You are on page 1of 33

PENYAKIT-PENYAKIT DAN MASALAH YANG SERING TERJADI PADA LANSIA

MAKALAH disusun untuk memenuhi tugas mata ajar Keperawatan Gerontik

oleh : Kelompok V Abraham Caesar 3 0 1 2 0 1 0 9 0 0 1 Esterlina 3 0 1 2 0 1 0 9 0 0 Maria Asitoret Hirera Woda 3 0 1 2 0 1 0 9 0 2 1 Marintan Gurning 3 0 1 2 0 1 0 9 0 2 2

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS BANDUNG 2012

BAB II TINJAUAN TEORI

A. PENYAKIT YANG SERING DIALAMI OLEH LANSIA Menurut Sudoyo,W. Aru,dkk. 2009.Ilmu Penyakit Dalam, terdapat beberapa penyakit yang sering dialami oleh lansia, yaitu: Dizziness Demensia Penyakit Parkinson dan Stroke

Penyakit yang sering ditemukan pada lansia di Indonesia, yaitu: 1. Penyakit system pernapasan Penyakit system kardiovaskular Penyakit system pencernaan makana Penyakit system urogenital Penyakit gangguan metabolic/endokrin Penyakit pada persendian dan tulang, dan penyakit yang disebabkan oleh proses keganasan DIZZINESS a. Pengertian Dizziness adalah: - Sensasi kepala, kepala terasa ringan, seperti akan pingsan, berputar, perasaan mabuk, dan bisa juga tidak mengarah seperti ganguan mental, pandangan kabur, pusingm atau perasaan 2

nyeri. (Triwibowo, 2001; Daroff & Carlson, 2005; Wasillah Rochmah 2006, dalam Sudoyo,W. Aru,dkk. 2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1). b. Etiologi dan penyebab Menurut Wasillah Rochmah dan Probosuseno (2006) telah menganalisis secara rinci penyebab dizziness, antara lain: 1) Vestibulopati perifer (antara lain Benign Positional Vertigo (BPV), labirinitis, penyakit Meniere sebesar 38-44% 2) Vestibulopati sentral. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluhkan dizziness sebagai gejala tunggal karena awitannya baru disertai dengan simtom lain (sakit kepala, gangguan visus, atau simtom neurologis) harus dipikirkan kemungkinan gangguan system saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan system saraf pusat biasanya diperlukan 10-11%. 3) Psikiatris (16-32%) 4) Kondisi lain (26%) 5) Tidak diketahui penyebabnya (9-13%) 6) Defisit sensori multiple (13%) 7) Penyakit sistemik (8%) c. Macam-macam dizziness 1) Vertigo Vertigo merupakan sensasi berputar, pasien merasa bahwa dia ataupun lingkungan berputar. Seringkali vertigo terjadi dengan seketika, kadang-kadang, dan ketika berat umumnya dibarengi dengan mual, muntah. dan jalan yang terhuyung-huyung. Vertigo merupakan tipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan primer sebanyak 54%. Diperawatan primer jenis vertigonya 93% benign paroxysmal vertigo (BPPV), neuronitis vertibular akut,

atau penyakit Meniere. Penyebab lain adalah obat-obatan (alkoohol, aminoglikosida, obat antikejang, dll). Penyebab vertigo bisa perifer atau sentral. a. Penyebab vertigo perifer Benign Paroxysmal Posional Vertigo/Benign Posional Vertigo (BPPV) Benign paroxysmal posional vertigo/benign posional vertigo umumnya penyebab tunggal dizziness pada lansia. BVP merupakan kondisi episodic, sembuh sendiri, dicetuskan oleh gerakan kepala mendadak atau karena perubahan pada posisi tubuh seperti berguling di tempat tidur. BVP disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal semisirkular. Pergerakan dari debris menstimulasi mekanisme vestibular

menghasilkan symptom pasien . BVP kadang-kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan inflamasi. Diagnosis BPV dapat ditegakkan melalui tes Dix-Hallpike (kadang disebut juga sebagai tes Barany atau Nylen-Barany). Labirinitis Labirinitis merupakan penyebab lain dizziness karena vestibuler perifer, kelainan ini sembuh dengan sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan hari atau beberapa minggu. Labirinitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf vestibular. Penyakit Meniere Sindrom ini terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness pada lanjut usia. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali berulang. Pada akhirnya tercapai suatu fase kronik burned out yang ditandai oleh hilangnya pendengaran makin jelas, tetapi episode dizziness berkurang. b. Penyebab vertigo sentral Dizziness karena penyebab sentral biasanya jarang, prevalensi pada lanjut usia kurang dari 10%. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab central jarang mengeluhkan dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang awitannya baru terjadi disertai symptom lain (sakit

