Professional Documents
Culture Documents
] March 8, 2011
Haji Sulong
Surin Pitsuwan dapat menjelaskan tentang latar belakang pendidikan Haji Sulong
ketika berada di Makkah bahwa:
Seperti kebanyakan ulama Asia Tenggara, Haji Sulong mula-mula masuk sebuah
sekolah menegah Indonesia yang terkenal, yang didirikan bagi pelajar-pelajar yang
berbahasa Melayu di dekat Ka’bah, di Masjid Haram, yang diberi nama Dar al-Ulum.
Di sini diberikan pelajaran mengenai ilmu-limu tradisional seperti : Tafsir Al-Quran,
Hadits, asas-asas ilmu hukum, dan tata bahasa Arab. Haji Sulong bergabung
dengan lingkaran-lingkaran scholastic yang berbahasa Melayu di Masjid Haram,
dimana dia menjadi seorang rector yunior mengenai hukum Islam mazhab Syafi’e.
Pada tahun 1927, ia berkenalan dengan gagasan-gagasan pembaharu dari
Jamaluddin al-Afghani dan Muhhammad Abduh selama tiga tahun belajar di Makkah,
ketika ia mendapat kesemapatan untuk bergaul dari beberapa ulama dari Mesir. Dari
pengalamannya di Makkah dan pergaulannya dengan ulama-ulama lain yang
berbahasa Melayu yang juga mulai menyadari potensi dan kemungkinan Islam
sebagai sesuatu kekuatan politik, Haji Sulong menupuk suatu keyakinan yang
semakin kuat terhadap keterlibatan politik dan aktivis social (Surin Pitsuwan,
1989,114).
Haji Sulong
Hasil kesepakatan Memorandum ini berisi rencana tujuh yang dikenal dengan tututan
“Tujuh Pasal” dari gagasan politik Haji Sulong dalam upaya mempertahankan
kemandirian dan kemurnian Islam di Patani. Tujuh tuntutan ini yang nantinya dikenal
dengan nama "Tujuh Tuntutan Haji Sulong".
Dengan terdapat beberapa alasan pada Haji Sulong bahwa sebagian orang Melayu
keberatan karena bahasa Thailand bukan bahasa ibu mereka; jika mereka belajar
agama Buddha maka pelajaran agama Islam akan terbengkalai. Dengan alasan
modernization pendidikan, pemerintah Thailand waktu itu tidak menanggapi aspirasi
ini.
kekuasaan mereka. Tuntutan mereka wajar mengigat kenyataan bahwa tuntutan itu
didasarkan atas penderitaan-penderitaan yang nyata yang tidak dapat dikurangi
dibawah struktur kekuasaan yang ada.
Haji Sulong tidak menginginkan pembentukan sebuah negara merdeka, hanya agar
sebuah wilayah selatan dapat mempertahankan identitas serta sifat-sifat khasnya.
Keinginan ini seolah menjadi syarat minimal yang harus terpenuhi karena golongan
Melayu-Islam akan tetap mengupayakan kelangsungan cara hidup tradisionalnya
serta menjaga kemurnian agama Islam yang mereka anut.
Semula, ada optimism dalam benak Haji Sulong mengenai tuntutan-tuntutan ini agar
dapat dipertimbangkan oleh Bangkok, meski tidak seluruhnya. Perdana Menteri Pridi
yang diketahui terpengaruh dengan bentuk federalism Switzerland, diyakini bersedia
memberikan otonomi kebudayaan bagi etnik Melayu dalam lingkungan bangsa Thai.
"Pridi lah yang oleh Haji Sulong sebagai pemimpin de factor kepada community
Muslim, begitu diharapkan untuk memberikan dokongan politik kepada perjuangan
untuk memperoleh otonomi politik".
Sayangnya harapan-harapan ini segera buyar dan gone ketika Phibul kembali
berkuasa pada tanggal 8 November 1947, tidak lama setelah memorandum
diserahkan. Meski Pridi telah pergi, Haji Sulong yang sudah terlibat dalam
perpolitikan, tidak dapat menghentikan langkahnya demi memperjuangkan otonomi
politik yang sudah berjalan. Belakangan, setelah peristiwa ini, beliau banyak terlibat
dengan YM Tengku Mahmud Muhyiddin, putera Raja Patani yang terakhir, di
Kelantan, dan ini juga yang menjadi sebab bagi penangkapan kali pertama Haji
Sulong pada hari Jum'at tanggal 16 Januari 1948.
