You are on page 1of 16

MAKALAH MIKROBIOLOGI DAN VIROLOGI

Salmonella thyphi Penyebab Penyakit Demam Tifoid


(TYPHUS ABDOMINALIS)

Oleh:

Nama : Anggy Anggraeni Wahyudhie

Nim : 0808505002

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2010
Salmonella thyphi Penyebab Penyakit Demam Tifoid
(Typhus Abdominalis)

I. Pendahuluan

Bakteri atau eubakteria temasuk subdivisi utama dari Prokariota. Eubakteria terdiri dari
bakteri-bakteri yang lebih umum, seperti kebanyakan orang telah mengenalnya. Selain
eubakteria terdapat juga archaebakteria, namun tidak mendapat perhatian yang besar dari para
peneliti disebabkan sangat sulit dipelajari di laboratorium karena lingkungan hidup
archaebakteria sangat ekstrim, sebagai contoh archaebakteria akan mati jika ada oksigen, hanya
dapat tumbuh pada temperatur tinggi (diatas suhu titik didih air), kadar garamnya tinggi, pH
rendah dan melangsungkan reaksi metabolisme yang tidak biasa, misalnya pembentukan
methane (Jawetz et al., 2005).

Kelompok besar bakteri dibagi ke dalam empat kategori utama berdasarkan pada dinding
selnya, yaitu:

1. Eubakteria Gram Negatif yang Memiliki Dinding Sel

Bakteri yang memiliki selubung sel yang kompleks (tipa gram-negatif) yang terdiri dari
membran luar, membran dalam, lapisan peptidoglikan tipis (yang terdiri dari asam muramik
dan terdapat hampir pada semua organisme, hanya beberapa organisme saja yang telah
kehilangan bagian dari selubung sel ini) dan membran sitoplasma yang merupakan kelompok
yang sangat heterogen. Sel ini mungkin berbentuk bulat, lonjong, batang lurus atau lengkung,
heliks dan filamen (seperti tali); beberapa bentuk ini mungkin berkapsul atau berselubung.
Perkembangbiakan dilakukan dengan pembelahan ganda, tetapi beberapa kelompok
berkembangbiak dengan cara tunas. Untuk badan buah dan myxospore dibentuk oleh
myxobacteria. Pergerakannya dapat disebabkan oleh flagella atau dengan bergerak
bebas/terbang. Anggota dari bakteri ini adalah bakteri fototrof atau nonfototrof dan termasuk
spesies aerobik, anaerobik, anaerobik fakultatif dan mikroaerofilik, beberapa anggota
merupakan parasit intraseluler obligat. Bakteri Salmonella termasuk ke dalam spesies
anaerobik fakultatif (Jawetz et al., 2005).

2
2. Eubakteria Gram Positif yang Memiliki Dinding Sel

Bakteri ini memiliki profil dinding sel tipe gram-positif. Sel berbentuk sferis, batang atau
filamen bercabang maupun tidak bercabang. Reproduksi pada umumnya dengan pembelahan
biner. Beberapa bakteri dari kategori ini memproduksi spora sebagai bentuk dormannya
(endospora). Organisme ini umumnya khemosintesis heterotrof yang termasuk di dalamnya
adalah spesies aerobik, anaerobik dan anaerobik fakultatif. Kelompok dalam kategori ini
meliputi bakteri asporogeneous dan sporogeneous sederhana yang strukturnya seperti
actinomycetes kompleks (Jawetz et al., 2005).

3. Eubakteria Tanpa Dinding Sel

Mikroorganisme yang tidak memiliki dinding sel sering disebut mikoplasma, termasuk
dalam kelas mollicutes dan tidak dapat mensintesis prekusor peptidoglikan. Mikoplasma
diselubungi dengan sebuah unit membran, yaitu membran plasma. Enam genus telah ditandai
sebagai mikoplasma berdasarkan habitatnya dan kebutuhan kolesterolnya, bagaimanapun
hanya dua genus yang mengandung patogen binatang. Mikoplasma adalah organisme yang
bervariasi ukurannya, dari seukuran vesikel yang sangat kecil (0,2 µm) sehingga dapat lolos
filtrasi. Reproduksi dengan tunas, fragmentasi atau pembelahan biner, tunggal ataupun
kombinasi. Kebanyakan spesies membutuhkan medium kompleks untuk pertumbuhan dan
menyebar membentuk koloni pada medium padat. Karateristik unik dari mollicutes adalah
bahwa beberapa spesies membutuhkan kolesterol untuk pertumbuhannya.Kolesterol tanpa ester
ini merupakan komponen unik pada membran bakteri yang membutuhkan sterol dan tidak
membutuhkan sterol bila berada pada medium (Jawetz et al., 2005).