kepala, gangguan visus, atau symptom neurologis), harus dipikirkan kemungkinan gangguan system saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan system saraf pusat biasanya diperlukan. 2) Presinkop (Nearsinkop) Presinkop adalah suatu sensasi dari seperti akan pingsan atau hilangnya kesadaran, kesadaran seringkali diawali pandangan yang buram, dan terdengar suara gemuruh di telinga. Presinkop biasanya menandakan adanya pasokan darah dan atau nutrisi yang tidak adekuat ke seluruh otak dan bukan merupakan suatu gambaran dari iskemik serebral fokal. Jika penyebabnya berasal dari kardiovaskular timbulnya gejala tiba-tiba, dan dapat terjadi pada segala posisi. Apabila penyebabnya hipotensi ortostatik maka pasien akan mengeluh timbul dizziness dalam hitungan detik sampai menit saat bangun atau berdiri. Apabila timbulnya onset graudual dan menetap saat posisi berbaring menunjukkan adanya gangguan metabolisme serebral seperti hipoglikemia. Umumnya penyebab dizziness tipe ini adalah factor kardiovaskular. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik awal mencakup pemeriksaaan ortostatik, kardiovaskular, neurootologik, tajam penglihatan, tajam penglihatan, hiperventilasi selama 2 menit, tes Romberg, tes langkah tandem pemijatan sinus karotis, maneuver Hallpike, status kognitif, symptom depresi, dan ansietas. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg dengan atau tanpa gejala segera setelah berdiri atau setelah 2 menit berdiri (setelah 5 menit dalam posisi terlentang. Pemeriksaan kardiovaskular dilakukan untuk mencari kemungkinan aritmia, kelainan katup jantung, dan bruit karotis. Pemeriksaan neurologic mencakup pemeriksaan telinga termasuk saraf cranial, evaluasi telinga luar, dan tengah dan tes fisula . Tes fistula dilakukan dengan memberikan tekanan ke telinga dan dievaluasi terjadinya vertigo dan nystagmus. Hasil positif menunjukkan adanya fistula dari labirin karena kolesteoma, atau infeksi. Tes Romberg dan tes langkah tandem ditujukan untuk mengevaluasi komponen vestibuler, proprioceptive, dan serebelar. 5

Pemijatan sinus karotis dilakukan di bawah pengawasan ketat, diperlukan monitoring EKG. Kontraindikasi pemijatan sinus karotis bila terdapat carotid bruit, mendapat digoksin, riwayat stroke, atau terdapat tanda stenosis aorta.

2. DEMENSIA a. Pengertian Dementia adalah suatu syndrome klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan atau memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari hari (Brocklehurst and allen, 1987) Dementia adalah gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari dimana klien menunjukan beberapa gangguan dan perubahan tingkah laku harian yang menggangu maupun tidak mengganggu. (Volicer, 1998) Dementia adalah kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tettentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku. (Grayson, 2004) Jadi menurut kelompok kami dementia adalah penurunan kemampuan menta lyang biasanya berkembang secara perlahan tetapi terjadi gangguan kognitif sehingga menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu dan terjadi perubahan tingkah laku.

b.

Etiologi Penyebab dementia 60 %adalah penyakit alzaheimer. Alzheimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mengalami kematian sehingga membuat sinyal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya. (Grayson, 2004) Selain itu penyebab dementia yang lain ialah : D E M E N : Drungs (obat - obatan) : Emosional (gangguan emosional , missalnya : depresi) : Metabolik atau endokrin : Eye and ear (disfungsi mata dan telinga) : Nutritional 6

T I A

: Tumor dan trauma : Infeksi : Arterioscerotik (komplikasi penyakit arterosklerosis, misalnya : AMI, gagal jantung) dan akohol

c.

Manifestasi Klinis Manifestasi klinik dari dementia adalah : 1) Gangguan daya ingat jangka pendek dan jangka panjang, 2) Gangguan proses berfikir abstrak, misalnya : tidak dapat memahami arti suatu konsep atau kata 3) Gangguan dalam judgement , misalnya tidak mampu mengatasi masalah dalam pekerjaan, hubungan interpersonal dan hubungan keluarga 4) Afasia (gangguan berbahasa), apraksia (gangguan aktivitas motorik), Agnosia (gangguan identifikasi objek ) 5) Perubahan kepribadian, cepat marah dan sulit diatur. 6) Aktivitas social terganggu 7) Sering mengulang kata-kata 8) Tidak mengenal dimensi waktu, contohnya: tidur di ruang makan. d. Pengenalan Dini Gejala Pikun (Dementia) Peningkatan kualitas hidup dan kemajuan dibidang kesehatan telah meningkatkan pula usia harapan hidup, di indonesia pada saat ini 67,2 tahun untuk wanita dan 63,3 tahun untuk pria. Pada tahun 2000 jumlah warga usia lanjut akan mencapai 7,28 % atau kuarng lebih 15 juta orang. Usia lanjut merupakan harapan semua orang, tentu saja dalam keadaan tetap sehat, tetap berguna, tetap sejahtera dan bahagia. Lansia merupakan suatu tahap kehidupan dimana penurunan fungsi biologis dengan tanda-tanda menjadi keriput, kekuatan otot menurun, mata menjadi rabun, rambut manjadi menipis dan beruban, dorongan seksual menurun.

3. PARKINSON a. Pengertian Parkinson Parkinson adalah: Suatu kelainan fungsi otak yang disebabkan oleh proses degenerative progresif sehubungan dengan proses menua di sel-sel substansia nihra pars compacta (SNc) dan karakteristik ditandai dengan tremor waktu istirahat, kekakuan otot, dan sendi, kelambanan gerak, dan bicara, dan stabilitas. Gejala seperti tremor waktu istirahat awalnya hanya muncul kadang-kadang, menjadi memberat dan menetap saat ada stress fisik dan psikis. (Sudoyo,W. Aru,dkk. 2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1). Parkinsonism adalah: Suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, kekakuan, bradikinesia, dan hilangnya reflex postural akibat penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab. SIndrom ini biasa disebut sebagai sindrom Parkinson. (Sudoyo,W. Aru,dkk. 2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1). Berdasarkan pengertian tersebut maka sindrom Parkinson diklasifikasikan sebagai berikut: Primer atau idiopatik: - penyebabnya tidak diketahui - sebagian besar merupakan penyakit Parkinson - ada peran toksin yang berasal dari lingkungan - ada peran factor genetic Sekunder - timbul setelah terpajan suatu penyakit atau zat - infeksi dan paska infeksi otak 8

