You are on page 1of 51

ATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah S.W.T. yang telah mencurahkan

segala karunia dan hidayah-Nya dan tak lupa Sholawat serta salam penulis haturkan kepada

baginda Rasulullah Muhammmad S.A.W. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam ini,

sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian kualitatif yang berjudul “STRATEGI

RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus

Nelayan Desa Teluk Setibul Kecamatan Meral Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan

Riau.)”

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian..................................... 5
1.3.1 Tujuan Penelitian................................................................. 5
1.3.2 Manfaat Penelitian.............................................................. 5
1.4 Kerangka Teoretis......................................................................... 6
1.5 Metode Penelitian......................................................................... 24
1.5.1 Lokasi Penelitian ................................................................ 24
1.5.2 Subyek Penelitian................................................................ 25
1.5.3 Jenis dan Sumber Data........................................................ 25
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................. 26

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN....................... 27


BAB III HASIL PENELITIAN................................................................. 29
BAB IV PENUTUP..................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 35
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia. Dengan luas

laut 5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang besar dan

beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,7 juta ton pertahun dari

berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi. Apabila potensi ini diperkirakan kedalam nilai

ekonomi berdasarkan harga satuan komoditi perikanan, maka akan diperoleh nilai sebesar US $

15 Miliar (Dahuri, 1996).

Jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta

rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sector perikanan. Dengan asumsi tiap

rumahtangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang

menggantungkan hidupnya seharihari pada sumberdaya laut termasuk pesisir. Mereka pada

umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran

sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap

ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan

antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan,

penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan

dengan laut dan pesisir.


Nelayan merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat

kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling

miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah

Negara Maritim seperti Indonesia bahwa ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat

nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin.

Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup

yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang

menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola),

rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang

jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat

tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang

banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi.

Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara

turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif

kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap

maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan

mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka

mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga

produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh

kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003). Rumahtangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan

yang lebih komplek dibandingkan dengan rumahtangga pertanian.

Rumahtangga nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan

lautan ( common property ) sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam
kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan

untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain itu pekerjaan menangkap

ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat

dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat

membantu secara penuh.

Kemiskinan bukanlah masalah yang baru, namun pada akhir-akhir ini kembali muncul ke

permukaan sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi yang mendorong terjadinya

kesenjangan yang semakin melebar antara “si kaya” dan “si miskin” (Hermanto, 1995). Problem

kemiskinan merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa.

Kemiskinan merupakan side effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk

menciptakannya (Dahuri, 1994).

Berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak-

pihak lain. Misalnya masalah pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya laut, pemerintah telah

membuat peraturan yang tercantum dalam perundangan yang ada, seperti UU No.9 Tahun 1985,

Keputusan Menteri Pertanian No.185, Kepres 23 Tahun 1982, peraturan-peraturan tersebut pada

dasarnya mengatur tentang pembatasan alat-alat tangkap yang merusak sumberdaya laut,

pembatasan dan pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan skala usaha dan alat tangkap

yang digunakan, pengaturan izin usaha kepada nelayan-nelayan asing, izin pembudidayaan laut,

dan pengaturan system pemasaran ikan (Hermanto, 1995). Selain itu, pemerintah telah

membentuk Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) sebagai wujud keseriusan pemerintah

dalam menangani pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta masalah kemiskinan

nelayan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi masyarakat kelautan dan

perikanan, terutama masyarakat nelayan. yang selama ini menjadi korban pembangunan. Namun
dalam perjalanannya, ternyata keberadaan DKP dengan program-programnya, khususnya

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum mampu

menciptakan nelayannelayan tangguh dan sejahtera. Hal ini didasarkan pada fakta empiris yang

menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan yang digunakan oleh para akademisi,

LSM dan birokrat dalam melaksanakan program pembangunan, terlebih program yang hanya

bersifat proyek jangka pendek (Solihin, 2005).

Dari permasalahan di atas, maka pertanyaan pokok yang diajukan dalam penelitian ini

adalah “Bagaimana masyarakat nelayan bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin?”.

Hal inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi kemiskinan

pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam

mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, perumusan masalah yang akan ditelaah

lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai kemiskinan pada masyarakat nelayan dan

strategi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab

kemiskinan tersebut. Secara lebih rinci permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan?

2. Bagaimana strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi factor-faktor penyebab

kemiskinan tersebut?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi

usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktorfaktor penyebab kemiskinan tersebut.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak akademisi yang tertarik pada masalah-

masalah yang berkaitan dengan strategi rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Bagi

penulis, kegunaan penelitian ini adalah dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang

kondisi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan dan usaha-usaha untuk

memberdayakannya. Selain itu, bagi pembuat kebijakan (pemerintah, khususnya pemerintah

daerah) penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk mempertimbangkan

pendekatan yang tepat dalam usaha penanggulangan kemiskinan nelayan, sehingga

programprogram atau proyek-proyek yang ditawarkan bagi masyarakat nelayan benarbenar

efektif untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sedangkan bagi masyarakat nelayan sendiri,

hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam usaha memperbaiki kesejahteraan hidup

para nelayan.

1.4 Kerangka Teoretis

1.4.1 Pendekatan Teoritis

1.4.1.1Karakteristik Umum Masyarakat Nelayan

Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian utamanya berasal dari

menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998), nelayan dikategorikan sebagai seseorang

yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai
dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi

dengan alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan

sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa kapal

ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di

samping itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di

tambak dan keramba-keramba di pantai.

1.4.1.2 Stratifikasi Masyarakat Nelayan

Menurut Soekanto (2002), setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu

terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi

terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-

hal lainnya. Kalau masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan, misalnya,

maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang

lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihakpihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan

masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam

kedudukan yang berbeda secara vertikal.

Menurut Kusnadi (2000), dengan mengamati pola-pola penguasaan asset produksi,

seperti modal, peralatan tangkap, dan pasar, akan mudah mengidentifikasi adanya pelapisan

sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan. Perbedaan-perbedaan kemampuan ekonomi

diantara lapisan-lapisan sosial itu diwujudkan dalam ketimpangan pemilikan barang-barang

kekayaan. Di bagianbagian tertentu dari kampung nelayan, biasanya ada satu-dua rumah yang

dibangun megah. Sementara itu, kondisi rumah-rumah disekitarnya adalah sebaliknya. Jenis

rumah pertama dapat diidentifikasi sebagai rumah pemilik perahu, pedagang ikan, sedangkan
jenis rumah yang terakhir adalah milik nelayan miskin. Gejala demikian merupakan gejala yang

paling kasat mata dalam kehidupan di kampung-kampung nelayan.

Rumah-rumah yang megah dan perhiasan emas yang dikenakan dalam penampilan

sehari-hari adalah harta kekayaan yang biasa diperlihatkan orangorang kaya. Sebaliknya, rumah

yang sederhana, tidak adanya perhiasan dan banyaknya hutang ke berbagai pihak adalah bentuk

dari ketiadaan harta yang bisa diperlihatkan oleh orang-orang miskin kepada masyarakat.

1.4.1.3 Tipologi Nelayan

Tipologi dapat diartikan sebagai pembagian masyarakat ke dalam golongan-golongan menurut

kriteria-kriteria tertentu. Mengacu kepada Satria (2001), kriteria dalam tipologi masyarakat

nelayan dapat dilihat berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya.

Dua hal tersebut (teknologi dan orientasi budaya) sangat terkait satu sama lain. Nelayan kecil

mencakup barbagai karakteristik, ketika seorang nelayan belum menggunakan alat tangkap yang

maju, pada umumnya diiringi oleh beberapa karakteristik budaya seperti lebih berorientasi

subsistensi. Sementara itu, nelayan besar dicirikan oleh skala usaha yang besar, baik kapasitas

teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya, mereka berorientasi pada keuntungan (profit

oriented), dan umumnya melibatkan sejumlah buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK)

dengan organisasi kerja yang semakin kompleks. Pola hubungan antar berbagai status dalam

organisasi tersebut juga semakin hierarkhis. Wilayah operasinya pun semakin beragam.

Satria (2002), menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari

kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Keempat tingkatan

nelayan terbut adalah:


1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan

kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan alat tangkap

tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga

sebagai tenaga kerja utama.

