You are on page 1of 11

Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan

Transforrnasl

Wijayanto Setiawan

Abstract: Globalization impact in Indonesian life style has affected our laws, and we are enforced to acquaint with unfamiliar new values. In case of any conflict shall be occurred, the Judge mist not reject a case due to either non-existed, or unclear legal reasons (Article 16, paragraph 1 Laws No.4/2004). The Judge should know the law (ius curia novit), he must dig, follow, and comprehend legal values, and social justice by the way of legal finding (rechtsvinding), and legal establishment (rechtsschepping)

Keywords: Globalization, Legal Impact, Judge, Legal Finding (rechtsvinding) and Legal Establishment (rechtsschepping)

Correspondence: Faculty of Law, Hang Tuah University, JI. Arief Rachman Hakim 150, Sukolilo - Surabaya 60111

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Dalam rangka pembangunan hukum nasional pada era reformasi dan transformasi saat ini sangat dipengaruhi oleh arus deras pengaruh-pengaruh nilainilai globalisasi yang terjadi pada dekade belakangan ini terutama sejak permulaan 1990, bersifat "meliputi jagad" atau "world wide". Dalam suasana kehidupan masyarakat bangsa-bangsa sekarang ini arus nilai-nilai globalisasi telah berada dalam suatu kehidupan yang "saling terkait" atau "interlinked". Transformasi nilai ini mengimbas dalam kehidupan serta mengimbas pembentukan hukum modern di Indonesia, yang menurut Muladi, "globalisasi yang ditandai dengan revolusi informasi menuntut nilai-nilai dan norma-norma baru dalam skala nasional maupun internasional" (Muladi, tanpa tahun).

Pengaruh arus globalisasi dalam kehidupan bangsa Indonesia, telah membawa dampak terhadap hukum, setiap waktu kehidupan hukum Indonesia dipaksakan berkenalan dengan nilai-nilai baru yang belum pernah dikenal selama ini atau sudah didengar namun belum tertampung dalam pranata hukum kita.

Manakala belum ada pranata hukumnya dan terjadi konflik, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (vide Pasal 16 ayat 1 UU 4/2004). Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit), hakim merupakan perumus nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat untuk itu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-

88

Wijayanto Setiawan. Peran Hakim Agung

nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. sebagaimana diperintahkan undanqundang, hukumnya harus diketemukan dengan menjelaskan. menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan. dengan lain perkataan ketidaklengkapan dan ketidakjelasan hukum ini dapat diatasi dan dijelaskan dengan jalan penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping). Hakim melakukan penemuan hukum, karena ia dihadapkan pad a peristiwa konkret, yaitu konflik/kasus yang harus diselesaikan dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya.

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 24 UUD 1945 jo penjelasan Pasal 1 dan Pasal 28 ayat 1 UU 4/2004, hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari segala campur tangan ekstra yudicial, wajib menggali. mengikuti dan memahami nllai-nllai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

"Penemuan hukum terjadi karena penerapan ketentuan pad a fakta dan ketentuan tersebut kadangkala harus dibentuk karena tidak selalu diketemukan dalam undang-undang yang ada" (John Z. Loudoe. 1985).

"Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidakjelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding)" (Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, 1993).

Terlepas dari persoalan otonomi kebebasan hakim, betapa pentingnyaJ manfaatnya fungsi penemuan hukum dan penciptaan hukum lewat putusan hakim dalam era reformasi dan transformasi ini, terutama dalam rangka pembangunan hukum dalam menghadapi arus yang semakin cepat dimana hukum itu ketinggalan dari peristiwanya (het recht hinkt achter de feiten).

Pokok Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang dan uraian diatas. dapat diidentifikasi beberapa pokok masalah: a. apa yang dimaksud dengan Penemuan Hukum ("Rechtsvinding") dan Penciptaan Hukum ("Rechtsschepping") oleh hakim itu ? ; b. apa peran Hakim Agung dalam penemuan hukum dan penciptaan hukum itu pada era reformasi dan transformasi ini ?

PEMBAHASAN

1. Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping).

Yang dimaksud dengan penemuan hukum (rechtsvinding) ialah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan-peraturan umum pada peristiwa hukum yang konkret, lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau indualisasi peraturan hukum (das sol/en) yang bersifat umum dengan mengingat

89

Perspektif Hukum, Vol. 7 No.2 November 2007: 88 - 98

akan peristiwa yang konkret(das sein) tertentu (Sudikno Mertokusumo, 1996). Hasil penemuan hukum olehhakim yang dituangkan dalam putusan adalah hukurn, sekaligus sebagai sumber hukum, sedangkan hasil penemuan oleh llmuwan bukanlah hukum melainkan i1mu atau doktrin tetapijuga merupakan sumber hukum, manakala doktrln tersebut diikuti atau diambil alih oleh hakim dalam putusannya menjadi hukum.

