You are on page 1of 7

[Siapa Dalang Pembunuhannya..?

] March 8, 2011

Haji Sulong Vs Tokoh HAM Somchai di Hilangkan,


Siapa Dalang Pembunuhannya..?

Haji Sulong

Haji Sulong bin Haji Abdul Kadir bin Muhammad bin


Haji Zainul Abidin bin Ahmad @ Muhammad al-Fathoni,
ketika itu Haji Sulong mengabdi sebagai Ketua Majlis
Agama Islam pada tahun 1945. Ia sangat dihormati
oleh masyarakat-masyarakat Melayu Muslim di Selatan.

Menurut Muhammad Kamal terhadap Haji Sulong


bahwa:

Haji Suloang, adalah salah satu tokoh ulama Patani


yang ditakdirkan memimpin masyarakatnya untuk
menghadapi politik siamisasi yang dilancarkan oleh
pemerintahan Thailand. Karena setelah beliau tinggal di Patani, beliau berusaha
menbangkit kesatuan dan persatuan semagat umat Islam Patani. “Haji Sulong tidak
saja terkenal dengan kitab-kitab karya dan aktivis dakwahnya, tetapi juga terlibatan
dalam memperjuangkan demi memperbaiki nasib masyarakat muslim Patani pada
tahun-tahun pra dan pasca perang dunia kedua” (Muhammad Kamal K.Zaman,
1996, 6).

Haji Sulong benar-benar seorang aktivis politik dalam kedudukannya sebagai


pemimpin moral yang diakui oleh Melayu Muslim. Mereka menjadi popular di
kalangan para pelajar dan jemaah haji di Asia Tenggara di Mekkah, dan melalui
mereka prestige dan pengaruhnya bertambah besar. Ia kembali ke Patani pada
tahun 1930, dan memulai karir sebagai pengajar yang menarik murid-murid dari
seluruh pelosok Dunia Melayu.

Surin Pitsuwan dapat menjelaskan tentang latar belakang pendidikan Haji Sulong
ketika berada di Makkah bahwa:

Seperti kebanyakan ulama Asia Tenggara, Haji Sulong mula-mula masuk sebuah
sekolah menegah Indonesia yang terkenal, yang didirikan bagi pelajar-pelajar yang
berbahasa Melayu di dekat Ka’bah, di Masjid Haram, yang diberi nama Dar al-Ulum.
Di sini diberikan pelajaran mengenai ilmu-limu tradisional seperti : Tafsir Al-Quran,
Hadits, asas-asas ilmu hukum, dan tata bahasa Arab. Haji Sulong bergabung
dengan lingkaran-lingkaran scholastic yang berbahasa Melayu di Masjid Haram,
dimana dia menjadi seorang rector yunior mengenai hukum Islam mazhab Syafi’e.
Pada tahun 1927, ia berkenalan dengan gagasan-gagasan pembaharu dari
Jamaluddin al-Afghani dan Muhhammad Abduh selama tiga tahun belajar di Makkah,
ketika ia mendapat kesemapatan untuk bergaul dari beberapa ulama dari Mesir. Dari
pengalamannya di Makkah dan pergaulannya dengan ulama-ulama lain yang
berbahasa Melayu yang juga mulai menyadari potensi dan kemungkinan Islam
sebagai sesuatu kekuatan politik, Haji Sulong menupuk suatu keyakinan yang

Patani Fakta dan opini


|
[Siapa Dalang Pembunuhannya..?] March 8, 2011

semakin kuat terhadap keterlibatan politik dan aktivis social (Surin Pitsuwan,
1989,114).

