You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Polisitemia berarti kelebihan (poli-) semua jenis sel (-sitemia), tetapi


umumnya nama tersebut digunakan untuk keadaan-keadaan yang volume SDM-
nya melebihi normal. Keadaan ini mengakibatkan peningkatan viskositas dan
volume darah (Baldy, 2002).

Polisitemia primer atau vera, merupakan suatu gangguan


mieloproliferatif. Sel induk pluripoten abnormal. Ditemukan juga eritrositosis
yang nyata dengan kadar eritropoietin normal atau rendah, serta leukositosis dan
trombositosis. (Baldy, 2002)

Polisitemia Vera merupakan penyakit yang membahayakan yang ditandai


naiknya jumlah sel darah merah (eritrocyt) ) secara signifikan/bermakna
mencapai 6-10 juta/ml di atas batas nilai normal dalam sirkulasi darah, dengan
tidak mempedulikan jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera jika
sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal
(tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya) (Prenggono,
2009).

Masalah yang terjadi jika PV tidak ditangani adalah terjadinya sumbatan


pada pembuluh darah arteri atau vena, atau yang lebih jarang disertai gout,
pruritus atau menemukan splenomegali (Baldy, 2002).

B. Epidemiologi

PV biasanya mengenai penderita berumur 40-60 tahun, walaupun kadang-


kadang (sebanyak 5%) ditemukan pada mereka yang berusia lebih muda, angka
kejadian untuk PV ialah 7 per satu juta penduduk dalam setahun. Penyakit ini

1
didapatkan dua kali lebih banyak pada wanita, dan dapat terjadi pada semua
ras/bangsa (Narzan, 2009). Keseriusan penyakit polisitemia vera ditegaskan
bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,5-3
tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun (Prenggono, 2009).

2
BAB II

POLISITEMIA VERA

A. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) disebabkan oleh kelainan


sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang. Selain terdapat sel batang normal
pada sumsum tulang terdapat pula sel batang abnormal yang dapat mengganggu
atau menurunkan pertumbuhan dan pematangan sel normal. Bagaimana
perubahan sel tunas normal jadi abnormal masih belum diketahui. Progenitor sel
darah penderita menunjukkan respon yang abnormal terhadap faktor
pertumbuhan. Hasil produksi eritrosit tidak dipengaruhi oleh jumlah eritropoetin.
Kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan DNA yang
dikenal dengan mutasi. Mutasi ini terjadi di gen JAK2 (Janus kinase-2) yang
memproduksi protein penting yang berperan dalam produksi darah. Pada keadan
normal, kelangsungan proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan antara ligan
eritropoietin (Epo) dengan reseptornya (Epo-R). Setelah terjadi ikatan, terjadi
fosforilasi pada protein JAK. Protein JAK yang teraktivasi dan terfosforilasi,
kemudian memfosforilasi domain reseptor di sitoplasma. Akibatnya, terjadi
aktivasi signal transducers and activators of transcription (STAT). Molekul
STAT masuk ke inti sel (nucleus), lalu mengikat secara spesifik sekuens regulasi
sehingga terjadi aktivasi atau inhibisi proses trasnkripsi dari hematopoietic
growth factor. (Melfita Nilmar, 2004)
Pada penderita PV, terjadi mutasi pada JAK2 yaitu pada posisi 617
dimana terjadi pergantian valin menjadi fenilalanin (V617F), dikenal dengan
nama JAK2V617F. Hal ini menyebabkan aksi autoinhibitor JH2 tertekan
sehingga proses aktivasi JAK2 berlangsung tak terkontrol. Oleh karena itu,
proses eritropoiesis dapat berlangsung tanpa atau hanya sedikit hematopoetic
growth factor. Terjadi peningkatan produksi semua macam sel, termasuk sel

3
darah merah, sel darah putih, dan platelet. Volume dan viskositas darah
meningkat. Penderita cenderung mengalami thrombosis dan pendarahan dan
menyebabkan gangguan mekanisme homeostatis yang disebabkan oleh
peningkatan sel darah merah dan tingginya jumlah platelet. Thrombosis dapat
terjadi di pembuluh darah yang dapat menyebabkan stroke, pembuluh vena, arteri
retinal atau sindrom Budd-Chiari. Fungsi platelet penderita PV menjadi tidak
normal sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Peningkatan
pergantian sel dapat menyebabkan terbentuknya hiperurisemia, peningkatan
resiko pirai dan batu ginjal. (Melfita Nilmar, 2004)