Baql hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Peristiwa konkret dapat diperoleh dari hasil jawab-menjawab dan pembuktian, setelah peristiwa konkret dibuktikan baru dapat dikonstatir adanya atau terjadinya, kemudian dicarikan hukumnya. Manakala undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, hakim harus menemukan hukumnya (rechtsvinding). Penemuan hukum itu tidak merupakari kegiatan yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan suatu kegiatan yang runtun, runtut dan bersambungan dengan hasil pembuktian.

Secara konkret tugas hakim dalam mengadili sesuatu perkara melalui tiga tindakan secara bertahap : a: mengkonstatir (mengkonstatasi) terjadinya peristiwa yang telah diajukan para pihak dimuka persidangan. Peristiwa konkret itu harus dibuktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh menyatakan suatu peristiwa konkret itu benar-benar terjadi. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa tersebut ; b. mengkwaliflslr (mengkwalifikasi) adalah menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut ; c. mengkonstituir (mengkonstitusi) atau memberikan konstitusinya, yaitu kepada hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada yang bersanqkutan. Dalam memberikan putusan, hakirn perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keaditan, kepastian hukum dan kernanfaatannya.

Menemukan hukurn itu harus sudah dipikirkan hakim sejak ia menerima berkas perkara untuk memperoleh suatu gambaran tentang peristiwanya, jika tidak ditemukan dalam hukum tertulis tentunya harus mencari hukum tidak tertulis, apabila ternyata hukum tertulis yang ada tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, hakim harus mencari kaidah-kaidah dari hukum tidak tertulis yang selaras dengan perkembangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat secara leluasa, dengan batasan Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum/kesusilaan dan kehendak pihakpihak yang bersengketa. Hakim tidak lagi dipandang sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi undang-undang dan menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan. Hakim bukanlah semata-mata hanyalah masalah logika murni dan penggunaan ratio yang tepat, tetapi

90

Wijayanto Setiawan, Peran Hakim Agung

lebih merupakan masalah pemberian bentuk yuridis pada asas-asas hukum rnateriil yang menurut sifatnya tidak logis dan tidak mendasarkan pada pikiran yang abstrak, dimana asas yang merupakan dasar undang-undang diperbaiki lebih lanjut dan dikonkretasi diisi dan diperhalus dengan asas-asas baru. Dengan demikian penemuan hukum oleh hakim dalam mengadili yang terpenting dan perlu dipahami adalah ratio decidensi, yaitu alasan-alasan hukum yang dipergunakan hakim untuk sampai kepada putusannya (Peter mahmud Marzuki, 2005).

Penemuan hukum (rechtsvinding) menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati dapat dilakukan melalui 2 tehnik. Tehnik pertama adalah interpretasi (penafsiran), tehnik kedua adalah konstruksi hukurn (penalaran) yang meliputi : analogi, penghalusan hukum atau penyempitan hukurn (rechtsverfijning) dan argumentum a contrario (Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005). Interpretasi (penafsiran)itu meliputi interpretasi gramatikallmenurut bahasa, historisl sejarah, sisternatls. teleologis/sosiologis, otentik, interdisipllner, multidisipllner, komparatif, futuristis, restriktif dan ekstenslf.

Contoh penemuan hukum melalui interpretasi/penafsiran :

a. Interpretasi ekstensif.

Penafsiran kata "menjual" dalam Pasal1576 B.W. Sejak tahun 1906 kata menjual dalam Pasal1612 B.W. Nederland (1576 B.W.) oleh H.R. ditafsirkan luas yaitu bukan semata-mata hanya jual beli saja, tapi juga "setiap peralihan hak rnllik". Dalam hal ini yang diextensifkan adalah peralihan hak, yaitu diperluas tidak saja karena jual beli, tapi juga tukar menukar, hibah, dan pewarisan (Bambang Sutiyoso, 2006).

b. Interpretasi teleologis/sosiologis.