2. Post-peasant fisher dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju

seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin

membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan

memperoleh surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar.

Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi diwilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah

berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak

bergantung pada anggota keluarga saja.

3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala

usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang

berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan

membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.

4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan

perusahaan agroindustri dinegara-negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan

pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak

perahu, dan menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

Menurut Mubyarto, et al (1984), berdasarkan stratifikasi yang ada pada masyarakat

nelayan, dapat diketahui berbagai tipologi nelayan, yaitu:


1) Nelayan kaya A, yaitu nelayan yang mempunyai kapal sehingga mempekerjakan nelayan lain

tanpa ia sendiri harus ikut bekerja.

2) Nelayan kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut bekerja sebagai

awak kapal.

3) Nelayan sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan pendapatan

pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki perahu tanpa mempekarjakan tenaga dari

luar keluarga.

4) Nelayan miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan

hidupnya, sehingga harus ditambah dengan bekerja lain baik untuk ia sendiri atau untuk isteri

dan anak-anaknya.

5) Nelayan pandega atau tukang kiteng.

1.4.1.4 Hubungan Antar Tipe Nelayan

Menurut Satria (2002), hubungan antar tipe nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan

patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan

penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan

dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya

karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi. Hal ini terjadi karena nelayan

belum menemukan alternatif institusi yang menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka.

Masyhuri (2001), menggambarkan bahwa pada saat hasil tangkapan kurang baik, nelayan

kekurangan uang. Pada akhirnya, ia melepas barang-barang yang mudah dijual dengan harga
lebih murah kepada patron. Selanjutnya, nelayan akan mencari hutang kepada patron dengan

jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan

harga lebih rendah dari harga pasar.

Selain itu Kusnadi (2002), menjelaskan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan

berupa penangkapan ikan oleh berbagai tipe nelayan tidak jarang menimbulkan konflik sosial

antar kelompok masyarakat nelayan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan di daerah

perairan mereka. Konflik sosial, baik terbuka maupun laten antar kelompok masyarakat nelayan

dalam memperebutkan sumberdaya perikanan dapat berlangsung di berbagai daerah pesisir.

1.4.2 Kemiskinan Nelayan

1.4.2.1 Konsep Kemiskinan

Kemiskinan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa pengertian. Menurut

Hermanto dkk. (1995), kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat

memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan akan pangan. Sedangkan Mangkuprawira

(1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidak berdayaan dalam

pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan,

pakaian, kesehatan dan papan. Sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan, kebebasan hak

asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup pesimistik, rasa syukur dan sebagainya.

Menurut Setiadi (2006), kemiskinan merupakan masalah struktural dan multi

dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain. Dimensi-dimensi

kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (a) tidak dimilikinya wadah organisasi
yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka

benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka.

Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya

kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses

informasi. (b) tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga

mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c) rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu

untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak dan (d) rendahnya

kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka,

termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana,

perumahan, pemukiman dan sebagainya.

Ellis (1983) dalam Darwin (2002), menyebutkan bahwa dimensi kemiskinan dapat

diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah kekurangan

sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.

Kemiskinan ekonomi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan

relatif. Kemiskinan absolut adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum.

Sedangkan kemiskinan relatif adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai

dengan perkembangan masyarakat saat itu.

Kemiskinan sosial adalah kemiskinan akibat kekurangan jaringan social dan struktur

yang tidak mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang

meningkat. Penyebabnya antara lain karena factor internal yaitu hambatan budaya sehingga

disebut kemiskinan kultural. Sedangkan factor eksternal diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan

resmi yang berakibat mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Yang

termasuk dalam pengertian ini adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang di derita
masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber

pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti kekurangan fasilitas pemukiman yang

sehat, pendidikan, komunikasi, perlindungan hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan

kemiskinan politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi

sumberdaya untuk kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial.

Menurut Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari

pola-polanya, yaitu:

1. Kemiskinan Individual, kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangankekurangan yang

disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan

dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat

bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal financial atau

modal keterampilan (skill) untuk berusaha. Mungkin juga ia tidak mempunyai jiwa usaha atau

semangat juang untuk maju di dalam kehidupan. Individu demikian itu dapat mederita hidup

miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa

usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi niscaya ia akan menemukan jalan untuk

memperbaiki taraf hidupnya.

2. Kemiskinan Relatif, untuk mengetahui kemiskinan relatif ini perlu diadakan perbandingan antara

taraf kekayaan material dari keluarga-keluarga atau rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu

komunitas tertentu. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai

mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. Ukuran yang

dipakai adalah ukuran pada masyarakat setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga yang

di suatu daerah komunitas dianggap relative miskin dapat saja termasuk golongan kaya apabila
diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau

daerah yang lebih miskin.

3. Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu

golongan yang ”built in” atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu

masyarakat. Di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita

kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk

melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita

kemiskinan struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Di dalam golongan ini banyak

terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya,

akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung lunas.

4. Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah

lingkungan alam yang mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk

memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak

memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan social yang

diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk

keperluan masyarakat.

Lewis (1966), memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau

lebih tepat sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu

sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga.

Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan juga sekaligus

merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang

berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut


mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan

perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai

dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Kurang efektifnya partisipasi dan

integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri

terpenting kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang rumit dan merupakan akibat

dari berbagai faktor termasuk langkanya sumberdaya-sumberdaya ekonomi, segregasi dan

diskriminasi, ketakutan, kecurigaan atau apati, serta berkembangnya pemecahan-pemecahan

masalah secara setempat. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran

menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tidak adanya

tabungan, tidak adanya persediaan makanan di rumah dan terbatasnya jumlah uang tunai. Semua

kondisi ini tidak memungkinkan adanya partisipasi yang efektif di dalam sistem ekonomi yang

lebih luas. Sebagai respon terhadapnya, kita temui di dalam kebudayaan kemiskinan tingginya

hal gadai menggadaikan barang-barang pribadi, hidup dibelit hutang kepada lintah darat

setempat dengan bunga yang mencekik leher, munculnya sarana kredit informal yang secara

spontan diorganisasikan dalam ruang lingkup tetangga, penggunaan pakaian dan mebel bekas,

dan adanya pola untuk sering membeli dalam jumlah kecil-kecilan sehari-harinya sesuai dengan

tingkat kebutuhan yang diperlukan.

1.4.2.2 Ciri Kemiskinan Nelayan

Menurut Hermanto (1995), kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat dicirikan oleh

pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan keluarga rendah,

kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga
kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, dan akses terhadap

permodalan yang rendah.

Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan

kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat

nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung

nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah

yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun

rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan

buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas

yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara

atau pedagang berskala besar dan pemilik toko. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin

dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak mereka, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat

pendapatannya. Karena tingkat pendapatan nelayan rendah, maka adalah logis jika tingkat

pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus

sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan

pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumahtangga nelayan

miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan

perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan

merupakan prasyarat utama agar rumahtangga nelayan dapat bertahan hidup.

1.4.2.3. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan

Menurut Pangemanan dkk. (2003), ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada

masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumbersumber modal, akses terhadap
teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti

pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya

tingkat kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah

pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor

pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.

Menurut Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya

kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu:

1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan

yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim

ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun.

2. Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil,

ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap

fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta

terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumahtangga nelayan. Kondisi-kondisi

aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa

menghadapkan rumahtangga nelayan ke dalam jebakan kekurangan.

Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak

pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat hasil produksi nelayan yang

sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan

kemampuan cukup untuk mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar
untuk menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan

hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah

bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian

mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap

ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa

menang dalam tawarmenawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan

selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena

perangkap hutang. Akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi perairan yang

overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau

bahkan semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup

sehari-hari yang tak kunjung usai.