B. Patogenesis

patogenesis penyakit ini masih belum jelas. Penelitian yang yang


dilakukan dengan menggunakan metode pemeriksaan enzim G-6PD (glucose-6-
phosphate dehydrogenase), analisa sitogenetik dan metode molekuler
membuktikan bahwa kelompok penyakit ini muncul dari satu stem sel
hematopoitik pluripotensial tunggal, bersifat klonal dan neoplastik. Klonalitas
dapat terjadi pada tingkat sel stem yang berbeda (Sedana & Wulansari, 2007)

C. Tanda dan Gejala Klinis

Polisitemia vera merupakan penyakit progresif pada usia pertengahan,


agak lebih banyak mengenai laki-laki dari pada perempuan. Tanda-tanda dan
gejala ini disebabkan oleh peningkatan volume darah total dan peningkatan
viskositas darah. Volume plasma biasanya normal, dan terjadi vasodilatasi untuk
menampung peningkatan volume eritrosit. (Baldy, 2002)

Pasien tersebut datang dengan corak pletorik (merah bata) dan mata
merah meradang. Gejala-gejala nonspesifik, bervariasai dan sensasi “penuh di
kepala” sampai sakit kepala, pusing, kesulitan berkonsentrasi, pandangan kabur,
kelelahan, dan pruritus (gatal) setelah mandi. Peningkatan volume dan viskositas

4
darah (aliran darah lambat) bersama dengan peningkatan jumlah trombosit dan
fungsi trombosit abnormal mempermudah individu mengalami trombosis dan
perdarahan.trombosis merupakan penyakit utama morbiditas dan mortalitas.
Penyakit ini berkembang dalam waktu 10 sampai 15 tahun. Selama waktu ini,
limpa dan hati membesar, disebabkan oleh kongesti eritrosit. Sumsum tulang
menjadi fibrosis dan akhirnya menjadi nonproduktif karena “kehabisan tenaga”,
atau berubah menjadi leukimia mielogenik akut, baik sebagai akibat dari
pengobatan atau perjalanan penyakit (Shelton, 2000).

D. Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan hemoglobin lebih


dari 18g yang menetap, hematokrit lebih dari 60, dan peningkatan volume total
darah. Morfologi SDM normal. Jumlah leukosit dan trombosit juga meningkat.
Jumlah retikulosit normal atau agak meningkat. Kadar vitamin B12 umumnya
meningkat. Fosfatase alkali leukosit meningkat, demikian juga asam urat.
Cadangan besi sering berkurang sekunder akibat flebotomi (pengeluaran satu
pint [ sama dengan 0,568 liter] darah melalui veneseksi) (Baldy,2002). Selain itu,
sumsum tulang hiperselular dengan megakariosit menonjol dan viskositas darah
meningkat (Hoffbrand & Pettit, 1984)

Diagnosis PV ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:


1. Kriteria kategori A
A1 Peningkatan hematokrit > 25 %
A2 Tidak didapatkan penyebab polisitemia sekunder
A3 Terdapat splenomegali yang palpableミ
A4 Clonality marker

2. Kriteria kategori B

B1 Trombositosis : angka trombosit > 400.000/ul

5
B2 Granulositosis : netrofil > 10.000/ul
B3 Splenomegali yang didapatkan melalui pemeriksaan skening isotop /
ultrason
B4 Penurunan kadar eritropoitin dan peningkatan BFU-Es1
(Sedana & Wulansari, 2007)

Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kriteria ini adalah bahwa:


1. Kadar hematokrit diperiksa melalui pemeriksaan yang menggunakan
pelabelan eritrosit dengan 51Cr, kecuali bila kadar hematokrit > 60%,
2. Tidak ada pemeriksaan klonal yang dapat diaplikasikan secara klinis untuk
membuktikan adanya PV dan
3. Butir B4 tidak dapat diaplikasikan secara luas serta tidak spesifik untuk PV2.1
(Sedana & Wulansari, 2007)
Diagnosis pasti PV ditegakkan bila didapatkan:
1. Kategori A1 dan A2 dan salah satu dari A3 atau A4 atau
2. Kategori A1 dan A2 dan salah satu dari kriteria B
(Sedana & Wulansari, 2007)

Penyakit ini dibagi menjadi 4 fase, yaitu:


1. Fase eritrositik yang ditandai dengan eritrositosis persisten yang memerlukan
flebotomi regular selama 5-25 tahun.
2. Spent phase yang ditandai dengan periode remisi yang panjang, trombositosis
dan lekositosis persisten, splenomegali dan fibrosis ringan sumsum tulang.
3. Fase mielofibrotik yang ditandai dengan peningkatan retikulin dan
osteosklerosis sumsum tulang dan dapat disertai sitopenia sehingga
menampilkan gambaran seperti MMM.
4. FAse terminal.