- terpapar kronik oleh toksin 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP), Mn (Mangan), CO, sianida, dll. - efek samping obat penghambat reseptor dopamine - pasca stroke b. Etiologi 1) Faktor genetic DItemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan mengakibatkan protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitin-proteosomal pathway. Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan sel-sel SNc sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc. Inilah yang mendasari terjadinya penyakit Parkinson sporadic yang bersifat familial. 2) Faktor lingkungan Berbagai penelitian yang dilakukan antara lain peranan pestisida/herbisida, terpapar zati kimia seperti bahan-bahan cat dan logam, kafein dan alcohol, diet tinggi protein, merokok, trauma kepala, depresi dan stress. 3) Umur (proses menua) Pada penderita penyakit Parkinson terdapat suatu tanda reaksi mikroglial pada neuron yang rusak dan tanda ini tidak terdapat pada proses menua merupakan factor resiko yang mempermudah terjadinya proses degenerasi di SNc tetapi memerlukan penyebab lain untuk terjadinya penyakit Parkinson. 4) Ras Angka kejadian penyakit Parkinson lebih tinggi pada orang kulit dibandingkan kulit berwarna. 5) Cedera kranioseberal Proses belum jelas. Trauma kepala, infeksi, dan tumor di otak lebih berhubungan dengan sindrom Parkinson daripada penyakit Parkinson. 9

6) Stress emosional Diduga merupakan salah satu factor risiko terjadinya penyakit parkinson

c. Patofisiologi penyakit Parkinson Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar 40-50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab multifactor. Substansia nigra adalah suatu region kecil di otak yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian yang merupakan pusat control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmitter yang disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh pergerakan otot dan keseimbangan badan yang dilakukan oleh system saraf pusat. Dopamin diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan, dan reflex postural, serta kelancaran berkomunikasi. Pada penyakit Parkinson sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamine menurun, akibatnya semua fungsi neuron di system saraf pusat menurun dan menghasilkan kelambatan gerak dan kelambatan bicara dan berpikir, tremor, dan kekakuan.

4. STROKE a. Pengertian Stroke Stroke adalah: Suatu manifestasi klinis gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan deficit neurologis. (Sudoyo,W. Aru,dkk. 2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1). b. Jenis stroke 1) Stroke non hemoragik Jenis stroke ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stroke ini sering 10

diakibatkan oleh thrombosis akibat plak aterosklerosis asteri otak atau yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Stroke jenis ini merupakan stroke tersering yang didapat, sekitar 80% dari semua stroke. Stroke jenis ini juga bisa disebabkan berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak antara lain syok atau hipovolemia, dan berbagai penyakit lainnya. 2) Stroke hemoragik Stroke jenis ini merupakan sekitar 20% dari semua stroke yang disebabkan oleh pecahnya STsuatu mikro aneurisma. Dibedakan antara perdarahan intraserebral, subdural, dan subarachnoid. c. Faktor resiko stroke - Usia, yang merupakan factor risiko independen terjadinya stroke - Jenis kelamin, pada perempuan pre menopause lebih rendah dibandingkan pria. Setelah menopause factor perlindungan pada wanita ini menghilang, dan insidens menjadi hampir sama dengan pria. - Hipertensi, baik sistolik maupun diastolic merupakan factor resiko dominan untuk terjadinya stroke baik non hemoragik maupun hemoragik. - Diabetes mellitus dan hiperlipidemia - Keadaan berbagai hipervisikositas berbagai kelainan jantung b. Tanda Dan Gejala Gejala stroke bisa dibedakan atas gejala/tanda akibat lesi dan gejala/tanda yang diakibatkan oleh komplikasinya. Secara umum gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut. Lesi di korteks - gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak lesi - hilangnya sensasi kortikal ambang sensorik yang bervariasi 11

- kurang perhatian terhadap rangsang sensorik - bicara dan penglihatan mungkin terkena Lesi di korteks - lebih luas, mengenai daerah lawan letak lesi - sensari primer menghilang - bicara dan penglihatan mungkin terganggu Lesi batang otak - luas, bertentangan letak lesi - kenai saraf kepala sesisi dengan letak lesi (III-IV otak tengah) - (V, VI, VII. dan VIII di pons), (IX, X, XI, XII di medulla) Lesi di medulla spinalis - neuron motorik di bawah daerah lesi - neuron motorik atas di bawah lesi, berlawanan letak lesi - gangguan sensorik

5. DIABETES MELITUS a. Definisi Diabetes militus adalah gangguan metabolism yang secara genetic dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes militus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vascular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah betahu-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari

12

penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolic diabetes. b. Etiologi Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes militus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufiensi insulin, tetapi determinan genetic biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes. Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetic dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Manifestasi klinis diabetes militus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada diabetes militus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolic yang berkaitan dengan defisiensi insulin. Bukti untuk determinan genetic diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe histokompatibilitas spesifik. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting dalam pathogenesis perusakan sel-sel pulau langerhans. Obat-obat teretntu yang diketahui dapat memicu penyakit autoimun lain juga dapat memulai proses autoimun pada pasien-pasien diabetes tipe 1. Penapisan imunologik dan pemeriksaan sekresi insulin pada orang-orang dengan resiko tinggi terhadap diabetes tipe 1 akan member jalan untuk pengobatan imunosupresif dini yang dapat menunda awitan manifestasi klinis defisiensi insulin. Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada sudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan system transport glukosa. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatanya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan tolerasi glukosa. 13

c. Klasifikasi diabetes melitus Tiga klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa: 1. Diabetes melitus tipe 1 dan 2 2. Diabetes gestasional (diabetes kehamilan) 3. Tipe khusus lain

Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenileonset dan tipe dependen insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul padas embarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam subtype: 1. 2. Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dengan tidak diketahui sumbernnya.

