You are on page 1of 17

PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS

1. PENDAHULUAN Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 - 18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 - 0,35% pasien tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh American Society of Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden kerusakan otak dan kematian disebabkan oleh kesulitan respirasi. Tujuan dari bab berikut adalah mendiskusikan dasar-dasar dari anatomi jalan nafas dan penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit. 2. ANATOMI JALAN NAFAS Secara sistem, jalan nafas dimulai dari bagian luar yaitu mulut dan hidung kemudian berakhir di alveolar. Pemahaman mengenai anatomi jalan nafas dapat membantu penatalaksanaan pasien selama periode operatif. Pada bagian berikutnya akan dilakukan peninjauan mengenai dasar anatomi jalan nafas dan fungsionalnya. Anatomi jalan nafas akan didiskusikan dalam beberapa bagian yaitu jalan nafas supraglotis, laring dan jalan nafas subglotis. 2.1. Jalan Nafas Supraglotis 2.1.1. Hidung Hidung berfungsi melembabkan dan menghangatkan udara saaat udara masuk ke dalam hidung. Udara yang masuk dari hidung dibatasi dengan ukuran dari turbin pada lubang hidung, dimana didalamnya banyak terdapat pembuluh darah, sehingga pada pemasukan endotracheal tube atau bronchoscope melalui hidung dapat menyebabkan banyak perdarahan. Septum nasal kadang berdeviasi pada beberapa orang sehingga menyebabkan salah satu lubang hidung akan menyempit dibandingkan dengan sisi sebelahnya. Nasofaring kemudian terbuka dan menyambung dengan orofaring. Cabang dari Nervus V yang akan menginervasi sensorik pada hidung. 2.1.2. Faring Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring, orofaring, dan hipo faring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses intubasi

dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus Kranial V. Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut terjadi pada daerah Palatum Molle yang kemudian menepel pada dinding nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien yang bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan penyumbatan yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah yang kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea. 2.1.3. Laring Laring memiliki bentuk yang rumit yang berfungsi yaitu melindungi jalan nafas bawah, sebagai salah satu organ untuk fonasi, dan membantu proses pernafasan. Semua fungsi tersebut bergantung pada proses interaksi antara kartilago, tulang, dan jaringan lunak yang merupakan komponen dari faring dan laring. Laring memiliki 9 kartilago yaitu Epiglotis, Tiroid, Krikoid, Sepasang Aritenoid, Sepasang Cuneiformis dan Sepasang Corniculata. Laring memiliki otot-otot ekstrinsik dan intrinsik. Persarafan sensorik dan motorik dari jalan nafas bagian atas juga banyak. 2.1.4. Struktur Laring Bentuk struktur laring terdapat pada gambar 6-1. Tulang Hyoid akan menggantung pada laring dan menempel pada tulang Temporal melalui ligament Stylohyoid. Kartilago Laring a. Kartilago Tiroid : Merupakan kartilago terbesar dari laring dan memiliki sudut yang lebih tajam pada laki-laki sehingga memberikan bentuk menonjol dan panjang. Memberikan nada rendah pada pita suara. Kartilago ini melekat pada membrane Hyoid di bagian atas dan berartikulasi dengan kartilago Krikoid di bagian bawah. Bagian batang Epiglottis dan ligamen Vestibular melekat pada permukaan bagian dalamnya. b. Kartilago Krikoid : Berbentuk cincin utuh dengan bagian belakang yang lebih lebar melekat pada Esophagus. Sudut anterior melekat pada kartilago tiroid melalui membrane Cricotiroid. Membran Cricotiroid tidak memiliki pembuluh darah sehingga dapat menjadi akses jalan nafas dalam keadaan gawat darurat dengan cara insisi di bagian tengahnya atau dengan menusukan jarum pada bagian tengahnya.

