You are on page 1of 18

PERANAN KOMITE AUDIT DALAM PENGELOLAAN

PERUSAHAAN : ULASAN HITORIS, TEORI, PRAKTIK,


DAN PERSPEKTIF
Oleh Dr. Hekinus Manao

1. PENDAHULUAN
2. PERKEMBANGAN HISTORIS
3. TINJAUAN TEORITIS
4. FUNGSI KOMITE AUDIT
5. FORMAT DAN SARANA
6. EFEKTIFITAS KOMITE AUDIT
7. KOMITE AUDIT DI INDONESIA : SEBUAH PARADIGMA BARU

PENDAHULUAN

Sebuah fenomena baru dalam sistem pengelolaan perusahaan (corporate


governance) belum lama ini diperkenalkan, yakni dengan dianjurkanya
pembentukan suatu komite yang disebut komite audit (audit committees) di
lingkungan masing-masing perusahaan. Gagasan pembentukan komite ini
diperkenalkan dan dianjurkan oleh beberapa tokoh ekonomi dan bisnis yang
secara khusus berkepentingan dengan efektifitas sistem pengendalian pada
badan-badan usaha di Indonesia. Di antara penganjur tersebut adalah Direksi
Bank Indonesia yang mewajibkan bank-bank untuk membentuk dengan segera
komite dimaksud sebagaimana diatur dalam SK Direksi Bank Indonesia no. 27 /
163 / KEP / DIR tanggal 31 maret 1995.

Dalam dua tiga tahun ini, beberapa perusahaan nasional telah


membentuk komite audit. Ada yang membentuknya untuk memenuhi ketentuan
yang berlaku (mandatory). Ada pula yang membentuknya atas dasar sukarela
(voluntary). Diantara perusahaan yang telah memiliki komite audit adalah PT
Telkom, Ficorinvest, LIPPO Bank, dan Krakatau Steel.

Sebagai instrument baru dalam sistem pengendalian organisasi


perusahaan, tampaknya masih perlu upaya yang banyak untuk memperjelas
fungsi dan aspek-aspek teknis dari komite dimaksud. Upaya tersebut perlu agar
dapat dipertimbangkan manfaat maupun kerugian yang dapat timbul dengan
adanya komite audit. Penjelasan yang memadai diperlukan sebelum mengambil
keputusan tentang apakah komite audit perlu dibentuk atau tidak. Bagi
perusahaan, kehadiran komite audit – walaupun dapat menjadi sarana bagi
peningkatan efektivitas sistem pengendalian sehingga dapat mempengaruhi nilai
perusahaan – juga akan mengakibatkan pertambahan biaya. Bagi para akuntan
independen, pemahaman yang memadai tentang komite audit dibutuhkan agar
bisa menilai dan menata kembali hubungannya dengan perusahaan-perusahaan
yang menjadi kliennya atau yang akan menjadi kliennya. Bagi auditor intern,
keberadaan komite audit akan mempengaruhi mekanisme kegiatannya,
termasuk tanggungjawabnya dalam penyajian laporan audit. Bagi profesi
akuntansi, elemen sistem pengendalian dalam wujud komite dimaksud
merupakan tantangan dan sekaligus sebagai peluang yang baru. Sementara
bagi pihak-pihak lain, seperti pemilik, pemegang saham, dan kreditur, eksistensi
komite audit dapat memberi nilai tersendiri.

Makalah ini dipersiapkan dengan tujuan untuk memberi pemaparan


tentang pokok-pokok fungsi komite audit dan peranannya terhadap usaha
peningkatan efektifitas pengendalian organisasi perusahaan, serta memberi
penjelasan tentang beberapa aspek teknis dari keberadaan komite itu sendiri.
Dalam penyajian ini, akan dipaparkan terlebih dahulu dimensi historis dari komite
audit secara singkat. Paparan tersebut difokuskan pada riwayat
perkembangannya di Amerika Serikat di mana gagasan ini bermekar, sekalipun
ide orisinilnya datang dari tempat lain. Pada bagian berikutnya akan diadakan
tinjauan teoretis yang mendorong (to justify) keberadaan komite audit dalam
kancah pengelolaan perusahaan. Kemudian akan didiskusikan fungsi dan
peranan komite audit yang disusul oleh uraian teknis mengenai faktor-faktor
yang perlu dalam menunjang keberhasilan suatu komite audit. Uraian tersebut
akan mendiskusikan pula hubungan antara komite dengan auditor independen,
auditor internal, serta dewan komisaris. Dalam bagian akhir, diskusi akan
diarahkan pada evaluasi serta harapan yang diinginkan dari fenomenon baru ini,
khususnya dalam meningkatkan efektifitas fungsi pengendalian di lingkungan
badan-badan usaha atau organisasi niralaba di Indonesia.

PERKEMBANGAN HISTORIS

Walaupun komite audit baru diperkenalkan di Indonesia, sesungguhnya


komite ini bukan suatu barang baru. Perhatikan misalnya contoh laporan nyata
berikut ini :

Great Western Railway


Report of the Audit Committee

The auditors and Mr. Deloitte attended the committee and explained the
varius matters connected with the finance and other depertements of the railway,
which explanations were highly satisfactory.

The committee consider the auditors have performed their arduous duties
with great care and intelligence and therefore confidently recommend that they
be continued in office.

Paddington station Benyamin lancaster


22 nd februari, 1872 chairman
Contoh laporan di atas menunjukkan bahwa komite audit telah eksis lebih
seratus tahun lalu dan tugasnya antara lain adalah mewakili pemegang saham
untuk menilai pekerjaan auditor independen.

Sekitar pertengahan abad sembilan belas, gagasan komite audit ini


memang telah ada. Beberapa perusahaan di U.K. telah mengaktifkan komite
tersebut di lingkungannya. Anggotanya dipilih dari antara pemegang saham yang
dipandang memiliki pengetahuan tentang akuntansi dan auditing. Tujuan adalah
dalam rangka menjembatani pemegang saham dengan manajemen, serta
dengan auditor eksternal.

Dewasa ini, komite audit telah beroperasi sebagai bagian organisasi pada
berbagai perusahaan besar di Amerika Serikat. Berdasarkan studi yang
dilakukan oleh Korn / Ferry International dalam tahun 1989, sekitar 98 persen
dari perusahaan besar (sebagian bukan perusahaan yang go public) yang
disurvei ternyata telah memiliki komite audit [Sommer, 1991]. Tampaknya
keberadaan komite audit telah diakui sebagai slah satu kutub dari mekanisme
akuntabilitas perusahaan (corporate accontability) di lingkungan pasar bisnis
Amerika Serikat.

