You are on page 1of 12

STATUS SOSIAL EKONOMI DAN FERTILITAS: A Latent Variable Approach Suandi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Jambi Email : wandy_ipb@yahoo.com ABSTRACT The main problems faced by developing countries including Indonesia are not only economic problems that tend to harm, but still met the high fertility rate. The purpose of writing to find out the relationship between socioeconomic status to the level of fertility through the "A Latent Variable Approach." The study adopts the approach of fertility on economic development. Economic development based on the theories of Malthus: an increase in "income" is slower than the increase in births (fertility) and is the root of people falling into poverty. However, Becker made linkage model or the influence of children income and price. According to Becker, viewed from the aspect of demand that the price of children is greater than the income effect. The study shows that (1) level of education correlates positively on income and negatively affect fertility, (2) age structure of women (control contraceptives) adversely affect fertility. That is, the older the age, the level of individual productivity and lower fertility or declining, and (3) husband's employment status correlated positively to the earnings (income). Through a permanent factor income or household income referred to as a negative influence on fertility. There are differences in value orientation of children between advanced society (rich) with a backward society (the poor). The poor, for example, the value of children is more production of goods. That is, children born more emphasis on aspects of the number or the number of children owned (quantity), number of children born by the poor is expected to help their parents at the age of retirement or no longer productive so that the child is expected to assist them in economic, security, and social security (insurance), while the developed (rich) children are more consumption value or quality of the child. Key words: socioeconomic status, fertility, a latent variable approach, and quality of the child. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk dunia mengalami perubahan yang sangat drastis selama dua dasawarsa terakhir ini. Perubahan itu terjadi sebagai hasil upaya pembangunan setiap negara dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Namun, peningkatan kesejahteraan setiap negara tidak merata antara negara sedang berkembang dengan negara-negara maju. Dengan arti kata, negara sedang berkembang tetap masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju. 1

Masalah utama yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia tidak hanya masalah ekonomi yang terbelenggu dalam tatanan lingkungan ekonomi dunia yang cenderung merugikan. Sebagian besar negara sedang berkembang juga mengalami permasalahan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Secara bersamaan, dalam dua dasawarsa terakhir ini pula telah terjadi perubahan ciri-ciri demografis penduduk dunia, antara lain berupa penambahan jumlah, perubahan struktur dan komposisi penduduk. Pelonjakan jumlah penduduk yang terjadi pada saat ini disebabkan penurunan angka mortalitas lebih awal dan lebih cepat dibanding fertilitas (relatif stabil). Artinya, angka fertilitas tetap mengalami peningkatan walaupun berfluktuasi di beberapa negara berkembang dan sosialis. Kondisi kependudukan yang demikian akan mempengaruhi pengembangan sumber daya manusia terutama dalam mengintrodusir program-program pembangunan melalui pemanfaatan paradigmaparadigma baru untuk memaksimalkan usaha-usaha peningkatan mutu sumber daya manusia. 1.2 Permasalahan Konsepsi tentang fertilitas suatu negara bahkan seorang individu cukup bervariasi. Oleh karena itu, fungsi fertilitas atau disebut sebagai kehadiran seorang anak sangat krusial karena menyangkut opportunity cost (Becker, 1995). Terdapat asumsi bahwa kemajuan industri dan pola kehidupan modern menggoyahkan keluarga luas (extended family) dan nilai-nilai yang mendukung keluarga besar. Kemajuan pendidikan misalnya, apalagi pendidikan wajib belajar, dibarengi dengan pola konsumsi baru membuat biaya memlihara anak semakin tinggi. Sebaliknya, lamanya waktu di sekolah, bantuan mereka terhadap ekonomi rumahtangga semakin sedikit dapat diharapkan. Perubahan status wanita mengakibatkan bertambah banyaknya mereka bekerja di luar rumah, baik untuk maksud tambahan pendapatan maupun carier. Mereka ingin mengembangkan dirinya, ingin mempunyai jumlah anak yang kecil, tidak terus menerus dikungkung oleh urusan dapur dan anak-anak. Kehidupan kota menimbulkan berbagai persoalan baru, di antaranya masalah perumahan dan kebutuhan hidup yang senantiasa meningkat. Keadaan kehidupan seperti ini keluarga kecil lebih menguntungkan (kualitas anak tinggi). Pendidikan dan perbaikan komunikasi terus meningkat sehingga kecerdasan anggota masyarakat dan gaya hidup mengarah kepada sekularisme. Kepercayaan dan tradisi lama yang mendukung keluarga besar menjadi luntur. Namun jalan ke arah penurunan fertilitas tidaklah begitu sederhana karena seperti disebutkan dalam paper ini bahwa fertilitas amat begitu kompleks. Demikian pula, faktor-faktor yang disebutkan di atas tidak dapat begitu saja mempengaruhi fertilitas. Industrialisasi, kemajuan pendidikan dan sekuralisasi pandangan hidup tidak mempengaruhi fertilitas secara langsung. Oleh karena itu, melalui paper ini mencoba memahami atau mengkaji lebih rinci faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat fertilitas, seperti: menghubungkan tingkat fertilitas dengan faktor-faktor sosio-ekonomi dan budaya yang dapat mempengaruhi fertilitas melalui A Latent Variable. 1.3 Tujuan Untuk mengetahui hubungan antara status sosial ekonomi terhadap tingkat fertilitas melalui A Latent Variable Approach. 1.4 Konsepsi Pengukuran Istilah fertilitas adalah sama dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan dengan adanya tanda-tanda kehidupan, misalnya berteriak, menangis, bernafas, jantung berdenyut, dan sebagainya. Dalam ilmu 2

