You are on page 1of 79

1. Pengertian Memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra dan kedalam kandung kemih 2. Tujuan a.

Menghilangkan distensi kandung kemih b. Mendapatkan spesimen urine c. Mengkaji jumlah residu urine, jika kandung kemih tidak mampu sepenuhnya dikosongkan

PENGAMBILAN SAMPEL URINE UNTUK PEMERIKSAAN URINALISA Tujuan : mendapatkan spesimen urine yang memenuhi persyaratan untuk pemeriksaan urinalisa Waktu : pengambilan sebaiknya sebelum pemberian anti biotik. Untuk Pemeriksaan test kehamilan dan sedimen dipakai urine pagi hari. Alat-alat : wadah setril dari gelas/plastik bermulut lebar bertutut rapat, ukuran 50 ml Cara kerja : 1. Penderita diminta untuk mengeluarkan urine 2. Aliran urine ditampung dalam wadah yang sudah disediakan.

PERBEDAAN EFEKTIFITAS MOBILISASI AKTIF DAN PASIF TERHADAP KECEPATAN PEMULIHAN PADA PASIEN POST SEKSIO SESARIA DI RUANG RAWAT INAP KEBIDANAN RUMAH SAKIT BAPTIS KEDIRI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seksio sesaria adalah suatu persalinan buatan, di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. (Sarwono Prawirohardjo, 2005). Mungkin alasan yang paling banyak adalah

anggapan yang salah bahwa dengan operasi, ibu tidak akan mengalami rasa sakit seperti halnya pada persalinan alami (Dini Kasdu, 2003). Mobilisasi aktif merupakan latihan gerak isotonic dimana klien menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai dengan rentang gerak yang normal (Eny Retna, 2009). Mobilisasi pasif merupakan latihan pergerakan dimana tenaga medis dan petugas lain menggerakkan persendian dari klien sesuai dengan rentang geraknya (Eny Retna, 2009). Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan abnormal dapat dihindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka (Fauzi, C.M, 2007). Gerak tubuh akan membantu ibu memperoleh kembali kekuatan dengan cepat dan memudahkan kerja usus besar serta kandung kemih, paling tidak sampai ibu bisa buang gas. Memang rasa sakit yang masih terasa 2-3 hari setelah operasi, umumnya membuat ibu enggan menggerakkan badan, apalagi turun dari tempat tidur (Dini Kasdu, 2003). Ibu yang mengalami seksio sesaria dengan adanya luka di perut akan membatasi pergerakan tubuhnya karena adanya luka operasi sehingga proses penyembuhan luka dan pengeluaran cairan atau bekuan darah kotor dari rahim ibu ikut terpengaruh (Bobak L.J, 2004). Angka section caesarea terus meningkat dari insidensi 3 hingga 4 persen 15 tahun yang lampau sampai insidensi 10 hingga 15 persen sekarang ini (Harry, William R., 2010). Menurut Villar J, et al dalam Handry (2007), angka persalinan seksio sesaria beberapa tahun belakangan ini meningkat. Survey yang dilakukan di 120 fasilitas kesehatan di 8 negara bagian Amerika Latin menunjukkan dari 94.307 perempuan yang melahirkan, 31.821 perempuan menjalani persalinan seksio sesaria. Sedangkan Angka kejadian seksio sesaria di Indonesia menurut data survey nasional tahun 2007 adalah 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8 % (www.idi.seksio.com.20%.sesaria). Berdasarkan data medical record Rumah Sakit Baptis Kediri didapatkan bahwa telah dilaksanakan 70 operasi seksio sesaria dari 121 persalinan selama 3 bulan terakhir (Juni Agustus) yang berarti 57,8 % dari total persalinan. Peningkatan suhu tubuh karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi dan salah satu dari gejala infeksi adalah peningkatan suhu tubuh; Involusi uterus yang tidak baik dan tidak dilakukan mobilisasi secara dini akan menghambat pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi uterus (Fauzi, C.M, 2007).

Berdasarkan data di atas, diperlukan partisipasi tenaga kesehatan dalam pelaksanaan mobilisasi dini pasien baik secara aktif maupun pasif. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan efektifitas mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan kondisi fisiologis pada pasien post seksio sesaria. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarakan pernyataan di atas, maka rumusan masalah yang dapat ditegakkan dari penelitian ini adalah adakah perbedaan efektifitas mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Membandingkan efektifitas mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan pada pasien

post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mengidentifikasi mobilisasi dini aktif pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri. 1.3.2.2 Mengidentifikasi mobilisasi dini pasif pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri. 1.3.2.3 Mengidentifikasi proses pemulihan pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri. 1.3.2.4 Membandingkan mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Dapat membantu pengembangan ilmu keperawatan, terutama dalam perawatan pasien post seksio sesaria dalam pemulihan fungsi fisiologisnya. 1.4.2 Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi Klien Diharapkan pemulihan kondisi fisiologis pasien post seksio sesaria dapat tercapai lebih cepat dengan terapi mobilisasi yang efektif dan efisien. 1.4.2.2 Bagi Perawat Diharapkan dapat meningkatkan wawasan perawat dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien post seksio sesaria. 1.4.2.3 Bagi Institusi Rumah Sakit Baptis Kediri Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien post seksio sesaria, sehingga terwujud pelayanan yang maksimal. 1.4.2.4 Bagi Peneliti Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pengalaman konsep dan sistematika data, sebagai masukan, dan rujukan penelitian selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan beberapa konsep, diantaranya konsep seksio sesaria, konsep mobilisasi aktif dan pasif, dan konsep post partum. 2.1 Konsep Seksio Sesaria 2.1.1 Pengertian Istilah Caesar sendiri berasal dari bahasa Latin caedere yang artinya memotong atau menyayat. (Dini Kasdu, 2003) Seksio Sesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. (Kapita Selekta, 2000) 2.1.2 Klasifikasi 2.1.2.1 Seksio Sesaria Klasik : pembedahan secara Sanger Indikasi : a. Bila terjadi kesukaran dalam memisahkan kandung kencing untuk mencapai segmen bawah

rahim. b. Janin besar dalam letak lintang c. Plasenta previa dengan insersi plasenta di dinding depan segmen bawah rahim. 2.1.2.2 Seksio Sesaria Transperitonial Profunda (supra cervicalis = lower segmen caesarean section). 2.1.2.3 Seksio Sesaria diikuti dengan histerektomi (caesarean hysterectomy = seksio histerektomi). 2.1.2.4 Seksio Sesaria Ekstra Peritoneal Ada beberapa metode section caesarea extraperitoneal, seperti metode Waters, Latzko, dan Norton. Metode ini tidak dibuang, tetapi tetap disimpan sebagai cadangan bagi kasus tertentu. (Harry, William, 2010) 2.1.2.5 Seksio Sesaria Vaginal. (Sarwono Prawirohardjo, 2005) 2.1.3 Indikasi 2.1.3.1 Faktor Janin a. Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby). Janin dengan berat badan kurang dari 2,5 kg, lahir prematur, dan dismatur juga menjadi pertimbangan dilakukannya seksio sesaria mengingat perkembangan organ-organ tubuh terutama paru-paru yang belum sempurna. Karena didapatkan bahwa bayi yang lahir melalui seksio sesaria lebih banyak dibantu alat pernafasan setelah lahir dibandingkan yang lahir per vaginam. b. Kelainan Letak Bayi 1) Letak sungsang Letak janin di dalam rahim memanjang dengan kepala berada di bagian atas rahim, sementara pantat di bagian bawah rahim. Resiko bayi lahir sungsang pada persalinan alami diperkirakan 4 kali lebih besar dibanding lahir dengan letak kepala normal. 2) Letak lintang Pada umumnya bokong akan berada sedikit lebih tinggi daripada kepala janin, sementara bahu berada pada bagian atas panggul. Kelainan ini dapat disebabkan karena adanya tumor di jalan lahir, panggul sempit, kelainan dinding dan bentuk rahim, plasenta previa, polihidramnion, gemeli, dan ukuran janin. c. Ancaman Gawat Janin (fetal distress) Terjadi bila terjadi gangguan pada ari-ari (akibat ibu hipertensi atau kejang rahim) serta gangguan tali pusat (akibat terjepit antara tubuh bayi), sehingga jatah oksigen ke bayi berkurang. Akibatnya janin tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini bisa menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan kematian janin. d. Janin abnormal Janin sakit atau abnormal, misalnya gangguan Rh, kerusakan genetic, dan hidrosephalus (kepala besar karena otak berisi cairan), dapat menyebabkan diputuskannya dilakukan operasi e. Faktor plasenta 1) Plasenta previa Posisi plasenta terletak di bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir. Kelainan plasenta ada beberapa macam, yaitu menutupnya jalan lahir (plasenta letak rendah), menutupnya seluruh jalan lahir (previa marginal), sebagian plasenta menutupi jalan lahir (previa parsial), seluruh jalan lahir atau mulut rahim benar-benar tertutup oleh plasenta (previa total). 2) Plasenta lepas (solution placenta) Merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Proses terlepasnya plasenta ditandai dengan perdarahan yang banyak, yang bisa keluar melalui

vagina, tetapi bisa juga tersembunyi di dalam rahim. 3) Plasenta accreta Merupakan keadaan menempelnya sisa plasenta di otot rahim. Apabila sisa yang menempel banyak, mungkin perlu histerektomi. 4) Vasa previa Keadaan pembuluh darah rahim yang bila dilewati janin dapat menimbulkan perdarahan banyak yang membahayakan ibu. f. Kelainan tali pusat 1) Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Tali pusat berada di depan atau di samping bagian terbawah janin atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi. 2) Terlilit tali pusat Lilitan tali pusat ke tubuh janin berbahaya apabila kondisi tali pusat terjepit atau terpelintir yang menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke tubuh janin tidak lancar. g. Bayi kembar (multiple pregnancy) Kelahiran bayi kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. 2.1.3.2 Faktor ibu a. Usia Ibu yang melahirkan pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Pada usia ini biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan pre-eklampsia. b. Tulang panggul Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. c. Persalinan sebelumnya dengan operasi Caesar Umumnya , operasi Caesar akan dilakukan lagi pada persalinan kedua apabila operasi sebelumnya menggunakan sayatan vertikal (corporal). Namun operasi kedua bisa terjadi pada operasi sebelumnya dengan teknik sayatan melintang. d. Faktor hambatan jalan lahir Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas. e. Kelainan kontraksi lahir Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi atau tidak elastisnya leher rahim menyebabkan kepala bayi tidak terdorong dan tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar. f. Ketuban pecah dini Air ketuban yang pecah sebelum waktunya akan membuka rahim, sehingga memudahkan masuknya bakteri dari vagina.

g. Rasa takut kesakitan Hal ini bersifat sangat individual mengingat rasa sakit yang akan dialami setiap orang juga akan ditanggapi dengan sikap dan cara berpikir yang berbeda. (Dini Kasdu, 2003) 2.1.4 Kontra Indikasi

2.1.4.1 Kalau janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup kecil. 2.1.4.2 Kalau jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk caesarea extraperitoneal tidak tersedia 2.1.4.3 Kalau keadaan tidak menguntungkan bagi pembedahan atau kalau tidak tersedia tenaga asisten yang memadai. (Harry, William, 2010) 2.1.5 Resiko Operasi Caesar 2.1.5.1 Alergi Resiko ini terjadi pada pasien yang alergi pada obat tertentu. Karena itu sebelum operasi akan ditanyakan kepada pasien apakah mempunyai alergi. 2.1.5.2 Perdarahan Perdarahan dapat mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan darah pada pembuluh darah balik di kaki dan rongga panggul. Kehilangan darah yang cukup banyak dapat menyebabkan syok secara mendadak. 2.1.5.3 Cedera pada organ lain Penyembuhan luka bekas seksio sesaria yang tidak sempurna dapat menyebabkan infeksi pada organ rahim atau kandung kencing. 2.1.5.4 Parut dalam rahim Pada kehamilan berikutnya memerlukan pengawasan yang cermat sehubungan dengan bahaya rupture uteri. Pada beberapa jenis kulit, sayatan bekas operasi dapat mengakibatkan terbentuknya keloid yang dapat menggangu karena terasa nyeri dan gatal. 2.1.5.5 Demam Kadang-kadang demam setelah operasi tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Kondisi ini bisa terjadi karena infeksi. 2.1.5.6 Mempengaruhi produksi ASI Pembiusan total dapat mengakibatkan kolostrum tidak bisa dinikmati bayi dan bayi tidak dapat menyusu begitu dilahirkan. Namun bila dilakukan pembiusan regional tidak banyak berpengaruh (Dini Kasdu, 2003). 2.1.6 Prosedur Pembedahan 2.1.6.1 Teknik Seksio Sesaria Klasik a. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan dipersempit dengan kain suci hama b. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis sepanjang kurang lebih 12 cm sampai di bawah umbilicus lapis demi lapis sehingga kavum peritoneal terbuka c. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa laparotomi d. Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atas rahim, kemudian diperlebar secara sagital dengan gunting e. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri. Setelah janin lahir seluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong di antara kedua penjepit f. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U oksitosin ke dalam rahim secara intra mural g. Luka insisi segmen atas rahim dijahit kembali Lapisan I : Lapisan endometrium bersama miometrium dijahit secara jelujur dengan benang

catgut khromik Lapisan II : hanya miometrium saja dijahit secara simpul dengan catgut khromik Lapisan III : perimetrium saja, dijahit secara simpul dengan benang catgut biasa h. Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi i. Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka di dinding perut dijahit 2.1.6.2 Teknik Seksio Sesaria Transperitoneal Profunda a. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan dipersempit dengan kain suci hama b. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis sampai di bawah umbilicus lapis demi lapis sehingga kavum peritoneal terbuka c. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa laparotomi d. Dibuat bladder-flap, yaitu dengan menggunting peritoneum kandung kencing di depan segmen bawah rahim secara melintang. Kandung kencing ini disisihkan secara tumpul ke arah samping dan bawah, dan kandung kencing yang telah disisihkan ke arah bawah dan samping dilindungi dengan speculum kandung kencing e. Dibuat insisi pada segmen bawah rahim 1 cm di bawah irisan plika vesikouterina tadi secara tajam dengan pisau bedah kurang lebih 2cm, kemudian diperlebar melintang secara tumpul dengan kedua jari telunjuk operator. Arah insisi pada segmen bawah rahim dapat melintang sesuai Kerr, atau membujur sesuai Kronig. f. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan, janin dilahirkan dengan meluksir kepala. Badan janin dilahirkan dengan mengait kedua ketiaknya. Tali pusat dijepit dan dipotong, plasenta dilahirkan secara manual, kemudian disuntikkan 10 U oksitosin ke dalam otot rahim secara intra mural g. Luka dinding rahim dijahit : Lapisan I : dijahit jelujur, pada endometrium dan miometrium Lapisan II : dijahit jelujur hanya pada miometrium saja Lapisan III : dijahit jelujur pada plika vesikouterina h. Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi i. Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka di dinding perut dijahit. (Hanifa Wiknjosastro, 2005)

2.1.7 Pemulihan dari Operasi Caesar 2.1.7.1 Efek lanjutan pembiusan Pasien mungkin sangat gemetar dan peka terhadap perubahan suhu. Diperlukan waktu lebih lama untuk sadar dari pembiusan epidural. Pasien akan diminta menggerakkan jari-jari kaki dan menggerakkan kaki begitu sadar. 2.1.7.2 Rasa sakit di sekitar bekas sayatan Begitu efek obat bius hilang, luka akan terasa sakit meskipun tingkat nyerinya bergantung pada banyak faktor, termasuk ambang nyeri dan berapa kali melakukan operasi Caesar. 2.1.7.3 Latihan bernafas dan batuk Ini membantu membuang sisa obat bius dari system tubuh dan membantu mengembangkan dan membersihkan paru-paru, serta mencegah pneumonia. 2.1.7.4 Kelelahan Hal ini sebagai akibat kehilangan banyak darah dan juga karena efek obat bius. 2.1.7.5 Evaluasi rutin atas kondisi anda

Dilakukan pemeriksaan secara periodic tanda-tanda vital, kelancaran kencing dan aliran dari vagina, perban di bekas sayatan, dan tingkat uterus (karena uterus akan mengkerut dan akan kembali ke pelvis). 2.1.7.6 Nyeri pasca operasi Ini akan terjadi dua belas atau dua puluh empat jam setelah melahirkan 2.1.7.7 Secara perlahan kembali ke pola makan normal Riset menunjukkan bahwa para wanita yang mengkonsumsi makanan padat lebih awal (sedikit demi sedikit, tetapi mulai dari empat hingga delapan jam pasca operasi) bisa mempercepat keinginan buang air dan biasanya siap keluar dari rumah sakit 24 jam lebih awal dibanding mereka yang hanya mendapat makanan cair. 2.1.7.8 Rasa nyeri bahu Iritasi pada rongga dada setelah operasi bisa mengakibatkan rasa sakit menyengat pada bahu 2.1.7.9 Kemungkinan sembelit Disebabkan karena operasi dan anestesi yang memperlambat proses buang air besar. Mungkin akan mengalami perut kembung yang menyiksa karena sembelit. (Heidi Murkoff, et.al, 2007) 2.1.8 Fase Fase Penyembuhan Luka 2.1.8.1 Fase Inflamasi Berlangsung selama 1 sampai 4 hari. Respons vaskular dan selular terjadi ketika jaringan teropong atau mengalami cedera. Vasokonstriksi pembuluh terjadi dan bekuan fibrinoplatelet terbentuk dalam upaya untuk mengontrol pendarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5 menit sampai 10 menit dan diikuti oleh vasodilatasi venula. Mikrosirkulasi kehilangan kemampuan vasokonstriksinya karena norepinefrin dirusak oleh enzim intraselular. Juga, histamin dilepaskan, yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah seperti antibodi, plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air menembus spasium vaskular selama 2 sampai 3 hari, menyebabkan edema, teraba hangat, kemerahan dan nyeri. 2.1.8.2 Fase Proliferatif Berlangsung 5 sampai 20 hari. Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup pada pinggiran luka; kuncup ini berkembang menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi bagi jaringan granulasi yang baru. Setelah 2 minggu, luka hanya memiliki 3% - 5% dari kekuatan aslinya. Sampai akhir bulan, hanya 35% - 59% kekuatan luka tercapai. Tidak akan lebih dari 70% sampai 80% kekuatan dicapai kembali. Banyak vitamin, terutama vitamin C, membantu dalam proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka. 2.1.8.3 Fase Maturasi Berlangsung 21 hari sampai sebulan atau bahkan tahunan. Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblast mulai meninggalkan luka. Jaringan parut tampak besar, sampai fibril kolagen menyusun kedalam posisi yang lebih padat. (Smeltzer, 2002) 2.2 Konsep Mobilisasi 2.2.1 Pengertian Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas dan merupakan faktor yang menonjol dalam mempercepat pemulihan pasca bedah; mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan

kemandirian (Carpenito, 2000). Mobilisasi aktif merupakan latihan gerak isotonic dimana klien menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai dengan rentang gerak yang normal (Eny Retna, 2009). Mobilisasi pasif merupakan latihan pergerakan dimana tenaga medis dan petugas lain menggerakkan persendian dari klien sesuai dengan rentang geraknya (Eny Retna, 2009) Mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang membaik. Pada pasien post operasi seksio sesaria 6 jam pertama dianjurkan untuk segera menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari jarinya agar kerja organ pencernaan segera kembali normal ( Dini Kasdu, 2003). 2.2.2 Faktor - faktor yang mempengaruhi mobilisasi 2.1.2.1 Faktor fisiologis Frekuensi penyakit atau operasi dalam 12 bulan terakhir, tipe penyakit, status kardiopulmonar, status muskuloskletal, pola tidur, keberadaan nyeri, frekuensi aktifitas dan kelainan hasil laboratorium. 2.1.2.2 Faktor emosional Faktor emosional yang mempengaruhi mobilisasi adalah suasana hati, depresi, cemas, motivasi, ketergantungan zat kimia, dan gambaran diri.