Diabetes tipe 2 dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe nondependent insulin. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormone yang mempunyai efek metabolic terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik. Tipe khusus lain adalah kelainan genetic dalam sel beta. Diabetes subtype ini memiliki prevelensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. d. Manifestasi klinis Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolic defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan dieresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar timbul (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. 6. HIPERTENSI a. Hipertensi pada lanjut usia 14

Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular. TDS (tekanan darah sistolik) meningkat sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah diastolic) meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terjadinya proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Sekitar 60 tahun dua pertiga pasien dengan hipertensi mempunyai hipertensi sistolik terisolasi (HST), sedangkan di atas 75 tahun tiga perempat dari sleuruh pasien mempunyai hipertensi sistolik. b. Pengukuran tekanan darah Dalam rekomendasi pengukuran TD dari Canadian Hypertension Education Program (CHEP,2009) dilakukan pengukuran minimal 3 kali pada posisi duduk dengan jarak pemeriksaan minimal 1 menit. Pengukuran pertama diabaikan, kemudian diambil nilai ratarata dari dua pengukuran selanjutnya. TD saat berdiri juga harus diukur setelah pasien berdiri 2 menit, demikian pula bila pasien memiliki keluhan hipertensi ortostatik.

Pengukuran TD sebaiknya dilakukan pada kedua lengan pada minimal 1x kunjungan. Bila salah satu lengan secara konsisten menunjukkan TD yang lebih tinggi, maka lengan tersebut sebaiknya digunakan sebagai patokan untuk pengukuran maupun interpretasi TD. Pada usia lanjut terdapat berbagai keadaan yang seing menjadi masalah dalam penentuan tekanan darah. TD yang akurat yang dianggap mewakili nilai sebenarnya amat dipengaruhi oleh keadaan pembuluh darah pasien yang sudah mengalami kekakuan akibat arterosklerosis dan barorefleks yang berkurang. TD dapat menurun secara berlebihan pada posisi berdiri, sesudah makan atau terdapat pseudohipertensi akibat manset pengukuran TD harus menekan lebih keras arteri brachialis dipertimbangkan apabila terdapat hipotensi ortostatik atau respon pengobatan yang kurang. Oleh karena pada usia lanjut pengukuran tekanan darah sebaikknya dilakukan pada posisi berdiri. c. Definisi hipertensi pada lanjut usia Definisi hipertensi sama untuk semua golongan umur. Pengobatan juga didasarkan bukan atas umur akan tetapi pada tingkat tekanan darah dan adanya resiko kardiovaskuler yang ada pada pasien. d. Hipertensi sistolik terisolasi 15

Hipertensi sistolik terisolasi sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg dengan tekanan darah diastolic < 90 mmHg. Keadaan ini diakibatkan oleh kehilangan elastisitas arteri karena proses menua. Kekaukan aorta akan meningkatkan TDS dan penggurangan volume aorta, yang pada akhirnya menurunkan TDD. Semakin besar perbedaan TDS dan TDD atau tekanan nadi (pulse pressure), semakin risiko komplikasikardiovaskuler. Tekanan nadi yang meningkat pada usia lanjut dengan hipertensi sistolik terisolasi (HST) berkaitan dengan besarnya kerusakan yang terjadi pada organ target : jantung,otak dan ginjal. Pada usia lanjut TDS lebih berkaitan dengan prognosis komplikasi KV dibandingkan TDD. e. Pengaruh hipertensi terhadap morniditas selain kardiovaskular Pada usia lanjut, hasil pengobatan tidak hanya diukur oleh keberhasilan penurunan tekanan darah pada morbiditas dan mortalitas, kardiovaskular, tetapi juga oleh barbagai hal, termasuk efek terhadap diabetes, pencegahan demensia atau penurunan kognitif, dan pengaruhnya kepada indeks massa tubuh atau obesitas. f. Diabetes Militus Pasien DM mempunyai resiko kardiovaskular yang lebiih besar dibandingkan yang tanpa DM. dari hasil penelitian SHEP yang dilaporkan pertama kali tahun 1996, dan systeur tahun 1999 pada pasien usia lanjut dengan DM, didapatkan bahwa pengobatan diuretic atau antagonis kalsium mempunyai efek penurunan tekanan darah yang sama, dibandingkan dengan non DM, pasien dengan DM mempunyai penurunan morbiditas atau mortalitas yang lebih besar. g. Indeks Massa Tubuh Pada penelitian SHEP yang menggunakan diuretic, mengghasilkan parameter, survival dan kejadian klinik, lebih pada yang termasuk obes, dibandingkan yang mempunyai IMT normal. sudah lama diketahui bahwa pasien hipertensi yang gemuk mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan pada pasien yang kurus. Salah satu penjelasanya adalah bahwa pada hipertensi gemuk peningkatan tekanan darah terutama diakibatkan oleh peningkatan volume plasma sedangkan pada yang hipertensi yang tidak gemuk diakibatkan peningkatan system simpatis dan system rennin angiotensin. h. Fungsi Kognitif Dan Demensia 16

