You are on page 1of 8

Makalah Kualitatif Studi Unobtrussive Otobiografi KEPRIBADIAN SOEKARNO SEBAGAI PENDIRI DAN PEMIMPIN BANGSA

DISUSUN OLEH BRIAN PATANG 268523/ 08 / PS / 05622

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA D.I YOGYAKARTA

BAB I Pendahuluan Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat. Pengakuan ini meluncur dari Sukarno, Plokamator Indonesia, dalam karangannya Menggali Api Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia mengucapkannya, ada kejujuran di sana. Sukarno yang dikenal sebagai orator ulung dan penulis piawai memang selalu membutuhkan orang lain, membutuhkan dukungan sosial. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang memperlihatkan betapa mahirnya ia menggunakan bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat dukungan. Berbagai literatur tentang bahasa menunjukkan bahwa cara berbahasa terkait dengan banyak hal. Para ahli psikoanalisa melihat bahasa sebagai satu bentuk ekspresi dorongan-dorongan bawah sadar yang disampaikan dalam lambang-lambang linguistik. Dengan mengkaji bahasa seseorang, dapat ditemukan motif-motif psikis yang dimiliki orang itu. Dalam memahami gaya bahasa Sukarno dalam berbagai karangannya, pendekatan keterkaitan bahasa dengan kondisi psikisnya menjadi satu hal yang menarik dan bisa jadi sangat penting. Gejala berbahasa Sukarno merupakan fenomena langka mengundang kagum banyak orang. Wajar kalau muncul pertanyaan Apakah kemahiran Sukarno menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya? Saya ingin menemukan jawabannya dengan mencoba menggali sejarah perkembangan psikis dan kepribadian Sukarno yang dapat dilacak dari buku autobiografi serta karangan-karangannya, juga dari buku-buku sejarah Indonesia yang memuat sepak terjangnya. Pendekatan teori psikologi kepribadian yang saya gunakan adalah psikologi ego (ego psychology) yang mengambil inspirasi dari Alfred Adler (Hall dan Lindzey, 1985) dan Anna Freud, lalu dikembangkan oleh Heinz Hartmann dan Robert W. White (Monte, 1997). Analisis ini dapat dapat membawa kita memahami secara psikologis bagaimana Presiden RI pertama ini bisa menjadi sebuah pribadi yang berapi-api, pembakar semangat banyak orang, gagah dan teguh sekaligus sensitif, takut pada kesendirian dan sangat membutuhkan dukungan sosial.

BAB II Pembahasan Pribadi yang Kesepian Di akhir masa kekuasaannya Sukarno sering merasa kesepian. Lelaki yang tampak selalu bersemangat ini menceritakan kesepian dan keterasingannya dalam buku otobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, sebuah terjemahan dari versi Bahasa Inggris Sukarno, An Autobigraphy as Told to Cindy Adams. Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah. (Adams, 2000:3) Apa yang ditampilkan Sukarno dapat dilihat sebagai sindroma orang terkenal. Sukarno bukan lagi hanya milik dirinya. Ia milik rakyat Indonesia yang begitu kagum terhadap proklamator kemerdekaan Indonesia ini. Akibatnya, ia tak bisa lagi bebas bepergian sendiri menikmati kesenangannya. Seperti yang diceritakannya (Adams, 2000:12). Namun, melihat ke masa muda Sukarno, kita juga menemukan tandatanda kesepian di sana. Semasa sekolah di HBS, ia menekan kesendiriannya dengan berkubang dalam buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya. Kebiasaan ini berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Sukarno terkenal sebagai pemuda yang pendiam dan suka menarik diri. Inilah yang membuat banyak orang heran ketika ia pertama kali pidato, ternyata si pemuda pendiam itu punya kemampuan bicara yang membuat para polisi Hindia Belanda kebakaran jenggot (Adams, 2000:89-91). Indikasi kesepian juga kita dapatkan dalam ceritanya tentang penjara. Hal yang paling menyiksanya adalah terkurung dalam kamar tahanan. Malam-malam di penjara menyiksanya dengan ruang yang sempit dan tertutup. Dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu. Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya Rasanya aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal. (Adams, 2000:135) Lebih jauh lagi ke masa kecilnya kita melihat Sukarno sering merasa sedih karena hidup dalam kemelaratan yang membuatnya tak dapat menikmati benda-benda yang diidamkannya. Ia sering sendirian merasakan kesedihannya dengan perasaan miris dan tangisan yang diungkapkan sebagai ketidakpuasan

