You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaniahnya (esoteris) ketimbang aspek jasmaniahnya (eksoteris). Dalam aspek kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat, ketimbang kehidupan dunia yang fana. Sedangkan dalam kaitannya pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek esoterik ketimbang eksoterik. Tasawuf lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafisran lahiriah. Mengapa tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspeknya? Ini karena para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, mempercayai keutamaan spirit ketimbang jasad, mempercayai dunia spiritual ketimbang dunia material. Secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu realitas sejati bersifat spiritual, bukan seperti yang dibayangkan kaum materialis bahwa yang real adalah yang bersifat material. Begitu nyata status ontologis Tuhan yang spiritual tersebut, sehingga para sufi berkeyakinan bahwa Dialah satu-satunya Realitas Sejati; Dialah asal atau awwal dan sekaligus tempat kembali. Hanya kepada-Nya lah para sufi mengorientasikan jiwa mereka, karena Dialah buah kerinduan mereka, dan kepada-Nyalah mereka akan berpulang untuk selama-lamanya. Dalam sejarah dan perkembangannnya, tasawuf di zaman Rasulullah SAW, secara teori belum tampak, bahkan bisa kita katakan belum ada. Namum amalan-amalan yang kemudian dilakukan oleh para sufi sampai saat ini semuanya berasal dari cara hidup Rasulullah, para sahabat dan sampai para tabiin.

Sebelum tasawuf muncul ke permukaan, yang muncul terlebih dahulu adalah praktek zuhud. Zuhud inilah yang merupakan cikal bakal dari munculnya tasawuf. Pada perkembangan selanjutnya yaitu pada abad ke 3 dab ke 4 H. mulailah kajian-kajian tentang tasawuf. Dalam kajian tersebut terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Yaitu pertama cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak nyang didasarkan pada al-Quran dan sunnah ( tasawuf sunni ) dan kedua, cenderung pada kajian tasawuf filsafat. Dimana pada tasawuf yang berlatang belakang filasafat ini banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisik. Dari sedikit latar belakang masalah di atas inilah penulis ingin mencoba membahas atau mengkaji tentang tentang tasawuf, model tasawuf yang pertama yaitu: tasawuf sunni. B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah yang penulis sampaikan pada makalah ini, kami mencoba ingin membahas tentang: 1. Ontologi tasawuf sunni 2. Epistemologi tasawuf sunni 3. Aksiologi tasawuf sunni.

BAB II PEMBAHASAN STRUKTUR TASAWUF SUNNI. A. Ontologi Tasawuf Sunni. Mengawali pembahasan pada bab II ini, kami ingin mengemukakan pengertian tasawuf dari beberapa tokoh sufi atau ilmuan yang mengkaji tentang disiplin ilmu tasawuf, baik kajiannya tentang tasawuf falsafi maupun tasawuf sunni. Dalam hal ini akan kami sampaikan pengertian tasawuf baik secara etimologi maupun secara terminologi. Definisi tasawuf secara etimologi / bahasa : 1. Abu ar-Rahman al-Biruni (w.440 H/1048 M. dalam kitabnya Tahqiq ma lil hindi min maqulah menyatakan bahwa tasawuf secara etimologi berasal dari bahasa Yunani suf yang berarti pecinta hikmah . kemudian istilah ini dinisbatkan kepada ahl shuffah atau orang-orang yang timggal di bangku-bangku yang terbuat dari batu beranda mesjid pada masa Rasulullah.[1] 2. Prof. Dr. Harun Nasution, menyebutkan bahwa asal-usul kata altasawuf dan al-sufi, ialah berasal dari kata suf yaitu wol. Yang dimaksud bukanlah wol dalam arti modern, wol yang dipakai orangorang kaya, tetapi wol primitif dan kasar yang dipakai di zaman dahulu oleh orang-orang miskin di Timur Tengah. Di zaman itu pakaian kemewahan ialah sutra.[2] 3. Di dalam Ensiklopedi Islam disebutkan ada tujuh versi mengartikan asal-usul kata tasawauf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Saff yang artinya barisan dalam shalat berjamaah. Ada yang mengatakann bahwa tasawuf berasal dari kata Saufanah ; yaitu sejenis buah-buahan kecil yang berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir. Ada pula yang mengatakan tasawuf berasal dari kata Suffah yang artinya pelana yang biasa dipakai bantal tidur oleh para sahabat Nabi SAW di samping masjid Nabi saw. Pendapat lain mengatakan bahwa Tasawuf merujuk pada kata Safwah yang