1.4.3 Strategi Rumahtangga Nelayan

Konsep strategi dapat diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan

untuk mencapai tujuan tertentu. Secara harfiah pengertian strategi adalah berbagai kombinasi

dari aktivitas dan pilihan-pilihan yang harus dilakukan orang agar supaya dapat mencapai

kebutuhan dan tujuan kehidupannya (Barret, et all. dalam Aristiyani, 2001). Crow dalam

Dharmawan (2003) mengartikan strategi sebagai seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif

yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari pilihan rasional, dimana dalam teori

tersebut dikatakan bahwa setiap pilihan yang dibuat individu, termasuk pemilihan suatu strategi

dibuat berdasarkan perimbangan rasional dengan mempertimbangkan untung rugi yang akan

diperoleh. Rumahtangga menunjuk pada sekumpulan orang yang hidup satu atap, tetapi tidak

selalu memiliki hubungan darah. Setiap anggota dalam rumahtangga memiliki kesepakatan untuk
menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama. Hal ini senada dengan apa

yang diungkapkan Manig dalam Dharmawan seperti dikutip Lestari (2005), bahwa rumahtangga

adalah grup dimana orang-orang tinggal bersama dalam satu atap dan menggunakan dapur yang

sama, berkontribusi dalam pengumpulan pendapatan serta memanfaatkan pendapatan tersebut

untuk kepentingan bersama. Dalam rumahtangga, semua modal dan barang diatur oleh kepala

rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Meskipun ada pembagian

pekerjaan yang berdasarkan jenis kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk

kepentingan bersama. Masing-masing anggota rumahtangga akan berkontribusi sesuai dengan

peran, tanggungjawab dan kemampuannya.

Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan miskin

menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan

sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi. Di bidang produksi, rumahtangga

nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi

tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam

status berusaha sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga

kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan

miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga

kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara

langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumahtangga

nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara

lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, pesta (ritus), dan modal usaha. Penerimaan tersebut

tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan
(berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab

kemiskinan berupa kekurangan modal produksi.

Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat

dilakukan melalui:

1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan

oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi

yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.

2. Diversifikasi Pekerjaan Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat

melakukan kombinasi pekerjaan.

3. Jaringan Sosial Melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan

efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di

lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam

menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan

sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari

hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini

mencerminkan bahwa tekanan tekanan atau kesulitankesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan

tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang

pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan social

berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka.

4. Migrasi,Migrasi ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan

nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yang ada di daerah tujuan yang

sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar

kebutuhan hidup keluarga terjamin.


Dalam waktu-waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang

kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi kadang kala penghasilan itu dititipkan

kepada teman-temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah

musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan

kembali ke kampung halaman dan mencari ikan didaerah asalnya.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif, yang berusaha

menggambarkan usaha-usaha masyarakat nelayan dalam mengatasi kemiskinan melalui metode

studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang

mendalam tentang permasalahan penelitian yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang

diantara orang-orang yang menjadi subyek penelitian. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat

menggambarkan kompleksitas permasalahan penelitian dan untuk menghindari keterbatasan

pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada

penafsiran peneliti. Melalui metode studi kasus, peneliti berusaha menangkap realitas sosial

secara holistik dan mendalam tentang permasalahan penelitian.

1.5.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian yaitu di daerah di Desa Teluk Setimbul Kecamatan Meral Provinsi

Kepulauan Riau.

Dimana Kecamatan Meral berbatasan dengan :

 Sebelah utara berbatas dengan : Selat Melaka

 Sebelah barat berbatas dengan :Kecamatan Rangsang Kabupaten Bengkalis

 Sebelah selatan berbatasan dengan : Kecamatan Karimun

 Sebelah timur berbatas dengan : Kecamatan Tebing

1.5.2 Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan key informan untuk mendapatkan informasi yang

akurat.Key informan disini adalah :

1. Ketua atau Kepala keluarga.

2. Anggota pelaksana atau unit-unit keluarga :

1) Seluruh jumlah anggota keluarga.

2) Berakal sehat.

Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan sosiologis, dengan metode

kualitatif dimana data dan informasi yang dibutuhkan diperoleh melalui wawancara mendalam,

wawancara sambil lalu, dan pengamatan.

1.5.3 Jenis dan Sumber Data

a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari responden dalam wawancara

di lokasi penelitian.
b. Data Sekunder adalah data yang sudah diolah oleh instansi terkait dalam hal ini Kantor

Camat Meral, Kantor Lurah Kecamatan Meral, Desa, serta data yang diperoleh dari buku-

buku literatur yang ada kaitannya dengan objek penelitian tentang :

- Biodata responden

- Jumlah penduduk yang ada di lokasi penelitian

- Batas-batas wilayah penelitian.

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Observasi (pengamatan)

Yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Hal

yang di observasi yaitu keadaan pemukiman dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan sistem

sosial yang terdapat di dalamnya.

b. Wawancara (Interview)

Yaitu pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan pihak-

pihak yang berhubungan dengan observasi penelitian yakni masyarakat desa Teluk Setimbul

Kecamatan Meral Kabupaten Karimun Kepulauan Riau.

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Keadaan Geografis


Kecamatan Meral pada umumnya terdiri dari dataran sebesar 80% dan berbukit besar 20%

dengan ketinggian rata-rata 3 meter diatas permukaan laut, dimana kecamatan Meral terletak di

Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau.

Dimana Kecamatan Meral berbatasan dengan :

 Sebelah utara berbatas dengan : Selat Melaka

 Sebelah barat berbatas dengan : Kecamatan Rangsang Kabupaten Bengkalis

 Sebelah selatan berbatasan dengan : Kecamatan Karimun

 Sebelah timur berbatas dengan : Kecamatan Tebing

2.2 Luas Kecamatan

Luas wilayah Kecamatan Meral Seluas kurang lebih 760 Km2 dan terdiri dari beberapa

pulau kecil yang belum berpenghuni yang berjumlah 22 pulau.

2.3 Jumlah kelurahan

Kecamatan Meral terbagi atas 4 kelurahan dan satu desa yang terdiri dari 40 RW dan 153

RT, yaitu sebagai berikut :

No Kelurahan/ desa RW RT

1 Kelurahan Baran 10 44

2 Kelurahan Meral Kota 11 50

3 Kelurahan Sungai Raya 8 25

4 Kelurahan pasir Panjang 7 22

5 Desa pangke 4 12
Jumlah 40 153

2.4 Data / Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk sampai dengan sekarang ini adalah sebanyak : 55.482 Jiwa yang terdiri

dari :

 Laki-laki = 29.093 Jiwa

 Perempuan = 26.389 Jiwa

Dengan jumlah KK 7.926 KK

BAB III

HASIL PENELITIAN

3.1 Identitas Responden

Tema penelitian ini adalah “STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM

MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus Nelayan Desa Teluk Setimbul Kecamatan

Meral Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau.)” Kecamatan Meral yang mempunyai

berbacam etnis, yaitu melayu, cina, plores, minang, jawa. Etnis yang diminan didesa ini adalah

etnis Melayu.

1. Responden Berdasarkan Umur


Responden yang diteliti yaitu penduduk desa teluk setimbul yang terletak di kecamatan

meral kabupaten Karimun Kepulauan Riau, dimana umur 17 tahun keatas sudah berumah tangga

dan mempunyai anak rata-rata lebih dari dua.

2. Responden Berdasarkan Agama

Mayoritas penduduk desa teluk setimbul memiliki bermacam ragam agama yaitu agama

islam, Kristen, budha dan banyak berpenduduk asli yaitu penganut agama budha.

3. Responden Bedasarkan Pendidikan

Masyarakat teluk setimbul kecamatan meral rata-rata tidak bersekolah karena menurut

sejarah desa tersebut dahulu mereka menghabiskan banyak waktu dilautan dan sudah menerima

perubahan atau untuk mendapatkan pendidikan yang layak apalagi dahulu belum ada prasarana

pendidikan yang lengkap seperti sekarang ini.

4. Responden Berdasarkan Pekerjaan

Mayoritas masyarakat teluk setimbul kecamatan Meral bekerja sebagai nelayan dan

hanya sebagian kecil yang bekerja di perusahaaan-perusahaan swasta seperti PT pembuatan

kapal-kapal, hanya dapat bagian buruh skill.

5. Responden Berdasarkan Jumlah Anak

Masyarakat desa teluk setimbul kebanyakan memiliki anak lebih dari dua dan mayoritas

anaknya tidak berpendidikan dan hanya tamat SMA yang paling tinggi jarang sekali mngenyam

bangku perkuliahan dan kebanyakan anaknya bekerja dibawah usia dini.


