You are on page 1of 18

LAPORAN PRAKTIKUM BIOLOGI LARVA ORGANISME LAUT

Oleh: Kelompok 15 Irwan Badriyanto Robyyana Mahindra Wulan Nurkhasanah Irvan Adi Pratomo Adi Lutfi Hanafi H1K008010 HIK008019 H1K009021 H1K009018 H1K009035

JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2011

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PRAKTIKUM

BIOLOGI LARVA ORGANISME LAUT

Disusun oleh: Kelompok 15 Irwan Badriyanto Robyyana Mahindra Wulan Nurkhasanah Irvan Adi Pratomo Adi Lutfi Hanafi

H1K008010 HIK008019 H1K009021 H1K009018 H1K009035

Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian responsi mata kuliah Biologi Larva Organisme Laut. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Purwokerto, Dosen Pengampu Asisten

6 Mei 2011 Mengetahui,

Drs. Sugiharto, M. Sc

Arbi Mei G H1G007031

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan Anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan

Laporan Praktikum Biologi Larva. Laporan praktikum ini dibuat sebagai syarat telah mengikuti responsi praktikum dan juga sebagai salah satu komponen nilai mata kuliah Biologi Larva. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Sugiharto, selaku dosen pengampu mata kuliah Biologi Larva, 2. Arbi Mei G., selaku asisten kelompok 15 yang telah banyak membimbing dan membantu sampai tersusunnya laporan praktikum Biologi Larva, dan 3. Semua pihak yang telah membantu baik dari segi moril dan materil yang mohon maaf namanya tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Praktikan menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan dari kemampuan

praktikan. Oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Praktikan berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Purwokerto, 6 Juni 2011

Praktikan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Cilacap merupakan daerah yang cukup berkembang di wilayah Jawa Tengah dan merupakan jalur lalu lintas kapal penangkapan ikan dari berbagiai pulau. Perairan ini merupakan perairan estuari yang dipengaruhi oleh aktivitas yang ada didaratan dan dilautan. Perairan ini juga merupakan perairan yang menerima masukan berbagai jenis limbah yang berasal dari kegiatan manusia dan kegiatan perkapalan (Anonim, 2007). Pantai merupakan daerah terendah dari suatu aliran sungai. Akibatnya, kualitas air tawar di daerah hilir atau di lokasi tambak menjadi rawan terhadap pengaruh negatif dari daerah hulu, seperti endapan sedimen, hanyutan peptisida, dan polutan industri atau polutan rumah tangga. Dengan kata lain, pengelolaan air yang tidak baik di daerah hulu dapat berakibat buruk pada daerah hilir. Persoalan ini menunjukkan bahwa pengelolaan daerah pantai tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan daerah hulu. Karena itu

pembangunan hatchery pembenihan udang windu hendaknya didukung oleh persyaratan seperti berikut ini. Hatchery dibangun di luar wilayah padat penduduk dan industri, 1. Lokasi Hatchery bukan kawasan hutan suaka alam, hutan wisata, dan hutan produksi. 2. Hatchery memiliki sumber air yang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya.

3. Hatchery memiliki saluran irigasi yang memenuhi syarat agar air tersedia secara teratur, memadai, dan terjamin. 4. Sumber air tawar tidak berasal dari air tanah (sumur bor) karena penggunaan air tanah dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian, yakni terjadinya instrusi air laut (peresapan air laut ke perairan tawar) yang menyebabkan terjadinva penurunan permukaan tanah. Benih adalah salah satu sarana vital dalam pengembangan sistem usaha perikanan budidaya. Sistem pengadaan, distribusi maupum mutu benih seringkali dituduh sebagai penyebab utama kegagalan usaha budidaya. Adanya ketersediaan induk dan benih udang yang semakin menipis di alam bebas menyebabkan semakin menurunnya produksi udang hasil tangkapan, sehingga produksi udang hasil budidaya perlu ditingkatkan. Telah disadari bahwa peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut hanya mungkin khususnya dapat dicapai bila suplay dapat faktor-faktor terjamin udang produksi,

benih

udang

sepenuhnya. harus terus

Pengembangan

teknik-teknik

pembenihan

dilakukan untuk menunjang kegiatan budidaya atau pembesaran udang ini. Diantara jenis-jenis komoditas udang laut yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi adalah udang windu (Penaeus monodon Fab). Udang windu ini telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan devisa Negara, khususnya pada sektor

perikanan melalui kegiatan ekspor produk udang ke luar negeri (Anonim, 1993). Untuk menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan

