokonstriksi). The FLUSH merupakan garis merah (dikarenakan dilatasi kapiler).
The FLARE merupakan daerah dengan warna merah yang lebih terang di
sekitarnya (dikarenakan dilatasi arteri).

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 14


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

2. Exudating
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas endotel disertai keluarnya
protein plasma dan sel-sel leukosit ke daerah extravaskular yang disebut eksudasi.
Hal ini menyebabkan sel darah merah dalam darah terkonsentrasi, viskositas >>,
sirkulasi <<, terutama pada pembuluh darah-pembuluh darah kecil yang sisebut
stasis.
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan
keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini
berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan
osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal
kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam
jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik.
Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis
10.000 dalton
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di
atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih
yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan
permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar
dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat
aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang
menyebabkan emigrasinya
Mekanisme :
1. Protein passage
membentuk formasi bercelah untuk meningkatkan permeabilitas antar
endothelial.Sinyal kimiawi merangsang kontraksi endotelial
2. Fluid movement
Proses fluid movement

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 15


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

3. Emigration of leucocyte
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi
jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu
memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis,
dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan
beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang,
dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti. Baik
neutrofil, maupun sel berinti tunggal dapat melewati celah antar sel endhotelial
dengan menggunakan pergerakan amoeboid menuju jaringan target.
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-
sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar
daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan
terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke
bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-
pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-
sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel.
1. Proses emigrasi Leukosit
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari
pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel.
Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi
leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak
tertutup tanpa perubahan nyata
2. Kemotaksis
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah
utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 16


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua


jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang
berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis.
Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat
mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif
terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen
berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri berupa protein
maupun polipeptida
Mekanisme kemotaksis
Beberapa agen kemotaksis penting:
• Fraksi sistem KOMPLEMEN (terutama C5a)
• Faktor derivat asan arakidonat yang diproduksi neutrophils – LEUKOTRIENS
• Faktor derivat BAKTERI patogen
• Faktor derivat limfosit khusus – LIMFOKIN
Proses tersebut menjelaskan pergerakan leukosit dan agregatnya secara
besar-besaran dan terprogram dalam proses inflamasi
3. Fagositosis
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.
Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh
suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila
mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG,
C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan,
selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada
pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang
masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan
fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu
dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 17


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah


dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun
beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit.
Proses Fagositosis:
Fagositosis merupakan sebuah proses yang efisien, yaitu:
1. OPSONIN – merupakan antibodi natural maupun antibodi spesifik
2. Fraksinasi sistem KOMPLEMEN
3. Nerupakan tahap FISIS dari lingkungan sosial
Aktivitas opsonik dipengaruhi oleh ke-solid-an, dan ke-rigid-an organ maupun
medium tempatnya berada. Dimana kondisi loose dan lebih cair, aktivitasnya
terhenti.

H. Sel-sel yang berperan dalam inflamasi akut


1. Neutrofil
(hidup dalam 1-3 hari) Neutrofil, bekerja saat inflamasi
2. Makrofag
(hidup dalam beberapa bulan hingga beberapa tahun)
a. Berhasil membunuh, misi terselesaikan.
b. Gagal membunuh dan dapat membuat bakteri dapat menyebar dalam saluran
getah bening ke beberapa organ lain. (menjelaskan peristiwa penyebaran TB
dalam tubuh)
c. Seluruh debris (meliputi sel PMN) yang telah diserna oleh makrofag akan
dibuang secara bertahap dari tempat terjadinya inflamasi
d. Antigen bakteri telah siap untuk di presentasikan ke dalam sistem imun.

I. Peranan Agen kimia pada inflamasi

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 18


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Terdapat beberapa substansi yang terlibat dalam proses inflamasi, yang terkadang
memiliki beberapa fungsi yang overlapping, baru terdapat beberapa yang berhasil
diidentifikasi. Mekanisme regularisasi dapat mencegah proses inflamasi yang tak
terkontrol.
Beberapa agen yang berkaitan dengan dilatasi vaskular dan dapat meningkatkan
permeabilitas :
1. Vaso-active AMINES – muncul pada masa-masa awal, dan berlangsung sesaat.
Kerja histamin dan serotonin sebagai vaso-active amine pada inflamasi
2. Vaso-active POLYPEPTIDES yang dibentuk enzim spesifik (breakdown produk
berupa protein dan jaringan)
Kerja vaso-active polipeptida pada inflamasi
3. MISCELLANEOUS AGENTS mempengaruhi proses inflamasi, meliputi:
a. Toksik bakteri
b. Faktor komplemen C3a dan C5a
c. Prostalglandins
d. Leukotriens (leukosit)
e. Enzim lisosomal (leukosit)
f. Interleukin (makrofaga)
g. Faktor permeabilitas globukin
h. Faktor permeabilitas kelenjar getah bening
i. Breakdown produk DNA dan RNA
j. Kompleks antigen-antibodi
k. TNF (Tumor Necrosis Factor)
l. Nitric oksida (oleh sel endotelial)

J. Mediator Peradangan

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 19


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Mediator adalah caraka atau signal kimia. Mediator dalam inflamasi/radang


berperan sangat penting karena merupakan komponen utama dalam komunikasi sel,
amplifikasi inflamasi, ataupun opsonin, yang ketiganya berguna dalam memfasilitasi
eliminasi agen penyebab radang dan juga perbaikan jaringan.

Beberapa hal yang perlu diketahui dari mediator adalah sebagai berikut :
1. Mediator dapat berasal dari sel maupun cairan plasma (plasma protein)
2. Mediator dari sel biasanya diisolasi dengan membentuk granula dalam sel, sedangkan
mediator pada plasma dihasilkan sebagian besar oleh hati dan berada dalam keadaan
non-aktif dalam cairan darah sehingga membutuhkan mekanisme aktivasi tertentu.
3. Mediator aktif diproduksi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsangan,
termasuk radang
4. Rangsangan yang dimaksud di sini adalah produk mikroba, substansi dari jaringan
yang nekrosis, dan protein-protein seperti kompelemen, kinin, sistem koagulasi, yang
dengan sendirinya diaktivasi oleh mikroba dan jaringan yang terluka. Mekanisme ini
dapat diartikan sebagai “diaktivasi jika diperlukan, diproduksi jika dibutuhkan”.
5. Mediator yang satu dapat merangsang dikeluarkannya mediator yang lain
6. Misalnya, mediator TNF dan IL-1 dapat menstimulasi dikeluarkannnya protein
selektin oleh sel endotel.
7. Mediator bervariasi dalam efek dan jenis sel tempat ia bekerja
8. Kebanyakan mediator (terutama yang bersifat hidrofilik) hanya memiliki waktu hidup
yang pendek karena harus segera didegradasi agar tidak menimbulkan respon yang
berlebihan.

LOSARIU

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 20


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan belajar 2

C I D E R A S E L D A N K E M A TI A N S E L

 120 Menit

URAIAN MATERI

A. ORGANISASI SEL
Sel merupakan struktur terkecil organisme yang dapat mengatur aktivitas kehidupan
sendiri
Sel terdiri: membran plasma, sitoplasma, nukleus dan nukleoplasma
Didalam sitoplasma terdapat organel dengan fungsi spesifik

1. Aktivitas sel : sesuai dgn proses kehidupan, meliputi :


- ingesti - mengekskresikan sisa metabolisme
- asimilasi - bernafas - bergerak
- mencerna - mensintesis - berespon , dll.

2. Struktur Sel
Sel mengandung struktur fisik yang terorganisir yg dinamakan organel.
Sel terdiri dari dua bagian utama : inti dan sitoplasma keduanya dipisahkan oleh
membrane inti. Sitoplasma dipisahkan dgn cairan sekitarnya oleh membran sel .
Berbagai zat yg membentuk sel secara keseluruhan disebut protoplasma

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 21


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

a. Membran Sel, merupakan struktur elastis yg sangat tipis, penyaring selektif zat-
zat tertentu.
b. Membran inti, merupakan dua membrane yang saling mengelilingi. Pada kedua
membrane yg bersatu merupakan tempat yang permiabel sehingga hamper
semua zat yg larut dapat bergerak antara cairan inti dan sitoplasma.
c. Retikulum endoplasma, tdd
- RE granular yang pd permukaannya melekat ribosom yg terutama
mengandung RNA yg berfungsi dalam mensintesa protein.
- RE agranular, tidak ada ribosom. Berfungsi untuk sintesa lipid dan enzimatik
sel.
d. Komplek golgi.
Berhubungan dgn RE berfungsi memproses senyawa yg ditransfer RE kemudian
disekresikan.
e. Sitoplasma, yaitu suatu medium cair banyak mengandung struktur organel sel.
f. Mitokondria, adalah organel yg disediakan untuk produksi energi dalam sel. Di
sini dioksidasi berbagai zat makanan.
katabolisme / pernafasan sel
g. Lisosom, adalah bungkusan enzim pencernaan yg terikat membrane. Dan
merupakan organ pencernaan sel.
h. Sentriol, merupakan struktur silindris kecil yg berperan penting pada
pembelahan sel.
i. Inti, adalah pusat pengawasan atau pengaturan sel. Mengandung DNA yg
disebut gen.
j. Nukleoli, merupakan struktur protein sederhana mengandung RNA. Jumlah
dapat satu atau lebih,
3. System Fungsional Sel.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 22


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

a. Penelanan dan pencernaan oleh sel.


Zat-zat dpat melewati membrane dengan cara :
- difusi
- transfor aktif melalui membrane
- endositosis , yaitu mekanisme membrane menelan cairan ekstra sel dan
isinya.
b. Ekstrasi energi dari zat gizi. (fungsi mitokondria)
menghasilkan dioksidasi Oksigen dan zat gizi masuk dalam sel energi yg
digunakan untuk membentuk ATP. 1 ATP menghasilkan 8000 kalori.

B. MODALITAS CIDERA SEL


Sel selalu terpajan terhadap sel atau kondisi yang selalu berubah dan potensial
terhadap rangsangan yang merusak akan bereaksi :
- Beradaptasi,
- Jejas / cidera reversible
- Kematian

1. Sebab-sebab Jejas, Kematian dan Adaptasi sel :


a. Hipoksia, akibat dari :
1) hilangnya perbekalan darah karena gangguan aliran darah serta
2) gangguan kardiorespirasi
3) Hilangnya kemampuan darah mengangkut oksigen. : anemia dan keracunan.
Respon sel terhadap hipoksia tergantung pada tingkat keparahan hipoksia:
sel-sel dapat menyesuaikan , terkena jejas, kematian.
b. Bahan kimia (termasuk obat-obatan)
Bahan kimia menyebabkan perubahan pd beberapa fungsi sel : permiabelitas

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 23


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

selaput, homeostatis osmosa, keutuhan enzim atau kofaktor


Racun menyebabkan kerusakan hebat pd sel dan kematian individu.

c. Agen fisik
1) Traumamekanik, yg dpt merusak sel dan dapat menyebabkan pergeseran
organisasi organel intra sel
2) Suhu rendah.
3) ggn suplai darah.
4) Vasokontriksi
5) membakar jaringan
6) Suhu tinggi
7) Tenaga radiasi, jejas akibat ionisasi langsung senyawa kimia yg ada di
dalam sel atau karena ionisasi sel yg menghasilkan radikal “panas” yg
secara sekunder bereaksi dgn komponen intra sel
8) Tenaga listrik, jika melewati tubuh akan menyebabkan :
aritmi jantungluka bakar. Serta ggn jalur konduksi saraf
d. Agen mikrobiologi :
Bakteri, virus, mikoplasma, klamidia , jamur dan protozoa.
mengeluarkan eksotoksin merusak sel-sel penjamu. merangsang respon
Bateri peradangan.atau mengeluarkan endotoksin
immunologi yg merusak sel.Timbul reaksi hipersensitivitas tehadap agen

Contoh penyakit : infeksi stafilokokus atau streptococcus, gonore, sifilis, kolera


dll.
setelah berada dalam sel, Virus virus akan mewariskan gen-gen pada sel baru
dan DNA virus menyatu dgn DNA sel untuk mengambil alih fungsi sel. RNA

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 24


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

virus akan mengontrol fungsi sel.


