You are on page 1of 7

Di Indonesia, aborsi masih merupakan suatu hal yang sangat tabu.

Kecuali tentunya dilakukan pada kasus kasus medis yang berat misalkan penyakit jantung berat seperti Eisenmenger's syndrome yang jika kehamilannya dilanjutkan berarti seperti membiarkan si ibu bunuh diri. Membicarakan aborsi diperbolehkan atau tidak pasti sangat mengundang kontroversi yang hebat dari Ahli Medik, Ahli Kependudukan, Ahli Hukum maupun Ahli Agama. Tentunya setiap ahli mempunyai pegangan masing masing dalam mempertahankan pendapatnya. Bahkan antara sesama ahli di bidangnya juga akan memiliki pandangan yang berbeda beda dalam menyikapi aborsi ini. Unsafe Abortion Pengertian Unsafe Abortion Yang dimaksud dengan aborsi tidak aman (Unsafe Abortion) adalah penghentian kehamilan yang dilakukan oleh orang yang tidak terlatih/kompeten dan menggunakan sarana yang tidak memadai, sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian. Aborsi Ilegal Aborsi tidak aman tidak selalu sama dengan aborsi ilegal. Aborsi ilegal adalah aborsi yang dilakukan bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Aborsi ilegal bisa saja dilakukan oleh tenaga dokter dan tenaga terlatih lainnya serta dilakukan di tempat yang memenuhi persyaratan kesehatan. Tindakan tersebut dari segi medis adalah aman dan berisiko rendah, tetapi tindakan ini bertentangan dengan hukum yang berlaku. Biasanya dari segi biaya adalah mahal karena ada unsur komersial atau mencari keuntungan. Penyebab Unsafe Abortion Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis, seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi dan lain-lain. Ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya . Fakta Unsafe Abortion Meski pengguguran kandungan (aborsi) dilarang oleh hukum, tetapi kenyataannya terdapat 2,3 juta perempuan melakukan aborsi (Kompas, 3 Maret 2000). Masalahnya tiap perempuan mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan aborsi dan hukumpun terlihat tidak akomodatif terhadap alasanalasan tersebut, misalnya dalam masalah kehamilan paksa akibat perkosaan atau bentuk kekerasan lain termasuk kegagalan KB. Larangan aborsi berakibat pada banyaknya terjadi aborsi tidak aman

(unsafe abortion), yang mengakibatkan kematian. Data WHO menyebutkan, 15-50% kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia. Artinya 1 dari 8 ibu meninggal akibat aborsi yang tidak aman. Metode Unsafe Abortion Metode aborsi yang tidak aman yang umumnya digunakan di berbagai negara bervariasi, dari metode teknik medis lanjut yang digunakan oleh dokter sampai teknik tradisional berbahaya yang digunakan oleh dukun, teman, atau tetangga yang menolong atau oleh wanita hamil itu sendiri.

Untuk para pelaku abortus yang tidak profesional, upaya yang dilakukan antara lain adalah memasukkan cairan ke dalam uterus. Cairan yang digunakan bervariasi, mulai dari air sabun sampai disinfektan rumah tangga yang dimasukkan melalui semprotan ataupun alat suntik. Di beberapa negara juga menggunakan pasta yang bersifat abortif yang mengandung zat iritatif. Sediaan jamu dan obat-obatan per oral juga sering digunakan. Berbagai jamu dan obat yang diduga bersifat abortif dapat ditemukan di pasaran bebas di negara-negara berkembang. Di Bangladesh, obat-obat tersebut kemungkinan mengandung kina, permanganat, ergot, dan air raksa. Di Malaysia, ditemukan pil timah oksida dan minyak zaitun (Erica, 1994). Metode lain yang relatif lebih berbahaya adalah memasukkan alat atau benda asing ke dalam rongga rahim. Di India digunakan pucuk wortel yang telah dikeringkan; di Philipin alat tesebut adalah pisang atau daun tumbuh-tumbuhan lokal kalachulchi. Di Ghana, digunakan ranting pohon comelina yang jika dimasukkan ke dalam rahim akan menyerap air dan mengembang membuka leher rahim serta menyebabkan abortus. Jenis lain adalah tanaman Jatropha yang mengandung bahan kimia korosif yang dapat menyebabkan abortus. Di Amerika latin, upaya abortus dilakukan dengan memasukkan ujung kateter yang lentur ke dalam rongga rahim. Ujung yang lain diikatkan di pangkal paha. Wanita tersebut kemudian disuruh berjalan sehingga ujung kateter yang berada di dalam rongga rahim bergoyang-goyang menggangu isi rahim dan merangsang abortus. Ada pula yang menggnakan cairan kina yang toksik pada bayi dan si ibu. Ada juga para wanita yang melakukan sendiri dengan memasukkan plastik berongga ke dalam rongga rahim, kemudian memasukkan alat atau kawat melalui plastik tersebut untuk mengorek rongga rahim.