Keadaan penurunan fungsi kognitif dan demensia pada usia lanjut, lebih sering didapat pada hipertensi kronik. Keadaan ini terjadi karena penyempitan dan sklerosis arteri kecil didaerah subkortikal, yang mengakibatkan hipoperfusi, kehilangan autoregulasi, penurunan sawar otak, dan pada akhirnya akan terjadi proses demyelenisasi White matter subkortilkal, mikroinfrak dan penurunan kognitif. Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal yang baru, akan tetapi masih dapat melakukan aktivitas dasar sehari-hari. Hipertensi dan hiperkolesterolemia merupakan factor resiko utama. i. Hipotensi Ortostatik Hipertensi ortostatik ditemukan pada usia lanjut yang mendapat pengobatan obat hipertensi, terutama apabila mendapat pengobatan obat hipertensi, terutama apabila ia pasien DM. dikatakan hipotensi ortostatik apabila perbedaan TD pada posisi berbaring dengan posisi berdiri > 20 mmHg sistolik atau >mmHg diastolic. Hipotensi ortostatik juga sering mengalami komplikasi seperti jatuh, fraktur sehingga meningkatkan morbiditas dan mortilitas. Penyebab hipotensi ortostatik cukup banyak antara lain kurangnya cairan tubuh, disfungsi barorefleks, insufisiensi saraf otonom, obat antihipertensi tertentu seperti penghambat reseptor alfa atau penghambat beta. Penggunaan diuretic dan obat golongan nitrat memacu terjadinya hipotensi ortostatik. Gejala hipotensi ortostatik seperti rasa tidak stabil, riwayat terjatuh, rasa oleng atau pernah pingsan, harus dipastikan dengan pengukuran tekanan darah pada posisi berbaring, duduk dan berdiri atau tegak. Diperlukan penyesuaian obat dosis Gr keluhan dapat berkurang atau tidak terjadi.

7. RHEMATOID ARHTRITIS a. Pengertian

17

i. Penyakit reumatik adalah penyakit inflamasi non-bakterial yang bersifat sistemik, progesif, cenderung kronik, dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris. (Rasjad Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, hal. 165) ii. Reumatoid arthritis adalah gangguan autoimun kronik yang menyebabkan proses inflamasi pada sendi (Lemone & Burke, 2001 : 1248). iii. Reumatik dapat terjadi pada semua jenjang umur dari kanak-kanak sampai usia lanjut. Namun resiko akan meningkat dengan meningkatnya umur (Felson dalam Budi Darmojo, 1999). iv. Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarakteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut.(Susan Martin Tucker.1998) v. Artritis Reumatoid (AR) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan. (Diane C. Baughman. 2000) vi. Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. (Arif Mansjour. 2001)

b. Etiologi 1. 2. Unknown Faktor genetik

Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti

methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka 18

kesesuaian sebesar 80%. Biasanya merupakan kombinasi dari faktor genetic (seperti HLADw4 dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia, namun pada orang amerika, afrika, jepang, dan indian chippewa hanya ditemukan kaitan dengan HLA-Dw4), lingkungan, hormonal, dan faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma, dan virus (Lemone & Burke, 2001). 3. Hormon sex Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gajala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena: a) Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. b) Adanya perubahan profil hormon. Placental corticotropin-releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun seluler dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun seluler (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat. 4. Faktor infeksi Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T, sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.

Tabel. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab Artritis Reumatoid Agen infeksi Mekanisme Patogenik

19

Mycoplasma Parvovirus B19 Retrovirus Enteric bacteria Mycobacteria Epstein-Barr virus Bacterial cell walls

Infeksi sinovial langsung, superantigen Infeksi sinovial langsung Infeksi sinovial langsung Kemiripan molekul Kemiripan molekul Kemiripan molekul Aktifasi makrofag

5. Protein heat shock (HSP) HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry). Penyebab utama kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori yang dikemukakan mengenai penyebab artritis reumatoid, yaitu : a) Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus b) Endokrin c) Autoimun d) Metabolik e) Faktor genetik serta faktor pemicu lainnya. Pada saat ini, artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme mikoplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita.

c. Manifestasi Klinis Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi:

20

1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun, dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya. 2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang. 3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekauan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam. 4. Artritis erosif: merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang. 5. Deformitas: kerusakan struktur penunajng sendi meningkat dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere, dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi. 6. Nodul-nodul reumatoid: adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat. 7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi, jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Gambaran Ekstra-artikular 1. Demam, penurunan berat badan, keletihan, anemia 2. Fenomena Raynaud. 3. Nodulus rheumatoid, tidak nyeri tekan dan dapat bergerak bebas, di temukan pada jaringan subkutan di atas tonjolan tulang.

Manifestasi Ekstra-artikular Artritis Reumatoid Kulit: nodul subkutan, vaskulitis (menyebabkan bercak-bercak coklat), lesi-lesi ekimotik

21

Jantung: perikarditis, tamponade perikardium (jarang), lesi peradangan pada miokardium dan katup jantung Paru-paru: pleuritis denga atau tanpa efusi, lesi peradangan paru-paru Mata: skleritis Sistem saraf: neuropati perifer, sindrom kompresi perifer (termasuk sindrom carpal tunnel, neuropati saraf ulnaris, paralisis peronealis, dan abnormalitas vertebra servikal) Sistemik: anemia (sering), osteoporosis generalisata, sindrom Felty, sindrom Sjogren (keratokonjungtivitis sika), amiloidosis (jarang) d. Patofisiologi Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi protease, kolagenase, dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon, dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama-sama dengan radikal oksigen dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari respons autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal. Destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut. Pada reumatoid arthritis, reaksi autoimun terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukkan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.