Haji Sulong

Pada 1 April 1947, diadakan pertemuan di antara


pemimpin-pemimpin masyarakat Islam wilayah selatan di
Patani. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan
untuk menyerahkan sebuah memorandum – yang
mengandung beberapa tuntutan dari masyarakat Islam di
selatan – kepada wakil-wakil kerajaan Thai sewaktu
mereka melakukan kunjungan ke Patani. Pada tanggal 24
Agustus 1947, Haji Sulong (Ketua Majlis Agama Islam
Patani) dan Wan Uthman Wan Ahmad (selaku Pengurus
Persekutuan Semangat Patani) secara resmi menyerahkan memorandum tersebut
kepada 7 orang utusan pemerintah yang berkunjung ke Patani. Beberapa bulan
sebelumnya, tepatnya pada tanggal 3 April 1947, Haji Sulong mengirimkan secara
langsung memorandum tersebut kepada Perdana Mentri.

Hasil kesepakatan Memorandum ini berisi rencana tujuh yang dikenal dengan tututan
“Tujuh Pasal” dari gagasan politik Haji Sulong dalam upaya mempertahankan
kemandirian dan kemurnian Islam di Patani. Tujuh tuntutan ini yang nantinya dikenal
dengan nama "Tujuh Tuntutan Haji Sulong".

Menurut Kandidat Doktor Sejarah University of Hawaii at Manoa, Amerika,


Sejarawan dari Barat Muhamad Ali (Media Indonesia. 02 November 2004, OPINI),
bahwa Haji Sulong menuntut atas pemerintahan Bangkok dengan terdapat beberapa
hal yang meliputi:

1. Wilayah selatan harus dipimpin orang local;


2. 80% pegawai pemerintah harus orang Melayu;
3. Melayu juga harus menjadi bahasa resmi, selain bahasa Thailand;
4. Bahasa Melayu harus menjadi medium pendidikan di sekolah-sekolah,
5. Hukum Islam harus diakui selain hukum sipil;
6. Segala pemasukan local harus digunakan untuk kepentingan local; dan
7. Pembentukan sebuah Dewan Muslim.

Dengan terdapat beberapa alasan pada Haji Sulong bahwa sebagian orang Melayu
keberatan karena bahasa Thailand bukan bahasa ibu mereka; jika mereka belajar
agama Buddha maka pelajaran agama Islam akan terbengkalai. Dengan alasan
modernization pendidikan, pemerintah Thailand waktu itu tidak menanggapi aspirasi
ini.

Tuntutan tersebut tidak mengusulkan pembentukan sebuah negara merdeka, tapi


hanya sebuah entity territorial dan kebudayaan yang untuk mempertahankan identity
yang khas. Menurut Haji Sulong, masalah-masalah yang serius itu disebabkan oleh
ketiadaan kepercayaan dan saling pengertian antara yang berkuasa dan yang
diperintah. Rakyat Melayu tidak punya rasa kebersamaan (sense of belonging) yang
diperlukan untuk memberikan kapada pemerintah Bangkok legitimacy atas
Patani Fakta dan opini
|
[Siapa Dalang Pembunuhannya..?] March 8, 2011

kekuasaan mereka. Tuntutan mereka wajar mengigat kenyataan bahwa tuntutan itu
didasarkan atas penderitaan-penderitaan yang nyata yang tidak dapat dikurangi
dibawah struktur kekuasaan yang ada.

Haji Sulong tidak menginginkan pembentukan sebuah negara merdeka, hanya agar
sebuah wilayah selatan dapat mempertahankan identitas serta sifat-sifat khasnya.
Keinginan ini seolah menjadi syarat minimal yang harus terpenuhi karena golongan
Melayu-Islam akan tetap mengupayakan kelangsungan cara hidup tradisionalnya
serta menjaga kemurnian agama Islam yang mereka anut.

Semula, ada optimism dalam benak Haji Sulong mengenai tuntutan-tuntutan ini agar
dapat dipertimbangkan oleh Bangkok, meski tidak seluruhnya. Perdana Menteri Pridi
yang diketahui terpengaruh dengan bentuk federalism Switzerland, diyakini bersedia
memberikan otonomi kebudayaan bagi etnik Melayu dalam lingkungan bangsa Thai.
"Pridi lah yang oleh Haji Sulong sebagai pemimpin de factor kepada community
Muslim, begitu diharapkan untuk memberikan dokongan politik kepada perjuangan
untuk memperoleh otonomi politik".

