Professional Documents
Culture Documents
JIKA kita mendengar kata filsafat maka konotasi kita akan segera pada
sesuatu yang besifat prinsip yang juga sering dikaitkan pada pandangan
hidup yang mengandung nilai-nilai dasar (Zuhairini, 1991: 3). Pada
hakekatnya semua yang ada di alam ini sudah sejak awal menjadi pemikiran
dan teka-teki yang tak habis-habisnya diselidiki dan inilah yang menjadi
fundamen timbulnya filsafat.
Jadi, filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk
memahani secara radikal, integral dan universal tentang hakikat sarwa yang
ada (hakekat Tuhan, alam dan hakekat manusia), serta sikap manusia
termasuk sebagai konsekwensinya dari pemahamannya tersebut (Anshari,
19984: 12), dan manusia tentu mempersoalkan dirinya sendiri, bahkan boleh
dikatakan ia adalah teka-teki bagai dirinya sendiri, siapakah sebenarnya “aku”
ini ? (Salam, 1988:12)
Kalau demikian maka jelaslah bahwa hal ini memerlukan perenungan yang
mendalam dan meng-asas pada usaha akal dan pekerjaan pikiran manusia.
Karenanya filsafat-lah yang bertugas untuk mencari jawaban dengan cara
ilmiah, obyektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada
akal budi manusia. Karenanya filsafat itu timbul dari kodrat manusia.
PEMBAHASAN
Sebagai manusia yang dibekali akal untuk berpikir dan mencari ilmu pengetahuan.
Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan timbul, tentang dia sendiri,
tentang nasibnya, tentang kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Sikap
ini sudah menghasilkan pengetahuan yang sangat luas, yang secara metodis dan
sistematis dibagi atas banyak jenis ilmu. Namun, dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, sejumlah pertanyaan masih tetap terbuka dan sama aktualnya seperti
pada ribuan tahun yang lalu.
Selanjutnya mengenai arti kata filsafat itu sendiri : Kata “Filsafat” berasal dari
bahasa Yunani dan berarti “cinta-akan hikmat” atau “cinta akan ilmu
pengetahuan”. Seseorang “filsafat” adalah seorang “pecinta” , “pencari”
(“philos”). Hikmat atau pengetahuan (“sophia”). Kata “philosophos” diciptakan
untuk menekankan sesuatu. Pemikir-pemikir Yunani Pythagoras (582-496)
dan Plato (428-348). (Harri Hamersma, 1992 : 10)
ASAL FILSAFAT
Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk “berfilsafat”: keheranan, kesangsian
dan kesedaran keterbatasan. (Harri Hamersma, 1992 : 11)
Plato adalah murid setia Socrates. Ia menyatakan bahwa dunia kejiwaan berisi ide-
ide yang berdiri sendiri dan terlepas dari pangalaman-pengalaman hidup sehari-hari.
pada orang dewasa dan intelektual, orang dapat membedakan antara jiwa dan
badan, namun pada anak-anak jiwa masih tercampur dengan badan belum dapat
dipisahkan ide dari benda-benda konkret. Jiwa yang berisi ide-ide ini oleh Plato diberi
nama Psyche yang terdiri dari tiga bagian (trichotomi), yaitu:
Psyche yang terdiri dari tiga bagian berhubungan dengan pembagian kelas dalam
masyarakat. Dalam bukunya Republik, Plato mengatakan bahwa masyarakat terbagi
atas tiga kelas, yaitu :
Aristoteles adalah murid Plato yang terkenal dengan pemikiran yang berbeda
dengan gurunya. Ia berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan
(form) harus menempati wujud tertentu (matter). Wujud ini pada hakikatnya
merupakan ekspresi dari jiwa. Hanya Tuhanlah yang tak terwujud, Tuhan adalah
From saja, tanpa matter. Dengan pandangannya ini Aritoteles sering disebut
penganut empirisme ia juga disebut sebagai Bapak Psikologi karena berpendapat
bahwa segala sesuatu harus tertitik tolak dari satu realita, yaitu matter dan
pengalaman empiris merupakan sumber utama dari pengetahuan. (Abdul Rahmat
Shaleh-Muhbib Abdul Wahab, 2004 : 10)
Ontologi
Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika yang juga disebut dengan Proto-
filsafat atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah
Hakekat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan
dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi
dengan tenaga-tenaga yang di langit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan
surga.