8. DEPRESI Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering pada pasien berusia di atas 60 tahun dan merupakan contoh penyakit yang paling umum dengan tampilan gejala yang tidak spesifik/tidak khas pada populasi geriatric.

22

Faktor Penyebab Terdapat beberapa factor biologis, fisis,psikologis, dan social yang membuat seorang berusia lanjut rentan terhadap depresi. Perubahan pada system saraf pusat seperti meningkatnya aktivitas monomain oksidase dan berkurangnya konsentrasi neurotransmitter (terutama neurotransmitter katekolaminergik) dapat berperan dalam terjadinya depresi pada usia lanjut. Factor faktor predisposisi psikososial juga berperan sebagai factor predisposisi depresi. Orang tua sering kali mengalami periode kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Factor kehilangan fisik juga meningkatkan kerentanan terhadap depresi dengan berkurangnya kemauan merawat diri serta hilangnya kemandirian, berkurangnya kapasitas sensoris (terutama penglihatan,pendengaran), berkurangnyya kemampuan daya ingat dan fungsi intelektual sering dikaitkan dengan depresi. Tanda Dan Gejala Menurut ICD-10 gejala-gejal depresi terdiri dari : Gejala utama : 1. Perasaan depresif 2. Hilangnya minat dan semangat 3. Mudah lelah dan tenaga hilang Gejala lain adalah :

1. Konsentrasi menurun 2. Harga diri rendah 3. Pesimis terhadap masa depan 4. Gagasan membahayakan diri (self harm) atau bunuh diri 5. Gangguan tidur 6. Gangguan nafsu makan 7. Menurunnya libido

23

Tabel Penggolongan Depresi Menurut ICD-10 Tingkat Depresi Ringan Sedang Berat Gejala Utama 2 2 3 Gejala Lain 2 3-4 4 Fungsi Baik Ternganggu Sangat ternganggu Nampak distress Sangat distress Keterangan

Berdasarkan gejala diatas, pasien yang didiagnosis depresi dapat digolongkan dalam depresi ringan, sedang. Dan berat, sebagai berikut. Ciri khas depresi pada usia lanjut antara lain : 1. Terdapat fluktuasi yang jelas dari gejala 2. Gejala depresi mungkin tertutup keluhan somatic 3. Adanya depresi yang bersamaan dengan demensia 4. Terdapat hubungan yang erat antara pennyakit fisis dan depresi Pasien depresi dapat mengalami imobilisasi lebih lama dan secara bermakna mengalami perburukan status fungsional lebih besar dibandingkan dengan penderita penyakit kronis. Prognosis Komplikasi yang dapat terjadi adalah malnutrisi dan pneumonia (akibat imobilitas atau berbaring terus menerus) serta akibat sampingan dari pemberian obat anti depresi. Pasien yang depresi mempunyai risiko lebih tinggi untuk bunuh diri dari populasi lain. Sepertiga pasien usia lanjut melaporkan kesepian sebagai alasan utama untuk bunuh diri, sepuluh persen karena masalah keuangan. Kira-kira 60% yang melakukan bunuh diri adalah laki-laki, dan 75% yang mencoba bunuh diri adalah perempuan. HIPERTENSI PADA USIA LANJUT Definisi Definisi hipertensi sama untuk semua golongan umur. Pengobatan juga didasarkan bukan atas umur akan tetapi pada tingkat tekanan darah dan adanya resiko kardiovaskuler yang ada pada pasien.

24

Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) Hipertensi sistolik terisolasi sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg dengan tekanan darah diastolic < 90 mmHg. Keadaan ini diakibatkan oleh kehilangan elastisitas arteri karena proses menua. Kekaukan aorta akan meningkatkan TDS dan penggurangan volume aorta, yang pada akhirnya menurunkan TDD. Semakin besar perbedaan TDS dan TDD atau tekanan nadi (pulse pressure), semakin risiko komplikasikardiovaskuler. Tekanan nadi yang meningkat pada usia lanjut dengan hipertensi sistolik terisolasi (HST) berkaitan dengan besarnya kerusakan yang terjadi pada organ target : jantung,otak dan ginjal. Pada usia lanjut TDS lebih berkaitan dengan prognosis komplikasi KV dibandingkan TDD. Pengaruh hipertensi terhadap morbiditas selain kardiovaskuler Pada usia lanjut, hasil pengobatan tidak hanya diukur oleh keberhasilan penurunan tekanan darah pada morbiditas dan mortalitas, kardiovaskular, tetapi juga oleh barbagai hal, termasuk efek terhadap diabetes, pencegahan demensia atau penurunan kognitif, dan pengaruhnya kepada indeks massa tubuh atau obesitas. Diabetes Militus Pasien DM mempunyai resiko kardiovaskular yang lebiih besar dibandingkan yang tanpa DM. dari hasil penelitian SHEP yang dilaporkan pertama kali tahun 1996, dan systeur tahun 1999 pada pasien usia lanjut dengan DM, didapatkan bahwa pengobatan diuretic atau antagonis kalsium mempunyai efek penurunan tekanan darah yang sama, dibandingkan dengan non DM, pasien dengan DM mempunyai penurunan morbiditas atau mortalitas yang lebih besar. Indeks Massa Tubuh Pada penelitian SHEP yang menggunakan diuretic, mengghasilkan parameter, survival dan kejadian klinik, lebih pada yang termasuk obes, dibandingkan yang mempunyai IMT normal. sudah lama diketahui bahwa pasien hipertensi yang gemuk mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan pada pasien yang kurus. Salah satu penjelasanya adalah bahwa pada hipertensi gemuk peningkatan tekanan darah terutama diakibatkan oleh peningkatan volume plasma sedangkan pada yang hipertensi yang tidak gemuk diakibatkan peningkatan system simpatis dan system rennin angiotensin. Fungsi Kognitif Dan Demensia