Contoh penyakit : ensefalitis, , campak jerman, rubella, poliomyelitis, hepatitis ,
dll
e. Mekanisme Imun
Reaksi imun sering dikenal sebagai penyebab kerusakan dan penyakit pada sel.
Antigen penyulut dapat eksogen maupun endogen.
Antigen endogen ( missal antigen sel) menyebabkan penyakit autoimun.
f. Gangguan genetik
Mutasi, dapat menyebabkan: mengurangi suatu enzim,
kelangsugan hidup sel tidak sesuai, atau tanpa dampak yg diketahui.
g. Ketidakseimbangan Nutrisi
1). defisiensi protein-kalori
2). avitaminosis
3). aterosklerosis, dan obesitas
h. Penuaan

C. ADAPTASI SEL
Betuk reaksi sel jaringan organ / system tubuh terhadap jejas :
1. retrogresif, jika terjadi proses kemunduran (degenerasi/ kembali kearah yang
kurang kompleks).
2. Progresif, berkelanjutan berjaklan terus kearah yang lebih buruk untuk
penyakit)
3. Adaptasi (penyesuaian) : atropi, hipertropi, hiperplasi, metaplasi
Sel-sel menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan mikronya.
1. Atropi
Suatu pengecilan ukuran sel bagian tubuh yang pernah berkembang
sempurna dengan ukuran normal.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 25


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Merupakan bentuk reaksi adaptasi. Bila jumlah sel yg terlibat cukup,


seluruh jaringan dan alat tubuh berkurang atau mengalami atropi.
Sifat :
- fisiologik misalnya aging seluruh bagian tubuh tampak mengecil secara
bertahap
- patologik (pasca peradangan), misal keadaan kurus kering akibat marasmus
dan kwashiorkor, emasiasi / inanisi (menderita penyakit berat), melemahnya
fungsi pencernaan atau hilangnya nafsu makan
- umum atau local.penurunan aktivitas endokrin dan pengaruhnya atas target
sel dan target organ.
Penyebab atropi :
- berkurangnya beban kerja
- hilangnya persarafan
- berkuranhnya perbekalan darah
- hilangnya rangsangan hormone
2. Hipertropi
Yaitu peningkatan ukuran sel dan perubahan ini meningkatkan ukuran
alat tubuh. Ukuran sel jaringan atau organ yg menjadi lebih besar dari ukuran
normalnya.
Bersifat fisiologik dan patologik, umum atau lokal
3. Hiperplasia
Dapat disebabkan oleh adanya stimulus atau keadaan kekurangan secret atau
produksi sel terkai.
Hanya dapat tetrjadi pada populasi sel labil ( dalam kehidupan ada siklus sel
periodic, sel epidermis, sel darah) . atau sel stabil (dalam keadaan tertentu masih
mampu berproliferasi, misalnya : sel hati sel epitel kelenjar.
Tidak terjadi pada sel permanent (sel otot rangka, saraf danjantung)

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 26


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

4. Metaplasia
Ialah bentuk adaptasi terjadinya perubahan sel matur jenis tertentu menjadi sel
matur jenis lain
Misalnya sel epitel torak endoservik daerah perbatasan dgn epitel skuamosa, sel
epitel bronchus perokok.
5. Displasia
Sel dalam proses metaplasia berkepanjangan tanpa mereda dapat mengalami
ganguan polarisasi pertumbuhan sel reserve, sehingga timbul keadaan yg disebut
displasia.
Ada 3 tahapan : ringan, sedang dan berat
Jika jejas atau iritan dpt diatasi adaptasi dan displasia dapat normal kembali.
6. Degenarasi
Yaitu keadaan terjadinya perubahan biokimia intraseluler yang disertai
perubahan morfologik, akibat jejas nin fatal pada sel.
Dalam sel jaringan terjadi :
akumulasi cairan atau zat dalam sel atau Storage (penimbunan) sel dan perubahan
morfologik terurama dlm sitoplasma menyebabkan organel sel
mengembung/bengkak.
- Ditemukan kerusakan reticulum endoplasma dan filament mitokondria
- Jika hal ini berlanjut maka kemunduran akan terjadi pembengkakan vesikel , akan
tampak vakaula intra sel ini disebut degenarasi vakuoler atau hidrofik
o Kedua proses degenerasi tersebut masih reversible.
o Reaksi sel terhadap jejas yang masih reversible disebut degenerasi
o Reaksi sel terhadap jejas yang ireversible menuju kematian disebut nekrosis
7. Infiltrasi
Bentuk retrogresi dgn penimbunan metabolit sistemik pada sel normal (tdk

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 27


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

mengalami jejas langsung jika melampaui batas maka sel akan pecah.) akan
ditanggulangi oleh system makrofag.

D. SEL YANG DISERANG


Pengaruh stimulus yang menyebabkan cidera sel pada sel :
1. Kerusakan biokimia, terjadi perubahan kimia dari salah satu reaksi metabolisme
atau lebih di dalam sel
2. Kelainan fungsi, ( missal kegagalan kontraksi, sekresi sel atau lainnya)
kelainan dan kerusakan biokimia pada sel mengakibatkan Cidera fungsi. Tetapi tidak
semua, jika sel banyak cidera, memiliki cadangan yg cukup sel tidak akan mengalami
gangguan fungsi yg berarti.
3. Perubahan morfologis sel.yg menyertai kelainan biokimia dan kelainan fungsi.
Tetapi saat ini masih ditemukan sel secara fungsional terganggu namun secara
morfologis tidak memberikan petunjuk adanya kerusakan.
4. Pengurangan massa atau penyusutan
Pengurangan ukuran sel jaringan atau organ disebut atropi.lebih kecil dari normal.

E. PERUBAHAN MORFOLOGI PADA SEL YG CIDERA SUBLETAL.


1. perubahan morfologis pada Sel cidera
Perubahan pada sel cidera sub letal bersifat reversible. Yaitu jika rangsangan
dihentikan, maka sel kematian akan kembali sehat. Tetapi sebaliknya jika tidak
dihentikan sel.
Perubahan sub letal pada sel disebut degenerasi atau perubahan degeneratif.
Perubahan degeneratif cenderung melibatkan sitoplasma sel, sedangkan nucleus
mempertahankan integritas sel selama sel tdk mengalami cidera letal.
Bentuk perubahan degeneratif sel :
a. Pembentukan sel, gangguan kemampuan metabolisme pembentukan energi dam

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 28


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

kerusakan membrane sel influk air ke peningkatan konsentrasi Na memompa ion


Na menurun pembengkakan sel.
b. Penimbunan lipid intra sel, secara mokroskopis sitoplasma dari sel – sel yang
terkena tampak bervakuola berisi lipid.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 29


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan belajar 3

G AN GG UA N SI R K UL A SI

 120 Menit

URAIAN MATERI

A. Pengertian
Sistem sirkulasi darah adalah suatu sistem organ yang berfungsi memindahkan zat
ke dalam dari sel. Sistem ini juga menolong stabilisasi suhu dan pH tubuh (bagian dari
homeostasis). Sistem sirkulasi dibagi dalam dua bagian besar yaitu sistem
kardiovaskular (peredaran darah) dan sistem limfatik.
Kelainan pada Sistem Peredaran Darah Manusia adalah kelainan atau penyakit yang
terjadi pada sistem peredaran atau sirkulasi darah manusia baik yang disebabkan oleh
faktor internal maupun faktor eksternal.
Kelainan Sirkulasi, Cairan Tubuh, dan Asam Basa
1. Hyperaemia / Congestion / Pembendungan
Kongesti/ hiperemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat darah secara
berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Daerah dimana
terjadi kongesti biasanya berwarna merah atau ungu, hal ini terjadi karena
bertambahnya darah di dalam jaringan. Secra mikroskopis kapiler-kapiler dalam

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 30


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

jaringan hyperemia melebar dan penuh berisi darah. Pada dasarnya terdapat dua
mekanisme dimana kongesti dapat timbul: Kenaikan jumlah darah yang
mengalir ke daerah, Penurunan jumlah darah yang mengalir dari daerah

a. Kongesti Aktif
Disebut kongesti aktif jika aliran darah bertambah dan menimbulkan
kongesti. Hal ini artinya ada lebih banyak darah yang mengalir ke
daerah itu dari biasanya.
b. Kongesti Pasif
Kongesti pasif tidak menyangkut kenaikan jumlah darah yang
mengalir ke suatu daerah, tetapi lebih merupakan suatu gangguan
aliran darah dari daerah itu.

Berdasarkan waktu serangannya, kongesti pasif dibagi 2, yaitu :


a. Kongesti pasif akut : berlangsung singkat, tidak ada pengaruh pada jaringan yang
terkena.
b. Kongesti pasif kronis : berlangsung lama, dapat terjadi perubahan- perubahan
yang permanen pada jaringan, terjadi dilatasi vena.
Contoh kongesti pasif adalah varises.
Menurut timbulnya, maka hiperemi dibedakan atas:
1) Hiperemi akut, tidak ada perubahan yang nyata
2) Hiperemi kronik, biasanya diikuti oleh oedem, atrofi dan degenerasi
kadang-kadang sampai nekrosis atau terjadi juga proliferasi jaringan ikat.
Jenis Hiperemi yang lain adalah:

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 31


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

a. Hiperemi aktif, yang terjadi karena jumlah darah arteri pada sebagian tubuh
bertambah, biasanya terjadi secara akut.
b. Hiperemi pasif, terjadi karena jumlah darah vena atau aliran darah vena
berkurang dan terjadinya dilatasi pembuluh vena dan kapiler.hiperemi jenis ini
biasanya kronik tetapi dapat juga terjadi secara akut.
2. Edema
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan diantara sel-sel tubuh atau
di dalam berbagai rongga tubuh.
Patogenesis Edema:
a. kenaikan permeabilitas pembuluh darah.
b. obstruksi saluran limfe

Etiologi edema ada beberapa, yaitu:


a. Tekanan hidrostatik
b. Obstruksi saluran limfe
c. Kenaikan permeabilitas dinding pembuluh
d. Penurunan konsentrasi protein
Dalam edema, cairan yang tertimbun digolongkan menjadi 2, yaitu :
a. Transudat : yaitu cairan yang tertimbun di dalam jaringan karena
bertambahnya permeabilitas pembuluh terhadap protein.
b. Eksudat : yaitu cairan yang tertimbun karena alasan-alasan lain dan bukan
akibat dari perubahan permeabilitas pembuluh.

3. Perdarahan
Perdarahan adalah keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai
penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh atau disertai keluarnya darah dari
tubuh. Misalnya : hemoperikardium, hemotoraks, hemoperitoneum,

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 32


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

hematosalping. Hemorhagi dapat terjadi karena darah keluar dari susunan


kardiovaskuler atau karena diapedesis (artinya eritrosit keluar dari pembuluh
darah yang tampak utuh).
1. Tempat terjadinya perdarahan :
a. Kulit, dapat berupa:
1) Petechiae, yaitu perdarahan kecil-kecil bidawah kulit yang terjadi
secara spontan, biasanya pada kapiler-kapiler.
2) Echymosis, yaitu perdarahan yang lebih besar dari petechiae, yang
terjadi secara Spontan.
3) Purpura, yaitu perdarahan yang berbentuk bercak, basarnya bercak
antara petechiae dan echymosis.
b. Mukosa
c. Serosa
d. Selaput rongga sendi
2. Perdarahan mempunyai nama tersendiri tergantung lokasi :
a. Hematoma, yaitu penimbunan darah setempat, diluar pembuluh darah,
biasanya telah membeku, sering menonjol seperti suatu tumor pada suatu
jaringan.
b. Apopleksi, yaitu penimbunan darah yang dihubungkan dengan perdarahan
otak.
c. Hemoptysis, yaitu perdarahan pada paru-paru atau salurannya kemudian
dibatukkan keluar.
d. Hematemesis, yaitu keluarnya darah dari saluran pencernaan melalui
muntah (muntah darah).
e. Melena, yaitu keluarnya darah dari saluran pencernaan melalui anus
sehingga feces berwarna hitam

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 33


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Etiologi perdarahan
a. Kerusakan pembuluh darah
b. Trauma
c. Proses patoloogik
d. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan pembekuan darah.
e. Kelainan pembuluh darah.
3. Perdarahan dapat bersifat local atau sistemik
a. Perdarahan local
Tergantung lokasi perdarahan, bila lokasinya tidak vital maka
tidak tampak gejala (tidak penting), sedangkan bila lokasinya vital,
seperti pada:
1) Medulla oblongata, akan timbul kematian.
2) Otak, mengganggu fungsi otak sehingga dapat terjadi kelumpuhan.
3) Rongga pleura, mengakibatkan volume paru mengecil
b. Perdarahan sistemik
Tergantung dari cepat dan banyaknya perdarahan. Bila akut dan
banyak maka dapat menyebabkan kollaps sehingga semua organ tubuh
akan iskhemi dan tampak pucat.
4. Thrombosis
Trombosis adalah proses proses pembentukan bekuan darah atau koagulum
dalam sistemVaskuler (pembuluh darah atau jantung) pada manusia. Trombosis
ini memiliki nilai pentingdalam kasus perdarahan. Koagulum darah (thrombus)
adalah suatu massa yang tersusun dariunsur-unsur darah didalam pembuluh
darah. Thrombus dapat merupakan sumbatanhemostatis yang efektif yang
terbukti membahayakan.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 34


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Etiologi Trombus.
Ada tiga keadaan dasar yang menyebabkan terbentuknya bekuan (trombus):
1. Kelainan dinding dan lapisan pembuluh darah/ perubahan pada permukaan
endotelpembuluh darah :Aterosklerosis (penyakit pada lapisan dan dinding
atreri yang menyebabkantidak rata dan menebal. Arteri darah merupakan aliran
tekanan tinggidengan kecepatan tinggi, berdinding agak tebal dan tidak mudah
berubahbentuk)Poliarteritis nodosaTrombophlebitis2.
2. Kelainan aliran darah/perubahan pada aliran darah :Bila aliran darah berubah,
misalnya menjadi lambat maka trombosit akan menepisehingga mudah melekat
pada dinding pembuluh darah. Perubahan ini lebih seringterjadi pada
Vena/flebotrombosis (aliran darah vena merupakan aliran bertekananrendah dan
kecepatannya relatif rendah dan dindingnya tipis, sehingga mudahberubah
bentuk) . Trombus sering terjadi pada : Varices dan vena yang terbendungakibat
penekanan tumor.
3. Peningkatan daya koagulasi darah/ perubahan pada konstitusi darah
:Perubahan dalam jumlah dan sifat trombosit dapat mempermudah trombosis
olehkarena terjadi hiperkoagulasi sehingga trombosit mudahg melekat :Infark
paruTumor ganas (terbentuk tromboplastin)Trombophlebitis.
Akibat Trombus :
1. Pada Trombosis Arteri : Jika arteri tersumbat oleh thrombus maka jaringan
yangdisuplai oleh arteri itu akan kehilangan suplai darah yang menyebabkan
kelainanfungsi jaringan sampai kematian.
2. Pada Trombosis Vena : akibat dari trombus vena agak berlainan, karena
sistem venamempunyai saluran anastomosis sehingga Jika salah satu vena
tersumbat, makadarah masih bisa menemukan jalan kembali ke jantung melalui