Birkett [1986] memberikan ulasan historis bagaimana komite audit


mengalami perkembangan sejak tahun 1930-an hingga pertengahan 1980-an.
Pembentukan komite audit ternyata telah banyak dipengaruhi oleh peristiwa-
peristiwa penyelewengan yang menodai citra pengendalian badan usaha di
bagian utara bumi Amerika. Komite audit diaktifkan sebagai jembatan
komunikasi antara auditor independen dengan para komisaris serta dengan
direksi dalam rangka mencegah terulangnya penyelewengan seperti dalam
kasus McKesson & Robins (1937-1938). Laporan lengkap mengenai kasus
tersebut yang dirampungkan dan dipublikasikan oleh bursa efek new york
(NYSE) dalam tahun 1939 sekaligus merekomendasikan pembentukan komite
audit yang diberi wewenang menunjuk auditor independen. Komite tersebut
merupakan bagian dari dewan komisaris dan tidak boleh merangkap sebagai
pejabat perusahaan.

Laporan yang disampaikan oleh NYSE tersebut mendapat tanggapan


positif dari badan pengawas pasar modal di AS, the securities exchange
commission (SEC), yang menerbitkan accounting series release no 19 dalam
tahun 1940. ASR 19 tersebut menyarankan perusahaan-perusahaan yang
masuk pasar modal (go public) untuk menugaskan komite tertentu yang terdiri
dari pihak-pihak yang bukan pejabat perusahaan (non-officer committee) untuk
penujukan auditor eksternal serta pengawasan hubungan kontrak antara
perusahaan dengan auditor tersebut. Rekomendasi SEC tersebut kemudian
mendapat respons positif dari beberapa perusahaan yang mulai menciptakan
komite dalam organisasi perusahaannya.
Setelah itu tidak terdapat perkembangan penting dalam riwayat komite
audit hingga tahun 1960-an diinjak ketika kasus-kasus penyelewengan mulai
membiak kembali. Kasus BarChris dalam tahun 1968 misalnya, telah
menyadarkan dunia bisnis untuk menghidupkan kembali gagasan audit setelah
mengalami nasib “terlupakan” selama hampir dua puluh tahun. Tekanan-tekanan
makin intensif untuk menetapkan kewenangan penunjukan serta pengawasan
atas kegiatan auditor independen serta tanggungjawab atas kewajaran dari
laporan keuangan perusahaan oleh suatu komite dari dewan komisaris (outside
directors). Independensi dari komite tersebut juga mendapat perhatian pada
masa itu.

Dalam tahun 1967, badan eksekutif organisasi profesi akuntan di Amerika


Serikat (American Institute of CPAs) menerbitkan sebuah statemen yang
merekomendasikan agar setiap perusahaan yang go public membentuk suatu
komite yang terdiri dari orang-orang yang bukan pejabat perusahaan yang diberi
kewenangan menunjuk auditor independen dan mengikuti terus-menerus
pelaksanaan kegiatan dari auditor tersebut. Menurut statemen AICPA tersebut,
komite audit dimaksud perlu diciptakan agar sanggup menjadi kekuatan
pendukung bagi pengendalian internal secara menyeluruh serta kemampuan dan
struktur financial perusahaan. Dengan demikian, keberadaan komite audit akan
memberi nilai tambah terutama bagi para pemegang saham karena obyektifitas
laporan keuangan perusahaan semakin ditingkatkan. Menurut AICPA, kehadiran
komite akan menjadi “(a) further step in the continuing improvement of corporate
financial reporting to the investing public” (AICPA, 1967, p.10).

Profesor Mautz dan Newman menerbitkan sebuah laporan riset dalam


tahun 1970 mengenai berbagai hal sekaitan dengan komite audit. Dalam laporan
ini diungkapkan bahwa hanya 121 dari 385 perusahaan yang disurvei telah
memiliki komite audit. Dari yang seratus dua puluh satu itu, 40 persen baru saja
membentuk komite tersebut sekitar tahun 1960-an. Barangkali karena
memperoleh informasi dari studi yang dilakukan Mautz & Newmann [1970]
tersebut, SEC mengulangi kembali rekomendasinya dengan menerbitkan ASR
no. 126 yang terbit juli 1972, SEC menekankan kembali tangungjawab komite
audit untuk memperkuat independensi auditor ekstern yang mengaudit laporan
keuangan perusahaan.

Dalam rentetan perkembangan ini, pasar modal utama Amerika Serikat di


New York, yakni New York Stok Exchange (NYSE), menerbitkan pernyataan
dalam tahun 1973 yang mendesak pembentukan komite audit yang terdiri dari 3
hingga 5 orang anggota oleh setiap perusahaan yang terdaftar pada NYSE. Per
30 juni 1978, setiap perusahaan domestik yang terdaftar di bursa NYSE
disyaratkan untuk memiliki komite audit. Dengan berbagai perkembangan
penting tersebut, Mautz dan Newmann memutakhirkan hasil studinya melalui
survei ulang yang dilaporkan tahun 1977. ternyata, hasil studi ulang tersebut
menunjukkan perkembangan jumlah perusahaan yang memiliki komite audit dari
hanya 32 persen dalam tahun 1970 menjadi 88 persen dalam tahun tersebut. Ini
jelas merupakan lompatan yang besar dalam kurun waktu hanya sekitar tujuh
tahun.

Dua subkomite yang dibentuk oleh kongres Amerika Serikat untuk menilai
kinerja pasar modal dan perlindungan terhadap para pemegang saham, yakni
moss subcommittee dan metcalf subcommittee, menyampaikan laporannya
dalam bulan september dan desember 1976, secara berturt-turut. Kedua laporan
tersebut ternyata ikut mendesak SEC agar menetapkan komite audit sebagai
keharusan bagi setiap perusahaan yang go public. Desakan tersebut
ditindaklanjuti oleh SEC dengan meminta AICPA untuk mengharuskan para
anggotanya menetapkan syarat bahwa penunjukan mereka harus oleh suatu
komite audit. Kendati pun AICPA mendukung permintaan SEC tersebut, AICPA
tetap tidak mendapat dasar yang kuat untuk mengatur keberadaan komite audit
ini dalam suatu standar audit agar menjadi persyaratan dalam menerima
penugasan audit (audit engagement).