(hatchery) udang windu.Keberhasilan usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai

budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung berkualitas. usaha penyediaan Anonim benih udang windu yang dapat

Menurut

(1993),

produksi

menguntungkan dari suatu budidaya perikanan, salah satunya budidaya udang windu sangat sulit dikembangkan dengan baik, karena berbagai faktor dan kegagalan dalam pembenihan udang windu, disebabkan beberapa faktor salah satu diantaranya adalah rendahnya kualitas telur induk udang windu atau nauplius. Kualitas telur atau nauplius berhubungan dengan angka kematian atau pertumbuhan larva. 1.2. Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan berdasarkan kondisi fisik, kimia, dan biologi di perairan Cilacap yang menjadi tempat berbagai aktifitas manusia dan mengetahui standar baku untuk biota akuatik.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Biologi Larva Udang Udang windu (Penaeus monodon Fab.) dalam bahasa daerah udang ini dinamakan sebagai udang ekspor, udang pacet, udang bago, udang lotong, udang liling, udang baratan, udang palapas, udang tapus dan udang wewedi. Namum dipasaran atau dalam dunia perdagangan udang ini biasa dikenal dengan nama Tiger Prawn atau terkadang juga dikenal dengan nama Jumbo Tiger Prawn. Udang windu dewasa yang hidup di laut biasa berwarna merah cerah kekuning-kuningan dengan sabuk-sabuk melintang dibadannya. Kaki renang berwarna merah agak pucat pada udang muda dan pada udang dewasa berwarna merah cerah. Udang windu memiliki kulit yang keras dan terdapat titik-titik hijau ditubuhnya (Murtidjo , 2003). Udang windu biasanya hidup di perairan pantai yang

berlumpur atau berpasir. Udang ini banyak terdapat diperairan laut antara Afrika Selatan dan Jepang, dan juga ada di antara Pakistan Barat sampai Australia bagian utara. Apabila ditinjau dari daya tahannya terhadap pengaruh lingkungan, udang windu ini juga salah satu udang yang paling unggul, walaupun menempati posisi ke dua setelah udang werus. Dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi terhadap pengaruh lingkungan memungkinkan kita untuk

memlihara udang windu ini dalam waktu yang cukup (5-6 bulan) untuk dapat mencapai ukuran yang besar (King Size) yaitu antara 80 - 100 gram/ekor. Disamping daya tahan yang tinggi pada saat pemeliharaan, benih udang windu juga cukup tahan selama dalam penampungan dan pengangkutan (Kontara, 1990). Udang windu bersifat noktural yaitu binatang yang aktif mencari makan pada malam hari. Dan pada siang hari udang windu ini biasanya lebih suka menempel pada suatu benda atau membenamkan tubuhnya pada lumpur disekitar tambak.

Sedangkan sifat lain dari udang windu adalah sifat kanibal, yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat kanibal ini biasanya mucul pada udang-udang yang sehat dan tidak sedang dalam keadaan molting atau ganti kulit dan sifat kanibal ini akan sangat nampak apabila udang kekurangan pakan. Sedangkan mangsanya bisanya udang yang pada saat itu sedang ganti kulit. Sifat kanibal pada udang biasanya muncul pada saat masih pada tingkatan mysis (Webber, 1991).

Udang windu digolongkan ke dalam keluarga Penaeid pada filum Arthropoda. Terdapat ribuan spesies dalam filum ini, namun yang mendominasi perairan berasal dari subfillum Crustacea. Berikut tata nama udang windu kompilasi dari Motoh (1981) dan Landau (1992):
Kingdom Fillum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Malacostraca : Decapoda : Penaeidae : Penaeus : Penaeus monodon

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala (thorax) dan perut (abdomen). Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle, mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan dua pasang kaki jalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Bagian perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersamasama telson (Motoh, 1981). Tubuh udang windu dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik yang biasa disebut dengan istilah moulting (Landau, 1992). Udang penaeid dibedakan satu dengan lainnya oleh bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Udang windu mempunyai 2-4 gigi pada bagian tepi ventral rostrum dan 6-8 gigi pada tepi dorsal (Motoh, 1981). Udang windu betina

mempunyai thellycum tertutup yakni adanya lapisan atau seminal reseptakel (Landau, 1992) Sebagian besar udang dewasa dari famili Penaeid mengalami siklus hidupnya di daerah lepas pantai. Pada daerah ini udang akan menjadi dewasa kemudian mengalami perkawinan sampai menetaskan telur. Akan tetapi, setelah telur mengalami perubahan stadia menjadi mysis, maka udang akan melakukan migrasi menuju perairan pantai hingga menjadi juvenil (Whetstone et al, 2002). Menurut Djunaidah (1989) dan Mudjiman. A (1981),