Komplikasi Unsafe Abortion Komplikasi yang sering terjadi akibat tindakan-tindakan yang tidak aman terhadap kehamilan yang tidak diinginkan misalnya dengan melakukan abortus provokatus oleh dukun, dengan meminum jamu-jamuan, ramuan. Pengakhiran kehamilan yang tidak aman menurut WHO yaitu pengakhiran kehamilan yang tidak dikehendaki dengan cara yang mempunyai resiko tinggi terhadap keselamatan jiwa perempuan tersebut sebab dilakukan oleh individu yang tidak mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang sangat diperlukan, serta memakai peralatan yang tidak memenuhi persyaratan minimal bagi suatu tindakan medis tersebut. Akibat dari tindakan yang tidak aman tersebut akan memberikan resiko infeksi, perdarahan, sisa hasil konsepsi yang tertinggal di dalam rahim dan perforasi yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian apabila tidak mendapatkan pertolongan yang segera.

Di dunia setiap tahunnya diperkirakan 600.000 perempuan meninggal dunia karena sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Sekitar 13% (78.000) dari kematian ibu karena tindakan aborsi yang tidak aman (The Alan Guttmacher Institute 1999). Aborsi tidak aman merupakan urutan ketiga penyebab kematian ibu di dunia (WHO 2000). Tidak pernah tersedia data yang pasti mengenai jumlah aborsi di Indonesia disebabkan tidak adanya ketetapan hukum, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan data mengenai tindakan aborsi terutama yang diselenggarakan secara tidak aman. Akibatnya, aborsi tidak aman tidak pernah tercatat sebagai penyebab resmi kematian ibu, karena terselubung dalam perdarahan dan infeksi, dua kategori penyebab yang menyebabkan lebih dari separuh (55%) kematian ibu . Analisis lebih jauh data SKRT 1995 menyebutkan aborsi berkontribusi terhadap 11,1% dari kematian ibu di Indonesia, atau satu dari sembilan kematian ibu. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar lagi, seperti dikemukakan oleh Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang secara informal memperkirakan kontribusi aborsi terhadap kematian ibu di Indonesia sebesar 50%. Padahal pemerintah Indonesia termasuk salah satu dari sejumlah negara yang menyatakan komitmen terhadap Program Aksi Konferensi Kependudukan (ICPD) di Kairo tahun 1994 untuk menurunkan risiko kematian ibu karena proses reproduksi (kehamilan, persalinan dan pasca persalinan). Lima tahun setelah ICPD Kairo 1994, ternyata Indonesia tidak memperlihatkan hasil yang bermakna atau tidak bisa bergeming dari posisi sebagai negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara. Perbandingan dengan negara-negara tetangga seAsia Tenggara menunjukkan bahwa AKI 373 per 100,000 kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada Singapura (AKI 10), hampir 5 kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI 160), Thailand (AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup). Apalagi kalau digunakan data perkiraan AKI yang dipakai UNICEF untuk Indonesia, yaitu 650 per 100,000 kelahiran hidup (Population Action International, The Reproductive Risk Index, 2001). Tingginya AKI mengindikasikan masih rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk dan secara tidak langsung mencerminkan kegagalan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi risiko kematian ibu. Peningkatan kualitas perempuan merupakan salah satu syarat pembangunan sumber daya manusia. Strategi untuk menurunkan risiko kematian karena aborsi tidak aman adalah dengan menurunkan demand perempuan terhadap aborsi tidak aman. Ini dapat dimungkinkan bila pemerintah mampu menyediakan fasilitas keluarga berencana yang berkualitas dilengkapi dengan konseling. Konseling keluarga berencana dimaksudkan untuk membimbing klien melalui komunikasi dan pemberian informasi yang obyektif untuk membuat keputusan tentang penggunaan salah satu metode kontrasepsi yang memadukan aspek kesehatan dan keinginan klien, tanpa menghakimi. Bagi remaja yang belum menikah, perlu dibekali dengan pendidikan seks sedini mungkin sejak mereka mulai bertanya mengenai seks. Namun, perlu disadari bahwa risiko terjadinya kehamilan selalu ada, sekalipun pasangan