2.1.2.3 Faktor perkembangan Faktor perkembangan yang mempengaruhi mobilisasi adalah usia, jenis kelamin, kehamilan, perubahan masa otot karena perubahan perkembangan, perubahan sistem skeletal (Potter, Perry, 2006). 2.2.3 Tujuan mobilisasi pada ibu pasca bedah seksio sesaria Tujuan mobilisasi yaitu membantu proses penyembuhan ibu yang telah melahirkan, untuk menghindari terjadinya infeksi pada bekas luka sayatan setelah operasi seksio sesaria, mengurangi resiko terjadinya konstipasi, mengurangi terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot otot di seluruh tubuh, mengatasi terjadinya gangguan sirkulasi darah, pernafasan, peristaltik maupun berkemih (Carpenito, 2000). 2.2.4 Prosedur mobilisasi 2.2.4.1 Hari 1 4 a. Membentuk lingkaran dan meregangkan telapak kaki Ibu berbaring di tempat tidur, kemudian bentuk gerak lingkaran dengan telapak kaki satu demi satu. Gerakan itu seperti sedang menggambar sebuah lingkaran dengan ibu jari kaki ibu ke satu arah, lalu ke arah lainnya. Kemudian regangkan masing masing telapak kaki dengan cara menarik jari jari kaki ibu ke arah betis, lalu balikkan ujung telapak kaki ke arah sebaliknya sehingga ibu merasakan otot betisnya berkontraksi. Lakukan gerakan ini dua atau tiga kali sehari. b. Bernafas dalam 1) Berbaring dan tekukkan kaki sedikit. Tempatkan kedua tangan ibu di bagian dada atas dan tarik nafas. Arahkan nafas itu ke arah tangan ibu, lalu tekanlah dada saat ibu menghembuskan nafas. 2) Kemudian tarik nafas sedikit lebih dalam. Tempatkan kedua tangan di atas tulang rusuk,

sehingga ibu dapat merasakan paru paru mengembang, lalu hembuskan nafas seperti sebelumnya. 3) Cobalah untuk bernafas lebih dalam sehingga mencapai perut. Hal ini akan merangsang jaringan jaringan di sekitar bekas luka. Sangga insisi ibu dengan cara menempatkan kedua tangan secara lembut di atas daerah tersebut. Kemudian, tarik dan hembuskan nafas yang lebih dalam lagi beberapa kali. Ulangi sebanyak tiga atau empat kali. c. Duduk tegak 1) Tekuk lutut dan miring ke samping. 2) Putar kepala ibu dan gunakan tangan tangan ibu untuk membantu dirinya ke posisi duduk. Saat melakukan gerakan yang pertama, luka akan tertarik dan terasa sangat tidak nyaman, namun teruslah berusaha dengan bantuan lengan sampai ibu berhasil duduk. Pertahankan posisi itu selama beberapa saat. 3) Kemudian, mulailah memindahkan berat tubuh ke tangan , sehingga ibu dapat menggoyangkan pinggul ke arah belakang. Duduk setegak mungkin dan tarik nafas dalam dalam beberapa kali, luruskan tulang punggung dengan cara mengangkat tulang-tulang rusuk. Gunakan tangan ibu untuk menyangga insisi. Cobalah batuk 2 atau 3 kali. d. Bangkit dari tempat tidur 1) Gerakkan tubuh ke posisi duduk. Kemudian gerakkan kaki pelan pelan ke sisi tempat tidur. Gunakan tangan ibu untuk mendorong ke depan dan perlahan turunkan kedua telapak kaki ibu ke lantai. 2) Tekanlah sebuah bantal dengan ketat di atas bekas luka ibu untuk menyangga. Kemudian, coba bagian atas tubuh ibu. Cobalah meluruskan seluruh tubuh lalu luruskan kedua kaki ibu. e. Berdiri dan meraih Duduklah di bagian tepi tempat tidur, angkat tubuh hingga berdiri. Pertimbangkanlah untuk mengontraksikan otot otot punggung agar dada mengembang dan meregang. Cobalah untuk mengangkat tubuh, mulai dari pinggang perlahan lahan, melawan dorongan alamiah untuk membungkuk, lemaskan tubuh ke depan selama satu menit. f. Berjalan Dengan bantal tetap tertekan di atas bekas luka, berjalanlah ke depan. Saat berjalan usahakan kepala tetap tegak, bernafas lewat mulut. Teruslah berjalan selama beberapa menit sebelum kembali ke tempat tidur. g. Menarik perut Berbaringlah di tempat tidur dan kontraksikan otot otot dasar pelvis, dan cobalah untuk menarik perut. Perlahan lahan letakkan kedua tangan di atas bekas luka dan berkonsentrasilah untuk menarik perut menjauhi tangan ibu. Lakukan 5 kali tarikan, dan lakukan 2 kali sehari. h. Saat menyusui Tarik perut sembari menyusui. Kontraksikan otot otot perut selama beberapa detik lalu lemaskan. Lakukan 5 sampai 10 kali setiap kali ibu menyusui. 2.2.4.2 Hari 4 7 a. Menekuk pelvis Kontraksikan abdomen dan tekan punggung bagian bawah ke tempat tidur. Jika dilakukan dengan benar pelvis akan menekuk. Lakukan 4 hingga 8 tekukan selama 2 detik. b. Meluncurkan kaki Berbaring dengan lutut tertekuk dan bernafaslah secara normal, lalu luncurkan kaki di atas tempat tidur, menjauhi tubuh. Seraya mendorong tumit, ulurkan kaki, sehingga ibu merasakan sedikit denyutan di sekitar insisi. Lakukan 4 kali dorongan untuk 1 kaki.

c. Sentakan pinggul Berbaringlah di atas tempat tidur, tekukkan kaki ke atas dan rentangkan kaki yang satu lagi. Lakukan gerakan menunjuk ke arah jari jari kaki. Dorong pinggul pada sisi yang sama dengan kaki yang tertekuk ke arah bahu, lalu lemaskan. Dorong kaki menjauhi tubuh dengan lurus. Lakukan 6 hingga 8 pengulangan untuk masing-masing tubuh.

d. Menggulingkan lutut Berbaring di tempat tidur , kemudian letakkan tangan di samping tubuh untuk menjaga keseimbangan. Perlahan-lahan gerakkan kedua lutut ke satu sisi. Gerakkan lutut hingga bisa merasakan tubuh ikut berputar. Lakukan 3 kali ayunan lutut ke masing masing sisi. Akhiri dengan meluruskan kaki. e. Posisi jembatan Berbaringlah di atas tempat tidur dengan kedua lutut tertekuk. Bentangkan kedua tangan ke bagian samping untuk keseimbangan. Tekan telapak kaki ke bawah dan perlahan lahan angkat pinggul dari tempat tidur. Rasakan tulang tungging terangkat. Lakukan 5 kali sehari. f. Posisi merangkak 1) Perlahan-lahan angkat tubuh dengan bertopang kedua tangan dan kaki di atas tempat tidur. Saat ibu dapat mempertahankan posisi merangkak tanpa merasa tak nyaman sedikitpun, ibu dapat menambah beberapa gerakan dalam rangkaian ini. 2) Tekan tangan dan kaki di tempat tidur, dan cobalah untuk melakukan gerakan yang sama dengan sentakan pinggul, sehingga pinggul terdorong ke arah bahu. Jika benar, ibu akan merasa seolah olah menggoyang- goyangkan ekor. Lakukan gerakan ini 5 kali sehari. 3) Tekan bagian tengah punggung ke arah bawah, saat melengkung tubuh ke bawa, ibu bisa merasakan perut meregang. Kemudian, saat meluruskan punggung, berkonsentrasilah menarik abdomen. (Gallagher, C.M, 2004) 2.2.5 Indikator Pemulihan Pasca Seksio Sesaria Dengan Mobilisasi Pada hari ketiga sampai kelima setelah operasi ibu diperbolehkan pulang ke rumah apabila tidak terjadi komplikasi. Perkembangan kesembuhan ibu pasca seksio sesaria dapat dilihat dari hari kehari. Hari kedua setelah operasi ibu berusaha buang air kecil sendiri tanpa bantuan kateter, dan melakukannya di kamar mandi dengan dibantu keluarga. Hari ketiga umumnya ibu baru akan buang air besar, dimana saat awal setelah persalinan ibu mengalami sembelit. Pada hari keempat lokia pada ibu pasca seksio sesaria normalnya 2 x ganti doek/ hari, perubahan ini menunjukkan bahwa rahim berkontraksi yaitu mengalami proses untuk kembali ke kondisi dan ukuran yang normal. Pada hari kelima fundus uteri berada pada pertengahan pusat simfisis dan hari ketujuh setelah operasi luka bekas sayatan mengering. (Dini Kasdu, 2003) 2.3 Konsep Post Partum 2.3.1 Pengertian Post Partum adalah periode 6 minggu antara kelahiran sampai kembalinya organ reproduksi pada kondisi normal seperti kondisi sebelum melahirkan 2.3.2 Pembagian Masa Nifas 2.3.2.1 Puerperium dini, yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalanjalan. 2.3.2.2 Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalis yang lamanya 6

8 minggu. 2.3.2.3 Remote puerperium, waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. 2.3.3 Perubahan Fisiologis Pada Masa Nifas 2.1.3.1 Uterus a. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil. b. Bayi lahir fundus uteri setinggi pusat dengan berat uterus 1000 gr c. Akhir kala III persalinan tinggi fundus uteri teraba 2 jari bawah pusat dengan berat uterus 750 gr. d. Satu minggu post partum tinggi fundus uteri teraba pertengan pusat simpisis dengan berat uterus 500 gr e. Dua minggu post partum tinggi fundus uteri tidak teraba diatas simpisis dengan berat uterus 350 gr f. Enam minggu post partum fundus uteri mengecil dengan berat 50 gr 2.1.3.2 Lochea Lochea adalah cairan secret yang berasal dari cavum uteri dan vagina dalam masa nifas Macam macam Lochea : a. Lochea rubra (Cruenta): berisi darah segar dan sisa sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, dam mekonium, selama 2 hari post partum. b. Lochea Sanguinolenta : berwarna kuning berisi darah dan lendir, hari 3 7 post partum. c. Lochea serosa : berwarna kuning cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7 14 post partum d. Lochea alba : cairan putih, setelah 2 minggu e. Lochea purulenta : terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk f. Lochea stasis : lochia tidak lancar keluarnya. 2.1.3.3 Serviks Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus. Setelah persalinan, ostium eksterna dapat dimasuki oleh 2 hingga 3 jari tangan, setelah 6 minggu persalinan serviks menutup 2.1.3.4 Vulva dan Vagina Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul kembali sementara labia menjadi lebih menonjol. 2.1.3.5 Perineum Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pada post natal hari ke 5, perineum sudah mendapatkan kembali sebagian besar tonusnya sekalipun tetap lebih kendur dari pada keadaan sebelum melahirkan. 2.1.3.6 Payudara Penurunan kadar progesteron secara cepat dengan peningkatan hormon prolaktin setelah persalinan.Kolostrum sudah ada saat persalinan produksi Asi terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 setelah persalinan. Payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya proses laktasi 2.1.3.7 Sistem Perkemihan Buang air kecil sering sulit selama 24 jam pertama, kemungkinan terdapat spasme sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang

pubis selama persalinan. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam waktu 6 minggu. 2.1.3.8 Sistem Gastrointestinal Seringkali diperlukan waktu 3 4 hari sebelum faal usus kembali normal. Rasa sakit didaerah perineum dapat menghalangi keinginan buang air besar. 2.1.3.9 Sistem Kardiovaskuler Jumlah eritrosit dan hemoglobin kembali normal pada hari ke-5. Plasma darah tidak begitu mengandung cairan dan dengan demikian daya koagulasi meningkat. Pembekuan darah harus dicegah dengan penanganan yang cermat dan penekanan pada ambulasi dini. 2.1.3.10 Sistem Endokrin Kadar estrogen menurun 10% dalam waktu sekitar 3 jam post partum. Progesteron turun pada hari ke 3 post partum 2.1.3.11 Sistem muskuloskletal Ambulasi pada umumnya dimulai 4 8 jam post partum. Ambulasi dini sangat membantu untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses involusi. 2.1.3.12 Sistem integumen Penurunan melanin umumnya setelah persalinan menyebabkan berkurangnya hyperpigmentasi kulit 2.3.4 Perawatan Pasca Operasi Di ruang pemulihan, berbagai pemeriksaan dilakukan, meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, sirkulasi darah, tekanan darah, suhu tubuh, jumlah urin yang tertampung, jumlah darah dalam tubuh, serta jumlah dan bentuk cairan lokia. Ini untuk memastikan tidak ditemukan gumpalan darah yang abnormal atau perdarahan berlebihan. Kondisi rahim (uterus) dan leher rahim juga akan diperiksa. Setelah melewati tahap kritis di ruang pemulihan, biasanya pasien dipindahkan ke ruang rawat inap. Pemeriksaan yang dilakukan adalah : a. Pengukuran denyut jantung dan tekanan darah b. Pemantauan jumlah dan penampilan lokia c. Observasi pola eleminasi urin dan alvi d. Tes darah untuk mengetahui kadar hemoglobin e. Pemeriksaan bekas sayatan, kalau perlu perban diganti f. Efek pembiusan g. Infus h. Pola makan dan minum i. Kemampuan bangun dan menggerakkan tubuh. (Dini Kasdu, 2003) 2.3.5 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan post partum 2.3.5.1 Mobilisasi Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan, lebih-lebih bila persalinan berlangsung lama, karena si ibu harus cukup beristirahat, dimana ia harus tidur terlentang selama 8 jam post partum untuk mencegah perdarahan post partum. Kemudian ia boleh miring ke kiri dan ke kanan untuk mencegah terjadinya trombosis dan trombo emboli. Pada hari kedua telah dapat duduk, dan hari ketiga telah dapat jalan-jalan. Mobilisasi ini tidak mutlak, bervariasi tergantung pada adanya komplikasi persalinan, nifas, dan sembuhnya luka. 2.3.5.2 Diet / Makanan

Makanan yang diberikan harus bermutu tinggi dan cukup kalori, yang mengandung cukup protein, banyak cairan, serta banyak buah-buahan dan sayuran karena si ibu ini mengalami hemo konsentrasi. 2.3.5.3 Buang Air Kecil Buang air kecil harus secepatnya dilakukan sendiri. Kadang-kadang wanita sulit kencing karena pada persalinan musculo sphincter vesica et urethare mengalami tekanan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi iritasi sphincter ani. Juga oleh karena adanya oedema kandungan kemih yang terjadi selama persalinan. 2.3.5.4 Buang Air Besar Buang air besar harus sudah ada dalam 3-4 hari post partum. Bila ada obstipasi dan timbul berak yang keras, dapat kita lakukan pemberian obat pencahar peroral atau per rektal, atau dilakukan klisma bila belum berakhir. 2.3.5.5 Demam Sesudah bersalin, suhu badan ibu naik 0,5 C dari keadaan normal, tapi tidak melebihi 38 C. Dan sesudah 12 jam pertama suhu badan akan kembali normal. Bila suhu lebih dari 38 C mungkin telah ada infeksi. 2.3.5.6 Mules Hal ini timbul akibat kontraksi uterus dan biasanya lebih terasa sedang menyusui. Hal ini dialami selama 2-3 hari sesudah bersalin. Perasaan sakit ini juga timbul bila masih ada sisa selaput ketuban, plasenta atau gumpalan darah di cavum uteri. 2.3.5.7 Laktasi Delapan jam sesudah persalinan si ibu disuruh mencoba menyusui bayinya untuk merangsang timbulnya laktasi, kecuali ada kontra indikasi untuk menyusui bayinya, misalnya: menderita thypus abdominalis, tuberkulosis aktif, thyrotoxicosis, DM berat, psikosi atau puting susu tertarik ke dalam, leprae. (Llewellyn, D, (2001), http://www.scribd.com) BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (Nursalam, 2001) Keterangan : = diukur = tidak diukur

Dari gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa pasien post seksio sesaria harus melakukan mobilisasi baik secara aktif maupun pasif. Di mana aktivitas tersebut akan mempengaruhi proses pemulihan kondisinya seperti sebelum hamil. Mobilisasi menyebabkan suatu kontraksi dari jaringan otot dan pembuluh darah, yang secara otomatis akan merangsang kerja saraf yang terganggu baik akibat kehamilan ataupun anestesi pada saat seksio sesaria. Dengan terbentuknya kontraksi tersebut, saraf pada usus, kandung kemih, dan uterus juga terpengaruh sehingga involusi uterus, kontraksi blader, dan motilitas usus dapat berangsurangsur membaik. Selain itu mobilisasi yang dilakukan juga merangsang pengeluaran bekuan darah dan lokia yang bila tertinggal bisa menjadi sumber infeksi bagi ibu.

3.2 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah ditanyakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. (Sugiyono, 2009) H1 : terdapat perbedaan kecepatan pemulihan yang signifikan antara pasien yang diberi latihan mobilisasi aktif dan yang diberi latihan mobilasi pasif BAB 4 METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2009). Pada bab ini akan diuraikan mengenai rancangan atau desain penelitian, kerangka kerja, populasi, sampel, sampling, identifikasi variable, definisi operasional, pengumpulan data dan analisa data, etika penelitian, dan keterbatasan. 4.1 Rancangan / Desain Penelitian Rancangan penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan (Nursalam, 2001). Berdasarkan tujuan penelitian, rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pretest-posttest. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi perbedaan efektifitas mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria. 4.2 Kerangka Kerja Kerangka kerja (frame work) atau kerangka penelitian adalah teori yang bisa diukur dan telah dikembangkan pada perawatan atau disiplin ilmu yang lain. Pada kerangka kerja disajikan alur penelitian, terutama variable yang akan digunakan dalam penelitian (Nursalam, 2003). 4.3 Populasi, Sampel, dan Sampling 4.3.1 Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan RS. Baptis Kediri. 4.3.2 Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2009). Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien seksio sesaria di ruang rawat inap kebidanan RS. Baptis Kediri selama bulan Maret dan memenuhi kriteria inklusi. 4.3.2.1 Kriteria Inklusi Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2001). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah : a. Pasien yang telah menjalani operasi seksio sesaria elektif atau operasi seksio yang direncanakan (bukan emergency) b. Pasien post operasi seksio sesaria tanpa komplikasi c. Pasien yang bersedia menjadi responden d. Umur kurang dari 40 tahun

4.3.2.2 Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena pelbagai sebab (Nursalam, 2001). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah : a. Pasien dengan komplikasi perdarahan, persalinan kasep b. Pasien yang telah menjalani operasi seksio sesaria emergency c. Pasien tidak mengkonsumsi obat diuretik dan laksatif 4.3.2.3 Besar Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi seksio sesaria selama bulan Maret 20011 di Ruang Rawat Inap Kebidanan RS. Baptis Kediri dan memenuhi kriteria inklusi. 4.3.3 Sampling Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2001). Tehnik sampling dilakukan secara total sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara mengambil seluruh populasi yang ada (Nursalam, 2003). Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien post operasi seksio sesaria selama bulan Maret 2011. 4.4 Identifikasi Variabel Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). 4.4.1 Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau terikat. (Sugiyono, 2009). Variabel bebas penelitian ini adalah mobilisasi aktif dan mobilisasi pasif. 4.4.2 Variabel terikat (dependent variable) Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2009). Variabel terikat merupakan faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya variabel bebas. Variabel terikat penelitian ini adalah kecepatan pemulihan pasien post seksio sesaria. 4.5 Definisi Operasional 4.5.1 Pengertian Definisi Operasional Definisi operasional adalah penjelasan variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian (Setiadi, 2007; 165) 4.6 Pengumpulan Data dan Analisa Data 4.6.1 Pengumpulan Data 4.6.1.1 Instrumen Pengumpulan Data Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2009). Pengumpulan data untuk variabel dependen yaitu kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria dilakukan dengan cara studi dokumentasi. Data yang diperhatikan adalah data tentang pola eleminasi, pengeluaran lokia, dan kemampuan

mobilisasi. Sedangkan untuk variabel independen yaitu mobilisasi aktif dan pasif dilakukan dengan cara observasi partisipasi moderat, yaitu peneliti dalam mengumpulkan data ikut observasi dalam beberapa kegiatan, tetapi tidak semuanya (Sugiyono, 2009). 4.6.1.2 Waktu dan Tempat a. Waktu Penelitian Penelitian direncanakan pada bulan Maret 2011. b. Tempat Penelitian Tempat yang digunakan untuk penelitian adalah Ruang Rawat Inap Kebidanan RS. Baptis Kediri 4.6.1.3 Proses Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik observasi, studi dokumentasi, dan pemberian latihan mobilisasi aktif dan pasif. Responden yang diintervensi untuk melakukan latihan sebelumnya diobservasi mengenai pola eleminasi, diwawancarai tentang frekuensi BAB dan BAK setiap 24 jam. Setelah pengkajian, pasien diberikan informed consent. Bila pasien setuju, peneliti memberikan intervensi latihan mobilisasi aktif ataupun pasif. Hasil intervensi kemudian diobservasi dan didokumentasikan pada hari ke-2 setelah intervensi. 4.6.2 Analisa Data 4.6.2.1 Langkah-langkah analisa a. Coding Data Memberikan kode pada setiap informasi yang sudah terkumpul dari observasi dan studi dokumentasi untuk memudahkan mengelola data. b. Skoring Variabel independent : mobilisasi aktif dan pasif

Variabel dependent : kecepatan pemulihan c. Tabulasi Data Setelah data observasi dan studi dokumentasi diperoleh, maka data ditabulasikan dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. 4.6.2.2 Pengambilan Kesimpulan Data yang telah diambil kemudian diolah untuk pengujian hipotesa penelitian. Metode yang dipakai adalah dengan membandingkan hasil latihan mobilisasi aktif pada hari ke-2 post operasi seksio sesaria. 4.7 Masalah Etik (Ethical Clearance) Sebagai pertimbangan etik maka peneliti perlu meminta persediaan ibu post partum untuk

menjadi responden dalam penelitian ini dengan memberikan informed consent pada responden dan peneliti juga wajib merahasiakan nama responden dan data yang diberikan oleh responden kepada orang lain.

