Professional Documents
Culture Documents
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah S.W.T. yang telah mencurahkan
segala karunia dan hidayah-Nya dan tak lupa Sholawat serta salam penulis haturkan kepada
baginda Rasulullah Muhammmad S.A.W. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian kualitatif yang berjudul “STRATEGI
Nelayan Desa Teluk Setibul Kecamatan Meral Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan
Riau.)”
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian..................................... 5
1.3.1 Tujuan Penelitian................................................................. 5
1.3.2 Manfaat Penelitian.............................................................. 5
1.4 Kerangka Teoretis......................................................................... 6
1.5 Metode Penelitian......................................................................... 24
1.5.1 Lokasi Penelitian ................................................................ 24
1.5.2 Subyek Penelitian................................................................ 25
1.5.3 Jenis dan Sumber Data........................................................ 25
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................. 26
BAB I
PENDAHULUAN
Sumberdaya pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia. Dengan luas
laut 5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang besar dan
beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,7 juta ton pertahun dari
berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi. Apabila potensi ini diperkirakan kedalam nilai
ekonomi berdasarkan harga satuan komoditi perikanan, maka akan diperoleh nilai sebesar US $
Jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta
rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sector perikanan. Dengan asumsi tiap
rumahtangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang
menggantungkan hidupnya seharihari pada sumberdaya laut termasuk pesisir. Mereka pada
umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran
sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap
ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan
antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan,
penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan
kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling
miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah
Negara Maritim seperti Indonesia bahwa ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat
yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang
menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola),
rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang
tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang
banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi.
Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara
turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif
kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap
maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan
mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka
mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga
produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh
kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003). Rumahtangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan
Rumahtangga nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan
lautan ( common property ) sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam
kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan
untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain itu pekerjaan menangkap
ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat
dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat
Kemiskinan bukanlah masalah yang baru, namun pada akhir-akhir ini kembali muncul ke
permukaan sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi yang mendorong terjadinya
kesenjangan yang semakin melebar antara “si kaya” dan “si miskin” (Hermanto, 1995). Problem
kemiskinan merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa.
Kemiskinan merupakan side effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk
Berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak-
pihak lain. Misalnya masalah pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya laut, pemerintah telah
membuat peraturan yang tercantum dalam perundangan yang ada, seperti UU No.9 Tahun 1985,
Keputusan Menteri Pertanian No.185, Kepres 23 Tahun 1982, peraturan-peraturan tersebut pada
dasarnya mengatur tentang pembatasan alat-alat tangkap yang merusak sumberdaya laut,
pembatasan dan pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan skala usaha dan alat tangkap
yang digunakan, pengaturan izin usaha kepada nelayan-nelayan asing, izin pembudidayaan laut,
dan pengaturan system pemasaran ikan (Hermanto, 1995). Selain itu, pemerintah telah
membentuk Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) sebagai wujud keseriusan pemerintah
dalam menangani pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta masalah kemiskinan
nelayan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi masyarakat kelautan dan
perikanan, terutama masyarakat nelayan. yang selama ini menjadi korban pembangunan. Namun
dalam perjalanannya, ternyata keberadaan DKP dengan program-programnya, khususnya
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum mampu
menciptakan nelayannelayan tangguh dan sejahtera. Hal ini didasarkan pada fakta empiris yang
menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan yang digunakan oleh para akademisi,
LSM dan birokrat dalam melaksanakan program pembangunan, terlebih program yang hanya
Dari permasalahan di atas, maka pertanyaan pokok yang diajukan dalam penelitian ini
adalah “Bagaimana masyarakat nelayan bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin?”.
Hal inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi kemiskinan
Merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, perumusan masalah yang akan ditelaah
lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai kemiskinan pada masyarakat nelayan dan
strategi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab
kemiskinan tersebut. Secara lebih rinci permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
kemiskinan tersebut?
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak akademisi yang tertarik pada masalah-
masalah yang berkaitan dengan strategi rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Bagi
penulis, kegunaan penelitian ini adalah dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang
kondisi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan dan usaha-usaha untuk
daerah) penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk mempertimbangkan
efektif untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sedangkan bagi masyarakat nelayan sendiri,
hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam usaha memperbaiki kesejahteraan hidup
para nelayan.
Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian utamanya berasal dari
menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998), nelayan dikategorikan sebagai seseorang
yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai
dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi
dengan alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan
sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa kapal
ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di
samping itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di
terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi
terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-
hal lainnya. Kalau masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan, misalnya,
maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihakpihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan
masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam
seperti modal, peralatan tangkap, dan pasar, akan mudah mengidentifikasi adanya pelapisan
kekayaan. Di bagianbagian tertentu dari kampung nelayan, biasanya ada satu-dua rumah yang
dibangun megah. Sementara itu, kondisi rumah-rumah disekitarnya adalah sebaliknya. Jenis
rumah pertama dapat diidentifikasi sebagai rumah pemilik perahu, pedagang ikan, sedangkan
jenis rumah yang terakhir adalah milik nelayan miskin. Gejala demikian merupakan gejala yang
Rumah-rumah yang megah dan perhiasan emas yang dikenakan dalam penampilan
sehari-hari adalah harta kekayaan yang biasa diperlihatkan orangorang kaya. Sebaliknya, rumah
yang sederhana, tidak adanya perhiasan dan banyaknya hutang ke berbagai pihak adalah bentuk
dari ketiadaan harta yang bisa diperlihatkan oleh orang-orang miskin kepada masyarakat.
kriteria-kriteria tertentu. Mengacu kepada Satria (2001), kriteria dalam tipologi masyarakat
nelayan dapat dilihat berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya.