berarti sesuatu yang terpilih. Ada pula yang merujuk pada kata Safa yang berati bersih. Ada yang mengatakan dari bahasa Yunani yaitu Theosophi (theo= Tuhan, Sophos = hikmah. Juga ada yang mengatakan berasal kata Suf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Itulah beberapa definisi tasawuf sacara terminologi yang dapat kami kemukakan dalam makalah ini. Selanjutnya definisi tasawuf secara terminologi ialah : 1. Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H), ia mengatakatan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syariat Rasulullah SAW. 2. Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, ia memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran al-Quran dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bidah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah. 3. Abu Yazid al-Bustami, ia secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf ialah mencakup tiga aspek. Yaitu 1. Takhalli ( melepaskan diri dari perangai yang tercela), 2. Tahalli ( menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji), dan 3. Tajalli ( mendekatkan diri kepada Tuhan). 4. Menurut Prof. Dr, K.H. Said Agil Siraj, dalam sebuah pengantar buku yang berjudul Mengurai tasawuf, Irfan dan Kebatinan, yang ditulis oleh Muhsin Labib, ia mengatakan tasawuf adalah ajaran dan keyakinan bahwa manusia senantiasa ingin meraih kesucian diri dan damba untuk

berdekatan dengan Dia Yang Mahasuci. Untuk bisa berdialog dengan Yang Mahasuci, maka manusia lebih dulu harus mensucikan diri: mulai dari penyucian hati, pikiran, tutur kata dan perilaku serta harta. Lebih lanjut ia menyampaikan pendapatnya seorang sufi besar yang bernama Sirri asSiqti mengatakan : seorang sufi adalah orang yang hatinya tidak tercemari oleh selain Yang Mahasuci, dan hidupmya diarahkan demi menghadapi ridha dan kodrat Ialahi.[10] Sedangkan inti dari tasawuf sunni adalah tasawuf yang segala amalanamalan Sunnah. 1. Pandangan Kaum Sufi Tantang Tuhan Sebagai sebuah sistem spiritual, tasawuf tentu memiliki basis filosofis. Basis tersebut tidak lain daripada basis atau prinsip bagi seluruh yang ada di alam semesta ini, yaitu Tuhan. Tuhan adalah basis ontologis bagi segala sesuatu, yang tanpa-Nya , segala yang ada ini akan kehilangan pijakannya. Para sufi menyebut prinsip ini sebagai Kebenaran ( al-Haqq ). Disebut al-Haqq, karena Dialah satu-satunya yang ada dalam arti yang sesungguhnya, yang mutlak, sementara yang lain bersifat nisbi atau majazi. Para sufi menggambarkan Tuhan sebagai sebuah prinsip yang menyeluruh dan paripurna. Daria sudut pandang waktu, Dialah asal dan tempat kembali segala yang ada. Dari sudut ruang, Dia adalah yang Lahir dan yang Batin, yakni yang imanen dan yang transenden . Dan konsep Realitas yang paripurna ini sepenuhnya didasarkan pada ayat al-Quran, tepatnya surah al-Hadid ayat: 3; Dialah yang awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin. Esensi dari sebuah sistem mistisime adalah perasaan dekat dengan Tuhan. Dan perasaan dekat ini dinyatakan dalam perasaan sufi akan kehadiran Tuhan di mana pun ia berada. Kehadiran Tuhan ia rasakan baik dalam dirinya maupun di alam yang mengelilinginya. Tentang kedekatan dan tata-caranya sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat-sahabatnya berdasrkan al-Quran dan Al-