demografi, pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas dan mobilitas karena berkaitan dengan pasangan dan bayi yang akan dilahirkan. Secara makro pengukuran fertilitas menggunakan ukuran kumulatif, yaitu mengukur rata-rata jumlah anak laki-laki dan perempuan yang dilahirkan oleh perempuan pada waktu perempuan itu memasuki usia subur hingga melampaui batas reproduksinya (15-49) tahun atau disitilahkan dengan Tingkat Fertilitas Total (Total Fertility Rate/TFR). Secara operasional, TFR didefinisikan sebagai jumlah kelahiran hidup laki-laki dan perempuan tiap 1.000 perempuan (15-49) tahun yang hidup hingga akhir masa reproduksinya dengan catatan: (1) tidak ada seorang perempuan yang meninggal sebelum mengakhiri masa reproduksinya; dan (2) tingkat fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode waktu tertentu. 1.5 Keterbatasan Kajian Kajian ini membahas tentang fertilitas kaitannya dengan status sosial ekonomi. Mengingat kajian ini mengkaji fertilitas secara global (negara berkembang, sosialis, dan negara maju) sehingga berkaitan erat dengan kebijakan suatu negara tentang kondisi sosial ekonomi. Dengan kata lain, pengukuran sosial ekonomi satu negara dengan negara lain jelas berbeda sehingga berpengaruh terhadap ukuran yang akan digunakan. Dengan demikian, ukuran sosial ekonomi dalam kajian ini memiliki keterbatasan dalam konsepsi dan pendekatan yang digunakan kaitannya dengan fertilitas. II KERANGKA TEORI DAN PENDEKATAN 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Teori Kependudukan Teori kependudukan dibagi ke dalam tiga kelompok besar: (1) aliran Malthusian yang dipelopori oleh Thomas Robert Malthus; (2) aliran Marxist yang dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels; dan (3) aliran Reformulasi dari teori yang ada dan dipelopori oleh John Stuart Mill, Arsene Dumont dan Emile Durkheim (Weeks, 1992 dalam Mantra, 2000; 60). Menurut aliran Malthusian: terjadi ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan makanan, dalam hal ini pertumbuhan penduduk berjalan berdasarkan deret ukur, sedangkan pertumbuhan/pertambahan makanan berdasarkan deret hitung. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk harus dibatasi. Pembatasan jumlah penduduk dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu preventive dan posistive check. Preventive check yaitu berupa penekanan kelahiran terutama melalui moral restraint (pengekangan diri dalam bentuk mengekang nafsu seksual), sedangkan positive check yaitu menjauhi dari siklus pertumbuhan demografi dan implosi yang suram. Aliran Malthus umumnya dianut oleh negara-negara kapitalis, seperti: Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Canada dan Amerika Latin. Lain halnya aliran Karl Marx dan Engels bahwa terjadi ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan kesempatan kerja. Artinya, tingkat kelahiran dan kematian sama-sama tinggi. Namun sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di negara Uni Soviet hampir sama dengan negara-negara maju. RRC sebagai negara sosialis tidak dapat mentolerir lagi pertumbuhan penduduk yang tidak dihambat sesuai dengan ajaran Marxist, karena di beberapa wilayah jumlah bahan makanan sudah sangat terbatas sehingga pada tahun 1953 pemerintah RRC mulai membatasi jumlah pertumbuhan penduduknya dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi dan bahkan memperbolehkan pengguguran kandungan (aborsi) (Mantra IB, 2000,68). 3

