Professional Documents
Culture Documents
KARAKTER FUNDAMENTAL
Ikhlas
a. Kisah Khalid bin Walid; Bukti Keikhlasan Sempurna
Ia datang menemui Rasulullah pada tanggal 1 Shafar 8 H. Bersama Amru bin
’Ash ia masuk Islam dan sejak saat itu juga ia berazzam untuk menebus dosa-
dosanya. Masih ia ingat bagaimana ia memimpin pasukan berkuda kafir Quraisy
memporakporandakan mujahid Islam pada perang uhud sesaat setelah pasukan
pemanah ikut turun karena tergiur ghanimah.
Rasulullah menjulukinya sebagai ”pedang Allah”. Dan julukan itu mendapatkan
momentum pembuktiannya pada perang Mu’tah. Sebelumnya Rasulullah bersabda
bahwa pada perang itu ”Bendera pasukan di tangan Zaid bin Haritsah. Ia bertempur
dengan gagah berani hingga gugur sebagai syahid. Lalu, bendera diambil oleh
Profil Murabbi Ideal
Ja’far. Ia bertempur dengan gagah berani hingga gugur sebagai syahid. Lalu, panji
dipegang oleh Abdullah Ibnu Rawahah. Ia bertempur dengan gagah berani hingga
gugur sebagai syahid. Lalu, bendera pasukan dipegang oleh satu dari pedang-
pedang Allah. Allah memberikan kemenangan melalui upayanya.”
Dan, kenyataan yang terjadi benar-benar tepat sesuai sabda Rasulullah. Ketika
tiga pemimpin itu bergantian menjemput kesyahidannya dan pasukan Islam
semakin terdesak, Khalid bin Walid tampil memimpin kaum muslimin dengan
strategi dan semangat yang luar biasa. Ia memberikan kemenangan dengan
kesuksesannya menarik mundur pasukan secara teratur setelah memberikan
perlawanan dalam bentuknya yang baru. Pasukan Romawi yang semula berjumlah
200 ribu orang itupun pun ciut nyalinya untuk meneruskan peperangan.
Kemenangan maknawiyah ini semakin mengokohkan Islam dan meninggikan
benderanya.
Sejak saat itu Khalid bin Walid menorehkan prestasi yang belum pernah
dicapai orang lain. Setiap peperangan yang dipimpinnya selalu mendapatkan
kemenangan. Pun, di zaman kekhalifahan Abu Bakar, Khalid bin Walid tetaplah
panglima yang selalu membawa berita kemenangan. Peperangan dengan
Musailamah Al-Kadzdzab yang semula berat pun, akhirnya dimenangi kaum
muslimin setelah Khalid bin Walid memimpin pasukan.
Pada perang Yarmuk, Khalid bin Walid menerapkan strategi baru dengan
menyerbu sayap kiri pasukan Romawi yang berjumlah 40 ribu prajurit. Yang luar
biasa adalah penyerbuan itu hanya dilakukan oleh Khalid bersama 100 pasukan
khususnya. Saat-saat kemenangan kaum muslimin semakin dekat. Saat itulah
datang utusan yang datang dari Madinah. Ia membawa surat yang mengejutkan,
bahwa Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab serta Khalid bin
Walid diberhentikan dari jabatan panglima perang, diganti Abu ’Ubaidah bin Jarrah.
Khalid membacanya dengan tenang, lalu mendoakan almarhum Abu Bakar. Ia
meminta agar utusan itu tidak menyampaikan berita ini kepada siapapun. Sampai
akhirnya setelah peperangan usai dan kemenangan benar-benar menjadi milik
kaum muslimin, ia menyampaikan salam hormat kepada Abu ’Ubaidah bin Jarrah
sebagaimana seorang prajurit menyampaikan penghormatan kepada panglimanya.
Profil Murabbi Ideal
Abu ’Ubaidah bin Jarrah mengira sang panglima sedang bercanda. Setelah ia tahu
peristiwa sebenarnya ia mencium kening Khalid karena takjub kepadanya.