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 35


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

saluran tadi. Hanya jika vena yang sangat besar yang tersumbat barulah timbul
gangguan lokal.
5. Emboli
Emboli yaitu suatu benda asing yang tersangkut pada suatu tempat dalam
sirkulasi darah. Prosesnya disebut Embolisme. Emboli dapat berasal dari trombus
(tromboemboli) dalam jantung, Trombus dalam vena dan trombus dalam arteri.
Embolus dapat berupa :
1. Benda padat yang berasal dari trombus, sel kanker ataupun dari kelompok
bakteri dan jaringan
2. Benda cair yang berasal dari zat lemak maupun cairan amnion ataupun benda
asingyang disuntikkan ke dalam sistim kardiovaskular
3. Benda gas, dapat berasal dari udara, nitrogen dan CO2 Patogenesis, Perjalanan
dan Akibat Emboli

Emboli dalam tubuh terutama berasal dari trombus vena (v. profunda) yang
terlepas danterbawa aliran darah masuk ke Vena Cava kemudian ke jantung
kanan. Darah meninggalkan ventrikel kanan ke cabang utama arteri pulmonalis
lalu ke cabang arteri pulmonalis kanan dankiri sampai ke pembuluh darah yang
lebih kecil. Karena keadaan antomis ini maka emboli yangberasal dari trombus
vena berakhir sebagai emboli arteri pulmonalis.
Emboli yang menyangkut sirkulasi arterial berasal dari bagian kiri sistem
sirkulasi. Emboli arteripaling sering ditemukan berasal dari trombus
intrakardium atau dari thrombus mural dalamaorta.Gelembung gas pada berbagai
keadaan dapat menjadi emboli, keadaan ini dinamakan penyakit Caisson, yang
timbul jika seseorang hidup dibawah tekanan atmosfir yang meningkat
sepertidalam perlengkapan menyelam dibawah air karena makin banyak gas
atmosfir yang terlarutdalam darah dan gelembung tersebut tersangkut dalam

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 36


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

mikrosirkulasi, juga dapat vterjadi padakesalahan infuse IV atau pemasangan


kateter.

Akibat-akibat embolus tergantung pada besar dan , jenis embolus, pembuluh


darah yangterkena serta ada tidaknya kolateral, contoh :
a. Bila terjadi sumbatan terutama bila trombus yang besar sebagai emboli
maka dapatmenimbulkan kematian mendadak, insufisiensi pembuluh
koroner, myocard infark dan anoksia otak Sebaliknya emboli pada
pembuluh darah nyang lebih kecil (emboli arteripulmonalis) dapat tanpa
gejala, perdarahan paru-paru akibat kerusakan vaskuler, ataunekrosis
sebagian paru-paru
b. Ada penyebaran sel tumor ganas yang terbawa oleh limfe
c. Embolus dapat menyebabkan sarang-sarang infeksi baru

Pembagian embolus berdasarkan asalnya :


a. Embolus Vena
b. Emboli Arteri
c. Arteri lemak: terdiri dari butir lemak , cenderung terbentuk di dalam
sirkulasi setelahtrauma (trauma tulang atau trauma jaringan lemak).
d. Emboli Cairan amnion
e. Emboli gas (jarang)

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 37


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan belajar 4

G AN GG UA N C AI R AN E L E K T R O L I T DA N A SAM B AS A

 120 Menit

URAIAN MATERI

A. Mekanisme Kerja Cairan dan Elektrolit dalam Tubuh


Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap
sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu
bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan
komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang
terdiri dari air ( pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang
menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam
larutan.
Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan
intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan
elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke
dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung
satu dengan yang lainnya jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 38


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

lainnya. Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan
cairan ekstraseluler.
Cairan intraseluler adalah cairan yang berada di dalam sel di seluruh tubuh,
sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari
tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan
transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler,
cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler
adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan
sekresi saluran cerna.
1. Volume Cairan Tubuh
Total jumlah volume cairan tubuh (total body water-TBW) kira-kira 60 %
dari berat badan pria dan 50 % dari berat badan wanita. Jumlah volume ini
tergantung pada kandungan lemak badan dan usia. Lemak jaringan sangat sedikit
menyimpan cairan, dimana lemak pada wanita lebih banyak dari pria sehingga
jumlah volume cairan lebih rendah dari pria. Usia juga berpengaruh terhadap TBW
dimana makin tua usia makin sedikit kandungan airnya. Sebagai contoh, bayi baru
lahir TBW-nya 70-80 % dari BB, usia 1 tahun 60 % dari BB, usia pubertas sampai
dengan 39 tahun untuk pria 60 % dari BB dan untuk wanita 52 % dari BB, usia 40-
60 tahun untuk pria 55 % dari BB dan wanita 47 % dari BB, sedangkan pada usia
diatas 60 tahun untuk pria 52 % dari BB dan wanita 46 % dari BB. Dan berikut
tabel sumber air tubuh:
Sumber Jumlah
Air minum 1.500 – 2.000 ml/hari
Air dalam makanan 700 ml/hari
Air dari hasil metabolisme tubuh 200 ml/hari
Jumlah 2.400 – 2.900 ml/hari

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 39


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Air memiliki molekul yang kecil, sangat mudah berdifusi dan bersifat polar
(senyawa elektron) sehingga berkohesi satu dengan yang lainnya membentuk benda
cair. Fungsi air adalah pelarut yang sangat baik karena molekulnya dapat bergabung
dengan protein, hidrat arang, gula, dan zat yang terlarang lainnya. Dalam
homeostatis jumlah air tubuh selalu diupayakan konstan karena air tubuh yang
keluar akan sama dengan jumlah air yang masuk.
2. Distribusi Cairan
Cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen yaitu pada
intraseluler dan ekstraseluler. Cairan intraseluler kira-kira 2/3 atau 40 % dari BB,
sedangkan cairan ekstraseluler 20 % dari BB, cairan ini terdiri atas plasma (cairan
intravaskuler) 5 %, cairan interstisial (cairan di sekitar tubuh seperti limfe) 10-15 %
dan transeluler (misalnya, cairan serebrospinalis, sinovia, cairan dalam peritonium,
cairan dalam rongga mata, dll ) 1-3 %.
3. Pergerakan Cairan Tubuh.
Mekanisme pergerakan cairan tubuh melalui tiga proses, yaitu :
a. Difusi merupakan proses dimana partikel yang terdapat dalam cairan bergerak
dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah sampai terjadi keseimbangan.
Cairan dan elektrolit didifusikan sampai menenambus membran sel. Kecepatan
difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul, konsenrasi larutan, dan temperatur.
b. Osmosis merupakan bergeraknya pelarut bersih seperti air, melalui membran
semipermeabel dari larutan yang berkonsentrasi lebih rendah ke konsentrasi
yang lebih tinggi yang sifatnya menarik.
c. Transpor aktif, proses transpor aktif memerlukan energi metabolisme. Proses
tranpor aktif penting untuk mempertahankan keseimbangan natrium dan
kalsium antara cairan intraseluler dan ekstraseluler. Dalam kondisi normal,

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 40


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

konsentrasi natrium lebih tinggi pada cairan intraseluler dan kadar kalium lebih
tinggi pada cairan ekstraseluler.

Perpindahan cairan dan elektrolit tubuh terjadi dalam tiga fase yaitu :
a. Fase I : Plasma darah pindah dari seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi,
dan nutrisi dan oksigen diambil dari paru-paru dan tractus gastrointestinal.
b. Fase II : Cairan interstitial dengan komponennya pindah dari darah kapiler
dan sel.
c. Fase III : Cairan dan substansi yang ada di dalamnya berpindah dari cairan
interstitial masuk ke dalam sel. Pembuluh darah kapiler dan membran sel
yang merupakan membran semipermiabel mampu memfilter tidak semua
substansi dan komponen dalam cairan tubuh ikut berpindah.
4. Pengaturan Cairan
Sejumlah mekanisme homeostatis bekerja tidak hanya untuk
mempertahankan konsentrasi elektrolit dan osmotik dari cairan tubuh, tetapi
juga untuk volume cairan tubuh total. Keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit
normal adalah akibat dari keseimbangan dinamis antara makanan dan minuman
yang masuk dengan keseimbangan yang melibatkan sejumlah besar sistem
organ. Sistem organ yangbanyak berperan adalah ginjal, sistem kardiovaskuler,
kelenjar hipofisis, kelenjar paratiroid, kelenjar adrenal, dan paru. Ginjal
merupakan pengendali utama terhadap kadar elektrolit dan cairan. Jumlah cairan
tubuh dan konsentrasi elektrolit sangat ditentukan oleh apa yang di simpan
ginjal. Ginjal sendiri diatur oleh sejumlah hormon dalam menjalankan fungsinya.
Berikut adalah hormon-hormon yang ada dalam ginjal:
a. Rasa dahaga

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 41


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Mekanisme rasa dahaga: Penurunan fungsi ginjal merangsang pelepasan


renin, yang pada akhirnya menimbulkan produksi angiotensin II yang
dapat merangsang hipotalamus untuk melepaskan substrat neural yang
bertangguang jawab terhadap sensasi haus. Osmoreseptor di
hipotalamus, mendeteksi peningkatan tekanan osmotik dan mengaktivasi
jaringan saraf yang dapat mengakibatkan sensai rasa dahaga.
b. Anti Diuretik Hormon (ADH)
ADH di bentuk di hipotalamus dan disimpan dalam neurohipofisis dari
hipofisis posterior. Stimuli utama untuk sekresi ADH adalah
peningkatan osmolaritas dan penurunan cairan ekstrasel. Hormon ini
meningkatkan reabsorpsi air pada duktus koligentes, dengan demikian
dapat menghemat air.
c. Aldosteron
Hormon ini disekresi oleh kelenjar adrenal yang bekerja pada tubulus
ginjal untuk meningkatkan absopsi natrium. Pelepasan aldosteron
dirangsang oleh perubahan konsentrasi kalium, natrium serum dan
sistem angiotensin renin serta sangat efektif dalam mengendalikan
hiperkalemia.
5. Cara Pengeluaran Cairan
Pengeluaran cairan terjadi melalui organ-organ seperti :
a. Ginjal
Merupakan pengatur utama keseimbangan cairan yang menerima 170 liter
darah untuk disaring setiap hari. Produksi urine untuk semua usia 1 ml/kg/jam.
Pada orang dewasa produksi urine sekitar 1,5 lt/hari. Jumlah urine yang
diproduksi oleh ginjal dipengaruhi oleh ADH dan aldosteron.
b. Kulit

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 42


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Hilangnya cairan melalui kulit diatur oleh saraf simpatis yang merangsang
aktivitas kelenjar keringat. Rangsangan kelenjar keringat dapat dihasilkan dari
aktivitas otot, temperatur lingkungan yang meningkat, dan demam. Disebut
juga Insesible Water Loss (IWL) sekitar 15-20 ml/24 jam.
c. Paru-paru
Menghasilkan IWL sekitar 400 ml/hari. Meningkatnya cairan yang hilang
sebagai respons terhadap perubahan kecepatan dan kedalaman napas akibat
pergerakan atau demam.
d. Gastrointestinal
Dalam kondisi normal cairan yang hilang dari gastrointestinal setiap hari sekitar
100-200 ml. Perhitungan IWL secara keseluruhan adalah 10-15 cc/kgBB/24 jam,
dengan kenaikan 10 % dari IWL pada setiap kenaikan suhu 1 derajat celcius.
6. Pengaturan Elektrolit
a. Natrium (Na+)
Merupakan kation paling banyak dalam cairan ekstrasel. Na+mempengaruhi
keseimbanagan air, hantaran impuls saraf dan kontraksi otot. ion natrium di
dapat dari saluran pencernaan, makanan atau minuman masuk ke dalam cairan
ekstrasel melalui proses difusi. Pengeluaran ion natrium melalui ginjal,
pernapasan, saluran pencernaan, dan kulit. Pengaturan konsentrasi ion di
lakukan oleh ginjal. Normalnya sekitar 135-148 mEq/lt.
b. Kalium (K+)
Merupakan kation utama cairan intrasel. Berfungsi sebagaiexcitability
neuromuskuler dan kontraksi otot. Diperlukan untuk pembentukan glikogen,
sintesa protein, pengaturan keseimbanagan asam basa, karena ion K+ dapat
diubah menjadi ion hidrogen (H+). Kalium dapat diperoleh melalui makanan
seperti daging, buah-buahan dan sayur-sayuran. Kalium dapat dikeluarkan
melalui ginjal, keringat dan saluran pencernaan. Pengaturan konsentrasi kalium

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 43


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

dipengaruhi oleh perubahan ion kalium dalam cairan ekstrasel. Nilai normalnya
sekitar 3,5-5,5 mEq/lt.
c. Calsium (Ca2+)
Kalsium merupakan ion yang paling banyak dalam tubuh, berguna untuk
integritas kulit dan struktur sel, konduksi jantung, pembekuan darah, serta
pembentukan tulang dan gigi. Kalsium dalam cairan ekstrasel diatur oleh
kelenjar paratiroid dan tiroid. Hormon paratiroid mengabsorpsi kalisum melalui
gastrointestinal, sekresi melalui ginjal. Hormon thirocalcitoninmenghambat
penyerapan Ca+ tulang. Kalsuim diperoleh dari absorpsi usus dan resorpsi
tulang dan di keluaran melalui ginjal, sedikit melalui keringaserta di simpan
dalam tulang. Jumlah normal kalsium 8,5 – 10,5 mg/dl.
d. Magnesium (Mg2+)
Merupakan kation terbanyak kedua pada cairan intrasel. Sangat penting untuk
aktivitas enzim, neurochemia, dan muscular excibility. Sumber magnesium
didapat dari makanan seperti sayuran hijau, daging dan ikan. Nilai normalnya
sekita 1,5-2,5 mEq/lt.
e. Klorida (Cl-)
Terdapat pada cairan ekstrasel dan intrasel, berperan dalam pengaturan
osmolaritas serum dan volume darah, regulasi asam basa, berperan dalam bufer
pertukaran oksigen, dan karbon dioksida dalam sel darah merah. Klorida
disekresi dan di absorpsi bersama natrium di ginjal dan pengaturan klorida oleh
hormin aldosteron. Normalnya sekitar 95-105 mEq/lt.
f. Bikarbonat (HCO3-)
HCO3 adalah buffer kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada cairan ekstrasel
dan intrasel dengan fungsi utama adalah regulasi keseimbangan asam basa.
Biknat diatur oleh ginjal.
g. Fosfat

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 44


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Berfungsi untuk
meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolisme karbohidrat, pengaturan
asam basa. Pengaturan oleh hormon paratiroid.