Dalam periode 1070-an, berbagai kasus perdata dan pidana telah


melibatkan profesi audit, seperti kasus Penn Central (1972), Equity Funding
(1974), Mattel (1974), dan Kllearn Properties (1977). Kejadian itu telah semakin
mendorong tuntutan masyarakat terhadap independensi auditor serta
peningkatan peran komite audit dalam pengendalian perusahaan. Bahkan
beberapa anggota kongres Amerika Serikat menjadi semakin vokal untuk
mengefektifkan komite audit di perusahaan- perusahaan yang go public. Senator
Church, Clark, dan Peaoson bergabung mengajukan rancangan undang-undang
(senate bill) no. 3379 dalam bulan mei 1978. begitu pula senatorMetzenbaum
mengajukan rancangan undang-undang berjudul “protection of shareholder right
act of 1980” dalam bulan april 1980. kedua rancangan undang-undang tersebut
menjabarkan tanggungjawab dari komite audit perusahaan. Undang-undang anti
korupsi di luar negeri atau the foright corrupt practices act (FCPA) yang disahkan
tahun 1977 telah pula menjadi dorongan bagi perusahaan-perusahaan untuk
membentuk suatu komite audit (eichenseher & shields, 1985).

Organisasi pedagang sekuritis melalui loket (over the counter) yang


dikenal sebagai NASDAQ juga telah mengikuti jejak NYSE sejak tahun 1989
yang mengharuskan perusahaan peserta NASDAQ untuk memiliki komite audit
dengan anggota mayoritas yang terdiri dari orang-orang yang bukan pejabat
perusahaan. Bursa sekuritis AMEX (the american stock exchange), walaupun
tidak menjadikan komite audit sebagai syatar, mendesak para anggota bursanya
untuk memiliki komite tesebut.

Dalam pertengahan tahun 1980-an, enam orang pakar di bidang


pengendalian bisnis perusahaan di Amerika Serikat yang secara sukarela
bergabung dalam suatu panitia yang disebut the national commission on
fraudulent financial reporting (NCFFR), dan di ketuai oleh James C. Treadway
(seorang eksekutif bisnis sekuritis kondang dan mantan anggota SEC),
mengeluarkan laporan pada tahun 1987 yang mengajukan sebuah daftar tugas
yang perlu dilakukan oleh perusahaan, SEC, akuntan publik, lembaga
pendidikan, dan para lembaga penyusun standar akuntansi. Panitia yang dikenal
sebagai Treadway Commission itu dimaksudkan untuk merancang langkah-
langkah yang perlu dalam menangkal berbagai penyelewengan dan kecurangan.
Panitia itu didukung oleh para organisasi pemerhati masalah-masalah bisnis,
keuangan, pasar modal, dan akuntansi. laporan panitia tersebut serta langkah-
langkah lebih lanjut yang dibuat para organisasi pendukung yang disebut COSO
(Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission) selalu
menunjuk unsur komite audit sebagai salah satu perhatian untuk ditingkatkan
peranannya.

Salah satu yang menarik dari perkembangan tersebut adalah kenyataan


bahwa pada hampir semua perusahaan di Amerika Serikat kini telah terdapat
komite audit, tidak terdapat satu pun ketentuan hukum (yang mengikat) bahwa
keberadaan tersebut adalah keharusan. Rekomendasi dari kongres, SEC, dan
AICPA, maupun persyaratan yang ditetapkan oleh NYSE bukanlah produk
hukum, dan sifatnya fakultatif. Kecuali di negara bagian Connecticut yang
mewajibkan perusahaan-perusahaan tertentu untuk memiliki komite audit, tak
ada satu negara bagian manapun yang menetapkan dalam undang-undang
perseroan terbatasnya bahwa komite audit merupakan keharusan. Oleh karena
itu, pengakuan perlunya komite audit dapat dipandang sebagai persyaratan
pasar (required by the market), bukan karena diharuskan secara hukum
(required by law). Tinjauan historis ini menunjukkan bahwa keberadaan komite
audit menjadi semakin penting terutama untuk memulihkan dan mempertinggi
daya tahan perusahaan setelah berbagai kasus kecurangan terjadi. Tujuan
pembentukan komite audit ini umumnya dimaksudkan untuk mempertahankan
kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme akuntansi, auditing, serta sistem
pengendalian yang lain, sehingga unsur-unsur pengendalian tersebut tetap
optimal dalam sistem ekonomi pasar.

TINJAUAN TEORITIS
Teori mengenai kepemilikan dan pendelegasian pengelolaan (the
contracting theory) memandang keberadaan suatu perusahaan sebagai hasil
dari quasi-perjanjian (a nexus of contracts) antar berbagai pihak, antara lain
pengelola, pemegang saham, kreditur, pemerintah, serta masyarakat (Watts &
Zimerman, 1986). Menurut teori ini, hubungan antara pihak-pihak tersebut pada
hakekatnya sukar tercipta karena kepentingannya yang saling bertentangan.
Konflik di antara manajemen dan pemegang saham, misalnya, terjadi karena
pemegang saham di satu pihak berkehendak agar manajemen bertindak sesuai
dengan kepentingannya, namun tidak akan mampu mengamati tindakan
manajemen terus-menerus. Di lain pihak, manajemen memiliki peluang untuk
memuaskan kepentingannya tanpa diamati langsung oleh pemilik. Walaupun
Fama (1980) berteori bahwa konflik tersebut dapat dieliminasi melalui pasar
tenaga kerja yang mampu memberi label harga bagi para manajer menurut
kualitas dan tingkat kepercayaan yang diberikan kepadanya, teori ini banyak
ditepiskarena friksi dalam pasar tenaga kerja yang tidak seratus persen mampu
mengungkapkan secara obyektif karakteristik seorang manajer.

Menurut contracting theory yang juga dikenal sebagai teori prinsipal dan
agen (the principal-agent theory), hubungan antar pihak yang memiliki
kepentingan berbeda tersebut berhasil diwujudkan dengan optimal, melelui
penciptaan beberapa mekanisme yang mampu meredam tindakan manajemen
untuk merugikan pemilik, dan mendorong pemilik untuk mempercayakan sumber
daya miliknya ke tangan manajemen. Menurut pengakuan teori ini, mekanisme
tersebut terwujud dalam akuntansi serta auditing.

Baik akuntansi maupun auditing memiliki nilai pasar yang strategis dalam
membantu terciptanya hubungan yang optimal dan ekonomis dengan
pengorbanan atau costs yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi pasar.
Tanpa akuntansi dan auditing, tetapi nilai pasar yang dihasilkan dari interaksi
kedua pihak tersebut pasar akan mencerminkan potongan harga atas risiko yang
tidak bisa dipantau. Kredit bank akan membenahi bukan yang lebih tinggi karena
alasan yang sama. Akibatnya, pasar tidak optimal.

Akuntansi serta auditing memang memiliki label harga. Harga itu


merupakan biaya pemantauan, atau the costs of monitoring, untuk mencapai
keyakinan bahwa hubungan tersebut tidak akan dirusakkan (abused) oleh setiap
pihak. Pihak-pihak yang berkepentingan bersedia membayar harga bagi
akuntansi maupun auditing, karena dinilai manfaat yang ditimbulkannya. Biaya
untuk itu menurut Jensen dan Meckling [1976] dikatakan sebagai biaya
keagenan (agency costs).

