You are on page 1of 23

FILSAFAT DAN HAKEKAT

MANUSIA (sebuah pengantar)


Posted on Juli 15, 2008 by zaldy munir

Oleh : Zaldy Munir

JIKA kita mendengar kata filsafat maka konotasi kita akan segera pada
sesuatu yang besifat prinsip yang juga sering dikaitkan pada pandangan
hidup yang mengandung nilai-nilai dasar (Zuhairini, 1991: 3). Pada
hakekatnya semua yang ada di alam ini sudah sejak awal menjadi pemikiran
dan teka-teki yang tak habis-habisnya diselidiki dan inilah yang menjadi
fundamen timbulnya filsafat.

Jadi, filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk
memahani secara radikal, integral dan universal tentang hakikat sarwa yang
ada (hakekat Tuhan, alam dan hakekat manusia), serta sikap manusia
termasuk sebagai konsekwensinya dari pemahamannya tersebut (Anshari,
19984: 12), dan manusia tentu mempersoalkan dirinya sendiri, bahkan boleh
dikatakan ia adalah teka-teki bagai dirinya sendiri, siapakah sebenarnya “aku”
ini ? (Salam, 1988:12)

Kalau demikian maka jelaslah bahwa hal ini memerlukan perenungan yang
mendalam dan meng-asas pada usaha akal dan pekerjaan pikiran manusia.
Karenanya filsafat-lah yang bertugas untuk mencari jawaban dengan cara
ilmiah, obyektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada
akal budi manusia. Karenanya filsafat itu timbul dari kodrat manusia.

Manusia mempunyai keistimewahan dari makhluk-makhluk yang lain, ia


diciptakan oleh Allah SWT begitu sempurna dan kesempurnaan ini manusia
dapat meningkatkan kehidupannya. Dengan berpikir atau bernalar,
merupakan satu bentuk kegiatan akan manusia melalui pengetahuan yang
kita terima melalui panca indra diolag dan ditunjukan untuk diri sendiri dengan
manifestasinya, ialah mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis,
menunjukan alasan-asalan, membuktukan sesuatu, menggolong-golongkan,
membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan
pemikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan lain-lain
(Salam, 1988:1). Sesuai dengan makna filsafat, yaitu sebagai ilmu yang
bertujuan untuk berusaha memahami semua yang timbul dalam keseluruhan
lingkup pengalaman manusia, maka berfilosofis memerlukan suatu ilmu
dalam mewujudkan pemahaman tersebut.

PEMBAHASAN

ARTI KATA “FILSAFAT”

Sebagai manusia yang dibekali akal untuk berpikir dan mencari ilmu pengetahuan.
Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan timbul, tentang dia sendiri,
tentang nasibnya, tentang kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Sikap
ini sudah menghasilkan pengetahuan yang sangat luas, yang secara metodis dan
sistematis dibagi atas banyak jenis ilmu. Namun, dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, sejumlah pertanyaan masih tetap terbuka dan sama aktualnya seperti
pada ribuan tahun yang lalu.

Pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian,


tentang hakekat manusia, tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan pertanyaan-
pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah terjawab oleh filsafat. Namun,
berfilsafat adalah tempat di mana pertanyaan-pertanyaan ini dikumpulkan,
diterangkan dan diteruskan. Berfilsafat adalah suatu ilmu tanpa batas. Filsafat
tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa-apa
yang menarik perhatian manusia.

Selanjutnya mengenai arti kata filsafat itu sendiri : Kata “Filsafat” berasal dari
bahasa Yunani dan berarti “cinta-akan hikmat” atau “cinta akan ilmu
pengetahuan”. Seseorang “filsafat” adalah seorang “pecinta” , “pencari”
(“philos”). Hikmat atau pengetahuan (“sophia”). Kata “philosophos” diciptakan
untuk menekankan sesuatu. Pemikir-pemikir Yunani Pythagoras (582-496)
dan Plato (428-348). (Harri Hamersma, 1992 : 10)

ASAL FILSAFAT

Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk “berfilsafat”: keheranan, kesangsian
dan kesedaran keterbatasan. (Harri Hamersma, 1992 : 11)

Keheranan: Banyak filsafat menunjukan rasa heran (dalam bahasa Yunani:


“Thaumasia”) sebagai asal filsafat. Plato umpamanya mengatakan : “Mata
kita memberikan pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit.
Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki dan dari penyelidikan ini
berasal dari fisafat.

Kesangsian : Filsafat-filsafat lain, seperti umpamanya Agustinus (354-430)


dan Poscartes (1596-1650) menunjukan sebagai kesangsian sebagai sumber
utama pemikiran. Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia
ditipu oleh panca indranya lalu ia heran? Apakah kita tidak hanya melihat
yang ingin kita lihat ? Di mana dapat menemuka kepastian ? Karena dunia ini
penuh dengan macam-macam pendapat, keyakinan dan interpretasi. Sikap ini
sikap skeptis (dari kata Yunani “Skepsis”, “penyelidikan”). Sangat berguna
untuk mengemukakan satu titik pangkal yang tidak diragukan lagi titik pangkal
ini dapat berfungsi sebagai dasar untuk semua pengetahuan lebih lanjut

Kesadaran akan keterbatasan : Filsafat-filsafat lain juga mengatakan bahwa


manusia mulai berfilsafat kalau ia menyadari betapa kecil dan lemah ia,
dibandingka dengan alam semesta sekelilingnya.

BEBERAPA TOKOH FILSAFAT

Socrates (469 – 399 SM)


Pandangan Socrates yang terpenting adalah pada diri setiap manusia terdapat
jawaban mengenai beberapa persoalan dalam dunia nyata. Hanya saja dari
kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa dalam dirinya terdapat jawaban dari
berbagai persoalan yang dihadapinya. Karena itu, diperlukan orang lain yang
membantu atau ikut mendorong menggunakan ide-ide atau jawaban yang masih
terpendam itu. Dan untuk diperlukan metode tanya jawab yang disebut metode
sokratis (socratis mothod) yang akan menimbulkan pengertian yang disebut
maieutics (menarik keluar seperti bidan).

