You are on page 1of 11

MENYIBAK KEJUMUDAN AUDITOR DALAM

MENJALANKAN PEKERJAAN PENGAUDITAN


September 27th, 2009

oleh:

Drs. W a r t o n o, M.Si., Akuntan, CPA


Pengajar Universitas Sebelas Maret dan
Managing Partner Kantor Akuntan Publik WARTONO

Abstrak

Tujuan tulisan ini menyibak keterbelengguan auditor dalam melaksanakan pekerjaan


pengauditan atas laporan keuangan. Audit pada dasarnya menilai atau memberikan opini
mengenai kewajaran atas laporan akuntansi. Sesuai dengan framewaork akuntansi konvensional,
auditor melihat laporan akuntansi tidak lebih dari sekedar suatu kejadian atau transaksi yang
dinyatakan dalam angka moneter. Ini dilakukan karena standar yang mengatur mendasarkan pada
asumsi akuntansi konvensional yang dinyatakan dalam angka-angka moneter. Oleh karenanya,
dalam memandang realitas kejadian ekonomi, tidak mustahil kalau auditor berpegang bahwa
realitas adalah angka-angka numerik (moneter). Sementara para pihak yang berkepentingan
(termasuk pembuat laporan akuntansi) memandang sebagai realitas sosial dari berbagai sudut
pandang sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Akibatnya hasil laporan keuangan yang
diaudit tidak bisa mencerminkan realitas sebagaimana adanya, meskipun secara material sesuai
dengan prinsip akuntansi berterima umum (unqualified opinion)

1. Pendahuluan

Auditor dalam melaksanakan pekerjaan senantiasa mendasarkan pada laporan akuntansi (laporan
keuangan) yang akan diaudit. Seperti halnya seorang yang diminta menilai-misalnya empat buah
gambar diatas kanvas yang dibuat oleh empat orang pelukis. Masing-masing pelukis
merepresentasikan realitas melalui gambar berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan imaginasi
yang dapat mereka tangkap. Setiap pelukis mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda dalam
melihat realita sesuai dengan kreasinya. Sementara itu seorang penilai gambar hanya
mendasarkan frame penilaiannya berdasarkan kriteria tertentu yang telah mapan (one-side way)
dan tidak melihat dari perspektif sang pembuat atau calon pemakainya.

Gambaran diatas merupakan analogi antara auditor dengan laporan akuntansi. Seorang penilai
lukisan berperan sebagai auditor dan hasil lukisan (gambar) sebagai laporan akuntansi yang
dibuat oleh pembuat/penyusun laporan yang sarat dengan kepentingan para pemakai. Kedua sisi
(pandangan auditor atas laporan akuntansi dan hasil kreasi (pandangan) pembuat berupa laporan
akuntansi) tidak memakai perspektif yang sama. Auditor dalam menjalankan pekerjaannya
berpedoman pada standar auditing yang ditetapkan oleh badan pembuat standar (satu perspektif).
Sementara ’realitas’ kejadian ekonomi-direpresentasikan dalam laporan akuntansi bisa dilihat
dari berbagai-multi perspektif. Hasil penilaian atau opinai auditor bisa diprediksikan akan jauh
dari realitas sebagaimana adanya.

Akuntansi sebagai representasi realitas sosial, telah dikembangkan oleh Morgan (1988). Morgan
mengkonstruksi bagaimana akuntansi sebagai pusat proses kontruksi realitas sosial. Melalui
ilustrasi akuntansi sebagai suatu metaforial realitas sosial, perkembangan terkini ditunjukkan
bahwa akuntansi tidak bisa dilihat hanya dari satu metafora saja. Teori akuntasi bisa dilihat dari
berbagai metafora misalnya: akuntansi sebagai histori, akuntansi sebagai ekonomi, akuntansi
sebagai informasi akuntansi sebagai suatu bahasa, akuntansi sebagai politis, akuntansi sebagai
mitologi, akuntansi sebagai magic, akuntansi sebagai pengendalian, akuntansi sebagai ideologi,
dan akuntansi sebagai dominasi dan eksploitasi. Selanjutnya Morgan menyatakan bahwa tak
satupun metafora yang dapat merepresentasi keseluruhan sifat akuntansi sebagai fenomena
sosial, seperti halnya pada aspek kehidupan sosial lainnya, secara inheren adalah kompleks,
multi-dimensional dan paradoksikal (Morgan 1988, 461).