c. Kartilago Aritenoid : Berbentuk pyramidal, Aritenoid adalah tempat tambatan bagi beberapa otot internal laring dan juga bagi pita suara. Kartilago Cuneiformis dan Corniculata melekat pada kartilago ini melalui ligamennya. d. Epiglotis : Merupakan stuktur bentuk kartilago yang besar berbentuk tetesan air atau daun atau sadel sepeda. Sifatnya flesibel dengan ukuran yang berbagai macam. Terletak vertical dibelakang tulang Hyoid dan melekat pada ligamen Hyoepiglotis. Dasar epiglottis melekat pada Aritenoid melalui lipatan Aryepiglotis. Mukosa dari Epiglotis berjalan ke anterior dan lateral membentuk ruang antara lipatan Faringoepiglotis yang disebut Valecula. Ruang ini merupakan tempat jatuhnya benda asing seperti makanan dan juga merupakan tempat yang tersedia untuk meletakan ujung dari bilah laringoskop Macintosh. Interior Laring Bagian dalam laring merupakan struktuk bentuk yang rumit juga. Lekukan pada laring dari faring berbentuk hampir tegak lurus. Rongga laring dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Vestibula memanjang dari lengkung laring kearah lipatan vestibular yang disebut sebagai pita suara palsu. Ventrikel laring memanjang dari pita suara palsu sampai ke pita suara asli. Daerah antara pita suara saat menutup dan kartilago Aritenoid disebut Rima Glotis. Bagian ini adalah bagian yang paling dangkal dari jalan nafas atas pada orang dewasa. Infraglotis laring memanjang dari pita suara sampai bagian atas trakea dibatasi oleh membrane Cricotiroid dan kartilago Krikoid. Daerah ini adalah daerah yang paling dangkal pada jalan nafas anak. Otot-Otot Laring Otot-otot ekstrinsik laring bekerjasama dengan bagian laring lainnya untuk bergerak pada proses menelan. Otot-otot ini termasuk Sternohyoid, Sternothyroid, Thyrohyoid, Thyroepiglottis, Stylopharingeus, dan Konstriktor Pharingeal Inferior. Otot-otot dalam laring meng aduksi pita suara untuk menutup pada saat menelan dan abduksi pada saat inspirasi serta mengubah tegangan pada pita suara selama proses fonasi. Otot-otot dari laring ini adalah : a. Oblique Arytenoid ; Menutup Rima Glotis. b. Tranverse Arytenoid ; Adduksi Arytenoid, menutup Rima Glotis. c. Lateral Cricoarytenoid ; Adduksi pita suara. d. Posterior Cricoarytenoid ; Abduksi pita suara. e. Cricithyroid ; Tegangan pada pita suara. f. Thyroarytenoid ; Relaksasi tegangan pada pita suara. g. Vocalis ; Relaksasi pita suara. Penutupan pada laring adalah proses yang penting. Laring dfapat ditutup pada tiga bagian : lipatan Aryepiglottis, pita suara palsu dan pita suara asli. Laring akan menutup selama proses menelan dimana akan terjadi tiga tahap pada proses tersebut : pertama, makanan akan didorong kearah posterior faring oleh lidah, kedua, tahap menelan, proses respirasi akan berhenti, otot palatoglosal berkontraksi dan orofaring tertutup dari nasofaring dan laring dengan kerjasama antara beberapa otot yang menarik laring superior agar epiglottis

menutup laring. Pada tahap ketiga proses penelanan makanan yang membawa makanan masuk ke Esophagus. 2.1.5. Persarafan Laring Struktur laring mempunyai persarafan sensorik dan motorik. Fungsi motorik sebagai adduksi (penutupan pita suara), abduksi (membuka pita suara) dan tegangan (menegangkan pita suara untuk mengeluarkan suara dengan nada tinggi). Semua persarafan sensorik dan motorik dari otot-otot intrinsic laring berasal dari percabangan Nervus Vagus. Nervus Laringeal Superior adalah cabang dari Nervus Vagus yang berjalan di sisi dalam Arteri Carotis sebelum terbagi menjadi cabang external dan internal. Cabang internal yang besar masuk kedalam membrane Thyroid dan Os. Hyoid. Cabang ini kemudian akan mempersarafi sensorik dari laring. Cabang eksternal dari Nervus Laringeal Superior membawa serabut motorik dari Nervus Assesory Spinalis. Cabang ini berjalan sepanjang kartilago Thyroid mempersarafi otot Cricothyroid. Nervus Laringeal Rekurens meninggalkan Vagus di daerah dada kemudian berjalan di bagian alur tracheoesophageal. Nervus Laringeal Rekurens mempersarafi motorik dari semua otot-otot intrinsik dari laring kecuali otot Cricothyroid. Reflex laryngeal dapat terstimuli di daerah laring atau supraglotis dan dapat menyebabkan tertutupnya pita suara sampai dengan terjadinya laringospasme. Untuk memblok sensorik dari mukosa laring dibutuhkan blok daripada Nervus Laringeal Superior sampai dengan pita suara ditambah dengan blok pada Nervus Laringeal Rekurens atau dengan pemberian anestesi lokal dengan injeksi transtracheal atau dengan spray pada mukosa di bawah pita suara. Blok motorik komplit untuk memfasilitasi intubasi dibutuhkan blok pada Nervus Laringeal Rekuren karena nervus ini mempersarafi fungsi motorik dari semua nervus intrinsik dari laring kecuali untuk otot Cricothyroid. Blok pada saraf ini dapat dilakukan dengan transtracheal atau injeksi pada Cricothyroid atau secara topikal dengan spray. Stimulasi dari struktur supraglotis dapat menyebabkan penutupan glottis atau laringospasme. Stimuli ini dapat berupa sentuhan panas atau kimiawi. Respon ini biasanya cepat. Laringospasme adalah suatu keadaan dimana glottis menutup rapat setelah timbulnya rangsangan. 2.2. Jalan Nafas Subglotis Jalan nafas subglotis memanjang dari kartilago Cricoid sampai alveolar. Rangkuman lengkap mengenai anatomi ada diluar poin ini, bagaimanapun diskusi-diskusi mengenai anatomi dari bronkus mayor akan dibahas. 2.2.1. Trachea Trakea dimulai dari kartilago Cricoid dan memanjang sampai T 5 (Panjang 10 20 cm). Kartilago tracheal adalah cincin yang tidak utuh bulat dengan bagian posterior berbentuk datar tanpa kartilago. Percabangan bronkus ada ke kiri dan ke kanan dimana pada bronkus kanan sudut percabangannya lebih landai pada orang dewasa sehingga pada saat intubasi endotracheal tube lebih mudah masuk ke bronkus kanan. 2.2.2. Bronkus Lobaris Paru kanan dan kiri mempunyai anatomi lobus yang berbeda. Paru kanan mempunyai tiga lobus yaitu atas, tengah dan bawah sementara paru kiri mempunyai dua lobus yaitu atas dan