Plato (427 – 347 SM)

Plato adalah murid setia Socrates. Ia menyatakan bahwa dunia kejiwaan berisi ide-
ide yang berdiri sendiri dan terlepas dari pangalaman-pengalaman hidup sehari-hari.
pada orang dewasa dan intelektual, orang dapat membedakan antara jiwa dan
badan, namun pada anak-anak jiwa masih tercampur dengan badan belum dapat
dipisahkan ide dari benda-benda konkret. Jiwa yang berisi ide-ide ini oleh Plato diberi
nama Psyche yang terdiri dari tiga bagian (trichotomi), yaitu:

Berpikir (logistion), berpusat di otak.

Berkehendak (thumeticon), berpusat di dada.

Berkeinginan (abdomen), berpusat di perut.

Psyche yang terdiri dari tiga bagian berhubungan dengan pembagian kelas dalam
masyarakat. Dalam bukunya Republik, Plato mengatakan bahwa masyarakat terbagi
atas tiga kelas, yaitu :

Filsuf, berfungsi berpikir dalam masyarakat.

Serdadu, berfungsi berperan untuk memenuhi berbagai dorongan dan kehendak


masyarakat terhadap bangsa lain.

Pekerja, berfungsi bekerja untuk memenuhi keinginan-keinginan masyarakat


akan pakaian, makanan, dan sebagainya, guna memenuhi kebutuhan sehari-
hari.

Selain itu, Plato juga berpaham determinisme dan nativisme dengan


berkeyakinan bahwa setiap orang sudah ditetapkan status dan kedudukannya
kelak dalam masyarakat sejak lahir. Manusia mempunyai kekhususan
tersendiri dan tidak sama, dengan demikian Plato dapat pula dikatakan
sebagai tokoh pemula dari paham individual difference (manusia berbeda
dengan manusia lainnya). Ia juga merupakan seorang rasionalis yang lebih
mementingkan rasio (akal) daripada fungsi-fungsi jiwa lainnya.

Aristoteles (384 –322 SM)

Aristoteles adalah murid Plato yang terkenal dengan pemikiran yang berbeda
dengan gurunya. Ia berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan
(form) harus menempati wujud tertentu (matter). Wujud ini pada hakikatnya
merupakan ekspresi dari jiwa. Hanya Tuhanlah yang tak terwujud, Tuhan adalah
From saja, tanpa matter. Dengan pandangannya ini Aritoteles sering disebut
penganut empirisme ia juga disebut sebagai Bapak Psikologi karena berpendapat
bahwa segala sesuatu harus tertitik tolak dari satu realita, yaitu matter dan
pengalaman empiris merupakan sumber utama dari pengetahuan. (Abdul Rahmat
Shaleh-Muhbib Abdul Wahab, 2004 : 10)

TEORI KEBENARAN MENURUT PANDANGAN FILSAFAT DALAM


BIDANG ONTOLOGIS, EPISTIMOLOGIS DAN AKSIOLOGI

Ontologi

Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika yang juga disebut dengan Proto-
filsafat atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah
Hakekat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan
dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi
dengan tenaga-tenaga yang di langit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan
surga.

Bramel menjelaskan bahwa interpretasi tentang satu realitas itu dapat


bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang
berbeda-beda pendapat menganai bentuknya, tetapi jika ditanyakan
bahannya pastilah meja itu subtansi dengan kualitas materi. Itulah yang
dimaksud dari setiap orang bahwa meja itu suatu realitas yang konkrit.
(kebenaran adalah kenyataan karena kenyataan mendekatkan pada
kebenaran dan bisa ditangkap oleh panca indra)

Jadi realitas yang dibahas pada ontologis ini dipergunakan untuk


membedakan apa yang hanya nampak saja atau nyata, sebagai contoh,
sebuah tongkat yang lurus, menurut perasaan kita masih lurus bila
diceburkan ke air menurut penglihatan tongkat itu bengkok dan setelah
diangkat tongaktnya itu kembali lurus.

Untuk mengetahui relitas semesta ini di dalam ruang lingkup ontologi secara
jelas, disini dibedakan antara metafisika dengan kosmologi:

Ontologi, secara etimologi yang berarti di balik atau dibelakang fisika, maka
yang diselidiki adalah hakekat realita menjangkau sesuatu dibalik realita
karena metafisika ingin mengerti sedalam-dalamnya.

Kosmologi tentang realita. Kosmos yakni tentang keseluruhan sistem


semesta raya dan kosmologi terbatas pada realita yang lebih nyata dalam arti
alam fisika yang material dalam memperkaya kepribadian manusia di dunia
tidaklah di alam raya dan isinya. Dalam arti sebagai pangalaman sehari-hari
akan tetapi suatu yang luas, realita fisi spiritual yang tetap dinamis.

Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara praktis akan menjadi


masalah yang utama. Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan
mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak-anak, baik di
masyarakat maupun di sekolah selalu dihadapi relaita, obyek pengalaman;
benda mati, benda hidup dan sebagainya.
Membimbing dan membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal
atas realita itu, adalah tahap pertama, sebagai stimulasi untuk meyelami
kebenaran itu. Secara sistematis anak-anak telah dibina potensi berpikir kritis
untuk mengerti kebenaran itu. Kewajiban pendidik melalui latar belakang
ontologis ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis. Implikasi manusia
yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isinya
dalam arti sebagai pengalaman sehari-hari, malainkan sesuatu yang tak
terbatas.

Epistemologi

Epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Ferier di abad 19 di dalam Institut of
metaphisics (1854). Pencipta sesungguhnya adalah Plato sebab beliau telah
berusaha membahas pertanyan dasar, seperti apakah panca indra dapat
memberikan pengetahuan, dapatkah akal menyediakan pengetahuan.

The Encyclopedia of Philosophi mendefinisikan epistemologi sebagai cabanga


filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-
anggapan-pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum, dari tuntunan
akan pengetahuan sebenarnya. Epistemologi ini adalah nama lain dari logika
meterial atau logika mayor yang membahas dari isi pikiran manusia yakni
pengetahuan (Dardini, 1986: 18). Sementara itu, Bramedl mendefinisikan
epistemologi “It is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is
conveying the truht to his student”. Artinya Epistemologi memberikan kepercayaan
dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada muri-muridnya.

