You are on page 1of 9

1.

Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)

Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan, dihirup,
disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi
ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel
mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B
memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-
apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi
antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di
sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat
kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan
dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi.
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator
primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria,
vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder
menyebakan menyebakan peningkatan
Pajanan ke 1

Pajanan ke 2

Fase Sensitasi Fase Aktivasi Fase Efektor


1. Fase sensitasi : Fase perkenalan sampai IgE diikat silang oleh Fc ( reseptor) pada sel
mast/ basofil.
2. Fase Aktivasi : Fase dari pajanan ulang dengan antigen dan IgE dengan sel mast
sampai degranulasi.
3. Fase Efektor : Respon yang kompleks sebagai efek dari mediator dari sel mast.
Komplemen

 Definisi : suatu protein yang berperan dalam pertahanan pejamu.


 Fungsi : Inflamasi, opsonisasi (mempercepat fagositosis), dan lisis membrane
protein.
 Aktifasi komplemen : usaha tubuh untuk menghancurkan antigen asing.
 Jalur dari aktifasi komplemen :
1. Jalur lektin : lektin ( protein larut yang mengenal dan mengikat residu monosa
dari karbohidrat dinding sel mikroba), lektin akan meningkat jika pada respon
inflamasi awal akan terjadi ikatan antara polisakarida mikroba dengan lektin
dalam sirkulasi.
2. Jalur Klasik : antibody dan antigen membuat langsung komplemen C1. IgM
punya 5 reseptor C1 (Fc). Membuat ikatan Fc-C1. Mengaktifkan C4, C2, lalu
mengaktifkan C3 dan menjadi C3b.
3. Jalur Alternatif : sama kayak klasik, namun tidak diperlukan kompleks antigen
antibody. Langsung ke C3 → C3b.
2. Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )

Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen, tetapi dalam
keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif oleh
jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan
reaksi hipersensitivitas.
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat
digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang lemah,
menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai
jaringan.
2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus
menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru – paru, akibat
terhirupnya antigen secara berulang kali.
Pemaparan pada antigen dalam
jangka panjang dapat merangsang
pembentukan antibody yang umumnya
tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya
pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada
reaksi hipersensitivitas tpe III, antibodi
bereaksi dengan antigen bersangkutan
membentuk kompleks antigen antibodi
yang akan menimbulkan reaksi inflamasi.
Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan
pelepasan berbagai mediator oleh mastosit.
Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan
akumulasi PMN yang menghancurkan
kompleks. Dilain pihak proses itu juga
merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut
melepaskan isi granula berupa enzim
proteolitik diantaranya proteinase,
kolegenase, dan enzim pembentuk kinin.
Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama
dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks. Reaksi ini
dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).

Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung
pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan
relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila
kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk
cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi
hebat dari sel – sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan
eritema dan edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau
mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam suasana
antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut dan beredar
dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di berbagai jaringan diseluruh tubuh dan
menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis.
Tempat pengendapan kompleks yang berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis yang
berbeda pula. Meskipun demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi
inflamasi sistemik seperti:
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

A. Ukuran kompleks imun

Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai ukuran
yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan oleh hepar dalam
waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi
untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan produksi
antibody dengan afinitas rendah dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun
berukuran kecil, sehingga individu bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.

B. Kelas imunoglobulin

Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas immunoglobulin yang
membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan dikeluarkan secara
perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian halnya dengan IgA yang tidak mudah
melekat pada eritrosit dan dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan
pengendapan dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.

C. Aktivasi Komplemen

Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah berfungsinya
aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapat
mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat menghambat
pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan melekat pada
eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh
makrofag. Bila system ini terganggu, misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks
diatas akan membentuk kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia
terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun yang
paling merusak apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan.

D. Permeabilitas pembuluh darah

Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas vaskular.
Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya oleh
peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan dengan penglepasan
substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit
yang dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vascular.

E. Proses hemodinamik

Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan tekanan darah
tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap dalam glomerulus dimana
tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan
ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.

F. Afinitas antigen pada jaringan

Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat – tempat tertentu,
misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal. Pada arthritis
rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap dalam sendi dan walaupun selalu ada
kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan oleh afinitas
antigen terhadap organ tetentu.

Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama
2. Infusi intravena obat antigenik
3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)
4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)
5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus erythematosis -SLE) :
sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa asing dan membuat anti-nuclear
antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab terdeposit pada dinding pembuluh (vasculitis) pada:

− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia


− Ginjal
− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala (Canis lupus)
− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada

Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan
antitoksin.

You might also like