bawah. Tinggi lobus paru kanan lebih tinggi daripada paru kiri. Perbedaan ini berguna pada pembedaan antara kiri dan kanan pada saat dilakukan bronchoscopy. 3. PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN ANATOMI JALAN NAFAS NORMAL Penguasaan jalan nafas dengan sungkup dan bag adalah hal yang penting untuk melakukan tindakan anestesi yang aman dan merupakan tindakan dasar yang digunakan untuk melakukan ventilasi pada pasien yang bernafas spontan ataupun pada pasien yang telah diberi pelumpuh otot. Gerakan menyingkirkan lidah dan jaringan lunak lain pada jalan nafas supraglotis anterior akan membantu membuka jalan nafas. Berbagai tindakan tersebut antara lain Chin Lift, Jaw Thrust, Head Tilt dan alat untuk membantu jalan nafas oral ataupun nasal. Kesulitan ventilasi dengan sungkup dapat diperkirakan pada beberapa pasien. Berbagai faktor yang dilaporkan berhubungan dengan kesulitan ventilasi dengan sungkup diantaranya adalah: a. Jenggot yang tebal. b. Index Massa Tubuh > 26. c. Ompong. d. Usia > 55 tahun. e. Riwayat Snoring. Berbagai tindakan bantuan untuk melakukan intubasi pasien normal dapat dilakukan untuk mempermudah visualisasi laring. Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai Sniffing Position dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga bagian sudut utama pada jalan nafas. Pada jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang dari mulut terletak horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut panjang dari faring terletak hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak vertical dari arah posterior ke anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan pita suara dapat terlihat dari mulut. Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan intubasi sulit karena adanya keterbatasan posisi anterior dari laring. Penggunaan laryngeal mask airway (LMAs) dapat menjadi alternative untuk penatalaksanaan jalan nafas tipe intermediate. Pada banyak pasien penggunaan LMA dapat digunakan secara aman untuk menggantikan intubasi endotracheal. Ada beberapa aturan mengenai penggunaan LMA untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas yang sulit yang akan dibahas berikutnya. Terakhir, ada beberapa aturan untuk penggunaan LMA dalam keadaan gawat darurat atau kondisi trauma, bahkan jika tindakan tersebut akan dilakukan oleh paramedis. 4. PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT Idealnya, semua pasien mempunyai anatomi jalan nafas normal, sehingga pasien manapun saat pasien menjalani tindakan medis yang membutuhkan pengendalian jalan nafas tidak akan memiliki resiko diatas. Karena hal ini bukan hal yang relistik maka seorang dokter anestesi harus mempunyai cara untuk mengetahui dan menangani pasien-pasien dengan

anatomi jalan nafas abnormal. Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas adalah dengan tiga P yaitu : a. Prediksi. b. Preparasi c. Practice 4.1. Prediksi Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat dokter anestesi dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan (akan dibahas berikutnya) akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi. Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi. Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari laringoskop. Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV. a. Derajat I : Pita suara terlihat. b. Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat. c. Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat. d. Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali. Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor yang harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi endotracheal. Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi sebelumnya jika pada pasien tersebut saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak memiliki kesulitan intubasi. Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan mengalami intubasi sulit terus. Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah: a. Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins, Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll. b. Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular. c. Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses, Infeksi Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan. d. Trauma pada wajah dan leher, luka baker, perubahan-perubahan post operasi termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi.

Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat laring selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang memiliki gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah laringoskop. Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari bukaan mulut yang kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan untuk prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar laringoskop. Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4 adalah merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit. Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Jarak thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan semakin terlihat. Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama intubasi lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke ruang mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang mandibula yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan mempersulit untuk terlihatnya laring selama intubasi. Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal dan luas serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi terbatas seperti tumpukan lemak diantara scapula. Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya. Pergerakan kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior. Penilaian tes-tes tersebut telah dilakukan di semua literatur. Semakin banyak faktor yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari pemeriksaan tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin tinggi. Jika semua faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan untuk intubasi akan semakin rendah. Pemeriksaan jalan nafas dapat dilakukan dengan berbagai cara. The American Society of Anesthesiologist (ASA) Task Force on Difficult Airway Management telah mengumumkan pemeriksaan secara ekstensif untuk menemukan hal-hal yang diwaspadai yang berhubungan dengan kesulitan intubasi (tabel 6-3). Satu set cara yang berhasil baik untuk dilakukannya evaluasi terdapat dibawah ini, pasien dengan posisi duduk atau setengah duduk dinilai: a. Lemak Tubuh, terutama distribusinya disekitar leher dan kepala. b. Jarak Thyromental, Ruang mandibular, Saya akan meletakan tangan saya dibawah dagu anda. c. Gigi, bukaan mulut dan ruang oral-faringeal: Buka mulut anda selebar-lebarnya;jika skor Mallampati bukan 1 atau 2 pasien disuruh bersuara. d. Pergerakan sendi temporomandibular: Santai. Sekarang gerakan dagu anda kedepan sampai gigi bawah anda melebihi gigi atas anda. e. Flexi leher: Gerakan kepala anda sampai dagu anda menempel pada dada anda.