Dua hal tersebut (teknologi dan orientasi budaya) sangat terkait satu sama lain. Nelayan kecil
mencakup barbagai karakteristik, ketika seorang nelayan belum menggunakan alat tangkap yang
maju, pada umumnya diiringi oleh beberapa karakteristik budaya seperti lebih berorientasi
subsistensi. Sementara itu, nelayan besar dicirikan oleh skala usaha yang besar, baik kapasitas
teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya, mereka berorientasi pada keuntungan (profit
oriented), dan umumnya melibatkan sejumlah buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK)
dengan organisasi kerja yang semakin kompleks. Pola hubungan antar berbagai status dalam
organisasi tersebut juga semakin hierarkhis. Wilayah operasinya pun semakin beragam.
Satria (2002), menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari
kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Keempat tingkatan
kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan alat tangkap
tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga
2. Post-peasant fisher dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju
seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin
membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan
memperoleh surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar.
Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi diwilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah
berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak
3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala
usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang
berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan
4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan
perusahaan agroindustri dinegara-negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan
pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak
perahu, dan menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
2) Nelayan kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut bekerja sebagai
awak kapal.
3) Nelayan sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan pendapatan
pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki perahu tanpa mempekarjakan tenaga dari
luar keluarga.
4) Nelayan miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan
hidupnya, sehingga harus ditambah dengan bekerja lain baik untuk ia sendiri atau untuk isteri
dan anak-anaknya.
Menurut Satria (2002), hubungan antar tipe nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan
patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan
penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan
dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya
karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi. Hal ini terjadi karena nelayan
belum menemukan alternatif institusi yang menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka.
Masyhuri (2001), menggambarkan bahwa pada saat hasil tangkapan kurang baik, nelayan
kekurangan uang. Pada akhirnya, ia melepas barang-barang yang mudah dijual dengan harga
lebih murah kepada patron. Selanjutnya, nelayan akan mencari hutang kepada patron dengan
jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan
Selain itu Kusnadi (2002), menjelaskan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
berupa penangkapan ikan oleh berbagai tipe nelayan tidak jarang menimbulkan konflik sosial
perairan mereka. Konflik sosial, baik terbuka maupun laten antar kelompok masyarakat nelayan
Hermanto dkk. (1995), kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
(1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidak berdayaan dalam
pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan,
pakaian, kesehatan dan papan. Sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan, kebebasan hak
asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup pesimistik, rasa syukur dan sebagainya.
dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain. Dimensi-dimensi
kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (a) tidak dimilikinya wadah organisasi
yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka
benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka.
Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya
kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses
informasi. (b) tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga
mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c) rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak dan (d) rendahnya
kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka,
termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana,
Ellis (1983) dalam Darwin (2002), menyebutkan bahwa dimensi kemiskinan dapat
diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah kekurangan
Kemiskinan ekonomi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif. Kemiskinan absolut adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum.
Sedangkan kemiskinan relatif adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai
Kemiskinan sosial adalah kemiskinan akibat kekurangan jaringan social dan struktur
meningkat. Penyebabnya antara lain karena factor internal yaitu hambatan budaya sehingga
disebut kemiskinan kultural. Sedangkan factor eksternal diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan
resmi yang berakibat mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Yang
termasuk dalam pengertian ini adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang di derita
masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti kekurangan fasilitas pemukiman yang
sehat, pendidikan, komunikasi, perlindungan hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan
kemiskinan politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi
Menurut Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari
pola-polanya, yaitu:
disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan
dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat
bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal financial atau
modal keterampilan (skill) untuk berusaha. Mungkin juga ia tidak mempunyai jiwa usaha atau
semangat juang untuk maju di dalam kehidupan. Individu demikian itu dapat mederita hidup
miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa
usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi niscaya ia akan menemukan jalan untuk
2. Kemiskinan Relatif, untuk mengetahui kemiskinan relatif ini perlu diadakan perbandingan antara
komunitas tertentu. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai
mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. Ukuran yang
dipakai adalah ukuran pada masyarakat setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga yang
di suatu daerah komunitas dianggap relative miskin dapat saja termasuk golongan kaya apabila
diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau
3. Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu
golongan yang ”built in” atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu
masyarakat. Di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita
kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk
melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita
kemiskinan struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Di dalam golongan ini banyak
terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya,
akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung lunas.
4. Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah
lingkungan alam yang mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk
memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak
memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan social yang
keperluan masyarakat.
Lewis (1966), memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau
lebih tepat sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu
sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga.
Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan juga sekaligus
merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang
perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai
dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Kurang efektifnya partisipasi dan
integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri
terpenting kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang rumit dan merupakan akibat
masalah secara setempat. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran
menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tidak adanya
tabungan, tidak adanya persediaan makanan di rumah dan terbatasnya jumlah uang tunai. Semua
kondisi ini tidak memungkinkan adanya partisipasi yang efektif di dalam sistem ekonomi yang
lebih luas. Sebagai respon terhadapnya, kita temui di dalam kebudayaan kemiskinan tingginya
hal gadai menggadaikan barang-barang pribadi, hidup dibelit hutang kepada lintah darat
setempat dengan bunga yang mencekik leher, munculnya sarana kredit informal yang secara
spontan diorganisasikan dalam ruang lingkup tetangga, penggunaan pakaian dan mebel bekas,
dan adanya pola untuk sering membeli dalam jumlah kecil-kecilan sehari-harinya sesuai dengan
Menurut Hermanto (1995), kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat dicirikan oleh
pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan keluarga rendah,
kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga
kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, dan akses terhadap
Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan
nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung
nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah
yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun
rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan
buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas
yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara
atau pedagang berskala besar dan pemilik toko. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin
dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak mereka, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat
pendapatannya. Karena tingkat pendapatan nelayan rendah, maka adalah logis jika tingkat
pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus
sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan
pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumahtangga nelayan
miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan
perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan
Menurut Pangemanan dkk. (2003), ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada
masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumbersumber modal, akses terhadap
teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti
pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya
tingkat kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah
pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor
1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan
yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim
ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup
2. Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil,
ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap
fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta
terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumahtangga nelayan. Kondisi-kondisi
aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa
Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak
pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat hasil produksi nelayan yang
sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan
kemampuan cukup untuk mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar
untuk menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan
hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah
bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian
mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap
ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa
menang dalam tawarmenawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan
selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena
perangkap hutang. Akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi perairan yang
overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau
bahkan semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup
Konsep strategi dapat diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan
untuk mencapai tujuan tertentu. Secara harfiah pengertian strategi adalah berbagai kombinasi
dari aktivitas dan pilihan-pilihan yang harus dilakukan orang agar supaya dapat mencapai
kebutuhan dan tujuan kehidupannya (Barret, et all. dalam Aristiyani, 2001). Crow dalam
Dharmawan (2003) mengartikan strategi sebagai seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif
yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari pilihan rasional, dimana dalam teori
tersebut dikatakan bahwa setiap pilihan yang dibuat individu, termasuk pemilihan suatu strategi
dibuat berdasarkan perimbangan rasional dengan mempertimbangkan untung rugi yang akan
diperoleh. Rumahtangga menunjuk pada sekumpulan orang yang hidup satu atap, tetapi tidak
selalu memiliki hubungan darah. Setiap anggota dalam rumahtangga memiliki kesepakatan untuk
menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama. Hal ini senada dengan apa
yang diungkapkan Manig dalam Dharmawan seperti dikutip Lestari (2005), bahwa rumahtangga
adalah grup dimana orang-orang tinggal bersama dalam satu atap dan menggunakan dapur yang
untuk kepentingan bersama. Dalam rumahtangga, semua modal dan barang diatur oleh kepala
rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Meskipun ada pembagian
pekerjaan yang berdasarkan jenis kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk
Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan miskin
menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan
sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi. Di bidang produksi, rumahtangga
nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi
tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam
status berusaha sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga
kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan
kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara
langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumahtangga
nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara
lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, pesta (ritus), dan modal usaha. Penerimaan tersebut
tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan
(berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab
dilakukan melalui:
1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan
oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi
3. Jaringan Sosial Melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan
efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di
lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam
menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan
sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari
hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini
mencerminkan bahwa tekanan tekanan atau kesulitankesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan
tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang
pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan social
4. Migrasi,Migrasi ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan
nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yang ada di daerah tujuan yang
sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar
kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi kadang kala penghasilan itu dititipkan
kepada teman-temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah
musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan
mendalam tentang permasalahan penelitian yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang
diantara orang-orang yang menjadi subyek penelitian. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat
pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada
penafsiran peneliti. Melalui metode studi kasus, peneliti berusaha menangkap realitas sosial
Kepulauan Riau.
Dalam penelitian ini menggunakan key informan untuk mendapatkan informasi yang
2) Berakal sehat.
Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan sosiologis, dengan metode
kualitatif dimana data dan informasi yang dibutuhkan diperoleh melalui wawancara mendalam,
a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari responden dalam wawancara
di lokasi penelitian.
b. Data Sekunder adalah data yang sudah diolah oleh instansi terkait dalam hal ini Kantor
Camat Meral, Kantor Lurah Kecamatan Meral, Desa, serta data yang diperoleh dari buku-
- Biodata responden
a. Observasi (pengamatan)
Yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Hal
yang di observasi yaitu keadaan pemukiman dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan sistem
b. Wawancara (Interview)
Yaitu pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan pihak-
pihak yang berhubungan dengan observasi penelitian yakni masyarakat desa Teluk Setimbul
BAB II
dengan ketinggian rata-rata 3 meter diatas permukaan laut, dimana kecamatan Meral terletak di
Luas wilayah Kecamatan Meral Seluas kurang lebih 760 Km2 dan terdiri dari beberapa
Kecamatan Meral terbagi atas 4 kelurahan dan satu desa yang terdiri dari 40 RW dan 153
No Kelurahan/ desa RW RT
1 Kelurahan Baran 10 44
5 Desa pangke 4 12
Jumlah 40 153
Jumlah penduduk sampai dengan sekarang ini adalah sebanyak : 55.482 Jiwa yang terdiri
dari :
BAB III
HASIL PENELITIAN
Meral Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau.)” Kecamatan Meral yang mempunyai
berbacam etnis, yaitu melayu, cina, plores, minang, jawa. Etnis yang diminan didesa ini adalah
etnis Melayu.
meral kabupaten Karimun Kepulauan Riau, dimana umur 17 tahun keatas sudah berumah tangga
Mayoritas penduduk desa teluk setimbul memiliki bermacam ragam agama yaitu agama
islam, Kristen, budha dan banyak berpenduduk asli yaitu penganut agama budha.
Masyarakat teluk setimbul kecamatan meral rata-rata tidak bersekolah karena menurut
sejarah desa tersebut dahulu mereka menghabiskan banyak waktu dilautan dan sudah menerima
perubahan atau untuk mendapatkan pendidikan yang layak apalagi dahulu belum ada prasarana
Mayoritas masyarakat teluk setimbul kecamatan Meral bekerja sebagai nelayan dan
Masyarakat desa teluk setimbul kebanyakan memiliki anak lebih dari dua dan mayoritas
anaknya tidak berpendidikan dan hanya tamat SMA yang paling tinggi jarang sekali mngenyam
Mayoritas masyarakat desa teluk setimbul adalah masyarakat pribumi yaitu orang asli
yaitu orang mantang/ orang laut dimana sudah lama menetapa didaerah tersebut dari turun
menurun.