6
E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera pada saat perjalanan
penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah didemonstrasikan.
Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6 juta/mL pada pria dan >5,5
juta/mL pada perempuan, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom,
normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan
anisositosis menunjukan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di
akhir perjalanan penyakit (Widjanarko, 2009).
Sedangkan nilai normal dari eritrosit adalah pada pria dewasa : 13-
16 gram %, dan pada wanita dewasa : 12-14 gram % (BPOM, 2001).
b. Granulosit
Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus PV, berkisar
antara 12-25 ribu/mL tetapi dapat sampai 60ribu/mL. Pada dua pertiga
kasus ini juga terdapat basofilia (Wijanarko, 2009).
c. Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL,
bahkan dapat >1 juta/mL. Sering di dapatkan dengan morfologi trombosit
yang abnormal (Wijanarko, 2009). Nilai normal trombosit adalah
150.000-450.000/mL (BPOM, 2001).
d. B12 Serum
B12 Serum dapat meningkat hal ini dijumpai pada 35% kasus dan
dapat pula menurun hal ini dijumpai pada +30% kasus, dan kadar
UB12BC meningkat pada >75% kasus PV (Prenggono, 2009).

2. Pemeriksaan Sumsum Tulang

7
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali ada
kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas
dalam hitung jenis leukosit. Sitologi sumsum tulang menunjukan peningkatan
selularitas normoblastik berupa hiperblasi trilinier dari seri eritrosit,
megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi sumsum tulang
adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit
fibrosis merupakan petanda patognomonik PV (Supandiman, 2009).

F. Rencana Terapi

1. Pengobatan
Pengobatan bertujuan untuk mempertahankan jumlah darah yang normal.
Hematokrit harus dipertahankan pada sekitar 0,45 dan jumlah trombosit
kurang dari 400 x 109 /l.
2. Venaseksi
Bentuk terapi ini sangat berguna khususnya bila diperlukan pengurangan
volume eritrosit dengan cepat, misalnya pada permulaan terapi (Hoffbrand,
2005).
3. Mielosupresi sitotoksik
Hidroksiurea harian sangat berguna dalam mengendalikan jumlah darah dan
mungkin perlu diteruskan selama bertahun – tahun (Hoffbrand, 2005).
4. Terapi fosfor-32
Pengobatan ini efektif, mudah dan relatif murah untuk pasien yang tidak
kooperatif atau dengan keadaan sosiekonomi yang tidak memungkinkan untuk
berobat secara teratur (Hoffbrand, 2005).

G. Prognosis

8
Prognosisnya baik meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat
kambuh jika pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa
saat, yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pengobatan.

H. Komplikasi

Kelebihan sel darah merah bisa berhubungan degnan komplikasi lainnya: -


ulkus gastrikum - batu ginjal - bekuan darah di dalam vena dan arteri yang bisa
menyebabkan serangan jantung dan stroke dan bisa menyumbat aliran darah ke
lengan dan tungkai. Kadang polisitemia vera berkembang menjadi leukemia
(Baldy, 2002).

Polisitemia vera menyebabkan berbagai macam komplikasi, diantanya :


1. Penggumpalan darah
Kelebihan sel darah merah bisa membuat darah lebih padat dari yang
seharusnya. Darah yang lebih padat ini lama-lama aka menyumbat aliran
darah ke seluruh tubuh. Polisitemia vera merupakan suatu keadaan dimana
jumlah eritrosit yang ada berlebihan, sehingga terjadi penggumpalan darah
dan penyumbatan aliran darah ke otak yang menyebabkan terjadinya stroke.
2. Kelainan pada kulit
Polisitemia vera juga bisa menimbulkan rasa gatal pada kulit, terutama setelah
berendam atau mandi air panas. Pasien bisa saja mengalami sensasi aneh atau
perasaan terbakar pada kulitnya, terutama kulit bagian lengan dan kaki yang
disebabkan oleh kadar basofilia >65/mL.
3. Kelainan pada lambung
Basofilia yang >65/mL juga akan mengakibatkan peningkatan kadar histamin.
Dengan meningkatnya kadar histamin bisa menyebabkan gastritis dan
perdarahan lambung.
4. Penbesaran organ limpa(Splenomegali)

9
Fungsi organ limpa adalah membantu tubuh melawan infeksi dan menyaring
materi yang tidak dibutuhkan tubuh seperti sel darah yang sudah mati atau
rusak.