Definisi lain, epistemologi ialah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita


mengetahui tentang benda-benda. (mengetahui sesuatu kerena ada
penyebabnya atau alasannya). Untuk lebih jelas pengertian tentang
epistemologi ini ada beberapa contoh peryataan-peryataan, yang
menggunakan kata “tahu” dan mengandung pengertian yang berbeda-beda
baik sumbernya maupun validitasnya.

Kau tak dapat mempermainkan saya, karena saya tahu siapa yang
mempermainkan dan yang tidak mempermainkan.

Tentu saja saya tahu ia sakit, kerena saya melihatnya.

Percayalah saya tahu apa yang saya bicarakan.

Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya (Ali,
1990:50)

Aksiologi

Aksiologi, yaitu suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Brameld


membedakan tiga bagian di dalam aksiologi, yaitu:

Moral Conduct, tindakan moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.

Esthetic Expression, ekspresi keindahan; yang melahirkan estetika.


Socio-political Life, kehidupan sosial-politik, bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-
politik (Syam, 1986:34-36).

Nilai dan implikasi aksiologi ialah menguji dan mengintegrasikan semua nilai
tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian
manusia. Kerena untuk mengatakan sesuatu itu bernilai baik, bukanlah suatu
yang mudah. Apa lagi menilai dalam arti yang mendalam untuk membina
dalam kepribadian ideal. Berikut ini beberapa contoh yang dapat kita
pergunakan untuk menilai seseorang itu baik, yaitu:

Baiklah, Bu. Saya akan selalu baik dan taat kepada ibu !

Nak, bukankah ini bacaan yang baik untukmu ?

Baiklah Pak, aku akan mengamalkan ilmuku !

Dengan contoh-contoh di atas, kita dapat memahami baik itu secara


komprehensif, karena dimasyarakat kita nila-nilai itu sedemikain terintegrasi
dan berintegrasi.

PANDANGAN FILSAFAT TENTANG HAKEKAT MANUSIA

Ilmu yang mempelajari tentang hakekat mansia disebut Antropologi Filsafat. Hakikat
berarti adanya berbicara menganai apa manusia itu, ada empat aliran yang
dikemukakan yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran
eksistensialisme.

Aliran Serba Zat

Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada, itu hanyalah zat materi,
alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu
manusia adalah zat atau materi.

Aliran Serba Ruh

Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia ini ialah ruh,
juga hakekat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di
atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain (selain ruh)
yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, peubahan atau
penjelmaan dari ruh (Gazalba, 1992: 288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu
lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada meteri. Hal ini mereka buktikan dalam
kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya
pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya.

Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan
badan ialah penjelmaan atau bayangan.

Aliran Dualisme

Aliran ini menggangap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua subtansi,
yaitu jasmani dan rohani. Keduanya subtansi ini masing-masing merupakan unsur
asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak bersal dari ruh
dan tidak bersal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan ruh.
Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling
mempengaruhi.

Aliran Eksistensialisme

Aliran filsafatr modern berpikir tentang hakikat manusia merupakan eksistensi atau
perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu, yaitu apa
yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini manusia dipandang tidak dari
sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi
memandangnya dari segi eksistensi itu sendiri didunia ini.

Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan


berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa
badan dan ruh adalah subtansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan
keduanya diciptakan oleh Allah, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan
pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Pendirian Islam bahwa
manusia terdiri dari subtansi, yaitu meteri dari ilmu dan ruh yang berasal dari
Tuhan, maka hakikat pada manusia adalah ruh sedangkan jasadnya
hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh saja, tanpa kedua subtansi
tersebut tidak dapat dikatakan manusia. ■

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Kota Kembang, 1990.

Anshari, E.S, Wawasan Islam, Jakarta : CV. Rajawali, 1984.

Dardiri, A.H. Humanoria, Filsafat dan Logika, Jakarta : CV. Rajawali, 1986.

Gazalba, S, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Yogyakarta : Kanisius,


1990.

Hamersma, Harry, Pintu Masuk Kedunia Filsafat, Yogyakarta : Pustaka


Filsafat, 1992, Cet. Ke-10,

Ihsan, Hamdani, H, dan Ihsan, A Fuad, H, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung


: Pustaka Setia, 2001, Cet. ke-2.

Jalaluddin, H, dan Idi, Abdullah, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan


Pendidikan, Jakarta : PT Gaya Media Pratama, 2002, Cet. ke-2.

Rahmat Shaleh, Abdul – Abdul Wahab, Muhbib, Psikologi Suatu Pengantar


Dalam Prespektif Islam, Jakarta : Prenada Media, 2004, cet. Ke-1

Salam, B, Filsafat Manusia Antropologi Metafisika, Jakarta : PT. Bina Aksara,


1988.

_______, Logika Formal, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1988.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1991.


This entry was posted in Fokus Kajian and tagged Artikel, Berita, Budaya, Fokus
Kajian, Info, Informasi, Opini, Politik, Tips. Bookmark the permalink.
← BATASAN PORNOGRAFI MENURUT PERSPEKTIF AL-QURAN
DAN BIBLE
KEHANCURAN MORALITAS POLITIK INDONESIA →

http://zaldym.wordpress.com/2008/07/15/filsafat-dan-hakekat-manusia-sebuah-
pengantar/
BAB I

HAKEKAT MANUSIA

TUJUAN :

Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat:

1. Merumuskan pengertian hakekat manusia.

2. Menjelaskan pengertian manusia menurut pandangan ilmiah dan filsafat.

3. Menjelaskan pandangan manusia sebagai makhluk individu.

4. Menjelaskan pandangan manusia sebagai makhluk sosial.

5. Menjelaskan pandangan manusia sebagai makhluk susila.

6. Menjelaskan pandangan manusia sebagai makhluk keberagamaan.

7. Membandingkan perbedaan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial,


makhluk susila dan makhluk keberagamaan

8. Menganalisis perbedaan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial,


makhluk susila dan makhluk keberagamaan.

