You are on page 1of 6

Review 1 untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional

Nama : Muhammad Iqbal


NPM : 1006773755
Sumber : Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts:An Introduction to Theory and
History, (7th ed., New York:Pearson Longman, 2009), hlm. 60-84.

Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations:The Struggle for Power and Peace, (6th ed.,
New York:Alfred-A-Knopf, 1985), hlm. 185-212.

Michael Sheehan, The Balance of Power:History and Theory, (New York:Routledge, 1996),
hlm. 1-23, 53-59, 136-144.

Balance of Power dan Kaitannya dengan Perang Dunia I

Konsep Power merupakan salah satu konsep penting yang ada dalam Ilmu Hubungan
Internasional dan banyak digunakan dalam paradigma Realisme. Konsep Power ini dapat
berarti banyak hal seperti pengaruh, kekuatan, kemampuan, maupun kekuasaan. Balance of
Power merupakan perluasan dari konsep Power yang secara harfiah berarti keseimbangan
kekuatan. Konsep Power dan Balance of Power sangat berkaitan erat dengan perang dan
damai dalam hubungan internasional. Dalam review ini akan dibahas mengenai pengertian
dari konsep Power, Balance of Power, dan kemudian kaitannya dengan kondisi Eropa pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang berujung pada terjadinya Perang Dunia I.
Pengertian konsep pertama akan dilihat dari pandangan Joseph S. Nye, Jr, dan akan
dilanjutkan dengan pengertian konsep menurut Michael Sheehan serta Hans Morgenthau
yang kemudian akan dilakukan pembandingan antara ketiga pandangan tersebut.

Power, Balance of Power, dan Perang Dunia I menurut Joseph S. Nye, Jr.
Power merupakan kemampuan seseorang untuk meraih tujuannya, secara lebih spesifik
Power merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar dapat mencapai tujuan
yang seseorang inginkan.Konsep Power dapat dibagi menjadi dua, yaitu hard power dan soft
power. Hard Power merupakan penggunaan kekuatan militer secara langsung, sedangkan
soft power adalah penggunaan kekuatan dalam ranah pikiran atau ide dan tidak menggunakan
kekuatan secara langsung. Konsep Power memiliki turunan konsep yaitu konsep Balance of
Power yang dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu Balance of Power sebagai pembagian
Power, Balance of Power sebagai kebijakan, dan Balance of Power sebagai sistem
multipolar.
Balance of Power sebagai pembagian kekuasaan dapat merujuk pada kondisi pembagian
yang telah ada atau status-quo. Istilah di atas juga dapat merujuk pada suatu situasi yang
lebih jarang terjadi, yaitu saat Power dapat terbagi rata.

1
Balance of Power sebagai kebijakan adalah penggunaan Balance of Power sebagai
kebijakan penyeimbang dimana diprediksikan sebuah negara akan bertindak untuk mencegah
berkembangnya Power negara lain yang mengancam Power negara tersebut.
Terakhir, Balance of Power digunakan sebagai cara menjelaskan kasus sistem multipolar
dalam sejarah. Dalam menjelaskan hal ini ada dua dimensi dari sistem yang harus
diperhatikan, yaitu dimensi struktur dan dimensi proses. Dilihat dari dimensi struktur adalah
dimana struktur dari Balance of Power Eropa yang berubah-ubah. Dari tahun 1815-1870 ada
lima negara Power utama yang saling berpindah aliansi, dan pada tahun 1870-1807 menjadi
enam setelah penyatuan Jerman dan Italia. Kemudian dari dimensi proses Balance of Power
Eropa pada abad ke-19 terbagi menjadi lima periode. Terkait dengan Balance of Power
sebagai sistem multipolar adalah sebuah konsep yang disebut dengan Aliansi. Aliansi adalah
proses baik formal maupun informal yang melibatkan negara-negara berdaulat dalam rangka
memastikan keamanan yang sejajar dan sama. Pembentukan aliansi bisa berawal dari alasan
militer dan non-militer.
Ketiga level konsep Balance of Power di atas sangat berpengaruh terhadap awal
terjadinya Perang Dunia I. Dalam mempelajari mengenai alasan terjadinya Perang Dunia
Pertama ini diperlukan tiga level analisis, yaitu pertama melihat penjelasan level struktur dan
proses, lalu penjelasan level kondisi domestik, dan yang terakhir adalah penjelasan level
individual.
Pertama dari level struktur, ada dua elemen penting, yaitu meningkatnya Power Jerman
dan juga meningkatnya kekakuan dalam sistem aliansi. Sedangkan dari level proses kaum
konstruktivis mengatakan ada tiga alasan, yaitu pertama meningkatnya nasionalisme pada
negara-negara di Eropa, kedua meningkatnya rasa puas terhadap perdamaian yang telah ada,
dan yang terakhir adalah kebijakan yang diambil oleh Jerman. Kemudian bila dilihat dari
level kondisi domestik adalah krisis intenal dalam kerajaan Austria-Hungaria dan Ottoman,
dan terakhir adalah kondisi politik domestik di Jerman. Lalu terakhir adalah level individual.
Pada level ini dijelaskan bahwa kemampuan kepemimpinan raja Austria-Hungaria, Rusia,
dan Jerman yang biasa-biasa saja dan berujung pada kesalahan dalam membuat kebijakan dan
menjadi alasan terjadinya perang.
Kesimpulan dan pelajaran yang kemudian dapat ditarik dari kejadian Perang Dunia I ini
adalah selalu memperhatikan proses Balance of Power begitu pula dengan strukturnya dan
pembagian kekuatan. Pelajaran lainnya adalah tidak serta merta puas terhadap perdamaian
yang ada dan percaya bahwa akan ada krisis berikutnya yang akan mengikuti pola yang sama
dengan krisis sebelumnya.