6. Responden Bedasarkan lama Menetap

Mayoritas masyarakat desa teluk setimbul adalah masyarakat pribumi yaitu orang asli

yaitu orang mantang/ orang laut dimana sudah lama menetapa didaerah tersebut dari turun

menurun.

7. Responden berdasarkan Alat tangkap dan Armada yang di miliki

Masyarakat desa teluk setimbul menggunakan alat tangkap ikan yaitu berupa jarring,

bubu atau pento (alat untuk menangkap kepiting) dan alat tranfortasi yang dugunakannya adalah

perahu dan hanya sebagian menggunakan pompon (kapal yang menggunakan mesin).
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Desa Teluk Setimbul tidak terlepas

dari adanya berbagai faktor penyebab kemiskinan. Faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa

fluktuasi musim tangkapan, factor ini telah menyebabkan ketidakpastian hasil tangkapan para

nelayan, sehingga pada saat sedang tidak musim menangkap ikan para nelayan sangat kesusahan

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan yang

dicirikan dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan menyebabkan susahnya nelayan

untuk mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia, khususnya peluang kerja di luar sektor

perikanan. Eksploitasi pemodal berupa ikatan penjualan kepada bakul tertentu dengan harga jauh

di bawah harga pasar menyebabkan semakin kecilnya hasil pendapatan nelayan, sehingga tidak

dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.

Ketimpangan sistem bagi hasil juga telah menyebabkan nelayan semakin terpuruk karena

sistem bagi hasil yang berlaku hanya menguntungkan pihak juragan saja, sehingga menambah

kesenjangan ekonomi antara pemilik perahu dan buruh nelayan.

Selain itu, penerapan motorisasi pada perahu-perahu nelayan, di satu sisi memiliki

keuntungan yaitu dapat menghemat waktu, energi, dan kegiatan penangkapan ikan tidak lagi

bergantung pada arah angin, sehingga para nelayan dapat lebih intensif untuk pergi melaut.

Namun di sisi lain, penerapan motorisasi tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan

ekonomi (TPI), sehingga para nelayan yang dulunya dapat melakukan kegiatan lelang terbuka di

TPI, kini tidak dapat lagi melaksanakannya karena mereka harus menjual hasil tangkapannya
kepada para bakul yang menjadi langgannya. Hal ini telah menyebabkan semakin tingginya

ketergantungan para nelayan terhadap para pemodal (bakul). Faktor ini sangat dominan dalam

menyebabkan kemiskinan nelayan di Desa Teluk setambul kerena selain menyebabkan

tersisihnya kelembagaan ekonomi, motorisasi juga erat kaitannya dengan penggunaan bahan

bakar minyak (BBM), kenaikan harga BBM tidak di di barengi dengan kenaikan harga hasil

produksi nelayan, sehingga menyebabkan semakin susahnya nelayan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa hal yang dapat diusulkan sebagai saran adalah:

1) Perlu dibangun pelabuhan kecil agar perahu-perahu dari daerah lain dapat mendaratkan dan

menjual ikannya di daerah Limbangan. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjang kemajuan

ekonomi Desa.

2) Perlu dibentuk kelompok-kelompok nelayan dan kegiatan pendampingan, baik oleh petugas

penyuluhan, LSM, dan lain-lain, agar nelayan dapat dikoordinir dalam wadah organisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Darwin, M.S.P. 2002. Karakteristik Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Syiah Kuala
Banda Aceh. Skripsi Institut Pertanian Bogor; Bogor.

Dharmawan, Arya Hadi. 2003. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in
Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen, Jerman.

Hermanto et al., 1995. Kemiskinan di Pedesaan : Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IPB;
Bogor.

Kusnadi, 2000. Nelayan : Strategi adaptasi dan Jaringan Sosial. HumanioraUtama Press ; Bandung.

Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKiS;
Yogyakarta.

Lewis, Oscar. 1966. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan (ed.), kemiskinan di Perkotaan.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Mubyarto et al., 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Rajawali Pers; Jakarta


Kemiskinan di Indonesia

Antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah
kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun
drastis - baik di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya
program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto
angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya
sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11
persen saja.

Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di
Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti
prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.

Tabel berikut ini memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia, baik relatif maupun absolut
(untuk membaca analisis mengenai Gini Rasio silakan lanjut baca di bagian bawah halaman situs
ini):

Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia:

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Kemiskinan Relatif
16.6 15.4 14.2 13.3 12.5 11.7 11.5 11.0 11.1 10.9¹
(% dari populasi)

Kemiskinan Absolut
37 35 33 31 30 29 29 28 29 28¹
(dalam jutaan)

Koefisien Gini/
0.35 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.40
Rasio Gini

¹ Maret 2016
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)

Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten.
Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi
garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya.
Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per
bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian
berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.

Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang
mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari
USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain
miskin), maka persentase tabel di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti
dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka
penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan
meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup
hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia
menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa)
hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.

Dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan
yang signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa depan.
Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka
yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk
mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut,
kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu
untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka
penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.

Stabilitas harga makanan (khususnya beras) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai
negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli
beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya
karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir
miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh
dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi.

Selain inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga makanan, keputusan pemerintah untuk
mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi.
Misalnya waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan
pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka
kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat
pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran
pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-
tahun) terjadi sampai oktober 2006. Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik
pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015. Namun karena harga minyak internasional yang
lemah pada waktu itu, keputusan ini tidak mengimplikasikan dampak yang luar biasa pada angka
inflasi. Toh, angka inflasi Indonesia naik menjadi di antara 8 - 9 persen (t/t) pada tahun 2014
maka ada peningkatan kemiskinan sedikit di Indonesia di antara tahun 2014 dan 2015, baik di
wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Kemiskinan di Indonesia dan Distribusi Geografis

Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai
kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika
dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin
berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam
pengertian relatif propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih
tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima propinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan
relatif yang paling tinggi. Semua propinsi ini berlokasi di luar wilayah Indonesia Barat seperti
pulau Jawa, Sumatra dan Bali (yang adalah wilayah-wilayah yang lebih berkembang dibanding
pulau-pulau di bagian timur Indonesia).

Propinsi dengan Angka Kemiskinan Relatif Tinggi:

Provinsi Orang Miskin¹

Papua 28.5%

Papua Barat 25.4%

Nusa Tenggara Timur 22.2%

Maluku 19.2%

Gorontalo 17.7%

¹ persentase berdasarkan total penduduk per propinsi bulan March 2016


Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi di Indonesia Timur ini, di mana sebagian besar


penduduknya adalah petani, kebanyakan ditemukan di wilayah pedesaan. Di daerah tersebut
masyarakat adat sudah lama hidup di pinggir proses perkembangan ekonomi dan jauh dari
program-program pembangunan (yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga internasional).
Migrasi ke daerah perkotaan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pekerjaan dan -
dengan demikian - menghindari kehidupan dalam kemiskinan.

Bertentangan dengan angka kemiskinan relatif di Indonesia Timur, tabel di bawah ini
menunjukkan angka kemiskinan absolut di Indonesia yang berkonsentrasi di pulau Jawa dan
Sumatra. Kedua pulau ini adalah pulau terpadat (populasi) di Indonesia.
Propinsi dengan Angka Kemiskinan Absolut Tinggi:

Orang Miskin
Provinsi
(dalam jutaan)

Jawa Timur 4.78

Jawa Tengah 4.51

Jawa Barat 4.49

Sumatra Utara 1.51

Nusa Tenggara Timur 1.16

per Maret 2016


Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Kemiskinan di Indonesia: Kota dan Desa

Indonesia telah mengalami proses urbanisai yang cepat dan pesat (sama seperti tren internasional
belakangan ini). Sejak pertengahan tahun 1990-an jumlah absolut penduduk pedesaan di
Indonesia mulai menurun dan saat ini lebih dari setengah total penduduk Indonesia tinggal di
wilayah perkotaan (padahal pada tengah 1990-an hanya sekitar sepertiga populasi Indonesia
tinggal di daerah perkotaan).