perkembangan stadia pada udang penaeid yaitu : 1. Naupli; naupli menetas dari telur. Pada stadia ini memiliki 5 tahapan perubahan stadia. Stadia ini belum aktif mencari makan dan melayang-layang di antara permukaan dan dasar laut, yakni bersifat makanan demersal. yang naupli masih oleh menggunakan cadangan tidak

dimiliki

tubuhnya

sehingga

memerlukan asupan pakan dari luar. Akan tetapi, pada stadia naupli 5 telah diberikan pakan alami berupa fitoplankton (terutama diatom). 2. Zoea ; stadia ini merupakan stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan awal mulai makan phytoplankton yang berasal dari lingkungan perairan sekelilingnya. Pada stadia ini tubuh udang mengalami perpanjangan dibandingkan pada stadia naupli. Protozoea memiliki kemampuan renang aktif ke lapisan

permukaan laut dan menghanyut sebagai plankton. Pada 3

stadia ini terdapat perkembangan mata dan rostrum. zoea memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhkan asupan pakan ini didapatkan dari media

pemeliharaan berupa fitoplankton. Pakan alami yang diberikan pada stadia ini berupa Chaetoceros sp., Pavlova lutheri,

Nannochloris

oculata,

Skeletonema

costatum,

Thalassiosira

pseudonana dan Tetraselmis sp. 3. Mysis; stadia ini dikarakteristikan dengan tubuh yang lebih panjang. Pada 3 stadia mysis, telson dan pleopod sudah mulai tampak. Mysis memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhan asupan pakan diperoleh dari media pemeliharaan berupa Skeletonema costatum dan artemia stadia instar 1. 4. Post larva ; perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan udang dewasa. waktu Pada stadia kolam ini udang menyukai banyak untuk

menghabiskan

didasar

dan

memakan hewan-hewan kecil yang hidup di dasar laut (benthos)

Gambar 1. Siklus Hidup P. monodon

III. MATERI DAN METODA


3.1. Materi 3.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini meliputi larvae net, botol film, botol selai, mikroskop, objek glass, cover glass, ember, plastik, dan karet gelang. 3.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel larva, formalin, akuades, larva net, kapal, camera, dan mikroskop makrometer. 3.2. Metoda 3.2.1. Pengambilan Sampel di Laut Siapkan larva net yang dilengkapi paralon pada bagian ujung belakangnya untuk menampung sampel, kemudian ikatkan larva net dengan tali yang dihubungkan ke kapal. Setelah itu

tenggalamkan larve net dan tarik menggunakan bantuan kapal selama 10 menit. Air sampel yang tertampung pada paralon,

kemudian dipindahkan ke botol film dan dibeeri larutan formalin 4%. 3.2.2. Pengambilan Sampel di Hatcery Siapkan botol gelas, kemudian ambil sampel larva yang terdapat pada kolam pembenihan dengan mgenggunakkan botol gelas, beri formalin 4%. Sampel larva yang terdapat dalam botol gelas kemudian di bawa ke laboratorium untuk di identifikasi. 3.3. Waktu dan Tempat Praktikum lapangan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 05 Mei 2011, di Tegal Katilayu Cilacap, PPSC dan untuk praktikum laboratorium dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 13 Mei dan dari Senin, tanggal 16 Mei 2011, di laboratorium Perikanan dan

Kelautan Universitas Jenderal Soedirman. 3.4. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif komparatif dengan membandingkan antar stasiun menggunakan diagram batang (histogram). Selain itu, data yang diperoleh juga

dibandingkan dengan standar baku perairan untuk biota laut. Struktur Komunitas indeks ditentukan kepadatan, dengan indeks penghitungan keragaman, indeks indeks

kelimpahan,

dominansi, dan indeks kesamaan stasiun dibandingkan dengan Struktur komunitas pada stasiun yang tidak terdapat kegiatan manusia.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil

Hasil Pengamatan dan Keterangan

Telur

Nauplius

Mysis

Gambar 3. Tahap perkembangan larva Udang Windu

Larva Ubur-ubur mbar 4.