Dengan melihat sifat akuntansi diatas, tentunya auditor tidak akan dapat membaca dan menilai
laporan akuntansi yang kompleks, multi-dimensional dan paradoksikal jika auditor hanya
mendasarkan pada satu kerangka standar yang konvensional-Standar Auditing (one-side way).
Dapatkan auditor menilai atau memberi opini tentang laporan akuntansi sebagai realitas sosial
sebagaimana adanya di dalam lingkungan yang serba kompleks dan multidimensional jika hanya
berpedoman pada kemapanan standar yang konvensional? Paper ini akan menyibak kejumudan
auditor dalam menjalankan pekerjaan auditnya dengan satu cara pandang (one-side way),
sementara obyek yang dinilai dilingkupi lingkungan yang serba kompleks dan multidimensional.
Uraian akan dimulai dari akuntansi (laporan keuangan) dalam perspektif multidimensional.

2. Akuntansi Dalam Prespektif Multidimensional

Akuntansi pada hakikatnya berkaitan dengan masalah representasi dan accounting for. Seperti
para ahli organisasi, akuntan pada hakikatnya harus merepresentasikan realitas-realitas
kompleks yang multidimensional melalui konstruk-konstruk metaforial yang selalu terbatas dan
tidak lengkap.

Praktik akuntansi dikerangkai oleh metafora pandangan realitas yang numarikal. Seperti halnya
para ahli organisasi yang pada awalnya mencoba merepresentasi organisasi melalui prinsip
birokratik yang diturunkan dari bayangan bahwa suatu organisasi adalah mesin, para akuntan
mencoba merepresentasi organisasi dan aktivitasnya dalam istilah atau konsep angka. Ini
merupakan metaforial. Oleh karenanya pandangan angka merupakan aspek realitas
organisasional yang dapat dikuantifikasi dan dibangun di dalam rerangka kerja akuntansi.

Gagasan bahwa akuntan merepresentasikan realitas ’sebagaimana adanya’ melalui alat angka
yang obyektif dan bebas nilai, pada akhirnya berkembang secara multidimensional sesuai dengan
perkembangan yang selalu berubah dan kompleks. Berikut dikemukakan beberapa contoh
metafora utama yang telah berkembang akhir-akhir ini:

Akuntansi sebagai historis: pandangan bahwa akuntansi berkaitan dengan penyediaan suatu
catatan yang jujur atas transaksi dari suatu badan usaha, dan disertai pelaporan tarnsaksi tersebut
dalam cara yang sesuai dengan kebutuhan pemakai (lihat misalnya Paton & Littleton, 1940,
1993).

Akuntansi sebagai ekonomi: pandangan bahwa akuntansi seharusnya mencerminkan atau


mengambarkan realitas ekonomi yang sedang berjalan dan mencerminkan prinsip-prinsip dasar
ekonomi (lihat misalnya Davis et al, 1982)

Akuntansi sebagai informasi: pandangan bahwa akuntansi seharusnya membentuk bagian dari
rerangka kerja MIS secara luas (lihat misalnya Prakash & Rappaport, 1977; Snowball, 1980).

Akuntansi sebagai politis: pandangan bahwa akuntansi dan sistem akuntansi mencerminkan
dan mendukung nilai-nila dan kebutuhan-kebutuhan kelompok-kelompok tertentu yang
berkepentingan, dan bahwa informasi akuntansi disusun atau dibangun dan sebagai suatu sumber
daya dalam pembentukan politik-politik korporasi, terutama dalam pengambilan keputusan dan
impresi manajemen (lihat misalnya Burchell et al, 1980).

Akuntansi sebagai ideologi: pandangan bahwa sistem akuntansi merupakan bagian dari
ideologi aparat yang dapat mempunyai kemampuan memproduksi dan menghasilkannya sesuai
dengan prinsip-prinsip yang didefinisi secara jelas (lihat misalnya Merino & Neimark, 1982;
Tinker et al, 1982).

Contoh dioatas hanyalah sebagian kecil cara pandang terhadap akuntansi sesuaidengan
metaforanya. Dari contoh-contoh metafora diatas menunjukkan bahwa akuntansi dan laporan
akuntansi mempunyai banyak perspektif yang multidimensimensional, dan kompleks sesuai
dengan lingkungan yang melingkupinya dan untuk apa serta siapa yang berkepentingan dengan
akuntansi. Oleh karenanya untuk dapat menilai atau memberi opini mengenai laporan akuntansi
sebagaimana adanya, auditor selayaknya mengatahui apa metafora yang dipakai dalam
mencerminkan realitas sosial tersebut. Tanpa mempertimbangkan apa metafora yang dipakai
penilaian atas laporan keuangan tersebut bias dari realita sebagaimana adanya.