9. Menganalisis potensi manusia.

A. Manusia Menurut Pandangan Ilmiah dan Filsafat

Dalam pandangan klasik dan rasional tentang manusia faktanya manusia adalah
makhluk yang berakal. Menurut Plato akal adalah alat untuk mengarahkan budi
pekerti. Aristoteles juga berpendapat bahwa akal manusia adalah kekuatan yang
tertinggi dari jiwa dan merupakan kebanggaan dan keagungan manusia. Manusia
menurut pandangan ilmu Antropologi adalah homo sapien. Pandangan antropologi
budaya manusia adalah organisme sosio budaya. Pandangan ilmu psikologi manusia
adalah individu yang belajar. Pandangan ilmu sosiologi manusia adalah animal
sociale (binatang yang bermasyarakat). Menurut Aristoteles ilmu politika manusia
sebagai animal politicon (binatang yang hidup berpolitik). Pandangan ilmu ekonomi
manusia adalah animal econominicus (binatang yang terus berusaha memperoleh
kemakmuran materiil).

Manusia menurut pandangan filsafat manusia adalah:

1. Manusia seutuhnya (animal symbolicum).


2. Hewan yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk
menyatakan pikiran sebagai milik manusia yang unik (animal rationale).
3. Hewan yang mempunyai kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol
untuk mengkomunikasikan pikirannya (animal sociale).
4. Hewan yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk
menalar dan menyadari sebagai pribadi yang menalar.
5. Hewan yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk
mengkombinasikan unsur-unsur yang menghasilkan suatu yang kreatif.
6. Hewan yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol maka
dapat mengadakan perbedaan moral.
7. Hewan yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol dapat
menyadari diri sendiri sebagai pribadi.

Sifat-sifat manusia yang demikian harus dipahami oleh para pelaku pendidikan
sebagai dasar pengembangan proses pendidikan guna mencapai hasil sebagaimana
diharapkan baik untuk masa depan peserta didik itu sendiri maupun untuk
pembangunan secara luas.

B. Manusia sebagai Makhluk Individu

Setiap insan yang dilahirkan tentunya mempunyai pribadi yang berbeda atau menjadi
dirinya sendiri, sekalipun sanak kembar. Itulah uniknya manusia. Karena dengan
adanya individulitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, daya tahan yang berbeda. Kesanggupan untuk memikul
tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat essensial dari adanya
individualitas pada diri setiap insan.

Mengenal perbedaan individual murid ini sangat penting bagi guru, yaitu guru dapat
menyikapi siswa dengan cara tertentu dalam proses pembelajaran. Guru tidak bisa
memperlakukan siswa secara seragam. Keunikan siswa hendaknya dihadapi dengan
cara-cara yang beragam guna mencapai efektifitas pembelajaran.

Menurut Oxendine dalam (Tim Dosen TEP, 2005) bahwa perbedaan individualitas
setiap insan nampak secara khusus pada aspek sebagai berikut

1. Perbedaan fisik: usia, tingkat dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran,
penglihatan, kemampuan bertindak.
2. Perbedaan sosial: status ekonomi,agama, hubungan keluarga, suku.
3. Perbedaan kepribadian: watak, motif, minat dan sikap.
4. Perbedaan kecakapan atau kepandaian

Sifat-sifat keindividualitasan setiap insan perlu ditumbuhkembangkan melalui


pendidikan agar bisa menjadi kenyataan, disini pendidikan berfungsi membantu
peserta didik untuk membentuk kepribadianya atau keindividualannya. Sebagai
makhluk individu, manusia memerlukan pola tingkah lak yang bukan merupakan
tindakan instingtif, dan hal ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan dan
pengalaman belajar (Tim Dosen FIP-UM,1995). Pendidikan harus mengembangkan
peserta didik agar mampu menolong dirinya sendiri. Pendidik hanya menunjukan
jalan dan memberikan motivasi bagaimana cara memperoleh sesuatu dalam
mengembangkan dirinya. Artinya bahwa dalam proses pendidikan itu yang aktif
bukan hanya pendidik tetapi juga peserta didik. Proses pendidikan adalah tindakan
bersama, berlangsung dalam suatu pergaulan timbal balik, yang juga memperhatikan
kepribadian tiap peserta didik, kesefahaman,keserasian, kebersamaan antara pendidik
dan peserta didik untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan ini merupakan dasar
untuk menumbuhkan kewibawaan pendidik. Pendidikan adalah suatu hak
fundamental, maka masyarakat mempunyai kewajiban untuk memberikan kesempatan
pendidikan yang diimplikasikan oleh hak itu, (Arbi, 1988). Pendidikan merupakan
tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Dilain pihak
dikatan bahwa pendidikan berhubungan untuk ”dapat membangun diri sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.

C. Manusia sebagai Makhluk Sosial

Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak
dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Sebagai makhluk sosial
karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk
mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari
individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.

Manisfestasi manusia sebagai makhluk sosial, nampak pada kenyataan bahwa tidak
pernah ada manusia yang mampu menjalani kehidupan ini tanpa bantuan orang lain.

Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial, justru memberikan rasa tanggungjawab


untuk mengayomi individu yang jauh lebih ”lemah” dari pada wujud sosial yang
”besar” dan ”kuat”. Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non formal (masyarakat)
maupun dalam bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan wibawanya wajib
mengayomi individu.

Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia
tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana
tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.

Hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan politik akan membentuk hukum,
mendirikan kaidah perilaku, serta bekerjasama dalam kelompok yang lebih besar.
Dalam perkembangan ini, spesialisasi dan integrasi atau organissai harus saling
membantu. Sebab kemajuan manusia nampaknya akan bersandar kepada kemampuan
manusia untuk kerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Kerjasama sosial
merupakan syarat untuk kehidupan yang baik dalam masyarakat yang saling
membutuhkan.

Melalui pendidikan dapat dikembangkan suatu keadaan yang seimbang antara


perkembangan aspek individual, sosial, moral dan religi, agar menjadi manusia yang
bisa menjalani kehidupan bersama.

D. Manusia sebagai Makhluk Susila

Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi.
Menurut bahasa ilmiah sering digunakan istilah etiket (persoalan kepantasan dan
kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Jasi kesusilaan selalu berhubungan
dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah
makhluk susila. Dirjarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang
memiliki nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. (Dirjarkara, 1978,36-39) nilai-nilai
merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna
kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan
dijadikan pedoman dalam hidup.