Kecuali beberapa propinsi, wilayah pedesaan di Indonesia relatifnya lebih miskin dibanding
wilayah perkotaan. Angka kemiskinan pedesaan Indonesia (persentase penduduk pedesaan yang
hidup di bawah garis kemiskinan desa tingkat nasional) turun hingga sekitar 20 persen di
pertengahan 1990-an tetapi melonjak tinggi ketika Krisis Finansial Asia (Krismon) terjadi antara
tahun 1997 dan 1998, yang mengakibatkan nilainya naik mencapai 26 persen. Setelah tahun
2006, terjadi penurunan angka kemiskinan di pedesaan yang cukup signifikan seperti apa yang
ditunjukkan tabel di bawah ini, walau slowdown ekonomi Indonesia di antara tahun 2011 dan
2015 membatasi penurunan tersebut.

Statistik Kemiskinan Pedesaan di Indonesia:

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Kemiskinan Pedesaan¹ 21.8 20.4 18.9 17.4 16.6 15.7 14.3 14.4 13.8 14.2 14.1

¹ persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan desa


Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Angka kemiskinan kota adalah persentase penduduk perkotaan yang tinggal di bawah garis
kemiskinan kota tingkat nasional. Tabel di bawah ini, yang memperlihatkan tingkat kemiskinan
perkotaan di Indonesia, menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kemiskinan desa: semakin
berkurang mulai dari tahun 2006 tetapi kinerja ini terbatasi di antara tahun 2012-2015 karena
slowdown perekonomian Indonesian. Slowdown ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan
ekonomi global yang lemah, penurunan harga komoditas, dan iklim suku bunga Bank Indonesia
yang tinggi pada periode 2013-2015 (demi melawan inflasi yang tinggi, mendukung rupiah, dan
membatasi defisit transaksi berjalan).

Statistik Kemiskinan Perkotaan di Indonesia:

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Kemiskinan Kota¹ 13.5 12.5 11.6 10.7 9.9 9.2 8.4 8.5 8.2 8.3 7.8

¹ persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan kota


Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Ketidaksetaraan di Indonesia yang semakin Meluas?

The Gini ratio (or coefficient), which measures income distribution inequality, is an important
indicator to assess the degree of 'righteousness' in a country (although this indicator does have
some flaws). A Gini coefficient of 0 indicates perfect equality, while a coefficient of 1 indicates
perfect inequality. It is interesting to note that a sharp rise in income distribution inequality
occurred in Indonesia in the post-Suharto era. Thus, the period of democracy and
decentralization in the post-Suharto era created an environment that allowed for rising inequality
in Indonesian society: while in the 1990s Indonesia's Gini ratio stood at an average of 0.30, it
rose to an average of 0.39 in the 2000s, and remained stable at 0.41 in the years 2011-2015
before easing slightly to 0.40 in 2016.

It actually is a painful fact that Indonesia's rising inequality emerged while - at the same time -
the overall economy expanded from a USD $163.8 billion economy in 1999 to a USD $861.9
billion economy in 2015 (and while Indonesia became a member of the G20 group of major
economies in 2008)

A World Bank report that was released in December 2015 claims that only the richest 20 percent
of Indonesia's population have enjoyed the fruits of a decade-long economic growth, implying
that 80 percent of the population (or 200 million people in absolute terms) are left behind. These
are alarming figures. In fact, after China, Indonesia saw the highest rise in income distribution
inequality between the 1990s and the 2000s among Asian countries:

Asian Countries with the Highest Average Gini Ratio:

Gini Ratio in Gini Ratio in


Country Difference
the 1990s the 2000s

China 0.34 0.45 +0.11

Indonesia 0.30 0.39 +0.09

Laos 0.32 0.38 +0.06

India 0.34 0.39 +0.05

Vietnam 0.37 0.37 0.00

Cambodia 0.39 0.38 -0.01

Philippines 0.45 0.44 -0.01

Malaysia 0.49 0.47 -0.02

Thailand 0.46 0.41 -0.05

Source: World Bank

In Indonesia the Gini ratio is also closely related to the movement of commodity prices. The
rising trend of the nation's Gini ratio in the 2000s came amid the commodities boom, while the
Gini ratio stabilized after commodity prices collapsed in 2011. Therefore, rising or falling
commodity prices apparently particularly affect the top 20 percent of the Indonesian population.
Lower commodity prices weakens this group's incomes and purchasing power.

A high degree of inequality in society is a threat because it not only jeopardizes social cohesion
but it also jeopardizes political and economic stability. Moreover, research conducted by the
World Bank shows that countries with more equal wealth distribution tend to grow faster and
more stably compared to those countries that exhibit a high degree of inequality.
Besides overall nationwide inequality in Indonesia, there also exists a high degree of inequality
among the various regions within the country. For example the island of Java, particularly the
Greater Jakarta region, contributes about 60 percent to the total Indonesian economy. Direct
investment is also highly concentrated on this island causing rising inequality between Java and
the outer islands.

What can the government do to combat income distribution inequality in Indonesia? Key
strategies would be to increase employment opportunities for Indonesians by encouraging the
development of labor-intensive sectors (particularly the agriculture sector and manufacturing
industry). To achieve this, it is important to attract direct investment in these labor-intensive
industries (implying the government needs to continue its focus on improving Indonesia's
investment climate).

Meanwhile, the government needs to focus on the development of new economic growth centers
outside the island of Java in order to reduce inequality (structurally) among the various regions.
Infrastructure development in the remote regions is one strategy to achieve this (which will cause
the so-called multiplier effect). Lastly, education and health should also be improved nationwide
as higher education and healthy lifestyles tend to lead to higher incomes.

Namun, kita masih dapat mempertanyakan metodologi koefisien Gini ini karena ia membagi
penduduk dalam lima kelompok, masing-masing berisi 20 persen dari populasi: dari 20 persen
terkaya sampai ke 20 persen termiskin. Selanjutnya, koefisien ini mengukur kesetaraan (dan
ketimpangan) antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika menggunakan koefisien ini untuk
Indonesia masalah yang timbul adalah negara ini memiliki karakter ketidakseimbangan ekstrim
dalam setiap kelompoknya, sehingga membuat hasil koefisien Gini kurang selaras dengan
kenyataan.

Update terakhir: 12 Januari 2017

Share
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini ada beberapa orang yang sering melakukan khotbah, tablig, dan dakwah. Hal ini
bertujuan agar semua orang bisa memahami dan mendalami agama Islam. Tapi, di sini tidak
semua orang tahu perbedaan antara khotbah, tablig, dan dakwah hal ini dikarenakan dakwah
memiliki kesamaan dengan tabligh dan khotbah, banyak orang-orang awam yang belum
mengetahui perbedaan-perbedaan antara dakwah , tabligh, dan khotbah.

Melalui makalah ini, maka akan dibahas mengenai khotbah, tablig, dan dakwah, serta melalui
pembelajaran berikut kita dapat membedakan antara khotbah, tablig, dan dakwah, berikut rukun-
rukun, sunah-sunahnya dan hal yang dimakruhkan dalam khotbah, tablig, dan dakwah.

Agama Islam dalam menyampaikan ajaran-ajarannya kepada seluruh umatmanusia


menggunakan beberapa cara. Yang antara lain melalui khotbah, tablig, dan dakwah. Cara
tersebut disesuaikan dengan situasi serta kondisi.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan khotbah, tablig, dan dakwah !


2. Jelaskan rukun dan syarat khotbah !
3. Jelaskan rukun dan syarat tabligh !
4. Jelaskan rukun dan syarat dakwah !
5. Jelaskan persamaan dan perbedaan khutbah, tabligh dan dakwah !
C. Maksud dan Tujuan

1. Memahami tentang persamaan dan perbedaan khotbah, tabligh dan dakwah.


2. Menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

 Khotbah

Khotbah adalah berpidato pada rangkaian shalat Jumat yang berisi menyampaikan pesan tentang
bertakwa kepada Allah SWT. Dengan syarat-syarat tertentu. khutbah tidak mungkin bisa
ditinggalkan karena akan membatalkan rangkaian aktivitas ibadah. Contoh, apabila ṡalat Jumat
tidak ada khutbahnya, ṡalat Jumat tidak sah. Apabila wukuf di arafah tidak ada khutbah nya,
wukufnya tidak sah.