Selain itu, fungsi organisasi juga telah diterimasecara teoretis sebagai


bagian dari sistem pengendalian perusahaan yang menunjang terbantuknya
hubungan principal-agen yang optimal [Jensen & Meckling, 1976]. Salah satu
mekanisme organisasi yang dipadukan dengan mekanisme auditing telah
diwujudkan dalam keberadaan komite audit. Komite audit menurut pandangan
teoritis ini dapat diterima dalam ekonomi pasar karena menawarkan peran dalam
meredam dan menyelesaikan konflik atau kepentingan yang saling tabrakan di
antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam terbentuknya organisasi bisnis.

Dengan demikian, komite audit dapat dipandanng secara teoritis sebagai


wujud pemantauan (a monitoring mechanism) yang diharapkan dapat
mengoptimalkan agency costs. Hal ini mudah dipahami dalam konteks pemilikan
suatu perusahaan yang tersebar dalam jenjang sekuritas, mulai dari pemberi
kredit dagang ke pemilikan bagian pecahan saham yang diramu dalam
bentukreksa dana. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan semakin menjauh
dari pusat pengelolaan bisnis itu sendiri, sehingga mereka perlu menunjuk
orang-orang yang berkompeten untuk mewakili kepentingan mereka. Menurut
Fama [1980], keberadaan komisaris serta komite-komitenya merupakan lembaga
yang muncul dan tumbuh karena induksi permitaan pasar sehingga fungsi
manajemen di tingkat yang lebih tinggi dapat diamati dan dikomunikasikan
kepada pasar.

Haka dan Chalos [1990] mengemukakan bahwa terdapat tiga mekanisme


organisasi pemantauan yang penting dan eksis sebagai hasil induksi permintaan
pasar, yakni (i) dewan komisaris (nonmanager board of direktors), (ii) auditor
eksternal, dan (iii) auditor internal. Komite audit merupakan kepanjangan tangan
dari dewan komisaris. Komisaris dengan komite audit berfungsi sebagai arbitrase
di antara para manager, dan bertindak sebagai pelaku utama dalam
menjembatani para manajer tersebut dengan para pemilik (residual claimans)
[Fama & Jensen,1983].

Menurut konsep ini, fungsiutama komite audit adalah menjaga fungsi-


fungsi akuntansi, laporan keuangan, serta masalah-masalah finansial
perusahaan. Komite audit menjadi wakil dan kepanjangan tangan dewan
komisaris yang diharapkan melakukan kontak dan komunikasi langsung dengan
mereka yang melakukan kegiatan akuntansi dan auditing serta para manajer
keuangan serta operasi.

Ditinjau dari kacamata perusahaan, bukti empiris menunjukkan bahwa


banyak dari mereka telah merasakan manfaat komite audit dalam meningkatkan
independensi auditor ekstern. Menurut hasil survei tersebut, perusahaan tidak
ragu-ragu untuk mengeluarkan biaya dan sumber daya untuk kepentingan
tersebut [Mautz & Neary, 1979]. Dengan demikian, menurut pandangan ini
komite audit dapat mempertinggi nilai ekonomis dari penugasan auditor eksternal
karena independensinya lebih terjamin dan juga kualitas kerjanya akan lebih
baik.

Tetapi walaupun secara hipotesis kehadiran komite audit dapat memberi


pengaruh positif terhadap profesi auditing, hingga saat ini belum ada pengujian
secara empiris mengenai persepsi auditor terhadap keberadaan komite audit itu
sendiri. Studi yang telah banyak dilakukan mengenai hubungan antara komite
audit dengan akuntan independen umumnya masih bersifat deskriptif dan
terbatas pada peranan komite audit dalam penunjukan auditor independen,
seperti halnya studi yang dilakukan oleh Kunitake [1981], Lynn[1985]. Dan Cottel
& Rankin [1988]. Beberapa studi yang lain menyelidiki persepsi komite audit
tentang kualitas audit oleh auditor eksternal [Schroeder et al., 1986; Knapp,
1991]. Sebuah proposal studi yang bertujuan untuk menyelidiki pola komunikasi
antara komite audit dan akuntan independen telah dibahas dalam makalah yang
ditulis oleh Manao [1992].

Sepanjang menyangkut hubungan antara komite audit dengan auditor


internal, literatur yang tersedia umumnya masih bersifat deskriptif dan umumnya
dapat ditemukan dalam jurnal-jurnal profesi, seperti the internal auditor. Ulasan
akademis mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Fama & Jensen [1983], Aram
& Cowen [1983], dan Apostolou & Strawser [1990]. Dari literatur yang terbatas itu
dapat diperoleh kesimpulan bahwa keberadaan komite auditjuga telah ikut
memperkuat peranan auditing internal, khususnya karena mereka dituntut untuk
berkomunikasi langsung dan melaporkan kegiatannya pada komite tersebut.

Tinjauan, ulasan, dan studi empiris mengenai hubungan komite audit


dengan manajemen boleh dikatakan lebih angka lagi. Dari literatur yang ada,
sebuah laporan deskriptif dari sebuah survei telah dilakukan oleh Bacon (1983)
dalam Confence Board Report no. 914. laporan ini mengungkapkan gambaran
pesat yang dialami oleh komite audit hanya tempo dekade sejak pertengahan
tahun 1960-an.

Sebuah studi yang cukup penting dalam kaitan ini telah dipublisir hasilnya
oleh Kalbers dan Fogarty [1993]. Studi mereka ini berusaha menilai faktor-faktor
yang penting dalam keberhasilan dan efektifitas komite audit. Hasil olahan survei
tersebut mengungkapkan bahwa (1) kewenangan formal dan tertulis bagi komite
audit, (2) kerjasama manajemen, dan (3) kualitas atau kompetisi personil dari
komite merupakan faktor yang dominan dalam keberhasilan komite audit dalam
mengemban tugasnya.

Secara menyeluruh, tinjauan teoritis terhaddap komite audit di atas


memberi petunjuk bahwa keberadaan komite tersebut memang memiliki
landasan yang kuat apabila kekuatan atau pengaruh pasar dibiarkan bekerja.
Hanya saja, pengujian-pengujian empiris terhadap kaitan hipotesis yang
menunjang dukungan terhadap komite audit masih sangat terbatas sekali. Teori
belum mampu menjelaskan apakah tanpa desakan unsur regulator pasar seperti
SEC, pertumbuhan komite audit akan berlangsung seperti yang kita saksikan
selama ini di Amerika Serikat.