Hubungan dan kebersamaan dengan sesama manusialah manusia dapat hidup dan
berkembang sebagai manusia. Manusia bertindak, tidak sembarang bertindak,
melainkan mereka dapat mempertimbangkan, merancang, dan mengarahkan
tindakannya. Persoalan mengenai masalah apakah tindakannya baik dan tidak baik,
adalah persoalan tentang nilai, persoalan norma, persoalan moral atau susila. Peran
pendidikan disini membantu mengarahkan perbuatan anak dalam kehidupannya
dimasa mendatang. Dengan pendidikan pula peserta didik dapat tumbuh kesadarannya
terhadap nilai, dapat tumbuh suatu sikap untuk berbuat dan mau berbuat selaras
dengan nilai, atau berbuat selaras dengan apa yang seharusnya diperbuat. Perbuatan
yang selaras dengan nilai itulah yang menjadi inti dari perbuatan yang bertanggung
jawab.

Pandangan manusia sebagai makhluk susila atau bermoral, bersumber pada


kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan
pengabdi norma-norma. Pendirian ini sesuai dengan analisa ilmu jiwa dalam tentang
struktur jiwa (das Es, das Ich dan das uber ich). Struktur jiwa yang disebut das Uber
Ich (super ego) yang sadar nilai esensial manusia sebagai makhluk susila. Kesadaran
susila (sense of morality) tidak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, sebab adanya
nilai, efektifitas nilai, berfungsinya nilai hanya ada di dalam kehidupan sosial, artinya
kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial. Tiap hubungan sosial mengandung
hubungan moral. “Tiada hubungan sosial tanpa hubungan susila, dan tiada hubungan
susila tanpa hubungan sosial” (Noorsyam, 1986).

Kodrat manusia sebagai makhluk susila dapat hidup aktif-kreatif, sadar diri dan sadar
lingkungan, maka intervensi pendidikan bukan hanya sekedar penanaman kebiasaan
atau latihan namun juga memerlukan motivasi dan pembinaan kata hati atau hati
nurani yang kelak akan membentuk suatu keputusan. Oleh karena itu pendidikan
harus mampu menciptakan manusia susila, dengan mengusahakan peserta didik
menjadi manusia pendukung norma, kaidah, dan nilai-nilai susila dan sosial yang
dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.

Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma,nilai dan kaidah


masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mempunyai beberapa alasan, antara lain:

1. Untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai individu

Setiap individu harus dapat menyesuaikan terhadap kehidupan dan bertingkah laku
sesuai norma, nilai, dan kaidah yang berlaku pada masyarakat, agar individu tersebut
merasa aman, diterima dalam kelompok masyarakat tersebut.

1. Untuk kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri

Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya memiliki aturan yang berupa norma, nilai
dan kaidah sosial yang mengatur tingkah laku individu yang bergabung didalamya.
Norma, nilai dan kaidah sosial tersebut merupakan hasil persetujuan bersama demi
untuk dilaksanakan dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan bersama
(Tim Dosen FIP UM, 1995).
E. Manusia sebagai Makhluk Keberagamaan

Manusia adalah makhluk beragama, dalam arti bahwa mereka percaya dan/atau
menyembah Tuha, melakukan ritual (ibadah) atau upacara-upacara. Suatu fenomena
bahwa manusia menyembah, berdoa, menyesali diri dan minta ampun kepada sesuatu
yang ghaib, walaupun kemudian ada yang menjadi agnostic (tidak mau tahu akan
adanya Tuhan) atau atheis (mengingkari adanya Tuhan). Mereka cenderung untuk
mengganti Tuhan yang bersifat pribadi seperti negara, ras, proses alam, pengabdian
total untuk mencari kebenaran atau ideal-ideal yang lain.

Hubungan pribadi manusia dengan Tuhan lebih bersifat trasendental, karena


hubungan ini lebih banyak melibatkan rohani pribadi manusia yang bersifat
perseorangan. Dengan adanya agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan
hidupnya. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama,
penanaman sikap dan kebiasaan dalam beragama dimulai sedini mungkin, meskipun
masih terbatas pada latihan kebiasaan (habit formation). Tetapi sebagai
pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada
satu pihak sekolah saja atau orang tua saja melainkan keduannya harus berperan. Oleh
karena itu dimasukkannya kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah.

Tugas pendidikan yaitu membina pribadi manusia untuk mengerti, memahami,


menghayati, dan mengamalkan aspek-aspek religi dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Selaras dengan pandangan manusia sebagai makhluk beragama, maka menggali
nilai-nilai yang melandasi pendidikan itu hendaknya memperhatikan nilai-nilai yang
bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa dengan meyeimbangkan antara kehidupan
dunia dan akherat.

F. Potensi Manusia

Manusia dikaruniai fasilitas istimewa dan tidak dimiliki makhluk lain yaitu berupa
akal. Dengan akal, Tuhan memberi tugas untuk mengatur, mengelola,
memberdayakan dan menjaga kelestarian alam. Manusia juga diberikan kelebihan
yaitu rasa, karsa, cipta, karya, dan hati nurani. Dari semua kelebihan tersebut bisa
dikembangkan kedalam potensi-potensi yang bersumber dari cipta, yaitu potensi
intelektual atau intelectual quontien (IQ). Potensi dari rasa, yakni potensi emosional
atau emosional quontien (EQ) dan potensi spiritual atau spiritual quontien (SQ).
Sedangkan potensi yang bersumber dari karsa adalah potensi ketahanmalangan atau
adversity quontien (AQ) dan potensi vokasional quontien (VQ).

Dengan IQ, manusia mampu menyatakan benar dan salah berdasarkan intelektual.
Kita mampu menghitung, membuat konstruksi bangunan, meyusun program. Dengan
EQ, manusia mampu mengendalikan amarah, memiliki rasa iba, kasih sayang,
tanggung jawab, kerjasama dn kesenia (estetika). Dengan adanya EQ maka muncul
sikap sabar, lemah lembut ataupun sebaliknya. Dengan SQ, manusia membedakan
mana yang baik dan yang buruk. Potensi ini sangat terkait dengan etika atau nilai-nilai
moral, baik dan buruk, serta nilai-nilai keagamaan. Dengan AQ, manusia mampu
menghadapi berbagai hambatan dan tantangan hidup. Dengan adanya ini muncul
sikap tabah, tangguh, memiliki daya juang dan kreatifitas. Dengan VQ, manusia
mampu dan cenderung pada bidang-bidang ketrampilan atau kejuruan. Misalnya
bidang olahraga, kesenian, dan teknik. Pada hakekatnya, kedua potensi AQ dan VQ
merupakan manisfestasi dari berbagai potensi diri yang direalisasikan dalam tindakan.