Uraian diatas menunjukkan bahwa akuntansi tidaklah bisa dipandang hanya dengan one-side
way. Ia adalah kompleks, tergantung pada lingkungan yang melingkupinya dan siapa pihak yang
berkepentingan. Inilah realitas sebagaimana adanya. Maka untuk menilai apakah hasil opini
auditor bisa mencerminkan realitas ini, mari kita simak bagaimana kerangka pandang auditor
dalam menilai suatu laporan akuntansi.

3. One-side Way Auditor dalam Menilai Laporan Akuntansi

Kita akan melihat bagaimana cara pandang auditor didalam menilai laporan akuntansi (laporan
keuangan). Auditor dalam melaksanakan pekerjaannya mendasarkan pada Standar Auditing (di
Indonesia Standar Profesional Akuntan Publik yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia).
Standar tersebut mengadopsi dari standar auditing dari negara kapitalis Amerika. Auditing,
seperti halnya akuntansi modern menitikberatkan hal-hal yang rasional dan oleh karenanya hal
ini hanya berkaitan dengan realitas pisikal. Rasionalitas, dalam istilah modern, selalu
berhubungan dengan realitas fisik. Rasionalitas dalam konteks ini sesungguhnya sangat
sederhana dan terbatas. Ini mengabaikan segala hal yang nonfisikal, Chwastiak (1999, 429).
Dalam konsep akuntansi konvensional, semua konsep akuntansi adalah materialistik. Konsep
laba, contoh sederhana merupakan selisih lebih pendapatan materialistik atas beban materialistik.
Tidak lebih dari itu. Konsep ini tidak mengakui laba berkenaan dengan ’psikis’ atau ’spiritual’
(Triyuwono -, 2)

Dalam menjalankan pekerjaan auditnya akuntan hanya berpaku pada hal-hal yang formal dan
material sebagaimana diatur dalam standar profesional. Dalam standar auditing prinsip
materialitas dan formal (validitas, kelengkapan, dan sumber dokumen) menjadi pertimbangan
utama dalam menilai atau memberikan opini, mengabaikan aspek lain seperti psikis atau
immaterial dan in-formal. Dalam standar tersebut, pekerjaan auditing harus berpedoman pada
tiga standar yakni: standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan. Standar
tersebut mendasarkan pada obyek akuntansi auditan yang konvensional, yakni akuntansi yang
mendasarkan pada konsep sebagaimana diatur dalam FASB (1978). Dalam konsep laporan
keuangan yang dikeluarkan FASB tersebut secara eksplistit diatur pedoman tentang: monetary
unit, materialism, veriabilitas. Konsep-konsep tersebut sarat dengan angka-angka, materialitas,
dan dokumentasi. Semua yang disebut ini mengesampingkan aspek-aspek lain yang tidak
diungkapkan dalam laporan keuangan, misalnya kepuasan pelanggan, pelayanan sosial, hak
buruh, integritas manajemen, dan lain-lain. Oleh karenanya aspek-aspek ini akan lolos dari
penilaian seorang auditor.

Unruk melihat bagaiman auditor menilai laporan akuntansi, penulis menggunakan sudut
pandang dari sisi pembuat laporan akuntansi dan dari sisi pihak-pihak yang berkepentingan
dengan laporan akuntansi. Dibawah ini akan diuraikan keduanya

3.1. Penilaian Auditor Terhadap Pembuat Laporan Akuntansi

Audit adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif
mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk
menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah
ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Boynton &
Kell 1995, 6). Dari pengertian tersebut jika dieksplisitkan dalam konteks Indonesia, audit adalah
sebagai pemeriksaan keuangan oleh auditor independen, sesuai dengan Standar Profesional
Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (Ikatan Akuntan Indonesia,
1994) yang ditujukan untuk menilai integritas pelaporan keuangan yang disusun atau dibuat oleh
pembuat laporan.

Pekcrjaan audit pada prinsipnya adalah pekcrjaan menentukan integritas pengungkapan


informasi dalam laporan keuangan yang disusun oleh pihak yang bertanggungjawab atas laporan
akuntansi. Kewajiban untuk mengungkapkan informasi dalam laporan keuangan dengan penuh
integritas adalah tanggungjawab direksi dari organisasi yang menjadi obyek audit, sementara
kewajiban untuk memeriksa, menguji, menilai, dan kemudian memberikan kesaksian tertulis
akan integritas direksi tersebut berada di pundak auditor. Integritas adalah begitu sentralnya bagi
profesi auditor independen, karena profesi ini mempertaruhkan integritasnya untuk memberikan
kesaksian tentang integritas pihak lain.
Kesaksian tentang integritas direksi dalam mengungkapkan laporan akuntansi itu hanya bisa
dipercaya kalau auditor itu sendiri integritasnya memang baik. Dalam kaitan ini perlu dibedakan
tiga tingkatan integritas.