Sayangnya harapan-harapan ini segera buyar dan gone ketika Phibul kembali
berkuasa pada tanggal 8 November 1947, tidak lama setelah memorandum
diserahkan. Meski Pridi telah pergi, Haji Sulong yang sudah terlibat dalam
perpolitikan, tidak dapat menghentikan langkahnya demi memperjuangkan otonomi
politik yang sudah berjalan. Belakangan, setelah peristiwa ini, beliau banyak terlibat
dengan YM Tengku Mahmud Muhyiddin, putera Raja Patani yang terakhir, di
Kelantan, dan ini juga yang menjadi sebab bagi penangkapan kali pertama Haji
Sulong pada hari Jum'at tanggal 16 Januari 1948.

Setelah Phibul** berkuasa, dalam hal hubungan Memorandum berisi rencana tujuh
perkara ini, pemerintah juga tidak bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan itu, dengan
pertimbangan bahwa tuntutan-tuntutan itu terlalu melanggar kekuasaan pusat dan
dari sisi ekonomi terlalu mahal.

Haji Sulong dibebaskan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1952. Selama
dalam tahanan di Ligor, beliau menulis sebuah karya yang berjudul “Gugusan
Chahaya Keselamatan” yang kemudian diterbitkan oleh anaknya, Haji Mohd Amin
pada tahun 1958, tetapi apa dayanya pemerintah segera dilarang – penerbitan dan
peredaran buku tersebut – oleh kerajaan Thai. Haji Sulong dalam bukunya “Gugusan
Cahaya Keselamatan” menjelas bahwa, rakyat ketika itu di tindas dengan kejam,
sesuatu yang tidak di sukai pemerintah Siam dituduh melakukan pelanggaran
undang kemudian ditahan, di hukum dan dibunuh. Tragedy bukan hanya menimpa
atas beberapa orang saja namun ratusana jiwa di daerah Patani (Chalermkiat
Khutongpej, 1995, 29). Setelah dibebaskan, Haji Sulong kembali ke Patani dan
meneruskan pekerjaan awalnya yaitu menjadi "Tok Guru" dengan mengajar di
pondok pesantren dan juga dari kalangan masyarakat (Ahmad Fathi Al-Fathoni,
1994, 92).

Setelah dua tahun dibebaskan, pada tanggal 13 Agus 1954, Haji Sulong ke
Songgora di jemput dari Gebenur Songgora untuk di intograsi oleh pihak kepolisian
atas nama-nama yang tercantum dalam surat perintah dari pihak kepolisian di
Songgora itu, yaitu Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas,

Patani Fakta dan opini


|
[Siapa Dalang Pembunuhannya..?] March 8, 2011

dan Ahmad To,mina bin Haji Sulong anak kandung Haji Sulong sendiri. Menurut
surat perintah Gebenur Songgora, Ahmad To,mina tidak tercantum dalam daftar
pihak kepolisian di Songgora, keikutsertaan ayahnya ke Songgora dalam upaya
menterjemah bahasa Thai ke dalam bahsa Melayu dan bahasa Melayu ke dalam
bahasa Thai, dengan karena Haji Sulong tidak bisa mengerti dan berbicara dalam
bahasa Thai.