25

Keadaan penurunan fungsi kognitif dan demensia pada usia lanjut, lebih sering didapat pada hipertensi kronik. Keadaan ini terjadi karena penyempitan dan sklerosis arteri kecil didaerah subkortikal, yang mengakibatkan hipoperfusi, kehilangan autoregulasi, penurunan sawar otak, dan pada akhirnya akan terjadi proses demyelenisasi White matter subkortilkal, mikroinfrak dan penurunan kognitif. Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal yang baru, akan tetapi masih dapat melakukan aktivitas dasar sehari-hari. Hipertensi dan hiperkolesterolemia merupakan factor resiko utama. Hipotensi Ortostatik Hipertensi ortostatik ditemukan pada usia lanjut yang mendapat pengobatan obat hipertensi, terutama apabila mendapat pengobatan obat hipertensi, terutama apabila ia pasien DM. dikatakan hipotensi ortostatik apabila perbedaan TD pada posisi berbaring dengan posisi berdiri > 20 mmHg sistolik atau >mmHg diastolic. Hipotensi ortostatik juga sering mengalami komplikasi seperti jatuh, fraktur sehingga meningkatkan morbiditas dan mortilitas. Penyebab hipotensi ortostatik cukup banyak antara lain kurangnya cairan tubuh, disfungsi barorefleks, insufisiensi saraf otonom, obat antihipertensi tertentu seperti penghambat reseptor alfa atau penghambat beta. Penggunaan diuretic dan obat golongan nitrat memacu terjadinya hipotensi ortostatik. Gejala hipotensi ortostatik seperti rasa tidak stabil, riwayat terjatuh, rasa oleng atau pernah pingsan, harus dipastikan dengan pengukuran tekanan darah pada posisi berbaring, duduk dan berdiri atau tegak. Diperlukan penyesuaian obat dosis Gr keluhan dapat berkurang atau tidak terjadi.

26

B. MASALAH-MASALAH YANG TERJADI PADA LANSIA Imobilisasi Pada Lansia Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang geriatric yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomis menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Di dalam praktik medic istilah imobilisasi digunakan untuk menggambarkan sebuah sindrom degenerasi fisiologis yang merupakan akibat menurunnya aktivitas atau deconditioning. Terdapat beberapa factor resiko utama imobilisasi seperti kontraktur, demensia berat, osteoporosis, ulkus, gangguan penglihatan, dan fraktur. a. Penyebab imobilisasi Berbagai factor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,

ketidakseimbangan dan masalah psikologis. Rasa lemah sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. penyakit Parkinson, arthritis rheumatoid, gout, dan obat-obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri,baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasis,pagets disease, metatase kanker tulang, gout), otot (polimalgia, pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan, factor neurologis, hipotensi ortostatik, atau obat-obatan. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi tertentu sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi.efek samping beberapa obat dapat menyebabkan gangguan pada imobilisasi, namun biasanya tidak terindentifikasi oleh petugas kesehatan. b. Komplikasi imobilisasi 1. Thrombosis Thrombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vascular perifer yang penebabnya bersifat multifaktorial, meliputi factor genetic dan lingkungan. terdapat tiga factor yang 27

meningkatkan resiko thrombosis vena dalam yaitu adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah. beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala thrombosis vena dalam timbul pada kurang dari separuh pasien dengan thrombosis vena dalam. Gejala yang timbul bervariasi, tergantung pada ukuran dan lokasi thrombosis vena dalam, dapat berupa rass panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai; sebagian thrombosis vena dalam timbul hanya pada satu kaki. untuk penampisan adanya thrombosis vena dalam akhir-akhir ini dilakukan dengan pemeriksaan test D-dimer dan pletismografi. sedangkan untuk diagnosis pasti thrombosis vena dalam dapat digunakan pemeriksaan venografi, ultrasonografi,tomografi terkumputerisasi, dan dengan MRI. ii. Emboli Paru Emboli paru dapat diakibatkan oleh banyak factor seperti emboli air ketuban, emboli udara, dan sebagainya. emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu reflex tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tibatiba. emboli paru sebagai akibat thrombosis merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada pasien-pasien dirumah sakit, terutama pada pasien lanjut usia. Suatu penelitian yang dilakukan pada 617 pasien yang mengalami imobilisasi menunjukkan adanya kejadian emboli paru sebesar 27%, dimana sebagian terjadi tidak pernah terdiagnosis sebelum pasien meninggal. gejala emboli paru dapat berupa sesak nafas, nyeri dada, dan peningkatan denyut nadi. iii. Kelemahan otot imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot. penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2 persen sehari. untuk mengetahui penurunan kekuatan otot dapat juga dilihat dari ukuran lingkar otot. kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. terdapat beberapa factor lain yang menyebabkan atrofi otot yaitu perubahan biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut kronik, serta maltrunisi. Perubahan otot selama imobilisasi lama menyebabkan degenrasi serat otot, peningkatan 28