f. Ekstensi kepala: Saya akan meletakan tangan saya dibelakang leher anda, kemudian dorong kepala anda sejauh anda bisa, seolah-olah anda ingin melihat ke langit-langit. Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan posisi sniffing. Jika tidak ada kelainan dalam pemeriksaan maka intubasi akan mudah dilakukan, namun jika dari hasil pemeriksaan abnormal, maka akan dijumpai intubasi sulit. Contohnya Jika pasien dapat memflexikan kepala namun tidak dapat mengekstensikan kepalanya maka laring pada pasien tersebut kemungkinan akan ke anterior. Hal ini sering terjadi pada pasien yang memiliki kelainan degeneratif sendi, rheumatoid arthritis, atau obesitas. Beberapa poin penting untuk diketahui dari literature yaitu: a. Pada seorang dokter anestesi yang sibuk, tiap tahunnya ia pasti akan menjumpai beberapa pasien dengan kesulitan jalan nafas dan beberapa diantaranya bahkan akan sulit untuk diventilasi. b. Prediksi sulit intubasi akan lebih akurat bila semua faktor-faktor yang mempengaruhi sulit intubasi sudah diperiksa. c. Pasien dengan riwayat sulit intubasi harus diperlakukan sebagai pasien yang diprediksi untuk intubasi sulit. Beberapa dokter anestesi berpendapat bahwa pasien-pasien seperti ini harus didaftarkan ke kegawat daruratan medis atau sejenisnya. d. Jika hasil pemeriksaan pasien dalam batas normal maka kemungkinan intubasi akan lebih mudah. Beberapa pasien yang diperkirakan akan sulit diintubasipun akan mudah diintubasi. e. Hal penting, pada beberapa pasien yang diperkirakan normal, anatomi jalan nafas normal, dapat menjumpai kesulitan juga. Karena hal-hal tersebut maka dokter anestesi harus selalu siap untuk menangani pasien-pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. 4.2. Preparasi Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah menetukan beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit. Algoritma tersebut adalah: 1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya : a. Ventilasi sulit. b. Intubasi sulit. c. Kesulitan dengan pasien yang tidak kooperatif. d. Sulit untuk ditrakeostomi. 2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan nafas sulit. 3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai pilihan penatalaksanaan : a. Intubasi sadar Versus Intubasi setelah Induksi pada GA. b. Pendekatan tehnik intubasi non invasif Versus Pendekatan tehnik intubasi invasif. c. Pemeliharaan ventilasi spontan Versus Ablasi ventilasi spontan.

4. Membuat strategi utama dan alternatifnya. Keberhasilan aplikasi dari algoritma tergantung pada pengenalan pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas, ventilasi ataupun kooperatif yang sulit. Dokter anestesi harus memiliki berbagai macam pertimbangan dalam metode-metode penatalaksanaan jalan nafas (Sadar atau tidak, jalan nafas surgical atau tidak). Penatalaksanaan yang baik tergantung pada oksigenasi atau ventilasi yang adekuat pada saat mengendalikan jalan nafas. Dari algoritma tersebut jelas disebutkan pilihan-pilihan yang harus diambil pada saat penatalaksanaan agar dapat memperoleh ventilasi dan oksigenasi yang baik. Beberapa perlengkapan yang tersedia dapat membantu melaksanakan intubasi sulit menjadi berhasil diintubasi ( seperti fiberoptic, retrograde, dll ) atau tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi ( Transtracheal jet, LMA ). Perlengkapan yang dipilih harus berdasarkan pada keahlian dari masing-masing dokter anestesi tersebut. Jumlah pilihan tersebut sangat banyak dan beberapa pilihan akan didiskusiskan berikut ini.

5. PERLENGKAPAN UNTUK PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT 5.1. Jalan Nafas Dapat berupa oral ataupun nasal, dapat membantu mengubah tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi. 5.2. Stylets, Intubasi Guides and Bougies Ini adalah merupakan kawat standar yang digunakan untuk membuat endotracheal tube menjadi kaku, sehingga mempermudah intubasi ke dalam laring. Stylets sangat berguna untuk intubasi pada laring yang lebih ke anterior. Berguna juga untuk membantu proses Blind Intubasi dengan transiluminasi pada laring. Stylets untuk intubasi juga didesain untuk ventilasi dengan ujung tengahnya yang dapat membantu membuat Jet Ventilation atau membantu verifikasi karbon dioksida pada saat stilet tersebut di letakkan di jalan nafas. 5.3. Airway Exchange Catheter Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan Jet Ventilation untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotracheal tube. 5.4. Specialized Forceps Forsep ini digunakan untuk memandu proses pemasangan endotracheal tube masuk ke laring atau untuk membantu meretraksi lidah selama intubasi fiberoptic. 5.5. Laringoscopy Laringoscopy ini dibuat dengan berbagai macam perlengkapannya. Laringoskop direct vision rigid dilengkapi dengan berbagai bentuk dan ukura bilah. Pada pasien tertentu memiliki kecocokan dengan bentuk bilah tertentu. Contoh, Pasien yang memiliki epiglottis yang panjang dan menjuntai lebih cocok menggunakan bilah lurus daripada bilah Macintosh. Laringoskop semidirect rigid mempunyai prisma pada bilahnya sehingga bisa melihat

