Professional Documents
Culture Documents
1. PENDAHULUAN
2. PERKEMBANGAN HISTORIS
3. TINJAUAN TEORITIS
4. FUNGSI KOMITE AUDIT
5. FORMAT DAN SARANA
6. EFEKTIFITAS KOMITE AUDIT
7. KOMITE AUDIT DI INDONESIA : SEBUAH PARADIGMA BARU
PENDAHULUAN
PERKEMBANGAN HISTORIS
The auditors and Mr. Deloitte attended the committee and explained the
varius matters connected with the finance and other depertements of the railway,
which explanations were highly satisfactory.
The committee consider the auditors have performed their arduous duties
with great care and intelligence and therefore confidently recommend that they
be continued in office.
Dewasa ini, komite audit telah beroperasi sebagai bagian organisasi pada
berbagai perusahaan besar di Amerika Serikat. Berdasarkan studi yang
dilakukan oleh Korn / Ferry International dalam tahun 1989, sekitar 98 persen
dari perusahaan besar (sebagian bukan perusahaan yang go public) yang
disurvei ternyata telah memiliki komite audit [Sommer, 1991]. Tampaknya
keberadaan komite audit telah diakui sebagai slah satu kutub dari mekanisme
akuntabilitas perusahaan (corporate accontability) di lingkungan pasar bisnis
Amerika Serikat.
Dua subkomite yang dibentuk oleh kongres Amerika Serikat untuk menilai
kinerja pasar modal dan perlindungan terhadap para pemegang saham, yakni
moss subcommittee dan metcalf subcommittee, menyampaikan laporannya
dalam bulan september dan desember 1976, secara berturt-turut. Kedua laporan
tersebut ternyata ikut mendesak SEC agar menetapkan komite audit sebagai
keharusan bagi setiap perusahaan yang go public. Desakan tersebut
ditindaklanjuti oleh SEC dengan meminta AICPA untuk mengharuskan para
anggotanya menetapkan syarat bahwa penunjukan mereka harus oleh suatu
komite audit. Kendati pun AICPA mendukung permintaan SEC tersebut, AICPA
tetap tidak mendapat dasar yang kuat untuk mengatur keberadaan komite audit
ini dalam suatu standar audit agar menjadi persyaratan dalam menerima
penugasan audit (audit engagement).
TINJAUAN TEORITIS
Teori mengenai kepemilikan dan pendelegasian pengelolaan (the
contracting theory) memandang keberadaan suatu perusahaan sebagai hasil
dari quasi-perjanjian (a nexus of contracts) antar berbagai pihak, antara lain
pengelola, pemegang saham, kreditur, pemerintah, serta masyarakat (Watts &
Zimerman, 1986). Menurut teori ini, hubungan antara pihak-pihak tersebut pada
hakekatnya sukar tercipta karena kepentingannya yang saling bertentangan.
Konflik di antara manajemen dan pemegang saham, misalnya, terjadi karena
pemegang saham di satu pihak berkehendak agar manajemen bertindak sesuai
dengan kepentingannya, namun tidak akan mampu mengamati tindakan
manajemen terus-menerus. Di lain pihak, manajemen memiliki peluang untuk
memuaskan kepentingannya tanpa diamati langsung oleh pemilik. Walaupun
Fama (1980) berteori bahwa konflik tersebut dapat dieliminasi melalui pasar
tenaga kerja yang mampu memberi label harga bagi para manajer menurut
kualitas dan tingkat kepercayaan yang diberikan kepadanya, teori ini banyak
ditepiskarena friksi dalam pasar tenaga kerja yang tidak seratus persen mampu
mengungkapkan secara obyektif karakteristik seorang manajer.
Menurut contracting theory yang juga dikenal sebagai teori prinsipal dan
agen (the principal-agent theory), hubungan antar pihak yang memiliki
kepentingan berbeda tersebut berhasil diwujudkan dengan optimal, melelui
penciptaan beberapa mekanisme yang mampu meredam tindakan manajemen
untuk merugikan pemilik, dan mendorong pemilik untuk mempercayakan sumber
daya miliknya ke tangan manajemen. Menurut pengakuan teori ini, mekanisme
tersebut terwujud dalam akuntansi serta auditing.
Baik akuntansi maupun auditing memiliki nilai pasar yang strategis dalam
membantu terciptanya hubungan yang optimal dan ekonomis dengan
pengorbanan atau costs yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi pasar.
Tanpa akuntansi dan auditing, tetapi nilai pasar yang dihasilkan dari interaksi
kedua pihak tersebut pasar akan mencerminkan potongan harga atas risiko yang
tidak bisa dipantau. Kredit bank akan membenahi bukan yang lebih tinggi karena
alasan yang sama. Akibatnya, pasar tidak optimal.