4. Archaebakteria

Organisme prokariota ini merupakan penghuni yang mendominasi daerah teristerial


ekstrim dan lingkungan aquatik (kadar garam tinggi, temperatur tinggi, anaerobik). Beberapa
organisme bersimbiosis pada saluran pencernaan binatang. Archaebakteria terdiri atas aerobik,
anaerobik, aerobik fakultatif yang merupakan khemolitotrof, heterotrof, atau heterotrof
fakultatif. Beberapa spesies merupakan mesofil sedangkan yang lain mempu tumbuh pada

3
temperatur di atas 1000 C. Archaebakteria hipertermofil ini beradaptasi sangat unik untuk dapat
tumbuh dan bereproduksi pada temperatur tinggi. Hampir semua enzim yang diisolasi dari
organisme ini secara intrinsik lebih bersifat termostabil daripada yang diambil dari organisme
mesofil. Beberapa enzim termostabil ini misalnya DNA polimerase yang merupakan
komponen penting dalam metode peningkatan DNA, seperti polymerase chain reaction
(PCR). Archaebakteria dapat dibedakan dari eubakteria dengan tidak adanya dinding sel
peptidoglikan mereka, posisi dari isoprenoid dieter atau digliserol tetrameter lipid dan
karateristik susunan RNA ribosom. Namun archaebakteria juga memiliki kesamaa dengan
eukariota seperti sel yang berbentuk sferis, pipih atau batang, bentuk uniselular dan
multiselular pada filamen atau agregat yang ditemukan. Perbanyakan archaebakteria terjadi
dengan pembelahan biner, tunas, penggabungan, fragmentasi atau dengan mekanisme lain yang
belum diketahui (Jawetz et al., 2005).

Pada makalah ini akan lebih difokuskan untuk menjelaskan eubakteria gram negatif yang
memiliki dinding sel yaitu spesies Salmonella thyphi yang dapat menyebabkan penyakit demam
tifoid (typhus abdominalis).

II. Bakteri Penyebab Penyakit

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk
spora, tidak berkapsul, mempunyai flagel, fakultatif anaerob, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 -
0.8 mikrometer dan bergerak, pada biakan agar darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai
3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis dan bersifat
patogen baik pada manusia maupun hewan (Rasmilah, 2009). Kebanyakan strain meragikan
glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa

4
dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob
fakultatif. pada suhu 15 - 41o C (suhu pertumbuhan optimum 37o C) dan pH pertumbuhan 6 – 8)
(Rasmilah, 2009). Kebanyakan spesies resisten terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan
pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit.
Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan
dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, dan
tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah
komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah
protein labil panas. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk
lapisan luar dari dinding sel dinamakan endotoksin (Anonim a, 2010). Salmonella sp adalah
indikator keamanan pangan. Oleh karena standar itu, air minum maupun makanan siap santap
mensyaratkan tidak ada Salmonella dalam air minum atau 25 gram sampel makanan (Anonim b,
2010).

III. Penyakit Demam Tifoid

Ada tiga spesies utama Salmonella sp yaitu Salmonella typhi, Salmonella choleraesuis
dan Salmonella enteristidis. Deman tifoid atau typhus abdominalis disebabkan oleh Salmonella
typhi, sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh Salmonella enteristidis (Tambayong, 2000).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi dengan masa tunas 6-14 hari. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam
sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah yang mencakup
seluruh tubuh dan menyerang pada usus halus (Anonim c, 2010).

Demam tifoid atau tifus ini merupakan penyakit endemis di Indonesia dengan angka
kejadian yang tertinggi di dunia, antara 358-810/100.000 penduduk per tahun (Rasmilah, 2009).
Menurut hasil SKRT tahun 1986 bahwa 3 % dari seluruh kematian (50.000 kematian)
disebabkan oleh demam tifoid. Tingkat kematian demam tifoid ini mencapai 10%, cukup tinggi
jika dibandingkan dengan infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri Salmonella lainnya yang hanya
mencapai 1%. Namun, infeksi yang ditimbulkan Salmonella dublin dapat memiliki tingkat

5
kematian hingga 15% jika septicemia (tercemarnya darah oleh bakteri) pada manusia yang
berusia lanjut (Anonim d, 2009).

Penyakit ini meskipun sudah dinyatakan sembuh, namun penderita belum dikatakan
sembuh total karena mereka masih dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain (bersifat
carrier). Penyakit ini sering dialami anak-anak hingga dewasa muda. Pada perempuan
kemungkinan untuk menjadi carrier 3 kali lebih besar dibandingkan pada laki-laki. Penularannya
melalui makanan yang tidak higienis dan sanitasi yang rendah. Makanan dan minuman yang
tercemar oleh kotoran atau tinja dari pengidap tifoid sangat besar menularkan kuman itu ke orang
yang memiliki daya tahan tubuh tidak baik (Anonim e, 2010).

IV. Invansi Bakteri

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5
F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui
Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi
kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat (kaki-kaki lalat),
dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dimakan oleh orang yang sehat. Apabila orang
tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang
tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian
kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel
retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi
darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu (Anonim f, 2009). Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan
usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa
mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan) (Anonim g, 2010).

6
V. Gejala Klinis (Reaksi Tubuh)

Pada demam tifoid ini, ada beberapa masa ketika bakteri masuk ke dalam tubuh
penderita, yaitu:

1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah masa disaat pertama kali bakteri masuk ke dalam tubuh dan mengalami
masa dormansi sementara. Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada
umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidak khas,
berupa: anorexia (tidak nafsu makan), rasa malas, sakit kepala bagian depan, lidah kotor, nyeri
otot, kadang disertai batuk dan gangguan perut (perut kram dan sakit) (Rasmilah, 2009).