struktur laring pasien yang tidak bisa dilihat secara langsung namun terlihat melalui prisma tersebut. Laringoskop fiber optis rigid seperti Bullard dan Upsher scopes dapat memvisualisasi laring melalui fiberopticnya. Scopes ini sangat berguna pada pasien dengan laring yang lebih ke anterior. Keuntungan dari intubasi dengan laringoskop fiberoptic rigid termasuk : a. Penggunaan Scopes rigidnya sama dengan laringoskop biasa b. Kurva lengkungnya lebih pendek c. Lebih tahan lama daripada scopes fiberoptic flexible. Kerugian intubasi dengan laringoskop fiberoptic rigid : a. Melihat endotracheal tube masuk ke laring melalui fiberoptic tetapi tidak melalui scopenya. b. Tehnik penggunaannya lebih sulit atau kurang lazim dipergunakan. c. Ukuran batas pasien berhubungan dengan ukuran besar bilah. 5.5. Fiberoptic Bronchoscopic Intubation Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk: a. Endotracheal tube masuk ke trakea dengan penglihatan langsung melalui scope. b. Tidak terbatas pada ukuran besar pasien karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran. c. Untuk kepentingan terapi seperti penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube. Selain itu dapat digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus. Kerugian FBI termasuk: a. Tehnik penggunaannya sulit untuk dipelajari. b. Perlengkapannya mudah rusak dan mahal Kesulitan penggunaan FBI termasuk: a. Darah dan sekret dapat mengaburkan penglihatan. b. Mudah untuk menyasar didaerah jalan nafas, terutama daerah midline. c. Anatominya berubah. d. Permasalahan khusus dengan FBI: e. Endotracheal tube dapat tergantung pada struktur laring. f. Scope dapat terputar di laring. g. Lensanya dapat berkabut. Saran intubasi dengan fiberoptic a. Berapa banyak? Secara umum dibutuhkan 10 kali percobaan intubasi untuk bisa menggunakan broncoscope dengan lancer. Kurang lebih 25 kali terbiasa intubasi pada pasien normal dan lebih baik lagi jika bisa melakukan intubasi sulit.

b. Bagaimana cara belajar menggunakannya? Harus terbiasa menggunakan Scope-nya. Belajar untuk memegang dan menggerakan scope-nya dengan cara yang sama setiap waktu. Teropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan agar posisinya tetap di garis tengah. Intubasi nasal karena posisi nasal yang ditengah menyebabkan scope tetap ditengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara. Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukan endotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina. Jika endotracheal tube tidak bisa masuk, coba dilakukan tehnik dibawah pada berikut ini. Jangan memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope. c. Tehnik anestesi: Dimulai dari pasien normal, setelah pasien ditidurkan, dilumpuhkan dan diventilasikan oleh asisten dengan menggunakan sungkup. Kemudian meningkat pada pasien tidur, bernafas spontan, dengan atau tanpa anestesi regional pada jalan nafas. Kuasai hal-hal ini dulu sebelum melakukan FBI pada pasien sadar, tersedasi, bernafas spontan. Anestesi regional pada jalan nafas akan membantu memfasilitasi intubasi pada pasien sadar atau tersedasi.Anestesi yang adekuat untuk intubasi membutuhkan blok baik sensorik maupum motorik dari permukaan laring dan otot-ototnya. Hal ini membutuhkan blok dari Nervus Laringesus Superior dan Nervus Laringeus Rekuren. Ada beberapa resiko untuk anestesi regional pada jalan nafas. Blok pada Nervus Laringeus Superior akan memblok sensorik dari dasar lidah dan epiglottis sehingga dapat terjadi aspirasi pada pasien oleh karena masuknya benda asing yang dimuntahkan pasien. Ini terjadi karena reflek untuk menutup pada laring sudah terblok sehingga laring tidak dapat berfungsi normal. Biasanya blok pada Nervus Laringeus Rekuren menyebabkan timblulnya blok motorik pada otot Laringeal adductor dan mencegah reflek menutup sehingga benda asing yang dimuntahkan pasien juga dapat masuk dan terjadi aspirasi. Resiko yang lebih buruk dapat terjadi pada saat terjadinya aspirasi benda dalam lambung saat dilakukannya anestesi regional pada jalan nafas. Karena alasan ini anestesi regional pada jalan nafas menjadi kontra indikasi pada pasien dengan lambung penuh atau pada pasien dengan penyakit reflux esophageal. d. Perlengkapan intubasi: Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan. Intubasi dengan menggunakan scope dapat dilakukan saat ruang orofaring terbuka. Sungkup intubasi juga tersedia sehingga kita dapat intubasi saat dilakukannya ventilasi oleh rekan kerja kita. The Cuffed Oropharingeal Airway (COPA) juga dapat digunakan, dan pasien juga tetap dapat diintubasi saat dilakukannya ventilasi. Bagaimanapun juga ujung dari scope harus didorong melewati cuff dari COPA untuk dapat memvisualisasi pita suara, setelah itu baru diintubasi. Kita juga dapat melakukan intubasi dengan menggunakan LMA. Cara terbaik untuk melakukan endoskopi adalah dengan meminta bantuan dari rekan kerja untuk melakukan jaw thrust atau menarik lidah pasien untuk membantu kita.