Kasus Vivian Rubiyanti tentang pergantian kelamin. Kasus ini ditinjau dari segi hukumnya merupakan suatu yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dalam masyarakat, karena peristiwa perubahan status lni merupakan persoalan baru dalam masyarakat, hal ini belum diatur oleh undangundang, karena pembuat undang-undang waktu itu tldak 'atau belum memperkirakan terjadinya hal-hal seperti itu. Undang-undang hanya mengenal istilah laki-Iaki atau perempuan, dan merupakan kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat bahwa dian tara dua jenis makhluk Illahi ini laki-Iaki dan perempuan terdapat pula segolongan orang yang hidup diantara kedua makhluk tersebut di atas. Kepentingan persoalan hukum muncul setelah adanya perkembangan di bidang ilmu kedokteran yang disebut operasi kelamin. Melalui penetapannya Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Jakarta Selatan Nomor 546/73.P tanggal 14 Nopember 1973 melakukan penemuan hukum dengan mengisi kekosongan hukum. Pi dalam pertimbangan hukumnya pengadilan antara lain menyatakan :

91

Perspektif Hukum. Vol. 7 No.2 November 2007 : 88 - 98

pengadilan menyadari bahwa memang perubahan status kelamin ini belum diatur oleh undang-undang ;

- perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu kedokteran telah memungkinkan pada seseorang itu untuk dapat disempurnakan jenisnya, dapat digolongkan sebagai laki-Iaki atau wanita ;

- adanya kenyataan bahwa tidak semua wan ita itu dilahirkan sempurna, karena ada wanita yang sejak lahirnya tidak mempunyai peranakan/indung telur, tapi wanita tersebut tetap disebut juga sebagai wanita ;

- bahwa agamapun (Kristen Protestan) membolehkan penyempurnaan kelamin yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan kedokteran tersebut, apabila in; merupakan satu-satunya jalan untuk menolong penderitaan seseorang agar dapat hidup sebagai menusia yang wajar ;

- perubahan status ini tidak saja diperlukan bagi pemohon, tetapi penting sekali

dalam hukum, baik dalam hukum perdata maupun dalam hukum pidana.

Setelah menyadari berbagai pertimbangan yang pokok, baik bedasarkan pertimbangan asas hukum maupun pertimbangan berdasarkan saksi-saksi ; saksi ahli (tim dokter), Pendeta Agama Protestan, dan saksi-saksi lainnya, surat-surat, akhirnya pengadilan mengabulkan permohonan pemohon untuk dinyatakan sebagai wan ita dan memberi ijin kepada pemohon untuk mengganti namanya dari Iwan Rubianto (Iskandar) menjadi Vivian Rubiyanti.

Penemuan hukum melalui tehnik konstruksi hukum/penalaran yakni analogi, penghalusan hukum/penyempitan hukum (rechtsverfijning) dan argumentum a contrario, dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Analogi

Pada analogi, suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan umum itu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang ini diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Dengan analogi peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.

"Analogi digunakan apabila terdapat kekosongan hukurn dalam undang-undang, jadi analogi berarti mengisi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang dengan sesuatu yang tidak ada dalam undang-undang" (Franken, et ai, 1958). Contoh:

Hak retensi pada pengurusan barang, dalam undang-undang tidak ada pengaturannya, tetapi dalarn hal pemberian kuasa Pasal 1849 B.W. Nederland

92

Wijayanto Setiawan, Peran Hakim Agung

(Pasa11812 B.W./KUH Perdat~) mengatur hak retensi berkaitan dengan pemberian kuasa. H.R. dalam putusannya tanggal 10 Desember 1948 (Nj 1949, 122) berpendapat ketentuan Pasal1849 B.W. Nederland dapat diterapkan pada fakta hukum pengurusan barang, dalam hal ini penerima kuasa dan pengurusan barang (zaakwaarnemer) dapat disamakan hukumnya, dengan demikian pada zaakwaarnemer diberi juga hak retensi.

b. Penghalusan Hukum/Penyempitan Hukum (Rechtsverfijning)

Manakala peraturan perundang-undangan ltu ruang lingkupnya terlaJu umum atau luas, maka perlu diperhalusJdipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu. Dalam penghalusan hukum/penyempitan hukurn dibentuklah pengecualian-pengecualian/penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturanperaturan yang bersifat umum. Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi cirl-ciri.

