You are on page 1of 10

Jurnal Sain Peternakan Indonesia P-ISSN 1978-3000

Available at https://ejournal.unib.ac.id/index.php/jspi/index E-ISSN 2528-7109


DOI: https://doi.org/10.31186/jspi.id.13.2.130-139 Volume 13 Nomor 2 edisi April-Juni 2018

Studi Reproduksi Burung Murai Batu (Copsychus malabaricus) pada Penangkaran


Lokal di Kota Bengkulu

Reproductive Studies on Murai Batu (Copsychus malabaricus) in Bengkulu Local Captive


Breeding

H.D. Putranto, D. Okvianto dan H. Prakoso

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu


Jalan W.R. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371
E-mail: heri_dp@unib.ac.id; tora_rendai@yahoo.com

ABSTRACT

A pet, especially birds, has been a part of life style for modern community in Indonesia. Birds which are
classified as singing birds or beautiful color birds have been choosen to become a pet. Murai Batu
(Copsychus malabaricus), an endemic species of Indonesian aves, has a highly economic values among bird
lovers in Indonesia. Unfortunately, its scientific information regarding reproductive status of this species is
still unclear. By using a combination of observational method and interview method, a research on Murai
Batu’s reproductive status was conducted located in Bengkulu’s local captive breeding. The purpose of study
was to collect a fundamental information on captived Murai Batu’s reproductive performances.
Observational and interview results were analyzed descriptively. Captived Murai Batu delivered
approximately 2.9 eggs during 2 times of egg laying period with about 12.1 day of hatching duration and
average of egg hatchability was 94.16%. Cheepers were weaned at age 30 days and female bird can begins to
produce more egg approximately after 20.1 days.

Key words: local captive breeding, Murai Batu, reproduction.

ABSTRAK

Burung adalah salah satu jenis hewan peliharaan (pet) yang banyak digemari masyarakat di Indonesia saat
ini. Banyak jenis burung yang dipelihara karena kemerduan suaranya dan keindahan warna bulunya. Jenis
burung peliharaan yang bernilai ekonomis tinggi akan menunjukkan status sosial ekonomi pemeliharanya.
Burung Murai Batu (Copsychus malabaricus) termasuk sebagai burung yang digemari dan bernilai ekonomis
tinggi. Hingga saat ini masih belum banyak diketahui informasi tentang status reproduksinya baik yang
berada di habitat in situ maupun ex situ. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan
wawancara pada penangkar lokal di Kota Bengkulu. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
data biologis dasar berupa tampilan reproduksi burung Murai Batu pada penangkaran ex-situ yang dilakukan
oleh penangkar lokal di Kota Bengkulu. Data hasil observasi dan wawancara kemudian dianalisis secara
deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian pada penangkar lokal di Kota Bengkulu dapat disimpulkan bahwa
burung Murai Batu menghasilkan telur rata-rata 2,9 butir dalam dua periode bertelur. Lama durasi mengeram
rata-rata 12,1 hari dalam dua periode bertelur dengan daya tetas sebesar 94,16% dalam dua periode bertelur.
Anakan burung Murai Batu disapih pada umur 30 hari sedangkan untuk jarak waktu bertelur kembali rata-
rata 20,1 hari dalam dua periode bertelur.

Kata kunci: Burung Murai Batu, reproduksi, penangkaran lokal.

PENDAHULUAN guna memenuhi gaya hidup yang dipilih. Hal


Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan serupa juga telah berkembang di Indonesia,
semakin berkembangnya gaya hidup dimana bagi sebagian masyarakat Indonesia
masyarakat di seluruh pelosok bumi, maka binatang peliharaan (pet) telah menjadi salah
semakin bervariasi pula kebutuhan hidup baik satu simbol dari status sosial ekonomi
primer, sekunder maupun tambahan/pelengkap pemeliharanya. Hewan-hewan dengan nilai