2. Fungsi Cairan
Fungsi cairan dalam tubuh adalah:
a. Mempertahankan panas tubuh dan pengaturan temperatur tubuh
b. Transport nutrien ke sel
c. Transport hasil sisa metabolisme
d. Transport hormon
e. Pelumas antar organ
f. Mempertahankan tekanan hidrostatik dalam sistem kardiovaskuler.
3. Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit Dalam Tubuh
Keseimbangan cairan ditentukan oleh intake atau masukan cairan dan pengeluaran
cairan. Pemasukan cairan berasal dari minuman dan makanan. Kebutuhan cairan
setiap hari antara 1.800-2.500 ml/hari. Sekitar 1.200 ml berasal dari minuman dan
1.000 ml dari makanan. Sedangkan pengeluaran cairan melalui ginjal dalam bentuk
urine 1.200 – 1.500 ml/hari, feses 100 ml, paru-paru 300-500 ml dan kulit 600-800 ml.
Prinsip dasar keseimbangan cairan:
a. Air bergerak melintasi membran sel karena osmolaritas cairan interseluler
dan ekstraseluler tetapi hampir sama satu sama lain kecuali beberapa menit
setelah perubahan salah satu kompartemen.
b. Membran sel hampir sangat impermeabel terhadap banyak zat terlarut karena
jumlah osmol dalam cairan ekstraseluler atau intraseluler tetapi konstan, kecuali
jika zat terlarut ditambahkan atau dikurangi dari kompartemen ekstraseluler. Dengan

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 45


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

kondisi ini kita dapat menganalisis efek berbagai kondisi cairan abnormal terhadap
volume dan osmolaritas cairan ekstraseluler dan osmolaritas cairan intraseluler.

B. Gangguan Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit Tubuh


1. Ketidakseimbangan cairan
Ketidakseimbangan cairan meliputi dua kelompok dasar, yaitu gangguan
keseimbangan isotonis dan osmolar.Ketidakseimbangan isotonis terjadi ketika
sejumlah cairan dan elektrolit hilang bersamaan dalam proporsi yang seimbang.
Sedangkan ketidakseimbangan osmolar terjadi ketika kehilangan cairan tidak
diimbangi dengan perubahan kadar elektrolit dalam proporsi yang seimbang
sehingga menyebabkan perubahan pada konsentrasi dan osmolalitas serum.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat empat kategori ketidakseimbangan cairan,
yaitu :
a. Kehilangan cairan dan elektrolit isotonik
b. Kehilangan cairan (hanya air yang berkurang)
c. Penigkatan cairan dan elektrolit isotonis, dan
d. Penigkatan osmolal (hanya air yang meningkat)
2. Defisit Volume Cairan
Defisit volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit
ekstraseluler dalam jumlah yang proporsional (isotonik). Kondisi seperti ini disebut
juga hipovolemia.Umumnya, gangguan ini diawali dengan kehilangan cairan
intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan interseluler menuju
intravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan ekstraseluler.Untuk untuk
mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan pemindahan cairan intraseluler.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 46


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Secara umum, defisit volumecairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kehilangan
cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan cairan, perdarahan dan pergerakan
cairan ke lokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah untuk
mengembalikanya ke lokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat).
Cairan dapat berpindah dari lokasi intravaskuler menuju lokasi potensial seperti
pleura, peritonium, perikardium, atau rongga sendi. Selain itu, kondisitertentu,
seperti terperangkapnya cairan dalam saluran pencernaan, dapat terjadi akibat
obstruksi saluran pencernaan.
3. Defisit Cairan
Faktor Resiko
a. Kehilangan cairan berlebih (muntah, diare,dan pengisapan lambung)
tanda klinis : kehilangan berat badan.
b. Ketidakcukupan asupan cairan (anoreksia, mual muntah, tidak ada cairan dan
depresi konfusi) tanda klinis : penurunan tekanan darah.
4. Dehidrasi
Dehidrasi disebut juga ketidakseimbangan hiiper osmolar, terjadi akibat
kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan kehilangan elektrolit dalam jumlah
proporsional, terutama natrium. Kehilangan cairan menyebabkan peningkatan
kadarnatrium, peningkatan osmolalitas, serta dehidrasi intraseluler. Air berpindah
dari sel dan kompartemen interstitial menuju ruang vascular. Kondisi
ini menybabkan gangguan fungsi sel da kolaps sirkulasi. Orang yang beresiko
mengalami dehidrasi salah satunya adalah individu lansia. Mereka mengalami
penurunan respons haus atau pemekatan urine. Di samping itu lansia
memiliki proporsi lemak yang lebih besar sehingga beresiko tunggi mengalami
dehidrasi akibat cadangan air yang sedikit dalam tubuh. Klien dengan diabetes
insipidus akibat penurunan hormon diuretik sering mengalami kehilangan cairan

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 47


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

tupe hiperosmolar. Pemberian cairan hipertonik juga meningkatkan jumlah


solute dalam aliran darah.
4. Kelebihan Volume Cairan (Hipervolemia)
Kelebihanvolumecairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan
elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang seimbang. Karena
adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum masih normal.
Kelebihan cairan tubuh hamper selalu disebabkaN oleH peningkatan jumlah
natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan/adanya
gangguan mekanisme homeostatispada proses regulasi keseimbangan cairan.
Penyebab spesifik kelebihan cairan, antara lain :
a. Asupan natrium yang berlebihan.
b. Pemberian infus berisi natrium terlalu cepat dan banyak, terutama
pada klien dengan gangguan mekanisme regulasi cairan.
c. Penyakit yang mengubah mekanisme regulasi, seperti gangguan
jantung (gagal ginjal kongestif), gagal ginjal, sirosis hati, sindrom
Cushing.
d. Kelebihan steroid.
5. Kelebihan Volume Cairan
Factor resiko :
a. Kelebihan cairan yang mengandung natrium dari terapi intravena.
Tanda klinis : penambahan berat badan
b. Asupan cairan yang mengandung natrium dari diet atau obat-obatan.
Tanda klinis : edema perifer dan nadi kuat
6. Edema
Pada kasus kelebihan cairan, jumlah cairan dan natrium yang berlebihan
dalam kompartemen ekstraselulermeningkatkan tekanan osmotik. Akibatnya, cairan
keluar dari sel sehingga menimbulkan penumpukan cairan dalam ruang interstitial

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 48


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

(Edema). Edema yang sering terlihat disekitar mata, kaki dan tangan. Edema dapat
bersifat local atau menyeluruh, tergantung pada kelebihan cairan yang terjadi. Edema
dapat terjadi ketika adapeningkatan produksi cairan interstisial/gangguan perpindahan
cairan interstisial. Hal ini dapat terjadi ketika:
a. Permeabilitas kapiler meningkat (mis. karena luka bakar, alergi yang
menyebabkan perpindahan cairan dari kapiler menuju ruang interstisial).
b. Peningkatan hidrostatik kapiler meningkat (mis., hipervolemia,
obstruksisirkulasi vena) yang menyebabkan cairann dalam pembuluh
darahterdorong ke ruang interstisial.
c. Perpindahan cairan dari ruangan interstisial terhambat (mis., pada blokade
limfatik).
Edema pitting adalah edema yang meninggalkan sedikit depresi atau
cekungan setelah dilakukan penekanan pada area yang bengkak. Cekungan terjadi
akibat pergerakan cairan dari daerah yang ditekan menuju jaringan sekitar
(menjauhi lokasi tekanan). Umumnya, edema jenis ini adalah edema yang
disebabkan oleh gangguan natrium. Adapun edema yang disebabkan oleh retensi
cairan hanya menimbulkan edema non pitting.

Gangguan Keseimbangan Asam Basa


1. Keseimbangan Asam Basa
Derajat keasaman merupakan suatu sifat kimia yang penting dari darah dan cairan
tubuh lainnya. Satuan derajat keasaman adalah pH.
Klasifikasi pH:
a. pH 7,0 adalah netral
b. pH diatas 7,0 adalah basa (alkali)
c. pH dibawah 7,0 adalah asam

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 49


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam keseimbangan asam basa adalah :


a. Konsentrasi ion hidrogen [H+]
b. Konsentrasi ion bikarbonat [HCO3-]
c. pCO2

2. Definisi Keseimbangan Asam Basa


Asam adalah setiap senyawa kimia yang melepas ion hidrogen kesuatu
larutan atau kesenyawa biasa. Contoh asam klorida ( HCl), hidrogen ( H+) dan ion
klorida ( Cl-). asam karbonat (H2CO3) , H+ dan ion bikarbonat ( HCO3-)
Basa adalah senyawa kimia yang menerima ion hidrogen. Contoh, ion bikarbonat
HCO3-, adalah suatu basa karena dapat menerima ion H+ untuk membentuk asam
karbonat (H2CO3). Demikian juga fospat ( HPO4) suatu basa karena dapat
membentuk asam fospat (H2PO4).
Keseimbangan asam-basa adalah mekanisme yang digunakan tubuh untuk menjaga
cairan ke tingkat netral (tidak asam atau basa) sehingga tubuh dapat berfungsi
dengan baik.
3. Gangguan Metabolic
a. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai
dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman
melampaui sistem penyangga pH, darah akan benar-benar menjadi asam. Penyebab
asidosis metabolik dapat dikelompokkan kedalam 3 kelompok utama:
1) Jumlah asam dalam tubuh dapat meningkat jika mengkonsumsi suatu asam atau
suatu bahan yang diubah menjadi asam.
2) Tubuh dapat menghasilkan asam yang lebih banyak melalui metabolisme.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 50


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

3) Asidosis metabolik bisa terjadi jika ginjal tidak mampu untuk membuang asam
dalam jumlah yang semestinya
Sebab-sebab alkalosis metabolik Kehilangan H dari ECF:
1) Kehilangan melalui saluran cerna (berkurangnya volume ECF)
a. Muntah atau penyedotan nasogastrik
b. Diare dengan kehilangan klorida
2) Kehilangan melalui ginjal
a. Diuretik simpai atau tiazid (pembatasan NaCl + berkurangnya ECF)
b. Kelebihan mineralokortikoid
Retensi HCO3:
1) Pemberian Natrium Bikarbonat berlebihan
2) Sundrom susu alkali (antasid, susu, natrium bikarbonat)
3) Darah simpan (sitrat) yang banyak (>8unit)
4) Alkalosis metabolik hiperkapnia (setelah koreksi pada asidosis respiratorik
kronik)
4. Gangguan Pernafasan
a. Asidosis Respiratori
Ciri: PaCO2 ↑ >45mmHg dan pH <7,35 → kompensasi ginjal retensi dan
peningkatan [HCO3-]
Sebab-sebab asidosis respiratorik (sebab dasar = Hipoventilasi):
Hambatan pada pusat pernafasan di medula oblongata
1) Obat-obatan : Kelebihan dosis opiat, sedatif, anestetik (akut)
2) Terapi oksigen pada hiperkapnea kronik
3) Henti jantung (akut)
4) Apnea saat tidur
Gangguan otot-otot pernafasan dan dinding dada :
1) Penyakit neuromuskuler : miastenia gravis, sindrom guillain-Barre,

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 51


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

poliomielitis, sklerosis lateral amiotropik.