1. Keamanahan direksi dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya.


2. Kejujuran direksi dalam melakukan pelaporan kcuangan.
3. Integritas auditor dalam mengaudit dan kemudian memberikan opini atas integritas
direksi dalam pelaporan keuangan. (Sudibyo, 2001)

Audit yang dilaksanakan dengan penuh integritas akan memberikan kesaksian secara benar
tentang integritas pelaporan akuntansi. Audit oleh para auditor independen yang memenuhi
Standar Profesional Akuntan Publik (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994) diharapkan bisa
memberikan dasar atau basis yang bisa dipercaya bagi para pembaca laporan audit untuk
menentukan integritas manajemen atau direksi dalam mengungkapkan realitas sebagaimana
adanya.

Kegagalan dalam menilai laporan akuntansi bisa terjadi karena kegagalan auditor untuk
mempertahankan integritasnya pada tingkat individual, bisa pula karena kegagalan Ikatan
Akuntan Indonesia sebagai suatu kolektivitas auditor untuk memberikan Standar Profesional
Akuntan Publik yang mendukung integritas auditor pada tingkat individual, bisa pula karena
keduanya.

Kegagalan jenis pertama bersifat individual dan karenanya tidak terkait langsung dengan kontrak
sosial ataupun implementasi nilai ecologizing dari profesi auditor independen, kecuali jika
auditor pada umumnya memang telah gagal mempertahankan integritasnya itu. Integritas
mengacu kepada dua macam kualitas moral seseorang, yaitu (1) apakah ia ‘jujur’ dalam
mengekspresikan dirinya dan (2) apakah ia ‘amanah’ dalam menjalankan kewajibannya (Trevino
et al., _ ). Auditor yang jujur semata, tidak menyadari pentingnya keamanahan dalam melakukan
tugas audit, tidak lebih hanyalah auditor yang lugu. Untuk bisa memenuhi standar kebebasan
sikap mental, di samping jujur dalam sikapnya, seorang auditor juga dituntut untuk amanah
dalam melaksanakan tugas auditnya.

Kejujuran dan sikap menyiratkan moralitas auditor. Moralitas auditor di Indonesia diatur dalam
salah satu standar umum dari Standar Profesional Akuntan Publik (Ikatan Akuntan Indonesia,
1994), yaitu standar tentang independensi sikap mental. Semua standar umum menjiwai dan
mendasari setiap standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan audit. Dalam kaitan itu, akan
diuraikan suatu kesalahpahaman yang begitu kaprah dan melembaga terhadap salah satu standar
pekerjaan lapangan. Kesalahpahaman itu begitu mengakar pada pekerjaan audit yang dilakukan
auditor. Dikatakan melembaga karena kesalahpahaman yang kaprah itu telah diadopsi oleh
Standar Profesional Akuntan Publik yang diterbitkan oleh ikatan Akuntan Indonesia (Ikatan
Akuntan Indonesia, 1994), dan secara tidak langsung diakui serta diterima oleh Pemerintah.
Salah satu kesalahpahaman tersebut adalah evidential matter (Sudibyo, 2001).

Di Indonesia standar ini telah secara kaprah dan melembaga direduksi menjadi standar bukti,
atau evidence. Dikatakan kaprah karena pemahaman para akuntan di Indonesia pada umumnya
akan standar evidential matter itu, karena proses Pendidikan profesi yang kurang baik, memang
tereduksi.

Kesalahpahaman itu dalam makalah ini ditinjau secara epistemologis, karena epistemologi
memang ilmu tentang kepahaman, dan karenanya juga ilmu tentang kesalahpahaman. Telaah
epistemologis ini menyingkapkan beberapa fakta yang menarik.

1. Ternyata literatur pengauditan di Amerika-pun, yang selama ini menjadi kiblat bagi
wacana pengauditan di Indonesia baik pada tingkat akademis maupun praktis; juga tidak
terlalu jelas dalam membedakan antara evidence dan evidential matter, sehingga
kesalahpahaman yang kaprah dan melembaga itu di Indonesia sampai tingkat tertentu
bisa dipahami.
2. Telaah epistemologis itu memberikan pemahaman baru yang lebih mendalam tentang
keterlibatan moral judgement dalam proses audit.
3. Pemahaman baru tentang proses keterlibatan moral judgement dalam proscs audit itu,
pada gilirannya sangat membantu dalam mengevaluasi tingkat mutu audit dan tingkat
integritas pelaporan akuntansi.