Demikianlah, Khalid menerima ”pemberhentian” ini dengan ikhlas. Dan sejak
saat itu ia tidak pernah diangkat sebagai Panglima Perang. Di akhir waktu, Umar
ingin mengangkatnya kembali sebagai panglima, namun maut terlebih dulu
menjemput Pedang Allah ini.
Dalam dakwah tarbiyah kita, ”naik turun” amanah tidak selalu berhubungan
dengan prestasi dan kapabilitas. Amanah bukanlah kebanggaan, ia justru menuntut
tanggung jawab. Demikian pula amanah menjadi murabbi. Bisa jadi suatu saat
nanti, justru ketika kita sudah dengan susah payah ”membesarkan” mutarabbi kita,
syuro jamaah menghendaki kita melepaskan binaan itu dan dipindah ke murabbi
lain. Mampukah kita mengikuti jejak Khalid bin Walid?
ini tidak tergantung pada satu orang atau ketokohan, lebih dari itu dakwah ini melaju
karena keikhlasan aktivisnya, khususnya para murabbi di dalamnya.
Sungguh tarbiyah adalah nafas bagi kehidupan dakwah ini. Dan murabbi
adalah paru-parunya. Amat mudah bagi seorang murabbi yang telah dipercaya oleh
mutarabbinya untuk mensetting langkah mereka dan mengarahkan dukungan
mereka. Jika tidak didasari keikhlasan, tentu ini berbahaya. Bisa jadi yang bermain
adalah kepentingan pribadi, dan bukan kepentingan dakwah. Bisa jadi ia justru
membelokkan mutarabbi dari jalan yang benar, dan menyimpangkannya menuju
kemadharatan.
Pendek kata, keikhlasan ini diperlukan sejak langkah pertama. Menjadi
murabbi di awal waktu juga sangat berat. Kita harus mengeluarkan uang kita untuk
koordinasi dan menjalankan liqa’at. Kita juga meluangkan waktu dan menguras
tenaga. Jika tidak ikhlas mungkin kita segera berhenti dan membubarkan halaqah.
Dan kalaupun berjalan kita tidak pernah mendapat keridhoan Allah.
Profil Murabbi Ideal
Menjadi Qudwah
Tarbiyah dengan keteladanan
Keteladanan lebih diikuti dari pada perkataan
Saat itu kaum muslimin dengan dipimpin langsung oleh Rasulullah hendak
melaksanakan ibadah haji. Namun, yang terjadi kemudian adalah peristiwa yang kita
kenal dengan perjanjian hudaibiyah. Banyak shahabat kecewa dengan penandatangan
perjanjian itu. Mereka memang belum mengetahui sisi strategis perjanjian itu. Ketika
Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat ”Berdirilah, lalu sembelihlah” tidak ada
seorang pun yang berdiri dari tempat duduknya. Bahkan ketika kata-kata itu diulangi tiga
kali oleh Rasulullah, masih saja belum membuahkan hasil. Maka Rasulullah berdiri dari
tempat duduk beliau dan masuk ke tempat Ummu Salamah. Beliau ceritakan kejadian ini
kepada Ummu Salamah. Istri yang cerdas inipun mengusulkan solusi brilian ”Wahai
Rasulullah, apakah Engkau menyukai (realisasi perintah) itu? Keluarlah dan jangan
bicara sepatah katapun dengan mereka, hingga Engkau menyembelih untamu dan
memanggil pencukurmu untuk mencukur rambutmu” Beliaupun melaksanakan usul
istrinya. Melihat hal itu, para sahabat langsung berdiri, menyembelih unta mereka dan
mencukur rambut mereka.