menggunakan kontrasepsi. Bila akses terhadap pelayanan aborsi yang aman tetap tidak tersedia, maka akan selalu ada demand perempuan terhadap aborsi tidak aman. Kegagalan akibat tindakan yang tidak aman ini dapat terjadi juga dengan adanya kerusakan sel maupun jaringan pada hasil konsepsi yang akhirnya dapat menyebabkan kecacatan pada janin tersebut dan mungkin suatu kematian janin. Tindakan yang tidak aman ini adalah melawan hukum yang ada sehingga apabila dilakukan akan mendapatkan sanksi hukum. Menurut KUHP orang yang dapat dihukum adalah orang yang menggugurkan kandungan seorang wanita, juga wanita yang digugurkan kandungannya. Sedangkan dalam praktek yang tidak dihukum adalah dokter yang melakukan aborsi dengan indikasi medis, yaitu dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa atau menjaga kesehatan wanita yang bersangkutan. Persoalannya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita yang merupakan peninggalan masa kolonialisasi Belanda melarang keras dilakukannya aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283, 299 serta pasal 346 349. Bahkan pasal 299 intinya mengancam hukuman pidana penjara maksimal empat tahun kepada siapa saja yang memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan. Padahal, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan tersebut dengan tujuan untuk melindungi perempuan dari kematian karena aborsi yang tidak aman karena saat itu ilmu kedokteran belum berkembang pesat dan kebanyakan perempuan meminta pelayanan kepada tenaga tradisional. Ditambah lagi dengan sumpah dokter Indonesia yang masih mengikuti sumpah Hiprokrates akan menghormati makhluk hidup insani sejak pembuahan dimulai. Kondisi ini ternyata tidak mampu mencegah perempuan untuk mencari pelayanan penghentian kehamilan. Terlihat dari banyaknya permintaan tindakan ini dilakukan. Status ilegal aborsi ini justru menyebabkan banyak perempuan yang tidak mendapatkan akses pelayanan aborsi yang aman. Karena hingga pada saat ini undang-undang yang ada di indonesia secara mutlak melarang adanya aborsi, maka perlu dipertegas dan diperjelas tentang definisi aborsi, bahwa aborsi juga dapat dilakukan dalam keadaan darurat, dan harus diperjelas jenis kedaruratan tersebut. Dengan adanya pengertian aborsi yang lebih jelas bukan hanya menolong dokter yang membantu aborsi, namun juga mempermudah bagi pihak kepolisian dalam melakukan penanganan penyidikan untuk perkara aborsi, sehingga aparat dapat bertindak dengan benar.

Safe Abortion

Di beberapa tempat di Indonesia ada lembaga yang berusaha memerangi kejadian unsafe abortion tersebut dengan melaksanakan program Safe Abortion. Program ini biasanya bekerja sama dengan badan kesehatan dunia melalui Global Comprehensive Abortion Care (GCAC) Project-nya telah melaksanakan apa yang mereka sebut Safe Abortion, dalam upaya menurunkan angka Unsafe Abortion yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu di negara ini.

Aborsi yang aman adalah aborsi yang memenuhi kriteria kriteria sebagai berikut :

Dilakukan oleh dokter terlatih / mempunyai kompetensi Dilaksanakan di RS / klinik yang ditunjuk Tidak komersial Mengikuti prosedur baku Tidak melebihi usia kehamilan 12 minggu

Agar supaya aborsi aman dapat dilaksanakan dan aman untuk provider, klien maupun lembaga, maka :

Klien harus menyetujui tindakan aborsi yang akan dilakukan oleh provider (perlu informed consent) Tindakan yang akan dilakukan provider harus sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang sudah ditetapkan oleh lembaga. Hal ini pentinguntukmengingatkan provider agar supaya provider dalam melakukan tindakan aborsi tersebut, selalu hati-hati dan mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan, sehingga kemungkinan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, (sesuatu hal yang terjadi tersebut), bukan merupakan mal praktek (mal praktek adalah pelayanan yang tidak sesuai standar) Lakukan hal pelayanan yang baik atau memuaskn kepada klien, karena dengan adanya pelayanan yang baik, klien merasa aman dan tidak dirugikan. Tarif yang mudah dijangkau oleh segala kalangan, menunjukan bahwa pelayanan yang dilakukan tidak terkesan mencari untung. Aborsi yang aman dilakukan di rumah Sakit atau klinik yang ditunjuk. Mempunyai keuntungan yaitu aborsi dapat dilakukan secara lebih aman karena rumah sakit dan klinik yang ditunjuk akan dimonitor keamanan dan kualitasnya.