FUNGSI KOMITE AUDIT


Dewasa ini, keberadaan komite audit diantara perusahaan kelas domestik
sampai kelas dunia, khususnya di negara-negara yang ekonomi bisnisnya sudah
sedemikian pesat, telah diterima sebagai suatu bagian dari organisasi
perusahaan (corporate governance). Kehadiran komite audit ini telah
mendapatkan sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk para pengelola
pasar modal, pemerintah, masyarakat investor, profesi hukum, dan terutama dari
profesi auditing. Dukungan profesi auditing dapat terlihat misalnya dalam ikhtiar
mereka – terutama kantor-kantor akuntan publik yang besar (the big sixes) –
untuk menyediakan pedoman atau buku petunjuk mengenai bagaimana komite
audit harus berperan secara efektif. Di U.K. , sebuah proposal telah
dipresentasikan kepada parlemen (white paper, Cmnd. 7037) untuk tujuan yang
sama. Di Kanada,ketentuan mengenai perlunya komite audit ini bahkan telah
dimuat dalam undang-undang perseroan terbatasnya, the Business Corporation
Act (1975), yang berlaku di negara Ontario dan British Columbia. Dari uraian
perbandingan yang pernah dilakukan, tampaknya, fungsi dan peranan komite
audit di beberapa negara umumnya mengikuti pola perkembangan komite audit
di Amerika Serikat [AISG, 1977; Tricker, 1994.

Walaupun komite audit telah berkembang luas di kalangan organisasi


usaha di negara-negara maju, fungsi dan peranannya belum pernah dirumuskan
secara definitif. Hal ini bisa dipahami sehubungan dengan evolusi yang masih
terus berlangsung dalam fungsi dan peranannya. Akan tetapi berdasarkan model
yang telah berkembang sebagai tradisi, fungsi dan peranan komite audit adalah
mewakili para pemegang saham dan dewan komisaris dalam lima hal :

1. Penunjukan atau penominasian auditor independen.


2. Review kegiatan serta hasil kegiatan auditor andependen.
3. Review atas sistem pengendalian internal, termasuk auditor internal.
4. Review terhadap laporan-laporan manajemen, terutama laporan
keuangan.
5. Indetifikasi hal-hal yang memerlukan investigasi khusus oleh dewan
komisaris.

Penunjukan Nominasi Atas Auditor Independen

Sebelum auditor independen ditunjuk, barangkali sejumlah KAP diundang


mengajukan proposal tertulis. Dalam proses penunjukan tersebut, beberapa hal
yang penting untuk dipertimbangkan, terutama mengenai :

- Independensi
- Reputasi (termasuk mengenai kasus-kasus litigasi yang yang pernah
dialami)
- Jenis-jenis servis yang dapat dilakukan
- Personil yang akan ditugaskan
- Spesialisasi dan kelas perusahaan yang biasa dilayani
- Lokasi pelayanan (jumlah cabang atau perwakilan)
- Kendali mutu (telaahan sejawat atau peer review, dsb)
- Taksiran biaya (fees)

Anggaran dasar perusahaan biasanya mengatur tentang kewenangan


penunjukan auditor independen. Idealnya, kewenangan untuk menyeleksi auditor
independen sepenuhnya berada di tangan pemegang saham. Akan tetapi,
kewenangan itu barangkali diserahkan lebih lanjut kepada dewan komisaris.
Secara tradisional, keputusan penunjukan tersebut tetap berada ditangan rapat
umum pemegang saham (RUPS) atau dewan komisaris. Namun, RUPS dan
dewan komisaris biasanya tidak akan terlibat dalam persiapan-persiapan teknis
penyeleksian maupun pertimbangan yang perlu sebelum seleksi dilakukan
karena beberapa kendala, terutama kendala waktu serta kemampuan teknis
(kompetensi). Oleh karena itu, proses penyeleksian itu biasanya dilakukan oleh
manajemen. Dewan komisaris dan RUPS akhirnya hanya menjadi pemberi
stempel belaka. Dalam skenario seperti itu, akhirnya kehendak manajemen akan
lebih terakomodir dibandingkan dengan kepentingan pemegang saham atas
auditor independen.

Sebagai terobosan untuk mengatasi kendala itu, keberadaan komite audit


dipandang sebagai jalan pemecahan. Kedudukan komite audit yang merupakan
bagian atau kepanjangan tangan pemegang saham dan dewan komisaris, serta
dengan kompetensi yang mereka miliki, diharapkan akan bisa dioptimalkan
fungsi auditor independen bagi perusahaan tersebut. Lazimnya, penominasian
auditor tersebut diserahkan kewenangan kepada komite tersebut, dan kemudian
RUPS atau dewan komisaris memberikan keputusan formal atas dasar nominasi
tersebut.

Review Kegiatan Serta Hasil Kegiatan Auditor Independen

Sepanjang pelaksanaan tugasnya, auditor independen selayaknya


dievaluasi. Beberapa aspek yang memerlukan perhatian perusahaan (pemegang
saham dan manajemen) untuk menjamin kualitas pekerjaan auditor independen,
antara lain :

- ruang lingkup dan jadwal kegiatanya


- mutu personilnya
- metode bekerjanya
- keahlian dan pemahamannya tentang kegiatan usaha yang sedang
diaudit
- efisiensi dan efektiifitas kegiatannya
- masalah dan hambatan yang dialaminya
- independennya
- temuan-temuannya
- rekomendasinya
- jenis-jenis servis yang diberikannya
- dan kemampuannya untuk berkomunikasi

Dalam melaksanakan kegiatannya, auditor independen biasanya


melakukan interaksi sehari-hari dengan pihak manajemen. Namun, adakalanya
dialami kesulitan apabila ditemukan hal-hal penting, signifikan, atau sensitif, yang
menurut pertimbangan auditor tersebut apabila tidak dikomunikasikan dengan
pihak yang berwenang selain manajemen, akan membawa akibat yang lebih
buruk. Bila terdapat keadaan yang demikian, auditor independen yang
bersangkutan akan sukar menghubungi dan mengomunikasikannya dengan
dewan komisaris, apalagi dengan RUPS yang barangkali hanya eksis sekali
dalam setahun. Secara teknis, dewan komisaris juga akan sukar untuk mengikuti
dan me-review pekerjaan auditor independen.
Di Amerika Serikat, AICPA menerbitkan SAS no. 60 dan 61 untuk
menciptakan link tentang hal ini, antara auditor dengan pemilik, yakni melalui
komunikasi antara auditor dengan komite audit. Secara rinci, kedua standar
tersebut mengemukakan hal-hal yang patut dan mesti dilaporkan kepada komite
audit, seperti kelemahan pengendalian internal, perbedaan pendapat dengan
manajemen, pengaruh dari kebijakan akuntansi tertentu, dan hambatan dalam
melakukan audit. Untuk itu perlu ada saluran terbuka dan kontinyu antara kedua
pihak agar hal-hal tersebut didiskusikan segera dan diteruskan hasilnya kepada
manajemen dan dewan komisaris.