2) Deformitas rongga dada : kifoskoliosis
3) Obesitas yang berlebihan : sindrom pickwikian
4) Cedera dinding dada seperti patah tulang-tulang iga
Gangguan pertukaran gas :
1) PPOM (emfisema dan bronkitis)
2) Tahap akhir penyakit paru intrinsik yang difus
3) Pneumona atau asama yang berat
4) Edema paru akut
5) Pneumotorak
Obstruksi saluran nafas atas yang akut :
1) Aspirasi benda asing atau muntah
2) Laringospasme atau edema laring, bronkospasme berat
c. Alkalosis Respiratorik
Ciri: penurunan PaCO2 7,45 → kompensasi ginjal meningkatkan ekskresi
HCO3-
Sebab-sebab alkalosis Respiratorik (sebab dasar =hiperventilasi):
Perangsangan sentral terhadap pernafasan
1) Hiperventilasi psikogenik yang disebabkan oleh stres emosional
2) Keadaan hipermetabolik : demam, tirotoksikosis
3) Gangguan SSP
4) Cedera kepala atau gangguan pembuluh darah otak
5) Tumor otak

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 52


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 5
CIDERA KEPALA
 120 Menit

U R AI AN M AT E R I

A. Definisi/Pengertian
Trauma kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen (PERDOSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Handaya, 2011).
B. Etiologi
Menurut Coronado & Thomas (2007), kiecelakaan lalu lintas dan terjatuh
merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 53


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

per 100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma
kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat.
Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan
dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
Beberapa mekanisme yang terjadi pada trauma kepala adalah seperti translasi
yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke
suatu arah atau tidak bergerak, dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah
dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi)
pada arah tersebut. Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu
arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak
tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila
tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut
terhadap gerak kepala.
C. Gejala Klinis
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 54


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

- Battle sign (warna biru atau ekhimosis di belakang telinga di atas osmastoid)
- Hemotimpanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga)
- Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
- Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
- Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
- Kesadaran menurun selama beberapa saat kemudian sembuh
- Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
- Mual atau dan muntah
- Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
- Perubahan keperibadian diri
- Letargik

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 55


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 56


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

D. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala,
jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Faktor yang mempengaruhi cedera
kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang
datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat
benturan (Price dan Wilson, 2006). Cedera kepala dapat bersifat terbuka
(menembus durameter) atau truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi
menembus durameter). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan
memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis cedera kepala akan terjadi
kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak
akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Corwin, 2006).

Gambar 2. Coup dan Countrecoup Pada Cedera Kepala

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 57


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 6
STROKE

 120 Menit

U R AI AN M AT E R I

A. Definisi Stroke
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala
dan tanda yang sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Stroke merupakan salah
satu masalah kesehatan yang serius karena ditandai dengan tingginya morbiditas dan
mortalitasnya. Selain itu, tampak adanya kecendrungan peningkatan insidennya
(Bustan, 2007).
B. Klasifikasi Stroke
Stroke dibedakan menjadi dua yaitu, stroke iskemik dan stroke hemoragik.
a. Stroke Iskemik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh
thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi akibat aliran darah ke otak
terhenti oleh artheriosklerosis( penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh
darah) atau bekuan darah yang menyumbat suatu pembuluh darah ke otak.
Penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke
otak.
Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral
melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia
yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal.
Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 58


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

emboli. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri
vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung. Stroke
Iskemik terbagi lagi menjadi 3 yaitu:
1. Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan.
2. Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3. Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh
karena adanya gangguan denyut jantung.
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh pembuluh darah otak yang pecah
menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang
menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya. Sehingga proses
transmisi sinyal listrik dari otak ke bagian tubuh lainnya tidak berjalan. Darah
yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan
edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut
menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis
jaringan otak
C. Gejala-gejala Stroke
Gejala stroke yang muncul tergantung bagian otak mana yang terganggu.
Otak manusia terdiri atas otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum) dan batang
otak. Otak besar terdiri atas bagian besar yang disebut hemisfer, yaitu hemisfer kanan
dan hemisfer kiri. Fungsi bagian tubuh sebelah kanan di kendalikan oleh hemisfer kiri
dan fungsi bagian tubuh sebelah kiri dikendalikan oleh hemisfer kanan. Otak memiliki
lobus-lobus yang memiliki fungsi masing-masing, diantaranya:
1. Otak Lobus frontal
Mengendalikan gerakan, pengambilan, keputusan, dan pembauan.
2. Lobus temporal

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 59


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Mengendalikan pendengaran, memori, dan emosi


3. Lobus pariental
Mengendalikan rasa kulit dan bahasa
4. Lobus occipital
Mengendalikan pengelihatan
5. Lobus cerebellum
Mengendalikan keseimbangan dan koordinasi
6. Batang Otak
Mengendalikan menelan, bernafas dan fungsi vital
Stroke yang menyerang otak bagian kanan akan mengakibatkan gangguan
pada proses membaca, berhitung, berbicara dan berpikir logis. Sedangkan stroke
yang menyerang otak bagian kiri akan mengakibatkan gangguan pada proses
bermusik, berimajinasi, berkesenian, orientasi, dan ilmu ruang. Stroke yang
menyerang otak dapat mengganggu fungsi sistem saraf, sehingga anggota tubuh
tidak merespon sinyal listrik dari saraf pusat. Hal ini menyebabkan berbagai gejala-
gejala diantaranya:
1. Kelumpuhan anggota gerak
Kelemahan anggota gerak merupakan gejala umum yang dijumpai pada
srtoke. Bila seseorang tiba-tiba merasakan kehilangan kekuatan pada salah
satu lengan atau tungkai berpikirlah ini sebagai gejala stroke. Kelemahan
biasanya sesisi, kanan atau kiri. Gangguan peredaran darah otak di sebelah
kanan akan menyebabkan kelemahan anggota gerak bagian kiri. Sebaliknya,
gangguan peredaran darah di sebelah kiri menyebabkan kelemahan anggota
gerak bagian kanan.
2. Wajah perot
Wajah perot juga gejala umum yang sering timbul pada penderita stroke.
Wajah perot pada penderita stroke terjadi akibat gangguan pada saraf nomor

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 60


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

tujuh di sentral. Cara mudah untuk melihat wajah perot adalah meminta
pasien untuk tersenyum atau menunjukkan giginya. Curigailah wajah perot
mendadak sampai tebukti bukan gejala stroke.
3. Gangguan bicara
Gangguan stroke dapat pula menunjukkan bicara tidak jelas (pelo) atau tidak
dapat bicara (afasia). Hal ini terjadi akibat kelumpuhan saraf nomor duabelas
atau lobus fronto-temporal di otak. Untuk memeriksanya mintalah pasien
menjulurkan lidah, dalam keadaan normal lidah menjulur lurus.
4. Gangguan keseimbangan / Vertigo
Pusing berputar dapat disertai gejala mual/muntah maupun tidak. Gangguan
pada sistem keseimbangan di otak kecil (cerebellum) akan menimbulkan
gejala pusing berputar. Gejala pusing berputar dapat juga disertai gejala lain
misalnya pelo dan gangguan koordinasi.
5. Nyeri kepala
Nyeri kepala yang diakibatakan stroke biasanya terjadi bersifat mendadak,
intensitas yang berat, dan disertai gangguan saraf lainnya.
6. Penurunan kesadaran
Kesadaran di otak dipengaruhi oleh ARAS (Assending Reticular Activating
System). Sistem ini membuat seseorang terjaga. Pada kasus stroke yang
langsung menyerang sistem kesadaran atau mendesak pusat sistem kesadaran
dapat dijumpai penurunan kesadaran.
7. Mendadak seluruh badan lemas dan terkulai tanpa hilang kesadaran (drop
attack) atau disertai hilang kesadaran sejenak (sinkop)
8. Gangguan pengelihatan (mata kabur) pada satu atau dua mata
9. Gangguan daya ingat atau memori baru (amnesia)
10. Gangguan orientasi tempat, waktu, dan orang
11. Gangguan menelan cairan atau makanan padat (disfagia)

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 61


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

E. Pathway Stroke = Masalah Keperawatan

Factor-faktor resiko = Alur patogenesis


stroke
Aterosklerosis (A. karotis Katup jantung rusak, miokard
interna) infark, fibrilasi, endokarditis
hiperkoagulasi
Thrombosis Penyumbatan pembuluh darah
serebral otak oleh lemak, udara, bekuan
Penyempitan pembuluh
darah darah
Aliran darah lebih cepat Emboli
melalui lumen yang lebih serebral
kecil Oklusi/sumbatan pembuluh darah
Tingkat kritis
tertentu Pasokan darah berkurang
Turbulensi aliran
Infark serebri (nekrosis
darah
Thrombus mikroskopik neuron-neuron)
pecah
 Bervariasi sesuai dengan lokasi Aktivasi metabolisme
sumbatan anaerob
 hemiplegic/parestesia setengah tubuh Berkurang produksi
ATP
 Afasia Gangguan transport aktif ion
pembengkakan neuron
pompa natrium-kalium akan
Kematian sel-sel otak berhenti

Cerebrum (otak Batang Otak Cerebelum (otak


besar)Disfasia, disatria kecil) Defisit motorik
hambatan Penurunan tk kesadaran
komunika Gerakan involunter
si verbal Apatis s.d koma
Hemiplegi
-
, Reflek batuk
Paraplegi, menurun
Hambatan Ketidakefe
Tetraplegi Reflek
mobilitas fisik menelan
Ketidakseimbanga ktifan
Kelemahan otot turun n nutrisi: kurang bersihan
Gangguan dari kebutuhan
spicter jalan napas
eliminasi tubuh
Gg persepsi sensori urin/defekas
i

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 62


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 7
GAGAL JANTUNG
 120 Menit

U R AI AN M AT E R I

A. Pengertian
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
mempertahankan sirkulasi yang adekuat yang ditandai oleh adanya suatu sindroma
klinis berupa dispneu (sesak nafas), dilatasi vena dan edema yang diakibatkan oleh
adanya kelainan struktur atau fungsi jantung (Sudoyo, 2006).
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan
fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung sehingga
tidak mampu mempertahankan cardiac output (CO) yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh (Corwin, 2001; Price, 1995).
B. Etiologi
1. Gangguan kontraksi otot jantung
a. Miokarditis
b. Infark miokard
c. Aritmia
d. Obat-obatan
2. Beban kerja jantung yang meningkat

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 63


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

a. Insufisiensi aorta
b. Insufisiensi mitral
c. Tranfusi yang berlebihan
d. Hipervolemia sekunder
e. Stenosis aorta
3. Gangguan pengisian jantung
a. Stenosis mitral
b. Stenosis trikuspid
c. Tamponade jantung
d. Perikarditis
4. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan oksigen
a. Anemia
b. Hipertiroidisme
c. Demam
d. Beri-beri
C. Klasifikasi
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal
jantung terbagi atas:
1. Gagal jantung kiri
2. Gagal jantung kanan
3. Gagal jantung kongestif (kiri dan kanan)
Istilah lain terhadap pembagian gagal jantung disesuaikan dengan keadaan
klinis dan mekanisme, antara lain:
1. Low output heart failure
2. High output heart failure
3. Acute/sub acute heart failure
4. Cronich heart failure

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 64


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

D. Patofisiologi

Perikarditis, Dysritmia, Obat-obatan, Stenosis aorta/hipertensi,


Temponade dan infark miokard tranfusi >>

Preload Contractcility menurun Afterload


meningkat meningkat

Kompensasi kerja jantung terutama ventrikel kiri (Otot jantung menebal, mengeras, elastisitas
menurun, kemampuan kontraksi turun, ukuran jantung membesar (LVH)

Penurunan ejeksi darah sistemik

Penurunan Cardiac output

pengeluaran katakolamin

peningkatan frekwensi denyut


jantung, peningkatan tahanan perifer
bendungan pada daerah
proksimal ventrikel kiri
G3 perfusi pada jaringan periper

Bendungan pada atrium kiri


Bila tak tertanggulangi timbul dekompensasi
(tekanan darah turun) (nadi meningkat)
Bendungan pada paru

G3 perfusi jaringan

Oedem paru

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 65


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Rh +/+, Sesak nafas, Asidosis


respiratorik

Kegiatan Belajar 8
PPOK Ggn pertukaran gas

 120 Menit

U R AI AN M AT E R I

A. Definisi

Penyakit paru-paru obstrutif kronis/PPOK (chronic obstructive pulmonary

diseases/COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok

penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi

terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Irman, 2008).

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan


kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut
dalam perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak
napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal da lam variasi hari ke hari
(GOLD, 2009).

B. Etiologi
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya
karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru,

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 66


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat


obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolic (diabetes
melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau polusi udara,
aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot
respirasi) (PDPI, 2003).

C. Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan
perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi
adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan
perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri
dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi
berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai
untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk
gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital
paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

D. Tanda dan Gejala


Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat,
dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Eksaserbasi akut dapat dibagi
menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe
II (eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III
(eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 67


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi >
20% baseline (Vestbo, 2006).