4.8 Keterbatasan Menurut Burn dan Grove (1991) yang dikutip oleh Nursalam (2001), mengemukakan bahwa ketrbatasan adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah keterbatasan peneliti dalam pemberian latihan mobilisasi aktif dan pasif, dan jumlah pasien seksio sesaria yang tidak konstan setiap bulan

Pengambilan Sampel Air Seni Menurut Wachyuni dari bagian Mikrobiologi RSVP Fatmawati, Jakarta Selatan, aria beberapa cara pengambilan sampel urin, yakni: 1. Urin sewaktu Untuk berbagai pemeriksaan digunakan urin sewaktu, yakni urin dikeluarkan pada waktu yang tidak ditentukan secara khusus. Pemeriksaan ini baik untuk pemeriksaan rutin tanpa keluhan khusus. 2. Urin pagi

Maksudnya, urin yang pertama-tama dikeluarkan di pagi hari setelah bangun tidur. Urin ini lebih pekat daripada urin yang dikeluarkan di siang hari. Pemeriksaan urin pagi baik untuk sedimen, berat jenis, protein, juga tes kehamilan. Sebaliknya, urin pagi tidak baik untuk pemeriksaan penyaring karena adanya glukosuria. 3. Urin postprandial Maksudnya, urin yang pertama kali dikeluarkan 1,5 - 3 jam sehabis makan. Sampel ini berguna untuk pemeriksaan glukosuria. 4. Urin 24 jam Sampel ini digunakan untuk mengetahui keandalan angka analisis. Untuk mengumpulkan urin 24 jam diperlukan botol besar, bervolume 1,5 liter atau lebih yang ditutup dengan baik. Botol harus bersih dan memerlukan zat pengawet. Cara mengumpulkan urin ini dikenal juga sebagai timed specimen, yakni urin siang 12 jam, dan urin malam 12 jam. Urin siang 12 jam dikumpulkan dari pukul 07.00 sampai 19.00. Sementara urin malam 12 jam, dikumpulkan dari pukul 19.00 sampai pukul 7.00 keesokan harinya. Adakalanya urin 24 jam ditampung terpisah-pisah dalam beberapa botol dengan maksud tertentu. Contohnya, pada penderita diabetes melitus untuk melihat banyaknya glukosa dari santapan satu hingga santapan berikutnya. 5. Urin 3 gelas dan 2 gelas pada laki-laki Urin jenis ini digunakan untuk pemeriksaan urologis. Selain itu, juga untuk mendapatkan gambaran tentang letak radang atau lesi lain, yang mengakibatkan adanya nanah atau darah dalam air kencing pria

PENDAHULUAN

1.Definisi dan Epidemiologi Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri pada saluran kemih luar sampai ke ginjal. Infeksi yang biasa ditemui adalah infeksi kandung kemih, sementara infeksi lain yang sering terjadi adalah infeksi ginjal dan urethra. Infeksi ini bisa asimptomatik (tak bergejala), tetapi tetap ditemukan bakterinya di saluran kemih. ISK merupakan penyakit yang perlu mendapat perhatian serius. Di Amerika dilaporkan bahwa 8,3 juta pasien datang ke dokter setiap tahunnya dengan diagnosis ISK. Insiden ISK adalah 3,6% di Indonesia, selain itu ISK menempati urutan kedua dalam penyakit infeksi dan masuk dalam sepuluh besar penyakit terbanyak pada tahun 2004.

ISK terjadi karena invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Untuk menegakkan diagnosis ISK harus ditemukan adanya bakteri dalam urin melalui biakan dengan jumlah yang signifikan. Tingkat signifikansi bakteri dalam urin lebih besar dari 100.000/ml urin. Agen penginfeksi yang paling sering adalah Eschericia coli, Proteus sp, Klebsiella sp, Serratia, Pseudomonas sp. Penyebab utama ISK (sekitar 85%) adalah bakteri Eschericia coli.

2.Faktor-faktor Penyebab Pada keadaan normal, tanpa infeksi, urin harusnya steril terbebas dari bakteri, virus, dan jamur. Infeksi biasanya berasal dari saluran pencernaan dan mulai bermultiplikasi. Pada kebanyakan kasus, bakteri mengenai uretra terlebih dahulu. Apabila ISK hanya terjadi di uretra maka dinamakan urethtritis. Jika tidak diobati, maka bakteri akan menginvasi organ yang lebih dalam ke kandung kemih, disebut cistitis, kemudian menuju ureter atau uretritis, dan bahkan menginvasi ginjal. Mikroorganisme seperti Chlamydia dan Mycoplasma dapat menyebabkan ISK pada wanita dan pria, tetapi infeksinya hanya terbatas pada urethra dan organ reproduksi saja. Tidak seperti E. coli yang ditularkan melalui saluran cerna, Chlamydia dan Mycoplasma dapat ditularkan secara seksual, sehingga diperlukan terapi pada pasangan seksual.

Faktor Biologi

Faktor Lingkungan

Faktor Perilaku 1.

Faktor Pelayanan Kesehatan

1. Wanita berisiko lebih 1. Lingkungan besar terkena ISK 2. Gangguan

Higiene 1. Minimnya yang pengetahuan petugas kesehatan 2. Kurangnya sarana prasarana yang memadai untuk 3. Keterlambatan dalam diagnosis dan terapi 4. Kekeliruan dalam diagnosis dan terapi

dengan sanitasi yang personal kurang baik (tidak rendah

anatomis dan gangguan tersedianya air bersih 2. Kurang saluran kemih lainnya 3. Penggunaan pada untuk cebok, kesadaran toilet berobat

alat penggunaan

bantu kemih 4.

saluran duduk yang kurang 3. Keterlambatan 5. Tidak adanya program yang adekuat dalam memadai) sistemik dalam berobat 4. melakukan proses skrining awal penyakit

Penyakit

Tidak 6. Kurangnya informasi yang diberikan pada masyarakat baik mengenai penyakit,

atau obat-obatan yang menurunkan imun sistem

pemeriksaan rutin sanitasi(lingkungan), dan perilaku masyarakat kesehatan

Sebenarnya sistem urinaria itu sendiri memiliki mekanisme untuk mencegah infeksi. Ureter dan kandung kemih mencegah refluks urin kembali ke ginjal, dan aliran urin dari kandung kemih membantu membersihkan bakteri di saluran kemih. Secara anatomis, uretra pada wanita lebih pendek dibanding uretra pada pria sehingga apabila terjadi infeksi, maka penyebaran bakteri akan lebih cepat. Selain itu, muara uretra wanita berada dekat dengan anus dan vagina sehingga ISK yang disebabkan oleh infeksi saluran cerna dan penularan secara seksual lebih mudah terjadi. Pada laki-laki, terdapat sekret kelenjar prostat yang memperlambat pertumbuhan bakteri sehingga ISK lebih sering terjadi pada wanita. Beberapa orang memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami ISK. Gangguan pada saluran kemih merupakan faktor predisposisi, seperti batu ginjal, pembesaran prostat, dan gangguan anatomis saluran kemih lainnya. Penggunaan alat bantu kesehatan seperti kateter, atau tube yang dipasang di uretra dan kandung kemih juga memperbesar risiko terjadinya ISK. Pada pasien dengan gangguan sistemik seperti diabetes, penyakit lupus, dan penggunaan obat-obat yang menurunkan sistem imun juga merupakan faktor risiko ISK. Faktor risiko ISK ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor yaitu: faktor biologi, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku (tabel 1)

3.Faktor yang Paling Berperan Faktor yang sangat berperan menyebabkan ISK adalah faktor perilaku masyarakat, yang diperparah dengan faktor pelayanan kesehatan sehingga memperberat ISK.

4.Akar-akar Permasalahan Kurangnya higiene personal dan tingkat kesadaran akan pengobatan ISK pada masyarakat dan keterlambatan petugas kesehatan dalam penegakan diagnosis dan pemberian terapi.

5.Akar Masalah Utama

Faktor perilaku masyarakat yang menjadi masalah utama dalam kasus ISK adalah higiene personal yang rendah dan kurangnya kesadaran untuk berobat sehingga telah terjadi keterlambatan dalam pengobatan. Hal ini diperparah dengan faktor pelayanan kesehatan akibat minimnya pengetahuan petugas kesehatan dan kurangnya informasi yang diberikan pada masyarakat sehingga terjadi keterlambatan dalam diagnosis, dan terapi yang tidak tepat. Bahkan tidak jarang dijumpai pasien yang datang kembali dengan keadaan penyakit yang semakin parah atau mengalami komplikasi. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menyelesaikan akar masalah tersebut dengan jalan meningkatkan pengetahuan masyarakat dan juga petugas kesehatan mengenai ISK.

6.Rencana Program Kegiatan Pilihan program kegiatan dibagi menjadi dua kelompok, yakni terhadap masyarakat dan petugas kesehatan. Materi yang diberikan pun harus sesuai dengan tingkat pendidikan target sasaran. Pilihan program kesehatan untuk masyarakat terutama ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga akhirnya dapat merubah perilaku masyarakat, antara lain: a. Memberikan materi kuliah atau seminar bagi masyarakat mengenai cara meningkatkan dan menjaga higiene personal b. Memberikan materi kuliah atau seminar bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran berobat c. Memberikan materi kuliah atau seminar bagi masyarakat mengenai cara mendiagnosis dan penatalaksanaan ISK d. Membuat leaflet-leaflet berisi informasi mengenai ISK Pilihan program kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan, antara lain: a. Memberikan materi kuliah atau seminar bagi petugas kesehatan mengenai cara penegakan diagnosis dan penatalaksanaan ISK b. Membuat leaflet-leaflet berisi informasi terbaru tentang ISK c. Memberi saran kepada petugas kesehatan setempat untuk mengadakan materi kuliah atau seminar, dan pelatihan bagi petugas kesehatan sebagai salah satu program kerja

Dari program kerja di atas, alternatif terbaik dalam mengatasi kasus ISK adalah dengan memberikan kuliah atau seminar bagi masyarakat mengenai higiene personal dan kesadaran berobat, sementara itu dilakukan pula kuliah atau seminar bagi petugas kesehatan mengenai cara penegakan diagnosis dan penatalaksanaan ISK.

Infeksi Saluran Kemih


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin (1). Infeksi saluran kemih terjadi apabila bakteri bermultiplikasi di dalam saluran kemih. Infeksi dapat berlangsung mulai dari ginjal sampai ke muara uretra, dapat bersifat akut, berulang, maupun kronik (2). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan di praktik umum, walaupun bermacam-macam antibiotika sudah tersedia luas di pasaran (1). Bakteri patogen utama penyebab infeksi saluran kencing adalah Escherichia coli baik pada pasien rawat jalan maupun rawat inap. Bakteri patogen lain yang menjadi penyebab infeksi saluran kemih, namun jarang ditemukan adalah Staphylococcus saprophyticus, Klebsiella spp., Proteus spp., Enterococcus spp. dan Enterobacter spp (3). Laporan data di Laboratorium Klinik Mikrobiologi RS Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2004 menyebutkan jenis bakteri yang terbanyak pada infeksi saluran kemih ialah

Escherichia coli (39,4%) dan Klebsiella pneumoniae (26,3%). Hasil penelitian Sudarmin tahun 2002 sampai 2003 didapatkan bahwa kuman yang terbanyak untuk infeksi saluran kemih adalah Escherichia coli (14%), Acinetobacter calcoaceticus (8%). Menurut Samirah penelitian diluar negeri mengemukakan Escherichia coli ialah penyebab infeksi saluran kemih tersering, mencapai 90%, tetapi beberapa penelitian di Indonesia tidak menemukan angka setinggi itu (4). Kasus infeksi saluran kemih di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta merupakan penyakit infeksi urutan kedua dan masuk dalam sepuluh besar penyakit pada tahun 2004. Dugaan bakteri penyebab utamanya adalah Escherichia coli (85%) (5). Angka kejadian infeksi saluran kemih berdasarkan data RSUD Ulin Banjarmasin pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2008 adalah 113 pasien dan pada tahun 2009 adalah 143 pasien. Gambaran pola bakteri penyebab infeksi saluran kemih di tiap-tiap daerah dapat berbeda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola kebersihan seseorang, pola pengobatan atau pemakaian antibiotik yang digunakan penderita infeksi di suatu daerah, kehidupan dari penderita dan lainnya (6). Saat ini belum ada laporan mengenai bakteri penyebab infeksi saluran kemih khususnya di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Banjarmasin sehingga terapi obat yang diberikan masih bersifat umum. Dalam upaya mengetahui jawaban jenis bakteri penyebab infeksi saluran kemih maka penelitian ini dilakukan.

B.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang peneliti yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah jenis bakteri apa saja sebagai penyebab infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jenis-jenis bakteri penyebab infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin.

D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi tambahan yang bermanfaat bagi semua pihak terkait mengenai gambaran bakteri sebagai penyebab infeksi saluran kemih, sehingga dengan diketahuinya jenis bakteri penyebab infeksi membantu pemeriksaan klinis untuk menentukan terapi yang lebih spesifik dan tepat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih merupakan berkembangbiaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih yang dalam keadaan normal tidak mengandung bakteri, virus maupun organisme lain. Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) yaitu menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme (MO) murni lebih dari 105 colony forming unit (cfu/ml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinik infeksi saluran kemih dinamakan bakteriuria asimptomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis infeksi saluran kemih dinamakan bakteriuria simptomatik (1).

B.

Etiologi Infeksi Saluran Kemih

Escherichia coli merupakan mikroorganisme paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi simptomatik maupun asimptomatik. Jenis bakteri ini juga mempengaruhi gejala yang bervariasi. Agen penginfeksi yang paling sering adalah Eschericia coli, Proteus sp., Klebsiella sp., Serratia, Pseudomonas sp (3). Penyebab utama infeksi saluran kemih (sekitar 85%) adalah bakteri Eschericia coli. Penggunaan kateter terkait dengan infeksi saluran kemih dengan kemungkinan lebih dari satu jenis bakteri penginfeksi (4).

C. Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih sangat tergantung banyak faktor seperti usia, gender, prevalensi bakteri dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal (1). ISK atau infeksi saluran kemih secara klinik timbul sebagai infeksi saluran kemih bagian bawah dan infeksi saluran kemih bagian atas. Infeksi saluran kemih bagian bawah adalah infeksi saluran kemih yang paling sering terjadi yang disebut uretritis atau cistitis. Infeksi saluran kemih bagian atas biasanya sering disebabkan oleh kuman patogen yang sama dengan infeksi saluran kemih bagian bawah, hal ini terjadi karena infeksi saluran kemih bagian bawah tidak diobati secara tepat sehingga kuman tersebut naik dari kantong kemih ke ginjal, dan dapat menyebabkan infeksi yang serius dari ginjal (2). Infeksi saluran kemih kebanyakan didapatkan pada wanita, yaitu dengan rasio sebesar 8:1 antara wanita dan laki laki. Masyarakat umumnya, 2% pasien yang dirawat di Rumah Sakit didapatkan menderita infeksi saluran kemih, terhitung lebih dari 500.000 infeksi nosokomial per

tahunnya (7). Data penelitian epidemiologi klinik lain melaporkan 25 35% perempuan dewasa pernah mengalami infeksi saluran kemih selama hidupnya (1). Infeksi saluran kemih juga merupakan salah satu penyakit akut terbesar dari anak-anak dan kira-kira berpengaruh pada 6,5% perempuan dan 3,3% laki-laki pada satu tahun pertama kehidupannya. Serta biasanya terjadi refluks vesika urinari yang mana memperlihatkan 30% sampai 40% dari anak - anak dengan infeksi saluran kemih yang dapat menjelaskan resiko untuk infeksi berulang dan pembentukan jaringan parut pada ginjal (8). Prevalensi bakteriuria asimptomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimptomatik meningkat mencapai 30% baik laki-laki ataupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti litiasis, obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, nekrosis papiler, Diabetes mellitus paska transplantasi ginjal, nefropati analgesik, sickle cell desease, hubungan seksual, kateterisasi, dan lain (1). Bayi dan anak kecil adalah mempunyai resiko tinggi untuk kerusakan ginjal dari infeksi saluran kencing dari pada anak yang lebih tua. Rekomendasi terbaru dari American Academy of Pediatrics untuk evaluasi anak-anak kurang dari 2 tahun dengan infeksi saluran kemih meliputi studi pencitraan dan profilaksis antimikrobia untuk anak-anak dengan atau tanpa diketahui diagnosa terjadinya refluks vesikouretra (8).

D. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih Berdasarkan gejala infeksi saluran kemih dibagi menjadi dua yaitu infeksi saluran kemih simptomatik dan infeksi saluran kemih asimptomatik. Disebut simtomatik bila dijumpai bakteriuria bermakna disertai gejala klinis seperti sakit pada saat buang air kecil, sering buang air kecil dan rasa ingin miksi (kencing) terus menerus dengan atau tanpa demam dan nyeri

pinggang. Disebut infeksi saluran kemih asimtomatik adalah apabila dijumpai bakteriuria bermakna pada anak maupun dewasa yang kelihatannya sehat tanpa gejala yang mengarah ke infeksi saluran kemih (2). Berdasarkan lokasinya infeksi saluran kemih terbagi dua yaitu infeksi saluran kemih bawah dan infeksi saluran kemih atas. Infeksi saluran kemih bawah biasanya presentasi kliniknya tergantung dari gender yaitu (1): 1. a. perempuan berupa : Sistitis, yaitu presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna;

b. Sindrom Uretra Akut (SUA), yaitu presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril); 2. Presentasi klinis infeksi saluran kemih bawah pada laki laki berupa sistitis, prostatitis, epidemidis dan uretritis. Infeksi saluran kemih atas presentasi kliniknya bisa berupa (1): a. Pielonefritis Akut (PNA), yaitu proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri; b. Pielonefritis Kronik (PNK), yiatu akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria sering diikuti dengan pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai piolonefritis kronik yang spesifik. Gejala klinis infeksi saluran kemih bawah dan infeksi saluran kemih atas biasanya berbeda. Untuk membedakan infeksi saluran kemih bawah atau infeksi saluran kemih atas diperlukan tes yang dapat invasif maupun nonvasif. E. Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih

Pada individu normal biasanya laki laki maupun perempuan urin selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretra distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpatogenik gram positif dan gram negatif. Hampir semua infeksi saluran kemih disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih dan pada beberapa pasien tertentu invasi mikrooragnisme dapat mencapai ginjal. Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks karena melibatkan beberapa faktor seperti faktor pejamu dan faktor organisme penyebab. Adapun patogenesis infeksi saluran kemih (2):

Bakteri dalam urin bisa berasal dari ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria atau uretra. Timbulnya suatu infeksi di saluran kemih tergantung dari faktor predisposisi dan faktor pertahanan tubuh penderita yang masih belum diketahui dengan pasti (2). Bakteri uropatogenik yang melekat pada sel uroepitel, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot polos dinding ureter dan menyebabkan gangguan peristaltiknya. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel ini akan meningkatkan virulensi bakteri tersebut. Escherichi coli merupakan organisme yang potensial sebagai penyebab infeksi saluran kemih yang asending, tetapi tidak semua galur Escherichia coli dapat berkolonisasi di saluran

kemih. Invasi bakteri membutuhkan virulensi uropatogen untuk menyebabkan terjadinya infeksi saluran kemih pada anatomi saluran kemih yang normal. Kemampuan melekat kuman ke uroepitel berkat adanya fimbria atau vili yang disebut P-fimbriae, yang mudah menempel pada reseptor spesifik epitel saluran kemih yaitu sejenis karbohidrat yang berisi glikolipid galaktosa a 14 galaktosa b (GalGal positive). Kemampuan melekat pada mukosa uroepitel akan meningkatkan virulensi kuman. (2). Pada bakteriuria asimtomatik yang berhubungan dengan galur bakteri yang berkolonisasi di dalam saluran kemih, galur bakteri tetap bertahan sampai timbul gejala infeksi saluran kemih atau terjadi invasi galur lain. Galur bakteri tertentu dapat bertahan rata-rata 88 hari tanpa ada demam atau gejala infeksi sistemik. Di sisi lain Escherichia coli penyebab bakteriuria asimtomatik virulensinya kurang bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pasien dengan infeksi saluran kemih simtomatik (2).

F.

Gejala klinik Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih yang simtomatik gejalanya bergantung pada umur penderita dan lokalisasi infeksi di dalam saluran kemih. Gejala dan tanda klinik infeksi saluran kemih tidak selalu lengkap dan bahkan tidak selalu ada yaitu pada keadaan bakteriuria tanpa gejala. Biasanya gejala yang lazim ditemukan adalah disuria, polakisuria dan terdesaknya kencing atau disebut urgency yang semua dapat terjadi secara bersamaan. Rasa sakit bisa didapatkan didaerah supra pubik atau pelvis berupa rasa nyeri atau rasa terbakar di uretra ataupun di muara uretra luar sewaktu kencing maupun diluar waktu kencing. Polakisuria terjadi akibat kandung kemih tidak dapat menampung kencing lebih dari 500 ml, akibat rangsangan mukosa yang meradang sehingga sering kencing (9).

