You are on page 1of 3

Optimalkan Potensi Tuna, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat

Rangkul Dunia Pendidikan

Meski telah ditetapkan sebagai sentra Perikanan tuna nasional, potensi produksi
perikanan tuna yang dimiliki Provinsi Sumatera Barat saat ini masih belum dapat
dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat kelautan dan perikanan setempat. Dalam
Seminar Nasional Pembangunan Kelautan di Universitas Andalas (Unand) Padang (6/10),
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, Yosmeri menyatakan
kendala yang dihadapi saat ini adalah minimnya sumberdaya manusia serta teknologi
dibidang kelautan dan perikanan yang dapat diterapkan secara mudah oleh para
pemangku kepentingan. “Saat ini kebutuhan akan SDM dan peningkatan alih teknologi
kelautan di Sumatera Barat sudah sangat mendesak sehingga dibutuhkan adanya
terobosan-terobosan untuk memenuhi kebutuhan tersebut”, demikian diungkapkan
Yosmeri. Melihat permasalahan tersebut, maka DKP Sumbar terus melakukan
pendekatan kepada dunia pendidikan tinggi di Sumatera Barat untuk mengatasi
keterbatasan yang dihadapi.
Atas upaya yang dilakukan oleh DKP Sumbar, maka Universitas Andalas Sebagai
penyedia SDM yang berkualitas di Sumatera Barat, berencana untuk membuka program
studi baru di bidang teknologi kelautan dengan menggandeng Institut Teknologi Sepuluh
November (ITS) yang telah jauh lebih dulu memiliki program studi serupa. Pembantu
Rektor IV Unand, Prof. Helmi menyatakan dengan potensi yang demikian melimpah,
sangat disayangkan apabila Sumbar tidak memiliki pendidikan formal yang memadai
sebagai tempat lahirnya SDM yang handal serta penyediaan alih teknologi yang mudah
diterapkan.
Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Suseno saat menjadi keynote speaker memberikan apresiasi yang besar terhadap upaya
yang telah dilakukan oleh pihak Pemeritah Provinsi Sumbar serta Unand dan ITS dalam
mendukung Visi dan Misi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Kerjasama yang
telah dilakukan oleh Unand dan ITS dalam menjawab kebutuhan yang dilontarkan oleh
DKP Sumbar merupakan salah satu dari 4 Pilar Grand Strategy yang dimiliki oleh KKP
yakni memperkuat kelembagaan dan SDM secara terintegrasi”, ujar Suseno.
Berdasarkan data statistik, produksi Perikanan tuna yang dimiliki oleh Sumatera Barat
sejak tahun 2008 menunjukan peningkatan yang sangat signifikan. Tahun 2008 provinsi
ini membukukan produksi sebanyak 300 ton yang kemudian meningkat lebih dua kali
lipat pada tahun 2009 yakni menjadi 735 ton. Hingga September tahun ini, produksi tuna
di Sumbar telah mencapai lebih dari 600 ton dan diproyeksikan mencapai 1000 ton pada
akhir tahun 2010 ini. (EAH)

Perkembangan Perekayasaan Pemuliaan Induk Udang Windu di BBPBAP - Jepara


Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestikasi
dan pemuliaan untuk menghasilkan induk unggul. Program domestikasi adalah langkah
atraktif yang harus ditempuh untuk menghasilkan benih unggul yang berasal dari induk
unggul setelah perbaikan system budidaya tidak mampu menjadi solusi dalam
mengatasi masalah penyakit. Meski lambat dimulai dibandingkan dengan vaname,
proses domestikasi telah menghasilkan beberapa acuan baik dari sisi genetic
engineering maupun pola seleksi konvensional untuk membuat sebuah broodstock
center udang windu. Pada saat sekarang program seleksi telah mengasilkan generasi ke
– 4, dengan masing – masing masa pemeliharaan selama 18 bulan untuk setiap
generasi. Perbaikan kualitas utamanya kemampuan bereproduksi menjadi target
perekayasaan untuk tahun – tahun mendatang. Perekayasan akan lebih difokuskan pada
perbaikan nutrisi maupun kesesuaian media pemeliharaan termasuk penerapan
biosekuriti yang lebih sempurna. Tujuan akhir dari proses domestikasi adalah induk
bebas penyakit yang dapat mengasilkan benih yang dapat tumbuh cepat. Guna
mengakselerasi pencapaian hasil telah terbentuk sebuah jaringan yang beranggotakan
beberapa UPT Pusat DJPB (BBPBAP Jepara, BBAP Takalar, BBAP Ujung bate) yang
didukung oleh Balai Riset Perikanan Budidaya (Gondol, Maros). Balai riset akan lebih
banyak mendukung pada porsi engineering genetic termasuk mendapatkan gen marker
untuk sifat tumbuh cepat serta trans genik untuk sifat WSSV resisten. Pada akhirnya
hasil dari kegiaatan seleksi konvensional dan genetic engineering akan dipadukan untuk
mendapatkan sebuah produk dengan kategori unggul.