jaringan menyebabkan degenerasi serat otot, eningkatan jaringan lemak, serta fibrosis. Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan otot. iv. Kontraktur otot dan sendi kontraktur dapat terjadi karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi, pada otot, atau pada jaringan penunjang di sekitar sendi. penyebab kontraktur otot lainnya adalah spatisitas dan neuroleptik. factor posisi dan mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur atrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka sendi degenerative, infeksi, dan trauma. kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar akan mengerut. metode yang digunakan untuk mencegah kontraktur adalah mobilisasi sendi didni dengan penatalaksanaan nyeri yang sesuai serta positioning yang optimal dari ekstremitas yang terlibat. v. Osteoporosis Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. imobilisasi ternyata meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium serum. menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif (1,25-(OH)2D). factor utama yang menyebabkan kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. Massa tulang menurun tetapi komponen rasio antara matriks inorganic dan organic tidak berubah. vi. Ulkus dekubitus pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak adanya gerakan pasif maupun aktif. tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sacral ketika dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada derah kulit yang tertekan dan menghasilkn anoksia jaringan dan nekrosis. jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada lanjut usia berkisar antara 25 mmHg. Terkanan lebih dari 25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu yang lama akan menyebabkan kompresi pembuluh darah. Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Faktor resiko timbilnya ulkus dekubitus adalah semua jenis penyakit dan kondisi yang menyebabkan seseorang terbatas aktivitasnya. factor resiko yang sering pada usia lanjut adalah demam, kondisi koma, penyakit serebrovaskuler, infeksi, anemia, malnutrisi, kaheksia, hipotensi, syok, dehidrasi, penyakit 29

neurologis dengan paralisis, limfosit, imobilisasi, penurunan berat badan, kulit kering, dan eritema. vii. Hipotensi postural komplikasi yang sering timbul akibat imobilisasi lama pada pasien usia lanjut adalah penuruna efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskular postural, dan penyakit tromboemboli. hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari posisi baring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi enyebabkan vasokontriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun. pada usia lanjut umunya fungsi baroreseptor menurun. tirah baring total selama paling sedidikit 3 minggu akan menggangu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada usia lanjut. Tirah baring lama akan membalikkan respons kardiovaskular normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan penurunan volume sekuncup jantung dan curah jantung. gejala dan tanda hipotensi postural adalah penuruna tekanan darah sistolik dari tidur ke duduk lebih dari 20 mmHg, berkeringat, pucat, kebingungan, peningkatan denyut jantung, letih, dan pada keadaan berat dapat menyebabkan jatuh yang pada akhirnya akan mengakibatkan fraktur, hematoma jaringan lunak dan perdarahan otak. viii. Pneumonia dan infeksi saluran kemih Imobilisasi juga dikaitkan dengan terjadinya pneumonia dan infeksi saluran kemih. akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatric. liran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih lebih mudah terjadi. inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi, yang umunya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih. retensi urin ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan bila dibarengi dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan terjadinya pembentukan batu ginjal kalsium. bila hal ini dibiarkan, maka akan menurunkan fungsi saluran kemih bawah dan timbulnya hidronefrosis.

30

ix. Gangguan nutrisi Selain infeksi, imobilisasi ternyata juga berperan ada terjadinya hipoalbuminemia pada pasien lanjut usia yang menjalani perawatan dirumah sakit. Imobilisasi akan mempengaruhi system metabolic dan endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolism zat gizi. salah satu perubahan yang terjadi adalah pada metabolism protein. kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut dengan imobilisasi dibandingkan dengan udia lanjut tanpa imobilisasi. Keadaan tidak beraktivitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan eksresi nitrogen urin. Peningkatan eksresi nitrogen mencapai puncak dengan rata-rata kehilangan 2 mg/hari sehingga pasien akan mengalami hipiproteinemia, edema, dan penurunan berat badan. Kehilangan nitrogen meningkat sehingga 12 gram pada keadaan imobilisasi dengan malnutrisi, trauma, fraktur pinggul, atau infeksi. Penekanan sekresi hormone antidiuretik selama imobilisasi juga akan memiliki natrium serum dan natrium urin yang lebih rendah dibandingkan pada yang tidak imobilisasi, sehingga imobilisasi lama akan memiliki defisiensi natrium kronik. x.Konstipasi dan sklibala Konstipasi, skibala, dan obstruksi usus merupakan masalah utama pada lanjut usia dengan imobilisasi. Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses tinggal di usus besar, maka absorbs cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat-obatan juga menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi. Masalah Khusus Pada Usia Lanjut Ada berbagai masalah khusus yang sering dijumpai pada usia lanjut seperti dibawah ini: 1. Pasien usia lanjut sering mendapat banyak obat, sehingga kemungkinan interaksi harus selalu dipikirkan. 2. Pendengaran dan penglihatan yang menurun sering mengakibatkan kesulitan dalam memahami intruksi dokter. 3. Adanya demensia atau gangguan fungsi kognitif perlu jadi pertimbangan untuk menentukan pilihan obat.

31

4. Kemasan dan tempat obat yang diberikan apotik. Kesulitan membuka tutup, mengeluarkan obat mengakibatkan kepatuhan minum obat terngaggu. 5. Kebanyakan pasien usia lanjut mempunyai kesulitan keuangan,sehingga dalam pemilihan obat, pemeriksaan penunjang dan lainnya harus dipertimbangkan. 6. Komunikasi dengan pasien. Agar dokter menyediakan lebih banyak waktu untuk mendengarkan keluhan seprti efek obat, segala kesulitan dan menasehatinya.

32

DAFTAR PUSTAKA Sudoyo,W. Aru,dkk. 2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1.Jakarta: Interna Publishing Sudoyo,W. Aru,dkk. 2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2.Jakarta: Interna Publishing Sylvia, Price and Lorraine Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta: EGC

33

You might also like