Bila mengenai saluran kemih atas, mungkin terdapat gejala-gejala pielonefritis akut seperti demam, mual dan nyeri pada ginjal. Namun, pasien dengan infeksi ginjal mungkin hanya menunjukkan gejala saluran kemih bawah atau tidak bergejala (10).

G. Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih Pada orang sehat, ginjal, ureter dan kandung kemih bebas dari mikrooragnisme, namun bakteri pada umumnya dijumpai pada uretra (saluran kemih dari kandung kemih ke luar) bagian bawah baik pria maupun wanita, tetapi jumlahnya berkurang di dekat kandung kemih disebabkan oleh efek antibakterial yang dilancarkan oleh selaput lendir uretra dan seringnya epitelium terbilas oleh air seni (2). Pada infeksi saluran kemih disebabkan karena meningkatnya jumlah kuman atau bakteri yang berada pada uretra bahkan bisa sampai ke ginjal. Beberapa kuman penyebab Infeksi Saluran Kemih tersering yaitu : Tabel. 2.1 Kuman Penyebab Infeksi Saluran Kemih (7). Bakteri Escherichia coli Klebsiella pneumoniae Enterococcus spp Proteus mirabilis Pseudomonas aeruginosa Citrobacter spp Staphylococcus aureus Enterobacter cloacae Coagulase-negative staphylococci S. Saprophyticus Other Klibsiella spp Enterobacter aerogenes Persen 57,5% 12,4% 6,6% 5,4% 2,9% 2,7% 2,2% 1,9% 1,3% 1,2% 1,2% 1,1%

Streptococcus agalactiae

1,0%

Beberapa bakteri tersering yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih secara umum yaitu : 1. Escherichia coli Escherichia coli ditemukan oleh bakteriolog asal Jerman yang bernama Theodor Escherich pada tahun 1885. Escherichia coli ini termasuk bakteri gram negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora, bakteri aerob dan fakultatif anaerob. Bakteri ini berukuan antara 0,5-3 mikron. Escherichia coli dapat berkembang biak dengan baik pada suhu 37oC pada lingkungan yang minim oksigen. Escherichia coli mati pada pendinginan yang sangat cepat, pemanasan dengan suhu 100oC selama 60 menit, pemberian desinfektan pada konsentrasi yang rendah dan proses pasteurisasi. Escherichia coli memiliki sifat resisten terhadap dingin dan dapat memfermentasikan semua macam karbohidrat(11). Escherichia coli juga merupakan bakteri patogen opurtunistik yang dapat berubah menjadi bakteri patogen pada keadaan dengan kondisi kekebalan tubuh yang lemah dan jika bakteri ini berada di luar habitat aslinya di dalam tubuh. Escherichia coli adalah penyebab yang paling lazim dari infeksi saluran kemih dan merupakan penyebab infeksi saluran kemih pertama pada kira-kira 90% wanita muda. Gejala dan tanda-tandanya antara lain sering kencing, disuria, hematuria, dan puria (11).

Gambar 2.2 Escherichia coli

2.

Klebsiella pneumonia Klebsiella pneumonia pertama kali ditemukan oleh Carl Friedlander. Carl Friedlander adalah patologis dan mikrobiologis dari Jerman yang membantu penemuan bakteri penyebab pneumonia pada tahun 1882. Carl Friedlander adalah orang yang pertama kali mengidentifikasi bakteri Klebsiella pneumonia dari paru-paru orang yang meninggal karena pneumonia. Karena jasanya, Klebsiella pneumonia sering pula disebut bakeri Friedlander (11). Klebsiella pneumonia adalah bakteri gram negatif yang berbentuk batang (basil), tidak dapat melakukan pergerakan (non motil). Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, Klebsiella pneumonia merupakan bakteri fakultatif anaerob (11). Klebsiella pneumonia dapat memfermentasikan laktosa. Test dengan indol, Klebsiella pneumonia akan menunjukkan hasil negatif. Klebsiella pneumonia dapat mereduksi nitrat dan banyak ditemukan di mulut, kulit, dan saluran usus, namun habitat alami dari Klebsiella pneumonia adalah di tanah (11). Klebsiella pneumonia dapat menyebabkan pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia yang disebabkan oleh

Klebsiella pneumonia dapat berupa pneumonia komuniti atau community acquired pnuemonia. Pneumonia komuniti atau community acquired pnuemonia adalah pneumonia yang di dapatkan dari masyarakat. Strain baru dari Klebsiella pneumonia dapat menyebabkan pneumonia nosokomial atau hospitality acquired pneumonia, yang berarti penyakit peumonia tersebut didapatkan saat pasien berada di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan. Klebsiella pneumonia umumnya menyerang orang dengan kekebalan tubuh lemah, seperti alkoholis, orang dengan penyakit diabetes dan orang dengan penyakit kronik paru-paru (11).

Gambar 2.3 Klebsiella pneumonia

3.

Enterococcus sp Genus enterococcus termasuk bakteri gram positif. Berbentuk bola, non motil, nonspora dan termasuk bakteri fakultatif anaerob. Mereka tidak perlu oksigen untuk metabolisme, tetapi dapat bertahan hidup di lingkungan yang kaya akan oksigen. Walaupun mereka tidak mampu hidup bebas dalam bentuk spora, enterococcus mampu bergerak pada kondisi lingkungan yang

memiliki temperature ekstrem (10-45oC), pH 4,5 10,0 dan konsentrasi sodium klorida yang tinggi (12). Enterococcus juga berhubungan dengan penyakit manusia, menjadi sangat kuat ditetapkan sebagai nosokomial utama yang patogen, sehingga isolasi dari golongan resisten pada banyak terapi antibiotik menjadi sebuah perhatian yang penting dikesehatan masyarakat (13).

Gambar 2.4 Enterococcus sp

4.

Proteus mirabilis Proteus mirabilis adalah bakteri gram negatif dan termasuk bakteri fakultatif anaerob. Proteus memproduksi urase, menghasilkan hidrolisis urea yang cepat dengan pembebasan amonia. Proteus mirabilis penyebab 90% infeksi pada manusia dari seluruh Proteus (14). Spesies ini ditemukan pada infeksi saluran kemih dan menyebabkan bakterimia, pneumonia dan lesi fokal pada penderita yang lemah atau pada penderita yang menerima infus intravena. Proteus mirabilis menyebabkan infeksi saluran kemih dan kadang-kadang infeksi lainnya. Karena itu, pada infeksi saluran kemih oleh Proteus, urine bersifat basa, sehingga memudahkan pembentukan batu dan praktis tidak mungkin mengasamkannya (15).

Proteus mirabilis salah satu dari sebagian besar penyebab infeksi saluran kemih pada individu dengan pemakaian kateter jangka panjang, penyulit infeksi saluran kemih, dan bakteremia diantara kaum tua (16).

Gambar 2.5 Proteus mirabilis

5.

Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri bentuk batang gram negatif, 0,5-1,0 x 3,0-4,0 um. Umumnya mempunyai flagel polar, tetapi kadang-kadang bias memiliki 2-3 flagel. Bila tumbuh pada perbenihan tanpa sukrosa terdapat lapisan lendir polisakarida ekstraseluler. Struktur dinding sel sama dengan famili Enterobacteriaceae. Strain yang diisolasi dari bahan klinik sering mempunyai vili untuk perlekatan pada permukaan sel dan memegang peranan penting dalarn resistensi terhadap fagositosis (15). Bakteri ini oksidase positif dan tidak meragi karbohidrat, tetapi banyak strain mengoksidasi glukosa. Pengenalan biasanya berdasarkan morfologi koloni, sifat oksidase positif, adanya daya pigmen yang khas dan pertumbuhannya pada suhu 42C. Untuk membedakan

Pseudomonas aeruginosa dengan yang lain berdasarkan aktivitas biokimiawi, dibutuhkan pengujian dengan berbagai substrat(15).

Gambar 2.6 Pseudomonas aeruginosa

H. Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis Leukosituria Leukosituria adalah suatu keadaan terdapatnya leukosit dalam urin yang melebihi nilai normal dan merupakan gejala utama peradangan pada ginjal dan saluran kemih. Leukosituria dapat dideteksi dengan analisa urin secara mikroskopis. Dinyatakan positif bila terdapat lebih dari > 5 leukosit per lapangan pandang besar (LPB) sedimen urin. Secara mikroskopis dikatakan leukosituria bila bermakna bila ditemukan leukosit > 10 per LPB pada sedimen urin (17). 2. Bakteriologis Biakan bakteri

Bakteriuria adalah urin yang didalamnya terdapat bakteri bukan cemaran flora normal uretra, atau ditemukan flora normal dalam jumlah yang bermakna pada pemeriksaan laboratorik, baik yang disertai gejala ataupun tanpa gejala. Menghitung bakteri harus dlakukan melalui inokulasi permukaan lempeng agar nutrient, menggunakan sengkeli berkalibrasi yang memberikan 0,001 ml urine(gambar). Lempeng agar kemudian diinkubasi selama 25 jam pada suhu 370C dan koloni yang terbentuk kemudian dihitung. Dikatakan bakteriuri bermakna bila ditemukan bakteri patogen lebih atau sama dengan 105 cfu/ml urin porsi tengah (UPT) (18). Namun sering pula dijumpai pasien infeksi saluran kemih dengan kultur kurang dari 105 cfu/ml urin atau terdapat pertumbuhan satu golongan kuman, khususnya Escherichia coli (10).

Mikroskopis Pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan air kemih segar tanpa disentrifus atau tanpa pewarnaan gram. Bakteri dinyatakan positif bermakna bila ditemui satu bakteri pada lapang pandang minyak imersi (19).

3.

Tes Kimiawi Beberapa tes kimiawi dapat dipakai untuk menyaring adanya bakteriuria diantaranya yang paling sering dipakai ialah tes reduksi gries nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali entercocci mereduksi nitrat (19).

BAB III LANDASAN TEORI

Infeksi saluran kemih adalah keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna (1). Bakteri patogen penyebab infeksi saluran kemih sering kali dapat diperkirakan. Escherichia coli merupakan bakteri patogen utama baik pada pasien rawat jalan maupun rawat inap. Staphylococcus saprophyticus, Klebsiella spp., Proteus spp., Enterococcus spp. dan Enterobacter spp., merupakan patogen lain yang menjadi penyebab infeksi saluran kemih, namun jarang ditemukan (2). Pada buku tahunan di Inggris dan Wales angka kejadian infeksi saluran kemih terjadi sekitar 2,5 juta kasus dengan konsultasi dokter keluarga, angka kejadian untuk wanita dengan infeksi saluran kemih yaitu mencapai 63,5 konsultasi/1000 wanita/ tahun. Bakteri khas berhubungan dengan infeksi saluran kemih adalah kelompok family Enterobacteriaceae, sebagian besar Escherichia coli (bakteri penyebab >50% untuk semua kasus), Klebsiella spp yaitu bakteri gram positif terutama enterococci yang juga menjadi masalah penting (20). Berdasarkan beberapa penelitian baik di negara-negara maju dan di beberapa yang ada di Indonesia bakteri yang banyak menyebabkan infeksi saluran kencing adalah Escherichia coli. Di salah satu Rumah Sakit Yogyakarta bakteri Escherichia coli merupakan penyebab infeksi saluran kemih yang tersering hingga mencapai 85% kasus(5). Angka kejadian infeksi saluran kemih berdasarkan data RSUD Ulin Banjarmasin pada pasien rawat inap Penyakit Dalam mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2008 adalah 113 pasien dan pada tahun 2009 adalah 143 pasien. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Rumah Sakit di daerah lain memiliki bakteri penyebab yang berbeda. Karena bakteri penyebab infeksi saluran kemih dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya pola kebersihan, pola pengobatan atau pemakaian antibiotik yang digunakan penderita infeksi di suatu daerah dan kehidupan dari penderita dan lainnya.

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan jenis bakteri yang terdapat pada urine penderita infeksi saluran kemih di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin.

B.

Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah pasien yang didiagnosis infeksi saluran kemih atau berdasarkan hasil laboratorium ditemukan bakteriuria, leukosituria dan nitrituria. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 30 sampel.

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu sampel berupa urin , media agar darah, media Mc Conkey, cat pewarna Gram (larutan Kristal violet, lugol, aseton alcophol, karbol fukhsin), media gula, aquadest, alkohol, H2O2 3%, dan es batu. 2. Alat Penelitian

Alat-alat penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah botol steril 250 ml, termos es, labu Erlenmeyer (PYREX), pipet steril (PYREX) volume 1 ml dan 10 ml, tabung gulagula, ose steril, alumunium foil, lampu bunsen, cawan petri (PYREX), object glass dan cover glass(PYREX), autoclave (ALL AMERICAN), incubator (CARBOLLITE), rak pewarnaan dan mikroskop.

D. Variabel Penelitian 1. Variabel Utama Variabel penelitian ini adalah jenis bakteri yang berasal dari urin penderita infeksi saluran kemih di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin yang tumbuh pada media selektif bakteri. 2. Variabel Pengganggu Adapun variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah : a. Sterilitas alat dan bahan mempengaruhi kontaminasi bakteri lain terhadap koloni yang dibiakkan, dikendalikan dengan cara sterilitas panas basah (memasukkan alat dan bahan ke dalam autoklaf) dan sterilisasi kering (membakar ujung ose dan mulut tabung dengan menggunakan lampu bunsen). b. Media perbenihan yang berbeda menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berbeda pula, hal ini dapat dikendalikan dengan menggunakan media yang sesuai dengan pertumbuhan jenis bakteri yaitu berupa media Agar Darah atau media Mc Conkey. c. Cara pengambilan sampel dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan yang diperoleh, dikendalikan dengan cara pengambilan sampel sesuai prosedur dan standarisasi.

d.

Suhu dan kelembapan lingkungan tinggi atau rendah dapat menghambat dan mematikan pertumbuhan bakteri. Dikendalikan dengan memasukkan media pertumbuhan bakteri ke dalam inkubator pada suhu 37oC selama 24 jam.

e.

Waktu penyimpanan mempengaruhi kontaminasi mikroorganisme lain terhadap koloni yang dibiakkan, dikendalikan dengan menyimpan sampel ke dalam inkubator selama 24 jam.

E. Definisi Operasional 1. Urin merupakan zat cair hasil sisa metabolisme dalam tubuh yang dikeluarkan melalui saluran kemih. 2. Infeksi saluran kemih merupakan berkembangbiaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih yang dalam keadaan normal tidak mengandung bakteri, virus maupun mikroorganisme lain. 3. Pembiakan bakteri adalah proses pembenihan atau memperbanyak jumlah bakteri untuk memudahkan dalam meneliti bakterinya dengan cara menanamnya di media Agar. 4. Identifikasi bakteri adalah proses penentuan jenis bakteri yang terdapat pada sampel yang akan diperiksa. Dapat dilakukan dengan isolasi kemudian penanaman bakteri, pembiakan bakteri, pewarnaan Gram dan uji biokimia. 5. Pewarnaan Gram adalah suatu proses pewarnaan bakteri untuk menentukan jenis bakteri Gram positif atau negatif. 6. Media Agar adalah media yang digunakan untuk pembiakan kuman atau bakteri bisa berupa agar darah, SS media, dan lain lain.

F. Prosedur Penelitian 1. Tempat pengambilan sampel Pada penelitian ini sampel diambil dari Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin. 2. Teknik pengambilan sampel Botol penampung urin disediakan terlebih dahulu kemudian dibungkus dengan alumunium foil dan disterilkan dalam autoclave pada suhu 120oC selama 10-30 menit. Sampel urin diambil dari urin pasien yang didiagnosa infeksi saluran kemih atau berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukannya bakteriuria, leukosituria dan nitrituria. Kemudian sampel urin dimasukkan ke dalam botol penampung urin yang sudah disterilkan. Botol penampung urin yang berisi urin dimasukkan ke dalam termos yang sudah diisi es batu, kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. 3. Penanaman dan pembiakan Sampel urin penderita infeksi saluran kemih dari botol steril tadi di ambil dan diusapkan ke dalam media Agar darah atau media Mc Concay untuk proses penanaman dan pembiakan. Media tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. 4. Identifikasi sampel a. Identifikasi struktur, bentuk dan sifat morfologi dari bakteri.

b. Identifikasi secara mikroskopik. Koloni yang tumbuh pada media Agar atau media Mac Conkey dilakukan cat Gram, selanjutnya diidentifikasi dengan melihat struktur bakteri menggunkan mikroskop dengan pembesaran objektif 100 kali.

c.

Identifikasi dilanjutkan dengan uji biokimia berupa Agar TSI, Tes Katalase, Manitol dan diinkubasi selama 18 24 jam dengan suhu 37oC, untuk lebih lengkapnya prosedur identifikasi bakteri penelitian tersaji pada Lampiran 1.

G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Pencatatan hasil identifikasi bakteri dilakukan dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dan sifat bakteri yang terdapat pada media.

H. Cara Analisis Data Data-data yang diperoleh dari pemeriksaan makroskopis, mikroskopis dan uji biokimia dibandingkan dengan ciri-ciri dari bakteri yang ada pada atlas Mikrobiologi Kedokteran, kemudian dibuat tabulasi dan dihitung presentasinya.

I.

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam Laboratorium RSUD Ulin Banjarmasin dan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2010.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian identifikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin dilakukan secara deskriptif, menggunakan sebanyak 30 sampel yang dilaksanakan pada bulan Juni- Agustus Tahun 2010. Hasil penelitian

identifikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.1 Jenis Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin Gram No Jenis bakteri Jumlah Persentasi 1 2 3 4 Escherichia coli Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus Streptococcus sp Jumlah (-) (-) (+) (+) 22 4 2 2 30 73,33% 13,33% 6,67% 6,67% 100%

Dari tabel hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa bakteri terbanyak yang menyebabkan infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin adalah Escherichia coli (73,33 %). Bakteri lain yang menyebabkan infeksi saluran kemih adalah Pseudomonas aeruginosa (13,33 %), Staphylococcus aureus (6,67 %) dan Streptococcus sp (6,67 %). Perbedaan jenis bakteri tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu etiologi penyebab infeksi saluran kemih antara lain infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan abnormalitas struktur saluran kemih sering disebabkan oleh bakteri yang lebih resisten seperti Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter dan spesies Serratia. Bakteri-bakteri ini juga sering ditemui pada kasus infeksi nosokomial, terutama pada pasien yang mendapatkan katerisasi urin. Perbedaan bakteri dapat juga disebabkan oleh resistensi bakteri terhadap antibiotik misalnya bakteri yang lebih tahan terhadap Penicillin yaitu golongan bakteri gram negatif. Perbedaan jenis bakteri juga dipengaruhi oleh demografi (usia, jenis kelamin, etnik dan tempat tinggal). Faktor usia

mempunyai hubungan dengan besarnya risiko terhadap penyakit tertentu dan sifat resistensi pada berbagai kelompok usia tertentu. Misalnya anak-anak cenderung mempunyai tingkat kolonisasi Staphylococcus aureus yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak-anak lebih sering kontak dengan sekret pernafasan (22). Perbedaan bakteri berdasarkan jenis kelamin, mempunyai hubungan yang cukup erat dengan sifat keterpaparan, peran hidup dan tingkat kerentanan terhadap penyakit tertentu (23). Faktor lain yang menyebabkan perbedaan bakteri adalah perbedaan morfologi dan perbedaan sifat membrane sel (perbedaan sifat pada pewarnaan gram) dari bakteri penyebab infeksi saluran kemih. Berdasarkan sebanyak 30 sample urin pasien infeksi saluran kemih didapatkan sebanyak 19 wanita dengan umur berkisar 17 60 tahun dan 11 pria dengan umur berkisar 25 56 Tahun. Terdapat perbedaan insidensi terjadinya infeksi saluran kemih antara wanita dan pria. Insidensi infeksi saluran kemih pada wanita meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, aktifitas seksual dan anatomi dari sistem saluran kemih dari wanita. Di kelompok wanita yang tidak menikah angka kejadian infeksi saluran kemih lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang sudah menikah. Perbedaan insidensi juga dipengaruhi oleh usia karena berhubungan dengan perbedaan tingkat keterpaparan dan kerentanan serta perbedaan dalam pengalaman terhadap penyakit tertentu(22). Infeksi saluran kemih juga sering terjadi akibat pemasangan kateter dalam jangka lama ataupun jangka pendek dengan pemasangan yang kurang benar serta kurang steril dan sistoskopi yang tidak bersih. Menurut penelitian Amee dan kawan kawan pada Tahun 2001 resiko meningkatnya insidensi infeksi saluran kemih terjadi akibat adanya resistensi antibiotik multiple salah satunya seperti trimetropim dan sulfametoksazol. Kenaikan insidensi juga terjadi pada populasi penderita diabetes melitus, transplantasi ginjal dan pada imunodefisiensi.