dan kehadiran Tuhan di mana-mana ini, para sufi menemukan basisbasisnya dalam al-Quran sendiri, yaitu dalam surah al-Baqarah ayat 115; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. Artinya; Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku , maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang berdoa. ( al-Baqarah ayat : 186). Artinya; Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, ( Q. Surah Qaf ayat : 16. Dalam hal cinta atau Mahabbah sebagai basis konseptual sufi adalah surah Ali Imran ayat 31, Artinya; secara hipotetik menyatakan kemungkinan terjadinya cinta timbal balik antara Tuhan dan hamba-Nya. Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Di samping al-Quran, hadits-hadits Nabi juga memberi basis yang sama-sama kuatnya terhadap konsep-konsep tertentu para sufi. Di antaranya ialah hadits yang menyatakan barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Hadits ini talah diambil oleh para sufi sebagai basis makrifat, yakni pengetahuan sejati yang diperoleh secara langsung dari sumbernya sendiri. Juga hadits qudsi yang artinya : maimunah r.a. berkata : Nabi SAW. Bersabda : Allah taala berfirman Tidak ada cara yang dapat mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku seperti melaksanakan fardhu-fardhu-Ku, dan sesungguhnya ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunnah sehingga cintalah Aku kepadanya. Dan sesudah Aku mencintainya Aku menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan, tangan yang dengannya ia memukul , lidah yang dengannya ia berkata, dan hatinya yang dengannya ia berfikir. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku memberi dan bila ia berdoa Aku menerima doanya. ( H.R. Ibn Assunni ).[11]

2. Pandangan Kaum Sufi Tentang Hakikat Kaum sufi berpendapat bahwa, syariat adalah cara formal untuk melaksnakan peribadatan kepada Allah, yang dirujuki oleh al-Quran sebagai tujuan penciptaan manusia. Seangkan hakekat yakni tasawuf, adalah seperti yang diisyaratkan dalam definisi ihsan: Engkau beribadah seakanakan melihat Tuhan, dan seandainya engkau tiadak melihat-Nya, niscaya Dia melihatmu, merupakan pelengkap dari ibadah tersebut. Oleh karena itu, antara syariat dan hakekat atau tarekat seharusnya tidak boleh dipisahkan tanpa menimbulkan masalah. Syariat yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur hakekat adlah seperti sebuah bangunan kosong dan belum dihias. Sedangkan hakekat tanpa syariat akan seperti hiassan yang tanpa dihias.sehingga akan menjadi barang tumpukan yang acak. Oaleh karena itu sepatutnyalah aspek penting dari agama kita itu tidak dihayati secara terpisah, tetapi dilaksanakan sebagai dua hal yang saling melengkapi, dan harus diperlakukan secara seimbang. Penekanan yang berat sebelah pada salah satu aspek dari keduanya hanya akan melahirkan ahli-ahli eksoterik formal ( alh-zhahir), yang tidak bisa mengapresiasikan dimensi spirirtual dari ibadah formal meraka, atau kalau tidak, ahl esoterik yang sama sekali meningglkan ibadah-ibadah formal yang merupakan kewajiban bagi setiap-setiap individu muslim. Sebenarnya ahl tokoh tasawuf sunni seperti al-Ghazali dalam karyanya utamanya, Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali bukan hanya membicarakan keutamaan-keutamaan spiritualitas Islam dan nilai-nilainya yang luhur, tetapi bahkan dalam kitab itu, selain membahas aspek-aspek formal ibadah, seperti thaharah, salat, zakat, puasa dan haji beliau juga membahas aspek spiritual dari bab-bab itu.[12] Tarekat dan hakekat adalah sambung menyambung antara satu sama lain. Oleh karena itu pelaksanaan agama Islam, tidak sempurna jika tidak mengerjakan empat hal. Yakni syariat, tarekat, hakekat dan Marifat. Maka apabila syariat merupakan peraturan, tarekat merupakan pelaksanaan, maka hakekat merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan yang sebenarnya.