Ternyata, keteladanan lebih ampuh dari pada perkataan.
mereka kaget dengan sikap beliau tadi. Beliau bersabda, ’Aku ingat sedikit emas ada di
rumahku dan aku khawatir ia menahanku. Karena itu, aku suruh agar emas tersebut
dibagi-bagikan’.” [HR. Bukhari no. 851]
Rasulullah telah mengajarkan satu hal lagi kepada kita. Bahwa fatwa memang
diperlukan, kata-kata nasihat masih dibutuhkan, namun keteladanan lebih dikenang dan
lebih terpercaya untuk diikuti. Bagaimana jika ada seorang murabbi yang sering
menasihati agar kita zuhud tapi ia sangat stres ketika kehilangan HP dan ketika mampu
membeli HP baru ia memamerkannya dengan wajah yang cinta dunia. Mana yang diikuti
mutarabbi?
a. Meyakini fikrah
Jika murabbi ragu fikrah Islam, bagaimana mutarabbinya?
(Keteladanan Habib bin Zaid Al-Anshari)
Rasulullah memilih anak muda untuk beliau tugaskan mengantar surat kepada
taghut Bani Hanifah, Musailamah Al-Kadzdzab. Surat itu melarang Musailamah Al-
Kadzdzab meneruskan aktifitasnya. Anak muda itu adalah Habib bin Zaid Al-
Anshari).
Saat surat itu disampaikan Musailamah dikelilingi pengawalnya dan Habib
datang seorang diri. Setelah membaca surat Musailamah Al-Kadzdzab marah dan
bertanya kepada Habib, ”Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul
Allah?” habib tidak gentar dengan sorot mata menakutkan Musailamah Al-Kadzdzab
dan pedang yang berseliweran di sekelilingnya. Dengan yakin Habib menjawab ”Ya”
”Apakah engkau bersaksi bahwa aku juga Rasul Allah?” Al-Kadzdzab
melanjutkan pertanyaannya.
Apa jawaban Habib? Ia justru mengejek Musailamah Al-Kadzdzab dengan
berkata ”Aku tuli tidak dapat mendengar”
Setiap kali pertanyaan yang sama diulang, hanya ejekan itulah yang keluar dari
lisan Habib. Akhirnya Musailamah Al-Kadzdzab memotong organ tubuh Habib satu
per satu setiap kali Habib memberikan jawaban, hingga akhirnya Habib syahid.
Orang yang mendengar jawaban Habib dapat mengetahui bagaimana
kekokohan fikrahnya. Setiap murid yang membaca sejarah kesyahidannya akan
termotivasi untuk berada di atas fikrah ini kendati nyawa taruhannya. Keteladanan
akan sangat membekas dan lebih dahsyat dari ribuan nasihat dan puluhan kitab.
Murabbi harus tidak boleh ragu dengan fikrah Islam ini. Jika ia ragu dan
kesulitan dunia mampu membengkokkan fikrahnya, lalu bagaimana dengan
mutarabbi yang menjadi tanggung jawabnya. Seringkih apa dia? Selemah apa
keyakinannya?
Profil Murabbi Ideal
Namun, pena yang telah digoreskan untuk membela kalimat tauhid tidak
mungkin digunakan lagi untuk mengotorinya, meskipun tiang gantungan telah
menanti di sana. Fikrah tarbiyah yang tertanam kuat dalam diri Sayyid Quthb
menjadikannya tersenyum menyambut tiang gantungan. Bukankah kesyahidan
yang selama ini ia tunggu? Kini datang kesempatan itu, lalu apa yang perlu
ditakutkan dan siapa yang bisa menghalangi senyum kebahagiaan? Sehingga
ketika beberapa ”ulama” –yang sesungguhnya telah terbeli oleh imperalis- saat itu
menawari kebebasan kepada Sayyid Quthb dengan syarat ia ”bertaubat” dari
pemikirannya, ia pun menjawab dengan tenang ”bukankah kalian yang seharusnya
bertaubat”. Ya, dengan senyum kedamaian ia menghadap Rabb-nya.
Hari ini kita menghadapi era dakwah yang tidak seganas masa Sayyid Quthb.