Analisis Kalimat standar Evidential Matter. Kalimat asli dari standar evidential matter adalah
sebagai berikut:

“Sufficient competent evidential matter is to be obtained through inspection, observation,


inquiries and confirmation to afford a reasonable basis for an opinion regarding the financial
statements under examination. ” (AICPA, 1980).

Yang harus dicari oleh auditor dalam audit independennya, menurut standar ini, adalah sufficient
competent evidential matter atau evidential matter yang kompeten dalam jumlah dan kualitas
yang cukup. Prosedur pengauditan yang harus ditempuh untuk memperoleh evidential matter
yang seperti itu adalah observasi, inspeksi, konfirmasi, dan wawancara. Evidential matter itu
harus diperoleh oleh auditor untuk dipakai sebagai basis intelektual dan moral dalam menyatakan
pendapatnya tentang laporan keuangan yang diauditnya.

Di Indonesia evidential matter ini secara kaprah, institusional, dan resmi telah direduksikan
melalui penterjemahan menjadi `bukti audit’ (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994). Pereduksian ini
segera akan terasa jika istilah bukti audit ini ditranslasikan balik ke dalam bahasa Inggris yang
tidak akan kembali ke istilah evidential matter. translasi balik dari ‘bukti audit’ adalah audit
evidence bukan evidential matter. Telaah epistemologis berikut ini menunjukkan perbedaan
antara evidence dan evidential matter itu.

Bukti audit (evidence) dan evidential matter. Bukti audit merupakan obyek yang digali oleh
para auditor. Obyek pengauditan adalah konkrit dan riil yaitu bukti-bukti atau evidence. Hasil
dari aktivitas itu adalah kognisi atau pemahaman dan keyakinan akan bukti-bukti pengauditan.
Pemahaman dan keyakinan akan bukti-bukti pengauditan itulah yang dimaksud dengan
evidential matter. Jadi, evidential matter ada di dalam benak auditor, bukan suatu realitas
obyektif dan konkrit yang berada di luar kesadaran intelektual dan mental auditor. Evidendal
matter tidak sama dengan evidence seperti dikontraskan pada Tabel berikut (lihat Sudibyo,
2001).

Pcrbandingan sifat antara Evidential matter dan –Evidence

EVIDENTIAL MATTER EVIDENCE


Ada di dalam benak atau kesadaran
1 Ada di luar benak auditor
intelektual dan mental auditor
2 Abstrak Konkrit, empiris
3 Realitas subyektif Realitas obyektif
4 Realitas substantif Realitas bentuk

Bukti-bukti (evidence) inilah yang telah secara kaprah, institusional dan resmi disalah
mengertikan sebagai evidential matter. Reduksi pemahaman standar evidential matter ini telah
berlangsung sekian lama, sejak mulai diperkenalkannya profesi pengauditan di negeri ini.
Potensi dampaknya pada kualitas audit dan integritas pelaporan keuangan di Indonesia cukup
serius (Sudibyo, 2001: 9)

Buku-buku teks yang cukup populer selama tiga dekade terakhir, seperti Cook dan Winkle
(1976), Deflies dkk. (1975), Kell dan Ziegler (1980), Taylor dan Glezen (1982), Arens dan
Loebecke (1984), Defliese dkk. (1984), Boynton dm Kell (1996), -Guy dkk. (1990), Taylor dan
Glezen (1991), tidak membahas secara mendalam apa yang dimaksud dengan evidence dan
evidential matter, apa perbedaan antara keduanya, proses mental apa yang harus dilakukan untuk
mentransformasikan pengetahuan empirik tentang bukti audit yang konkrit menjadi evidential
matter yang abstrak substantif, serta bagaimana moral judgement mengintervensi proses
pengembangan evidential matter itu. Bahkan dokumen yang paling otoritatif di bidang ptaktik
audit pun, yaitu Statements on Auditing Standards yang dikeluarkan oleh American Institute of
Certified Public Accountants yang secara berkelanjutan senantiasa dilengkapi dan
disempurnakan, juga gagal untuk menyadari adanya permasalahan epistemologis seperti itu.

Uraian diatas menyadarkan kita bahwa dalam menjalankan pekerjaan lapangan, auditor telah
terbelenggu pada kerangka yang diatur dalam standar yang telah kaprah menjadikan evidence
sebagai dasar yang meyakinkan dalam memberikan opininya. Ini juga menyiratkan bahwa
selama ini penilaian atau pernyataan akan integritas direksi hanyalah dilihat dari sisi yang
kongkrit, empiris, realitas obyektif, dan realitas bentuk, bukan dari realitas substantif yang
abstraks. Padahal realitas substantif inilah yang menurut (Christie, 2004) merupakan ‘rasionalitas
subtantif’ sebagai lawan dari ‘rasionalitas formal’. Rasionalitas substantif inilah yang merupakan
realitas sebagaimana adanya – yang mungkin bisa diperoleh melalui konsep evidential matter,
sedangkan rasionalitas formal ini merupakan output yang didapat dari evidence.