Sesungguhnya, khutbah merupakan kesempatan yang sangat besar untuk berdakwah dan
membimbing manusia menuju ke-ridha-an Allah Swt. Hal ini jika khutbah dimanfaatkan sebaik-
baiknya, dengan menyampaikan materi yang dibutuhkan oleh hadirin menyangkut masalah
kehidupannya, dengan ringkas, tidak panjang lebar, dan dengan cara yang menarik serta tidak
membosankan. Khutbah memiliki kedudukan yang agung dalam syariat Islam sehingga
sepantasnya seorang khatib melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Seorang khathib harus memahami aqidah yang benar sehingga dia tidak sesat dan menyesatkan
orang lain. Seorang khatib seharusnya memahami fiqh sehingga mampu membimbing manusia
dengan cahaya syariat menuju jalan yang lurus. Seorang khatib harus memperhatikan keadaan
masyarakat, kemudian mengingatkan mereka dari penyimpangan-penyimpangan dan mendorong
kepada ketaatan. Seorang khathib sepantasnya juga seorang yang ṡālih, mengamalkan ilmunya,
tidak melanggar larangan sehingga akan memberikan pengaruh kebaikan kepada para pendengar.

 Tabligh

Menurut bahasa Arab tablig berarti menyampaikan. Menurut istilah arinya menyampaikan
perintah dan larangan Allah SWT. sebagai ajaran agama agar manusoa beriman kepadanya.
Orang yang memiliki keahlian bertablig disebut muballig. Berikut adalah salah satu hadist yang
membahas tentang tablig : “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”(HR Bukhari)

Salah satu sifat wajib bagi rasul adalah Tabligh, yakni menyampaikan wahyu dari Allah Swt.
kepada umatnya. Semasa Nabi Muhammad saw. masih hidup, seluruh waktunya dihabiskan
untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw. wafat, kebiasaan ini
dilanjutkan oleh para sahabatnya, para tabi’in (pengikutnya sahabat), dan tabi’it-tabi’in (pengikut
pengikutnya sahabat). Setelah mereka semuanya tiada, siapakah yang akan meneruskan
kebiasaan menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang sesudahnya? Kita sebagai siswa
muslim punya tanggung jawab untuk meneruskan kebiasaan bertabligh tersebut.

Banyak yang menyangka bahwa tugas Tabligh hanyalah tugas alim ulama saja. Hal itu tidak
benar. Setiap orang yang mengetahui kemungkaran yang terjadi di hadapannya, ia wajib
mencegahnya atau menghentikannya, baik dengan tangannya (kekuasaanya), mulutnya (nasihat),
atau dengan hatinya (bahwa ia tidak ikut dalam kemungkaran tersebut). Seseorang tidak mesti
menjadi ulama terlebih dulu. Siapa pun yang melihat kemungkaran terjadi di depan matanya, dan
ia mampu menghentikannya, ia wajib menghentikannya. Bagi yang mengerti suatu permasalahan
agama, ia mesti menyampaikannya kepada yang lain, siapa pun mereka. Sebagaimana hadis
Rasulullah saw.:
Artinya: Dari Abi Said al-Khudri ra. berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu
maka ubahlah dengan lisannya. apabila tidak mampu maka dengan hatinya (tidak mengikuti
kemungkaran tersebut), dan itu selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)

 Dakwah

Dakwah dalam bahasa Arab berarti mngajak atau menyeru. Menurut istilah dakwah merupakan
mengajak manusia untuk mengikuti kebenaran berdasarkan Al Quran dan hadist sebagai sumber
ajaran Islam agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Berikut adalah
salah satu hadist yang membahas dakwa : “Barang siapa yang mengajak orang ke jalan baik,
maka akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya.” (HR Muslim).

Salah satu kewajiban umat Islam adalah berdakwah. Sebagian ulama ada yang menyebut
berdakwah itu hukumnya fardhu kifayah (kewajiban kolektif), sebagian lainnya menyatakan
fardhu ain. Meski begitu, Rasulullah saw. tetap selalu mengajarkan agar seorang muslim selalu
menyeru pada jalan kebaikan dengan cara-cara yang baik.

Setiap dakwah hendaknya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia dan di akhirat dan mendapat ridha dari Allah Swt. Nabi Muhammad saw. mencontohkan
dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan.

Rasulullah saw. memulai dakwahnya kepada istri, keluarga, dan teman- teman karibnya hingga
raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah
Rasulullah saw. adalah Kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia
(Iran), dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Ada beberapa metode dakwah yang bisa
dilakukan seorang muslim menurut syariat.

B. Rukun dan Syarat

1. Khutbah

 Rukun

- Mengucapkan hamdalah atau puji-pujian kepada Alllah SWT.


- Membaca syahadatain, yakni syahadat tauhid dan syahadat rasul. Dalam hal ini Rasulullah SAW
bersabda, “Tiap-tiap khotbah yang tidak ada syahadatnya, adalah seperti tangan yang terpotong.”
(H.R. Ahmad dan Abu Daud)
- Membaca salawat atas Nabi Muhammad SAW.
- Berwasiat atau member nasihat tentang takwa dan menyampaikan ajaran tentang akidah, ibadah,
akhlak dan muamalah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadist.
- Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu dari dua khotbah. Rasulullah bersabdah yang artinya:
- “Dari Jabir bin Samurah, katanya, “Rasulullah SAW berkhotbah berdiri, duduk antara keduanya,
membaca ayat-ayat Al-Qur’an, mengingatkan dan memperingatkan kabar takut pada manusia.”
(H.R. Muslim)
- Berdoa pada khotbah kedua agar kaum muslimin memperoleh ampunan dosa dan rahmat Allah
SWT.

 Syarat

- Khutbah dimulai pada waktu zuhur (sesudah matahari tergelincir).


- Khutbah dilakukan dengan dua kali dengan berdiri (jika dimungkinkan).
- Khatib hendaknya duduk di antara dua khotbah.
- Khotbah diucapkan dengan suara yang jelas dan keras.
- Dilakiukan secara berturut-turut sesuai dengan rukunnya.

2. Tabligh

 Rukun

- Bersikap lemah lembut, tidak kasar, dan tidak merusak.


- Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh jamaahnya.
- Mengutamakan musyawarah dan berdiskusi untuk memperoleh kesepakatan bersama.
- Materi dakwah yang disampaikan haruslah mempunyai dasar hukum yang kuat dan jelas
sumbernya.
- Menyampaikan dengan ikhlas dan sabar, sesuai dengan kondisi, psikologis dan sosiologis para
jamaahnya.
- Tidak menghasut orang lain untuk bermusuhan, berselisih, merusak, dan mencari-cari kesalahan
orang lain.

 Syarat

- Islam,
- Balligh,
- Berakal,
- Mendalami ajaran Islam.

3. Dakwah
 Rukun

- Da’i yaitu orang yang mengajak atau menyeru ke jalan Allah.


- Mad’u yaitu orang yang diajak atau diseru ke jalan Allah.
- Manhaj Dakwah yaitu metode atau cara dalam menyampaikan.
- Wasaa’il yaitu sarana atau media dalam menghantarkan dakwah

 Syarat

- Ikhlas Lillahi ta’ala yaitu dakwah yang dilakukan hendaknya semata-mata atau ikhlas hanya
mengharap ridha Allah, tidak boleh ada tujuan lain yang merusak maksud dakwah seperti
misalnya: agar terpandang atau tersohor, sum’atun (harum namanya), mencari materi atau
dijadikan sarana ma’isyah (profesi atau pekerjaan) bagi dirinya, atau mencari sebanyak-banyak-
nya pengikut, dan pandai melucu supaya org2 mengikuti ceramahnya (bisa membuat jamaah
terbahak-bahak).
- Harus memiliki ilmu (‘alal ‘ilmi) yaitu dakwah harus dilandasi oleh ilmu sebagaimana dikatakan
oleh al-Imam Bukhori dalam bab khusus tentang ilmu yaitu bab tentang ilmu sebelum berbicara
dan beramal.
- Memperhatikan mad’u (orang yang didakwahi) dan keadaannya.
- Memanfaatkan berbagai macam kesempatan dan momen-momen tertentu.
- Memperhatikan waktu dan keadaan
- Memulai dakwah dengan apa yang dimulai oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu mendahulukan
ajakan tauhid.
- Mengetahui urutan atau sistematis dakwah (tartibul awlawiyat) seperti; tauhid, sholat, puasa, zakat
dan seterusnya. Tidak terbalik urutannya. Misalkan kita menjumpai seseorang di masjid ketika
waktu sholat tiba. Seseorang tersebut sedang merokok. Maka kaidah yang benar adalah ajaklah
ia untuk sholat dahulu baru didakwahi untuk menjauhi rokok, bukan sebaliknya.
BAB III
KESIMPULAN

Pada dasarnya khutbah, tabligh dan dakwah sama-sama menyempaikan. Namun antara khutbah,
tabligh dan dakwah peyampaiannya tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing.
Khutbah, tabligh dan dakwah memilik syarat dan rukunnya masing-masing. Apabila salah satu
syarat maupun rukun ada yang tidak terpenuhi maka itu belum dapat di sebut khutbah tabligh
ataupun dakwah.