130 | Studi reproduksi burung murai batu (Copsychus malabaricus) (Putranto et al., 2018)
ekonomi tinggi mulai banyak menjadi pilihan Delacour (1947), burung Murai Batu memiliki
dijadikan sebagai peliharaan seperti burung daya tarik yang cukup besar untuk dipelihara
dan reptil. karena termasuk kelompok burung yang
Burung adalah salah satu jenis hewan bersuara bagus atau The Best Song Birds.
peliharaan yang banyak digemari masyarakat Basuni dan Setiyani (1989) menyatakan
saat ini. Banyak jenis burung yang dipelihara bahwa burung Murai Batu termasuk ke dalam
karena kemerduan suaranya dan keindahan kelompok burung yang sangat disukai orang
warna bulunya. Disaat aktifitas seharian yang karena suaranya dengan spesifikasi kicauan.
padat dan melelahkan, bermain dengan hewan Sampai saat ini diketahui secara umum bahwa
peliharaan seperti burung, merupakan salah penyediaan (supply) burung untuk memenuhi
satu cara yang dilakukan untuk mengurangi permintaan akan burung Murai Batu sangat
stress, karena burung memiliki kicauan yang bergantung dari hasil alami atau perburuan liar.
berirama dan nada yang merdu, sehingga Hal ini menyebabkan ketersediaan burung
membuat kita menjadi lebih tenang (Sudrajat Murai Batu di alam semakin sedikit dan sulit
et al., 2014). didapat. Upaya yang dilakukan oleh
Berdasarkan hasil penelitian Okvianto masyarakat dalam upaya mengatasi eksploitasi
(2017), terdapat banyak jenis burung kicau burung yang ada di alam adalah dengan
yang dijadikan burung peliharaan, salah melakukan penangkaran ex-situ. Seperti yang
satunya burung Murai Batu (Copsychus dilakukan oleh Grup Penangkar Pluit BF di
malabaricus). Diketahui bahwa tidak hanya Kota Bengkulu yang melakukan penangkaran
kicauannya yang merdu, warna dan bentuk yang bertujuan untuk memenuhi permintaan
badannya pun sangat menarik sehingga pasar akan kebutuhan burung Murai Batu.
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Melalui upaya penangkaran ex-situ oleh
Berdasarkan namanya burung Murai Batu penangkar lokal diharapkan kegiatan
memiliki nama yang berbeda-beda dan perburuan secara ilegal dapat dikurangi.
biasanya diberi nama berdasarkan asal burung Salah satu aspek yeng perlu diteliti
Murai Batu itu sendiri. Seperti burung Murai sebagai dasar dalam usaha penangkaran
Batu Medan, burung Murai Batu Aceh dan burung Murai Batu adalah sifat-sifat yang
burung Murai Batu Kalimantan. Menurut terkait dengan tampilan reproduksi. Beberapa
Welty (1982), burung Murai Batu termasuk ke peneliti telah melakukan studi tentang
dalam kelompok burung Thruses yang dikenal tampilan reproduksi pada burung Cucak Rawa,
bersifat teritorial dan sangat kuat Tekukur dan Puter (Okvianto, 2017). Akan
mempertahankan teritorinya. Tipe teritorinya tetapi studi tentang tampilan reproduksi
adalah tipe mating, nesting, dan feeding burung Murai Batu di Indonesia belum ada,
territory. Dengan kata lain, areal yang termasuk di Kota Bengkulu.
dipertahankan burung Murai Batu dalam Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
habitatnya adalah tempat untuk melakukan untuk mengetahui data biologis dasar berupa
perkawinan, untuk bersarang, dan untuk tampilan reproduksi burung Murai Batu
mencari makan. Selanjutnya ditambahkan oleh (Copsychus malabaricus) pada penangkaran