Strategi pemuliaan
Calon induk windu F-4 yang dihasilkan saat ini berasal dari seleksi induvidu yang dimulai
dari generasi I, II dan III. Populasi dasar yang digunakan adalah populasi yang berasal
dari beberapa daerah penangkapan dengan keragaman genetik lebih tinggi. Dari
beberapa populasi itulah, kemudian di”blending” untuk mendapatkan populasi dasar.
Sejumlah proses termasuk kegiatan koleksi induk, karakterisasi dan inventarisasi sumber
daya genetik dan koleksi kandidat terpilih dipertimbangkan untuk mendapatkan populasi
dasar. Setidaknya terdapat lima sistem seleksi yang disepakati yakni seleksi individu,
famili, super Health, Survivor dan Hibridisasi, namun baru seleksi individu yang
dilaksanakan karena ketersediaan fasilitas yang masih dalam pembenahan.

Hasil Kegiatan
Pembesaran calon induk dari generasi pertama hingga ke 4 dilakukan di tambak dengan
sistem berpindah. Secara keseluruhan lingkungan tambak yang digunakan dengan
penerapan “farm level biosecurity” mampu mendukung sistem pemeliharaan terututama
dalam hal mengeleminasi peluang masuknya organisme pathogen. Dari sisi
pertumbuhan calon induk, sistem yang digunakan dapat mendorong tingkat
pertumbuhan dengan rata – rata ADG sekitar 0.3 pada setiap generasi. Kualitas induk
yang dihasilkan lewat proses domestikasi masih lebih rendah dari induk alam bila
dibandingkan dengan tolok ukur respon terhadap ablasi, fekunditas serta daya tetas
telurnya. Respon terhadap ablasi lebih lambat, terlihat dari jumlah hari yang dibutuhkan
untuk matang gonad setelah ablasi. Fekunditas rata-rata per ekor induk berkisar
300.000 butir untuk ukuran induk 150 gram pada setiap generasi.

Tidak adanya perbedaan fekunditas lebih disebabkan oleh penggunaan calon induk
dengan berat tubuh sepadan. Daya tetas telur pada generasi ke dua dan ke tiga jauh
lebih tingi dibandingkan dengan generasi pertama. Belum diketahui secara pasti
apakah terdapat pengaruh generasi atau efek dari pengelolaan pakan ataupun
lingkungan yang lebih baik.

Terlihat hal yang berbeda cukup nyata pada hasil pemeliharaan larva hingga stadia PL-
12. Peningkatan kelangsungan hidup larva dari telur yang dihasilkan terjadi pada setiap
generasi. Pada penggunaan induk generasi I kelangsungan hidup larva tercatat hanya
sekitar 10 %, dan meningkat menjadi 25% dan 55% pada penggunaan induk generasi ke
dua dan tiga. Pengaruh seleksi juga terlihat dari pertumbuhan benih yang dhasilkan bila
dibandingkan dengan benih non-seleksi.