E. Komplikasi PPOK/COPD:
1. Hipoksemia
2. Asidosis respiratorik
3. Infeksi saluran pernapasan
4. Gagal jantung, terutama cor pulmonal (gagal jantung kanan akinat penyakit paru-
paru)
5. Disritmia jantung
6. Status asmatikus: komplikasi utama yang berhubungan dengan asma bronkhial

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 68


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 9
DIABETES MELLITUS
 120 Menit

U R AI AN M AT E R I

A. Definisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang bersifat progresif,
dikarakteristikan oleh ketidakmampuan tubuh untuk memetabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, yang mengarah kepada hiperglikemia (kadar gula darah yang
tinggi) (Sherwood, 2012).
B. Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut WHO, diabetes melitus dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan
perawatan dan simtoma.
1. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes Mellitus Tipe 1 biasa menyerang anak-anak. Merupakan diabetes
yang terjadi karena berkurangnya insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya
sel beta pada pulau langerhans. Hilangnya sel beta dikarenakan reaksi autoimun
yang salah sehingga menghancurkan sel beta di pankreas. Salah satu gejala DM
tipe 1 ini adalah buang air kecil yang terlalu sering.
2. Diabetes Melitus Tipe 2

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 69


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Merupakan tipe diabetes yang bukan karena berkurangnya rasio insulin


dalam darah, melainkan karena kelainan metabolisme. Terjadi Hiperglisema yaitu
bertambahnya atau melebihnya glukosa darah.

3. Diabetes Melitus Gestasional


Diabetes tipe ini adalah diabetes yang timbul pada saat kehamilan, yang
diakibatkan oleh kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon
insulin yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekstra pada kehamilan.
Resiko terjadinya anomali kongenital berkaitan langsung dengan derajat
hiperglikemia pada saat diagnosis ditegakkan. Pada diabetes melitus jenis ini,
insulin sulit bekerja karena beberapa hormon pada ibu hamil memiliki efek
metabolik yang bertoleransi dengan glukosa.
Sedangkan American Diabetes Association (2011) membagi DM dalam
empat klasifikasi dengan dua tipe utama yaitu tipe I dan tipe II.
1. Diabetes tipe I
2. Diabetes tipe II
3. Diabetes tipe Gestasional
4. Diabetes tipe spesifik lain

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 70


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Pathway

Kelainangeneti Gaya Malnutris Obesita Infeksi


k hidupstres i s

Penyampaianke Meningkatkan Penurunan Peningkata Merusak


lainanpankreas bebanmetaboli produksi nkebutuhan pankrea
kpankreas insulin insulin n

Penurunan insulin (berakibatpenyakit


diabetes melitus)

Penurunanfasilitasglukosadalamsel

Glukosamenumpuk di Seltidakmemperolehnutris
darah i

Peningkatantekana Starvasiselule
nosmolalitas r
plasma
Pembongkaranglikog Pembongkaran
en, asamlemak, protein &asam
Kelebihanambangg ketonuntukenergi amino
lukosapadaginjal

Penuruna Penumpuka Penuruna Penurunan


Diuresis nmassaoto nbendaketo nantibodi perbaikanj
Osmotik t n aringan

Nutrisikurang Asidosis Restiinfeks


Prodi D III Keperawatan Semarang
Poliuria darikebutuhan i ResikopePage 71
rlukaan

Polanafasti
Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Jenis diabetes miletus yang paling umum dikenal orang adalah diabetes melitus tipe 1
dan diabetes melitus tipe 2.
1) Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan karena berkurang atau rusaknya sel beta sebagai
penghasil insulin pada pankreas yang menyebabkan produksi insuline menjadi
berkurang atau tidak terproduksi lagi. Pada saat makanan yang masuk ke dalam
tubuh, maka makanan tersebut akan dirubah menjadi glukosa. Glukosa kemudian
masuk ke dalam aliran darah. Selanjutnya pankreas menghasilkan sedikit insulin atau
tidak menghasilkan insulin sama sekali karena kerusakan sel beta pada pulau
langerhans yang terdapat pada pankreas. Insulin yang dihasilkan tersebut akan masuk
ke dalam aliran darah, selanjutnya dikarena jumlah insulin yang diproduksi dengan
glukosa yang masuk ke dalam tubuh terlalu sedikit maka menyebabkan penumpukan
glukosa dalam darah.
2) Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan karena kurangya sensitivitas terhadap insulin
(disebabkan kurangnya jumlah reseptor insulin dipermukaan sel) yang ditandai
dengan meningkatnya kadar insulin dalam darah. Pada awalnya makan yang masuk
ke dalam tubuh akan diubah menjadi glukosa, kemudian glukosa akan masuk ke
dalam aliran darah. Selanjutnya pankreas akan menghasilkan insulin, dan insulin
tersebut akan masuk ke dalam pembuluh darah. Namun insulin tersebut mengalami
penurunan sensitivitas, sehingga glukosa menumpuk dalam darah dan tidak dapat
masuk ke dalam sel. 12

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 72


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 10
SIROSIS HEPATIS
 120 Menit

U R AI AN M AT E R I

A. Pengertian
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi
mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul
tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
B. Etiologi
Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati :
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 73


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus
biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran
empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan
terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang
dikelilingi oleh jaringan parut.
C. Manifestasi Klinis
Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.
Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-
selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam
yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat
dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit
yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba
benjol-benjol (noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh
kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal.
Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal
dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah
yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus
gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat
kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi
oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan
keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan
pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 74


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan


menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting
dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring
telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru
kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan
keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi
akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah
kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh
portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai
akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah
abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan
distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan
rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan
pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises
atau temoroid tergantung pada lokasinya.

D. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang
utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun
defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati
pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab
utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun
demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan
minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang
tinggi.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 75


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon
tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua
kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60
tahun. Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang
melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-
sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut
yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi.
Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil
regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang
sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail
appearance) yang khas. Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan
perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang
waktu 30 tahun/lebih.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 76


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 11
GAGAL GINJAL KRONIS

 120 Menit

URAIAN MATERI

A. Pengertian
Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif
yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya
yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal), (Nursalam, 2006).
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. ( Smeltzer, Suzanne C,
2002).
Menurut Doenges, 1999, Chronic Kidney Disease biasanya berakibat akhir dari
kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap. Penyebab termasuk glomerulonefritis,
infeksi kronis, penyakit vascular (nefrosklerosis), proses obstruktif (kalkuli), penyakit
kolagen (lupus sistemik), agen nefrotik (aminoglikosida), penyakit endokrin (diabetes).
Bertahapnya sindrom ini melalui tahap dan menghasilkan perubahan utama pada
semua sistem tubuh.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 77


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Gagal ginjal kronik (Chronic Renal Failure) terjadi apabila kedua ginjal sudah
tidak mampu mempertahankan lingkungan yang cocok untuk kelangsungan hidup,
yang bersifat irreversible, (Baradero, Mary).

B. Etiologi
Menurut Price dan Wilson (2005) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik adalah
sebagai berikut :
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial: Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
2. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis
3. Penyakit vaskuler hipertensif: Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteria renalis
4. Gangguan jaringan ikat: Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif
5. Gangguan congenital dan herediter: Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal
6. Penyakit metabolik: Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik: Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
8. Nefropati obstruktif: Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur uretra,
anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra)

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 78


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

C. Pathways

D. Pathofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat
disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode
adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron
rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa
direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena
jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk
sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 79


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan 3 produk sampah
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
(Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
E. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
- Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
- Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
- Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan LFG :
- Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG
yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
- Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
- Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
- Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15- 29mL/menit/1,73m2
- Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test
) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 80


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

72 creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
F. Manifestasi klinis
1. Manifestasi klinis antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi,
(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin –
aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan
berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik,
pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan
tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 81


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki
), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic
lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
G. Pemeriksaan penunjang
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi
antara lain :
1. Pemeriksaan lab.darah
- Hematologi
- Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 82


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

- RFT ( renal fungsi test )


- ureum dan kreatinin
- LFT (liver fungsi test )
- Elektrolit
- Klorida, kalium, kalsium
- koagulasi studi
- PTT, PTTK
- BGA
2. Urine
- urine rutin
- urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
3. pemeriksaan kardiovaskuler
- ECG
- ECO
4. Radidiagnostik
- USG abdominal
- CT scan abdominal
- BNO/IVP, FPA
- Renogram
- RPG ( retio pielografi )
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
1. Konservatif
a. Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
b. Observasi balance cairan
c. Observasi adanya odema
d. Batasi cairan yang masuk

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 83


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

2. Dialysis
a. peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan dialysis yang
bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD (
Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
b. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah
femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung
)
c. Operasi
- Pengambilan batu
- transplantasi ginjal

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 84


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 12
HIV/AIDS

 120 Menit

URAIAN MATERI

A. Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus-RNA yang
menerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immunodeficiency Syndrome suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS
adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi
oleh HIV (Sylvia & Wilson, 2005).
AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah kehilangan kekebalan
tubuh manusia sebuah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan
kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur,
parasit, dan pirus tertentu yang bersipat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering
sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma kaposi dan limpoma yang hanya
menyerang otak (Djuanda, 2007).

B. Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok
retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh
manusia. Penyakit ini dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen
di dalam darah, dan penularan masa perinatal. HIV teridentifikasi ada dalam kolostrum

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 85


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

dan ASI, menyebabkan infeksi kronis pada bayi dan anak. Infeksi yang ditularkan ibu
ini akan mengganggu sistem kekebalan tubuh sehingga anak mudah terkena infeksi
berulang, seperti infeksi saluran cerna, infeksi jamur, infeksi tuberkulosis, dsb
sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu.
AIDS disebabkan oleh virus HIV tipe 1 yang melekat dan memasuki Limfosit T
helper CD4, yang juga ditemukan dalam jumlah yang lebih rendah pada monosit dan
makofag.
HIV-1 merupakan virus RNA dan merupakan parasit obligat intrasel. Dalam
bentuk yang asli ia merupakan partikel yang inert tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel host (sel target)
C. Tanda dan gejala
Masa antara terinfeksi HIV dan timbul gejala-gejala penyakit adalah 6 bulan-10
tahun. Rata-rata masa inkubasi 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan/5tahun pada
orang dewasa. Tanda-tanda yang di temui pada penderita AIDS antara lain:
1. Gejala yang muncul setelah 2 sampai 6 minggu sesudah virus masuk ke dalam
tubuh: sindrom mononukleosida yaitu demam dengan suhu badan 38 C sampai 40
C dengan pembesaran kelenjar getah benih di leher dan di ketiak, disertai dengan
timbulnya bercak kemerahan pada kulit.
2. Gejala dan tanda yang muncul setelah 6 bulan sampai 5 tahun setelah infeksi,
dapat muncul gejala-gejala kronis : sindrom limfodenopati kronis yaitu
pembesaran getah bening yang terus membesar lebih luas misalnya di leher, ketiak
dan lipat paha. Kemudian sering keluar keringat malam tanpa penyebab yang
jelas. Selanjutnya timbul rasa lemas, penurunan berat badan sampai kurang 5 kg
setiap bulan, batuk kering, diare, bercak-bercak di kulit, timbul tukak (ulceration),
perdarahan, sesak nafas, kelumpuhan, gangguan penglihatan, kejiwaan terganggu.
Gejala ini di indikasi adanya kerusakan sistem kekebalan tubuh.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 86


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

3. Pada tahap akhir, orang-orang yang sistem kekebalan tubuhnya rusak akan
menderita AIDS. Pada tahap ini penderita sering di serang penyakit berbahaya
seperti kelainan otak, meningitis, kanker kulit, luka bertukak, infeksi yang
menyebar, tuberkulosis paru (TBC), diare kronik, candidiasis mulut dan
pnemonia.
Menurut Cecily L Betz, anak-anak dengan infeksi HIV yang didapat pada masa
perinatal tampak normal pada saat lahir dan mulai timbul gejala pada 2 tahun pertama
kehidupan. Manifestasi klinisnya antara lain :
1. Berat badan lahir rendah
2. Gagal tumbuh
3. Limfadenopati umum
4. Hepatosplenomegali
5. Sinusitis
6. Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7. Parotitis
8. Diare kronik atau kambuhan
9. Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10. Sariawan orofaring

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 87


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

D. Pathways

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 88


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

E. Pathofisiologi
Patofisiologi AIDS adalah kompleks, seperti halnya dengan semua sindrom.
Pada akhirnya, HIV menyebabkan AIDSdengan berkurangnya CD4+, limfosit T
pembantu. Halini melemahkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkaninfeksi
oportunistik. Limfosit T sangat penting untuk respon kekebalan tubuh dan tanpa
mereka, tubuh tidak dapatmelawan infeksi atau membunuh sel kanker. Mekanisme
penurunan CD4 T+ berbeda di fase akut dan kronis.
Selama fase akut, HIV-diinduksi lisis sel dan membunuh sel yang terinfeksi
oleh sel sitotoksikakunT untuk CD4+T deplesi sel, walaupun apoptosis juga dapat
menjadi faktor. Selama fase kronis, konsekuensi dari aktivasi kekebalanumum
ditambah dengan hilangnya bertahap kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk
menghasilkan sel baru Tmuncul untuk menjelaskan penurunan lamban dalam
jumlah CD4+T s e l .
Meskipun gejala defisiensi imun karakteristik AIDS tidak muncul selama
bertahun-tahun setelah seseorang terinfeksi,sebagian besar CD4+T hilangnya sel
terjadi selama minggu pertama infeksi, terutama di mukosa usus, pelabuhanyang
mayoritas limfosit ditemukan dalam tubuh. Alasan hilangnya preferensial CD4+T
sel mukosa adalah bahwamayoritas CD4+T sel mukosa mengungkapkan coreceptor
CCR5, sedangkan sebagian kecil CD4+ sel T dalam alirandarah melakukannya.
HIV mencari dan menghancurkan CD4+ sel CCR5 mengekspresikan selama
infeksi akut. Sebuah respon imun yangkuat akhirnya kontrol infeksi dan inisiat fase
laten klinis. Namun, CD4+T sel dalam jaringan mukosa tetap habisseluruh infeksi,
meskipun cukup tetap awalnya menangkal infeksi yang mengancam jiwa.
Replikasi HIV terus-menerus menghasilkan keadaan aktivasi kekebalan umum
bertahan selama fase kronis. Aktivasikekebalan tubuh, yang tercermin oleh negara
aktivasi peningkatan sel kekebalan dan pelepasan sitokin pro inflamasi,hasil dari
aktivitas beberapa produk gen HIV dan respon kebal terhadap replikasi HIV terus-