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 13 (2) 2018 Edisi April-Juni | 131


ex-situ yang dilakukan oleh penangkar lokal hasil observasi dan wawancara kepada
di Kota Bengkulu. penangkar burung Murai Batu yaitu Bapak
Bayu Candra disajikan secara deskriptif.
MATERI DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian tampilan reproduksi pada
burung Murai Batu ini menggunakan metode Masyarakat pecinta burung berkicau
wawancara (interview) dan observasi langsung mengakui bahwa burung Murai Batu adalah
pada penangkar lokal yaitu Grup Penangkar salah satu burung berkicau terbaik di dunia
Pluit BF milik Bayu Candra S., yang yang termasuk dalam famili Turdidae. Burung
beralamat di Jalan Hibrida X RT.12 RW. 02 dari famili Turdidae memiliki kicauan yang
Kelurahan Sumur Dewa, Kecamatan Selebar, baik dengan suara merdu, bermelodi, dan
Kota Bengkulu. Observasi dilakukan dengan sangat bervariasi (Forum Agri, 2012).
pengamatan langsung di lokasi penelitian Ditambahkan oleh Mua’rif (2012) bahwa
meliputi kondisi kandang, kondisi burung berbagai jenis burung family Turdidae pada
Murai Batu, jumlah telur dan pengeraman. umumnya memiliki pola warna yang beragam
Aktifitas wawancara dan pengamatan di lokasi dan menarik. Ukuran tubuhnya rata-rata
telah dilakukan dari tanggal 1 Desember 2016 sedang, kepalanya bulat, kakinya agak panjang,
sampai dengan 28 Pebuari 2017. paruhnya runcing dan ramping, dan sayapnya
Peralatan yang digunakan dalam lebar. Pada habitat in situ, Murai Batu lebih
penelitian ini adalah buku, pena, kamera, banyak dijumpai di dataran rendah sampai
tempat pakan dan minum, kotak kayu tempat ketinggian lebih dari 1.000 mdpl. Klasifikasi
bertelur dan kandang penangkaran. Bahan Murai Batu menurut Mua’rif (2012) adalah
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 sebagai berikut:
(lima) pasang burung Murai Batu yang sudah Kingdom : Animalia
dewasa kelamin, serta bahan pakan alami yang Filum : Chordata
terdiri dari jangkrik dan kroto, serta pelet. Kelas : Aves
Burung yang diamati adalah burung yang telah Ordo : Passeriformes
didomestikasi dan sudah beradaptasi dalam Famili : Muscicapidae
kandang penangkaran dan lingkungannya. Genus : Copsychus
Diketahui bahwa sampel burung aktif secara Spesies : Copsychus malabaricus
seksual melalui aktifitas penjodohan terlebih
dahulu oleh penangkar dan telah berproduksi Kondisi Penangkaran
sebelumnya. Penangkaran burung Murai Batu BF
Variabel yang diamati dalam penelitian telah memiliki izin resmi dari BKSDA
ini meliputi kondisi penangkaran, pakan dan Provinsi Bengkulu dengan nomor:
minum burung, jumlah telur, durasi mengeram, SK21/BKSDA BKL-1/2016. Awal
jumlah telur yang berhasil menetas, umur penangkaran dilakukan dengan langkah awal
sapih, dan jarak waktu bertelur kembali. Data

132 | Studi reproduksi burung murai batu (Copsychus malabaricus) (Putranto et al., 2018)
yaitu menjodohkan burung Murai Batu jantan penangkaran burung Murai Batu adalah
dengan burung Murai Batu betina. Dalam sebagai berikut:
proses penjodohan kedua burung tersebut
dilakukan dengan cara mendekatkan kedua 1. Kondisi indukan
burung dengan menggunakan kandang Idealnya indukan yang akan
gantung (Gambar 1). ditangkarkan adalah Murai Batu yang sudah
berumur 1-2 tahun. Diasumsikan pada saat
tersebut burung sudah memasuki fase dewasa
kelamin dan siap bereproduksi melalui sistem
perjodohan.