Untuk mengetahui relitas semesta ini di dalam ruang lingkup ontologi secara
jelas, disini dibedakan antara metafisika dengan kosmologi:
Ontologi, secara etimologi yang berarti di balik atau dibelakang fisika, maka
yang diselidiki adalah hakekat realita menjangkau sesuatu dibalik realita
karena metafisika ingin mengerti sedalam-dalamnya.
Epistemologi
Epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Ferier di abad 19 di dalam Institut of
metaphisics (1854). Pencipta sesungguhnya adalah Plato sebab beliau telah
berusaha membahas pertanyan dasar, seperti apakah panca indra dapat
memberikan pengetahuan, dapatkah akal menyediakan pengetahuan.
Kau tak dapat mempermainkan saya, karena saya tahu siapa yang
mempermainkan dan yang tidak mempermainkan.
Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya (Ali,
1990:50)
Aksiologi
Moral Conduct, tindakan moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.
Nilai dan implikasi aksiologi ialah menguji dan mengintegrasikan semua nilai
tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian
manusia. Kerena untuk mengatakan sesuatu itu bernilai baik, bukanlah suatu
yang mudah. Apa lagi menilai dalam arti yang mendalam untuk membina
dalam kepribadian ideal. Berikut ini beberapa contoh yang dapat kita
pergunakan untuk menilai seseorang itu baik, yaitu:
Baiklah, Bu. Saya akan selalu baik dan taat kepada ibu !
Ilmu yang mempelajari tentang hakekat mansia disebut Antropologi Filsafat. Hakikat
berarti adanya berbicara menganai apa manusia itu, ada empat aliran yang
dikemukakan yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran
eksistensialisme.
Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada, itu hanyalah zat materi,
alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu
manusia adalah zat atau materi.
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia ini ialah ruh,
juga hakekat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di
atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain (selain ruh)
yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, peubahan atau
penjelmaan dari ruh (Gazalba, 1992: 288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu
lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada meteri. Hal ini mereka buktikan dalam
kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya
pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya.
Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan
badan ialah penjelmaan atau bayangan.
Aliran Dualisme
Aliran ini menggangap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua subtansi,
yaitu jasmani dan rohani. Keduanya subtansi ini masing-masing merupakan unsur
asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak bersal dari ruh
dan tidak bersal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan ruh.
Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling
mempengaruhi.
Aliran Eksistensialisme
Aliran filsafatr modern berpikir tentang hakikat manusia merupakan eksistensi atau
perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu, yaitu apa
yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini manusia dipandang tidak dari
sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi
memandangnya dari segi eksistensi itu sendiri didunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dardiri, A.H. Humanoria, Filsafat dan Logika, Jakarta : CV. Rajawali, 1986.
http://zaldym.wordpress.com/2008/07/15/filsafat-dan-hakekat-manusia-sebuah-
pengantar/
BAB I
HAKEKAT MANUSIA
TUJUAN :
Dalam pandangan klasik dan rasional tentang manusia faktanya manusia adalah
makhluk yang berakal. Menurut Plato akal adalah alat untuk mengarahkan budi
pekerti. Aristoteles juga berpendapat bahwa akal manusia adalah kekuatan yang
tertinggi dari jiwa dan merupakan kebanggaan dan keagungan manusia. Manusia
menurut pandangan ilmu Antropologi adalah homo sapien. Pandangan antropologi
budaya manusia adalah organisme sosio budaya. Pandangan ilmu psikologi manusia
adalah individu yang belajar. Pandangan ilmu sosiologi manusia adalah animal
sociale (binatang yang bermasyarakat). Menurut Aristoteles ilmu politika manusia
sebagai animal politicon (binatang yang hidup berpolitik). Pandangan ilmu ekonomi
manusia adalah animal econominicus (binatang yang terus berusaha memperoleh
kemakmuran materiil).
Sifat-sifat manusia yang demikian harus dipahami oleh para pelaku pendidikan
sebagai dasar pengembangan proses pendidikan guna mencapai hasil sebagaimana
diharapkan baik untuk masa depan peserta didik itu sendiri maupun untuk
pembangunan secara luas.
Setiap insan yang dilahirkan tentunya mempunyai pribadi yang berbeda atau menjadi
dirinya sendiri, sekalipun sanak kembar. Itulah uniknya manusia. Karena dengan
adanya individulitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, daya tahan yang berbeda. Kesanggupan untuk memikul
tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat essensial dari adanya
individualitas pada diri setiap insan.