Setelah di intograsi oleh pihak kepolisian mereka berempat telah di izinkan untuk
pulang ke kampung halaman mereka masing-maising setelah ditandatangani oleh
Gebenur Songgora. Ternyata Haji Sulong, serta dua rakan dan Ahmad To,mina
anaknya Haji Sulong menghilangkan secara misterius. Sedangkan kepulangan
mereka semua di tunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Dalam dugaan
mesyarakat setempat bahwa mereka semua telah dihilangkan jejak dengan kelicikan
yang di mainkan oleh pihak kepolisian Songgora (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 2001,
151). Ini merupakan suatu pengakuan kegagalan di pihak pemerintah
(Pitsuwan,Surin, Op.Cit.127). Ada teori yang mendugakan bahwa keempat-empat
mereka “ditahan” di luar undang-undang setelah mereka berempat sudah
ditandatangani izin pulang ke Patani.

Dengan bukti yang megatakan mereka berempat “dihilangkan”, terdapat seorang


nelayan Songgora yang berasal dari Panarek (nama derah di Wilayah Narathiwat),
yang bernama Hasin, katanya:

"datang seorang aparat kepolisian meminta bantuan supaya membuang lima


bungkusan karung yang berisisi mayat kedalam pantai yang berdekatan Pulau
Tikus".

Menurut Hasin, mereka tidak mengetahui apa jenis bukusan karung yang tersisi di
dalam kelima-lima karung tersebut. Mereka dapat mendegar gosib kehilangan Tok
Guru (Haji Sulong) setelah tiba mendarat, Hasin segera langsung “mencium” yang
berhubungan diantara peristiwa kehilangan Tok Guru yang berkaitan dengan karung
yang telah mereka campakan pada malam hari tersebut di pantai Senggora yang
berdekatan dengan pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) pada malam
Sabtu 13 Agus 1954 (Ismail Che’Daud, 1988, 355-357). Terdapat empat karung yang
diyakinkan empat mayat rombongan Tok Guru dan satu isi karung disebutkan aktivis
komunis yang berbangsa Cina.

Pada peristiwa ini, keluarga Haji Sulong mengundang Hasin dan memberi
perlindungan untuk menjadikan sebagai saksi dalam kasus kematian Tok Guru yang
akan mendakwa kepegadilan mahkamah. Akan tetapi, sebelum Hasin dan
keluarganga Haji Sulong menutut kasus “dihilangkan” Tok Guru ke pengadilan, Hasin
telah pun terbunuh oleh orang tanpa diketahui. Pembenuhan Hasin berlaku seketika
mereka keluar dari rumah berlindung untuk pulang ke rumah mereka dalam upaya
ketemu isteri dan anaknya di Panarek.

Demikian kasus “dihilangkan” Haji Sulong, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang
rekannya tidak bisa membongkar ke pengadilan, dengan tanpa ada saksi dan
tanpanya ada kerjasama pihak kepolisian antar keluarga Tok Guru, lebih lagi kasus
“dihilangkan” ini menakutkan penduduk masyarakat yang sedia ingin menjadikan

Patani Fakta dan opini


|
[Siapa Dalang Pembunuhannya..?] March 8, 2011

saksi berikut. Akhirnya peristiwa “dihilangkan” Haji Sulong oleh aparat kepolisian
tidak bisa mengungkit ke mahkamah kepengadilan.

Sementara itu, tekanan internasional terhadap kerajaan Thai bertambah besar atas
kehilangan Haji Suloang, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang rekannya,
sehingga peristiwa Haji Sulong enyebab masalah Patani mendapat perhatian Liga
Arab dan PBB (Surin Pitsuwan, Op.Cit.,125).

Ahkirnya riwayat Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan
Ahmad To,mina (Anak Haji Sulong) semua mereka di bunuh dan jasad mereka juga
tanpa perkubaran atau makom, hanya nama Tok Guru dan tempat pembuagan jasad
mereka menjadi catatan sejarah hingga sekarang. Dengan terkenal nama tepat
arwah Haji Sulong itu di pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) almarhum
pada malam Sabtu 13 Agus 1954.