Ditemukannya jenis bakteri penyebab infeksi saluran kemih pada penelitian ini antara lain Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Sterptococcus sp sesuai dengan penelitian Rahn D. David pada tahun 2008 yang juga menemukan bakteri-bakteri tersebut (Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Sterptococcus sp) sebagai bakteri penyebab infeksi saluran kemih dan Escherichia coli sebagai bakteri terbanyak penyebab infeksi saluran kemih. Dengan demikian penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jenis bakteri yang didapatkan pada penelitian ini yaitu Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Sterptococcus sp adalah bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi saluran kemih. Pada penelitian lain di rumah sakit di Yogyakarta pada Tahun 2004 menemukan Escherichia coli sebagai bakteri penyebab infeksi saluran kemih terbanyak. Menurut penelitian Susi Natalia pada Tahun 2006 menunjukkan bahwa jenis kuman penyebab terbanyak penyebab infeksi saluran kemih adalah jenis Escherichia coli yang mencapai 81,3% (25). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri yang paling sering mengakibatkan infeksi saluran kemih adalah Escherichia coli. Escherichia coli merupakan bakteri terbanyak menyebabkan infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin, yaitu dengan persentase 73,33 % . Pada pemeriksaan mikrokopis setelah dilakukan pewarnaan Gram Escherichia coli tampak berwarna merah karena merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang. Escherichia coli tidak membentuk spora, bakteri aerob dan fakultatif anaerob. Bakteri ini berukuan antara 0,5-3 mikron. Escherichia coli dapat berkembang biak dengan baik pada suhu 37oC pada lingkungan yang minim oksigen. Escherichia coli mati pada pendinginan yang sangat cepat, pemanasan dengan suhu 100oC selama 60 menit, pemberian desinfektan pada konsentrasi yang

rendah dan proses pasteurisasi. Escherichia coli memiliki sifat resisten terhadap cuaca dingin dan dapat memfermentasikan semua macam karbohidrat (11) Gambar 5.2. Escherichia coli (Sumber Wikipedia) .Escherichia coli memiliki kemampuan untuk melekat pada inangnya dengan menggunakan fimbrae yaitu yang hanya dimiliki oleh strain Escherichia coli. Escherichia coli merupakan bakteri flora normal apabila jumlah bakteri itu masih dalam keadaan normal dan berada di tempat yang tidak merugikan di tubuh kita misalnya di usus besar manusia. Escherichia Coli banyak digunakan dalam teknologi rekayasa genetika. Biasa digunakan sebagai vektor untuk menyisipkan gen-gen tertentu yang diinginkan untuk dikembangkan. Escherichia coli dipilih karena pertumbuhannya sangat cepat dan mudah dalam penanganannya Pseudomonas aeruginosa didapatkan dengan persentase 13,33 %. Pseudomonas aeruginosa pada pemeriksaan mikroskopis tampak merah dan bakteri bentuk batang sehingga bakteri ini termasuk gram negatif. Umumnya mempunyai flagel polar, tetapi kadang-kadang bisa memiliki 2-3 flagel. Bila tumbuh pada perbenihan tanpa sukrosa terdapat lapisan lendir polisakarida ekstraseluler. Struktur dinding sel sama dengan famili Enterobacteriaceae. Strain yang diisolasi dari bahan klinik sering mempunyai vili untuk perlekatan pada permukaan sel dan memegang peranan penting dalarn resistensi terhadap fagositosis (15). Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri patogen utama bagi manusia. Bakteri ini kadang-kadang mengkoloni pada manusia dan menimbulkan infeksi apabila fungsi pertahanan inang abnormal. Oleh karena itu, Pseudomonas aeruginosa disebut patogen oportunistik, yaitu memanfaatkan kerusakan pada mekanisme pertahanan inang untuk memulai suatu infeksi(15). Pseudomonas aeruginosa tumbuh baik pada suhu 42oC hal ini yang dapat membedakan bakteri ini dengan bakteri lain Bakteri ini dapat juga tinggal pada manusia yang normal dan berlaku

sebagai saprofit pada usus normal dan pada kulit manusia. Ada faktor sifat yang memungkin Pseudomonas aeruginosa mengatasi pertahanan tubuh inang yang normal dan menyebabkan suatu penyakit yaitu vili yang melekat dan merusak membrane basalis; polisakarida simpai yang meningkatkan perlekatan pada jaringan tetapi tidak menekan fagositosis; hemolisin yang memiliki aktifitas posfolipasa; kolagen, elastin dan flagel yang membantu pergerakan. Sehingga, infeksi Pseudomonas aeruginosa menjadi problema serius pada pasien rumah sakit, dan menjadi sangat infeksius apabila inang menderita kanker, fibrosis kistik dan luka bakar. Angka fatalitas pasien-pasien tersebut mencapai 50 %(15). Bakteri lain penyebab infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUD Ulin Banjarmasin adalah Staphylococcus aureus dengan persentase 6,33 %. Staphylococcus aureus terlihat berwarna keunguan dan terlihat bergerombol. Bakteri ini termasuk gram positif yang menghasilkan pigmen kuning, Pada uji katalase positif kemudian dilanjutkan dengan tes manitol. Staphylococcus aureus bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8-1,0 m. Staphylococcus aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan 0,47 jam. Staphylococcus aureus merupakan mikroflora normal manusia. Staphylococcus aureus juga menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengkonversi H2O2 menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang menyebabkan fibrin berkoagulasi dan menggumpal. Koagulase diasosiasikan dengan patogenitas karena penggumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini terakumulasi di sekitar bakteri sehingga agen pelindung inang kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat(21,24). Staphylococcus aureus merupakan flora normal manusia. Bakteri ini biasanya terdapat pada saluran pernafasan atas dan kulit. Keberadaan Staphylococcus aureus pada saluran

pernafasan atas dan kulit pada individu jarang menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan sebagai karier. Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karena adanya perubahan hormon, adanya penyakit, luka, atau perlakuan menggunakan steroid atau obat lain yang mempengaruhi imunitas sehingga terjadi pelemahan inang. Di Rumah Sakit penyebaran disebabkan karena kontak langsung dengan pembawa bakteri, hygiene Rumah sakit sangat berpengaruh terhadap penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus(24). Pasien yang membawa Staphylococcus aureus merupakan sumber utama infeksi di rumah sakit. Pasien yang telah terinfeksi oleh Staphylococcus aureus juga dapat menjadi sumber infeksi. Penyebaran bakteri dapat terjadi secara person to person melalui kontak, tubuh, misalnya dengan berjabat tangan. Tangan petugas kesehatan dapat terkontaminasi oleh Staphylococcus aureus setelah bersentuhan dengan pasien yang terinfeksi atau terkolonisasi. Kemudian faktorfaktor pejamu maupun bakteri dapat meningkatkan resiko terserang infeksi(21,24). Streptococcus sp yang memiliki persentase yaitu 6,33%. Streptococcus pada pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan Gram terlihat bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk pasangan. Pada pemeriksaan uji katalase didapatkan hasil negatif yaitu tidak ada gelembung pada media. Kebanyakan spesiesnya bersifat anaerob fakultatif dan hanya sebagian kecil yang bersifat aerob obligat. Pertumbuhan Streptococcus menjadi kurang subur pada perbenihan padat atau dalam kaldu, kecuali diperkaya dengan darah atau cairan jaringan. Kebutuhan akan makanan untuk masing-masing spesies Streptococcus bervariasi. Kuman yang patogen bagi manusia, paling banyak memerlukan faktor pertumbuhan (21). Streptococcus sp bertanggung jawab terhadap penyakit serta menjadi flora normal manusia. Diantara penyakit pneumonia, meningitis, amandel, endokarditis, infeksi saluran kemih

dan lainnya. Biasanya bakteri ini ditemukan di mulut dan permukaan kulit. Streptococcus sp di bedakan berdasarkan aktifitas hemolitik. Berdasarkan tipe hemolisisnya genus Streptococcus dibedakan menjadi , , (21) : 1. Kelompok hemolisis kebanyakan terdiri dari kumpulan viridans yaitu Streptococcus haemolyticus tanpa kapsul. Contohnya adalah Streptococcus anginosus dan Streptococcus viridans. 2. Kelompok hemolisis , merupakan golongan yang paling penting, karena sebagian besar patogen pada manusia termasuk dalam kelompok ini : ada juga spesies yang tidak patogen tetapi menunjukkan hemolisis . Contoh dari kelompok ini adalah : Streptococcus pyogenes, Streptococcus agalactiae, Streptococcus angonosus. Streptococcus pyogenes merupakan patogen penyebab infeksi yang paling sering pada manusia. 3. Kelompok hemolisis , tidak diduga patogen namun merupakan bakteri komensial.

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian identifikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin yang telah dilakukan, didapatkan bakteri yaitu Escherichia coli sebanyak 73,33 %, sedangkan terbanyak kedua adalah Pseudomonas aeruginosa sebanyak 13,33 % dan bakteri lainnya seperti Staphylococcus aureus 6,67 %, Streptococcus sp 6,67 %. B. Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut penelitian mengenai identifikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin agar

dapat mengetahui pola bakteri dan sensitifitasnya sehingga bermanfaat untuk membantu pemeriksaan klinis menentukan terapi yang lebih spesifik dan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : FKUI, 2007 2. Lumbanbatu. MS. Bakteriuria asimptomatik pada anak Sekolah Dasar Usia 9 12 Tahun. Medan : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU, 2003

3. Saepudin, Sulistiawan RY, Hanifah S. Perbandingan penggunaan antibiotika pada pengobatan pasien infeksi saluran kemih yang menjalani rawat inap di salah satu RSUD di Yogyakarta tahun 2004 dan 2006. Yogyakarta : Fakultas MIPA Jurusan Farmasi UII, 2006 4. Samirah, Darwati, Windarwati, et al. Pola dan sensitivitas kuman di penderita infeksi saluran kemih. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory 2006;12(3):110-113 5. Widayati A, Wirawan E, Kusharwanti W. Kesesuaian pemilihan antibiotika dengan hasil kultur dan uji sensitivitas serta efektivitasnya berdasarkan parameter angka lekosit urin pada pasien infeksi saluran kemih rawat inap di rumah sakit panti rapih yogyakarta (juli desember 2004). Yogyakarta : Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, 2004 6. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, et al. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta :EGC, 2007. 7. Rahn DD. Urynari tract infection: Contemporary management. Urologic Nursing 2008 ; 28 : 333 341 8. Cohen LA, Rivara P, Davis R, et al. Compliance with guidelines for the medical care of first urinary tract infections in infants: a population-based study. Pediatrics 2005 ; 115 : 1474 1478 9. Anonymous. Ilmu penyakit dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,1990 10. Anonymos. Kapita selekta kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius FKUI,2001 11. Dwidjiseputro D. Dasar dasar mikrobiologi. Jakarta : Djambatan, 1998 12. Halim M. Enterococcus durans infection in chicks. Animal health research institute, assiut provincial laboratory. Ass. Univ. Bull. Environ 2008 ; 11(2) : 25-33

13. Blanch AR, Manero A.Identification of Enterococcous spp. with a biochemical key. Applied and environmental microbiology 2000 ; 65 : 44254430 14. Brooks GF, Butel JS, Morse SA, et al. Medical microbiology Edisi 20, Jakarta : EGC,2001 15. Boel T. Infeksi saluran kemih dan kelamin. Sumatra Utara : Fakultas Kedokteran Gigi USU, 2004 16. Burall LS, Harro JM, Xin Li, et al. Proteus mirabilis genes that contribute to pathogenesis of urinary tract infection: identification of 25 signature-tagged mutants attenuated at least 100-fold. Infection And Immunity 2004 ; 29222938 17. Kolawole AS, Kandaki YT, Babatunde, et al. Prevalence of urinary tract infections (UTI) among patients attending Dalhatu Araf Specialist Hospital, Lafia, Nasarawa state, Nigeria. International Journal of Medicine and Medical Sciences 2009; 1(5) : 163-167 18. Price SA, Wilsom LM. Patofisiologi: konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta : EGC, 2005 19. Israr YA. Infeksi saluran kemih. Riau : Fakultas Kedokteran Riau,2009 20. Kassama Y, Rooney P J, Goodacre R. Fluorescent amplified fragment length polymorphism probabilistic database for identification of bacterial isolates from urinary tract infections. Journal Of Clinical Microbiology Doi 2002 ; 10 : 27952800 21. Karsinah . Buku ajar mikrobiologi kedokteran . Jakarta : EGC, 1994. 22. Hartlan T, Lestari E. Influence of demography factor toward Staphylococcus aureuss colonization and antimicrobial resistance Among elementary school students Research on three elementary schools in semarang city. Semarang : Universitas Kedokteran Diponegoro, 2010 23. Widinartasari F. Influence of demographic factor toward staphylococcus aureus infection and Antimicrobial resistance patients of dr kariadi hospital semarang 2008- 2009. Semarang : Universitas Kedokteran Diponegoro, 2010 24. Jawetz EJL, Melnick EAA. Medical microbiology 23rd edition. New York : Mc Graw Hill Companies, 2004. 25. Natali S. The Influence of toilet training to the incidence of recurrent UTI in 1 5 years old girls. Semarang : Pendidikan Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Universitas Dipenogero. 2006
http://hendybuana.blogspot.com/2011/03/infeksi-saluran-kemih.html jam 07.30-13 juli 2011

PERBEDAAN RERATA SEL PODOSIT URIN PADA WANITA HAMIL NORMAL DAN PREEKLAMPSIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang berkomplikasi sekitar 5% dari seluruh kehamilan dan merupakan penyakit glomerulus yang paling umum di dunia, dimana penyebab awalnya masih tidak diketahui, namun perkembangan terbaru menjelaskan mekanisme molekuler melatarbelakangi manifestasinya terutama perkembangan abnormal, hipoksia plasenta, disfungsi endotel. Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Pada ibu dapat berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver enzymes, dan thrombocytopenia (HELLP Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati, stroke, penyakit jantung hipertensi, dan kematian sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan persalinan preterm, hipoksia neurogenik, kecil masa kehamilan (KMK), dan kematian (Baumwell S., 2007). Menurut Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP), diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya peningkatan tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dipstick 1+ (Angsar MD., 2003; Creasy RK. et al., 2004; Cunningham FG., 2005; AJOG Vol 183, 5. July 2000 cit Roeshadi RH., 2006). Berdasarkan beberapa penelitian terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa hubungan antara derajat proteinuria dan luaran kehamilan masih mengalami pertentangan. Selain itu, literatur terbaru menyimpulkan kurangnya akurasi proteinuria dengan pemeriksaan dipstick pada kehamilan. Para peneliti lain mengusulkan proteinuria selektif dan non-selektif untuk membedakan preeklampsia dengan penyakit proteinuria lain, namun hasilnya masih mengecewakan (Karumanchi SA., 2007). Stillman et al., (2007) Hipertensi dan proteinuria dihubungkan dengan suatu lesi glomerulus yang khas, endotheliosis. Glomerular endotheliosis merupakan varian spesifik dari thrombotic microangiopathy yang ditandai dengan pembengkakkan endotel glomerulus, hilangnya fenestrae, dan terjadinya oklusi pada lumen kapiler. Garovic et al., (2007) memperkenalkan sel podosit urin yang merupakan ekskresi dari epitel sel visceral glomerulus wanita hamil dengan preeklampsia. Ditemukan bahwa identifikasi sel podosit urin dapat membedakan preeklampsia dari gangguan hipertensi proteinuria yang lain (Karumanchi SA., 2007, Vesna D., 2007, Anonimous, 2007). Ekskresi sel diidentifikasi dan dikuantifikasi berdasarkan ekspresi 4 podocyte-specific protein (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin) Protein-protein ini seluruhnya ada dalam sel yang dieksresikan dalam urin wanita preeklampsia dengan proteinuria, namun tidak diekskresikan dari urin wanita hamil dengan tensi normal non proteinuria. Kuantifikasi sel podosit urin banyak diteliti, karena dari hasil penelitian terdahulu, biopsi dengan menggunakan berbagai kriteria tertentu, diagnosa preeklampsia

masih mengalami kekeliruan lebih dari 15% nulipara dan 50% multipara. Garovic et al., (2007) juga mengemukakan bahwa lepasnya podocytes-glomerular epthelial cells dalam urine berkontribusi terhadap proteinuria preeklampsia (Karumanchi SA., 2007). Pemeriksaan prediktif dan diagnostik preeklampsia yang ada sekarang ini banyak bersifat invasif, ditambah masih adanya false positive rate proteinuria yang sangat tinggi 12,5% - 93%, oleh karena itu perlu dikembangkan suatu metode non invasif pemeriksaan penunjang diagnostik, dan prediktif preeklampsia yang lebih akurat dengan kuantifikasi sel podosit urin menggunakan immunofluoresence microscope. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Apakah rerata sel podosit urin berbeda pada wanita hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan rerata sel podosit urin pada wanita hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui rerata sel podosit urin pada kehamilan normal. b. Untuk mengetahui rerata sel podosit urin pada preeklampsia ringan. c. Untuk mengetahui rerata sel podosit urin pada preeklampsia berat. d. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan rerata sel podosit urin pada kehamilan normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat. e. Untuk mengetahui cutoff point rerata sel podosit urin pada kehamilan normal dan preeklampsia. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat bagi Pengetahuan Untuk memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan tentang peranan sel podosit urin dalam memprediksi preeklampsia. 1.4.2. Manfaat bagi Pelayanan Diharapkan dapat digunakan sebagai acuan prediktor preeklampsia yang bersifat non invasif, efektif, efisien, akurat dalam upaya diagnostik maupun prediktif preeklampsia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kehamilan Normal Kehamilan normal berhubungan dengan peningkatan cardiac output dan pengurangan resistensi vaskuler sistemik. Ini biasanya ditandai dengan peningkatan aliran darah uterus yang tidak disertai dengan sejumlah perubahan. Resistensi vaskuler aliran darah regional lebih rendah pada jaringan ekstrauterin. Tekanan darah sistemik pada kehamilan normal juga biasanya lebih rendah daripada sebelum atau setelah melahirkan. Semua perubahan cenderung berkurang pada trimester akhir persalinan (Epstein FH. et al., 2005).

Laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal meningkat kira-kira 35-50% selama kehamilan normal. Kreatinin klirens rata-rata meningkat segera setelah hari pertama haid terakhir, secara signifikan meningkat pada kehamilan minggu ke-4. Renal hiperemia berkurang mulai kira-kira minggu ke-4. Laju filtrasi glomerulus meningkat selama kehamilan, serum kreatinin dan ureum darah menurun (Epstein FH. et al., 2005). Klirens urat meningkat dan serum asam urat berkurang. Ekskresi protein urin meningkat, juga dapat terjadi mikroalbuminuria ringan. Wanita dengan glomerulonefritis kronik inaktif, sebelum kehamilan ekskresi protein <1 gr/hari. Ekskresi 2-6 gram protein dalam urin selama kehamilan normal disebabkan oleh hiperemia glomerulus tanpa tanda-tanda lain dari nefritis eksaserbasi. Pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi ukuran ginjal meningkat selama kehamilan, panjang ginjal meningkat kira-kira 1 cm (Epstein FH. et al., 2005). 2.2. Preeklampsia Preeklampsia paling sering dihubungkan dengan komplikasi ginjal pada kehamilan, ditandai dengan hipertensi dan proteinuria, terdeteksi selama trimester akhir kehamilan, dan biasanya menghilang setelah plasenta lahir. Umumnya dihubungkan dengan edema dan hiperurisemia. Plasenta preeklampsia sering abnormal dengan bukti adanya hipoperfusi dan iskemia. Disfungsi endotel vaskuler dan mikroangiopati pada ibu, tidak pada janin. Target organ predominan seperti otak (kejang atau eklampsia), hati (HELLP syndrome), ginjal (glomerular endotheliosis dan proteinuria). Preeklampsia diawali dengan gangguan perkembangan plasenta yang berakibat pada sel endotel, merupakan penyakit glomerulus yang paling umum di dunia (Epstein FH. et al., 2005). 2.2.1. Definisi Preeklampsia merupakan kondisi medis, dimana hipertensi timbul pada kehamilan (pregnancy induced hypertension) yang dihubungkan dengan proteinuria. Diagnosis ditegakkan dengan adanya peningkatan tekanan darah 140/90 mmHg disertai proteinuria (Creasy RK. et al., 2004). Menurut Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP), 2000 apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dipstick 1+ (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; AJOG Vol 183, 5. July 2000 cit Roeshadi RH., 2006).