Review Dan Sistem Pengendalian

Auditor eksternal dalam tugasnya melakukan atas sistem pengendalian


internal perusahaan. Namun, tujuan utama dari review tersebut adalah untuk
mendapatkan dasar baginya dan penetapan ruang lingkup audit. Review atas
sistem pengendalian internal perusahaan secara mendetail biasanya diserahkan
pelaksanaannya kepada auditor internal. Tujuannya agar dihasilkan rekomendasi
perbaikan bila kelemahan-kelemahan ditemukan. Akan tetapi, hasil pekerjaan
auditor internal akan dibatasi oleh tingkat posisinya dalam organisasi, dan
kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk memberi evaluasi secara
menyeluruh tentang kekuatan sistem pengendalian di perusahaannya, di mana
auditor internal itu sendiri merupakan salah satu unsur dari sistem itu.

Komite audit dipandang cukup strategi untuk memanfaatkan hasil-hasil


evaluasi yang dilakukan baik oleh auditor internal maupun auditor eksternal atas
pengendalian internal perusahaan. Walaupun komite tersebut tidak diharapkan
akan melakukan evaluasi tersebut secara teknis, mereka akan mudah
mengidentifikasikan masalah-masalah dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh
para auditor tersebut. Dengan demikian, komite audit juga berfungsi untuk
melakukan review atas hasil pekerjaaan auditor internal, termasuk review atas
kondisi (kemampuan dan independesi) auditor internal itu sendiri.

Review Atas Laporan Manajemen

Laporan-laporan manajemen, termasuk laporan keuangan yang telah


dipersiapkan oleh perusahaan barangkali bisa dipahami secara teknisoleh para
pemegang saham, serta anggota dewan komisaris. Hal ini dapat dimengerti
karena banyak hal-hal teknis akuntansi dan teknik pengungkapan yang diluar
jangkauan pihak-pihak tersebut untuk menangkap maknanya. Pemegang saham
dan dewan komisaris barangkali juga tidak bisa berhadapan langsung dengan
manajemen untuk mendiskusikan satu per satu butir-butir penting yang tertera
dalam laporan keuangan, dan apa maknanya bagi masa depan perusahaan.
Karena itu, laporan keuangan biasanya di-review oleh komite audit sebelum di
sajikan kepada dewan komisaris dan RUPS atau dipublikasikan. Pada beberapa
perusahaan, surat dari komite audit yang menyatakan hasil review mereka atas
laporan keuangan diikutsertakan dalam laporan tahunan perusahaan.
Identifikasi Masalah yang Perlu Investigasi

Tugas lain yang dibebankan pada komite audit bisa pula meliputi upaya
pengidentifikasian masalah-masalah yang memerlukan tindakan khusus atau
investigasi lebih jauh. Bahkan, kegiatan investigasi dan pendalaman itu sendiri
barangkali diserahkan pada komite itu sendiri. Masalah-masalah dimaksudk
mungkin bisa berupa investigasi atas piutang macet yang makin membengkak,
keamanan sistem pengolahan data, efisiensi dalam proses produksi, kewajaran
dalam transfer pricing, evaluasi akibat penerapan metode akuntansi tertentu,
akibat penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat perusahaan, atau akibat
rencana merger, akuisisi, dan divestitur. Komite audit yang beranggotakan
orang-orang yang kompeten dan independen dipandang sangat tepat untuk
melakukan tugas-tugas khusus seperti itu.

Seperti telah dikemukakan di atas, fungsi dan peranana komite audit


masih belum bisa dirumuskan secara definitif, dan masih akan mengalami
pergeseran-pergeseran sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, kelima funsi
komite audit yang telah dikenal secara tradisional dan dipaparkan di atas juga
belum tentu cocok untuk semua situasi. Masing-masing perusahaan akhirnya
akan menetapkan batas kewenangan yang perlu didelegasikan kepada komite
auditnya.

FORMAT DAN SARANA


Komite audit dibentuk guna mencapai tujuan dan mewujudkan
peranannya secara efektif. Untuk itu, komite audit perlu memiliki kemampuan
serta memperoleh sarana dan fasilitas yang diperlukan. Dalam bagian ini akan
diuraikan beberapa elemen atau faktor yang turut memberi kontribusi terhadap
efektifitas suatu komite audit. Faktor-faktor tersebut meliputi : organisasi dan
statuta-personil dan komposisi – wewenang – independensi – ekspertis – dan
komunikasi.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kalbers dan Forgarty (1993)


ditemukan dua variabel utama yang menentukan keberhasilan komite audit.
Variabel yang pertama adalah kewenangan yang secara statuta diberikan
kepada komite. Yang kedua adalah keahlian yang dimiliki dan kemauan
menggunakan kompetensi oleh para anggota komite. Sementara dalam ulasan
dan laporan studi yang lain, masalah independensi, serta komposisi anggota
komite ditemukan sebagai faktor penting dalam kesuksesan komite audit
(Baysinger & Butler 1985; Vicknair et.al, 1993). Sommer (1991)
menggarisbawahi sikap dan tanggungjawab anggota komite sebagai kunci
penentu dari keberhasilan komite audit. Beberapa dari faktor keberhasilan
komite audit yang pernah dikemukakan dalam literatur akan didiskusikan secara
berikut ini.
Kewenangan dan Status Organisasi

Komite audit dibentuk dalam rangka mendelegasikan kewenangan yang


ada pada pemegang saham serta dewan komisaris yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam menilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen. Oleh
Treadway Commission, ditegaskan bahwa dalam rangka peningkatan mutu
pertanggungjawaban serta mutu laporan keuangan, setiap perusahaan
semestinya menetapkan kewenangan komite audit secara formal dan tertulis,
dan dimuat dalam anggaran dasar, akta atau statuta perusahaan. Adanya
ketagasan dari kewenangan tersebut telah dibuktikan secara empiris oleh
Kalbers dan Forgarty (1993) sebagai salah satu faktor yang memberi pengaruh
signifikan terhadap efektivitas komite audit.

Tentu saja pendelegasian kewenangan itu akan tercermin pula dalam


status organisasi dari komite tersebut. Sebagai mana diuraikan sebelumnya,
komite audit merupakan kepanjangan tangan RUPS dan dewan komisaris pada
khususnya, dan bukan bagian dari manajemen. Dengan demikian, status
organisasi komisi audit berbeda dari status organisasi auditor internal. Karena
itu, komite audit umumnya ditempatkan langsung dibawah dewan komisaris, dan
setara dengan komite-komite lainnya (seperti komite kompensasi, komite
anggaran, komite nominasi, dan komite teknologi) dalam tubuh dewan komisaris.