Masyarakat desa teluk setimbul menggunakan alat tangkap ikan yaitu berupa jarring,
bubu atau pento (alat untuk menangkap kepiting) dan alat tranfortasi yang dugunakannya adalah
perahu dan hanya sebagian menggunakan pompon (kapal yang menggunakan mesin).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Desa Teluk Setimbul tidak terlepas
dari adanya berbagai faktor penyebab kemiskinan. Faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa
fluktuasi musim tangkapan, factor ini telah menyebabkan ketidakpastian hasil tangkapan para
nelayan, sehingga pada saat sedang tidak musim menangkap ikan para nelayan sangat kesusahan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan yang
dicirikan dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan menyebabkan susahnya nelayan
untuk mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia, khususnya peluang kerja di luar sektor
perikanan. Eksploitasi pemodal berupa ikatan penjualan kepada bakul tertentu dengan harga jauh
di bawah harga pasar menyebabkan semakin kecilnya hasil pendapatan nelayan, sehingga tidak
Ketimpangan sistem bagi hasil juga telah menyebabkan nelayan semakin terpuruk karena
sistem bagi hasil yang berlaku hanya menguntungkan pihak juragan saja, sehingga menambah
Selain itu, penerapan motorisasi pada perahu-perahu nelayan, di satu sisi memiliki
keuntungan yaitu dapat menghemat waktu, energi, dan kegiatan penangkapan ikan tidak lagi
bergantung pada arah angin, sehingga para nelayan dapat lebih intensif untuk pergi melaut.
Namun di sisi lain, penerapan motorisasi tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan
ekonomi (TPI), sehingga para nelayan yang dulunya dapat melakukan kegiatan lelang terbuka di
TPI, kini tidak dapat lagi melaksanakannya karena mereka harus menjual hasil tangkapannya
kepada para bakul yang menjadi langgannya. Hal ini telah menyebabkan semakin tingginya
ketergantungan para nelayan terhadap para pemodal (bakul). Faktor ini sangat dominan dalam
tersisihnya kelembagaan ekonomi, motorisasi juga erat kaitannya dengan penggunaan bahan
bakar minyak (BBM), kenaikan harga BBM tidak di di barengi dengan kenaikan harga hasil
produksi nelayan, sehingga menyebabkan semakin susahnya nelayan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa hal yang dapat diusulkan sebagai saran adalah:
1) Perlu dibangun pelabuhan kecil agar perahu-perahu dari daerah lain dapat mendaratkan dan
menjual ikannya di daerah Limbangan. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjang kemajuan
ekonomi Desa.
2) Perlu dibentuk kelompok-kelompok nelayan dan kegiatan pendampingan, baik oleh petugas
penyuluhan, LSM, dan lain-lain, agar nelayan dapat dikoordinir dalam wadah organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Darwin, M.S.P. 2002. Karakteristik Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Syiah Kuala
Banda Aceh. Skripsi Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Dharmawan, Arya Hadi. 2003. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in
Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen, Jerman.
Hermanto et al., 1995. Kemiskinan di Pedesaan : Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IPB;
Bogor.
Kusnadi, 2000. Nelayan : Strategi adaptasi dan Jaringan Sosial. HumanioraUtama Press ; Bandung.
Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKiS;
Yogyakarta.
Lewis, Oscar. 1966. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan (ed.), kemiskinan di Perkotaan.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah
kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun
drastis - baik di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya
program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto
angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya
sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11
persen saja.
Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di
Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti
prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.
Tabel berikut ini memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia, baik relatif maupun absolut
(untuk membaca analisis mengenai Gini Rasio silakan lanjut baca di bagian bawah halaman situs
ini):
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan Relatif
16.6 15.4 14.2 13.3 12.5 11.7 11.5 11.0 11.1 10.9¹
(% dari populasi)
Kemiskinan Absolut
37 35 33 31 30 29 29 28 29 28¹
(dalam jutaan)
Koefisien Gini/
0.35 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.40
Rasio Gini
¹ Maret 2016
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)
Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten.
Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi
garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya.
Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per
bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian
berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.
Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang
mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari
USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain
miskin), maka persentase tabel di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti
dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka
penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan
meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup
hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia
menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa)
hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan
yang signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa depan.
Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka
yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk
mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut,
kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu
untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka
penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.
Stabilitas harga makanan (khususnya beras) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai
negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli
beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya
karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir
miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh
dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi.
Selain inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga makanan, keputusan pemerintah untuk
mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi.
Misalnya waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan
pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka
kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat
pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran
pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-
tahun) terjadi sampai oktober 2006. Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik
pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015. Namun karena harga minyak internasional yang
lemah pada waktu itu, keputusan ini tidak mengimplikasikan dampak yang luar biasa pada angka
inflasi. Toh, angka inflasi Indonesia naik menjadi di antara 8 - 9 persen (t/t) pada tahun 2014
maka ada peningkatan kemiskinan sedikit di Indonesia di antara tahun 2014 dan 2015, baik di
wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai
kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika
dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin
berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam
pengertian relatif propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih
tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima propinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan
relatif yang paling tinggi. Semua propinsi ini berlokasi di luar wilayah Indonesia Barat seperti
pulau Jawa, Sumatra dan Bali (yang adalah wilayah-wilayah yang lebih berkembang dibanding
pulau-pulau di bagian timur Indonesia).
Papua 28.5%
Maluku 19.2%
Gorontalo 17.7%
Bertentangan dengan angka kemiskinan relatif di Indonesia Timur, tabel di bawah ini
menunjukkan angka kemiskinan absolut di Indonesia yang berkonsentrasi di pulau Jawa dan
Sumatra. Kedua pulau ini adalah pulau terpadat (populasi) di Indonesia.
Propinsi dengan Angka Kemiskinan Absolut Tinggi:
Orang Miskin
Provinsi
(dalam jutaan)
Indonesia telah mengalami proses urbanisai yang cepat dan pesat (sama seperti tren internasional
belakangan ini). Sejak pertengahan tahun 1990-an jumlah absolut penduduk pedesaan di
Indonesia mulai menurun dan saat ini lebih dari setengah total penduduk Indonesia tinggal di
wilayah perkotaan (padahal pada tengah 1990-an hanya sekitar sepertiga populasi Indonesia
tinggal di daerah perkotaan).