2.2.2. Epidemiologi Penelitian epidemiologi mengidentifikasi mutasi genetik, faktor paternal, dan faktor maternal yang mengakibatkan peningkatan risiko preeklampsia. Patofisiologi preeklampsia yang relevan merupakan maternal systemic comorbidities yang meningkatkan risiko preeklampsia termasuk diabetes mellitus, hipertensi, dan hiperlipidemia dihubungkan dengan inflamasi kronik dan disfungsi endotel. Peningkatan body mass index (BMI) sebelum kehamilan mengakibatkan peningkatan risiko preeklampsia (Baumwell S., 2007). Telah diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang obstetri adalah: perdarahan 45%, infeksi 15%, hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia) 13%. Sisanya partus macet, abortus yang tidak aman, dan penyebab tidak langsung lainnya (SKRT, 1995 cit Roeshadi RH., 2006). Tabel 2.1. Angka Kejadian Preeklampsia dan Eklampsia Beberapa Rumah Sakit di Indonesia (Girsang E., 2004 cit Roeshadi RH., 2006) Tahun Rumah Sakit Persent(%) Penulis 1993-1997 1996-1997 1995-1998 2000-2002 2002 RSPM 12 Rumah Sakit RSHS RSHAM-RSPM RSCM 5,75 0,8-14 13,0 7,0 9,17 Simajuntak J Tribawono A. Maizia Girsang E Priyatini Penyebab kematian ibu oleh perdarahan dan infeksi telah dapat diturunkan akibat kemajuan dalam bidang anestesi, teknik operasi, pemberian cairan infus dan transfusi, dan peranan antibiotika yang semakin meningkat. Sebaliknya pada penderita preeklampsia, karena ketidaktahuan dan sering terlambat mencari pertolongan setelah gejala klinik berkembang menjadi preeklampsia berat dengan segala komplikasinya, angka kematian ibu bersalin belum dapat diturunkan. Menurut laporan beberapa rumah sakit di Indonesia (tabel 2.1.) angka ini telah menggeser perdarahan dan infeksi sebagai penyebab utama kematian maternal (Sofoewan S., 2003 cit Roeshadi RH., 2006). Komplikasi hipertensi pada kehamilan menempati urutan pertama morbiditas dan mortalitas maternal diikuti perdarahan dan infeksi. Pada tahun 2001, menurut The National Center for Health Statistic,

hipertensi gestasional diidentifikasi pada 150.000 wanita hamil atau 3,7% pada kehamilan. Berg and colleaguess., (2003) melaporkan 16% dari 3201 kehamilan menyebabkan kematian dari tahun 19911997 di Amerika Serikat (Cunningham FG., 2005). Angka kejadian preeklampsia dan eklampsia adalah 6-8% di antara seluruh wanita hamil, 3-7% pada nullipara, 0,8-5% pada multipara. Peneliti lain Norwitz ER. et al., (1990) menemukan nullipara dengan preeklampsia dan eklampsia 75-80%, Adi Putra., (2005) 44%, dan Sukatendal K., (2004) 39%. 2.2.3. Klasifikasi Klasifikasi gangguan hipertensi pada kehamilan menurut Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP), 2000 menunjukkan terdapat 5 tipe penyakit hipertensi (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; AJOG Vol 183, 5. July 2000 cit Roeshadi RH., 2006): 1. Hipertensi Gestasional. Dahulu disebut pregnancy-induced hypertension termasuk transient hypertension Pada kehamilan di jumpai tekanan darah 140/90 mmHg, tanpa disertai proteinuria dan biasanya tekanan darah akan kembali normal sebelum 12 minggu pasca persalinan. 2. Preeklampsia. Apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick 1+. 3. Eklampsia. Ditemukan kejang-kejang pada penderita preeklampsia, dapat disertai koma. 4. Hipertensi Kronik dengan Superimposed Preeklampsia. Pada wanita hamil dengan hipertensi, muncul proteinuria 300 mg/24 jam setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai gejala dan tanda preeklampsia lainnya. 5. Hipertensi Kronik. Dari sebelum hamil, atau sebelum kehamilan 20 minggu, ditemukan tekanan darah 140/90 mmHg dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. 2.2.4. Diagnosa Kriteria terbaru preeklampsia berupa onset hipertensi dan proteinuria setelah kehamilan 20 minggu (Baumwell S., 2007). Hipertensi di diagnosa ketika tekanan darah saat istirahat 140/90 mmHg atau lebih (Cunningham FG., 2005). Diagnosis kehamilan dengan gangguan hipertensi sesuai klasifikasi gangguan hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP), 2000 (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; AJOG Vol 183, 5. July 2000 cit Roeshadi RH., 2006). 2.2.5. Kausa Penyebab preeklampsia tidak sepenuhnya diketahui. Sampai sekarang penyebab preeklampsia dan eklampsia masih tanda tanya, penyakit ini masih disebut disease of theory (August P., 2000; Abboud O., 2000; Cunningham FG., 2005; Chesley, 1978 cit Roeshadi RH., 2006) 2.2.6. Faktor Risiko Beberapa faktor risiko pada penyakit ini antara lain adalah (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; Emery SP., 2005; Robillard PY., 1994 cit Roeshadi RH., 2006; Baumwell S., 2007). : Nullipara, terutama usia 20 tahun, dan kehamilan yang langsung terjadi setelah perkawinan. Riwayat pernah menderita preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan terdahulu. Riwayat penderita preeklampsia dan eklampsia dalam keluarga.

Kehamilan ganda. Diabetes mellitus. Hydrops foetalis. Mola hidatidosa. Anti phospolipid antibody (Gangguan jaringan konektif vaskuler). Infeksi saluran kemih. Riwayat penderita hipertensi dan penyakit ginjal, nefropati. Multipara dengan umur lebih dari 35 tahun. Etnis Afrika Amerika. Obesitas. 2.2.7. Patologi Pada preeklampsia dan eklampsia, terjadi perubahan sistemik dan organ akibat vasospasme dan iskemia plasenta (Angsar MD., 2003). 2.2.8. Patofisiologi Preeklampsia Preeklampsia berkomplikasi 5-7% dari seluruh kehamilan. Proteinuria dan hipertensi mendominasi gambaran klinik, sebab organ targetnya adalah ginjal (glomerular endotheliosis). Patogenesis preeklampsia adalah kompleks seperti adanya sejumlah kelainan genetik, imunologi, dan interaksi faktor-faktor lingkungan (Hladunewich M. et al., 2007). Pada saat ini ada 4 hipotesa patogenesis dari preeklampsia, sebagai berikut (Dekker GA., Sibai BM., 1998 cit Roeshadi RH., 2006). : 1. Iskemia Plasenta. Peningkatan deportasi sel tropoblast yang menyebabkan kegagalan invasi ke arteri spiralis dan akan mengakibatkan iskemia pada plasenta. 2. Mal Adaptasi Imun. Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel tropoblast pada arteri spiralis, dan terjadinya disfungsi endotel di picu oleh pembentukkan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas. 3. Genetik Inpreting. Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin tergantung pada genotip janin. 4. Perbandingan VLDL (Very Low Density Lipoprotein) dan TxPA (Toxicity Preventing Activity). Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak kedalam hepar akan menurunkan aktifitas antitoksin albumin sampai pada titik dimana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul. Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia (Dekker GA., Sibai BM., 1998 cit Roeshadi RH., 2006). Tahap pertama terjadinya hipoksia plasenta oleh karena berkurangnya aliran darah dalam arteri

spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal dan trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruang intervilus di plasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta (Abboud O., 2000; Jaffe et al., 1995 cit Roeshadi RH., 2006). Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksik seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidative stress yaitu suatu keadaan, dimana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibanding antioksidan (Robert JM., 2004 cit Roeshadi RH., 2006). Oxidative stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang disebut sebagai disfungsi endotel, dimana dapat terjadi kerusakan pada seluruh permukaan endotel pembuluh darah dan organ-organ penderita preeklampsia (Roeshadi RH., 2006). Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh penderita preeklampsia, jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi endotel dan kegagalan organ seperti pada (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; Roeshadi RH., 2006). : Ginjal : hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal. Pembuluh darah sistemik menyempit : hipertensi. Perubahan permiabilitas pembuluh darah : edema paru, dan edema menyeluruh. Darah : trombositopenia, dan koagulopati. Hepar : perdarahan dan gangguan fungsi hati. Susunan saraf pusat dan mata : kejang, kebutaan, ablasi retina, dan perdarahan. Plasenta : ganguan pertumbuhan, hipoksia janin, dan solusio plasenta. Preeklampsia terdiri atas dua stadium penyakit : 1. Stage I Plasentasi abnormal. asimptomatik, yang ditandai dengan perkembangan abnormal plasenta selama trimester pertama yang mengakibatkan terjadinya insufisiensi plasenta dan terlepasnya sejumlah besar material plasenta ke dalam sirkulasi maternal (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007). Penanganan definitif preeklampsia adalah dengan melahirkan plasenta. Pada wanita yang sebelumnya memiliki pengalaman hamil dengan plasenta tanpa fetus seringkali berkembang menjadi preeklampsia berat, hal ini merupakan alasan yang mengasumsikan bahwa plasenta berperanan sentral dalam patogenesis penyakit ini. Pemeriksaan patologi plasenta pada preeklampsia umumnya menampakkan infark plasenta dan sklerosis dengan gejala karakteristik yaitu berkurangnya invasi endovaskuler sitotropoblast dan terjadi perubahan inadekuat dari arteri spiralis (Hladunewich M et al., 2007; Stillman IE et al., 2007).

Walaupun perubahan patologi tidak selalu terlihat pada plasenta wanita dengan preeklampsia, profil plasenta yaitu keabnormalan doppler arteri uterina dan morfologi plasenta digunakan untuk

mengidentifikasi wanita risiko tinggi yang berkembang menjadi sindrom ini. Penelitian doppler arteri uterina dalam menilai pulsatile index (PI) menunjukkan peningkatan resistensi vaskuler baik sebelum tanda dan gejala muncul, selain itu kontraksi mekanik arteri uterina mengakibatkan hipertensi, proteinuria, dan glomerular endotheliosis yang mendukung peranan iskemia plasenta dalam patogenesis preeklampsia (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007). 2. Stage II simptomatik, dimana wanita hamil dengan hipertensi, gangguan ginjal, dan proteinuria berisiko untuk terjadinya hemolysis, elevated liver enzymes, dan thrombocytopenia (HELLP syndrome), eklampsia, dan kerusakan organ (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).

Plasentasi mamalia memerlukan angiogenesis luas untuk membentuk jaringan yang sesuai untuk suplay oksigen dan nutrient pada fetus. Faktor antiangiogenik merupakan suatu yang rumit dalam perkembangan plasenta. Hal ini diyakini sebagai angiogenesis plasenta buruk pada preeklampsia, sebagai bukti kegagalan dari sitotropoblast untuk berubah dari beberapa epitel ke fenotip endotel, berdasarkan studi marker permukaan sel. (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007). Normalnya, invasi sitotropoblast mengatur penurunan ekspresi dan adhesi molekul yang karakteristik pada epitel sel asli dan adopsi fenotip. adhesi permukaan sel merupakan ciri sel endotel, suatu proses yang menunjukkan pseudovaskulogenesis. (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007). Pada preeklampsia, sel sitotropoblast gagal melalui perubahan permukaan sel integrin dan molekul adhesi. Diferensiasi keabnormalan sitotropoblast ini merupakan defek awal yang akhirnya menimbulkan iskemia plasenta. Apakah kekurangan konversi dari sitotropoblast ke fenotip endotel pada wanita preeklampsia merupakan peristiwa primer atau sekunder belum jelas (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).

Plasentasi abnormal akibat kegagalan remodeling trophoblast arteri spiralis berperan pada pelepasan faktor sekresi yang masuk ke sirkulasi ibu, dan mencapai puncaknya pada tanda dan gejala preeklampsia. (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007). Semua manifestasi klinik preeklampsia dapat berhubungan dengan gromerular endotheliosis, peningkatan permiabilitas vaskuler, dan respon inflamasi sistemik yang berakibat pada kerusakan organ akhir dan atau hipoperfusi. Manifestasi klinik ini khas terjadi setelah 20 minggu kehamilan (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007). 2.2.9. Manifestasi Klinik A. Hipertensi Berbagai mekanisme berkontribusi terjadinya hipertensi pada preeklampsia, sympathetic tone dan sistem renin angiotensin mengubah produksi mediator vasoaktif endotel. Ibu dengan preeklampsia

memiliki peningkatan sympathetic tone yang meningkatkan respon terhadap norepinefrin, dan lebih sensitif terhadap angiotensin II. (Baumwell S., 2007). Kesensitifan ini dimediasi oleh AT1-B2 heterodimerization (angiotensin II receptor type 1 dan bradikinin B2 receptor) atau oleh autoantibody AT1 receptor (AT1-AA), yang memfasilitasi interaksi antara angiotensin II dan AT1 receptor. Angiotensin II berperanan multiple terhadap patologi dari preeklampsia, termasuk berkontribusi terhadap hipertensi, meningkatkan oxidative stress melalui produksi superoksida anions, dan aktivasi platelet (Baumwell S., 2007).

Gambar 6. Mekanisme Hipertensi pada Kehamilan Disfungsi endotel pada preeklampsia akan melepaskan sejumlah mediator vasoaktif seperti prostaglandin I2 (PGI2, atau prostacyclin), dan vasodilator endotel akan menurun pada preeklampsia (Baumwell S., 2007). Peningkatan resistensi vaskuler periper dibanding peningkatan cardiac output merupakan penyebab utama hipertensi. Hipertensi pada preeklampsia merupakan efek dari penekanan dan bukan aktivasi dari sistem renin angiotensin aldosteron. Ini menunjukkan bahwa terjadinya vasokonstriksi, pada awalnya adalah peningkatan resistensi vaskuler periper yang mengakibatkan retensi garam, air, dan mengakibatkan peningkatan volume sirkulasi darah dengan menekan renin dan aldosteron. Walaupun total volume plasma sedikit menurun, namun hipertensi preeklampsia akan diperburuk oleh adanya pelepasan garam dan sebagian akan membaik dengan pemberian diuretik dan pengurangan garam (Epstein FH. et al., 2005). Vasokonstriksi pada preeklampsia terjadi akibat alterasi beberapa molekul vasoaktif termasuk vasokonstriktor; norepineprin, endothelin, dan tromboxan dan vasodilator prostacyclin dan mungkin nitric oxida. Substansi vasoaktif yang timbul untuk memediasi hipertensi pada preeklampsia, dimana disintesis secara menyeluruh oleh endotel vaskuler, hal ini mendukung hipotesa bahwa disfungsi endotel berperan dalam hipertensi preeklampsia (Epstein FH. et al., 2005). Penyesuaian pada kehamilan normal termasuk penurunan tekanan darah sistole dan diastole sebagai akibat penurunan resistensi vaskular sistemik primer-sekunder untuk vasodilatasi. Relaxin, yang terlepas dari kedua ovarium ada dibawah pengaruh HCG, NO (nitric oxida), enzim yang menghasilkan NO dari arginin, melalui reseptor endothelin B endotel (Hladunewich M. et al., 2007). Pada preeklampsia, adanya kekacauan faktor vasoaktif derivat endotel predominan akibat substansi yang merupakan vasokonstriktor (endothelin, tromboxan A2) yang melebihi vasodilator (NO, prostacyclin). (Hladunewich M. et al., 2007). Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah 140/90 mmHg, akibat dari vasokonstriksi abnormal. Pada manusia bukti yang mendukung defisiensi NO dalam patogenesis hipertensi preeklampsia masih kontroversi. Sistem renin angiotensin dipahami sebagai patofisiologi hipertensi pada preeklampsia (Hladunewich M. et al., 2007). B. Penurunan GFR Glomerular Filtration Rate (GFR) dan Renal Plasma Flow (RPF) meningkat 40-60% pada kehamilan normal selama trimester pertama yang mengakibatkan berkurangnya urea nitrogen dan kreatinin. Pada preeklampsia, GFR dan RPF berkurang 30-40% dibandingkan kehamilan normal yang mengakibatkan

BUN dan kreatinin menyerupai wanita tidak hamil. Biopsi ginjal pada kondisi nefrotik, dimana podocyte foot-processes normalnya menghilang, dan relatif ada pada preeeklampsia. (August P., 2000; Epstein FH. et al., 2005; Baumwell S., 2007; Krane NK., Hamrahian M., 2007).

Renal glomerular filtration apparatus terdiri atas 3 komponen berbeda yaitu : endotel fenestra, GBM (glomerular basement membran), dan epitel sel podosit urin (Gambar 11.) (Kalluri R., 2006). Pada preeklampsia dan eklampsia, akibat hipovolemia, maka aliran darah ke ginjal juga menurun. Dampak aliran darah ke ginjal yang menurun ini ialah : 1. Produksi urin juga menurun, dan dapat terjadi oliguri, sampai anuri. Makin sedikit produksi urin, makin sedikit aliran darah ke ginjal, makin berat hipovolemia, berarti makin berat penyakitnya. Perfusi ginjal dan filtrasi glomeruli menurun, memberi dampak : kadar asam urat plasma meningkat, kreatinin plasma meningkat 2x dari kadar kreatinin hamil normal (0,5 mg/cc) dapat terjadi pula kadar kreatinin plasma meningkat cukup tinggi 2-3 mg/cc. 2. Ginjal mengalami hipoksia dan iskemia. Terjadi kerusakan instrinsik jaringan yang disebabkan vasospasme pembuluh darah intrarenal. Kadar natrium urin meningkat. Bukti adanya kerusakan intrinsik ginjal. Kadar kalsium urin menurun akibat meningkatnya reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hipokalsiuria). Setelah selesai persalinan, fungsi ginjal akan kembali normal, kecuali ada penyakit : renovaskuler kronik, renal kortikal nekrosis (Angsar MD., 2003). Pada kehamilan normal, GFR dan aliran plasma ginjal selama awal dan tengah kehamilan meningkat, pada preeklampsia GFR dan aliran darah ginjal berkurang. Proteinuria pada preeklampsia adalah nonselektif. Fraksi filtrasi (GFR : aliran darah ginjal) lebih rendah pada preeklampsia di banding normal selama trimester akhir kehamilan. Proteinuria biasanya menghilang setelah 7-10 hari, walaupun pada beberapa wanita dapat menetap 3-6 bulan (Epstein FH. et al., 2005). C. Glomerular Endotheliosis. Glomerular Capillary Endotheliosis merupakan lesi klasik ginjal yang ada pada preeklampsia. Lesi ini ada pada hipertensi gestasional atau kehamilan normal dalam derajat lebih ringan. Di bawah mikroskop cahaya glomerulus tampak secara relatif melebar. Lapisan sel endotel kapiler membengkak dan hipertropi, menyisakan sedikit celah untuk eritrosit dan tampak glomerulus bloodless. Sel mesangial juga membengkak, dengan mesangial interposisi pada kasus berat (Baumwell S., 2007). Dengan mikroskop elektron tampak subendotel fibroid dan deposit granuler, serupa dengan kehilangan fenestra endotel. Hilangnya fenestra signifikan mengurangi GFR. Fenestra sel endotel berkurang 70% menyebabkan peningkatan resistensi sel endotel yang menyebabkan pengurangan GFR. Ditambah dengan deposit subendotel dari fibrin atau fibrinogen menyebabkan jalan ekstrasel lebih panjang untuk proses filtrasi, yang juga akan mengurangi GFR (Baumwell S., 2007). Wanita hamil normal menunjukkan hiperfiltrasi glomerulus, meningkat di atas normal, nongravida sampai mencapai level 40-60%. Hiperfiltrasi ini secara primer mengakibatkan penekanan pada tekanan

onkotik plasma dalam kapiler glomerulus. Pengurangan tekanan onkotik plasma diakibatkan oleh dua fenomena. Pertama adanya hypervolemia-induced hemodilution yang menurunkan konsentrasi protein plasma yang masuk ke mikrosirkulasi glomerulus. Kedua adanya peningkatan angka Renal Plasma Flow (RPF). Hiperperfusi glomerulus luas yang mana tekanan onkotik dapat meningkat sepanjang kapiler glomerulus selama filtrasi. Pada preeklampsia, variasi derajat insufisiensi ginjal dihubungkan dengan lesi glomerulus khas, glomerular endotheliosis (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007). Dengan pemeriksaan electrone microscope, didapatkan perubahan pada ginjal berupa sel-sel endotel glomeruli membengkak, dibawahnya terdapat deposit fibrin, yang disangka penebalan membran basal. Keadaan ini disebut sebagai glomerular capillary endotheliosis. Pembengkakan sel endotel dapat menutup total atau sebagian lumen kapiler, didapatkan deposit fibrinogen dibawah sel endotel, yang akan menghilang setelah 1 minggu persalinan. Gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus. Gejala-gejala oligouri atau anuria, azotemia (kenaikan kreatinin 1 mg/cc perhari) hal ini dapat disebabkan oleh syok hipovolemik atau perdarahan. Meskipun jarang terjadi sebagian besar dari kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka akan terjadi renal cortical necrosis yang bersifat irreversible (Angsar MD., 2003). Preeklampsia dihubungkan dengan penampakan glomerulus yang unik dan spesifik disebut sebagai glomerular endotheliosis. Pada mikroskop cahaya lumen kapiler glomerulus tampak sempit, membesar dan bloodless (Gambar 8.). Endotheliosis preeklampsia biasanya tidak disertai dengan penonjolan kapiler thrombus, pada immunoflourescence microscope tampak deposit fibrin terutama mikroangiopati trombosis sistemik menonjol (Epstein FH. et al., 2005; Stillman IE. et al., 2007). Glomerular endotheliosis sedang terdapat lebih dari 30% pada pasien dengan pregnancy-induced hypertension tanpa proteinuria. Perubahan glomerulus menghilang dalam 8 minggu persalinan. Pada preeklampsia lebih dari 50% kasus glomerular endotheliosis focal menyertai glomerular endotheliosis general (Epstein FH. et al., 2005; Stillman IE. et al., 2007).