Umpamanya dalam masalah bersuci atau thaharah menurut syariat bersih diri dengan air. Menurut tarekat bersih diri lahir dan bathin dari hawa nafsu. Menurut hakekat beresih ahti dari selain Allah. Seumpama untuk mencapai marifat terhadap Allah. Dengan contoh shalat, menurut syariat bila sewseworang shalat wajib menghadap kiblat, karena ada ayat al-Quran menyebutkan hadapkanlah mukamu ke Masjidil Haram (kabah) di Mekah. Menurut tarekat, hati wajib menghadap Allah berdasarkan karena ada firman Allah yang menganjurkannya Sembahlah Aku. Menurut hakekat, bahwa kita menyembah Allah seolah-olah Allah itu terlihat. Karena memang ada hadits yang menjadi dasarnya. Engkau beribadah seakan-akan melihat Tuhan, dan seandainya engkau tiadak melihat-Nya, niscaya Dia melihatmu. Menurut marifat, ialah mengenal Allah untuk siapa dipersembahkan amal ibadah itu yang dengan khusyu seorang hamba Allah dalam shalat merasa berhadapan dengan Allah. Bershalatlah untuk mengingat Aku.[13] B. Epistemologi Tasawuf Sunni. Kalau di atas telah kami sampaikan tentang ontologi tasawuf sunni, maka dalam sub bab ini kami sampaikan tentang epistemologi tasawuf sunni. Sebagaimana kita ketahui bahwa tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawuf falsafi dan tasawus sunni. Di mana kedua tasawuf ini hingga kini masih eksis sampai saat ini. Tasawuf monistik, yaitu tasawuf yang didasarkan pada konsep wahdatul wujud, al-hulul dan al-ittihad, yang kini dikenal dengan tasawuf falsafi. Tasawuf ini dikaitkan dengan tokoh-tokoh besar seperti AbuYazid alBustami, al-Hallaj, Ibn Arabi, Ibn Masarra, Ibn Sabin, Suhrawardi al-Maqtul, Mulla Sadra, Sayid Haidar Amuli dan lainnya.[14] Ajaran tasawuf yang seperti ini umumnya memadukan visi mistis dan rasional, Banyak ungkapan dan terminologi filsafat digunakan dalam tasawuf ini. Percampuran ini tidak lepas dari pertemuan ajaran-ajaran Yunani, Persia, Karena memang Allah menganjurkan kepada kita dalam bershalat untuk mengingat Allah.

India dan Kristen.Tasawuf yang demikian ini sangat esoterik, cenderung samar dan hanya dipahami oleh para penempuh jalannya. Kebanyakan sufi aliran ini menguasai pemikiran filsafat Yunani seperti yang digagas oleh Socrates, Plato, dan sebaginya.Tokoh-tokohnya antara lain, as-Suhrawardi, Ibn Masarra, Ibn Arabi ( yang mengenalkan konsep pantheisme atau kesatuan wujud), Ibn Sabin. Konsep penyatuan makhluk dengan Tuhan ini juga tertuang dalam karya sastra para sufi. Di antaranya adalah dalam karya Ibn al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan sebagainya.[15] Tasawuf Dualistik, yaitau tasawuf yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asyariyah dan Syariah, yang disebut dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni berusaha mengintegrasikan dan mendamaikan tasawuf dengan syariah sejak pertengahan kedua abad ke-3 H atau ke-9 M. Di antara tokoh-tokoh itu ialah Abu Said al-Kharraj, Abu al-Qasim Muhammad al-Kalabadzi dan Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi. Usaha-usaha membangun tasawuf yang beraroma syariat dan berbasis pada kalam sunni mencapai kematangan dan keberhasilan di tangan Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H / 1111 M).[16] Meskipun al-Ghazali dianggap sebagai pahlawan dan pendiri tasawuf sunni dan sangat diagungkan oleh para penganutnya ahlusunah, al-Ghazali tidak mendpat legimitasidalam tarikat-tarikat yang bertebaran dalam dunia ahlusunnah. Para anggota tarikat lebih mengagungkan para syaikh dan para guru mereka. Namun, tasawuf sunni sangatlah seragam, karena dalam kenyataannya muncul beragam mazhab dan pola tasawuf. Tasawuf sunni setidak-tidaknya ada dua ragam: 1. Tasawuf terlembagakan dengan pola pembaiatan (tarikat) yang juga disebut tasawuf amali. 2. Tasawuf tidak terlembagakan yang cenderung longgar karena ia hanya berupa ajaran-ajaran moral, seperti ajaran al-Ghazali dan al-Haddad yang juga sering disebut dengan tasawuf akhlaqi.[17] Klasifikasi tasawuf falsafi dan tasawuf sunni ini, seakan-akan menghakimi bahwa tasawuf yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah adalah yang benar, dan dengan demikian yang benar-benar Islami adalah tasawuf