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menulis makalah ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan tanpa ada hambatan yang berarti. Shalawat serta salamnya semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para sahabatnya, dan juga kepada kita
semua selaku umatnya yang insya Allah selalu mengikuti ajaran sunahnya.

Makalah ini merupakan hasil observasi penulis dan merupakan salah satu persyaratan
untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran “ PAI “ di SMA NEGERI 1 PONTANG

Kami dari kelompok 3 menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini,dan jauh dari sempurna,itu di karenakan keterbatasan yang kami miliki, oleh sebab
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada ALLAH lah penulis pasrahkan semua,karena
kebenaran hanyalah milik-Nya.

Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca
sekalian Terutama untuk kelas XI IPA 4.
Pontang, 30 Agustus 2012

Kelompok 3

DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ………………………………………… -
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………. 1
KATA PENGANTAR ……………………………………….. 2
DAFTAR ISI ………………………………………………….. 3

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ……………………….………………. 4
2. Rumusan Masalah ……………………………………. 4
3. Maksud dan Tujuan …………………………………... 4

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Khutbah, Tablig, dan Dakwah …………… 5
4. Pentingnya Khutbah, Tablig, dan Dakwah …………... 5
5. Ketentuan Khutbah, Tablig, dan Dakwah. ….……….. 6

BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN ………………………………………. 9

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini begitu banyak cara-acara keagamaan di televisi yang bertaju kkhotbah, tablig, dan
dakwah. Hal ini bertujuan agar semua orang yang menyaksikan acara itu bisa memahami dan
mendalami agama Islam. Tapi, di sini tidak semua orang tahu perbedaan antara khotbah, tablig,
dan dakwah hal ini dikarenakan dakwah memiliki kesamaan dengan tabligh dan khotbah, banyak
orang-orang awam yang belum mengetahui perbedaan-perbedaan antara dakwah , tabligh, dan
khotbah.
Melalui pembelajaran ini, maka akan dibahas mengenai khotbah, tablig, dan dakwah, serta
melalui pembelajaran berikut kita dapat membedakan antara khotbah, tablig, dan dakwah,
berikut rukun-rukun, sunah-sunahnya dan hal yang dimakruhkan dalam khotbah, tablig, dan
dakwah.
Pembelajaran ini juga dapat memberikan pelajaran mengenai cara mempraktikkan tata cara
dalam khotbah, tablig, dan dakwah, perbedaan khutbah Jum’at dan khutbah-khutbahlainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan khotbah, tablig, dan dakwah !


2. Jelaskan mengenai khutbah, hukum-hukumnya, dan sunah-sunah khutbah !
3. Bagaimana tata cara yang baik dan benar khotbah, tablig, dan dakwah !
4. Bagaimana cara menyusun teks dan memperagakan khotbah, tablig, dan dakwah !

C. Maksud dan Tujuan

Kami dari kelompok 3 menyusun makalah ini merupakan sebuah bentuk pengaplikasian dari
bagian proses pembelajaran yang cukup kompleks tentang penyampaian ayat. Untuk
memperjelas pengaplikasian tersebut, maka dapat di rumuskan sebuah maksud dan tujuan dari
penyusunan makalah ini.

1. Memahami lebih tentang Khutbah, Tablig, dan Dakwah,


2. Belajar sambil Berdiskusi dengan teman sekelas tentang Khutbah, Tablig, dan Dakwah,
Dan
3. Memenuhi tugas yang diberikan oleh guru mata pelajaran PAI.

BAB II
PEMBAHASAN MATERI

1. Pengertian Khutbah, Tablig, dan Dakwah.

Agama Islam dalam menyampaikan ajaran-ajarannya kepada seluruh umatmanusia


menggunakan beberapa cara. Yang antara lain melalui khotbah, tablig, dan dakwah. Cara
tersebut disesuaikan dengan situasi serta kondisi. Berikut definisi dari beberapa cara yang
digunakan untuk menyampaikan agama Islamtersebut yaitu :

a. Khotbah
Khotbah adalah berpidato pada rangkaian shalat Jumat yang berisi menyampaikan pesan tentang
bertakwa kepada Allah SWT. Dengan syarat-syarat tertentu.
b. Tablig
Menuruy bahasa Arab tablig berarti menyampaikan. Menurut istilah arinya menyampaikan
perintah dan larangan Allah SWT. sebagai ajaran agama agar manusoa beriman kepadanya.
Orang yang memiliki keahlian bertablig disebut muballig. Berikut adalah salah satu hadist yang
membahas tentang tablig :
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat”(HR Bukhari)

c. Dakwah
Dakwah dalam bahasa Arab berarti mngajak atau menyeru. Menurut istilah dakwah merupakan
mengajak manusia untuk mengikuti kebenaran berdasarkan Al Quran dan hadist sebagai sumber
ajaran Islam agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Berikut adalah
salah satu hadist yang membahas dakwa :
“Barang siapa yang mengajak orang ke jalan baik, maka akan mendapatkan pahala sebanyak
pahala orang yang mengikutinya.” (HR Muslim).

2. Pentingnya Khutbah, Tabligh, dan Dakwah

1. Pentingnya Khutbah
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa khutbah masuk pada aktivitas ibadah. Maka, khutbah
tidak mungkin bisa ditinggalkan karena akan membatalkan rangkaian aktivitas ibadah. Contoh,
apabila ṡalat Jumat tidak ada khutbahnya, ṡalat Jumat tidak sah. Apabila wukuf di arafah tidak
ada khutbah nya, wukufnya tidak sah.

Sesungguhnya, khutbah merupakan kesempatan yang sangat besar untuk berdakwah dan
membimbing manusia menuju ke-ridha-an Allah Swt. Hal ini jika khutbah dimanfaatkan sebaik-
baiknya, dengan menyampaikan materi yang dibutuhkan oleh hadirin menyangkut masalah
kehidupannya, dengan ringkas, tidak panjang lebar, dan dengan cara yang menarik serta tidak
membosankan. Khutbah memiliki kedudukan yang agung dalam syariat Islam sehingga
sepantasnya seorang khatib melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Seorang khathib harus memahami aqidah yang benar sehingga dia tidak sesat dan menyesatkan
orang lain. Seorang khatib seharusnya memahami fiqh sehingga mampu membimbing manusia
dengan cahaya syariat menuju jalan yang lurus. Seorang khatib harus memperhatikan keadaan
masyarakat, kemudian mengingatkan mereka dari penyimpangan-penyimpangan dan mendorong
kepada ketaatan. Seorang khathib sepantasnya juga seorang yang ṡālih, mengamalkan ilmunya,
tidak melanggar larangan sehingga akan memberikan pengaruh kebaikan kepada para pendengar.
2. Pentingnya Tabligh
Salah satu sifat wajib bagi rasul adalah Tabligh, yakni menyampaikan wahyu dari Allah Swt.
kepada umatnya. Semasa Nabi Muhammad saw. masih hidup, seluruh waktunya dihabiskan
untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw. wafat, kebiasaan ini
dilanjutkan oleh para sahabatnya, para tabi’in (pengikutnya sahabat), dan tabi’it-tabi’in (pengikut
pengikutnya sahabat). Setelah mereka semuanya tiada, siapakah yang akan meneruskan
kebiasaan menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang sesudahnya? Kita sebagai siswa
muslim punya tanggung jawab untuk meneruskan kebiasaan bertabligh tersebut.