Berikut akan dideskripsikan bagaimana potensi-potensi itu berproses pada diri


manusia. Potensi pikir, awal dari proses pengembangan diri manusia. Contoh, seorang
pelukis ingin membuat sebuah gambar yang menarik menurut pendiriannya. Dia
punyai ide atau pikiran wujud benda yang mau dilukis, katakanlah gambar wanita.
Setelah ide itu muncul dan pikiran mulai berproses, selanjutnya dia menilai secara
psikologis (rasa) bahwa model gambar wanita yang mau dilukis itu cocok, indah, dan
menarik. Berikutnya muncul kehendak (rasa) untuk mewujudkan keinginan membuat
lukisan wanita itu. Kehendak akan muncul dan ingin diwujudkan apabila hasil
penilaian psikologis (rasa) cocok dengan selera sang pelukis. Selanjutnya, ketika pada
diri manusia sudah ada kehendak untuk mewujudkan lukisan wanita, daya cipta
muncul bagaimana memulai dan menggambarkan model lukisan yang diinginkan.
Hasil dari daya cipta ditunjukkan dengan wujud nyata, yakni yang berupa lukisan
wanita sebagaimana yang dibayangkannya. Karena manusia adalah mahluk beretika,
termasuk pelukisnya juga mahluk etika, maka karya cipta manuisa itu harus
mengandung nilai etika. Tidak semaunya pelukis itu membuat lukisan apapun tanpa
mempertimbangkan etika. Kalau tidak, walaupun karya ciptanya bisa diterima orang
lain, itu sangat terbatas. Tetapi jika etika sosial dan keagamaan menjadi dasar dari
semua karya cipta manusia akan sangat memungkinkan untuk diterima oleh lebih
banyak orang dan lebih abadi. Inilah fungsi daripada potensi hati nurani dalam diri
manusia, yang berfungsi sebagai penyeleksi dan memberi penerangan pada setiap
karya cipta manusia. (Rulam Ahmadi)

http://www.infodiknas.com/daspen1/
Esensialisme.

a. Hakikat dan prinsip esensialisme

Filsafat Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan pada nialai-nilai


kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Ia muncul pada
zaman renaissance dengan ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.
Perbedaan utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang
penuh fleksebelitas, dimana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Essemnsialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memeiliki kejelasan dan tahan
lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas. essensislisme suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide
filsafat idealisme objektif di satu sisi dan realisme objektif di sisi lainnya. Oleh
karena itu wajar jika ada yang mengatakan Platolah sebagai peletak asas-asas
filosofis aliran ini, ataupun Aristoteles dan Democratos sebagai peletak dasar-
dasarnya. Kendatipun aliran ini kemunculan aliran ini di dasari oleh pemikiran
filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles, namun bukan berarti kedua aliran
ini lebur kedalam paham esensialisme. Aliran filsafat essensialisme pertama kali
muncul sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan.
Filsafat ini menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena
kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.

Dari paparan diatas dapat disimpulkanb bahaw prinsip-prinsip Essensislisme adalah :

1). Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif yang
moderen, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia
memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan
pengelolaannya.

2). Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan
budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilaiyang kukuh, tetap dan stabil

3). Nilai (kebenaran bersifat korespondensi ).berhubungan antara gagasan dengan


fakta secara objekjtif.
4). Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merefleksikan humanisme
klasik yang berkembang pada zaman renaissance.

. Progresivisme.

a. Pengertian dan Ciri-ciri

Progresivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan


kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam filsafat pendidikan progrevisme adalah
suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian
sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik tetapi hendaklah berisi aktivitas-
aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka sedemikian
rupa sehingga mereka dapat berpikir secara sistimatis melalui cara-cara ilmiah
seperti memberikan analisis, pertimbangan dan pembuatan kesimpulan menuju
pemelihan alternative yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah
yang dihadapi. Progresivisme disebut juga instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelejensi manusia sebagai alat untuk hidup,
untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dia disebut eksperimentalisme
karena aliran tersebut mneyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang
merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Ia juga dinamakan
enviromentalisme karena aliran ini memnggap bahwa lingkungan hidup
mempengaruhi pembinaan kepribadian . Adapun ciri-ciri filsafat progresivisme
adalah :

1). Progresivisme berakar pada pragmatisme.

2). Sasaran pendidikan ialah meningkatkan kecerdasan praktis (kompetensi)


dalam rangka efektivitas pemecahan masalah yang disajikan melalui
pengalaman.

3). Nilai bersifat relative, terutama nilai duniawi, menjelajah aktif, evolusioner
dan konsekuensi perilaku.

Pragmatisme.

a. Hakikat dan Ciri-ciri Pragmatisme


Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa
yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis.Aliran ini bersedia menerima apa saja, asal saja
membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, mistik semua bisa
diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asal membawa akibat yang
praktis yang bermanfaat.. dengan demikian, Patokan pragmatis adalah manfaat
bagi hidup praktis.

Di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat tersendiri dengan


melekatnya nama William James sebagai tokohnya, di samping John Dewey.Di
InggrisF.c Schiller.

Filsafat pragmatis dalam perkembangannya selanjutnya, aliran ini


menyetujui tiga patokan yaitu : (1)Menolak segala inteletualiasme
(2)Obsolutisme (3) meremehkan logika formal. Aliran ini memandang realitas
sebagai Sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan terus menerus. James
mengatakan bahwa kebenaran tiada yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal.
Sebab pengalaman berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena didalam praktiknya
apa yang kita anggap benar dapat dikorelasi oleh pengalaman berikutnya, Oleh
karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak yang adalah kebenaran-kebenaran
yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali
dapat berubah oleh pengalaman berikutnya.sementara itu Horne mengatakan
bahwa pragmatis adalah satu aliran yang lebih mementingkan orientasinya
kepada pandangan antriposentris (berpusat kepada manusia) kemampuan
kreativitas dan pertumbuhan manusia kearah hal-hal yang bersifat praktis,
kemampuan kecerdasan dan individualita serta perbuatan dalam masyarakat.