Mengenal perbedaan individual murid ini sangat penting bagi guru, yaitu guru dapat
menyikapi siswa dengan cara tertentu dalam proses pembelajaran. Guru tidak bisa
memperlakukan siswa secara seragam. Keunikan siswa hendaknya dihadapi dengan
cara-cara yang beragam guna mencapai efektifitas pembelajaran.
Menurut Oxendine dalam (Tim Dosen TEP, 2005) bahwa perbedaan individualitas
setiap insan nampak secara khusus pada aspek sebagai berikut
1. Perbedaan fisik: usia, tingkat dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran,
penglihatan, kemampuan bertindak.
2. Perbedaan sosial: status ekonomi,agama, hubungan keluarga, suku.
3. Perbedaan kepribadian: watak, motif, minat dan sikap.
4. Perbedaan kecakapan atau kepandaian
Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak
dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Sebagai makhluk sosial
karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk
mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari
individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.
Manisfestasi manusia sebagai makhluk sosial, nampak pada kenyataan bahwa tidak
pernah ada manusia yang mampu menjalani kehidupan ini tanpa bantuan orang lain.
Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia
tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana
tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.
Hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan politik akan membentuk hukum,
mendirikan kaidah perilaku, serta bekerjasama dalam kelompok yang lebih besar.
Dalam perkembangan ini, spesialisasi dan integrasi atau organissai harus saling
membantu. Sebab kemajuan manusia nampaknya akan bersandar kepada kemampuan
manusia untuk kerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Kerjasama sosial
merupakan syarat untuk kehidupan yang baik dalam masyarakat yang saling
membutuhkan.
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi.
Menurut bahasa ilmiah sering digunakan istilah etiket (persoalan kepantasan dan
kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Jasi kesusilaan selalu berhubungan
dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah
makhluk susila. Dirjarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang
memiliki nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. (Dirjarkara, 1978,36-39) nilai-nilai
merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna
kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan
dijadikan pedoman dalam hidup.
Hubungan dan kebersamaan dengan sesama manusialah manusia dapat hidup dan
berkembang sebagai manusia. Manusia bertindak, tidak sembarang bertindak,
melainkan mereka dapat mempertimbangkan, merancang, dan mengarahkan
tindakannya. Persoalan mengenai masalah apakah tindakannya baik dan tidak baik,
adalah persoalan tentang nilai, persoalan norma, persoalan moral atau susila. Peran
pendidikan disini membantu mengarahkan perbuatan anak dalam kehidupannya
dimasa mendatang. Dengan pendidikan pula peserta didik dapat tumbuh kesadarannya
terhadap nilai, dapat tumbuh suatu sikap untuk berbuat dan mau berbuat selaras
dengan nilai, atau berbuat selaras dengan apa yang seharusnya diperbuat. Perbuatan
yang selaras dengan nilai itulah yang menjadi inti dari perbuatan yang bertanggung
jawab.
Kodrat manusia sebagai makhluk susila dapat hidup aktif-kreatif, sadar diri dan sadar
lingkungan, maka intervensi pendidikan bukan hanya sekedar penanaman kebiasaan
atau latihan namun juga memerlukan motivasi dan pembinaan kata hati atau hati
nurani yang kelak akan membentuk suatu keputusan. Oleh karena itu pendidikan
harus mampu menciptakan manusia susila, dengan mengusahakan peserta didik
menjadi manusia pendukung norma, kaidah, dan nilai-nilai susila dan sosial yang
dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Setiap individu harus dapat menyesuaikan terhadap kehidupan dan bertingkah laku
sesuai norma, nilai, dan kaidah yang berlaku pada masyarakat, agar individu tersebut
merasa aman, diterima dalam kelompok masyarakat tersebut.
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya memiliki aturan yang berupa norma, nilai
dan kaidah sosial yang mengatur tingkah laku individu yang bergabung didalamya.
Norma, nilai dan kaidah sosial tersebut merupakan hasil persetujuan bersama demi
untuk dilaksanakan dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan bersama
(Tim Dosen FIP UM, 1995).
E. Manusia sebagai Makhluk Keberagamaan
Manusia adalah makhluk beragama, dalam arti bahwa mereka percaya dan/atau
menyembah Tuha, melakukan ritual (ibadah) atau upacara-upacara. Suatu fenomena
bahwa manusia menyembah, berdoa, menyesali diri dan minta ampun kepada sesuatu
yang ghaib, walaupun kemudian ada yang menjadi agnostic (tidak mau tahu akan
adanya Tuhan) atau atheis (mengingkari adanya Tuhan). Mereka cenderung untuk
mengganti Tuhan yang bersifat pribadi seperti negara, ras, proses alam, pengabdian
total untuk mencari kebenaran atau ideal-ideal yang lain.