D. Proteinuria Salah satu fungsi utama ginjal adalah filtrasi berat molekul plasma rendah. Unit filtrasi ginjal disebut sebagai glomerulus yang mengandung kapiler-kapiler berada dalam capsula bowman dan setiap hari menyaring kurang lebih 180 liter urin primer tanpa makromolekul. Dinding kapiler glomerulus ditandai dengan permiabilitas tinggi terhadap air, cairan dan ion-ion (Ronco P., 2007). Komponen essensial dinding kapiler glomerulus; endotel fenestra, membran glomerulus basal, dan sel podosit urin (Gambar 9) (Ronco P., 2007). Adanya proteinuria merupakan syarat mendiagnosis preeklampsia. Proteinuria timbul pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria. Seharusnya dilakukan pengukuran proteinuria dalam 24 jam, dipstick 1+ sama dengan kadar 300 mg/24 jam. Albuminuria istilah yang tidak tepat, karena dalam proteinuria yang dikeluarkan bukan hanya albumin, tetapi jenis-jenis protein lain, juga protein molekul besar : hemoglobin, globulin, transferin (Angsar MD., 2003).

Pada kehamilan normal protein dengan molekul besar tidak difiltrasi oleh ginjal. Pada hamil normal didapatkan proteinuria 0,3 g/24 jam yang masih dianggap fisiologik. Bila kadar proteinuria lebih dari 0,3 g/liter dalam urin 24 jam, maka dianggap proteinuria patologik. Proteinuria pada preeklampsia merupakan proses yang reversible, dan akan kembali normal setelah 1 minggu (7-10 hari), bahkan pada kasus yang persisten akan menghilang perlahan-lahan dalam 3-6 bulan pasca persalinan (Angsar MD., 2003; Epstein FH. et al., 2005). Pada tahun 1843, John Lever dari Guys Hospital di London menemukan adanya albumin pada urin wanita hamil dengan kejang puerperalis. Preeklampsia dibedakan dengan hipertensi gestational dengan adanya proteinuria. Jumlah protein yang dieksresikan didefinisikan 300 mg dalam 24 jam urin tampung atau 1+ atau lebih pada test dipstick pada dua urin random yang dikumpulkan dalam 4 jam. Mekanisme proteinuria pada preeklampsia tidak jelas. (Hladunewich M. et al., 2007). E. Koagulopati dan HELLP Syndrome Pada preeklampsia, endotel injury menjadi manifestasi dari koagulopati derajat rendah dengan peningkatan fibronektin, agregasi platelet, pemendekan kemampuan hidup platelet, dan penekanan derajat antitrombin III. HELLP syndrome berkembang lebih dari 10% kehamilan dengan preeklampsia berat, bukti keberadaannya memberi kesan bahwa fenomena hipertensi berat pada kehamilan ini tidaklah sederhana. Konsentrasi plasma sel fibronektin menetap lebih tinggi selama kehamilan pada ibu yang berkembang menjadi preeklampsia (Hladunewich M. et al., 2007). F. Eklampsia Kejang dengan gejala neurologik lain termasuk sakit kepala, gangguan penglihatan, berkomplikasi kirakira 5 per 10.000 kelahiran hidup, dengan berkurangnya insiden akibat perbaikan prenatal care dengan mempercepat persalinan dan juga penggunaan magnesium sulfat. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap terjadinya kejang tidak jelas, tetapi secara teori diungkapkan termasuk vasospasme cerebral, edema, dan kemungkinan hipertensi berat dapat mengganggu autoregulasi dan mengacaukan bloodbarrier-brain. (Hladunewich M. et al., 2007). Edema cerebri pada eklampsia predominan melibatkan area posterior, lobus parieto-occipital dan akan menyerupai gambaran reversible posterior leukoencephalopathy syndrome. Ini didapatkan pada pemeriksaan magnetic resonance image (MRI) yang menunjukkan hubungan antara marker disfungsi endotel termasuk lactic dehidrogenase (LDH), red blood cell (RBC), dan kreatinin pada hipertensi (Hladunewich M. et al., 2007). G. Disfungsi Endotel Terdapat bukti adanya disfungsi endotel pada preeklampsia. Jalur multiple interconnected yang melibatkan oxidative stress, pelepasan sitokin, dan respon inflamasi intravaskuler menyeluruh, dan mencapai puncak peningkatan permiabilitas sel endotel, lipid peroksidasi, aktivasi platelet, aktivasi koagulasi, oxidative stress, dan perubahan keseimbangan mediator vasoaktif, vasokontriksi. Beberapa marker disfungsi endotel termasuk fibronektin, faktor jaringan terlarut, platelet-derived growth factor, soluble e-selectin, dan endothelin (Baumwell S., 2007).

2.3. Sel Podosit 2.3.1. Fungsi Sel Podosit atau visceral epithelial cells merupakan sel dari epitel visceral ginjal sebagai komponen penting barrier filtrasi dari glomerulus yang mampu memperbesar filtrasi dan secara luas merawat permukaan filtrasi (Gambar 10.) (Anonimous., 2007b).

Sel podosit berdekatan secara interdigitate membungkus lamina basal yang berhubungan dengan kapiler glomerulus, akan tetapi sel podosit membentuk celah atau merupakan celah filtrasi yang tipis. Celah diapragma disusun dari sejumlah sel permukaan protein termasuk nephrin, podocalyxin, dan pcadherin, yang akan menjamin bahwa makromolekul besar seperti albumin dan gamma globulin menetap pada pembuluh darah (Gambar 12.) (Anonimous., 2007b).

Molekul kecil seperti air, glukosa, dan garam isotonik dapat melalui celah diapragma dan ultrafiltrasi yang selanjutnya diproses oleh nephron untuk memproduksi urin (Hladunewich M., et al. 2007). Filtrasi glomerulus ginjal merupakan komposisi tiga komponen berbeda yang terdiri dari endotel fenestra, glomerular basement membrane(GBM), epitel sel yang dikenal sebagai podosit. Endotel fenestra merupakan barrier untuk sel besar dan kumpulan sel dalam pembuluh darah, akan tetapi beberapa protein dapat melintasi lapisan endotel. GBM memiliki ketebalan 300nm dan mengandung protein seperti fibronektin, heparan sulfate proteoglycans, type IV collagens, laminins, etc. GBM sebagai filter fisik dan barrier. Molekul dengan diameter >10nm tidak dapat melintasi GBM, dan secara negatif protein >70 kD melintasi GBM minimal. Dua podosit dihubungkan oleh slit diaphragma dan memiliki ketebalan 6 nm. Kerusakan ketiga komponen filtrasi glomerulus mengakibatkan proteinuria tanpa lepasnya sel podosit ke dalam urin. Lesi predominan yang diamati pada model tikus seperti kerusakan endotel glomerulus, endotheliosis, secara histopatologis juga dapat dilihat pada wanita dengan preeklampsia. Komponen predominan GBM adalah type IV collagens, dan laminins. Predominan type IV collagens GBM terdiri atas unsur rantai 3, 4, dan 5. Adanya lesi pada rantai 3 pada model tikus mengakibatkan defek berat sebagai akibat eliminasi rantai type IV collagens. Nephrin merupakan komponen slit diaphragma dari podosit, struktur lain, konstituen sel bodi termasuk sistem saraf. Defisiensi nephrin pada model tikus mengakibatkan proteinuria massive tanpa defek pada GBM, endotel glomerulus, atau sel podosit (Kalluri, 2006) 2.3.2. Gambaran Struktur Morfologi Struktur sel podosit menggambarkan tingginya angka sirkulasi vaskuler sel ini. Beberapa lapisan vesikel terlihat sekitar daerah basolateral podocytes. Pada sel bodi, sel podosit urin memiliki retikulum

endoplasmik yang berkembang dan dapat mempembesar apparatus golgi ini sebagai bukti pertumbuhan sejumlah besar sel bodi multivesikuler yang pada sel terlihat sebagai komponen lisosome lain, dimana ini menunjukkan aktifitas endositik yang tinggi. Pedikel atau podocyte foot-processes meluas dan meningkat pada daerah permukaan (Anonimous., 2007b). 2.3.3. Patologi Gangguan dari celah diapragma atau kerusakan sel podosit urin dapat menimbulkan proteinuria massive, dimana sejumlah besar protein keluar dari pembuluh darah. Suatu contoh ini terjadi gangguan congenital finnish-type nephrosis pada neonatus yang ditandai oleh adanya proteinuria sebagai tanda adanya kegagalan ginjal tahap akhir. Penyakit ini dapat disebabkan oleh suatu mutasi gen nephrin (Hladunewich M. et al., 2007). 2.3.4. Sel Podosit Urin pada Preeklampsia Kecenderungan adanya kerusakan ginjal akut pada preeklampsia, didalilkan sebagai lepasnya sel podosit dalam urin bersamaan dengan proteinuria yang berhubungan dengan beratnya penyakit (Vesna D. et al., 2007). Penelitian ini menguji ekskresi sel podosit urin, yang diidentifikasi dan dikuantifikasi berdasarkan ekspresi protein spesifik sel podosit urin (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin), ada pada urin wanita hamil dengan preeklampsia dan mencari hubungan nilai sel podosit urin dengan derajat proteinuria. Podocin-positive cells yang tampak dalam urin wanita preeklampsia, HELLP dan tidak ada pada wanita normotensi, dimana sensitifitas dan spesifitas sel podosit urin dalam mendiagnosis preeklampsia 100%. Eksresi sel podosit urin dengan menghitung 4 podocyte-spesifik marker (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin) yang merupakan marker sensitif kerusakan ginjal dan proteinuria preeklampsia (Vesna D. et al., 2007). Proteinuria pada preeklampsia berkembang secara akut dan menghilang setelah persalinan. Sel podosit urin ada sewaktu diagnosis preeklampsia dan dihubungkan dengan derajat proteinuria. Sel podosit urin tidak timbul hanya karena akibat kerusakan ginjal hipertensi atau adanya proteinuria. Didalilkan bahwa sel podosit urin merupakan marker subklinik kerusakan ginjal dan dapat dideteksi sebelum adanya proteinuria dan gambaran klinik preeklampsia muncul, penelitian ke depan berusaha untuk mengembangkan penggunaannya sebagai alat skreening preeklampsia, dimana menguji hipotesa bahwa sel podosit urin timbul sebelum proteinuria (Vesna D. et al., 2007). Preeklampsia merupakan gangguan spesifik kehamilan ditandai oleh adanya hipertensi dan proteinuria. Proteinuria dihubungkan dengan perubahan ekspresi protein podocyte foot-processes. Nephrin dan synaptopodin dihubungkan dengan proteinuria dengan preeklampsia (Garovic D. et al., 2007). Hilangnya glomerular visceral cells dihubungkan dengan perkembangan glomerular sclerosis dan hilangnya fungsi ginjal. Hilangnya sel podosit urin dihitung dengan cytospin. Sel podosit urin merupakan sel epitel yang sangat spesial dari lapisan permukaan lempeng kapiler glomerulus dan merupakan bagian dari barrier filtrasi glomerulus yang bersama dengan sel endotel kapiler dan membran basal glomerulus akan menjamin permiabilitas selektif dari dinding kapiler glomerulus. Sel podosit urin selanjutnya mensintesa komponen-komponen dari membran basal glomerulus yang akan menyediakan kestabilan bagi struktur lempeng glomerulus (Stefanie UV. et al., 2007). Kuantifikasi, identifikasi, dan viabilitas sel podosit urin pada cytospin sedimen urin. Sel podosit urin

dikenali dengan mengekspresikan sel nukleated-multinukleated podocalyxin menggunakan immunoflourescence microscope (Gambar 13.) (Stefanie UV. et al., 2007). BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Konseptual Preeklampsia ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu. Gangguan fungsi endotel merupakan patogenesis sentral preeklampsia, namun belum ada perhatian langsung yang ditujukan bagi keterlibatan sel podosit urin. Garovic et al.,. (2007) Mengemukakan bahwa terlepasnya podocytes-glomerular epthelial cells (sel podosit urin) berkontribusi pada proteinuria preeklampsia (Anonimous., 2007). Kecenderungan adanya kerusakan ginjal akut pada preeklampsia, didalilkan sebagai lepasnya sel podosit urin bersamaan dengan proteinuria dan dihubungkan dengan beratnya penyakit. Penelitian menguji ekskresi sel podosit urin yang diidentifikasi dan dikuantifikasi berdasarkan ekspresi 4 podocyte-spesific protein (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin), dan mencari hubungan sel podosit urin dengan derajat proteinuria. (Vesna D. et al., 2007). Gambar 14. Algoritma Kerangka Konsep 3.2. Hipotesa Penelitian Rerata sel podosit urin pada preeklampsia lebih besar dibandingkan dengan wanita hamil normal. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah analytic cross-sectional study. Gambar 15. Algoritma Rancangan Penelitian 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1. Tempat Penelitian IRD dan atau Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar. 4.2.2. Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan pada periode 2008-2009. 4.3. Populasi Penelitian 4.3.1. Targeted population : Ibu hamil normal dan hamil dengan preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat yang datang ke rumah sakit umum tipe A. 4.3.2. Accessible population : Ibu hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat yang datang ke Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar periode 2008-2009. 4.4. Sampel Penelitian

Ibu hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat yang datang ke IRD dan atau poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar periode 2008-2009. 4.4.1. Kriteria Inklusi : Ibu hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat dengan usia kehamilan > 20 minggu yang datang ke IRD dan atau poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar. Bersedia ikut penelitian. 4.4.2. Kriteria Eksklusi : Ibu hamil dengan diabetes melitus. Ibu hamil dengan kelainan ginjal. Ibu hamil dengan kelainan jantung. Ibu hamil dengan hipertensi kronis. Kehamilan kembar. Kematian janin dalam rahim (KJDR). 4.4.3. Perhitungan Besar Sampel

Keterangan : n1 = n2 : besar sampel penelitian Z : 1,96 ( = 0.05) tingkat kemaknaan (ditetapkan oleh peneliti) Z : 0,842 ( = 0,80) (ditetapkan oleh peneliti) X1-X2 : perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgment) X1 = 53,4, X2 = 48,4 s : simpang baku kedua kelompok (dari pustaka) n1 = n2 = 2 (1,96+0,842)10 2 n1 = n2 = 84 (53,4-48,4) Berdasarkan rumus diatas, besar sample (hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat) dari penelitian ini masing-masing 84 Sampel. 4.4.4. Variabel Penelitian Variabel bebas : Sel podosit urin Variabel tergantung : Preeklampsia Variabel terkontrol : Umur kehamilan > 20 minggu, diabetes mellitus, kehamilan kembar, penyakit ginjal, penyakit jantung, hipertensi kronis, dan kematian janin dalam rahim (KJDR). 4.4.5. Definisi Operasional Variabel Kehamilan Normal adalah selama perawatan antenatal atau setelah umur kehamilan 20 minggu dan tekanan darah <140/90 mmHg, tidak ditemukan proteinuria, dan tidak ada komplikasi penyakit sistemik. Preeklampsia ringan adalah tekanan darah 140/90 mmHg disertai proteinuria (kualitatif +1) setelah

usia kehamilan 20 minggu. Preeklampsia berat adalah tekanan darah 160/110 mmHg disertai proteinuria (kualitatif +2) setelah usia kehamilan 20 minggu. Sel Podosit atau visceral epithelial cells merupakan sel dari epitel visceral ginjal sebagai komponen penting barrier filtrasi dari glomerulus, yang mampu memperbesar filtrasi dan memelihara permukaan filtrasi. Podocyturia merupakan sel podosit urin yang ditemukan dalam urin. 4.4.6. Prosedur Pengambilan Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prosedur menurut metode hara and colleagues modifikasi : Urin segar midstream diambil (20-100 ml), ditampung dalam tabung khusus, kemudian dikemas dan dikirim ke Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Unit III UGM di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta untuk kuantifikasi sel podosit urin menggunakan cytospin sedimen urin anti-podocalyxin antibody, lalu slide diamati menggunakan immunoflourescence microscope. . 4.4.7. Prosedur Pemeriksaan Sel Podosit Urin Kuantifikasi sel podosit urin dalam cytospin sedimen urin menggunakan anti-podocalyxin antibody; spesimen urin yang telah dibagi digunakan pada perhitungan sel dengan cytospin. Sel podosit urin dalam sedimen urin dihitung menurut metode hara and colleagues modifikasi : Spesimen urin segar (20-100 ml) disentrifusi pada kecepatan 700 g selama 5 menit. Supernatan secara perlahan-lahan diaspirasi dan pellet sedimen dicuci 2 kali menggunakan larutan human diploid fibroblast (HDF) (air suling, 137 mM NaCl, 5 mM KCL, 5,5 mM glukosa, 4 mM NaHCO3, dan 0,2% EDTA). Endapan dihomogenkan/dicampur dengan 1 ml larutan HDF. Aliquots (dibagi), 100 l campuran endapan disentrifusi pada glass slide polylisine. Slide dikeringanginkan dan difiksasi dengan 3% paraformaldehide pada suhu kamar selama 15 menit. Kemudian ditetesi dengan triton X-100. Setelah slide dicuci dengan PBS, slide diinkubasi dengan blocking buffer (PBS yang mengandung 0,2% BSA, 50 mM NH4Cl, dan 1% goat serum) selama semalam pada suhu 4oC. Slide diinkubasi dengan monoklonal antibodi anti-human podocalyxin (PHM5) dengan pengenceran 1:100 selama 60 menit. Setelah dicuci dengan PBS, ditambahkan antibodi sekunder (FITC-labeled goat antimouse IgG) dengan pengenceran 1:10 selama 30 menit. Kemudian di cat dengan hoechst nuclear stain, dan dimounting. Dilihat dibawah immunofluorescence microscope dengan panjang gelombang 488nm untuk podocalyxin (FITC) dan 460nm untuk hoechst nuclear stain. Sel podosit yang dihitung adalah sel yang viabel, yaitu sel yang menyerap warna biru pada pewarnaan dengan hoechst nuclear stain. Kuantifikasi terhadap setiap sampel dari semua kelompok dilakukan pada 10 lokasi lapang pandang menggunakan immunofluorescence microscope, sehingga diperoleh data nilai mean atau rerata. Rerata sel podosit urin dinyatakan dalam satuan sel/100 l suspensi urin.

4.4.8. Alur Penelitian

Ibu-ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi seperti diatas, dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian, setelah mengisi formulir dan menandatangani informed consent yang disediakan. Semua sampel penelitian tersebut dikelola sesuai dengan pedoman terapi Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unud/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini antara lain : 1. Anamnesis meliputi : nama, umur, paritas, hari pertama haid terakhir, berat badan sebelum hamil, penambahan berat badan selama kehamilan, dan riwayat sebelumnya. 2. Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan, pemeriksaan tekanan darah dengan cara : penderita berbaring santai minimal 5 menit sebelum pengukuran dimulai. Tekanan darah diukur pada bagian tengah lengan kiri dengan menggunakan tensimeter air raksa. Tekanan darah sistolik ditentukan dengan teknik korotkof I (saat pertama terdengar detak jantung) dan tekanan diastolik dengan teknik korotkof V (hilangnya detak jantung). 3. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urin lengkap, gula darah, BUN, kreatinin sesuai protap. 4. Pengambilan sampel : urin 20-100 ml dengan wadah khusus untuk persiapan pemeriksaan sel podosit urin. Sampel urin diberi label identitas sesuai dengan nomor urut tanpa menuliskan diagnosa pasien. Sampel dianalisa di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Unit III Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta untuk kuantifikasi sel podosit urin menggunakan cytospin sedimen urin antipodocalyxin antibody. Slide diamati menggunakan immunoflourescence microscope.

Gambar 16. Algoritma Alur Penelitian 4.4.9. Teknik Analisa Data Data akan dianalisa dengan menggunakan komputer program SPSS 14.0 for windows, bertujuan untuk mengetahui rerata, dan perbedaan rerata sel podosit urin pada kehamilan normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat. Perbedaan rerata diuji menggunakan analisis varians (ANOVA, analysis of variance; one-way ANOVA) dengan membandingkan ketiga kelompok sekaligus (kehamilan normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat.) dan variabel bebas sel podosit urin diklasifikasi dengan satu cara. Selanjutnya dilakukan uji Tukey-HSD-multiple comparisons post hoc untuk membandingkan perbedaan rerata sel podosit setiap kelompok. Cutoff point rerata sel podosit urin pada kehamilan normal dan preeklampsia dihitung dengan menggunakan tabel 3x2. (Santoso S. 2001). Hipotesis : H0 = ketiga rata-rata populasi adalah identik. H1 = ketiga rata-rata populasi adalah tidak identik. Pengambilan keputusan : Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima. Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.