Kecuali beberapa propinsi, wilayah pedesaan di Indonesia relatifnya lebih miskin dibanding
wilayah perkotaan. Angka kemiskinan pedesaan Indonesia (persentase penduduk pedesaan yang
hidup di bawah garis kemiskinan desa tingkat nasional) turun hingga sekitar 20 persen di
pertengahan 1990-an tetapi melonjak tinggi ketika Krisis Finansial Asia (Krismon) terjadi antara
tahun 1997 dan 1998, yang mengakibatkan nilainya naik mencapai 26 persen. Setelah tahun
2006, terjadi penurunan angka kemiskinan di pedesaan yang cukup signifikan seperti apa yang
ditunjukkan tabel di bawah ini, walau slowdown ekonomi Indonesia di antara tahun 2011 dan
2015 membatasi penurunan tersebut.
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan Pedesaan¹ 21.8 20.4 18.9 17.4 16.6 15.7 14.3 14.4 13.8 14.2 14.1
Angka kemiskinan kota adalah persentase penduduk perkotaan yang tinggal di bawah garis
kemiskinan kota tingkat nasional. Tabel di bawah ini, yang memperlihatkan tingkat kemiskinan
perkotaan di Indonesia, menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kemiskinan desa: semakin
berkurang mulai dari tahun 2006 tetapi kinerja ini terbatasi di antara tahun 2012-2015 karena
slowdown perekonomian Indonesian. Slowdown ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan
ekonomi global yang lemah, penurunan harga komoditas, dan iklim suku bunga Bank Indonesia
yang tinggi pada periode 2013-2015 (demi melawan inflasi yang tinggi, mendukung rupiah, dan
membatasi defisit transaksi berjalan).
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan Kota¹ 13.5 12.5 11.6 10.7 9.9 9.2 8.4 8.5 8.2 8.3 7.8
The Gini ratio (or coefficient), which measures income distribution inequality, is an important
indicator to assess the degree of 'righteousness' in a country (although this indicator does have
some flaws). A Gini coefficient of 0 indicates perfect equality, while a coefficient of 1 indicates
perfect inequality. It is interesting to note that a sharp rise in income distribution inequality
occurred in Indonesia in the post-Suharto era. Thus, the period of democracy and
decentralization in the post-Suharto era created an environment that allowed for rising inequality
in Indonesian society: while in the 1990s Indonesia's Gini ratio stood at an average of 0.30, it
rose to an average of 0.39 in the 2000s, and remained stable at 0.41 in the years 2011-2015
before easing slightly to 0.40 in 2016.
It actually is a painful fact that Indonesia's rising inequality emerged while - at the same time -
the overall economy expanded from a USD $163.8 billion economy in 1999 to a USD $861.9
billion economy in 2015 (and while Indonesia became a member of the G20 group of major
economies in 2008)
A World Bank report that was released in December 2015 claims that only the richest 20 percent
of Indonesia's population have enjoyed the fruits of a decade-long economic growth, implying
that 80 percent of the population (or 200 million people in absolute terms) are left behind. These
are alarming figures. In fact, after China, Indonesia saw the highest rise in income distribution
inequality between the 1990s and the 2000s among Asian countries:
In Indonesia the Gini ratio is also closely related to the movement of commodity prices. The
rising trend of the nation's Gini ratio in the 2000s came amid the commodities boom, while the
Gini ratio stabilized after commodity prices collapsed in 2011. Therefore, rising or falling
commodity prices apparently particularly affect the top 20 percent of the Indonesian population.
Lower commodity prices weakens this group's incomes and purchasing power.
A high degree of inequality in society is a threat because it not only jeopardizes social cohesion
but it also jeopardizes political and economic stability. Moreover, research conducted by the
World Bank shows that countries with more equal wealth distribution tend to grow faster and
more stably compared to those countries that exhibit a high degree of inequality.
Besides overall nationwide inequality in Indonesia, there also exists a high degree of inequality
among the various regions within the country. For example the island of Java, particularly the
Greater Jakarta region, contributes about 60 percent to the total Indonesian economy. Direct
investment is also highly concentrated on this island causing rising inequality between Java and
the outer islands.
What can the government do to combat income distribution inequality in Indonesia? Key
strategies would be to increase employment opportunities for Indonesians by encouraging the
development of labor-intensive sectors (particularly the agriculture sector and manufacturing
industry). To achieve this, it is important to attract direct investment in these labor-intensive
industries (implying the government needs to continue its focus on improving Indonesia's
investment climate).
Meanwhile, the government needs to focus on the development of new economic growth centers
outside the island of Java in order to reduce inequality (structurally) among the various regions.
Infrastructure development in the remote regions is one strategy to achieve this (which will cause
the so-called multiplier effect). Lastly, education and health should also be improved nationwide
as higher education and healthy lifestyles tend to lead to higher incomes.
Namun, kita masih dapat mempertanyakan metodologi koefisien Gini ini karena ia membagi
penduduk dalam lima kelompok, masing-masing berisi 20 persen dari populasi: dari 20 persen
terkaya sampai ke 20 persen termiskin. Selanjutnya, koefisien ini mengukur kesetaraan (dan
ketimpangan) antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika menggunakan koefisien ini untuk
Indonesia masalah yang timbul adalah negara ini memiliki karakter ketidakseimbangan ekstrim
dalam setiap kelompoknya, sehingga membuat hasil koefisien Gini kurang selaras dengan
kenyataan.
Share
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini ada beberapa orang yang sering melakukan khotbah, tablig, dan dakwah. Hal ini
bertujuan agar semua orang bisa memahami dan mendalami agama Islam. Tapi, di sini tidak
semua orang tahu perbedaan antara khotbah, tablig, dan dakwah hal ini dikarenakan dakwah
memiliki kesamaan dengan tabligh dan khotbah, banyak orang-orang awam yang belum
mengetahui perbedaan-perbedaan antara dakwah , tabligh, dan khotbah.