2
Power, Balance of Power, dan Eropa Menurut Hans Morgenthau.

Konsep Balance of Power setidaknya memiliki empat artian, yaitu pertama sebagai
kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan negara, kedua sebagai kondisi hubungan
negara yang sesungguhnya, ketiga sebagai pembagian kekuasaan yang hampir merata, lalu
yang terakhir adalah sebagai seluruh pembagian kekuasaan. Keseimbangan dalam Balance of
Power memiliki tujuan untuk stabilitas, yang bisa dicapai dengan melakukan dominasi, dan
menjaga keberlangsungan sistem, yang dicapai dengan mencegah adanya dominasi.
Balance of Power memiliki dua macam pola, yaitu pertama pola perlawanan secara
langsung dan yang kedua adalah pola kompetisi. Pola perlawanan secara langsung dapat
digambarkan dengan adanya satu negara (negara A) yang ingin membangun kekuatan
menyeluruh terhadap negara lain (negara B) namun disambut dengan perlawanan dari negara
B. Kedua negara yang saling melawan tersebut akan saling memperbesar Power yang mereka
miliki. Hasil yang dapat terlihat dari pola semacam ini adalah terjadi kestabilan, namun hanya
berupa kestabilan semu dan juga memastikan kemerdekaan satu negara terhadap dominasi
negara lain. Pola yang kedua adalah pola kompetisi. Dalam pola ini dilibatkan pihak ketiga
(negara C) yang mana kedua negara yang sedang berkompetisi berusaha memasukkan
pengaruhnya untuk kemudian memperbesar Power yang mereka miliki.
Bicara mengenai metode melakukan Balance of Power maka setidaknya ada empat
metode yang bisa digunakan, pertama adalah memisahkan dan menguasai, kedua melalui
kompensasi, ketiga perlombaan senjata, dan keempat adalah melalui aliansi. Metode
memisahkan dan kuasai merupakan metode yang sering digunakan bagi negara yang ingin
membuat negara lawan mereka tetap lemah dengan memisahkan atau tetap membuat lawan
terpisah. Metode kompensasi umum digunakan pada abad ke 18 dan 19 Eropa untuk menjaga
Balance of Power yang terganggu dengan adanya akuisisi wilayah oleh suatu negara.
Menambah kekuatan bersenjata dalam rangka menjaga posisi dengan negara lawan
merupakan cara yang dipakai negara yang menggunakan metode perlombaan senjata. Aliansi
merupakan metode yang paling penting dalam Balance of Power. Negara menggunakan
kebijakan aliansi bergantung pada apakah ia percaya bahwa ia akan mampu bertahan tanpa
bantuan.
Kondisi Eropa menjelang meletusnya Perang Dunia Pertama menunjukkan Balance
of Power yang semakin meningkat dengan terbentuknya Triple Alliance yang berusaha
menyeimbangkan Triple Entente yang merupakan kekuatan kombinasi kekuatan yang