Contoh:

Berdasarkan Armenwet (undang-undang kemiskinan), setiap keluarga penerima subsidi diwajibkan mengembalikan subsidi yang diterima, apabila mereka telah berhasil. Dalam kasus ini seorang anggota keluarga yaitu anak gadisnya ternyata berhasil. Pemerintah mewajibkan anak gadis tersebut untuk mengembalikan subsidi yang telah diterima keluarganya. Anak tersebut menolak permintaan pemerintah. Kasus ini sampai di tingkat kasasi, oleh hakim dipertanyakan apakah setiap anggota keluarga bertanggung jawab atas pengembalian subsidi berdasarkan ketentuan Armenwet. Hakim berpendapat bahwa konsep keluarga dalam Armenwet terlalu luas sehingga perlu diperhalus atau dipersempit. Dengan langkah ini konsep keluarga diperhalus atau dipersempit menjadi kepala keluarga.

c. Argumantum a Contrario

Pokok utama pada a contrario diletakan pad a ketidaksamaan peristiwanya. Pada a contrario peraturan yang disediakan untuk peristiwa yang mirip dengan peristiwa yang hendak dicarikan hukumnya, diberlakukan secara kebalikannya (secara a contrario). Disini peraturan yang disediakan untuk peristiwa yang hendak dicarikan hukumnya tidak ada, yang ada adalah peraturan untuk peristiwa lain yang tidak sama, tetapi ada unsur kemiripan dengan peristiwa yang hendak dicarikan

. hukurnnya.

Contoh:

Peraturan yang tersedia bagi peristiwa yang tidak sama tapi terdapat unsur yang mirip, yakni Pasal 39 PP 9/1975, bagi janda yang hendak kawin lagi harus menunggu masa iddah. Pasal tersebut diberlakukan secara a contrario (secara

93

Perspektif Hukum, Vol. 7 No.2 November 2007·88 - 98

kebalikan) bagi duda, yakni duda kalau mau kawin lagi tidak perlu menunggu mas a iddah seperti janda.

Seeara singkatnya penemuan hukum (rechtsvinding) dan peneiptaan hukum (rechtsschepping) dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut :

LIVING LAW

MASYARAKAT (SOCIETy)

1-

1. Konstruksi Hukum (Penalaran Hukum) 1.1 . Analogie

1.2. Rechtsverfijning ( Penghalusan Hukum)

1.3 . Argumentum a Contrario

2 Upaya Penafsiran Hukum (Interpretatie)

Oleh JUDEX

PENCIPTAAN HUKUM (RECHTSSCHEPP INC)

(OUTPUT) LUARAN

JUDGE MADE LAW

Dalam kegiatan menafsirkan (interpretasi) dalam melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) ada unsur menciptakan hukum (rechtsschepping). Dapat dikatakan, bahwa mereka yang menelanjangi apa yang terdapat di belakang teks, hanyalah mengkonstatir apa yang ada, tetapi tidak dapat disangkal bahwa pekerjaan itu sekaligus bersifat mencipta, sebab tanpa kegiatan itu tidak dapat diketahui apa yang ada. Penafsir adalah sebagai penggali, ia tidak menciptakan, tetapi tanpa kegiatannya menggali tidak ada artinya. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pad a permukaan masih harus digali, dieari dan diketemukan, dan bukan hukumnya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Setiap penemuan hukurn (rechtsvinding) adalah juga peneiptaan hukum (rechtsschepping), karena itu setiap pengucapan putusan sekaligus merupakan sumbangan penciptaan hukum. Sangatlah keliru pendapat yang menyatakan penciptaan hukum itu dikarenakan hukumnya itu sarna sekali tidak ada, kemudian diciptakan dari tidak ada menjadi ada. Hukum itu tidak selalu berupa kaidah balk tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau perlstiwa. Di dalam perilaku atau peristiwa itulah terdapat hukumnya, dan dari perilaku atau peristiwa itu harus diketemukan atau digali kaidah atau hukumnya (Iihat Pasal 28 ayat 1 UU 4/2004).

94

Wijayanto Setiawan, Peran Hakim Agung .

1. Peran HakimAgung Dalam Penemuan Hukum Dan Penciptaan Hukum Pada Era Reformasi Dan Transformasi.

Nilai-nilai baru yang dibawa arus globalisasi ke dalam hukum di Indonesia banyak yang tidak dikenal dalam tata hukum di Indonesia, terutama bidang hukum ekonomi. Aturan peninggalan Hindia Belanda itu terlalu sumir, dapat dikatakan tidak memenuhi kebutuhan.

Hakim dalam menyelenggarakan fungsi peradilan, mempunyai hak otonomi : a. menafsirkan peraturan perundang-undangan ; b. mencari dan menemukan asasasas dan dasar-dasar hukum ; c. mencipta hukum baru apabila menghadapi kekosongan perundang-undangan ; d. bahkan dibenarkan melakukan "contra legem", apabila ketentuan suatu pasal perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum ; e. memiliki otonomi yang bebas mengikuti yurisprudensi (M. Yahya Harahap, 1993).