Peluang Aborsi di Indonesia Didalam undang-undang kesehatan no 36 tahun 2009 pada pasal 75 77 memberikan harapan baru untuk legalisasi aborsi dengan syarat syarat tertentu jadi sangat menberikan peluang untuk aborsi legal. Yaitu aborsi dapat dilakukan dengan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Bahkan telah diatur syarat aborsi legal yaitu sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri mengacu pada dua hukum di atas, jelas dapat disimpulkan bahwa peraturan di Indonesia sedah memberikan celah untuk pelayanan aborsi bisa dilakukan, tetapi masih terdapat banyak kerancuan akan pelaksanaan pelayanan ini terkait masalah hukum. Silahkan baca sendiri UU Kesehatan no 36 tahun 2009 pada pasal 75 77 seperti dibawah ini :

Penanganan Kehamilan Tak Diinginkan oleh salah satu lembaga pemerintah Penanganan Kasus Kehamilan Tak Diinginkan diutamakan dengan :

Konseling remaja tersebut dan keluarga agar diusahakan untuk dinikahkan, untuk mengurangi beban psikologis Meneruskan kehamilan yang tidak diinginkan sampai dengan aterm dan sampai terjadi persalinan. Setelah bayi tersebut lahir maka anak tersebut dapat diasuh sendiri (single parent) apabila hanya mempunyai orang tua tunggal, misalnya tidak diketahui ayah dari anak yang tidak diinginkan tersebut. Atau apabila tidak bisa maupun tidak sanggup untuk mengasuh dan merawat, maka anak dapat diasuh oleh keluarga lain, dapat dititipkan di panti asuhan, diadopsi oleh keluarga lain. Bagi pasangan suami istri yang karena gagal KB maka dilakukan konseling untuk tetap meneruskan kehamilan dengan memperhatikan segi sosial ekonomi yang melatarbelakanginya. Untuk kehamilan yang tidak diinginkan yang tidak menghendaki untuk melanjutkan kehamilannya dapat melakukan induksi haid secara aman (istilah halus dari Safe Abortion).

Nah bagi yang tetap ngotot untuk tidak melanjutkan kehamilannya dapat dilayani disana dengan syarat dan indikasi sebagai berikut : Indikasi pemulihan haid / safe abortion :

Kegagalan KB Kehamilan Risiko Tinggi: umur Penyakit yang bisa mengancam jiwa: internis, riwayat obstetri jelek Perkosaan Incest

Syarat pemulihan haid / safe abortion :


Pasangan suami istri sah Pasangan hadir pada konseling Usia kehamilan < 8 minggu Kontap pasca pelayanan Inform Consent

Nah apakah dengan program pemulihan haid yang aman ini dapat menurunkan angka kematian ibu? Masih butuh waktu untuk pembuktiannya. Mengingat bahwa fakta di masyarakat bahwa banyak sekali kejadian kehamilan yang tak diinginkan itu yang terjadi akibat hubungan suka sama suka, pada remaja yang masih sekolah atau kuliah yang berarti tidak masuk indikasi untuk pemulihan haid tersebut. Dan juga seringkali seorang wanita yang hamil tanpa sengaja, yang entah karena malu atau berusaha menyembunyikan kehamilannya, maka akan datang pada petugas dalam usia kehamilan yang sudah lebih 2 bulan. Ataupun mungkin juga perlu sosialisasi dari program tersebut secara terang terangan, mengingat UU Kesehatan pun telah membuka

kesempatan, sehingga diharapkan setiap wanita yang mengalami kehamilan tak diinginkan agar datang tepat pada waktunya? Sebagai seseorang yang mempunyai riwayat infertilitas 5 tahun, saya tidak akan berusaha menggiring opini ke pro ataupun kontra. Silahkan bersikap sesuai prinsip dan keyakinan masing masing.

You might also like