2. Kondisi kandang
Kandang dibuat senyaman mungkin
untuk kedua indukan yaitu dengan cara
membuat kandang yang tidak terlalu luas,
diberi pohon kecil sebagai tempat bertengger.
Sirkulasi udara lancar dan sinar matahari
Gambar 1. Kandang gantung mulai batu masuk ke dalam kandang penangkaran.
sebagai tempat perjodohan
3. Perjodohan.
Berdasarkan hasil komunikasi pribadi Pada prinsipnya perjodohan dilakukan
dengan penangkar, burung Murai Batu yang secara perlahan mulai dari perkenalan,
sudah dikatakan berjodoh ditandai dengan pendekatan dan terakhir pencampuran kedua
kedua burung tersebut selalu berdekatan dan indukan.
berbunyi bersaut sautan. Berdasarkan
pengalaman penangkar maka proses Pemberian Pakan dan Minum
penjodohan memiliki durasi waktu antara 2-3 Menurut Rasyaf (1996), pakan
minggu bahkan bisa berbulan-bulan. Menurut merupakan penunjang produktivitas ternak.
Akdiatmojo (2017) bahwa perjodohan Berdasarkan hasil observasi di lapangan
biasanya berlangsung 2 minggu sampai 1 peneliti mencatat bahwa pakan yang diberikan
bulan. Selanjutny disebutkan bahwa ciri-ciri pada burung Murai Batu di penangkaran antara
indukan yang telah berjodoh ditandai dengan lain jangkrik (Gambar 2), kroto (Gambar 3)
keduanya saling berdekatan setiap hari. dan pelet. Pada saat burung Murai Batu belum
Setelah kedua indukan burung Murai Batu menghasilkan telur, diberi pakan berupa
telah siap kawin, kedua indukan tersebut jangkrik dan pakan pabrikan berupa pelet yang
dimasukkan ke dalam kandang penangkaran memiliki kandungan protein cukup tinggi
yang berukuran 1 x 2 x 2 m2 untuk melakukan dengan harapan burung Murai Batu cepat
perkawinan. mengalami birahi. Kandungan protein kasar
Menurut Asmari (2016), beberapa faktor tertinggi dalam bahan kering pakan dikandung
yang menentukan keberhasilan dalam oleh jangkrik yaitu sebesar 73,05%, diikuti

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 13 (2) 2018 Edisi April-Juni | 133


kroto sebesar 53,16%, dan pakan buatan setengah bagian. Air minum diganti setiap hari
sebesar 44,62% (Nahrowi et al., 2001). dengan air yang masih segar supaya lebih
steril dan terhindar dari parasit yang bisa
mengganggu kesehatan burung. Oleh karena
itu, ketersediaan air minum segar menjadi
salah satu hal yang tidak boleh dilupakan
dalam pemberian pakan pada burung Murai
Batu. Forum Agri (2012) menyatakan bahwa
dalam satu hari rata-rata burung akan
Gambar 2. Pakan burung berupa jangkrik membutuhkan air minum sebanyak 4-5 kali
jumlah pakannya. Air sangat dibutuhkan
Pemberian kroto atau telur semut
dalam proses metabolisme tubuh, termasuk
Rangrang diberikan pada saat burung Murai
mengatur temperatur (panas) tubuh,
Batu baru menetas sampai umur satu minggu.
mempertahankan keseimbangan volume darah
Pemberian kroto bertujuan agar mempermudah
dan melumatkan makanan dalam proses
indukan melolo (menyuapi anakan). Kroto
pencernaan. Pemberian air dengan
yang diberikan adalah kroto segar, harus
menggunakan nampan tidak hanya untuk
berkualitas, tidak lengket, berwarna cerah,
minum saja tetapi juga untuk tempat mandi
tidak bercampur dengan jenis semut lain dan
burung. Sesuai dengan habitat aslinya
tidak mengandung larva yang berukuran besar.
bahwasanya burung Murai Batu terbiasa
Setelah umur satu minggu pemberian kroto
melakukan aktifitas mandi di pagi hari.
dihentikan karena dianggap anakan burung
Murai Batu sudah mampu mencerna jangkrik. Tampilan Reproduksi
Data tampilan reproduksi 5 pasang
burung Murai Batu yang menjadi sampel
observasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Telur yang dihasilkan selama penelitian
berwarna kebiruan dengan totol-totol coklat
seperti telur puyuh dan menghasilkan telur 2-4
Gambar 3. Pakan burung berupa kroto
butir dalam satu periode bertelur atau rata-rata
Pemberian pakan bertujuan untuk 2,9 butir dalam dua periode bertelur. Jalil dan
mendongkrak tingkat pertumbuhan, stamina Turut (2012) menyatakan burung Murai Batu
dan kebugaran burung, serta meningkatkan dapat bertelur 2-3 butir dalam sekali
sistem kekebalan tubuh terhadap serangan pengeraman. Selanjutnya diketahui bahwa
penyakit yang semuanya harus diberikan induk Murai Batu yang masih muda, biasanya
dalam keadaan hidup sehingga nutrisi dan cita bertelur hingga 3 butir, sedangkan Murai Batu
rasanya tetap terjaga (Widyaningsih, 2008). yang sudah tua hanya bertelur 2 butir.
Pemberian minum dilakukan dengan Sedangkan pada penelitian pada burung Cucak
cara menggunakan nampan plastik yang diisi Rawa di penangkaran ex-situ yang dilakukan