Ringkasnya, dengan melihat kekaprahan yang dilakukan auditor dan badan pembuat standar
professional, dapat disarikan bahwa hasil penilaian atas laporan akuntansi yang
dipertanggungjawabkan direksi hanyalah menghasilkan realitas formal karena proses
pengauditan yang dilakukan hanyalah sampai pada tataran realitas konkrit, empiris dan bentuk.
Sedangkan realitas sebagaimana adanya (realitas substantif) tidak berhasil dilakukan oleh
auditor.

3.2. Penilaian Auditor Terhadap Pihak Yang Berkepentingan

Laporan akuntansi auditan merupakan laporan yang telah dinilai atau diberi opini oleh ahli yang
independen yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap laporan tersebut. Apa yang telah dinilai (opini) auditor diharapkan dapat merepresentasi
kebutuhan para pemakai atau pihak yang berkepentingan. Jika auditor tidak bisa menilai laporan
akuntansi sebagaimana adanya, berarti auditor telah gagal memenuhi kebutuhan stakeholder
utamanya, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan akuntansi auditan. Kegagalan
itu identik dengan kegagalan menjalankan fungsi sosialnya yang implisit dalam kontrak sosial
yang mendasari keberadaan dan hak hidup profesi auditor indepcnden di tengah-tengah
masyarakatnya. Teori kontrak sosial tentang etika institusi sosial (Fritzche, 1997) atau tentang
profesi akuntan (Burton dan Tipgos, 1977) memprediksi bahwa kegagalan yang terus menerus
dan kaprah untuk memenuhi kontrak sosial itu akan menyebabkan, cepat atau lambat, dicabutnya
hak hidup profesi itu oleh masyarakat melalui suatu proses sosial yang biasanya menyakitkan.
Teori kompleksitas tentang etika institusi sosial (Frederick, 1995, 1998; Wood, 1996 A, 1996B;
Lirtzman, 1997; Fort, 1997; Stanfield, 1998; Derry dkk., 1999; Hauserman 1999, dan Danley,
2000), pada hemat penulis, akan memandang kegagalan itu sebagai kegagalan profesi auditor
independen untuk mengimplementasikan suatu nilai dasar yang mendukung koeksistensinya
bersama entitas sosial lainnya, yaitu nilai ecologizing. Kegagalan mengimplementasikan nilai
ecologizing berarti kegalan untuk memberikan kontribusi yang semestinya kepada kebersamaan
serta mutualisme hidup di antara sesama entitas sosial. Kegagalan itu menyebabkan profesi itu
tidak lagi fit dengan lingkungan alaminya, baik yang bersifat sosial maupun yang natural, dan
melalui proses seleksi alami Darwinian profesi itu akan kehilangan kemampuannya untuk tetap
bertahan hidup dalam situasi saling terhubung dan saling tergantung secara mutualistis dengan
entitas sosial lainnya.

Telah diuraikan dimuka bahwa para pemakai atau pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
laporan akuntansi memandang akuntansi berdasarkan kacamata mereka masing-masing. Multi
dimensi para pemakai bisa bervariasi menurup kepentingan mereka masing-masing. Pihak yang
berkepentingan bisa mendasarkan pandangannya bahwa akuntansi seharusnya mencerminkan
atau mengambarkan realitas ekonomi yang sedang berjalan dan mencerminkan prinsip-prinsip
dasar ekonomi (Davis et al, 1982); pandangan lain bahwa akuntansi seharusnya membentuk
bagian dari rerangka kerja MIS secara luas (Prakash & Rappaport, 1977; Snowball, 1980);
Pandangan berikutnya bahwa akuntansi dan sistem akuntansi mencerminkan dan mendukung
nilai-nila dan kebutuhan-kebutuhan kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan, dan
bahwa informasi akuntansi disusun atau dibangun dan sebagai suatu sumber daya dalam
pembentukan politik-politik korporasi, terutama dalam pengambilan keputusan dan impresi
manajemen (Burchell et al, 1980), lainnynya memandang bahwa sistem akuntansi merupakan
bagian dari ideologi aparat yang dapat mempunyai kemampuan memproduksi dan
menghasilkannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang didefinisi secara jelas (Merino & Neimark,
1982; Tinker et al, 1982), dan laim-lain pandangan. Ini menunjukkan bahwa realitas tidaklah bisa
dikonklusikan hanya dari satu cara pandang saja, realitas adalah kompleks dan multidimensional,
Oleh karenanya, agar hasil pekerjaan audit dapat fit dengan para pihak yang berkepentingan,
maka proses penilaian (pekerjaan lapangan) yang dilakukan oleh auditor haruslah dapat
merepresentasi kepentingan mereka.