Melalui makalah ini, maka akan dibahas mengenai khotbah, tablig, dan dakwah, serta melalui
pembelajaran berikut kita dapat membedakan antara khotbah, tablig, dan dakwah, berikut rukun-
rukun, sunah-sunahnya dan hal yang dimakruhkan dalam khotbah, tablig, dan dakwah.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Khotbah
Khotbah adalah berpidato pada rangkaian shalat Jumat yang berisi menyampaikan pesan tentang
bertakwa kepada Allah SWT. Dengan syarat-syarat tertentu. khutbah tidak mungkin bisa
ditinggalkan karena akan membatalkan rangkaian aktivitas ibadah. Contoh, apabila ṡalat Jumat
tidak ada khutbahnya, ṡalat Jumat tidak sah. Apabila wukuf di arafah tidak ada khutbah nya,
wukufnya tidak sah.
Sesungguhnya, khutbah merupakan kesempatan yang sangat besar untuk berdakwah dan
membimbing manusia menuju ke-ridha-an Allah Swt. Hal ini jika khutbah dimanfaatkan sebaik-
baiknya, dengan menyampaikan materi yang dibutuhkan oleh hadirin menyangkut masalah
kehidupannya, dengan ringkas, tidak panjang lebar, dan dengan cara yang menarik serta tidak
membosankan. Khutbah memiliki kedudukan yang agung dalam syariat Islam sehingga
sepantasnya seorang khatib melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Seorang khathib harus memahami aqidah yang benar sehingga dia tidak sesat dan menyesatkan
orang lain. Seorang khatib seharusnya memahami fiqh sehingga mampu membimbing manusia
dengan cahaya syariat menuju jalan yang lurus. Seorang khatib harus memperhatikan keadaan
masyarakat, kemudian mengingatkan mereka dari penyimpangan-penyimpangan dan mendorong
kepada ketaatan. Seorang khathib sepantasnya juga seorang yang ṡālih, mengamalkan ilmunya,
tidak melanggar larangan sehingga akan memberikan pengaruh kebaikan kepada para pendengar.
Tabligh
Menurut bahasa Arab tablig berarti menyampaikan. Menurut istilah arinya menyampaikan
perintah dan larangan Allah SWT. sebagai ajaran agama agar manusoa beriman kepadanya.
Orang yang memiliki keahlian bertablig disebut muballig. Berikut adalah salah satu hadist yang
membahas tentang tablig : “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”(HR Bukhari)
Salah satu sifat wajib bagi rasul adalah Tabligh, yakni menyampaikan wahyu dari Allah Swt.
kepada umatnya. Semasa Nabi Muhammad saw. masih hidup, seluruh waktunya dihabiskan
untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw. wafat, kebiasaan ini
dilanjutkan oleh para sahabatnya, para tabi’in (pengikutnya sahabat), dan tabi’it-tabi’in (pengikut
pengikutnya sahabat). Setelah mereka semuanya tiada, siapakah yang akan meneruskan
kebiasaan menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang sesudahnya? Kita sebagai siswa
muslim punya tanggung jawab untuk meneruskan kebiasaan bertabligh tersebut.
Banyak yang menyangka bahwa tugas Tabligh hanyalah tugas alim ulama saja. Hal itu tidak
benar. Setiap orang yang mengetahui kemungkaran yang terjadi di hadapannya, ia wajib
mencegahnya atau menghentikannya, baik dengan tangannya (kekuasaanya), mulutnya (nasihat),
atau dengan hatinya (bahwa ia tidak ikut dalam kemungkaran tersebut). Seseorang tidak mesti
menjadi ulama terlebih dulu. Siapa pun yang melihat kemungkaran terjadi di depan matanya, dan
ia mampu menghentikannya, ia wajib menghentikannya. Bagi yang mengerti suatu permasalahan
agama, ia mesti menyampaikannya kepada yang lain, siapa pun mereka. Sebagaimana hadis
Rasulullah saw.:
Artinya: Dari Abi Said al-Khudri ra. berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu
maka ubahlah dengan lisannya. apabila tidak mampu maka dengan hatinya (tidak mengikuti
kemungkaran tersebut), dan itu selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)
Dakwah
Dakwah dalam bahasa Arab berarti mngajak atau menyeru. Menurut istilah dakwah merupakan
mengajak manusia untuk mengikuti kebenaran berdasarkan Al Quran dan hadist sebagai sumber
ajaran Islam agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Berikut adalah
salah satu hadist yang membahas dakwa : “Barang siapa yang mengajak orang ke jalan baik,
maka akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya.” (HR Muslim).
Salah satu kewajiban umat Islam adalah berdakwah. Sebagian ulama ada yang menyebut
berdakwah itu hukumnya fardhu kifayah (kewajiban kolektif), sebagian lainnya menyatakan
fardhu ain. Meski begitu, Rasulullah saw. tetap selalu mengajarkan agar seorang muslim selalu
menyeru pada jalan kebaikan dengan cara-cara yang baik.
Setiap dakwah hendaknya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia dan di akhirat dan mendapat ridha dari Allah Swt. Nabi Muhammad saw. mencontohkan
dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan.
Rasulullah saw. memulai dakwahnya kepada istri, keluarga, dan teman- teman karibnya hingga
raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah
Rasulullah saw. adalah Kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia
(Iran), dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Ada beberapa metode dakwah yang bisa
dilakukan seorang muslim menurut syariat.
1. Khutbah
Rukun
Syarat
2. Tabligh
Rukun
Syarat
- Islam,
- Balligh,
- Berakal,
- Mendalami ajaran Islam.