Namun, tantangannya kadang membuat kita terlena dan merapuhkan fikrah
tarbiyah kita. Begitu banyak fikrah yang kini juga ikut meyakinkan umat ini akan
solusi terhadap problematika kehidupan yang terjadi. Kalau para murabbi kemudian
ragu-ragu akan efektifitas dan orisinalitas fikrah tarbiyah, lalu bagaimana dengan
para mutarabbinya?
ikut malas karena mengikuti jejak sang murabbi. Ia merasa cukup dengan ilmu yang
pas-pasan. Merasa ’rida’ dengan mengetahui rasmul bayan beserta terjemahnya
tanpa bisa menjelaskan lebih jauh kepada dirinya sendiri apalagi orang lain.
Jika hal ini membudaya, jamaah ini akan menjadi jamaah yang justru
membebani umat Islam. Kita berlindung kepada Allah agar jamaah ini tidak justru
menjadi bagian dari masalah. Kita harus menjadi bagian dari solusi dan salah satu
syaratnya adalah ilmu. Baik ilmu syar’i maupun sains dan teknologi. Bukankah
sekarang dakwah kita melaju menuju cita-cita sebagaimana yang diistilahkan
Hasan Al-Banna ”Ustadziyatul ’Alam”, lalu bagaimana kita merasa cukup dengan
ilmu yang minimal?
c. Berakhlak mulia
”Innamal bu’itstu li utammimma makaarimal akhlaaq”
Sedemikian pentingnya perbaikan akhlaq sampai-sampai hal itu menjadi
konsentrasi misi Rasulullah SAW. Dan, mengapa dakwah Rasulullah disambut
dengan segera oleh orang-orang terbaik saat itu? Karena akhlaq Rasulullah yang
terkenal selama 40 tahun tanpa cela.
Murabbi juga demikian, kalau ia memiliki akhlak yang mulia mutarabbinya pun
hormat dan kagum kepadanya, setelah dua hal itu ada dalam hatinya apa lagi yang
menghalanginya untuk menerima tarbiyah dari murabbinya?
mengatakan haram makan sambil berdiri tetapi justru melakukannya tatkala ada pesta
pernikahan prasmanan.
Takwiner
Lebih dari sekedar motivator
Seorang murabbi bukan sekedar motivator. Ia adalah guru, orang tua, sekaligus
sahabat yang memiliki tugas besar membentuk mutarabbi mencapai muwashshofat
kader dakwah. Tugas yang sangat berat dan perlu untuk dilakukan dengan penuh
kesungguhan, sabar, do’a, dan tawakal.
Maka, seorang murabbi pun perlu mendoakan mutarabbinya setiap ia shalat malam
agar dijaga oleh Allah dan ditingkatkan iltizamnya serta menjadi kader dakwah yang
mencapai muwashshofatnya.
kadang ada perasaan untuk ’berhenti’ dari proses tarbiyah. Terlebih ketika ia
menghadapi banyak masalah. Murabbi takwiner melihat ini sebagai peluang pahala
untuk mengokohkan hatinya. Bukan justru membuat ia turut melemah dan mengeluh
”Memang perjalanan dakwah ini melelahkan akh. Apalagi sekarang ana juga banyak
hutang. Orangtua menuntut kuliah cepat selesai lagi...” ketika kita berlaku demikian
dijamin mutarabbi semakin lemah dan akhirnya semakin banyak yang berguguran di
jalan dakwah.
Lihatlah Rasulullah dari awal di utus sebagai nabi sampai kemenangannya di
Madinah. Perjalanannya penuh dengan nuansa pengokohan hati para sahabatnya. Saat
hijrah misalnya, beliau mengokohkan hati Abu Bakar bahwa mereka pasti selamat
karena Allah bersama mereka. Pun saat perang khandaq, justru di saat-saat genting dan
menakutkan Rasulullah malah memberikan kabar kemenangan dakwah bahkan dakwah
akan menguasai Persia, Romawi, dan membesar ke seluruh dunia.
Profil Murabbi Ideal