Mempergunakan pengalaman sebagai usaha mencapai kebenaran yang


hakiki. Hal ini berarti bahwa manusia akan mampu membuat hakikat bagi
dirinya, sebab manusia merupakan subjek yang mengalami dan membahas hasil
pengalaman. Melalui proses pembahasan tersebut, pada gilirannya manusia kan
menemukan nilai-nilai dan hakikat yang berguna dalam hidupnya. Untuk keluar
dari pikiran yang abstrak ke dunia nyata digunakan metode ilmiah. Untuk itu
agar manusia sampai pada hakikat maka metode yang digunakan adalah metode
induktif. Ilmu pengetahuan diambil sifatnya dari dan dalam kerja. Sebelumnya
nilai hanya merupakan pengetahuan sebelum teruji secara ilmiah dalam
pengalaman..

Dengan demikian , maka yang benar adalah apa yang pada akhirnya
disewtujui oleh semua orang menyelidikinya..Kebenaran ditegaskan dalam
istilah-istilah penyelidikan.Kebenaran sama sekali bukan yang sekali ditentukan
kemudian tidak boleh diganggu gugat, sebab dalampraktiknya kebenaran itu
mempunyai nilai fungsional tetap.Segala pernyataaan yang dianggap benar pada
dasarnya bisa berubah.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan hati sejak Thales sampai Capra,
(Bandung: Rosdakarya, 2003), h. 144

Djumransjah, Pengantar Filsafat pendidikan,( Malang: Bayumedia, 2004), h.


185, Zuhairini, Filsafat Pendidikan islam, Jakarta: Bumi aksara, 1992, h. 27

Muhammd Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan dasar filsafat Pancasila,


(Srabaya: usaha nasional, 1986), h. 295

Oong Komar, Filsafata Pendidikan Non Formal, (Bandung : Pustaka setia,


2006),h.158

Jalaluddin, Abdullah Idi, Op-Cit, h. 81

Zuhairini, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 1991), h. 21

Idealisme positif mempunyai pandanagan bahwa realitas adalah sama dengan


substansi gagasan-gagasan atau ided-ide dibalik penomena ada jiwa yang tidak
terbatas yaitu Tuhan yang merupakan pencipta adanya kosmos. Sedangakan realisme
positif titik berat tinjauannya adalah alam dan dunia pisik , Jallauddin h. 82

Muhmidayeli, filsafat pendidikan Islam,( Yogyakarta:Aditya media, 2005),


h.184

B.Hamdani Ali, Filsafat pendiikan, (Yogyakarta : kota kembang, 1993), h.


116

Muhmidayalei, Op-Cit, 185

Muhmidayeli, )p-Cit,h,162

Jalaluddin, Adullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gramedia Pratama,


1997), h. 70
I b I d, h. 72

Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian adanya


pergaulan. Masyrakat menjadi wadah timbulnya nialai-nilai. Bahasa adalah sarana
ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan kecerdasan dari individu-
individu. Bernadib 1994; 31-33. Lihat Jalaluddin,Nilai itu benar atau salah baik atau
buruk dapat dikatas ada bila menunjukkan kecocokaN dengan hasil pengujian yang
dialami manusia dalam pergaulannya.

Kata pragmatisme diambil dari darikata pragma (bahasa Yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan. Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders
Peirce ( 1839-1914), Filosof Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme
sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatis telah terdapat juga pada Socrates,
Aristoteles, Berceley dan Hume. Pragmatis pada abad 20 lebih dikenal dengan
prgamatis William James ia adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang
membuat pragmatisme menjadi terkenal di seluruh dunia. James mengatakan bahwa
gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak
disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan.
Bagi orang perorangan kepercayaan terhadap suatu realitas kosmis yang lebih tinggi
merupakan nilai subjektif yang relative sepanjang kepercayaan itu memberikan
kepercayaan penghiburan, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan.
Nilai agama memang tidak melebihi hal-hal subjektif, Oleh karena itu segala macam
pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, jikalau akibatnya sama-sama
memberikan kepuasan kepada kebutuhan keagamaan. Lihat Juhaya S. Praja, aliran-
aliranFilsafat dan etika h. 172-174, bandingklan dengan Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum,h. 189- 198
Filsafat Manusia.