Setelah Phibul** berkuasa, dalam hal hubungan Memorandum berisi rencana tujuh
perkara ini, pemerintah juga tidak bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan itu, dengan
pertimbangan bahwa tuntutan-tuntutan itu terlalu melanggar kekuasaan pusat dan
dari sisi ekonomi terlalu mahal.
Haji Sulong dibebaskan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1952. Selama
dalam tahanan di Ligor, beliau menulis sebuah karya yang berjudul “Gugusan
Chahaya Keselamatan” yang kemudian diterbitkan oleh anaknya, Haji Mohd Amin
pada tahun 1958, tetapi apa dayanya pemerintah segera dilarang – penerbitan dan
peredaran buku tersebut – oleh kerajaan Thai. Haji Sulong dalam bukunya “Gugusan
Cahaya Keselamatan” menjelas bahwa, rakyat ketika itu di tindas dengan kejam,
sesuatu yang tidak di sukai pemerintah Siam dituduh melakukan pelanggaran
undang kemudian ditahan, di hukum dan dibunuh. Tragedy bukan hanya menimpa
atas beberapa orang saja namun ratusana jiwa di daerah Patani (Chalermkiat
Khutongpej, 1995, 29). Setelah dibebaskan, Haji Sulong kembali ke Patani dan
meneruskan pekerjaan awalnya yaitu menjadi "Tok Guru" dengan mengajar di
pondok pesantren dan juga dari kalangan masyarakat (Ahmad Fathi Al-Fathoni,
1994, 92).
Setelah dua tahun dibebaskan, pada tanggal 13 Agus 1954, Haji Sulong ke
Songgora di jemput dari Gebenur Songgora untuk di intograsi oleh pihak kepolisian
atas nama-nama yang tercantum dalam surat perintah dari pihak kepolisian di
Songgora itu, yaitu Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas,
dan Ahmad To,mina bin Haji Sulong anak kandung Haji Sulong sendiri. Menurut
surat perintah Gebenur Songgora, Ahmad To,mina tidak tercantum dalam daftar
pihak kepolisian di Songgora, keikutsertaan ayahnya ke Songgora dalam upaya
menterjemah bahasa Thai ke dalam bahsa Melayu dan bahasa Melayu ke dalam
bahasa Thai, dengan karena Haji Sulong tidak bisa mengerti dan berbicara dalam
bahasa Thai.
Setelah di intograsi oleh pihak kepolisian mereka berempat telah di izinkan untuk
pulang ke kampung halaman mereka masing-maising setelah ditandatangani oleh
Gebenur Songgora. Ternyata Haji Sulong, serta dua rakan dan Ahmad To,mina
anaknya Haji Sulong menghilangkan secara misterius. Sedangkan kepulangan
mereka semua di tunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Dalam dugaan
mesyarakat setempat bahwa mereka semua telah dihilangkan jejak dengan kelicikan
yang di mainkan oleh pihak kepolisian Songgora (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 2001,
151). Ini merupakan suatu pengakuan kegagalan di pihak pemerintah
(Pitsuwan,Surin, Op.Cit.127). Ada teori yang mendugakan bahwa keempat-empat
mereka “ditahan” di luar undang-undang setelah mereka berempat sudah
ditandatangani izin pulang ke Patani.
Menurut Hasin, mereka tidak mengetahui apa jenis bukusan karung yang tersisi di
dalam kelima-lima karung tersebut. Mereka dapat mendegar gosib kehilangan Tok
Guru (Haji Sulong) setelah tiba mendarat, Hasin segera langsung “mencium” yang
berhubungan diantara peristiwa kehilangan Tok Guru yang berkaitan dengan karung
yang telah mereka campakan pada malam hari tersebut di pantai Senggora yang
berdekatan dengan pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) pada malam
Sabtu 13 Agus 1954 (Ismail Che’Daud, 1988, 355-357). Terdapat empat karung yang
diyakinkan empat mayat rombongan Tok Guru dan satu isi karung disebutkan aktivis
komunis yang berbangsa Cina.