Banyak yang menyangka bahwa tugas Tabligh hanyalah tugas alim ulama saja. Hal itu tidak
benar. Setiap orang yang mengetahui kemungkaran yang terjadi di hadapannya, ia wajib
mencegahnya atau menghentikannya, baik dengan tangannya (kekuasaanya), mulutnya (nasihat),
atau dengan hatinya (bahwa ia tidak ikut dalam kemungkaran tersebut). Seseorang tidak mesti
menjadi ulama terlebih dulu. Siapa pun yang melihat kemungkaran terjadi di depan matanya, dan
ia mampu menghentikannya, ia wajib menghentikannya. Bagi yang mengerti suatu permasalahan
agama, ia mesti menyampaikannya kepada yang lain, siapa pun mereka. Sebagaimana hadis
Rasulullah saw.:
Artinya: Dari Abi Said al-Khudri ra. berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu
maka ubahlah dengan lisannya. apabila tidak mampu maka dengan hatinya (tidak mengikuti
kemungkaran tersebut), dan itu selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)
3. Pentingnya Dakwah
Salah satu kewajiban umat Islam adalah berdakwah. Sebagian ulama ada yang menyebut
berdakwah itu hukumnya fardhu kifayah (kewajiban kolektif), sebagian lainnya menyatakan
fardhu ain. Meski begitu, Rasulullah saw. tetap selalu mengajarkan agar seorang muslim selalu
menyeru pada jalan kebaikan dengan cara-cara yang baik.

Setiap dakwah hendaknya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia dan di akhirat dan mendapat ridha dari Allah Swt. Nabi Muhammad saw. mencontohkan
dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan.

Rasulullah saw. memulai dakwahnya kepada istri, keluarga, dan teman- teman karibnya hingga
raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah
Rasulullah saw. adalah Kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia
(Iran), dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Ada beberapa metode dakwah yang bisa
dilakukan seorang muslim menurut syariat.

3. Ketentuan Khutbah, Tablig, dan Dakwah

1. Ketentuan Khotbah Jum’at


a. Khatib jum’at
Khotbah Jum’at adalah pidato atau ceramah yang wajib dilaksanakan oleh seorang khatib,
sebelum salat Jum’at dimulai.
Agar tujuan mulia tersebut tercapai maka, hendaklah khatib Jum’at harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut, ini :
- Mengetahui ajaran Islam, terutama mengenai akidah, ibadah, dan akhlak.
- Mengetahui berbagai hal tentang khotbah Jum’at, terutama tentang syarat, rukun dan sunah-
sunahnya.
- Dapat membaca hamdalah, syahadat, salawat, Al-Qua’an dan hadist dengan baik dan benar,
juga sanggup bebicara di muka umum dengan jelas dan mudah dipahami.
- Orang yang sudah balig danbertakwa kepada Allah, berakhlak baik, tidak melakukan
perbuatan maksiat, dan bukan orang munafik.
- Orang yang dipandang terhormat, dihormati, dan disegani.

b. Syarat Khutbah Jum’at


- Khutbah dimulai pada waktu zuhur (sesudah matahari tergelincir).
- Khutbah dilakukan dengan dua kali dengan berdiri (jika dimungkinkan).
- Khatib hendaknya duduk di antara dua khotbah.
- Khotbah diucapkan dengan suara yang jelas dan keras.
- Dilakiukan secara berturut-turut sesuai dengan rukunnya.

c. Rukun Khotbah
- Mengucapkan hamdalah atau puji-pujian kepada Alllah SWT.
- Membaca syahadatain, yakni syahadat tauhid dan syahadat rasul. Dalam hal ini Rasulullah
SAW bersabda, “Tiap-tiap khotbah yang tidak ada syahadatnya, adalah seperti tangan yang
terpotong.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud)
- Membaca salawat atas Nabi Muhammad SAW.
- Berwasiat atau member nasihat tentang takwa dan menyampaikan ajaran tentang akidah,
ibadah, akhlak dan muamalah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadist.
- Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu dari dua khotbah. Rasulullah bersabdah yang
artinya:
“Dari Jabir bin Samurah, katanya, “Rasulullah SAW berkhotbah berdiri, duduk antara keduanya,
membaca ayat-ayat Al-Qur’an, mengingatkan dan memperingatkan kabar takut pada manusia.”
(H.R. Muslim)
- Berdoa pada khotbah kedua agar kaum muslimin memperoleh ampunan dosa dan rahmat
Allah SWT.

d. Sunah Khotbah Jum’at


- Khatib hendaknya berdiri diatas mimbar atau di tempat yang lebih tinggi dan letak mimbar
berada di sebelah kanan tempat berdirinya Imam salat.
- Khatib hendaknya mengawali khotbahnya dengan member salam. Setelah itu, duduk sebentar
sambil mendengarkan mu’azzin berazan.
- Khotbah hendaknya jelas, mudah dipahami, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.
- Khatib, di dalam khotbahnya hendaknya menghadap kepada para jamaah salat Jum’at dan
jangan berputar-putar karena yang demikian itu tidak disyariatkan.
- Menertibkan tiga rukun yaitu puji-pujian, salawat, dan nasihat agar bertakwa.
- Mambaxa surah Al-Ikhlas, sewaktu duduk dua khotbah.

2. Ketentuan Tablig dan Dakwah


a. Tablig dan dakwah hendaknya dimulai dari diri mubalig dan da’i itu sendiri, sebab
sebelum seorang mubalig atau da’I mengajak orang lain untuk berimandan bertakwa, maka
terlebih dahulu mubalig dan atau da’i menjadi orang yang beriman dan bertakwa. Hal ini
diisyaratkan dalam firman Allah SWT, yang artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan ap-apa yang tidak kamu kerjakan”. (Q.S. As-Saff, 61:3)
b. Dalam bertablig atau berdakwah, mubalig, atau da’i hendaknya menggunakan pola
kebijaksanaan, yaitu berbicara atau bertablig kepada manusia menurut kadar kemampuan akal
mereka. Tablig atau dakwah kepada kaum intelek yang kadar keilmuannya sudah tinggiharus
dibedakan dengan tablig atau dakwah terhadap orang kebanyakan, kadar keilmuannya masih
rendah.
c. Dakwah dapat dilakukan dengan “bi al-hal” yaitu melalui perbuatan baik diridai oleh Allah
SWT agar diteladani orang lain.
d. Dakwah dapat dilaksanakan melalui ucapan lisan dan tulisan, baik perorangan ataupun
kepada masyarakat.
Dalam berdakwa pastinya dilakukan dengan berbagai metode dimana telah dijelaskan Allah
SWT dalam Al-Quran dalam surah An-Nahl, 16:125 yaitu :
- Metode al-hikmah yang artinya penyampaian dakwah terlebih dahulu mengetahui tujuan dan
sasaran dakwahnya.
- Metode al-mau’izah al-hasanah yakni member kepuasan kepada orang atau masyarakat yang
menjadi sasaran dakwah dengan cara seperti ini member nasihat, pengajaran dan teladan yang
baik.
- Metode “mujadalah bi al-lati hiya ahsan” ialah bertukar pikiran (berdiskusi) dengan cara-cara
yang terbaik. Metode ini digunakan bagi sasaran dakwah tertentu, misalnya bagi orang-orang
yang berpikir kritis dan kaum terpelajar.
Akan tetapi pada erang yang serbah canggih ini, sekarang dakwah dapat disampaikan melalui
media surat kabar, majalah, radio dan televisi.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Jika kita teliti dengan cermat, memahami makna hadits tersebut dengan hal semacam itu
sangatlah tidak tepat. Hadits ini menyuruh kepada kita agar ketika menyampaikan hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam kita tahu dan yakin bahwa hadits tersebut berasal dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Jadi yang benar dari hadits ini bukanlah memotivasi orang yang tidak berilmu untuk berbicara
(masalah agama) akan tetapi hadits ini memotivasi kepada orang yang telah belajar dan
mengetahui, hendaklah disampaikan walau sedikit. Ketika seseorang telah mengetahui syariat ini
benar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka diperkenankan baginya untuk
menyampaikannya kepada orang lain.

You might also like