Apa yang dilakukan oleh auditor dalam memberikan simpulan atas hasil auditnya? Apakah
auditor telah melaksanakan pekerjaannya yang dapat merepresentasi kebutuhan pemakai?
Auditor dalam menjalankan pekerjaanya menggunakan pola satu sudut pandang, yakni
mendasarkan pola pandang bahwa akuntansi merupakan kejadian ekonomi yang dinyatakan
dalam satuan moneter. Dalam memberikan opininya ia mengumpulkan bukti pemeriksaan yang
fisikal, formal dan konkrit. Sudut pandang ini tentunya hanya menghasilkan sebuah output
laporan hasil audit yang parsial-tidak bisa merepresentasi semua kebutuhan para pihak yang
berkepentingan. Oleh karenanya, hasil audit atas laporan akuntansi tidaklah bisa merepresentari
realitas sebagaimana adanya (dari sisi pemakai).

Salah satu contoh, pihak yang berkepentingan seperti kreditur menginginkan bahwa laporan
keuangan haruslah bisa akai sebagai dasar dalam pengambilan keputusan pemberian kredit.
Sementara laporan akuntansi (keuangan) mendasarkan historikal-tidak mencerminkan nilai
sekarang. Sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum, auditor menyimpulkan bahwa
laporan keuangan telah memenuhi kualifikasi yang tertinggi yanki unqualified opinion. Contoh
lain adalah untuk kepentingan politis, pihak yang berkepentingan seperti misalnya buruh ingin
mendapatkan penghargaan baik yang sifatnya material maupun non material sesuai dengan peran
meraka di dalam korporasi. Meskipun hasil audit atas laporan keuangan menghasilkan
unqualified opinion, ternyata laporan keuangan ini tidak dapat membantu buruh dalam
memperoleh infornasi sesuai dengan kepentingan buruh. Ini semua terjadi karena auditor
terkungkung oleh standar yang kaku, yang hanya melihat dari angka-angka moneter, konkrit,
fisikal.

Dua contoh diatas menunjukkan bahwa hasil laporan auditan sebagai output auditor, ternyata
tidak fit dengan para pihak yang berkepentingan dengan laporan akuntansi. Dengan demikian
hasil audit tidak akan dapat mencerminkan realitas sebagaimana adanya.

4. Penutup

Untuk melihat secara empiris perlu kiranya dilakukan studi yang berkaitan dengan auditing
dengan mengambil obyek penelitian yang beragam yang mencerminkan variasi kebutuhan pihak-
pihak yang berkepentingan. Misalnya audit untuk konsumsi pemerintahan (sudut pandang
akuntansi sebagai politik), konsumen perbankan (sudit pandang akuntansi untuk pengambilan
keputusan), dan sudut pandang akuntansi untuk kepentingan lainnya.

Daftar Referensi

• American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), 1980, Codification of