2. Masa Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan
penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc
hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi
antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran
bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih
berganti (Anonim h, 2009).

Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis dapat dialami oleh
penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada
periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi
pada penyakit-penyakit lain juga (Anonim h, 2009).

7
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu
sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang
dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa
makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan
atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura
kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi
(Anonim h, 2009).

3. Masa Minggu Kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya
menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada
minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan
yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif
nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini
relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh (Anonim h, 2009).

Gejala toksemia (ketika kuman sudah masuhk aliran darah) semakin berat yang ditandai
dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya
terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah
menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat
terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan
kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Anonim h, 2009).

4. Masa Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi
tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang
dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan
makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa

8
delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin
(Anonim h, 2009).

Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan
nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Anonim h, 2009).

5. Masa Minggu Keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya
pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi
ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer
tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps (kekambuhan) (Anonim h, 2009).

VI. Diagnosa Penyakit

Pemeriksaan Laboratorium :

a.Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat
pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita
typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

9
2. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

3. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid (Anonim f, 2009).

b.Pemeriksaan SGOT DAN SGPT

SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid (Anonim f, 2009).

VII. Pengobatan

1. Perawatan Umum

Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.
Paasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan
usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap,sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-
ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus (Anonim h, 2009).

Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan
retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik
yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila
lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk
laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun
perforasi intestinal (Anonim h, 2009).

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian


cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang
dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam (Anonim h,
2009).

10
2. Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya
diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu nasi
dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan
aman pada pasien demam tifoid (Anonim h, 2009).

3. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah:

A. Kloramfenikol

Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam tifoid.
Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena,sampai 7 hari
bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianjurkan
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
Dengan kloramfenikol, demam pada demam tifoid dapat turun rata-rata 5 hari (Anonim h,
2009).

B. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.
Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada
kloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun
rata-rata 5-6 hari (Anonim h, 2009).

C. Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol)

Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk


orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet
mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan ko-trimoksazol
demam rata-rata turun setelah 5-6 hari (Anonim h, 2009).

D. Ampislin dan Amoksisilin

11
Dalam hal kemampuan menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan amoksisilin
lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah
pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150
mg/kgBB sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan Amoksisilin dan
Ampisilin, demam rata-rata turun 7-9 hari (Anonim h, 2009).

E. Sefalosporin generasi ketiga

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain
Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan
lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti (Anonim h, 2009).

F. Fluorokinolon

Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian belum
diketahui dengan pasti (Anonim h, 2009).

G. Furazolidon (Anonim h, 2009)

VIII. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.

12
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih
sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien
kurang sempurna (Anonim a, 2010).

IX. Pencegahan

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan


khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi,
karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.
(penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan
menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.
Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
minuman/makanan (Anonim a, 2010).

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang
diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang
dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak
direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke
tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier
tifoid dan pekerja laboratorium (Anonim a, 2010).

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah
diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada
vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang
memiliki resiko terjangkit (Anonim a, 2010).

13
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang
dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi.
Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk
orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit (Anonim a, 2010).

Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu.
Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang
memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid
yang dilemahkan (per oral) adalah orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin
sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas
yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang
menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang
mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita
kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin
tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik
(Anonim a, 2010).

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti
reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian
sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada
vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang
per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi
injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat
terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-
muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi) (Anonim a, 2010).

14
DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. 2010. Demam Tifoid


Available at : http:// UmmuSalmaal_Atsariyah.html/
Opened at : 22 Maret 2010
Anonim b. 2010. Salmonella
Available at : http://one.indoskripsi.com/
Opened at : 22 Maret 2010
Anonim c. 2010. Demam Tifoid
Available at : http://forum.detik.com/
Opened at : 23 Maret 2010
Anonim d. 2009. Analisa Bakteri Salmonella
Available at : http://uptlaboratkesehatankabupatenwonogiri.blogspot.com/

Opened at : 23 Maret 2010


Anonim e. 2010. Daerah Epidemik Thypus
Available at : http://suaramerdeka.com/

Opened at : 23 Maret 2010


Anonim f. 2009. Asuhan Keperawatan dengan Thypoid
Available at : http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/

Opened at : 25 Maret 2010


Anonim g. 2010. Demam Thypoid
Available at : http://medicastore.com/

Opened at : 22 Maret 2010


Anonim h. 2009. Gejala Demam Tifoid

15
Available at : http:// acehforum.or.id/

Opened at : 29 Maret 2010


Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta

Rasmilah. 2009. Thypus

Available at : http://library.usu.ac.id/fkm-rasmaliah5.pdf/

Opened at : 28 Maret 2010


Tambayong, Jan. 2000. Mikrobiologi untuk Keperawatan. Widya Medika. Jakarta

16

You might also like