Kompetensi

Wewenang yang didelegasikan kepada komite audit berhubungan erat


dengan aspek pengendalian, akuntabilitas manajemen, dan efektivitas serta
efisiensi pengelolaan bisnis perusahaan. Fungsi tersebut sangat ditentukan oleh
kompetensi para anggota komite tersebut terhadap teknik dan kebijakan
akuntansi serta auditing. Karenanya, disamping unsur pengalaman, pemilikan
latar belakang pendidikan akuntansi dan auditing dipandang penting untuk
kesuksesan misi komite audit. Pendapat ini mendapat dukungan empiris dari
studi yang dilakukan oleh Kalbers & Forgarty (1993).

Dari survei yang pernah dilakukan, beberapa bidang kompetensi lain juga
dipandang perlu dimiliki oleh anggota komite audit. Bidang pengetahuan lain
yang penting dan dominan manfaatnya menurut studi yang dilakukan Fried dan
Schiff (1976) adalah perihal keuangan dan perbankan. Pengetahuan di bidang
hukum juga dianggap penting oleh beberapa pihak. Dalam kenyataannya, selain
datang dari kalangan bisnis sebagai anggota komite audit berasal dari
lingkungan akademis.

Independensi Dan Jumlah

Aspek indepemdensi komite audit tampaknya merupakan perihal yang


paling sering dipersoalkan. Hal ini terjadi terutama karena dewan komisaris yang
kita kenal di Indonesia tidak memiliki organisasi yang terpisah dari para direksi di
banyak negara lain. Di Amerika serikat, para anggota komisaris yang dinamai
“Outside directors” berada dalam sato organisasi dengan para direksai
(managing directors) dalam dewan yang disebut the board of directors. Di
Amerika serikat, keanggotaan komite audit itu ditunjuk dari antara outside
directors. Di Kanada, sedikit ada perbedaan karena anggota komite audit dapat
pula ditunjuk dari antara maging directors asalkan jumlah tetap bukan mayoritas.

Dalam hal anggota komite dirangkap oleh anggota managing directors,


masalah independensi jelas merupakan isu karena dengan adanya anggota
direksi dalam komite tersebut akan mengurangi kemandirian komite dalam
menyatakan sikap dan pendapat. Karena itu, dalam berbagai anjuran yang
pernah disampaikan oleh SEC, AICPA, pengelola bursa efek, serta para
pemerhati perkembangan komite audit, senantiasa dikembangkan agar
keanggotaan komite audit tidak boleh dirangkap oleh anggota direksi
perusahaan. Namun, sebuah pertanyaan lebih lanjut yang belum terjawab tuntas
hingga saat ini berkaitan dengan kriteria lain yang perlu dimiliki oleh anggota
komite agar tujuan independensi tercapai. Vicknair et.al. (1993)
mempertanyakan peranan para anggota komite diberbagai perusahaan yang
ternyata memiliki afiliasi dalam kapasitas yang lain dengan perusahaan.
Anggota perusahaan yang lazim disebut “grey area committee members”
tersebut dikhawatirkan kualitas independensi sehubungan dengan kedudukan
mereka yang merangkap sebagai klien atau suplier perusahaan, penasehat
hukum perusahaan, konsultan, pensiunan, atau memiliki hubungan keluarga
atau bisnis yang lain dengan anggota direksi perusahaan. Jumlah grey area
committee members ini di kalangan perusahaan di Amerika Serikat masih cukup
signifikan, dan diduga memiliki potensi konflik dengan kualitas independensi
komite audit.

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh Mautz dan


Neumann (1977), komite audit di banyak perusahaan umumnya memiliki size
yang relatif kecil. Sekitar sembilan puluh persen dari perusahaan itu memiliki
komite audit dengan anggota 3 sampai 5 anggota. Sisanya memiliki anggota
kurang dari 3 atau lebih dari 5 anggota komite. Tentu saja, besarnya perusahaan
dan kompleksitas sistem pengendalian merupakan variabel yang berpengaruh
terhadap besarnya komite audit. Namun, salah seorang pemerhati komite audit
menyarankan agar anggota komite audit tidak sampai melebihi tujuh orang
(Byrd, 1977). Pada umumnya, jumlah anggota komite mengikuti “hukum angka
ganjil”. Selain itu, terdapat juga beberapa saran agar anggota komite audit
dipilihkan dari pihak-pihak luar yang memiliki pandangan segar dan tidak
memiliki hubungan historis dengan perusahaan sehingga kemungkinan kolusi
dengan manajemen dapat diperkecil. Keanggotaan seorang anggota komite
audit sebaiknya dibatasi lamanya, sehingga kesegaran pengamatannya serta
daya kritisnya tidak keburu meluntur. Masa jabatan sekitar tiga tahun umumnya
dipandang sudah memadai (reasonable).
Hubungan dan Komunikasi

Mengingat fungsi komite audit yang bermaksud menjembatani pemegang


saham dan dewan komisaris dengan kegiatan pengendalian yang
diselenggarakan oleh manajemen, auditor eksternal, serta auditor internal,
komite audit umumnya diberi kesempatan untuk memiliki akses langsung dengan
setiap unsur pengendalian melalui audiensi maupun melalui laporan tertulis
merupakan teknik komunikasi yang lazim digunakan. Pada banyak perusahaan,
auditor internal diwajibkan untuk menyampaikan langsung laporannya kepada
komite, sekalipun hal itu tidak berarti bahwa auditor internal sudah tidak lagi
menjadi alat manajemen. Begitu pula halnya dengan auditor eksternal,
keberadaan SAS 60 dan 61 telah mempertegas tanggungjawab auditor untuk
melaporkan dan mengkomunikasikan berbagai hal dengan komite audit.

Pada salah satu editorial Journal of Accounting yang terbit dalah tahun
1953 ditegaskan bahwa kesukseskan komite audit akan ditentukan pula oleh
pola hubungannya dan komunikasinya dengan unsur-unsur tersebut: “there
seems to be no doubt that a direct channel of communications between the
board (committee) and [external dan internal] auditors is very much to the
advantage of all concerned2 ( Carey, 1953, p.680 ). kegiatan komite audit
biasanya dilakukan dalam bentuk pengamatan, diskusi, dan analisis laporan.
Staf dewan komisaris umumnya dapat merangkap sebagai staf komite audit.
Hasil-hasil pengamatan dan analisis terhadap sistem pengendalian manajemen,
auditor eksternal dan internal selanjutnya dikomunikasikan dan dibahas langsung
dengan pihak manajemen serta dewan komisaris. Hal itu perlu agar masalah-
masalah penting segera menjadi perhatian bersama untuk ditindaklanjuti.