e. Kemungkinan masalah yang akan timbul: Beberapa pasien mungkin akan membutuhkan tehnik tertentu untuk dilakukannya intubasi. Masalah yang sering timbul adalah menempatkan ujung dari scope pada trakea sebab kemungkinan yang sering timbula adalah ET tidak dapat masuk, penyebab hal ini antara lain: Ujung dari ET yang tersangkut pada tulang rawan atau letak scope pada posisi faring posterior. Jika dilakukan pemaksaan maka kemungkinan akan timbul cedera pada jalan nafas dan ini tidak menyelesaikan masalah. Yang harus dilakukan adalah menarik scope perlahan sambil mempertahankan trakea tertap terlihat dan masukan ET lagi. Yang harus disadari adalah jika karina sudah terlihat maka intubasi masih harus terus dilanjutkan dan bukan berhenti sampai disitu saja. Endotracheal tube dapat tidak masuk saat dilakukannya intubasi nasal dan ini dapat menimbulkan perdarahan yang dapat menggagalkan endoskopi fiberoptic. Endotracheal tube yang terlalu besar untuk pasien ataupun pita suara pasien yang tertutup juga dapat mempersulit intubasi. f. Pasien yang kecil: Jika endotracheal tube terlalu terlalu kecil untuk bisa dilewati scope maka dibawah penglihatan langsung dapat dipasangkan guide wire (Dari ureteral stent atau perlengkapan retrograde intubation) pada ujung suction dari bronchoscope untuk masuk kedalam trakea. Setelah itu singkirkan bronchoscope dan tinggalkan wire tetap didalam trakea. Masukan endotracheal tube dengan bantuan wire tersebut sementara dilakukannya visualisasi dari laring dengan bronchoscope. g. Latihan dengan menggunakan bronchoscope untuk intubasi pada kondisi pasien tidak sadar dan dilumpuhkan. Biasanya dibutuhkan 10-20 kali latihan intubasi agar dapat mengintubasi pasien normal dengan baik. Jika hal ini sudah berhasil maka tehnik tersebut ditingkatkan pada pasien dengan kondisi tidak sadar dan bernafas spontan. Dengan latihan terus menerus (kurang lebih 40 kali intubasi) maka seorang dokter dapat melakukan intubasi dengan baik pada pasien dengan anatomi jalan nafas abnormal, bahkan pada pasien sadar. Aturan Pemasangan Laringeal Mask Airway pada penatalaksanan jalan nafas sulit. LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman. The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes (tabel 6-4). Blind Intubation dengan endotracheal tube melalui laryngeal mask airway a. Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA.

b. Berikan lumbrikasi pada ET melalui LMA, putar 90 dari posisi normal agar mudah melewati LMA; Pada jarak 20 cm, putar ET kembali ke posisi normal. c. Masukan ET ke dalam trakea, kembangkan cuff, dan pastikan ventilasi. d. Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman. e. Intubasi fiberoptic melalui laryngeal mask airway f. Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA. g. Berikan lumbrikasi pada ET kemudian ET diposisikan di bronchoscope. h. Masukan bronchoscope melewati LMA, kemudian masuk ke trakea. ET akan masuk bersama dengan bronchoscope. i. Pastikan posisi ET terlihat dan tarik bronchoscope. j. Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman. Passage of Intubating Guide melalui laryngeal mask airway a. Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA. b. Masukan Ventilating atau non ventilating guide melalui LMA Ventilating guide dapat memberikan verifikasi posisi dari guide dengan capnometry sebelum endotracheal tube masuk. c. Pindahkan LMA, masukan ET dengan ukuran yang tepat melalui guide kemudian angkat intubating guide. d. Pastikan posisi ET di trakea dengan bronchoscope, capnometry dan ventilasi. e. Amankan ET. Laringeal Mask Airway dapat memventilasi pasien sewaktu dilakukannya tehnik penatalaksanaan jalan nafas lainnya a. Trakeostomi. b. Retrograde wire-guide intubation. Kesulitan pemasangan laryngeal mask airway pada penatalaksanaan jalan nafas sulit a. Epiglottis dapat jatuh menutupi sewaktu pemberian jalan nafas dan keterbatasan ukuran ruang untuk memasukan alat lain kedalam trakea. Hal ini dapat terjadi meskipun pasien dapat diventilasi. b. Batang dari LMA dapat membatasi jalan masuk alat lainnya. c. Endotracheal tube mungkin terlalu pendek untuk masuk kedalam trakea melalui LMA. d. Kombinasi LMA dan endotracheal tube sulit untuk diamankan dan dapat terlepas keluar dari trakea. e. Adanya resiko aspirasi dari benda-benda yang berasal dari lambung. Pemasangan proseal dapat menurunkan resiko ini. 6. TEHNIK JALAN NAFAS LANJUTAN Intubasi Retrograde: Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak

perlengkapan yang tersedia. Dengan latihan, tehnik ini dapat dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama. Ventilasi Transtracheal Jet: Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis. Chricothyroidotomi: Jalan nafas dapat melewati membrane cricotiroid dengan membuat insisi pada membrane ini atau dengan menusukan jarum dan guide wire. Endotracheal tube kemudian dapat masuk ke trakea dan kemudian pasien dapat diventilasi. Beberapa set alat perlengkapan ini sudah tersedia untuk mempermudah tehnik ini dilakukan. Trakeostomi: Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif, kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan salah satu cara agar pasien dapat diventilasi. 7. KERETA PERLENGKAPAN JALAN NAFAS SULIT Perlengkapan yang dibutuhkan untuk menangani pasien dengan anatomi jalan nafas sulit harus sudah dikuasai. Banyak instistusi yang sudah menggunakan oerlengkapan ini sebagai perlengkapan standar. Contoh : Setiap ruang operasi sudah memiliki pengatur oksigen/pengatur jet ventilator tergantung pada mesin anestesi. Ini berhubungan dengan sumber oksigen dan siap untuk digunakan. Perlengkapan standar selanjutnya termasuk kereta perlengkapan jalan nafas sulit. Kereta ini diletakan di antara ruang operasi utama dan juga di ruang obstetrik. Kereta ini memuat berbagai perlengkapan pilihan untuk penanganan pasien dengan jalan nafas sulit. Pada modifikasi kereta, bagian belakang kereta tersebut dapat diletakan pelindung bronchoscope fiber optic. Pengatur silinder oksigen tergantung disamping kereta. Perlengkapan untuk penanganan pasien dengan jalan nafas sulit dapat diambil pada laci-laci kereta tersebut. Perlengkapan di laci tersebut diantaranya: a. Laci 1 : Kateter suction Yankauer; Handle Laringoskop (besar dan kecil); Bilah laringoskop (Mac 3, 4, Miller, @, 3); Plester; Klem tube; Forsep Magill. b. Laci 2 : Obat-obatan; Jarum suntik; Cairan infuse; Gel lumbrikasi; antifog solution. c. Laci 3 : Berbagai perlengkapan seperti : Swivel adapters; stylets; dll. d. Laci 4 : Laringoscope fiber optic rigid. e. Laci 5 : Sungkup oksigen; guide wires (0,035); endotracheal tube (ukuran 2-9); Cricothyrotomi set; Perlengkapan retrograde intubation. f. Laci 6 : LMA ( ukuran 1-5); Disposable ambu bag; Oral airways; nasal trumpets; oral airways untuk fiberoptic intubation; gum elastic bougie. Perlengkapan tersebut harus sudah dipersiapkan dan disediakan untuk penanganan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga memiliki perlengkapan tersebut tidaklah cukup namun harus menguasai berbagai cara penggunaan perlengkapan tersebut dengan baik. Untuk penguasaan perlengkapan ini membutuhkan banyak latihan.

8. PENDEKATAN UNTUK ANESTESI JALAN NAFAS a. Hanya pasien yang koma ataupun pasien yang sangat kooperatif yang bisa tidak membutuhkan anestesi. Tetapi pada umunya pasien membutuhkan beberapa jenis anestesi agar dapat memanipulasi jalan nafas dengan baik. b. Anestesi umum : Dapat diberikan intravena ataupun inhalasi dan harus dilakukan dengan hati-hati. Pada pasien yang bernafas spontan akan lebih mudah bagi dokter anestesi untuk mengetahui letak laringnya dengan mengikuti gelembung udara yang dihembuskan pasien. Pada dasarnya pernafasan spontan dapat menyediakan potensial jalan nafas yang lebih baik daripada jika diberikan pelumpuh otot. Pengendalian jalan nafas dengan atau tanpa pelumpuh otot dapat terapkan pada beberapa pasien. Pendekatan ini membutuhkan lebih bayak prosedur yang harus dilakukan agar pasien dapat diventilasi dan dioksigenasi lebih baik. c. Anestesi topikal : Dapat dilakukan pada semua pasien. Ada beberapa perlengkapan yang digunakan untuk melakukan anestesi lokal diantaranya : Self grabbing forsep, penyemprot, gelas obat, jarum suntik (agar bisa mendepositkan obat anestesi lokal di pita suara), penjepit lidah dan kaca. Untuk memberikan anestesi di jalan nafas yang adekuat maka persarafan yang terletak di jalan nafas harus dimengerti. Anestesi harus mencakup tiga persarafan di jalan nafas yaitu Nervus Trigeminus untuk daerah nasofaring, Nervus Glossofaringeus untuk daerah orofaring dan Nervus Laringeus yang merupakan cabang dari Nervus Vagus untuk daerah epiglottis dan laring. Ketiga blok pada saraf ini dapat dilakukan dengan pemberian anestesi topikal, lokal ataupun injeksi. Topikal anestesi dilakukan dengan membasahi daerah permukaan dengan cairan anestesi, dapat juga dengan nebulizer pada jalan nafas, atau dengan penyemprotan atau dengan injeksi cairan anestesi lokal di jalan nafas. Berbagai cara dan tehnik anestesi dapat dilakukan, tetapi hanya sedikit yang dapat melakukan cara-cara ini: d. Cocaine, cairan 2-4%. Menimbulkan anestesi lokal yang baik dan menyebabkan vasokontriksi serta dapat dikendalikan penggunaannya. Durasi 30-60 menit. e. Lidocaine, cairan 2-4%. Dosis dapat dinaikkan sampai 200 mg pada orang dewasa. Menimbulkan anestesi lokal yang baik dan vasokontriksi jika epinefrin/phenilepinefrin ditambahkan. Durasi 60-180 menit. f. Benzocaine, spray atau tablet. Menimbulkan onset yang cepat. Relatif anestesi lokal yang baik. Durasi 30-60 menit. Hati-hati pada penderita methemoglobinemia pada pemberian dengan dosis besar. Pilihan Pemberian a. Cairan anestesi lokal yang diberikan melalui nebulizer : Lidocaine 4%, 2 mL dalam perlengkapan mesin nebulizer saat pasien sadar, lebih baik dilakukan di area preoperatif. Menimbulkan anestesi pada jalan nafas yang baik, jika pasien inspirasi dalam maka anestesi akan terjadi sampai ke trakea. b. Tehnik langsung dengan penyemprotan : Biasanya dilakukan pada pasien di ruang operasi. Tehnik ini dilakukan dengan menarik lidah pasien sehingga pita suara dapat dianestesi. Cara lain adalah dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic untuk dapat langsung melihat pita suara sehingga mempermudah penyemprotan pada pita suara.