10
BAB III
METODE TERKINI

Kemotrapi Sitospatika.
Tujuan pengobatan kemotrapi Sitospatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih
dianjurkan menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostastika golongan obat anti
metabolik, sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan
atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, mielosupresi yang serius.
Walaupun demikian FDA masih membenarkan clorambucil dan busulfan digunakan
pada PV (Prenggono,2009).
Indikasi penggunaan kemotrapi sitospatika :
1. Hanya untuk polisitemia Rugla primer (PV)
2. Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan lebih dari dua kali sebulan.
Trombositosis yang terbukti menimbulkan thrombosis, urtikaria berat yang dapat
diatasi dengan anti histamine, splenomegali symtomatik atau mengancam rupture
limpa.
3. Cara pemberian kemotrapi sitospatika :
Hydroksiurea (Hydrea 500mg/tablet)
a. Dosis yang bisa diberikan adalah 800-1200 mg//m2 /hari atau bisa juga
diberikan dalam waktu 2 hari sekali dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali,jika
telah mencapai target dapat pula dilanjutkan dengen pemberian intermitten
untuk pemeliharaan.
b. Chlorambucil (Leukeran 5 mg/tablet)
Dosis yang bisa diberikan adalah dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
diberikan secara teratur 3-6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap
2-4 minggu.
c. Busulfan
Dosis yang bisa diberikan adalah 0,06 mg/kgBB/hari,dan jika te;ah mencapai
target yang diharapkan dapat dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk

11
pemeliharaan. Pasien yang menggunakan pengobatan dengan cara ini harus
diperiksa lebih sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan
klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit :
1. Pada Pria ≤ 47 % dan memberikanya lagi jika > 52%
2. Pada Wanita ≤42% dan memberikanya lagi jika > 49% (prenggono,2007).
Kelebihan metode kemoterapi sitostatika di bandingkan dengan flebotomi
yaitu pada kemoterapi sotostatika pengobatan bisa dilakukan dengan cara rawat jalan,
kalau flebotomi harus tetap tinggal di rumah sakit mengalami pengobatan. Dari segi
ekonomi metode kemotrapi sitostatika biaya kemoterapi sitostatika lebih murah
dibandingkan flebotomi.

12
BAB IV

RINGKASAN

Polisitemia Vera merupakan penyakit yang membahayakan yang ditandai


naiknya jumlah sel darah merah (eritrocyt) ) secara signifikan/bermakna mencapai 6-
10 juta/ml di atas batas nilai normal dalam sirkulasi darah.
Gambaran klinik yang terjadi biasanya corak pletorik (merah bata) dan mata
merah meradang, sakit kepala, pusing, sulit konsentrasi, pandangan kabur, kelelahan
dan gatal.
Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya
baik meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak
teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan
terjadinya resistensi terhadap pengobatan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Baldy, Catherine M. 2002. Gangguan Sel Darah Merah (PATOFISIOLOGI Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6). Jakarta: EGC

Hoffbrand, A.V. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC

Hoffbrand, A.V; Pettit, J.E. 1984. Kapita Selekta HAEMATOLOGI (Essential


Haematology) Edisi Ke 2. Jakarta: EGC

Melfita Nilmar. 2004. Polisitemia Vera: Manisfestasi Dan Perawatannya. Available


from URL: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/7939

Prenggono,M.Darwin.2009. Polisitemia Vera (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi


V). Jakarta: InternaPublishing

Price, Sylvia Anderson. 2002. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta : EGC.

Sedana, Made Putra; Wulansari, T Ivone.2007. Penyakit Mieloproliferatif. Available


from URL : http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/6(2).pdf

Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta: FKUI

Supandiman, Iman., Fadjari, Heri. 2009. Anemia pada Penyakit Kronis (Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V)

Widjanarko, Abidin., Sudoyo, Aru W., Solonder, Hans.2009. Anemia Aplastik ( Buku
Ajar Penyakit Dalam, Edisi V). Jakarta: InternaPublishing

Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; EGC.

14

You might also like