Where Is Somchai

Demikian kehilangan Somchai baru-baru ini, kasus kehilangan Somchai sebagai


tokoh HAM pembela  Muslim. Mereka sebagai seorang pengacara Muslim yang
banyak menangani case hak asasi manusia dan dinyatakan hilang, ternyata dibunuh
oleh pejabat negara. Special teams pemerintah sedang menyidik case itu. Kelompok
HAM menduga pengacara 52 tahun itu diculik dan dibunuh oleh pejabat polis.
Sebab, Somcahi kerap protes atas penanganan masyarakat Muslim di selatan
Thailand. Dia juga pernah menuduh polis menyiksa empat client nya yang dituduh
anggota Jemaah Islamiyah selama di tahanan.

Somchai menghilang saat menjadi pengacara bagi 5 warga muslim di Thailand


Selatan. Somchai mengajukan complain karena client nya mendapat penyiksaan
selama dalam tahanan. Sebelum menghilang, Somchai mengaku kepada istrinya
bahwa nyawanya dalam bahaya. Ada beberapa petugas yang terus membuntuti
dirinya. Seorang saksi dalam persidangan mengaku melihat Somchai dipaksa masuk
ke mobil di jalanan Kota Bangkok pada suatu malam.

Raibnya Somchai Neelaphaijit dan pengadilannya kemudian mengundang attention


terhadap perlakuan Thailand terhadap hak asasi manusia. Barisan activist HAM
bersikukuh menyatakan pengacara berusia 52 tahun itu diculik dan dibunuh, karena
kecaman lantangnya terhadap cara apparatus keamanan menangani pergolakan di
selatan.

Hasil diintervensi oleh KontraS (Comisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) dapat menjelaskan bahwa:

Tokoh HAM Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar)

Pada 12 March 2004, Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar),


seorang pembela kelompok tertindas Muslim di Thailand.

Patani Fakta dan opini


|
[Siapa Dalang Pembunuhannya..?] March 8, 2011

Sejak itu, keberadaannya tidak jelas lagi. Kemungkinan besar ia sudah mati, disiksa
dan dihilangkan secara paksa.

Uniknya juga case diselesaikan dengan mengelar pengadilan setengah hati. Di


Thailand, pengadilan mem-verdict Major Polis Ngern Tongsuk tiga tahun penjara
sementara membebaskan 4 terdakwa lainnya. Pengadilan kasus ini juga gagal
mengungkapkan kebenaran atas motif politik yang sebenarnya. Sementara Major
Polis Ngern Tongsuk dihukum karena menghilangkan barang bukti dan menghalangi
hukum (obstruction of law).

Pasca persidangan authority politik PM Thaksin Shinawatra mengaku kecewa dan


terus bercommitment akan mencari dalang pelaku utamanya. Case ini juga ditangani
oleh Department of Special Investigation yang tidak berada di bawah control Police
Thailand. Meski mechanism spesial tersebut telah menemukan berbagai bukti,
keterangan, dan informasi yang penting, namun investigation lanjutan tidak terlihat
berjalan. Pernyataan pimpinan politik di negara Thai nampak hanya sebagai lip
service dan gagal memberikan kebenaran yang authentic bagi keluarga korban dan
public luas.

Kegagalan penanganan kasus ‘individual’ ini juga menandakan memudarnya sistem


aturan hukum (rule of law) di dalam Negara Thailand. Tetapi juga kepada community
Muslim di Thailan Selatan yang selama ini susceptible terhadap pelanggaran HAM.
Kegagalan kasus Somchai justru akan semakin menghambat upaya damai dan
reconciliation di wiliyah selatan Thailand yang dibeberapa tahun belakangan ini
menjadi wilayah conflict yang intensive.[1]

Pada tahun 1998, PBB meng- adoption Declaration Pembela HAM. Dokumen ini
mengakui bahwa problem-problem utama di dunia akan berakhir -khususnya di
negeri-negeri dengan regime yang repressive yang kurang peduli terhadap aturan
main dalam hukum- adalah kebutuhan untuk menyediakan perlindungan bagi orang-
orang yang berjuang untuk HAM.