c. Tehnik anestesi langsung menggunakan tampon kassa : Anestesi lokal dengan membasahi permukaan mukosa dengan kassa tampon yang diberi cairan anestesi kemudian ditekan pada daerah pillar tonsil untuk memblok Nervus Glossofaringeus atau bisa juga dengan memasang forseps khusus untuk menekan kapas pada pillar tonsil tersebut. d. Blok Nervus Glossopharyngeal dapat juga dilakukan dengan nebulizer atau dengan penyemprotan atau dengan injeksi langsung dengan jarum yang bengkok. e. Penusukan transtracheal untuk pemberian cairan anestesi lokal pada jalan nafas : Dilakukan dengan penusukan jarum atau cateter intravena melalui dinding anterior trakea. Secara umum melalui membrane Cricothyroid. Sudut jarum mengarah ke kaudal untuk menghindari resiko trauma pada pita suara. Kemudian dilakukan aspirasi sampai ada udara masuk (membuktikan bahwa jarum sudah berada di intratracheal). Secara cepat kemudian disemprotkan cairan anestesi lokal sebanyak 2-4 mL. Hal ini akan menyebabkan timbulnya batuk yang akan membantu proses penyebaran zat anestesi lokal tersebut sampai ke pita suara dan epiglottis. f. Blok Nervus Laringeal Superior : Bentuk dari laring memiliki persarafan sensorik dan motorik. Fungsi-fungsi motorik tersebut adalah adduksi (menutup pita suara), abduksi (membuka pita suara) dan penengangan (menghasilkan nada sura tinggi). Semua persarafan sensorik dan motorik dari struktur Nervus Laringeus berasal dari Nervus Vagus (tabel 6-1). g. Reflek laryngeal dapat terstimuli pada daerah laring atau di supraglottis sehingga menimbulkan reflek menutupnya pita suara dan timbulnya laringospasm. Blok sensorik dari mukosa laring membutuhkan blok dari Nervus Laringeal Superior untuk memblok atas dari pita suara dan blok pada Nervus Laringeus Rekuren untuk blok bagian bawah pita suara. Blok Nervus laringeus dapat dilakukan dengan pendekatan pemberian lateral ataupun midline. Penekanan os Hyoid kearah yang diinginkan dilakukan untuk memfasilitasi pendekatan lateral. Pemberian cairan anestesi injeksi dengan pola kipas. Pada penusukan dan penarikan jarum suntik tersebut di membrane cricothyroid akan membasahi persarafan didaerah tersebut. Motor blok yang komplit (untuk melakukan intubasi contohnya) membutuhkan blok Nervus Laringeus rekuren karena nervus ini mempersarafi semua fungsi motorik dari laring kecuali otot cricotiroid, dan biasanya dilakukan dengan transtecheal atau spray anestesi lokal pada cricothyroid.

KESIMPULAN Penatalaksanaan yang baik pada pasien dengan anatomi jalan nafas abnormal bergantung pada prediksi, preparasi, dan pratice. Cara terbaik untuk memastikan penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit adalah dengan mengenali kesulitan-kesulitan jalan nafas tersebut. Prediksi yang tepat adalah hal yang penting untuk dapat melakukan dan merencanakan tehnik intubasi yang aman. Preparasi termasuk mempunyai dan menggunakan rencana alternatif pada penanganan pasien jika pada rencana penanganan yang pertama gagal. Ini adalah keuntungan jika berlatih menggunakan penuntun seperti algoritma jalan nafas sulit ASA. Kita harus tahu kapan waktu yang tepat untuk menukar tehnik yang berbeda jika tehnik yang pertama tidak berhasil dilakukan. Persiapan untuk pasien dengan jalan nafas yang sulit

adalah termasuk memiliki semua perlengkapan yang dibutuhkan pada lokasi yang mudah dijangkau, contohnya kereta perlengkapan untuk jalan nafas sulit. Persiapan juga termasuk latihan, Karena semua alat perlengkapan yang dibuat untuk membantu dokter anestesi dalam mengintubasi pasien dengan jalan nafas sulit dibutuhkan penguasaan dari perlengkapan tersebut. Latihan ini harus dalam kondisi situasi yang tidak gawat darurat. Latihan yang adekuat akan membuat dokter anestesi menguasai berbagai perlengkapan, dan ini adalah hal yang penting. Pada beberapa pasien tehnik tertentu dapat lebih berhasil dari tehnik yang lain karena itu dokter anestesi harus memiliki lebih dari satu pilihan penatalaksanaan pada jalan nafas sulit. Saran praktis : Penanganan pasien akan lebih mudah jika pasien masih dapat dioksigenasi, prediksi yang tepat membuat lebih banyak pilihan penanganan, dan harus memiliki lebih dari satu pilihan penanganan. Pilihlah tehnik yang ingin dikuasai dan latih pada pasien normal untuk lebih menguasai tehnik tersebut. Dan terakhir jangan takut untuk meminta bantuan.

You might also like