sekaligus ketakberdayaan menghadapi kemiskinan. Di masa Balita, Sukarno pernah berturut-turut menderita beberapa penyakit seperti tifus, disentri dan malaria yang berujung pada penggantian namanya dari Kusno menjadi Karno, nama seorang tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi balas budi dan kewajiban membela negara yang menghidupinya. Pengalaman sakit-sakitan dan ganti nama ini mengindikasikan dua hal berkaitan dengan perkembangan kepribadiannya. Pertama, sakit yang melemahkan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat mungkin muncul perasaan lemah, tak berdaya dan terasing pada diri Sukarno kecil. Kedua, pergantian nama yang dialami Sukarno dengan penjelasan dari ayahnya memberikan atribusi (penegasan identitas) dalam diri Sukarno bahwa dirinya memiliki sifat-sifat yang sama dengan Karna, seorang tokoh sakti dalam cerita Mahabharata. Pengalaman sakit-sakitan dan hidup dalam kemiskinan tampak membekas kuat dalam ingatan Sukarno. Di masa tuanya ia menafsirkan kegemarannya bersenang-senang sebagai kompensasi masa kecil dan masa muda yang dirampas oleh kemiskinan (Adams, 2000). Dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams, kita bisa melihat semacam dendam terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan telah berkilat dalam dirinya. Dendam yang kemudian menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang tinggi. Mitos-mitos dari Masa Kecil Sejak kecil Sukarno sudah menyimpan mitos tentang dirinya sebagai pejuang besar dan pembaharu bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman Rai, menceritakan makna kelahiran di waktu fajar. Di sebuah fajar ketika Sukarno masih berumur beberapa tahun, ibunya berkata: kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan disaat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar. (Adams, 2000:24) Tanggal kelahiran Sukarno pun dipandangnya sebagai pertanda nasib baik. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. (Adams, 2000:25) Sukarno melihat dirinya yang terdiri dua sifat yang berlawanan sebagai satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik.

Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semuanya. Kepercayaan akan pertanda-pertanda yang muncul di hari kelahiran Sukarno memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Sukarno sejak masa kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan), tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakan kepribadian manusia untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya. Bagi Adler (1930:400), tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang apa yang diharapkan dan hendak dicapai di masa depan. Riwayat hidup Sukarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa depan dan persepsinya tentang Indonesia menggerakannya mencapai kemerdekaan Indonesia. Mitos-mitos tentang dirinya yang diketahui Sukarno mengarahkannya untuk menampilkan berbagai tingkah laku yang mendukung pencapaian kondisi yang tergambar dalam mitos itu. Dari Mitos ke Ideologi, Dari Kesepian ke Kekuasaan Sukarno yang sejak kecil sudah memiliki mitos tentang dirinya, di masa tuanya menjadi seorang idelog yang piawai menyebarkan ideologinya. Merujuk Adler, benang merah perkembangan kepribadian penggagas Pancasila ini begitu jelas. Lahir sebagai anak yang sakit-sakitan, tumbuh dalam keluarga yang menjadikannya pusat perhatian serta selalu menyulutkan patriotisme, semangat perjuangan dan pembaharuan, disiplin belajar yang keras, kecintaan pada sesama makhluk hidup dan alam semesta; kedekatan yang kuat dengan ibu dan pengasuhnya, Sarinah; berkesempatan belajar hingga perguruan tinggi dan dikelilingi tokoh-tokoh pergerakan nasional; serta dendam yang dipendam sejak kecil terhadap kemiskinan yang dipersepsi sebagai akibat penjajahan mengarahkannya menjadi tokoh besar yang berkesempatan memimpin Bangsa Indonesia. Masa dewasanya adalah sebuah hasil proyeksi dari keinginan masa kecil. Sukarno yang membayangkan dirinya sebagai pembaharu Bangsa sejak kecil tumbuh sebagai manusia yang penuh dengan gagasan-gagasan yang terbilang baru di masa hidupnya. Kedekatannya dengan buku dan kegemaran belajar berbagai hal tak dapat dilepaskan dari cita-cita yang digenggamnya erat-erat: menjadi penyelamat bangsa Indonesia. Disiplin belajar yang diterakan ayahnya besar pengaruhnya terhadap perilaku belajarnya yang tergolong luar biasa. Hingga usianya melampaui 60 tahun, ia masih gemar membaca. Waktu tidur diisi dengan membaca. Di kamar mandi membaca. Kamar tidurnya penuh dengan buku sekaligus kutunya (Adams, 2000). Daya serapnya pun luar biasa. Tak ada yang menolak bahwa Sukarno adalah orang yang sangat cerdas. Perpaduan berbagai aspek kepribadian dengan kualitas luar biasa inilah yang memungkinkannya tampil sebagai orator dengan wawasan luar biasa luasnya.