3
memiliki pengaruh kuat di daerah Balkan yang ditakutkan akan memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi seluruh daratan Eropa.
Balance of Power dan kondisi Eropa Abad ke-19 menurut Michael Sheehan
Konsep Balance of Power merupakan konsep penuh dengan kontradiksi, terutama
dalam hal menentukan maknanya, namun konsep ini tetap menjadi salah satu konsep yang
penting dalam sejarah. Akademisi ilmu Hubungan Internasional menggunakan konsep ini
untuk memahami pola-pola yang berulang dari perilaku negara di dalam sistem dunia
internasional, sedangkan bagi praktisi hubungan internasional tujuan penggunaan konsep ini
adalah untuk mendapatkan metode yang dapat digunakan dalam rangka mengamankan
kemerdekaan negaranya.
Bila ditelisik lebih jauh, Balance of Power dapat dimaknai sebagai sebuah kebijakan
luar negeri suatu negara dan juga sebagai sebuah sistem. Sebagai kebijakan maksudnya
adalah menekankan pada pembentukan dan menjaga keseimbangan agar tidak ada satu
negara dengan Power besar yang menekan negara-negara lain. Sedangkan bila dimaknai
sebagai sistem diartikan sebagai gabungan negara-negara otonom yang saling terjalin dalm
hubungan saling ketergantungan dan adanya komitmen antar negara yang mengikat.
Pembentukan aliansi merupakan salah satu contoh penerapan Balance of Power
sebagai kebijakan. Aliansi dibentuk atas dasar keyakinan bahwa agar terjadi keseimbangan
diperlukan kesamarataan Power antar negara, akan tetapi hal ini akan sulit dicapai sehingga
aliansi pada akhirnya akan bersifat cair atau berubah-ubah dengan harapan akan tercipta
efektivitas kesamarataan Power antar negara.
Negara-negara yang beraliansi memiliki paham bahwa membentuk aliansi adalah
unutk mengatasi bahaya yang tidak dapat mereka atasi sendirian tanpa bantuan. Berawal dari
hal ini maka ukuran dari aliansi dapat diprediksi. William Riker mencontohkan bahwa aliansi
akan terbentuk hingga mencapai ukuran dimana mereka sudah yakin akan menang dan tidak
akan memperbesar lagi. Namun dalam kehidupan nyata aliansi yang terbentuk dari negara-
negara status-quo akan berusaha untuk terus memperbesar aliansi hingga melewati batas
ukuran kemenangan, karena dalam usaha menjaga keberlangsungan status-quo diperlukan
kepuasan dari masing-masing negara anggota aliansi.
Kondisi Eropa pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 merupakan contoh dari
penerapan Balance of Power dan aliansi. Bipolaritas menjadi karakter utama dimana
kekuatan utama Eropa terbagi menjadi dua aliansi yang saling berlawanan satu sama lain.
Persepsi mengenai Balance of Power menjadi sesuatu perbedaan tajam antara Inggris dengan