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 89


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

menerus. Penyebablainnya adalah kerusakan pada sistem surveilans kekebalan


penghalang mukosa yang disebabkan oleh penipisanmukosa CD4+ sel T selama
fase akut dari penyakit.
Hal ini mengakibatkan pemaparan sistemik dari sistem kekebalan tubuh untuk
komponen mikroba flora normal usus,yang pada orang sehat adalah disimpan di cek
oleh sistem imun mukosa. Aktivasi dan proliferasi sel T yang hasil dariaktivasi
kekebalan memberikan target segar untuk infeksi HIV. Namun, pembunuhan
langsung dengan HIV saja tidakdapat menjelaskan menipisnya diamati CD4+ sel T
karena hanya 0,01-0,10% dari CD4+T sel dalam darah yangterinfeksi.
Penyebab utama hilangnya CD4 T+ muncul hasil dari kerentanan mereka untuk
apoptosis meningkat ketika sistemkekebalan tubuh tetap diaktifkan. Meskipun baru
sel T terus diproduksi oleh timus untuk menggantikan yang hilang,kapasitas
regeneratif timus secara perlahan dihancurkan oleh infeksi langsung thymocytes
dengan HIV. Akhirnya, jumlah minimal CD4+ sel T yang diperlukan untuk
menjaga respon imun yang cukup hilang, yang mengarah ke AIDS.
F. Cara penularan
HIV hanya bisa hidup di dalam cairan tubuh seperti darah, cairan vagina, cairan
sperma, air susu ibu. Penularan tersebut dapat melalui :
1. Dari Ibu kepada bayinya dapat melalui:
a. Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)(5-10 %)
b. Selama persalinan (intrapartum)(10-20 %)
c. Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (postpartum)
d. Bayi tertular melalui pemberian ASI
Sebagian besar (90%), infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu,
hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses tranfusi.
2. Ibu hamil dengan HIV (+)

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 90


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Ibu hamil yang mengandung HIV di dalam tubuhnya dapat menularkan ke bayi
yang dikandunfnya. Ibu sendiri biasanya belum menunjukan gejala klinis AIDS.
Cara transmisi ini juga disebut dengan transmisi vertical. Transmisi dapat terjadi
melalui plasenta (intrauterine) atau inpartum, yaitu pada waktu bayi lahir
terpapar dengan darah ibu atau secret genetalia yang mengandung HIV.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam
tubuhnya.
3. Transfusi
Penularan dapat terjadi melalui transfuse darah yang mengandung HIV atau
produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah
dilakukan skrining darah donor terhadap HIV maka transmisi melalui cara ini
akan menjadi jauh berkurang.
4. Jarum suntik
Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada anak remaja
penyalahgunaan obat IV yang menggunakan jarum suntik bersama.
5. Hubungan seksual dengan pengidap HIV
Penularan cara ini ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti pasangan.
G. Pencegahan
1. Hindari hubungan seksual.
2. Gunakan kondom bila berhubungan seksual.
3. Hindari penggunaan jarum suntik atau jarum tindaik secara bergantian.
4. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui:
a. Saat hamil
Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar vital load rendah
sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif
untuk menularkan HIV.
b. Saat melahirkan

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 91


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Penggunaan antiretroviral (Nevirapine) saat persalinan dan bayi baru dilahirkan


dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar karena terbukti
mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.

c. Setelah lahir
Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI. Untuk
mengurangi resiko penularan, ibu dengan HIV positif bisa memberikan susu
formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian susu formula harus
sesuai dengan persyaratan AFASS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu
Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga
terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, dan Safe = aman penggunaannya.
Pada daerah tertentu di mana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan
AFASS, ibu HIV positif harus mendapatkan konseling jika memilih untuk
memberikan ASI eksklusif.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 92


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Kegiatan Belajar 13
KRISIS ADRENAL

 120 Menit

URAIAN MATERI

A. Pengertian
Penyakit Addison adalah kelainan hormonal yang disebabkan oleh
ketidakmampuan kelenjar adrenalis (korteks adrenalis) memproduksi hormon
glukokortikoid (kortisol), pada beberapa kasus didapatkan ketidakmampuan
memproduksi hormon mineralokortikoid (aldosteron) yang cukup bagi tubuh. Oleh
karenanya penyakit Addison ini disebut juga dengan chronic adrenal insufficiency atau
hypocortisolism (Chrousos, 2004).
Kortisol diproduksi oleh kelnjar adrenalis yang dikontrol oleh hipotalamus
dan kelenjar hipofide di otak. Hipotalamus memberikan signal kepada kelenjar
hipofise untuk memproduksi hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang menstimulasi
kelenjar adrenalis memproduksi kortisol. Apabila kelnjar adrenalis tidak dapat
memproduksi cukup kortisol maka keadaan ini disebut sebagai primary adrenocortical
insufficiency (hypocortisolism) atau Addison’s disease. Apabila hipotalamus atau
kelenjar hipofise tidak memproduksi cukup ACTH maka keadaan ini disebut sebagai
secondary adrenocortical insufficiency (Stewart, 2003).
B. Etiologi

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 93


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Ketidakmampuan memproduksi hormon kortisol yang adekuat disebut juga


insufisiensi adrenal terjadi karena berbagai hal. Keadaan tersebut disebabkan oleh
gangguan di kelenjar itu sendiri (insufisiensi adrenal primer) atau gangguan sekresi
hormon ACTH oleh kelenjar hipofisis (insufisiensi adrenal sekunder) (Stulberg D,
2003).
Pada keadaan insufisensi adrenal primer terjadi kerusakan secara lambat dari
kelenjar adrenal, dengan defisiensi kortisol, aldosterone, dan adrenal androgen dan
kelebihan dari ACTH dan CRH yang berhubungan dengan hilangnya feedback
negatif. Sedangkan pada insufisensi kelenjar adrenal sekunder terjadi penurunan kadar
kortisol yang berlebihan, yang berhubungan dengan kehilangan fungsi secara lambat
dari hypothalamus dan pituitari. Kadar kortisol dan ACTH keduanya menurun,
tetapi kadar aldosteron dan adrenal androgen biasanya normal karena keduanya
diregulasi diluar jalur hipotalamus hipofisis.(Wisse, 2013; Hurd, 2006; Nurharjanti H.
dan Tridjaja, 2007).
C. Pathway

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 94


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

D. Pathofisiologi
Insufisiensi adrenal dapat bermanifestasi sebagai defek pada sumbu
hipothalamus-hipofisis-adrenal. Insufisiensi adrenal primer merupakan akibat dari
destruksi korteks adrenal. Zone glomerulosa, lapisan terluar kelenjar adrenal
menghasilkan aldosteron. Kortisol diproduksi di zona fasikulata dan zona
retikularis, bagian tengah dan dalam kelenjar adrenal. Dehidroepiandrosteron
diproduksi di zona retikularis. Karena mineralokortikortikoid dan glukokortikoid
menstimulasi reabsorbsi natrium dan ekskresi kalium, defisiensinya akan
menyebabkan peningkatan ekskresi natrium dan penurunan ekskresi kalium,
terutama pada urin, selain itu juga pada keringat, saliva, dan saluran
gastrointestinal. Terjadi konsentrasi natrium yang rendah dan kalium yang tinggi
dalam serum.
Ketidakmampuan untuk mengkonsentrasikan urin disertai gangguan
keseimbangan elektrolit menyebabkan dehidrasi berat, hipertonisitas plasma,

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 95


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

asidosis, penurunan volume sirkulasi, hipotensi, akhirnya kolaps sirkulasi. Bila


insufisiensi adrenal disebabkan produksi ACTH yang tidak adekuat, maka kadar
elektrolit biasanya normal atau sedikit berkurang. Defisiensi glukokortikoid
menimbulkan hipotensi dan menyebabkan sensivitas insulin berat, gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Tanpa adanya kortisol, kekurangan
karbohidrat dibentuk dari protein akibatnya terjadi hipoglikemia dan penurunan
glikogen hati. Terjadi kelemahan karena gangguan fungsi neuromuskuler.
Ketahanan terhadap infeksi, trauma, dan stress lainnya juga berkurang. kelemahan
otot jantung dan dehidrasi menurunkan output jantung, kemudian terjadi kegagalan
sirkulasi. Penurunan kortisol darah menyebabkan peningkatan produksi ACTH
hipofisis dan peningkatan β-lipotropin darah, yang memiliki aktivitasi stimulasi
melanosit bersama dengan ACTH, menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan
membran mukosa khas pada penyakit Addison (Liotta EA, 2007; Grossman AB,
2007).
Gambaran klinis ditemukan setelah 90% korteks adrenal mengalami
kerusakan oleh peran autoimun, infeksi, neoplastik, traumatik, iatrogenik, vaskuler,
dan metabolik. Dengan destruksi korteks adrenal, inhibisi umpan balik
hipothalamus dan kelenjar hipofisis anterior terganggu sehingga kortikotropin
disekresikan terus menerus. Kortikotropin dan melanocyte-stimulating hormone
(MSH) merupakan komponen hormon progenitor yang sama. Ketika kortikotropin
hilang dari prohormon, MSH dilepaskan menyebabkan hiperpigmentasi khas
kecoklatan seperti perunggu. Hiperpigmentasi umumnya ditemukan pada
insufisiensi adrenal primer yang berhubungan dengan peningkatan kadar
kortikotropin dan MSH (Hamhian AH, 2004; Marik PE, 2002).
E. Manifestasi Klinis
Dalam defisiensi funsgsi adrenal primer, defisiensi kortisol terjadi
bersamaan dengan defisiensi mineralokortikoid yang menyebabkan hiperkalemia

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 96


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

dan hiponatremia, asidosis dan dehidrasi. Gambaran krisis adrenal terutama


disebabkan defisiensi dari mineralokortikoid, sehingga presentasi klinis didominasi
oleh hipotensi atau syok. Kegawatan ini terutama disebabkan oleh natrium dan
deplesi volume plasma, tetapi terkait dengan sekresi prostaglandin yang
meningkat (prostasiklin) dan penurunan respons terhadap norepinefrin dan
angiotensin II dapat memperburuk gangguan peredaran darah. Gejala
klinis yang mendukung suatu diagnosis krisis adrenal adalah sebagai berikut :
1. Syok yang sulit dijelaskan etiologinya biasanya tidak ada pengaruh dengan
pemberian resusitasi cairan atau vasopresor.
2. Hipotermia atau hipertermia, hiperkalemia
3. Yang berhubungan dengan kekurangan kortisol yaitu cepat lelah,
lemah badan, anoreksia, mual mual dan muntah , diare, hipoglikemi, hipotensi,
hiponatremi.
4. Yang berhubungan dengan kekurangan hormon aldosteron yaitu hiperkalemia
dan hipotensi berat yang menetap.
5. Lain lain tergantung dari penyebab, mungkin didapatkan panas badan, nyeri
abdomen dan pinggang yang berhubungan dengan perdarahan kelenjar adrenal
(White, 2010; Wisse, 2013; Hurd, 2006).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar sodium, potasium, kortisol, ACTH dan
antibodi yang berhubungan dengan autoimun pada penyakit Addison. Tes stimulasi
ACTH, CRH, tes hipoglikemia yang diinduksi insulin serta tes pencitraan CT Scan
dan MRI sangat membantu dalam menegakkan diagnosis (Ten S, 2001).
G. Penatalaksanaan
Pada keadaan gawat darurat (penanganan krisis adrenal) yang disertai dengan syok
atau dehidrasi berat, dengan mempertahankan jalan napas, dan sirkulasi.
Diberikan cairan kristaloid isotonis sampai sirkulasi teratasi. Untuk 24 jam

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 97


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

berikutnya cairan rumatan yang diberikan adalah garam fisiologis dalam dektrosa
5%. Jika terdapat dehidrasi ringan atau tanpa dehirasi cairan yang diberikan dalam
24 jam adalah 1,5 kali kebutuhan rumatan.
Pada krisis adrenal, terapi substitusi glukokortikoid dan atau mineralokortikoid
sangat penting. Hormon glukokortikoid dan mineralokortikoid akan menekan
sekresi CRH dan ACTH yang berlebihan, serta kadar renin basal
(istirahat). Manajemen krisis adrenal akut terdiri dari pemberian intravena
langsung dari 100 mg hidrokortison, diikuti oleh 100 sampai 200 mg
hidrokortison setiap 24 jam dan infus kontinu volume yang lebih besar dari larutan
garam fisiologis (awalnya 1 liter per jam) di bawah pengawasan jantung terus
menerus. tepat waktu diagnosis dan manajemen klinis kondisi ini sangat penting,
dan dokter di semua bidang kedokteran harus menyadari penyebab, tanda-tanda,
dan gejala yang penyerta insufisiensi adrenal (Nurharjanti H. dan Tridjaja, 2007).