sunni. Menurut klasifikasi ini, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menyimpang dari al-Quran dan sunnah serta membawa bidah dan ajaranajaran sesat. Dan karena itu, tidak sesuai ajaran Islam. Tentu saja para pendukung tasawuf falsafi menolak tuduhan bahwa tasawuf mereka menyimpang dari al-quran dan sunnah. Apapun yang telah terjadi, Mistisime dalam Islam apakah itu aliran Falsafi atau sunni, yang merupakan lapis esoteris agama, dapat dijadikan sebagai titik temu dan ruang sejuk bagi seluruh umat Islam, baik penganut tasawuf falsafi atau sunni. C. Metodologi Dalam Tasawuf 1. Takhalli Takhalli yaitu pengosongan diri dari sifat tercela dan egoisme. Juga berarti Pengosongan atau penceraian. Atau usaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha menundukkan dorongan hawa nafsu. 2. Tahalli Tahalli yaitu menghiasi diri dengan sifat terpuji. Melakukan segala hal yang diperintahkan oleh Allah, mengisi segala aktifitas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dengan rajin beribadah baik yang wajib maupun yang sunnah, berakhlakul karimah. 3. Tajalli Tajalli adalah iluminasi (pencerahan) zat Tuhan ketika menampakkan diri dalam wujud yang dapa di kenal. Menurut para sufi, tajalli Tuhan ini merupakan tingkatan pengalaman rohani tertinggi, yang yang hanya dapat dicapai orang yang telah melampaui Takhalli dan Tahalli. D. Aksiologi Tasawuf Sunni Setelah sedikit mengetahui keberadaan ontologi dan epistemolgi daripada taswauf sunni, maka kiranya kita dapat sedikit punya gambaran

tentang aksiologi dari tasawuf sunni. Nilai-nila yang terkandung dalam tasawuf sunni diantaranya ialah dalam hal beribadah harus betul-betul ikhlas, dan mencari ridha-Nya, harus menjadi contoh dan selalu berada di depan sebagaimana shalat mengambil barisan yang pertama. Dalam menata hati, tasawuf akan dapat mengantarkan hati yang kotor menjadi jernih dan bersih, sehingga tiada lain segala bentuk ibadahnya akan mampu mengantarkan sufi menjadi makrifatullah. Tatacara mendekatkan diri kepada Allah, maka seorang sufi harus betul-betul mahabbah atau cinta kepada Allah dengan cara melakukan seluruh yang wajib dan juga memperbanyak ibadah sunnah. Karena bila sudah demikian apa yang ia lakukan semata-mata atas bimbingan dan petunjuk Allah SWT. Tasawuf yang benar, sejati dan lurus atau sufi yang telah melakukan ibadah dengan lurus dan istiqomah, akan dapat mencapai sebagai tingkatan ihsan di atas dari dua tingkatan yang lainnya yaitu tingkatan Islam dan Iman. Tingkatan Ihsan ialah yang ditunjukkan oleh hadits shahih Ihsan itu ialah kamu beribadah kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya. Kalaupun kamu tidak melihat-Nya, namun sesungguhnya Dia melihatmu.[18] Islam adalah penyerahan diri secara zahir, Iman adalah keyakinan batin. Sedangkan Ihsan adalah pencapaian dua hakekat zahir dan batin. Hal itu karena ilmu semestinya diamalkan. Sedangkan untuk mencapai kesempurnaan derajat Ihsan, amal itu semestinya dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas ialah seorang hamba dengan ilmu atau amalnya tidak dimaksudkan untuk yang lain, tapi hanya bagi Allah Azza wa Jalla. Bila seseorang dalam kehidupan dan bermasyarkat, tasawuf atau mistisisme selalu berada pada dirinya, maka dalam keadaan bagaimanapun ia tidak akan beranai melanggar aturan Allah. Karena kapanpun dalam kondisi apapun Allah selalu mengawasinya. Umat islam akan semakin mampu meningkatkan etos kerja dengan baik manakala dalam kehidupan bekerja dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan tarekat atau tasawuf.

You might also like