Kekosongan hukum tersebut hanya dapat ditutup melalui "penciptaan hukum" lewat mekanisme "judge made law" setelah hukumnya ditemukan oleh hakim dalam mengadili, "Iewat proses inilah pranata-pranata hukum asing dapat diadopsi atau teradopsi dengan penyesuaian seperlunya ke dalam tatanan hukurn nasional, misalnya "franchise", yang kemudian dapat mempengaruhi perundang-undangan" (Bernard Arief Sidharta , 2000).

Dalam menghadapi berbagai ragam nilai-nilai baru yang dibawa arus globalisasi di bidang hukum di era reformasi dan transformasi yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat sekarang ini, sangat diharapkan dan bahkan dituntut kecepatan dan ketangkasan improvisasi mencipta yurisprudensi. Penciptaan yurisprudensi yang seperti itu (nilai-nilai hukum yang dicipta melalui mekanisme judge made law) dalam mengantisipasi dan merekayasa nilai-nilai globalisasi tadi wajib dan tetap berpijak pada kepentingan dan kedaulatan hukum nasional dengan bertitik tolak sebagaimana yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945. Kita tidak semata-mata menjadi obyek tetapi harus mampu menjadi subyek.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum "civil law", namun secara berbarengan kita juga menganut "common law", karena dalam kehidupan hukum kita tetap diakui tata hukum adat namun dalam pembarengan kedua sistem tersebut kita tidak menganut "sistem presedent", oleh karena itu kehidupan praktek yang berkembang di Indonesia tidak secara prinsipil menganut asas "stare decisis". Asas peradilan yang berlaku di Indonesia itu ialah bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis. maka akhir-akhir ini tidak sedikit hakim yang dalam menjatuhkan putusannya, berkiblat pada putusan yang lebih tinggi mengenai perkara serupa dengan yang dihadapinya. Dalam hal ini Sudikno Mertokusumo menyatakan, "ini tidak berarti bahwa asasnya berubah menjadi "the

95

Perspektif Hukum, Vol. 7 No.2 November 2007 88 - 98

binding force of precedent" seperti yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi terikatnya karena "the persuasive force of precedent", yang disebabkan karena putusan yang diikuti, yang mengikatnya itu meyakinkan hakim untuk diikuti" (Sudikno Mertokusumo, 1996),

Peran yurisprudensi adalah penting untuk menjamin kesatuan hukum dalam pemecahan sengketa yang dihadapi hakim, pembinaan dan pengembangan yurisprudensi ini terutama terletak pad a tangan badan peradilan tertinggi di suatu negara, yaitu di Indonesia ada pada Mahkamah Agung, yang merupakan puncak dari keempat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (vide Pasal11 ayat 1 jo Pasal 10 ayat 2 UU 2/2004),

Penciptaan yurisprudensi oleh hakim agung itu sangat bermanfaat : a. menegakkan adanya standard hukum yang sama dalam kasus perkara yang sama atau serupa, dim ana undang-undang tidak mengatur hal itu atau belum mengaturnya ; b. menciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat dengan adanya standard hukum yang sama itu ; c. menciptakan adanya kesarnaan hukum serta sifat dapat diperkirakannya (Dredictable) pemecahan hukumnya ; d. mencegah terjadinya kemungkinan timbulnya disparitas dalam berbagai putusan hakim dalam kasus yang sama, sehingga apabila memang timbul perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lainnya dalam kasus yang sama, maka hal itu jangan sampai menlrnbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai varia bel secara kasuistik (case by case).

Dari yurisprudensi yang diciptakan hakim agung itu juga akan dapat ditentukan dan diketahui ke arah mana hukum kita akan dibawa.

Dari segala sesuatu yang terpapar di atas, maka peran hakim agung sebagai hakim pada tingkat kasasi dalam era reformasi dan transformasi yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat ini sangat diperlukan dan diharapkan untuk menemukan dan menciptakan "standard hukum" atau "law standard"yang benar-benar mengandung common basic idea yang berdimensi ganda menampung nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang dipadukan dengan nilai-nilai globalisasi, selanjutnya rumusan itu melahirkan hukum yang rasional, praktis dan aktual sehingga berbobot sebagai lithe maturity of law" (hukum yang matang). Dalam hal ini Oemar Seno Adji menyatakan, "melalui kasasi, Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan Uitbouwen dan Voortbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih lanjut) yurisprudensi (Oemar Seno Adji, tanpa tahun).