3. Dakwah
Rukun
Syarat
- Ikhlas Lillahi ta’ala yaitu dakwah yang dilakukan hendaknya semata-mata atau ikhlas hanya
mengharap ridha Allah, tidak boleh ada tujuan lain yang merusak maksud dakwah seperti
misalnya: agar terpandang atau tersohor, sum’atun (harum namanya), mencari materi atau
dijadikan sarana ma’isyah (profesi atau pekerjaan) bagi dirinya, atau mencari sebanyak-banyak-
nya pengikut, dan pandai melucu supaya org2 mengikuti ceramahnya (bisa membuat jamaah
terbahak-bahak).
- Harus memiliki ilmu (‘alal ‘ilmi) yaitu dakwah harus dilandasi oleh ilmu sebagaimana dikatakan
oleh al-Imam Bukhori dalam bab khusus tentang ilmu yaitu bab tentang ilmu sebelum berbicara
dan beramal.
- Memperhatikan mad’u (orang yang didakwahi) dan keadaannya.
- Memanfaatkan berbagai macam kesempatan dan momen-momen tertentu.
- Memperhatikan waktu dan keadaan
- Memulai dakwah dengan apa yang dimulai oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu mendahulukan
ajakan tauhid.
- Mengetahui urutan atau sistematis dakwah (tartibul awlawiyat) seperti; tauhid, sholat, puasa, zakat
dan seterusnya. Tidak terbalik urutannya. Misalkan kita menjumpai seseorang di masjid ketika
waktu sholat tiba. Seseorang tersebut sedang merokok. Maka kaidah yang benar adalah ajaklah
ia untuk sholat dahulu baru didakwahi untuk menjauhi rokok, bukan sebaliknya.
BAB III
KESIMPULAN
Pada dasarnya khutbah, tabligh dan dakwah sama-sama menyempaikan. Namun antara khutbah,
tabligh dan dakwah peyampaiannya tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing.
Khutbah, tabligh dan dakwah memilik syarat dan rukunnya masing-masing. Apabila salah satu
syarat maupun rukun ada yang tidak terpenuhi maka itu belum dapat di sebut khutbah tabligh
ataupun dakwah.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menulis makalah ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan tanpa ada hambatan yang berarti. Shalawat serta salamnya semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para sahabatnya, dan juga kepada kita
semua selaku umatnya yang insya Allah selalu mengikuti ajaran sunahnya.
Makalah ini merupakan hasil observasi penulis dan merupakan salah satu persyaratan
untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran “ PAI “ di SMA NEGERI 1 PONTANG
Kami dari kelompok 3 menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini,dan jauh dari sempurna,itu di karenakan keterbatasan yang kami miliki, oleh sebab
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada ALLAH lah penulis pasrahkan semua,karena
kebenaran hanyalah milik-Nya.
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca
sekalian Terutama untuk kelas XI IPA 4.
Pontang, 30 Agustus 2012
Kelompok 3
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ………………………………………… -
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………. 1
KATA PENGANTAR ……………………………………….. 2
DAFTAR ISI ………………………………………………….. 3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ……………………….………………. 4
2. Rumusan Masalah ……………………………………. 4
3. Maksud dan Tujuan …………………………………... 4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Khutbah, Tablig, dan Dakwah …………… 5
4. Pentingnya Khutbah, Tablig, dan Dakwah …………... 5
5. Ketentuan Khutbah, Tablig, dan Dakwah. ….……….. 6
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN ………………………………………. 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini begitu banyak cara-acara keagamaan di televisi yang bertaju kkhotbah, tablig, dan
dakwah. Hal ini bertujuan agar semua orang yang menyaksikan acara itu bisa memahami dan
mendalami agama Islam. Tapi, di sini tidak semua orang tahu perbedaan antara khotbah, tablig,
dan dakwah hal ini dikarenakan dakwah memiliki kesamaan dengan tabligh dan khotbah, banyak
orang-orang awam yang belum mengetahui perbedaan-perbedaan antara dakwah , tabligh, dan
khotbah.
Melalui pembelajaran ini, maka akan dibahas mengenai khotbah, tablig, dan dakwah, serta
melalui pembelajaran berikut kita dapat membedakan antara khotbah, tablig, dan dakwah,
berikut rukun-rukun, sunah-sunahnya dan hal yang dimakruhkan dalam khotbah, tablig, dan
dakwah.
Pembelajaran ini juga dapat memberikan pelajaran mengenai cara mempraktikkan tata cara
dalam khotbah, tablig, dan dakwah, perbedaan khutbah Jum’at dan khutbah-khutbahlainnya.
B. Rumusan Masalah
Kami dari kelompok 3 menyusun makalah ini merupakan sebuah bentuk pengaplikasian dari
bagian proses pembelajaran yang cukup kompleks tentang penyampaian ayat. Untuk
memperjelas pengaplikasian tersebut, maka dapat di rumuskan sebuah maksud dan tujuan dari
penyusunan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
a. Khotbah
Khotbah adalah berpidato pada rangkaian shalat Jumat yang berisi menyampaikan pesan tentang
bertakwa kepada Allah SWT. Dengan syarat-syarat tertentu.
b. Tablig
Menuruy bahasa Arab tablig berarti menyampaikan. Menurut istilah arinya menyampaikan
perintah dan larangan Allah SWT. sebagai ajaran agama agar manusoa beriman kepadanya.
Orang yang memiliki keahlian bertablig disebut muballig. Berikut adalah salah satu hadist yang
membahas tentang tablig :
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat”(HR Bukhari)
c. Dakwah
Dakwah dalam bahasa Arab berarti mngajak atau menyeru. Menurut istilah dakwah merupakan
mengajak manusia untuk mengikuti kebenaran berdasarkan Al Quran dan hadist sebagai sumber
ajaran Islam agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Berikut adalah
salah satu hadist yang membahas dakwa :
“Barang siapa yang mengajak orang ke jalan baik, maka akan mendapatkan pahala sebanyak
pahala orang yang mengikutinya.” (HR Muslim).