Pembela HAM di seluruh kawasan Asia saat ini mendapatkan resiko atas
kehidupannya. Keputusan untuk membunuh pembela HAM dan perilaku
pembunuhan dilakukan secara rahasia. Hukum, pengadilan dan organisasi sipil tidak
dapat menghentikan pembunuhnya. Di banyak kasus, apparatus negara dan
lembaga negara terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Pembunuhan terhadap setiap pembela HAM adalah upaya untuk membunuh


gerakan HAM. Ini juga merupakan serangan terhadap masyarakat secara
keseluruhan. Tujuannya adalah untuk menciptakan dan mempertinggi ketakutan.
Dimana ketakutan hadir, ada banyak lebih kesempatan untuk pembunuhan
selanjutnya, dan kesempatan yang lebih sedikit untuk memulihkannya. Ini
merupakan method yang bertujuan untuk membisukan tidak hanya satu orang tetapi
membisukan setiap orang.

Saat ini ketakutan yang intensive muncul di banyak negara bagian di Asia, dengan
kasus “dihilangkan”, rakyat-rakyat muslim di Thailand Selatan telah banyak menjadi
korban tertuduh kekerasan sebagai “Kambing Hitam”. Ini diciptakan oleh sejarah
repression, dan serangkaian pembunuhan. Intimidation dan kekejaman adalah
makanan sehari-hari dari kehidupan rakyat. Pembela HAM dan rakyat muslim
Patani Fakta dan opini
|
[Siapa Dalang Pembunuhannya..?] March 8, 2011

Selatan Thai terus berhadapan dan mengatasi ketakutan, Intimidation dan


kekejaman ini.

Angkhana Neelaphaijit

Angkhana Neelaphaijit, Isteri Somchai.

Angkhana Neelaphaijit adalah istri dari pengacara HAM


Thailand, Somchai Neelaphaijit yang diculik oleh polis pada
12 March 2004. Pada saat itu, Somchai sedang membela
klien-kliennya yang menuduh polis yang melakukan
penyiksaan. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Angkhana telah menjadi garis
terdepan dari campaign untuk mendapatkan keadilan atas hilangnya Somchai. Pada
Januari 2006, seorang petugas polis di-verdict 3 tahun penjara, namun dalang dan
keseluruhan kejahatan tidak pernah di-identification. Ia telah mendapat ancaman
mati karena ia melanjutkan kerjanya. Ia menemui pejabat PBB baik di Thailand
maupun di luar negeri untuk mengejar case ini.

Pada hari perempuan internasional di tahun 2006, ia mendapat penghargaan dari


Commission Thailand sebagai “seorang pembela HAM perempuan luar biasa”. Pada
11 Maret 2006, ia mendapat The 2nd Asian Human Rights Defender Award dari
AHRC atas nama suaminya, yang juga mendapat pengakuan atas kerja Anghkhana
sejak hilangnya suaminya 2 tahun lalu. Anghkhana saat ini menjadi inspiration dari
sekian banyak orang-orang di Thailand, sebagaimana juga di tingkat internasional.
Dalam melakukan kerjanya ia didukung oleh lima anaknya.   

Pada 30 Maret 2006 juga AHRC telah me-nomination-kan seorang istri pembela
HAM yang luar biasa untuk menerima penghargaan ternama, Gwangju Prize for
Human Rights tahun 2006, diberikan oleh May 18 Memorial Foundation, Korea.

Demikian kehilangan Somchai, Hakim Elizabeth Evatt, anggota International


Commission of Jurists yang bermarkas di Jenewa, Swiis. Ia berharap case ini bisa
segera dituntaskan. Sebelumnya, banyak kalangan yang khawatir case ini akan
semakin memperparah aksi kekerasan di Thailand Selatan.
 

Patani Fakta dan opini


|

You might also like