Demikian sekilas makalah mengenai "Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Dan Penciptaan Hukurn (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi Dan Transformasi". Maka untuk mengisi kekosongan hukum tersebut,

96

Wijayanlo Setiawan, Peran Hakim Agung .

para hakim sesuai dengan otonomi kebebasan yang mereka miliki dapat mengambil peran pembuat undang-undang mencipta hukum baru dalam bentuk yurisprudensi, sudah barang tentu peran itu terutarna sangat diharapkan dari Hakim Agung sebagai hakim pada peradilan negara tertinggi.

KESIMPULAN

1. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUO 1945 [o penjelasan Pasal 1 dan Pasal 28 ayat 1 UU 4/2004, hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari segala campur tangan extra yudicial wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Peraturan undang-undang itu sifatnya tidak lengkap, hukumnya harus diketemukan dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan dengan jalan penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping).

2. Penemuan hukurn adalah proses konkretisasi atau indualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa yang konkret (das sein) tertentu. Metode penemuan hukurn itu dapat dilakukan melalui 2 tehnik, pertama tehnik konstruksi hukum (penalaran), yang meliputi analogi, penghalusan hukum/penyempitan hukum dan argumentum a contrario dan kedua tehnik interpretasi (penafsiran).

3. Setiap penemuan hukum (rechtsvinding) adalah juga penciptaan nukum (rechtsschepping), karena itu setiap pengucapan putusan sekaligus merupakan sumbangan penciptaan hukum. Sangatlah keliru pendapat yang menyatakan penciptaan hukum itu dikarenakan hukurnnya itu sarna sekali tidak ada, kemudian diciptakan dari tidak ada rnenjadi ada. Hukum itu tidak selalu berupa kaidah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa. Oi dalam perilaku atau peristiwa itulah terdapat hukurnnya, dan dari perilaku atau peristiwa itu harus diketemukan atau digali kaidah atau hukumnya (Iihat Pasal 28 ayat 1 UU 4/2004).

SARAN

1. Dalam menghadapi berbagai ragam nilai-nilai baru yang dibawa arus globalisasi di bidang hukum di era reformasi dan transformasi yang dihadapi bangsa Indonesia pad a saat sekarang ini, sang at diharapkan dan bahkan dituntut kecepatan dan ketangkasan improvisasi mencipta yurisprudensi. Penciptaan yurisprudensi yang seperti itu (nilai-nllai hukum yang dicipta melalui mekanisme judge made law) dalarn mengantisipasi dan merekayasa nilai-nilai globalisasi tadi wajib dan tetap berpijak pada kepentingan dan kedaulatan hukum nasional dengan bertitik tolak

97

Perspektif Hukurn, Vol. 7 No.2 November 2007 : 88 - 98

sebagaimana yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945. Kita tidak sematamata menjadi obyek tetapi harus mampu menjadi subyek.

2. Peran hakim agung sebagai hakim pada tingkat kasasi dalam era reformasi dan transformasi yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat ini sangat diperlukan dan diharapkan untuk menemukan dan menciptakan "standard hukum" atau "law standard" yang benar-benar mengandung common basic idea yang berdimensi ganda menampung nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang dipadukan dengan nilai-nilai globalisasi, selanjutnya rumusan itu melahirl<an hukum yang rasional, praktis dan aktual sehingga berbobot sebagai "the maturity of law" (hukurn yang matang).

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Seno Oemar, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta, tanpa tahun. Franken, et ai, In leiden tot de rechtswetenschap, Gonda Ouint B. V., 1958, Arnhem.

Hadjon, M. Philipus, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Harahap, Yahya M., Peran Yurisprudensi Sebagai Standard Hukum Sangat Penting Pada Era Globalisasi, Makalah, Majalah Varia Peradilan, Nomer 136, Tahun 1993.

Loudoe, Z. John, Menemukan Hukum melalui Tafsir dan Fakta, Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Marzuki, Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Cetakan I, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 8ab-8ab Tentang Penemuan Hukum, Cetakan ke I, Citra Aditya Bakti, Yogya, 1993.

--, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Uberty, Yogyakarta, 1996.

Muladi, Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan Dan Perlindungan Hukum Dalam Era Globalisasi", Makalah, tt.

Sidharta, Bernard Arief, Wajah Hukum Di Era Reformasi, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2006.

98

You might also like