Sebuah studi yang cukup penting dalam kaitan ini telah dipublisir hasilnya
oleh Kalbers dan Fogarty [1993]. Studi mereka ini berusaha menilai faktor-faktor
yang penting dalam keberhasilan dan efektifitas komite audit. Hasil olahan survei
tersebut mengungkapkan bahwa (1) kewenangan formal dan tertulis bagi komite
audit, (2) kerjasama manajemen, dan (3) kualitas atau kompetisi personil dari
komite merupakan faktor yang dominan dalam keberhasilan komite audit dalam
mengemban tugasnya.
- Independensi
- Reputasi (termasuk mengenai kasus-kasus litigasi yang yang pernah
dialami)
- Jenis-jenis servis yang dapat dilakukan
- Personil yang akan ditugaskan
- Spesialisasi dan kelas perusahaan yang biasa dilayani
- Lokasi pelayanan (jumlah cabang atau perwakilan)
- Kendali mutu (telaahan sejawat atau peer review, dsb)
- Taksiran biaya (fees)
Tugas lain yang dibebankan pada komite audit bisa pula meliputi upaya
pengidentifikasian masalah-masalah yang memerlukan tindakan khusus atau
investigasi lebih jauh. Bahkan, kegiatan investigasi dan pendalaman itu sendiri
barangkali diserahkan pada komite itu sendiri. Masalah-masalah dimaksudk
mungkin bisa berupa investigasi atas piutang macet yang makin membengkak,
keamanan sistem pengolahan data, efisiensi dalam proses produksi, kewajaran
dalam transfer pricing, evaluasi akibat penerapan metode akuntansi tertentu,
akibat penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat perusahaan, atau akibat
rencana merger, akuisisi, dan divestitur. Komite audit yang beranggotakan
orang-orang yang kompeten dan independen dipandang sangat tepat untuk
melakukan tugas-tugas khusus seperti itu.
Kompetensi
Dari survei yang pernah dilakukan, beberapa bidang kompetensi lain juga
dipandang perlu dimiliki oleh anggota komite audit. Bidang pengetahuan lain
yang penting dan dominan manfaatnya menurut studi yang dilakukan Fried dan
Schiff (1976) adalah perihal keuangan dan perbankan. Pengetahuan di bidang
hukum juga dianggap penting oleh beberapa pihak. Dalam kenyataannya, selain
datang dari kalangan bisnis sebagai anggota komite audit berasal dari
lingkungan akademis.
Pada salah satu editorial Journal of Accounting yang terbit dalah tahun
1953 ditegaskan bahwa kesukseskan komite audit akan ditentukan pula oleh
pola hubungannya dan komunikasinya dengan unsur-unsur tersebut: “there
seems to be no doubt that a direct channel of communications between the
board (committee) and [external dan internal] auditors is very much to the
advantage of all concerned2 ( Carey, 1953, p.680 ). kegiatan komite audit
biasanya dilakukan dalam bentuk pengamatan, diskusi, dan analisis laporan.
Staf dewan komisaris umumnya dapat merangkap sebagai staf komite audit.
Hasil-hasil pengamatan dan analisis terhadap sistem pengendalian manajemen,
auditor eksternal dan internal selanjutnya dikomunikasikan dan dibahas langsung
dengan pihak manajemen serta dewan komisaris. Hal itu perlu agar masalah-
masalah penting segera menjadi perhatian bersama untuk ditindaklanjuti.
Tanggungjawab Hukum
Hingga saat ini masih tetap dipertanyakan tingkat dan luas tanggung
jawab hukum dari komite audit. Tanggung jawab hukum komite audit menjadi
semakin penting dalam masyarakat di mana perlindungan terhadap pemakai
informasi sudah sangat tinggi. Dalam undang-undang perseroan (corporate
acts), tanggung jawab manajemen, dewan komisaris, dan pemegang saham
biasanya telah diatur dengan jelas. Namun, karena keberadaan komite audit
umumnya bersifat voluntary, fungsi dan tanggungjawabnya hanya diatur dalam
akta atau bylaws perusahaan. Menurut hasil suatu survei, sekalipun tanggung
jawab hukum komite audit belum jelas ternyata terdapat banyak orang yang
menghindar untuk menjadi anggota komite audit karena takut terhadap
konsekuensi hukum yang bisa terjadi atas mereka, khususnya apabila terjadi
kegagalan bisnis dan kebangkrutan perusahaan.
EFEKTIFITAS KOMITE AUDIT
Walaupun komite audit telah diakui keberadaanya di hampir semua
perusahaan di negara maju, hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai
tolok ukur keberhasilan atau efektifitas suatu komite audit. Sementara belum
terdapat hasil pembuktian empiris mengenai hal ini, Sommer (1991)
berpandangan bahwa komite audit di banyak perusahaan masih belum
melakukan tugasnya dengan baik. Menurut Sommer, banyak komite audit yang
hanya sekedar melakukan tugas-tugas rutin, seperti review laporan dan seleksi
auditor eksternal, dan tidak mempertanyakan secara kritis dan menganalisis
secara dalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggung jawab oleh
manajemen. Penyebabnya diduga bukan saja karena banyak dari antara
mereka tidak memiliki kompetensi dan independensi yang memadai, tetapi juga
karena banyak yang belum memahami peran pokoknya.