Statements on AuditingStandards; Numbers 1 to 26, CommaFCe-Clearing House,
Chicago.
• Arens, A.A. and J.. Loebecke, 1984, Auditing: an Integrated Approach, 3 th Ed., Prenticc
Hall Inc., Anglewood Cli`ffs, New Jersey.
• Boynton, W.C. and W-.G. Kcll, 1996, Modern Auditing, 6th Ed., John Wiky &Sons, New
York.
• Brooks, 1995, Higher Stakes, CA Magazine, Vo1.128, Iss.2, March, p. 53-54.
• Burchell, S., Clubb, C., Hopwood, A., Hughes, S., & Naphapiet, J., 1980, “The Role of
Accounting in Organization and Society,” Accounting Organization and Society, p. 5-28.
• Burton, and M.A. Tigos, 1977, “Toward a Theory of Corporate Social Accounting”,
Accounting Review, Oct., p. 971-978.
• Chwastiak, Michele. (1999). Deconstructing the principle-agent model: a view from the
bottom. Critical Perspectives on .Accounting. Vol. 10. No. 4: 425-441.
• Cook, J.W. and G.W. Winkle, 1976, Auditing: Philosophy and Technique, Hoghton
Miflin Co., Boston.
• Christie, Nancy, Bruno Dyck, Janet Morrill, Ross Stewart, 2004, “Escaping the
Materialistic-individualistic Iron Cage: a Waberian Agenda for Alternative Radaical
Accounting.,” The Fourth Asia Pasific Interdisiplinary Research in Accounting (Apira)
2004 Conference, Singapore
• Danley, J.R., 2000, “Philosophy, Science and Business Ethics: Frederick’s New
Normative Synthesis, ” Journal of Business Ethics, Vol. 226, Iss. 2, Jul., p. 111.
• Davis, S.W., Menon, K. & Morgan, G., “The Images that Have shaped Accounting
Theory,” Accounting Organization and Society, p. 307-318.
• Deflicsc, P, K.P. Johnson, R.K. MacLeod, 1975, Montgomery’s Auditing, 9th Ed., The
Ronald Press Co., New York.
• Defliesc, P., HL. Jaenicke, J.D. Sullivan, and R.A. Gnospclius, 1984, Montgomery’s
Auditing, 10th -Ed., The Ronald Press Co., New York.
• Derry, R., T.L. Fort, W.C. Frederick, N.R. Hauserman, 1999, “Nature’s Place in Legal
and Ethical Reasoning; an Interactive Commentary on William Frederick’s Values,
Nature and Culture in the American Coreporation,” American Business Low Journal,
Vol. 6, p. 633-669.
• Frederick, D.J., 1995, Values, Nature and Culture in the American Coreporation, Oxford
University Press, NY.
• ———–, `1998, “Creatures, Corporations, Communities, Chaos, Complexity,” Business
& Society, Vol. 34, No. 4Dec., p. 358-389.
• Fritzche, D.J., 1997, Business Ethics: a Global Managerial Perspective, McGraw-Hill-Co.
Inc., New York.
• Guy, D.M., C.W. Alderman, and A.J. Winters, 1990, Auditing, 2nd .Ed., Harcourt Brace
Jovanovich, San Diego.
• Hauserman, N., 1999, “New Values, New Conflicts: A Response to William Frederick’s
valus, Nature, and Culture in the American Corporations,” Business & Society, Vol. 38,
Iss. 2, Jun. p. 212 – 216.
• Ikatan Akuntan Indonesia, 1994, Standar Profesinaol Akuntan Publik: Standar Auditing,
Standar Atestasi, Standar Jasa Akuntansi dan Review per 1 Agustus 1994, ST1E YKPN
Yogyakarta.
• Kell, W.G. and R.E. Zicgicr, 1980, Modern Auditing, Warren, Gorham & Lamont Inc.,
Boston
• Lirtzman, S.L, 1997, “Values, Nature, and Culure in the American Corporation,”
Academy Management Review, Vo1.22, p. 571.
• Merino, B.D., & Neimark, M.D., 1982, “Disclusure Regulation and Public Policy,’
Journal of Accounting and Public Policy, p. 33-57
• Morgan, Gareth, 1988, “Accounting as Reality Construction: Toward a New
Epistemology for Accounting Practice,” Accounting Organization and Society, p. 477-
485.
• Paton, W.A. and A.C. i.ittleton, 1940, an Introduction to Corporate Accounting
Standards, American Accounting Association Monograph No. 3. .
• Prakash, P., & Rappaport, A., 1977, “Information Inductance and its Significance in
Accounting,” Accounting Organization and Society, p. 29-38.
• Snowball, D., 1980, “on The Integration of Accounting Research in Human Information
Processing,”Accounting and Business Research, p. 278-318.
• Stanfield, J.R., 1998, “Values, Nature, and Culture in the American Corporation,” Journal
of Socio-economics, Vol. 27, p. 468.
• Sudibyo, Bambang, (2001). “Telaah Epistemologis Standar Evidential Matter serta
Implikasinya pada Kualitas Audit dan Integritas Pelaporan Keuangan”, Makalah Seminar
Nasional Akuntan Indonesia, Surabaya 19-21 Th 2001,
• Tinker, A.M., Merino, B.D., & Nelmark, M.D., 1982, “The Normative Origins of
Positive Theories: Ideology and Accounting thought, Accounting, Organizations and
Sociery, p. 167-200.
• Taylor, D.H. and G.W. Glezen, 1982, Auditing: Integrated Concept and Procedures, 2nd
Ed., John Wiley & Sons, New York.
• Triyuwono, Iwan, – , The Rationality and The Intuition Unfolding The Hidden
Connection on Accounting. Dept. of Accounting Brawijaya University.
• Wood, D.J.,,1996, “Values, Nature, and Culture in the American Corporation, A Book
Review,” Business & Society, Vol. 35, p. 520-

You might also like