Larva Udang

Ga

Larva organisme laut di staiun 3 4.2 Pembahasan Setelah dibuahi, telur udang windu akan menetas dalam jangka waktu 18-24 jam tergantung suhu dan oksigen. Perbedaan suhu 4 0C (28 dan 32 0C) dapat berakibat penundaan penetasan sampai 6 jam dan kekurangan oksigen dapat mengakibatkan larva cacat atau telur tidak menetas. Telur udang yang baru menetas, biasa disebut larva karena mengalami beberapa kali perubahan bentuk sebelum mirip secara morfologis dengan udang dewasa. Perubahan stadia dan substadia larva udang (metamorfosis)

menunjukkan perubahan morfologi yang berakibat pada perubahan cara makan, jenis makanan dan ukurannya. Fase I disebut sebagai nauplius, tidak membutuhkan

makanan dari luar karena masih cukup tersedia kuning telur. Nauplius melewati 6 substadia nauplius1-6 yang mudah dikenali dari ukuran panjang badan dan panjang dan jumlah duri ekornya. Tahap berikutnya adalah Zoea yang melalui 3 tahap. Zoea mudah dikenali dengan gerakan majunya dan perkembangan rostrumnya. Zoea memakan fitoplankton terutama diatom sebagai sumber asupan biosilikat. Kemudian setelah itu larva udang akan

memasuki fase mysis dengan 3 substadia. Fase ini dicirikan dengan gerakannya yang melentik dan munculnya kaki renang. Pada tahap ini larva masih tetap membutuhkan diatom dengan jumlah yang tentu lebih banyak. Tahap terakhir adalah post larva, ditandai dengan kemiripannya dengan bentuk udang dewasa, gerak maju larva dan adanya kaki renang sempurna dan capit di kaki jalan. Kecepatan tumbuhnya ditunjang oleh asupan protein tinggi dari mangsa nauplii artemia.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahsan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Telur udang windu akan menetas dalam jangka waktu 18-24 jam tergantung suhu dan oksigen. 2. Nauplius, melewati 6 substadia nauplius1-6 yang mudah dikenali dari ukuran panjang badan dan panjang dan jumlah duri ekornya. 3. Fase mysis, Fase ini dicirikan dengan gerakannya yang melentik dan munculnya kaki renang. 4. post larva, ditandai dengan kemiripannya dengan bentuk udang dewasa, gerak maju larva dan adanya kaki renang sempurna dan capit di kaki jalan. 5.2. Saran Diharapkan adanya kesesuaian prosedur dalam pengukuran agar data yang diperoleh lebih akurat dan lebih baik lagi. Kondisi lingkungan dan perairan merupakan faktor pendukung dalam pertumbuhan dan perkembangan organisme akuatik, namun

apabila terdapat kegiatan-kegiatan baik di laut maupun di darat, yang menghasilkan limbah, maka untuk menjaga kualitas air laut, perlu diterapkan peraturan-peraturan tentang kualitas air dan tentang pencegahan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1987. Petunjuk teknik bagi pengoprasian unit usaha pembenihan udang windu, Direktorat Jendral Perikanan, 101 hal Anonymous, 2006 SNI 01-6143. Benih udang windu (Penaeus monodon fabriciu, 1798) kelas benih sebar. Jakarta. 7 hal Anonymous, 1998. Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga Suatu Alternatif Usaha Keluarga Di Indonesia, Balai Budidaya Air Payau (BBAP), Jepara. 14 hal Bhat, B. V. 1992. Potentials and Prospects for an Artemia Aquabussines in India. Seafood Export I (24) : 27-31. Chen, J. C., Chin, T. S., and Lee, C. K. 1986. Effect of Ammonia and Nitrite on Larval Development of The Shrimp, Penaeus monodon. In J. L. Maclean, L. B. Dizon and L. V. Hosillos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society. p : Cheng, J. H., and Liao, I. C. 1986. The Effect of Salinity on The Osmotic and Ionic Concetration in The Hemolymph of Penaeus monodon and P. penicullatus. In J. L. Maclean, L. B. Dizon and L. V. Hosillos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society. p : 633-636. Chiang, P. 1989. Persiapan Tambak Udang. Lokakarya Pengelolaan Budidaya Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Bekerja Sama dengan American Soybeans Association. Yayasan Pendidikan Wijayakusuma dan Institut Politeknik Indonesia. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. Kontara, E. K. 1990. Pertumbuhan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Stadium Postlarva Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak Omega3. Fakultas Pancasarjana IPB. Thesis. Lavens, P., Leger, P., and Sorgeloos, P. 1986. Productions, Utilization and Manipulation of Artemia es Food Source for Shrimp and Fish Postlarva Oceanis 12: 229-247. Murtidjo, A. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil, Dalam Seri Penangkapan, Kanisius, Yogyakarta. 60 hal

Webber, H.W and H.V. Thurman. 1991. Marine Biology. Second Edition. Harpher Collins Publishers. New York.

You might also like