Kegiatan Belajar 14
TBC

 120 Menit

URAIAN MATERI

A. Pengertian
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular kronis yang disebabkanoleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis (TB) masih menjadi masalah
kesehatan dunia terutama di negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang dalam hal ini menduduki peringkat tiga besar setelah India dan
Cina. (WHO, 2010) Pada tahun 2003 WHO mencanangkan TB sebagai global
emergency. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 98


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

jantung pembuluh darah. WHO dalam Anual Report On Global TB Control 2003
menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap
TB termasuk Indonesia. Kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan penyakit TBC. (Erwin, dkk,
2012)

B. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi
kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini termasuk ordo
Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus
Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis
yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping
lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2 μm-4 μm dan
lebar 0,2 μm–0,5 μm. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak
berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler.
Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang
organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan asam
dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai
senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan
pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra,
2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada
suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar
matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan
phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria
dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan
asam) (Herchline, 2013).

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 99


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Mikobakteria cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia daripada bakteri


yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhannya yang
bergerombol. Mikobakteria ini kaya akan lipid., mencakup asam mikolat (asam lemak
rantai-panjang C78-C90), lilin dan fosfatida.Dipeptida muramil (dari peptidoglikan)
yang membentuk kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan
granuloma; fosfolipid merangsang nekrosis kaseosa. Lipid dalam batas-batas tertentu
bertanggung jawabterhadap sifat tahan-asam bakteri (Brooks, et al. 1996).

C. Tanda dan gejala


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan
gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan
perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes, 2011).
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori.
1. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala
yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari :
a) Batuk produktif ≥ 2 minggu.
b) Batuk darah.
c) Sesak nafas.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 100


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

d) Nyeri dada.
2. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang timbul dapat berupa :
a) Demam.
b) Keringat malam.
c) Anoreksia.
d) Berat badan menurun (PDPI, 2011).

e) Pathofisiologi
Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet saluran
nafas yang mengandung kuman – kuman basil tuberkel yang berasal dari orang
yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya
diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada
dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas
lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit
polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tersebut,
namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit
diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri
terus difagositatau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui
getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari (Price dan Standridge, 2006).
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis
pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer
akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 101


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8
minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi
di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar (Amin dan Bahar, 2009).
Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi
endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini
yang berlokasi di region atas paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel
yakni suatu granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat
sekitar dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk
perkejuan. Bila jaringan perkejuan dibatukkan, akan menimbulkan kavitas (Amin dan
Bahar, 2009).

f) Pathways

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 102


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Gb 1. Bagan Patogenesis TB (Depkes - IDAI, 2008)


g) Klasifikasi TB Paru

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 103


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

1. Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan menjadi:


a. TB Paru BTA positif
b. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif.
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
d. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
2. TB Paru BTA Negatif
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis
dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
menunjukkan tuberkulosis positif (PDPI, 2011).
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure)

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 104


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes, 2007).
h) Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB bertujuan untuk ;
1. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas.
2. Mencegah kematian.
3. Mencegah kekambuhan.
4. Mengurangi penularan.
5. Mencegah terjadinya resistensi obat (PDPI, 2011).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO) (Depkes, 2007).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap Awal (Intensif)

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 105


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Depkes, 2007).
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2007).
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu :
a. Kategori I
1) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas.
2) Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/6HE
atau 2 RHZE/ 4R3H3.
b. Kategori II
1) TB paru kasus kambuh
- Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum ada
hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat
sesuai dengan hasil uji resistensi.
2) TB paru kasus gagal pengobatan
- Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil uji
resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
- Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2
RHZES/ 1 RHZE.
- Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
- Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 106


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

3. TB Paru kasus putus berobat.


a. Berobat ≥ 4 bulan
- BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan
maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti
TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE
/ 5 R3H3E3).
- BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
b. Berobat ≤ 4 bulan
- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1
RHZE / 5 R3H3E3).
- Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan
diteruskan.
c. Kategori III
- TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi
minimal.
- Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3.
d. Kategori IV
TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai
hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2
(pengobatan minimal 18 bulan).
e. Kategori V

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 107


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi
ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2006).

Obat-obat TB memiliki efek samping diantaranya :


1. Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akan mengakibatkan mual,
muntah, dan jaundice. Kadang dapat menyebabkan kebas pada tungkai.
2. Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan warna air mata,
keringat, dan urine menjadi oranye.
3. Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan hepar dan gout.
4. Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan penglihatan
warna karena obat ini mempengaruhi Nervus optikus.
5. Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan pendengaran akibat
kerusakan saraf telinga dalam (Nardell, 2008).
Hasil Pengobatan merupakan hasil akhir dari pengobatan penderita TB paru BTA
positif dan negatif. Dikategorikan menjadi :
1. Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif
sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur negatif
pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum
sebelumnya negatif dan pada foto toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2
bulan) tetap sama/ perbaikan.
2. Pengobatan lengkap merupakan pasien yang telah menyelesaikan pengobatan
tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir
pengobatan.
3. Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya
selama dalam pengobatan.
4. Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan
kelima atau lebih dalam pengobatan.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 108


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

5. Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus dalam waktu


dua bulan berturut-turut atau lebih.
6. Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan
berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui.

i) Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah TB adalah dengan pengobatan terhadap pasien yang
mengalami infeksi TB sehingga rantai penularan terputus. Tiga topik dibawah ini
merupakan topik yang penting untuk pencegahan TB :
1. Proteksi terhadap paparan TB
Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan cara terbaik untuk menurunkan
paparan terhadap TB. Risiko paparan terbesar terdapat di bangsal TB dan ruang
rawat, dimana staf medis dan pasien lain mendapat paparan berulang dari pasien
yang terkena TB. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemungkinan
transmisi antara lain :
a. Cara batuk
Cara ini merupakan cara yang sederhana, murah, dan efektif dalam
mencegah penularan TB dalam ruangan. Pasien harus menggunakan sapu
tangan untuk menutupi mulut dan hidung, sehingga saat batuk atau bersin
tidak terjadi penularan melalui udara.
b. Menurunkan konsentrasi bakteri
- Sinar Matahari dan Ventilasi
Sinar matahari dapat membunuh kuman TB dan ventilasi yang baik
dapat mencegah transmisi kuman TB dalam ruangan.
- Filtrasi
Penyaringan udara tergantung dari fasilitas dan sumber daya yang
tersedia.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 109


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

- Radiasi UV bakterisidal
M.tuberculosis sangat sensitif terhadap radiasi UV bakterisidal. Metode
radiasi ini sebaiknya digunakan di ruangan yang dihuni pasien TB yang
infeksius dan ruangan dimana dilakukan tindakan induksi sputum
ataupun bronkoskopi.
c. Masker
Penggunaan masker secara rutin akan menurunkan penyebaran kuman lewat
udara. Jika memungkinkan, pasien TB dengan batuk tidak terkontrol
disarankan menggunakan masker setiap saat. Staf medis juga disarankan
menggunakan masker ketika paparan terhadap sekret saluran nafas tidak
dapat dihindari.
d. Rekomendasi NTP (National TB Prevention) terhadap paparan TB:
- Segera rawat inap pasien dengan TB paru BTA (+) untuk pengobatan
fase intensif, jika diperlukan.
- Pasien sebaiknya diisolasi untuk mengurangi risiko paparan TB ke
pasien lain.
- Pasien yang diisolasi sebaiknya tidak keluar ruangan tanpa memakai
masker.
- Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi TB sebaiknya tidak
ditempatkan di ruangan yang dihuni oleh pasien yang
immunocompromised, seperti pasien HIV, transplantasi, atau onkologi.
2. Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)
BCG merupakan vaksin hidup yang berasal dari M.bovis. Fungsi BCG adalah
melindungi anak terhadap TB diseminata dan TB ekstra paru berat (TB
meningitis dan TB milier). BCG tidak memiliki efek menurunkan kasus TB
paru pada dewasa. BCG diberikan secara intradermal kepada populasi yang
belum terinfeksi.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 110


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

a. Tes Tuberkulin
Neonatus dan bayi hingga berusia 3 bulan tanpa adanya riwayat kontak
dengan TB, dapat diberikan vaksinasi BCG tanpa tes tuberkulin
sebelumnya.
b. Vaksinasi Rutin
Pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, WHO merekomendasikan
pemberian vaksinasi BCG sedini mungkin, terutama saat baru lahir. Pada
bayi baru lahir hingga usia 3 bulan, dosisnya adalah 0,05 ml sedangkan
untuk anak yang lebih besar diberikan 0,1 ml

3. Terapi Pencegahan
Tujuan terapi pencegahan adalah untuk mencegah infeksi TB menjadi penyakit,
karena penyakit TB dapat timbul pada 10 % orang yang mengalami infeksi TB.
Kemoprofilaksis dapat diberikan bila ada riwayat kontak dengan tes tuberkulin
positif tetapi tidak ada gejala atau bukti radiologis TB. Obat yang digunakan
biasanya adalah isoniazid (5 mg/kg) selama 6 bulan. Jika memungkinkan,
dilakukan dengan pengamatan langsung.
Kelompok yang mendapat profilaksis, yaitu :
- Bayi dengan ibu yang terinfeksi TB paru
Bayi yang sedang mendapat ASI dari ibu dengan TB paru, sebaiknya
mendapat isoniazid selama 3 bulan. Setelah 3 bulan, dilakukan tes
tuberkulin. Jika hasil negatif maka diberikan vaksinasi, jika positif maka
dilanjutkan isoniazid selama 3 bulan lagi. Jika terdapat adanya bukti
penyakit, maka perlu diberikan pengobatan penuh.
- Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin negatif, tampak sehat, tanpa riwayat
BCG, sama seperti di atas.
- Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin positif (tanpa riwayat BCG).

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 111


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

- Anak tanpa gejala sebaiknya diberikan profilaksis isoniazid 6 bulan.


- Anak dengan gejala dan pemeriksaan yang menunjukkan TB diberikan
pengobatan TB.
- Anak dengan gejala, tapi pemeriksaan tidak menunjukkan TB, diberikan
profilaksis isoniazid (Wieslaw et al, 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 112


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Amin, Z., Bahar, A., 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, A., W., dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed 5. Jakarta : FKUI, 2232-2236.

Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S., Morse, S.A., dan Mietzner, T., 2010. Jawetz,
Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology. Ed 25. USA : McGraw-Hill Companies,
327-328.

Carpenito, L.J. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 8. EGC. Jakarta.

Depkes, 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Available from :


http://www.scribd.com/doc/127006223/DEPKES-RI-2011-PedomanPenanggulangan-TB-
di-Indonesia-pdf . diakses tanggal 21 Juni 2017

Fahreza, E.U. 2012. Hubungan Antara Kualitas Fisik Rumah Dan Kejadian Tuberkulosis Paru
Dengan Basil Tahan Asam Positif Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah. 1 (1) : 9-13

Herchline, T.E., 2013. Tuberculosis. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview. diakses tanggal 20 Juni 2017

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Price, S.A. dan Standrige, M.P., 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price, S.A. dan Wilson,
L.M., Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Ed 6. Jakarta :
EGC, 852.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. diakses tanggal 21 Juni 2017

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 113


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 3-10, 16-
17, 20.

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan)


Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI

World Health Organization.2010. Indonesia TB Country Profile. (Online),


http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241547833_eng.pdf. diakses tanggal
20 Juni 2017)

Wisse, Brent, M.D.. 2013. Acute adrenal crisis. Medline Plus, U.S. National Library
of Medicine, National Institute of Health. Available at
<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000357.htm> diakses tanggal 20 Juni
2017

Nurharjanti H., Suri, Tridjaja, Bambang. 2007. Krisis Adrenal pada Bayi dengan
Hiperplasia Adrenal Kongenital. Sari Pediatri 2007; 9(3):191-195. Available at <
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/9-3-7.pdf diakses tanggal 20 Juni 2017

White, Katherine, Arlt, Wiebke. 2010. Adrenal crisis in treated Addison’s disease: a
predictable but under-managed event. European Journal of Endocrinology (2010) 162 115–
120. Available at < http://www.eje-
online.org/content/162/1/115.full.pdf#page=1&view=FitH> diakses tanggal 20 Juni 2017

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 114


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

Chrousos GP. Addisons’s disease. 2004. Diakses dari http://www.endocrine.niddk.nih.gov.


Tanggal 21 Juni 2017

Stewart PM. The adrenal cortex. Dalam: Larsen P, ed Williams Textbook of Endocrinology
10th ed. Saunders, 2003: 491-551

Liotta EA. 2007. Addison dissease. Diakses dari http://www.emedicine.com tanggal 20


Juni 2017

Grossman AB. Addison disease; USA. 2007. Diakses dari http://www.merck.com tanggal
21 Juni 2017

Ten S, New M, Maclaren N. Clinical review addison’s disease. 2001. The journal of
Clinical Endocrinology and Metabolism 2001; 86: 2909-22

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 115


Modul Mata Kuliah Patofisiologi

PENUTUP

Demikian modul Praktika Mata Kuliah Patofisiologi yang telah kami susun. Terima
kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan modul ini, sehingga kami
dapat menyelesaikan modul ini dengan baik dan sesuai ketentuan yang telah disahkan.
Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen mampu memberikan
perkuliahan Patofisiologi sesuai modul. Mahasiswa mampu mendapatkan ilmu
Patofisiologi dengan baik dan sesuai prosedur yang telah ditentukan.

Prodi D III Keperawatan Semarang Page 116

You might also like