134 | Studi reproduksi burung murai batu (Copsychus malabaricus) (Putranto et al., 2018)
oleh Zulkarnain et al. (2015), jumlah telur menggunakan burung Tekukur dalam
dalam satu periode bertelur menghasilkan 2 penangkaran menghasilkan 1-2 butir telur dan
butir telur. Dalam penelitian lain yang pada burung Puter sebanyak 1-3 butir telur
dilakukan oleh Masyud (2007) dengan dalam satu kali peristiwa bertelur.

Tabel 1. Tampilan Reproduksi Burung Murai Batu di penangkaran ex-situ selama penelitian
Burung Periode Jumlah Durasi Jumlah Daya Lama Umur
Bertelur Telur Mengeram Menetas Tetas Betelur Sapih
(butir) (hari) (ekor) (%) Kembali (hari)
(hari)
1 3 11 2 66,66 13 30
1
2 3 11 3 100 13 30
1 2 10 2 100 12 30
2
2 3 13 3 100 12 30
1 4 12 3 75 29 30
3
2 3 12 3 100 27 30
1 3 13 1 33,33 17 30
4
2 3 14 2 66,66 23 30
1 2 12 2 100 19 30
5
2 3 12 3 100 20 30
Rerata 2,9 12,1 2,3 94,16 20,1 30

Ada beberapa faktor yang diduga burung Murai Batu mengerami telur selama 14
berpengaruh terhadap jumlah telur dalam satu hari.
kali peristiwa bertelur diantaranya umur Masa mengeram bisa dikatakan masa
burung, berat badan, makanan, kondisi kritis karena telur yang dierami bisa pecah
kesehatan dan lingkungan kandang (luas, suhu atau dibuang dari sarang jika ada yang
dan kelembaban serta gangguan lingkungan) membuatnya ketakutan. Oleh karena itu,
(Etches, 1996; Parker, 1969). Umumnya lingkungan harus dijaga dari gangguan dan
indukan betina akan mengerami telur setelah tetap terkendali. Dalam kondisi ini lingkungan
telur kedua dikeluarkan atau bahkan setelah dan pemberian pakan untuk indukan harus
semua telur dikeluarkan baru indukan akan teratur. Kondisi lingkungan berpengaruh pada
mengerami (Hamiyanti et al., 2011). kenyamanan indukan betina, suhu pengeraman
Data tentang durasi mengeram dari hasil dan agresifitas indukan (Akdiatmojo, 2017).
penelitian ini untuk kelima indukan adalah Selanjutnya diketahui bahwa pada saat
antara 11-14 hari atau rata-rata 12,1 hari dalam mengeram, indukan sebaiknya jangan terlalu
dua periode bertelur. Ini sesuai dengan sering dilihat karena dapat mengganggu proses
pendapat Suminarsih (2006) yang menyatakan mengeram yang dilakukan oleh indukan.
bahwa umumnya burung berkicau yang Apabila indukan terlalu sering mendapat
ditangkarkan mengerami telurnya selama 14- gangguan pada waktu mengeram akan
15 hari. Begitu pula pendapat Akdiatmojo menyebabkan stress sehingga indukan akan
(2017) yang menyatakan bahwa indukan enggan mengerami dan bahkan bisa