Pada peristiwa ini, keluarga Haji Sulong mengundang Hasin dan memberi
perlindungan untuk menjadikan sebagai saksi dalam kasus kematian Tok Guru yang
akan mendakwa kepegadilan mahkamah. Akan tetapi, sebelum Hasin dan
keluarganga Haji Sulong menutut kasus “dihilangkan” Tok Guru ke pengadilan, Hasin
telah pun terbunuh oleh orang tanpa diketahui. Pembenuhan Hasin berlaku seketika
mereka keluar dari rumah berlindung untuk pulang ke rumah mereka dalam upaya
ketemu isteri dan anaknya di Panarek.
Demikian kasus “dihilangkan” Haji Sulong, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang
rekannya tidak bisa membongkar ke pengadilan, dengan tanpa ada saksi dan
tanpanya ada kerjasama pihak kepolisian antar keluarga Tok Guru, lebih lagi kasus
“dihilangkan” ini menakutkan penduduk masyarakat yang sedia ingin menjadikan
saksi berikut. Akhirnya peristiwa “dihilangkan” Haji Sulong oleh aparat kepolisian
tidak bisa mengungkit ke mahkamah kepengadilan.
Sementara itu, tekanan internasional terhadap kerajaan Thai bertambah besar atas
kehilangan Haji Suloang, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang rekannya,
sehingga peristiwa Haji Sulong enyebab masalah Patani mendapat perhatian Liga
Arab dan PBB (Surin Pitsuwan, Op.Cit.,125).
Ahkirnya riwayat Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan
Ahmad To,mina (Anak Haji Sulong) semua mereka di bunuh dan jasad mereka juga
tanpa perkubaran atau makom, hanya nama Tok Guru dan tempat pembuagan jasad
mereka menjadi catatan sejarah hingga sekarang. Dengan terkenal nama tepat
arwah Haji Sulong itu di pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) almarhum
pada malam Sabtu 13 Agus 1954.
Where Is Somchai
Hasil diintervensi oleh KontraS (Comisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) dapat menjelaskan bahwa:
Sejak itu, keberadaannya tidak jelas lagi. Kemungkinan besar ia sudah mati, disiksa
dan dihilangkan secara paksa.
Pada tahun 1998, PBB meng- adoption Declaration Pembela HAM. Dokumen ini
mengakui bahwa problem-problem utama di dunia akan berakhir -khususnya di
negeri-negeri dengan regime yang repressive yang kurang peduli terhadap aturan
main dalam hukum- adalah kebutuhan untuk menyediakan perlindungan bagi orang-
orang yang berjuang untuk HAM.
Pembela HAM di seluruh kawasan Asia saat ini mendapatkan resiko atas
kehidupannya. Keputusan untuk membunuh pembela HAM dan perilaku
pembunuhan dilakukan secara rahasia. Hukum, pengadilan dan organisasi sipil tidak
dapat menghentikan pembunuhnya. Di banyak kasus, apparatus negara dan
lembaga negara terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Saat ini ketakutan yang intensive muncul di banyak negara bagian di Asia, dengan
kasus “dihilangkan”, rakyat-rakyat muslim di Thailand Selatan telah banyak menjadi
korban tertuduh kekerasan sebagai “Kambing Hitam”. Ini diciptakan oleh sejarah
repression, dan serangkaian pembunuhan. Intimidation dan kekejaman adalah
makanan sehari-hari dari kehidupan rakyat. Pembela HAM dan rakyat muslim
Patani Fakta dan opini
|
[Siapa Dalang Pembunuhannya..?] March 8, 2011
Angkhana Neelaphaijit
Pada 30 Maret 2006 juga AHRC telah me-nomination-kan seorang istri pembela
HAM yang luar biasa untuk menerima penghargaan ternama, Gwangju Prize for
Human Rights tahun 2006, diberikan oleh May 18 Memorial Foundation, Korea.