Tinjauan kefilsafatan tentang manusia


Menurut tinjauan kefilsafatan manusia adalah makhluk yang bertanya,
dalam hal ini manusia sebagai makhluk yang mempertanyakan dirinya sendiri dan
keberadaannya. Dalam hal ini manusia mulai tahu keberadaannya dan menyadari
bahwa dirinya adalah penanya.
Apabila ditinjau dari segi dayanya, maka jelaslah manusia memiliki dua
macam daya. Disatu pihak manusia memiliki daya untuk mengenal dunia rohani,
yang nous, suatu daya intuitip, yang kerena kerjasama dengan akal menjadikan
manusia dapat memikirkan serta membicarakan hal-hal yang rohani. Di lain pihak
manusia memiliki daya pengamatan (aisthesis), yang karena pengamatan yang
langsung yang disertai dengan daya penggambaran atau penggagasan menjadikan
manusia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pengamatan.
Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh, yang keduanya dapat berdiri sendiri-
sendiri. Jiwa berada dalam tubuh seperti terkurung dalam penjara dan hanya
kematian yang dapat melepaskan belenggu tersebut.
Tujuan kefilsafatan manusia diatas menitik beratkan pada dayanya, manusia
sebagai idea, yaitu sebagai manusia yang tak bertubuh. Telah ada kekal sejak
logos, jiwa dibedakan antara jiwa sebagai kekuatan hidup (psuke) dan jiwa
sebagai kekuatan akali (nous, dianoia, psuke logike). Jiwa sebagai kekuatan hidup
berada dalam darah dan tidak dapat binasa. Jiwa yang besifat akali ayau nous
lebih tinggi tingkatannya karena merupakan jiwa yang bersifat ilahi. Sebelum
manusia dilahirkan jiwa ini sudah ada jiwa ini tidak dapat binasa. Ia memasuki
tubuh dari luar. Di dalam tubuh jiwa itu dipenjara. Karena itu hidup di dunia ini
adalah kejahatan. Kematian merupakan wujud suatu kebebasan, dimana manusia
orang dibangkitkan kepada hidup yang sejati dan kepada kebebasan.
Berdasarkan pandangan di atas tujuan hidup manusia ialah menjadi sama
dengan ALLAH. Adapun yang menuju kepada ALLAH itu melalui pengetahuan.
Supaya orang dapat mendapat pengetahuan diperlukan logos, sebab logos
merupakan sumber segala pengetahuan. Agar manusia dapat menerima daya kerja
logos ia harus menjauhkan diri dari dunia dan dari segala nafsu.
Kebajikan diungkapkan dalam tiga tingkatan, yaitu :
Aphateia (tiada perasaan) di man orang melepaskan diri dari segala hawa nafsu
dan dari segala yang bersifat badani
Kebijaksanaan, adalah suatu karunia Ilahi, yang diarahkan kepada yang susila atau
kesalahan
Ekstase, yaitu menenggelamkan diri kedalam yang ilahi.
Pemikiran Philo besar sekali pengaruhnya terhadap pemikiran filsafat berikutnya
terutama yang menyangkut masalah manusia. Hal ini dapat dilihat dalam
pemikiran Plotinos yang menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah
dipersatukannya kembali manusia dengan “yang Ilahi“. Menurut Plotinos jalan
kembali manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu melakukan kebajikan umum,
berfilsafat dan mistik. Di dalam diri Plotinus pemikiran Yunani sampai kepada
ajaran tentang mistik.
Philo maupun Plotinus telah meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang
manusia secara kefilsafatan yang berdampingan daengan pandangan agama
(theology).
Manusia Dalam Multi Dimensi
Menurut Fichte manusia secara prinsipil adalah makhluk yang bersifat moral
yang di dalamnya mengandung suatu usaha. Di sinilah manusia perlu menerima
dunia di luar dirinya. Sikap seperti ini dapat menjadikan manusia menyadari
dirinya sendiri dan usaha untuk membatasi dirinya sendiri dari masyarakat luas.
Hakikat pemikiran para filsuf tentang manusia pada umumnya mengacau
kepada hakikat manusia itu sendiri. Menurut Kierkegaard, pertama-tama yang
penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan
tetapi eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” melainkan suatu “menjadi”, yang
mengandung di dalamnya suatu perpindahan, yaitu perpindahan dari
“kemungkinan” ke “kenyataan”. Eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang
dipilih dalam kebebasan.
Demikianlah jelas, bahwa bereksistensi berarti : Berani mengambil keputusan
yang menentukan hidup. Tiap eksistensi memiliki cirinya sendiri yang khas.
Kierkegaard membedakan adanya 3 bentuk eksistensi, yaitu : bentuk esteti, bentuk
etis dan bentuk religius.
Beberapa Paham Tentang Manusia
Pandangan tentang manusia di dalam pemikiran filsafat berkisar pada empat
kelompok besar, yaitu :
Materialisme
Idealisme
Rasionalisme
Irrasionalisme
Materialisme telah diawali sejak filsafat Yunani yakni sejak munculnya filsuf
alam Yunani, kemudian kaum Stoa dan Epikurisme. Paham ini mulai memuncak
pada abad ke-19 di Eropa. Materialisme ekstrim memandang bahwa manusia
terdiri dari materi belaka.
Seorang tokoh filsafat alam (Anaximandros) memberikan pandangan tentang
manusia. Anaximandros mengatakan tidak mungkin manusia pertama timbul dari
air dalam rupa anak bayi. Anaximandros beranggapan bahwa manusia-manusia
pertama tubuh di dalam badan seekor ikan, kemudian bilamana manusia-manusia
pertama mampu memelihara hidupnya sendiri, mereka dilemparkan di atas
daratan. Ia mendasari anggapannya atas observasi (walaupun tidak tepat) pada
seekor ikan hiu (gaelus levis) di laut Yunani.
Pandangan Lemettrie (1709-1751) sebagai pelopor materialisme menyebutkan
bahwa manusia tidak lain adalah binatang, binatang tak berjiwa, material belaka,
jadi manusia pun material belaka. Kesimpulannya : bahan bergerak sendiri,
adapun yang disebut orang sebagai pikiran itupun merupakan sifat material,
terutama kerja atau tindakan otak. Dalam gerak-geriknya manusia itu sungguh-
sungguh seperti mesin. Materialisme ini dalam antropologia disebut materialisme
ekstrim, karena aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apapun juga,
malahan mengingkari adanya pendorong hidup.
Kebalikan dari meterialisme adalah idealisme. Dalam pandangan ini semuanya
membedakan manusia dari binatang ; bukanlah manusia itu material belaka.
Meskipun diakui juga, bahwa manusia ada samanya juga dengan binatang jadi
manusia pun mempunyai kebinatangan tetapi dalam pada itu adalah bedanya yang
mengkhususkan dia, yang sama sekali melainkan dia dari binatang. Kelainan ini
bukanlah perbedaan tingkatan saja, melainkan mengenai jenisnya istimewa:
kemanusiaannya.
Dalam idealisme terdapat beberapa corak, yaitu : idealisme etis, idealisme
estetik ; dan idealisme hegel.
Adapun paham rasionalisme dan irrasionalisme bukanlah paham yang saling
bertentangan seperti paham materalisme dan idealisme. Pelopor rasionalisme
adalah Rene Descartes yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari jasmaninya
dengan keluasannya (extensio) serta budidan kesadarannya. Sedangkan yang
dimaksud dengan pandangan manusia yang irrasionalistis ialah pandangan-
pandangan :
Yang mengingkari adanya rasio;
Yang kurang menggunakan rasio walaupun tidak mengingkarinya
Terutama pandangan yang mencoba mendekati manusia dari lain pihak serta,
kalau dapat dari keseluruhan pribadinya.
Teranglah bahwa penggolongan filsafat manusia dalam rasionalisme-
irrasionalisme bukanlah penggolongannya yang lain sekali dari penggolongan :
idealisme-materialisme : ini hanya pandangan dari sudut lain. Dengan demikian
semua aliran materialisme harus dimasukkan kedalam aliran irrasionalisme.

You might also like