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 13 (2) 2018 Edisi April-Juni | 135


membuang telur tersebut sehingga anakan akan disapih pada umur 30 hari (umur
menyebabkan telur gagal menetas. sapih 30 hari). Sapih dalam penelitian ini yaitu
Data tampilan reproduksi pada Tabel 1 memisahkan anakan dari induknya oleh
menunjukan bahwasanya daya tetas dari ke 5 penangkar yang dianggap telah mampu hidup
indukan cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tanpak induknya. Tujuan penyapihan pada
jumlah telur yang dihasilkan dalam dua umur 30 hari adalah anakan pada saat disapih
periode sebanyak 29 butir dan berhasil tidak perlu disuap lagi. Sehingga kematian
menetas sebanyak 24 butir atau 94,16 % untuk dalam perawatan anakan akan berkurang
dua periode bertelur. Akdiatmojo (2017) dibanding disapih pada umur 7 hari, dan harga
menyatakan bahwa dalam proses penangkaran jualnya cukup tinggi.
burung Murai Batu, ada beberapa hal yang Menurut Asmari (2016), secara umum
menyebabkan tidak semua telur berhasil para penangkar menyapih anakan untuk
menetas diantaranya indukan sering diloloh tangan setelah anakan berumur 7 hari
meninggalkan sarang, suhu udara yang dingin, dari waku pertama kali menetas. Hal tersebut
dan kekurangan asupan pakan. Selanjutnya adalah waktu yang ideal apabila penangkar
ditambahkan oleh Etches (1996) yang ingin meloloh sendiri anakan tersebut. Apabila
menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang penangkar ingin agar anakan dilolohkan oleh
diduga berpengaruh terhadap daya tetas telur induknya, maka penyapihan dilakukan setelah
antara lain umur indukan, suhu dan anakan tersebut mulai belajar makan sendiri
kelembaban kandang, dan kualitas pakan. sekitar usia dua bulan. Pada penelitian yang
Ditambahkan oleh Suminarsih (2006) bahwa dilakukan oleh Zulkarnain et al. (2015) dengan
aktivitas perkembangbiakan burung-burung menggunakan burung Cucak Rawa pada
tropis termasuk Murai Batu secara alami penangkaran ex-situ, umur penyapihan
dimulai pada akhir musim hujan antara bulan dilakukan pada umur 5 hari dengan tujuan agar
Januari dan berlanjut sampai akhir bulan indukan segera bereproduksi lagi.
Agustus. Akdiatmojo (2017) menyatakan bahwa
Menurut Hikmat (2016) terdapat 3 faktor penyapihan anak burung Murai Batu dilakukan
yang mempengaruhi daya tetas telur yaitu ketika anakan sudah berumur 1 minggu, tetapi
kualitas telur yang akan dipengaruhi oleh belum mencapai 10 hari. Anakan baru menetas
kualitas pakan yang diberikan pada induk dan sangat sensitif sehingga rentan terserang
tingkat kematangan telur. Selanjutnya faktor penyakit. Jika penyapihan dilakukan pada
lingkungan yaitu kualitas air yang terdiri dari anakan yang berumur kurang dari satu minggu,
suhu, oksigen, karbondioksida, amonia dan kondisi anakan terlalu lemah dan menyulitkan
lain lain. Faktor terakhir yaitu getaran yang untuk pemberian pakan. Sementara itu,
terlalu kuat yang menyebabkan terjadinya penyapihan pada anakan berumur lebih dari 10
benturan yang keras di antara telur atau benda hari menyebabkan anakan takut terhadap
lainnya sehingga mengakibatkan telur pecah. manusia. Akibatnya, anakan menolak untuk
Dari hasil observasi dan komunikasi disuapi oleh penangkar, padahal saat itu
pribadi dengan penangkar diketahui bahwa