4
Eropa daratan. Perbedaan persepsi inilah yang memicu ketegangan yang berakhir dengan
meletusnya perang dunia pertama.
Analisis dan Perbandingan antara Pandangan Joseph S. Nye, Jr., Michael Sheehan, dan
Hans Morgenthau.
Balance of Power menjadi salah satu kosep terpenting dalam menganalisa perilaku
negara-negara di dalam sistem dunia internasional, akan tetapi mendeskripsikan kosep
tersebut merupakan suatu kesulitan tersendiri bagi para analis hubungan internasional. Joseph
S. Nye berkata bahwa Balance of Power adalah konsep yang penting namun sulit untuk
didefinisikan1. Pernyataan ini secara sekilas didukung oleh Michael Sheehan yang
menyatakan bahwa Balance of Power adalah salah satu konsep penting dalam sejarah namun
saat mencoba untuk mengambil intisari dari konsep ini muncul kesulitan bahwa Balance of
Power memiliki terlalu banyak definisi2.
Salah satu istilah penting dalam konsep Balance of Power adalah aliansi. Dari ketiga
buku yang saya jadikan acuan istilah aliansi memiliki porsi yang cukup banyak. Nye
menyatakan bahwa aliansi adalah suatu susunan yang melibatkan negara-negara berdaulat
dalam rangka memastikan keamanan yang sejajar dan sama3. Aliansi juga menjadi salah satu
penyebab tidak langsung dari terjadinya Perang Dunia Pertama. Secara tidak langsung Eropa
pada akhir abad ke-19 terbagi menjadi dua aliansi yang saling berlawanan, dimana yang
pertama terbentuk adalah Triple Entente yang terdiri dari Inggris, Prancis, dan Rusia. Aliansi
ini terbentuk atas dasar ketakutan Inggris yang merasa terancam dengan naiknya Power
Jerman di dataran Eropa. Ironisnya Jerman turut membentuk aliansi dengan bergabung
dengan Austria-Hungaria dan Italia untuk mengimbangi kekuatan Triple Entente. Pendapat
Nye tentang kedua aliansi yang saling berusaha menyeimbangkan Power ini juga didukung
oleh pendapat Morgenthau yang menyatakan bahwa Balance of Power di Eropa menjelang
pecahnya Perang Dunia Pertama membuat Eropa terbagi menjadi dua kekuatan besar dalam
dua aliansi berbeda yang mencoba menyeimbangkan Power di dataran Eropa4.
Kondisi dan perilaku Aliansi Triple Alliance ini lebih lanjut lagi menurut pendapat
Nye adalah salah satu penyebab pecahnya Perang Dunia Pertama. Secara gamblang Nye
menyebutkan alasan Perang Dunia Pertama meletus didominasi oleh kesalahan Jerman dalam
menanggapi cara untuk kembali menyeimbangkan Power di dataran Eropa. Saya memandang
1
Joseph S. Nye, Understanding International Conflicts:An Introduction to Theory and History, (7th ed., New
York:Pearson Longman, 2009) hlm. 61.
2
Michael Sheehan, The Balance of Power:History and Theory, (New York:Routledge, 1996) hlm. 1.
3
Ibid., hlm. 70.
4
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations:The Struggle for Power and Peace, (6th ed., New York:Alfred-A-
Knopf, 1985), hlm. 212.

5
bahwa pendapat seperti ini dapat memberikan semacam stigma bahwa Jerman dan aliansinya
adalah faktor utama penyebab perang dunia pertama, namun Sheehan memberikan
pandangan lain dengan menjabarkan tanggapan atas Balance of Power dari kacamata Jerman.
Sheehan menuliskan argumentasi Jerman tentang kondisi Eropa dimana ada satu kekuatan
utama menghalangi usahanya untuk meluaskan pengaruh ke luar Eropa. Lebih lanjut lagi
penulis Jerman Friedrich von Bernhadi berpendapat bahwa selama Inggris menjadi kekuatan
dominan sekaligus berusaha menjaga keseimbangan di Eropa maka Balance of Power yang
sebenarnya tidak akan tercapai5. Argumen ini secara jelas menyatakan alasan mengapa
Jerman menjadi sangat beroposisi dengan Inggris dan juga turut memperlihatkan posisi
Jerman yang ingin menjadi salah satu superpower dengan pengaruh kuat di dunia.
Balance of Power memang menjadi salah satu konsep yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kondisi Eropa menjelang Perang Dunia Pertama pecah. Aliansi sebagai istilah
dalam Balance of Power memainkan peranan besar dalam menggambarkan kondisi Eropa
yang diselimuti oleh dilema keamanan antar negara, dalam hal ini yang paling mencolok
adalah dilema dan persaingan antara Inggris dan Jerman, dimana Inggris berposisi sebagai
kekuatan lama Eropa yang berusaha diseimbangkan oleh kekuatan baru yaitu Jerman.
Pelajaran yang bisa saya simpulkan disini adalah Balance of Power disatu sisi berguna untuk
mencapai stabilitas antar negara, bukan perdamaian, karena disatu titik negara-negara yang
berusaha menjalankan konsep Balance of Power akan terhanyut dan berujung pada terjadinya
perang.

5
Michael Sheehan, The Balance of Power:History and Theory, (New York:Routledge, 1996), hlm. 138.

You might also like