BAB V HASIL Sampel urin penelitian diperoleh dari ibu hamil yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan variabel terkontrol yaitu : Umur kehamilan > 20 minggu, diabetes mellitus, kehamilan kembar, penyakit ginjal, penyakit jantung, hipertensi kronis, dan kematian janin dalam rahim (KJDR). Sel podosit urin ditetapkan sebagai variabel bebas dan preeklampsia sebagai variabel tergantung. Sampel urin dibedakan menjadi ibu hamil tiga kelompok yaitu kelompok normal (N), preeklampsia ringan (PE ringan) dan preeklampsia berat (PE berat), masing-masing kelompok terdiri atas 84 sampel. Hasil penelitian diperoleh dengan cara menghitung jumlah sel podosit dalam sedimen urin yang telah diproses dan difiksasi pada polylisin-coated slide. Sel podosit urin yang dihitung adalah sel yang viabel, yaitu sel yang menyerap warna biru pada pewarnaan dengan hoechst nuclear stain. Kuantifikasi sel podosit dalam slide dari setiap sampel dilakukan pada 10 lapang pandang menggunakan immunofluorescence microscope. Rerata sel podosit urin dinyatakan dalam satuan sel/100 l suspensi urin. Homogenitas data ketiga kelompok sampel diuji dengan Levenes test. Kemudian dilakukan uji ANOVA (analysis of variance; one-way ANOVA), pada prinsipnya bertujuan untuk mengetahui rerata pada sampel yang berjumlah lebih dari dua kelompok sampel. Rerata sel podosit urin dari ketiga kelompok sampel dapat diketahui dengan menggunakan uji one-way ANOVA. Rerata sel podosit urin tiap kelompok sampel disajikan pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Rerata Sel Podosit Urin pada Kelompok Normal, PE ringan, dan PE berat

Sampel Rerata SD Normal 84 0,806 0,2417 PE Ringan 84 28,870 2,1821 PE Berat 84 28,021 2,7179 Tiap kelompok sampel memiliki rerata yang berbeda. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok sampel. Hal tersebut berdasarkan angka probabilitas yang lebih kecil dari level (=0.05) yang telah ditentukan (p<0.05) yaitu Sig.=0.001 (~0.000). Selanjutnya dilakukan uji Tukeys-honestly significance difference(HSD)-multiple comparisons post-hoc test untuk membandingkan rerata sel podosit urin tiap kelompok, sehingga dapat diketahui adanya perbedaan rerata yang bermakna diantara ketiga kelompok sampel. Hasil uji Tukeys-HSDmultiple comparisons post-hoc disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Perbedaan Rerata Sel Podosit Urin pada Kelompok Normal, PE ringan, PE Berat Kelompok(I) Kelompok(J) Perbedaan Rerata(I-J) Sig. Normal PE ringan -28.064 0.001 PE berat -27.215 0.001 PE Ringan Normal 28.064 0.001 PE berat 0.849 0.019 PE Berat Normal 27.215 0.001 PE ringan -0.849 0.01 Pada Tabel. 4.2 tampak terdapat perbedaan rerata yang bermakna antara kelompok normal dengan PE ringan (Sig.= 0.001), kelompok normal dengan PE berat (Sig. = 0.001), dan kelompok PE ringan dengan PE berat (Sig. = 0.019). Penilaian tersebut berdasarkan angka probabilitas yang lebih kecil dari level ( = 0.05) yang telah ditentukan (p<0.05). Tabel 4.3. Cutoff Point Rerata Sel Podosit Urin pada Hamil Normal dan Preeklampsia Sel Podosit Urin 26,950 < 26,950 Hamil Normal 0 84 Preeklampsia ringan 51 33 Preeklampsia berat 67 17 x2 = 117,1 ; p = 0,000 Dari tabel 4.3. diperoleh cutoff point rerata sel podosit urin kehamilan normal dan preeklampsia 26,950 sel/100 l suspensi urin. Berdasarkan cutoff point rerata sel podosit urin tersebut dapat digunakan untuk menilai batas sel podosit urin antara kehamilan normal dan preeklampsia.

BAB VI PEMBAHASAN Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang berkomplikasi sekitar 5% dari seluruh kehamilan, dan sampai saat ini penyebabnya masih belum diketahui secara jelas. Salah satu dasar penegakan diagnosis preeklampsia adalah adanya proteinuria 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dipstick 1+. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara derajat proteinuria dan luaran kehamilan masih mengalami pertentangan. Selain itu, terdapat beberapa literatur terbaru yang menyimpulkan kurangnya akurasi proteinuria dengan pemeriksaan dipstick pada kehamilan. Demikian juga usulan dari beberapa peneliti lain untuk membedakan preeklampsia dengan penyakit proteinuria lain yaitu dengan proteinuria selektif dan non-selektif, diperoleh hasil yang masih mengecewakan. Brown et al., (1995) melaporkan nilai dipstick +2 dihubungkan dengan lebih dari 50% false positive rate, false positive rate +1 sangat tinggi yaitu 67%. Bell et al. pada catatan medis perawat dibandingkan dengan bidan menemukan angka false positive rate lebih tinggi 47% vs 17%. Saudan et al. dengan teknologi otomatis, dipstick dibandingkan visual test juga mendapatkan false positive rate 52% vs 26%. Waugh et al. membandingkan dipstick dengan benzethonium chlorida false positive rate 12,5%. (Maybury H, Waugh J. 2004) Deteksi proteinuria pada pasien rawat inap dengan hipertensi menggunakan dipstick menemukan tingginya false positive rate proteinuria 24% pada +1, 53% pada +2 dan 93% pada +3/+4. Laporan dari penelitian yang lain 38% pada +1. Alto WA., (2005) dalam literatur terbarunya menyimpulkan bahwa akurasi proteinuria +1 pada kehamilan dengan dipstick menemukan kurang dan terbatasnya kegunaan pemeriksaan tersebut Beberapa penelitian, menyebutkan adanya kemungkinan sel podosit urin dapat dipertimbangkan sebagai prediktor dan penunjang diagnostik preeklampsia, disamping standar baku proteinuria yang

telah ditetapkan oleh Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP). Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap kuantifikasi sel podosit urin tersebut, namun belum memberikan informasi yang optimal. Vesna D. et al., (2007) dalam penelitiannya menguji hipotesa ekskresi sel podosit urin yang diidentifikasi dan dikuantifikasi berdasarkan ekspresi podocyte-spesific markers (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin), serta mencari hubungan nilai sel podosit urin dengan derajat proteinuria. Podocin-positive cells yang ada dalam urin wanita preeklampsia, HELLP dan tidak ada pada wanita normotensi. Kecenderungan adanya kerusakan ginjal akut pada preeklampsia, didalilkan sebagai lepasnya sel podosit urin bersamaan dengan proteinuria dan dihubungkan dengan derajat beratnya penyakit. Ekskresi sel podosit urin yang dikuantifikasi dengan podocyte-specific markers (podocalyxin) yang secara spesifik menunjukkan kerusakan ginjal dan proteinuria pada preeklampsia. Sel podosit urin berkontribusi terhadap proteinuria pada wanita hamil dengan preeklampsia, ini menunjukkan lepasnya sel podosit urin yang berfungsi sebagai barrier filtrasi glomerulus dan mengakibatkan terjadinya proteinuria. Sel podosit urin tidak timbul hanya karena kerusakan ginjal hipertensi atau adanya proteinuria. Menurut Stefanie UV. et al., (2003) hilangnya glomerular visceral cells (sel podosit) dihubungkan dengan perkembangan glomerular sclerosis dan hilangnya fungsi ginjal. Sel podosit urin merupakan sel epitel spesial dari lapisan permukaan lempeng kapiler glomerulus yang merupakan bagian dari barrier filtrasi glomerulus yang bersama dengan sel endotel kapiler dan membran basal glomerulus akan menjamin permiabilitas selektif dari dinding kapiler glomerulus. Sel podosit urin selanjutnya mensintesa komponen-komponen dari membran basal glomerulus, dimana akan menyediakan kestabilan bagi struktur lempeng glomerulus. Disamping hal tersebut, terdapat hipotesa bahwa sel podosit urin ada sewaktu diagnosis preeklampsia dan sejumlah sel podosit urin dihubungkan dengan derajat beratnya proteinuria. Kuantifikasi, identifikasi, dan viabilitas sel podosit urin sedimen dikenali dengan mengekspresikan sel nukleated dan multinukleated podocalyxin menggunakan immunoflourescence microscope. Penelitian yang dilakukan oleh Garovic et al., (2007) dan Karumanchi SA et al., (2007) memperkenalkan sel podosit urin, yang merupakan ekskresi dari epitel glomerular visceral cells dalam urin wanita hamil dengan preeklampsia. Aspek lain dari pengamatannya bahwa lesi ginjal preeklampsia predominan terjadi akibat kerusakan endotel yang khas, glomerular endotheliosis. Pengaruh preeklampsia pada footprocess yang sehat sebagai suatu peristiwa primer, dimana epitel sel podosit urin mensekresi vaskuler endothelial growth factor (VEGF), dan paling tidak reseptor VEGF tertentu, seperti neurophilin. Proteinuria dihubungkan dengan perubahan ekspresi protein podocyte foot-process. Podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin dihubungkan dengan proteinuria pada wanita dengan preeklampsia. Mian, (2007) pada urin yang diwarnai dengan immunoperoksidase untuk antibodi synaptopodin; 6 pasien preeklampsia, 4 pasien risiko tinggi preeklampsia, dan 9 kontrol normal, didapatkan 2 dari 6 sampel preeklampsia, dan 1 dari 4 sampel risiko tinggi terdapat sel podosit urin, sementara tidak satupun ditemukan pada kontrol. Semua penelitian tersebut pada dasarnya menjelaskan tentang berbagai mekanisme bagaimana identifikasi sel podosit urin dapat membedakan preeklampsia dari gangguan hipertensi proteinuria yang lain. Teori berdasarkan atas hasil penelitian yang dikemukakan oleh beberapa peneliti tersebut kemungkinan dapat menjelaskan tentang adanya sel podosit urin dengan jumlah yang berbeda sesuai

kondisi kehamilan (normal, preeklampsia ringan, preeklampsia berat). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Sugimoto, (2003) dan Davis, (2007), menemukan lepasnya sel podosit urin glomerulus yang masih viabel dalam urin ibu ada pada proses aktif penyakit ginjal sebelum timbulnya gejala preeklampsia. Terdapat korelasi positif antara jumlah sel podosit urin dan derajat beratnya proteinuria (p=0,04). Pada wanita hamil normotensi, atau hipertensi dengan penyakit ginjal kronis, atau proteinuria tanpa gejala klinis preeklampsia tidak ditemukan sel podosit urin. Patogenesis preeklampsia yang dikemukakan oleh Sugimonto, (2003), Garovic et al., (2007), dan Moore, (2007), salah satu diantaranya akibat adanya kegagalan invasi tropoblast ke dalam a. spiralis menyebabkan vasokonstriksi, sehingga terjadi iskemia plasenta yang mengakibatkan lepasnya radikal bebas sebagai penyebab disfungsi endotel. Pada ginjal akan terjadi peningkatan sFlt-1 yang berperan sebagai inhibitor endogen pada sinyalisasi VEGF sehingga menimbulkan turunnya ekspresi VEGF dalam cairan amnion dan serum. Turunnya produksi VEGF di glomerulus akan meningkatkan pelepasan protein slit diapfragma epitel glomerulus nephrin dan synaptopodin, sehingga menyebabkan disfungsi endotel berupa glomerular endotheliosis. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan massive dan pelepasan sel podosit glomerulus ke urin yang selanjutnya menimbulkan preeklampsia dengan proteinuria. Tidak tampak adanya sel podosit urin pada kehamilan normal akibat sel podosit urin cepat menghilang setelah 3-7 hari, meskipun proteinuria karena lesi kronis terus berlangsung. Uji ANOVA dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga kelompok sampel. Agar setiap kelompok tampak perbedaannya, maka digunakan Post-hoc test dengan Tukey-HSD, sehingga pada hasil multiple comparisons diperoleh nilai signifikansi sebagai berikut : normalpreeklampsia ringan 0,001; normal-preeklampsia berat 0,001; preeklampsia ringan-preeklampsia berat 0,019. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok sampel tersebut memiliki perbedaan rerata sel podosit urin bermakna, dimana H0 ditolak, H1 diterima karena p < 0,05. Pada penelitian ini ditemukan rerata sel podosit urin kelompok normal adalah 0,806, preklampsia ringan 28,870, preeklampsia berat 28,021. Berdasarkan uji statistik rerata sel podosit urin kehamilan normal secara bermakna lebih kecil daripada kehamilan yang disertai preeklampsia ringan, dan berat, namun kehamilan yang disertai preeklampsia berat rerata sel podosit urin secara bermakna lebih kecil daripada kehamilan yang disertai preeklampsia ringan. Keadaan ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Kalluri (2006) tentang proteinuria dengan dan tanpa lepasnya podosit glomerulus ginjal, yaitu adanya defek pada tiga komponen filtrasi glomerulus ternyata dapat menimbulkan proteinuria tanpa disertai lepasnya sel podosit urin. Dalam penelitian Kalluri (2006) digunakan tikus dengan model proteinuria yang berbeda. Model pertama dengan menyuntikkan antibodi vascular endothelial growth factor (VEGF) atau soluble vascular endothelial growth factor receptor. Model kedua dengan deletion of type IV collagen 3 chain pada GBM. Model ketiga mengalami genetic deletion of slit diaphragm-nephrin. Secara menyeluruh eksperimen ini mendukung bukti dari beberapa penelitian pada manusia yang menggambarkan defek berat pada GBM, endotel glomerulus, dan slit diaphragma dapat menimbulkan proteinuria tanpa lepasnya sel podosit. Proteinuria massive dapat terjadi tanpa lepasnya sel podosit. Apa yang menyebabkan terjadinya proteinuria tanpa diikuti oleh lepasnya sel podosit? Tiga komponen filtrasi glomerulus memiliki komunikasi molekuler dan biokimia yang konstan satu dengan yang lain, melalui interaksi sel glomerular basement membrane (GBM), faktor pertumbuhan, dan pengaruh soluble ligand-receptor. Oleh karena itu, walaupun perubahan morfologi yang jelas pada sel podosit tidak dapat diamati selama fase awal proteinuria, hingga sampai terjadinya molecular alterations pada

komposisi slit diaphragma, pengelompokan, dan penandaan yang mungkin ada pada stadium ini tanpa disertai perubahan morfologi yang jelas. Kemudian, lesi potensial yang mengakibatkan defek morfologi, dikenal sebagai lepasnya sel podosit dalam urin dihubungkan dengan derajat beratnya, adhesi non spesifik dan hilangnya slit diaphragma. Seperti defek potensial yang menimbulkan hilangnya jalur spesifik dan adhesi yang terjadi pada GBM, oleh karena itu, penyebab proteinuria sendiri masih dikatakan belum jelas. Meskipun demikian, lepasnya sel podosit tidak memerlukan inisiasi proteinuria. Van den Berg et al. menggambarkan dalam penelitiannya bahwa sel podosit tidak dihubungkan dengan derajat proteinuria pada beberapa glomerulopati manusia, seperti pada kasus varians minimal-change nephritis syndrome. Menurut Jarad et.al (2006) penelitian pada model tikus dengan defisiensi GBM laminin 2, albuminuria terjadi lebih dari 7 hari sebelum sel podosit lepas dan hilangnya slit diaphragm. Topham et.al (1999) menyatakan bahwa penyuntikkan antibodi nephrin menginduksi proteinuria massive pada model tikus dengan slit diaphragma intak dan sel podosit yang masih baik. Uraian diatas juga menunjukkan bahwa proteinuria yang terjadi pada beberapa sampel dengan diagnosa preeklampsia berat kemungkinan mengalami defek yang berhubungan dengan proteinuria gromerular disease. Jadi dengan demikian, adanya sel podosit urin pada preeklampsia dapat menjadi penanda/marker, prediktor untuk membedakan antara proteinuria pada preeklampsia dengan proteinuria yang timbul pada gromerular disease, dimana pemeriksaan sel podosit urin preeklampsia sebagai penunjang diagnostik preeklampsia, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vesna D. et al (2007), Garovic et al., (2007), Mian, (2007), Mahoney-Diana, (2007), Karumanchi SA., (2007), Davis, (2007), dan Kalluri, (2006), dimana para peneliti tersebut dengan pemeriksaan sel podosit urin marker podocalyxin didapatkan sensitifitas 93%, spesifisitas 75%, podocin sensitifitas 100%, spesifisitas 100%. Sesuai pada penelitian Vesna D. et al., (2007), Karumanchi SA (2007), bahwa identifikasi sel pododit urin dapat membedakan preeklampsia dari penyakit hipertensi proteinuria yang lain seperti eksaserbasi dari glomerular disorders, kehamilan dengan lupus nephritis, kehamilan dengan diabetic nephropathy, dan Garovic et. al (2007) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa sel podosit urin merupakan marker sensitif dan spesifik preeklampsia, yang kedepan akan dikembangkan menjadi alat skreening (prediktor) preeklampsia, dan dapat menunjukkan bahwa sel podosit urin ada sebelum proteinuria. Proteinuria tanpa lepasnya sel podosit juga tampak pada wanita dengan preeklampsia dan lesi endotel berat (Ronco P. 2007 cit Pirani et.al 1963), serta kasus-kasus dengan nephrotic syndrome (Ronco P, 2007 cit Good et.al 2004; Branten et.al 2001). Mengapa proteinuria selalu dihubungkan dengan lepasnya sel podosit? Menurut Sever S. et.al, (2007) dan Morigi M. et.al (2005) dalam penelitiannya, secara in vitro adanya albumin dan IgM dengan konsentrasi normal dalam plasma menstimulasi perubahan sitoskeleton podosit, sedangkan secara in vivo sel podosit menunjukkan aktivitas endositik yang tinggi pada kondisi nephrotic, namun belum ditetapkan apakah aktifitas endositik akan menginduksi CatL dan dynamin p40. CatL (cathepsin L-mediated) diinduksi dalam sel podosit yang kekurangan 3 integrin, dimana CatL inilah yang kemudian menginduksi terjadinya proteinuria. Dynamin p40 menyebabkan adanya proteinuria transient dan lepasnya sel podosit urin, dimana secara normal dynamin diperlukan untuk memelihara barrier ultrafiltrasi glomerulus yang dimungkinkan dengan mengatur sitoskeleton aktin dan bentuk ikatan GTP dari dynamin yang aktif akan di- switches off oleh CatL. Pada kondisi tertentu, proteinuria dapat terjadi tanpa disertai lepasnya sel podosit dalam urin. Hal tersebut kemungkinan akibat adanya beberapa sampel preeklampsia berat dalam penelitian ini sebelumnya telah mengalami defek seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti

diantaranya: Sever S. et.al, (2007), Kalluri (2006), Morigi M. et.al (2005), Good et.al (2004), Branten et.al (2001), Topham et.al (1999), Pirani et.al (1963), dimana defek tersebut dapat menimbulkan proteinuria tanpa disertai lepasnya sel podosit urin. Uraian diatas dapat menjelaskan mengapa dalam penelitian ini diperoleh hasil rerata sel podosit urin pada sampel preeklampsia berat lebih kecil dibandingkan preeklampsia ringan. Hasil penelitian ini secara umum sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memberi gambaran keberadaan sel podosit urin pada wanita hamil dengan preeklampsia. Ekspresi sel podosit urin yang diidentifikasi dan dikuantifikasi dengan podocyte-specific markers podocalyxin secara spesifik menunjukkan kerusakan ginjal dan proteinuria pada preeklampsia. Sel podosit urin berkontribusi terhadap proteinuria pada wanita hamil dengan preeklampsia, dimana tampak bahwa hilangnya sel podosit urin sebagai barrier filtrasi glomerulus mengakibatkan terjadinya proteinuria. Namun pada kondisi tertentu, proteinuria dapat terjadi tanpa diikuti oleh lepasnya sel podosit urin, dimana hal ini menunjukkan bahwa proteinuria tersebut terjadi pada glomerular disease, bukan merupakan proteinuria pada preeklampsia. Cutoff point rerata sel podosit urin kehamilan normal dan preeklampsia yang diperoleh adalah 26,950 sel/100 l suspensi urin. Cutoff point rerata sel podosit urin tersebut dapat digunakan untuk menilai batas sel podosit urin antara kehamilan normal dan preeklampsia. Bila cutoff point rerata sel podosit urin <26,950 dianggap sebagai kehamilan normal, sedangkan bila 26,950 dianggap sebagai kehamilan preeklampsia.

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1. SIMPULAN 1. Terdapat perbedaan bermakna rerata sel podosit urin pada wanita hamil normal dan preeklampsia, dengan cutoff point rerata sel podosit urin kehamilan normal dan preeklampsia 26,950 sel/100 l suspensi urin. 2. Rerata sel podosit urin pada kehamilan normal 0,806, preeklampsia ringan 28,870, preeklampsia berat 28,021 3. Terdapat perbedaan bermakna rerata sel podosit urin pada wanita hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat. 7.2. SARAN 1. Penelitian ini perlu disempurnakan lagi dalam hal metodologi, penentuan kriteria sampel, teknik pengambilan sampel dan pengiriman sampel. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan penggunaan sel podosit urin sebagai alat skreening atau penunjang diagnostik preeklampsia

You might also like