136 | Studi reproduksi burung murai batu (Copsychus malabaricus) (Putranto et al., 2018)
anakan masih belum bisa makan sendiri dengan paruhnya untuk membunuh dan
(Gambar 4). melunakkan tubuh jangkrik agar mudah
dimakan oleh anaknya (Zulkarnain et al.,
2015).
Data hasil penelitian pada Tabel 1
didapati bahwa burung Murai Batu bertelur
kembali sekitar 12-29 hari setelah anakan
menetas (Gambar 5) atau rata-rata 20,1 hari
dalam dua periode bertelur. Pada penelitian
didapati bahwa tiap indukan burung Murai
Gambar 4. Anakan Burung Murai Batu pra-
Batu memiliki siklus reproduksi yang berbeda.
sapih
Diasumsikan bahwa penyebab berbedanya
Setelah menetas anakan diasuh oleh jarak siklus reproduksi ini antara lain karena
induknya. Pada saat burung baru menetas yang pengaruh dari pakan, musim, dan individu
ditandai dengan jatuhnya cangkang telur dari burung itu sendiri. Menurut Soenanto (2002),
glodok, indukan akan melolo (menyuapi) secara alamiah setiap makhluk hidup memiliki
anaknya dengan kroto yang sebelumnya siklus reproduksi yang berbeda seperti halnya
diberikan di dalam kandang penangkaran. manusia dan hewan. Sedangkan menurut
Pemberian kroto dilakukan selama 1 minggu Asmari (2016), setelah anakan disapih oleh
dan seterusnya indukan akan menyuapi penangkar untuk diloloh sendiri, biasanya 3
anaknya dengan jangkrik yang disediakan sampai 5 hari indukan akan mulai menyusun
sebagai pakan indukan. Sebelum menyuapi sarang kembali dan mulai kawin setelah sarang
anaknya dengan jangkrik, induk burung Murai tersebut berbentuk sempurna.
Batu membanting-banting jangkrik pada tanah

35
Periode
29 1
30 27
25 23
19 20
20 17
15 13 13
Hari

12 12
10

1 2 3 4 5

Gambar 5. Grafik lama bertelur kembali burung Murai Batu

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 13 (2) 2018 Edisi April-Juni | 137


Berdasarkan kondisi jarak bertelur DAFTAR PUSTAKA
seperti itu maka dalam keadaan normal burung
Akdiatmojo, S. 2017. Panduan
Murai Batu dalam penangkaran dapat bertelur
menangkarkan Murai Batu. Agro
setiap bulannya, tetapi ada waktu tertentu Media Pustaka. Jakarta.
burung Murai Batu tidak berproduksi. Ketika
Asmari, A. 2016. Memilih dan mencetak
burung Murai Batu mengalami rontok bulu Murai Batu berprestasi. CV Idzhar.
atau mabung, burung Murai Batu dipisah dari Bandung.
pejantan sehingga tidak menghasilkan telur.
Basuni, S. dan Setiyani. 1989. Studi
Penanganan ini berbeda dengan kebiasaannya perdagangan burung di Pasar Pramuka,
di habitat in situ yang cenderung dipengaruhi Jakarta dan teknik penangkapan burung
oleh iklim sehingga bertelur pada bulan-bulan di alam. Media Konservasi. 2 (2): 9-18.
tertentu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Delacour, J. 1947. Birds of Malaysia. The
Zulkarnain et al. ( 2015) dengan menggunakan Mac-Millan Company. New York.
burung Cucak Rawa ex situ diketahui Etches, R. J. 1996. Reproduction in Poultry.
bahwasanya burung tersebut bertelur kembali Cab International. Canada.
dengan rata-rata 27,8 hari. Sedangkan pada Forum Agri. 2012. Pedoman lengkap
burung Puter dan Tekukur diketahui bahwa menangkar dan mencetak Murai Batu
burung Tekukur bertelur kembali dalam kelas jawara. Cahaya atma pustaka.
Yogyakarta.
keadaan normal yaitu 48,79 hari, relatif lebih
lama dibanding burung Puter yakni 43,22 hari Hamiyanti, A. A., A. Putra, dan A. P.
Muharlien. 2011. Pengaruh jumlah
(Masyud, 2007). Faktor yang berpengaruh
telur terhadap bobot telur, lama
kuat terhadap pola reproduksi antara habitat in mengeram, fertilitas serta daya tetas telur
situ dan ex situ adalah faktor pakan. Terutama burung Kenari. Ternak Tropika. 2 (1):
yang berkaitan dengan ketersediaan pakan di 95-101.
alam untuk memenuhi kebutuhan berproduksi. Hikmat. 2016. http://kliksma.com/2016/04/
sebutkan-3-faktor-yang-mempengaruhi-
KESIMPULAN daya-tetas-telur.html. Diakses pada
tanggal 23 Januari 2018.
Berdasarkan hasil penelitian pada
Jalil, A. dan R. Turut. 2012. Sukses beternak
penangkar lokal di Kota Bengkulu dapat Murai Batu. Penebar Swadaya. Jakarta
disimpulkan bahwa burung Murai Batu
Masyud, B. 2007. Pola reproduksi burung
menghasilkan telur rata-rata 2,9 butir dalam Tekukur (Streptopelia chinensis) dan
dua periode bertelur. Lama durasi mengeram burung Puter (Streptopelia risoria) di
rata-rata 12,1 hari dalam dua periode bertelur penangkaran. Media Konservasi. XII
(2): 80-88.
dengan daya tetas sebesar 94,16% dalam dua
periode bertelur. Anakan burung Murai Batu Mua’rif, Z. 2012. Rahasia penangkaran
disapih pada umur 30 hari sedangkan untuk burung Murai Batu. Lyli Publisher.
Yogyakarta.
jarak waktu bertelur kembali rata-rata 20,1
hari dalam dua periode bertelur. .