Kompleksitas pemikirannya tak lepas dari kompleksitas berbagi pengaruh yang masuk dalam dirinya, mulai dari lingkungan keluarga hingga bacaannya yang beragam. Ia dengan enak dan mudah bisa mencomot kutipan-kutipan dari berbagai sumber untuk memperkaya pidato-pidatonya. Dari uraian-uraian dalam karangannya terlihat kemampuannya yang menonjol untuk melihat sebuah masalah dari berbagai sudut pandang dan mengajukan solusi yang juga didasarkan pada berbagai sudut pandang. Usaha memadukan nasionalisme, agama dan komunisme merupakan satu perwujudan dari kemampuannya itu. Dari kacamata Alfred Adler , penyakit yang diderita Sukarno kecil bisa jadi membekas pada kepribadiannya di masa-masa berikutnya. Kesakitan yang diderita Sukarno itu bisa menimbulkan perasaan lemah, tak berdaya dan tersiksa yang disebut Adler sebagai perasaan inferioriti. Jika perasaan ini tidak ditangani secara tuntas maka akan timbul kecemasan yang mendukung munculnya perasaan inferioriti baru di tahap berikutnya. Akumulasi dari perasaan-perasaan itu disebut kompleks inferioriti, sebuah gangguan jiwa yang ditandai dengan perasaan rendah diri berlebihan dan kecemasan yang tinggi terhadap lingkungan sosial. Untungnya orang lingkungan keluarganya memberi perhatian dan semangat yang memadai, terutama ibu, sehingga ia dapat menemukan perasaan aman dan nyaman di sana. Namun ini pun memunculkan suatu ketergantungan akan afeksi. Penggantian nama Kusno menjadi Karno serta penjelasan alasannya dan makna nama yang baru juga menjai cara yang baik untuk menangani perasaan inferioriti yang dialami Sukarno kecil. Ia dapat menyusun sebuah pemahaman di benaknya bahwa apa yang dialami merupakan sesuatu yang wajar sebagai seorang calon pahlawan besar sekelas Karna putra Kunti. Demikian pula dengan mitos-mitos tentang dirinya. Namun ini pun mengakibatkan dirinya cenderung terpaku pada hal-hal besar an mengabaikan hal-hal kecil. Dalam kondisi-kondisi penuh dukungan lingkungan sosial, Sukarno bisa memperoleh perasaan superioriti perasaan aman dan nyaman menghadapi dunia. Ia pun selalu berusaha menarik perhatian banyak orang agar selalu berada di sekelilingnya, berpihak padanya. Pidatonya yang penuh dengan kalimat-kalimat bombastis merupakan cara memikat hati orang lain seperti seorang perayu yang tak ingin kehilangan kekasihnya. Namun di saat-saat kesepian ia bisa mengalami perasaan frustasi dan depresi. Ia sangat tidak menyukai kesendirian. Tragisnya, ini hukuman yang ia terima di akhir hidup, menjadi seorang tahanan rumah dan mati dalam kesepian.

BAB III Penutup Liku-liku kepribadian Sukarno menunjukkan ada beberapa kelemahan pada dirinya. Lepas dari kekurangan-kekurangannya, ia adalah orang besar. Kekurangan yang dimiliki adalah kekurangan yang sangat wajar dimiliki oleh manusia. Namun kelebihannya dan cara mengatasi kekurangannya merupakan hal yang luar biasa. Ia mampu melampaui banyak orang dengan kelebihannya. Analisis ini sekedar menunjukkan bahwa sebagai manusia biasa, Sukarno memiliki kelemahan tetapi bukan untuk mengecilkan artinya sebagai manusia dengan segudang prestasi. Sukarno tetap layak menjadi orang yang dipuji, dihormati dan dikenang selalu baik sebagai orang yang berjasa mendirikan Republik Indonesia maupun sebagai pribadi yang selalu terus berusaha mencapai kebaikan bagi dirinya dan orang lain.

DAFTAR PUSTAKA Adams, cindy. (2000). Sukarno, Autobiography as told to Cindy Adams. Indianapolis: Bobbs Merrils Hall, Calvin S. & Gardner Lindzey. (1985). Intoduction to Theories Personality. New York: John Wiley and Sons Inc. Tunggul, Alam Wawan. (2003). Pertentangan Soekarno vs Hatta : Demi Bangsaku. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama http://penasoekarno.wordpress.com/about/ (diakses pada tanggal 3 November 2011 pukul 21.15) http://www.psychologymania.com/2010/04/alfred-adler-tokoh-psikologi-humanistik.html (diakses pada tanggal 3 November 2011 pukul 20.30

You might also like