1. Pentingnya Khutbah
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa khutbah masuk pada aktivitas ibadah. Maka, khutbah
tidak mungkin bisa ditinggalkan karena akan membatalkan rangkaian aktivitas ibadah. Contoh,
apabila ṡalat Jumat tidak ada khutbahnya, ṡalat Jumat tidak sah. Apabila wukuf di arafah tidak
ada khutbah nya, wukufnya tidak sah.
Sesungguhnya, khutbah merupakan kesempatan yang sangat besar untuk berdakwah dan
membimbing manusia menuju ke-ridha-an Allah Swt. Hal ini jika khutbah dimanfaatkan sebaik-
baiknya, dengan menyampaikan materi yang dibutuhkan oleh hadirin menyangkut masalah
kehidupannya, dengan ringkas, tidak panjang lebar, dan dengan cara yang menarik serta tidak
membosankan. Khutbah memiliki kedudukan yang agung dalam syariat Islam sehingga
sepantasnya seorang khatib melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Seorang khathib harus memahami aqidah yang benar sehingga dia tidak sesat dan menyesatkan
orang lain. Seorang khatib seharusnya memahami fiqh sehingga mampu membimbing manusia
dengan cahaya syariat menuju jalan yang lurus. Seorang khatib harus memperhatikan keadaan
masyarakat, kemudian mengingatkan mereka dari penyimpangan-penyimpangan dan mendorong
kepada ketaatan. Seorang khathib sepantasnya juga seorang yang ṡālih, mengamalkan ilmunya,
tidak melanggar larangan sehingga akan memberikan pengaruh kebaikan kepada para pendengar.
2. Pentingnya Tabligh
Salah satu sifat wajib bagi rasul adalah Tabligh, yakni menyampaikan wahyu dari Allah Swt.
kepada umatnya. Semasa Nabi Muhammad saw. masih hidup, seluruh waktunya dihabiskan
untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw. wafat, kebiasaan ini
dilanjutkan oleh para sahabatnya, para tabi’in (pengikutnya sahabat), dan tabi’it-tabi’in (pengikut
pengikutnya sahabat). Setelah mereka semuanya tiada, siapakah yang akan meneruskan
kebiasaan menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang sesudahnya? Kita sebagai siswa
muslim punya tanggung jawab untuk meneruskan kebiasaan bertabligh tersebut.
Banyak yang menyangka bahwa tugas Tabligh hanyalah tugas alim ulama saja. Hal itu tidak
benar. Setiap orang yang mengetahui kemungkaran yang terjadi di hadapannya, ia wajib
mencegahnya atau menghentikannya, baik dengan tangannya (kekuasaanya), mulutnya (nasihat),
atau dengan hatinya (bahwa ia tidak ikut dalam kemungkaran tersebut). Seseorang tidak mesti
menjadi ulama terlebih dulu. Siapa pun yang melihat kemungkaran terjadi di depan matanya, dan
ia mampu menghentikannya, ia wajib menghentikannya. Bagi yang mengerti suatu permasalahan
agama, ia mesti menyampaikannya kepada yang lain, siapa pun mereka. Sebagaimana hadis
Rasulullah saw.:
Artinya: Dari Abi Said al-Khudri ra. berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu
maka ubahlah dengan lisannya. apabila tidak mampu maka dengan hatinya (tidak mengikuti
kemungkaran tersebut), dan itu selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)
3. Pentingnya Dakwah
Salah satu kewajiban umat Islam adalah berdakwah. Sebagian ulama ada yang menyebut
berdakwah itu hukumnya fardhu kifayah (kewajiban kolektif), sebagian lainnya menyatakan
fardhu ain. Meski begitu, Rasulullah saw. tetap selalu mengajarkan agar seorang muslim selalu
menyeru pada jalan kebaikan dengan cara-cara yang baik.
Setiap dakwah hendaknya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia dan di akhirat dan mendapat ridha dari Allah Swt. Nabi Muhammad saw. mencontohkan
dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan.
Rasulullah saw. memulai dakwahnya kepada istri, keluarga, dan teman- teman karibnya hingga
raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah
Rasulullah saw. adalah Kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia
(Iran), dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Ada beberapa metode dakwah yang bisa
dilakukan seorang muslim menurut syariat.
c. Rukun Khotbah
- Mengucapkan hamdalah atau puji-pujian kepada Alllah SWT.
- Membaca syahadatain, yakni syahadat tauhid dan syahadat rasul. Dalam hal ini Rasulullah
SAW bersabda, “Tiap-tiap khotbah yang tidak ada syahadatnya, adalah seperti tangan yang
terpotong.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud)
- Membaca salawat atas Nabi Muhammad SAW.
- Berwasiat atau member nasihat tentang takwa dan menyampaikan ajaran tentang akidah,
ibadah, akhlak dan muamalah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadist.
- Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu dari dua khotbah. Rasulullah bersabdah yang
artinya:
“Dari Jabir bin Samurah, katanya, “Rasulullah SAW berkhotbah berdiri, duduk antara keduanya,
membaca ayat-ayat Al-Qur’an, mengingatkan dan memperingatkan kabar takut pada manusia.”
(H.R. Muslim)
- Berdoa pada khotbah kedua agar kaum muslimin memperoleh ampunan dosa dan rahmat
Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jika kita teliti dengan cermat, memahami makna hadits tersebut dengan hal semacam itu
sangatlah tidak tepat. Hadits ini menyuruh kepada kita agar ketika menyampaikan hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam kita tahu dan yakin bahwa hadits tersebut berasal dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi yang benar dari hadits ini bukanlah memotivasi orang yang tidak berilmu untuk berbicara
(masalah agama) akan tetapi hadits ini memotivasi kepada orang yang telah belajar dan
mengetahui, hendaklah disampaikan walau sedikit. Ketika seseorang telah mengetahui syariat ini
benar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka diperkenankan baginya untuk
menyampaikannya kepada orang lain.