F. Potensi Manusia
Manusia dikaruniai fasilitas istimewa dan tidak dimiliki makhluk lain yaitu berupa
akal. Dengan akal, Tuhan memberi tugas untuk mengatur, mengelola,
memberdayakan dan menjaga kelestarian alam. Manusia juga diberikan kelebihan
yaitu rasa, karsa, cipta, karya, dan hati nurani. Dari semua kelebihan tersebut bisa
dikembangkan kedalam potensi-potensi yang bersumber dari cipta, yaitu potensi
intelektual atau intelectual quontien (IQ). Potensi dari rasa, yakni potensi emosional
atau emosional quontien (EQ) dan potensi spiritual atau spiritual quontien (SQ).
Sedangkan potensi yang bersumber dari karsa adalah potensi ketahanmalangan atau
adversity quontien (AQ) dan potensi vokasional quontien (VQ).
Dengan IQ, manusia mampu menyatakan benar dan salah berdasarkan intelektual.
Kita mampu menghitung, membuat konstruksi bangunan, meyusun program. Dengan
EQ, manusia mampu mengendalikan amarah, memiliki rasa iba, kasih sayang,
tanggung jawab, kerjasama dn kesenia (estetika). Dengan adanya EQ maka muncul
sikap sabar, lemah lembut ataupun sebaliknya. Dengan SQ, manusia membedakan
mana yang baik dan yang buruk. Potensi ini sangat terkait dengan etika atau nilai-nilai
moral, baik dan buruk, serta nilai-nilai keagamaan. Dengan AQ, manusia mampu
menghadapi berbagai hambatan dan tantangan hidup. Dengan adanya ini muncul
sikap tabah, tangguh, memiliki daya juang dan kreatifitas. Dengan VQ, manusia
mampu dan cenderung pada bidang-bidang ketrampilan atau kejuruan. Misalnya
bidang olahraga, kesenian, dan teknik. Pada hakekatnya, kedua potensi AQ dan VQ
merupakan manisfestasi dari berbagai potensi diri yang direalisasikan dalam tindakan.
http://www.infodiknas.com/daspen1/
Esensialisme.
1). Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif yang
moderen, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia
memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan
pengelolaannya.
2). Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan
budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilaiyang kukuh, tetap dan stabil
. Progresivisme.
3). Nilai bersifat relative, terutama nilai duniawi, menjelajah aktif, evolusioner
dan konsekuensi perilaku.
Pragmatisme.
Dengan demikian , maka yang benar adalah apa yang pada akhirnya
disewtujui oleh semua orang menyelidikinya..Kebenaran ditegaskan dalam
istilah-istilah penyelidikan.Kebenaran sama sekali bukan yang sekali ditentukan
kemudian tidak boleh diganggu gugat, sebab dalampraktiknya kebenaran itu
mempunyai nilai fungsional tetap.Segala pernyataaan yang dianggap benar pada
dasarnya bisa berubah.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan hati sejak Thales sampai Capra,
(Bandung: Rosdakarya, 2003), h. 144
Muhmidayeli, )p-Cit,h,162
Kata pragmatisme diambil dari darikata pragma (bahasa Yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan. Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders
Peirce ( 1839-1914), Filosof Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme
sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatis telah terdapat juga pada Socrates,
Aristoteles, Berceley dan Hume. Pragmatis pada abad 20 lebih dikenal dengan
prgamatis William James ia adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang
membuat pragmatisme menjadi terkenal di seluruh dunia. James mengatakan bahwa
gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak
disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan.
Bagi orang perorangan kepercayaan terhadap suatu realitas kosmis yang lebih tinggi
merupakan nilai subjektif yang relative sepanjang kepercayaan itu memberikan
kepercayaan penghiburan, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan.
Nilai agama memang tidak melebihi hal-hal subjektif, Oleh karena itu segala macam
pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, jikalau akibatnya sama-sama
memberikan kepuasan kepada kebutuhan keagamaan. Lihat Juhaya S. Praja, aliran-
aliranFilsafat dan etika h. 172-174, bandingklan dengan Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum,h. 189- 198
Filsafat Manusia.