Tanggungjawab Hukum

Hingga saat ini masih tetap dipertanyakan tingkat dan luas tanggung
jawab hukum dari komite audit. Tanggung jawab hukum komite audit menjadi
semakin penting dalam masyarakat di mana perlindungan terhadap pemakai
informasi sudah sangat tinggi. Dalam undang-undang perseroan (corporate
acts), tanggung jawab manajemen, dewan komisaris, dan pemegang saham
biasanya telah diatur dengan jelas. Namun, karena keberadaan komite audit
umumnya bersifat voluntary, fungsi dan tanggungjawabnya hanya diatur dalam
akta atau bylaws perusahaan. Menurut hasil suatu survei, sekalipun tanggung
jawab hukum komite audit belum jelas ternyata terdapat banyak orang yang
menghindar untuk menjadi anggota komite audit karena takut terhadap
konsekuensi hukum yang bisa terjadi atas mereka, khususnya apabila terjadi
kegagalan bisnis dan kebangkrutan perusahaan.
EFEKTIFITAS KOMITE AUDIT
Walaupun komite audit telah diakui keberadaanya di hampir semua
perusahaan di negara maju, hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai
tolok ukur keberhasilan atau efektifitas suatu komite audit. Sementara belum
terdapat hasil pembuktian empiris mengenai hal ini, Sommer (1991)
berpandangan bahwa komite audit di banyak perusahaan masih belum
melakukan tugasnya dengan baik. Menurut Sommer, banyak komite audit yang
hanya sekedar melakukan tugas-tugas rutin, seperti review laporan dan seleksi
auditor eksternal, dan tidak mempertanyakan secara kritis dan menganalisis
secara dalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggung jawab oleh
manajemen. Penyebabnya diduga bukan saja karena banyak dari antara
mereka tidak memiliki kompetensi dan independensi yang memadai, tetapi juga
karena banyak yang belum memahami peran pokoknya.

Sommer berpendapat bahwa sesungguhnya posisi unik dari komite audit


akan mampu mempengaruhi secara signifikan keberhasilan perusahaan dalam
mewujudkan manajemen yang kokoh dan efektif serta menunjang pelaksanaan
bisnis yang sehat. Selain itu, adanya komite audit yang efektif, akan memberi
perlindungan bagi akuntan publik yang melakukan kegiatan audit, serta
mengangkat harkat auditor internal karena pelaksanaan fungsinya akan lebih
diperhatikan. Karena itu, menurut Sommer, semua pihak, yakni pemegang
saham, manajemen, auditor eksternal dan internal, perlu memberi dukungan
bagi terwujudnya komite audit yang efektif.

KOMITE AUDIT DI INDONESIA : SEBUAH PARADIGMA BARU


Seperti dipaparkan pada bagian awal, penciptaan jembatan antara pemilik
dan pengelola serta pencegahan kasus-kasus kecurangan manajemen yang
tercatat dalam sejarah bisnis di negara maju merupakan dua alasan yang
pertama telah mendapat dukungan teoritis. Tapi alasan yang kedua masih
bersifat hipotetis, menantikan dukungan empiris.

Sekarang, dengan diperkenalkannya dan dianjurkannya pembentukan


komite audit oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, perlu dipertanyakan apa
yang menjadi alasan utama kita untuk hal itu. Apakah unsur-unsur pengendalian
yang telah ada, termasuk auditor ekstern, dewan komisaris, dan internal auditor
yang berkembang pesat sepuluh tahun terakhir ini, belum mampu atau telah
gagal dalam mewujudkan fungsi dan peranannya ?. bukankah penambahan
unsur baru dalam format komite ini akan menambah beban fungsi pengendalian
itu sendiri sehingga perusahaan akan mengalami control overload ?

Secara empiris, penulis tidak memiliki jawaban terhadap pertanyaan


tersebut di atas. Namun, terdapat beberapa petunjuk yang bisa menolong kita
dalam memahami anjuran tersebut. Pertama, perkembangan organisasi bisnis di
Indonesia sedang mengalami kepesatan yang luar biasa sehingga menimbulkan
jarak yang makin jauh antara pemilik dan manajemen. Seorang pengusaha yang
merangkap fungsi pemilik dan pengelola yang pada mulanya masih mampu
mengontrol dari jarak dekat perusahaannya yang masih berjumlah sedikit
ahkirnya akan merasakan beban yang berat untuk melakukan hal yang sama bila
jumlah usahanya telah berkembang dalam jumlah besar. Akibatnya, pemilik
utama yang biasanya duduk sebagai presiden atau anggota komisaris di
berbagai perusahaan semakin membutuhkan bantuan dari orang yang kompeten
untuk melakukan sebagian fungsinya. Dalam situasi demikian, kehadiran komite
audit merupakan wujud kebutuhan pasar.

Alasan lain dari anjuran pembentukan komite audit di Indonesia


tampaknya juga dipengaruhi oleh karena beban dan tanggungjawab
pengawasan publik (public watch dag) terhadap perusahaan-perusahaan oleh
lembaga pemerintah yang menjadi semakin berat dan berisiko tinggi. Hal ini
terutama berlaku bagi jenis-jenis industri tertentu, dimana kepentingan
masyarakat sangat berhubungan erat dengan bisnis perusahaan. Ahkir-ahkir ini
kita mengalami semakin banyak kasus kegagalan dalam dunia perbankan –
sejalan dengan liberalisasi bisnis perbankan – yang menyeret kepentingan
umum dan pemerintah, sehingga menuntut pengawasan yang lebih intensif dari
Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Kecurangan yang pernah terjadi di
antara perusahaan yang masuk ke pasar modal yangmengecewakan publik juga
pernah terjadi, sehingga lembaga pengawas pasar modal perlu mencari bentuk
pengawasan lain dalam rangka mengurangi kemungkinan hal-hal serupa untuk
terjadi. Kasus-kasus inefisiensi di antara BUMN juga semakin mendapat sorotan,
terutama setelah kita memperoleh pembanding dari hasil-hasil pemeringkatan
yang makin populer ahkir-ahkir ini ; sehingga Ditjen pembinaan BUMN atau
BPKP dapat memandang keberadaan komite audit sebagai tambahan perangkat
yang perlu untuk membina BUMN lebih efektif lagi.

Tampaknya, kini kita telah memulai mengadopsi gagasan komite audit


seperti dipaparkan di sini. Solusi institusional ini dimaksudkan untuk memperkuat
sistem pengendalian badan-badan usaha di Indonesia dan bukan untuk
menambah beban sistem pengendalian. Harapan kita jelas : agar komite audit
mampu memberi warna positif dalam rangka mewujudkan paradigma baru bagi
sistem pengendalian korporasi (corporate governance) di Indonesia.

You might also like