138 | Studi reproduksi burung murai batu (Copsychus malabaricus) (Putranto et al., 2018)
Masyud, B. 2007. Pola reproduksi burung Rasyaf, M. 1996. Memasarkan hasil
Tekukur (Streptopelia chinensis) dan peternakan. Penebar Swadaya. Jakarta.
burung Puter (Streptopelia risoria) di
penangkaran. Media Konservasi. XII Soenanto, A. 2002. Teknik menangkar
(2): 80-88. Lovebird. EFFHAR. Semarang.

Mua’rif, Z. 2012. Rahasia penangkaran Sudrajat, D., D. Kardaya., E. Dihansih. dan


burung Murai Batu. Lyli Publisher. S.F.S. Puteri. 2014. Performa produksi
Yogyakarta. telur burung puyuh yang diberi ransum
mengandung kromium organik. Buletin
Nahrowi, R., Riduan dan L.A. Sofyan. 2001. Penelitian Universitas Djuanda. 19 (4):
Pemberian berbagai jenis pakan untuk 257-262.
mengevaluasi palatabilitas, konsumsi,
protein dan energi pada kadal (Mabouya Suminarsih, E. 2006. Memelihara, melatih,
multifasciata) dewasa. Biodiversitas. 2 dan menangkar burung ocehan. Penebar
(1): 98-103. Swadaya. Jakarta.

Okvianto, D. 2017. Tampilan reproduksi Widyaningsih, A. 2008. Pakan burung.


burung murai batu (Copsychus Penebar Swadaya. Jakarta.
malabaricus) pada penangkaran di Kota
Welty, J. C. 1982. The life birds. 3rd ed.
Bengkulu. Skripsi. Jurusan Peternakan,
CBS College Publishing. USA.
Fakultas Petanian, Universitas Bengkulu.
Zulkarnain, D., W. Bebas. dan I.G.N.B.T.
Parker, J.E. 1969. Reproduction physiology
Laksana. 2015. Performans reproduksi
in poultry dalam: Reproduction in farm
burung cucak rawa (Pycnonotus
animals. Second Edition. Editor ESE.
zaylanicus) pada penangkaran secara ex-
Hafez. Lea and Febiger. Philadelphia.
situ. Indonesia Medicus Veterinus. 4 (2):
139-147.

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 13 (2) 2018 Edisi April-Juni | 139

You might also like