“Tingkah laku manusia saat ini seharusnya didasari pada pengetahuan tentang apa yang akan terjadi pada
kemudian hari!” Ini diungkapkan Prof. Sumi dari The University of Tokyo dalam simposium pada 8-9 Maret
2010 di Bali.
Oleh ALAN KOROPITAN
Simposium itu digelar oleh Center Ocean Science, Universitas Udayana , bekerja sama
dengan Lembaga Antariksa Jepang (JAXA). Konteks yang dimaksud adalah isu
“berkelanjutan”.
Isu ini sudah mulai populer pada era 1970-an, dan akhirnya diakui PBB pada bulan Juni
1992 di Rio de Janeiro melalui kegiatan Konferensi Lingkungan dan Pembangunan
Perserikatan bangsa-bangsa (UNCED). Inilah yang menjadi isu sentral dalam pengelolaan
lingkungan, termasuk wilayah pesisir dan bidang perikanan.
Dengan berjalannya waktu “berkelanjutan” perlu mempertimbangkan dampak
perubahan iklim, khususnya pasca-Protokol Kyoto. Ini yang mendasari kenapa Prof. sumi
melontarkan kalimat tersebut. Prinsipnya, kita perlu membangun suatu tatanan
masyarakat yang sadar akan ancaman dampak perubahan iklim pada masa mandatang
untuk menjamin sumber daya lingkungan berkelanjutan.
Dampak bagi perikanan
Salah satu gas rumah kaca penting, dalam kaitan dengan pemanasan global, adalah gas
CO2 di atmosfer. Laporan Global Carbon Project edisi 2008 menyebutkan, CO2 di
atmosfer telah mencapai level 385 ppm (bagian per juta / Parts per million). pada era
praindustri berkisar 280 ppm. Kontribusi emisi CO2 dari deforestasi dan industri
mencapai 9,1 PgC pertahun pada 2008 (1 Pg = 10 pangkat 15 gram). Fraksi CO2 yang
menetap di atmosfer sekitar 45 persen dari total emisi tersebut, sedangkan sisanya
diserap daratan (tumbuhan) dan lautan.
Namun, sejumlah studi menekankan, tingkat efisiensi penyerapan oleh daratan dan
lautan telah menurun. Jadi, fraksi CO2 di atmosfer cenderung naik. Di lain pihak Knor
baru-baru ini (Desember, 2009) menyimpulkan, tidak ada peningkatan fraksi CO2 di
atmosfer dalam 150 tahun terakhir atau transformasi gas CO2 tersebut ? Masih menjadi
pertanyaan besar saat ini.
Terlepas dari persoalan bujet CO2 yang belum terjawab, dampak pemanasan global telah
membawa perubahan terhadap aklim dan laut.Konsekuensinya adalah peningkatan suhu
permukaan dan penguatan stratifikasi suhu laut. Perubahan lingkungan laut tentu
berdampakpada produktivitas perikanan.
Yonvitner pada Kompas (8/3) membahas laporan Cheung dkk (2009) tentang skenario
kenaikan level CO2 di atmosfer peranan CO2 di laut dalam proses fotosintetis
fotoplankton. Ini memang memungkinkan mengingat fitoplankton adalah prosedur dalam
jaringan rantai makanan.
Namun, interpretasi skenario kenaikan level Co2 di atmosfer adalah dalam konteks
pemanasan global, yang akan memicu perpindahan ikan-ikan perairan tropis ke
subtropis.
Cheung menyimpulkan, potensi hasil tangkapan ikan di Indonesia akan menurun sampai
sekitar 20 persen pada 2100. dalam skenario lanjutan, Cheung juga menyimpulkan level
CO2 bisa dipertahankan pada level seperti tahun 2000 (seandainya pertumbuhan
Kopenhagen tahun lalu berhasil), Indonesia pun masih berpotensi kehilangan hasil
tangkapan ikan sekitar 5 persen pada 2100. Di pihak lain, lokasi-lokasi seperti di
Norwegia, Alaska, Greenland, dan Iceland malah berpotensi mengalami peningkatan
hasil tangkapan ikan.
Pengelolaan berkelanjutan
Dalam simposium di Bali tersebut, permasalahan dalam pendugaan stok ikan di
Indonesia sempat dibahas oleh penulis bersama kolega dari IPB, Prof. Bonar Pasaribu dan
Dr. Jonson L Gaol.
Inti permasalahan antara lain kelemaham data Catch per unit effort, termasuk data
pendaratan hasil tangkapan di pelabuhan, asumsi-asumsi yang banyak dalam analisis
statistik terhadap spesies tertentu yang digeneralisasi ke multispesies.
Solusi yang ditawarkan adalah riset yang fokus dan terintegrasi. di mana peranan riset
lingkungan laut dan kaitannya dengan biologi perikanan sangat penting dalam
pendugaan stok ikan. Kegiatan riset itu dapat terbagi dalam lima kelompok utama, yaitu
dinamika iklim, dinamika jaringan rantai makanan, dinamika biogeokimiawi, pemodelan,
serta prediksi dan aktivitas manusia. Kelima topik ini saling berinteraksi.
Sebagai contoh, informasi proses biogeokimia, dinamika rantai makanan, dan data
tangkapan dapat dikembangkan dalam suatu model ikan sehingga estimasi stok ikan
lebih akurat. Demikian halnya prediksi perubahan jalour migrasi akibat pemanasan
global dan respon larva ikan terhadap perubahan lingkungan akan membantu antisipasi
pada kemudian hari.
Demikan pula halnya pengaruh variabilitas iklim (seperti El Nino) yang dapat memicu
kelimpahan ikan yang ekstrem. Hal ini perlu diantisipasi sedini mungkin.
Kanada adalah salah satu negara yang menerapkan konsep ini dengan baik sehingga
amat membantu dalam menentukan jumlah stok ikan dan kapasitas maksimum boleh
ditangkap. Konsep ini diperkenalkan oleh Global Ocean Ecosystem Dynamic, salah satu
proyek inti dari dari International Geosphere-Biosphere Programe, dan dipicu banyak
negara penggiat perikanan laut, kecuali Indonesia.
Akhirnya , keakuratan informasi stok ikan memili nilai strategis dalam pengololaan
perikanan nasional berkelanjutan, termasuk kegiatan pemanfaatan (penangkapan ikan),
pengontrolan (illegal fishing), perbaikan lingkungan, dan strategi adaptasi yang tepat
dalam perubahan iklim.
Filed under: Nasional

You might also like