Teori kependudukan menurut aliran reformulasi (Malthus dan Marxist) terutama dukungan terhadap teori Malthus bahwa disamping melakukan preventive check terhadap pembatasan pertumbuhan penduduk juga bisa dilakukan melalui (1) investasi pendidikan bagi penduduk wanita (kaya dan miskin)(John Stuart Mill); (2) kapilaritas sosial yaitu memperoleh kedudukan sosial ekonomi yang tinggi di masyarakat. Untuk itu, pembatasan jumlah anak sangat ideal (Dumont, dalam Mantra, 2000; 74); (3) terdapat perbedaan pertumbuhan penduduk antara perkotaan dan perdesaan (Durkheim); (4) terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan daya reproduksi. Artinya, jika kepadatan penduduk tinggi maka daya reproduksi menurun dan sebaliknya (Sadler, dkk); dan (5) melalui ilmu pengetahuan, manusia mampu melipatgandakan produksi pertanian. 2.1. 2 Transisi Demografi Penekanan pokok tentang konsep transisi demografi terletak pada pertumbuhan penduduk, khususnya pada proses penurunan fertilitas. Dengan demikian, konsep proses transisi demografi umumnya difokuskan pada perubahan jumlah, struktur, dan komposisi penduduk yang mengalami perubahan selama proses transisi berlangsung. Transisi Demografi adalah perubahan-perubahan tingkat kelahiran dan kematian dimulai dari tingkat kelahiran dan tingkat kematian tinggi, berangsur-angsur berubah menjadi tingkat kelahiran dan tingkat kematian rendah, dan tingkat kematian menurun lebih cepat dibandingkan dengan tingkat kelahiran. Bogue (1969) dalam Mantra, IB, (2000:53-54) membagi transisi demografi menjadi tiga tahap: (1) Pra-transisi (pre-transitional), dengan ciri-ciri tingkat kelahiran dan tingkat kematian sama-sama tinggi. Angka pertumbuhan penduduk alamiah sangat rendah (hampir mendekati nol) dan terjadi sebelum 1950. (2) Transisi (transitional), dicirikan dengan penurunan tingkat kelahiran dan tingkat kematian, tingkat kematian lebih rendah daripada tingkat kelahiran, mengakibatkan tingkat pertumbuhan penduduk alamiah sedang dan tinggi. Fase ini dibagi menjadi tiga: (a) permulaan transisi (early transitional), terdapatnya tingkat kematian menurun, tetapi tingkat kelahiran tetap tinggi, bahkan ada kemungkinan meningkat karena perbaikan kesehatan; (b) pertengahan transisi (mid-transitional), tingkat kematian dan kelahiran kedua-duanya menurun, tetapi tingkat kematian menurun lebih cepat dari tingkat kelahiran; dan (c) Akhir transisi (late transitional), tingkat kematian rendah dan tidak berubah atau menurun hanya sedikit, dan angka kelahiran antara sedang dan rendah, dan berfluktuasi atau menurun. Pengetahuan tentang kontrasepsi meluas. (3) Pasca-transisi (Post-transitional), dicirikan oleh tingkat kematian dan tingkat kelahiran kedua-duanya rendah; hampir semuanya mengetahui cara-cara kontrasepsi dan dipraktekkan. Tingkat kelahiran dan kematian (vital rate) mendekati keseimbangan. Pertumbuhan penduduk alamiah amat rendah dalam jangka waktu yang panjang. 2.1.3 Teori Ekonomi Fertilitas a. Anak sebagai Barang Konsumsi Pembangunan ekonomi berdasarkan teori Malthus: peningkatan income lebih lambat daripada peningkatan kelahiran (fertilitas) dan merupakan akar terjerumusnya masyarakat ke dalam kemiskinan. Oleh karena itu, Becker G (1960) membuat model keterkaitan atau pengaruh income dan harga anak. Menurut Becker, dilihat dari aspek permintaan bahwa harga anak lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan income. Model Becker tentang permintaan akan anak dapat didekati dengan fungsi utilitas.

U = u ( X ) + v ( n ), u > 0, v > 0, u < 0, v < 0, Dimana: X = konsumsi barang lain; n = jumlah anak, dengan Budget Constraint: PxX + Pnn = y, dan Fungsi Utilitas: dn/dy > 0. Menurut Malthus, harga anak adalah tetap. Padahal harga anak berdasarkan Teori Ekonomi Fertilitas dapat diintrodusir secara simultan antara harga anak dan perubahan income. b. Kualitas Anak dan Human Capital Dari fungsi Utilitas, kemudian dimodifikasi menjadi: U = u ( X ), v ( n, q ) Dimana q adalah kualitas anak dengan asumsi setiap anak sama. Karena fungsi Utilitas dimodifikasi sehingga budget constraint berubah menjadi; PxX + Pnn + Pnq = y, Dimana p adalah harga kualitas anak (biaya pendidikan, dan biaya kesehatan), sedangkan pn adalah biaya basic (pangan, sandang, dan papan). Biaya keseluruhan dari kualitas anak menjadi: n = Pn + Pq, Kualitas paling tinggi, apabila: n = Pn. Dengan pertimbangan, kualitas dalam pembangunan ekonomi sebagai substitusi dari kuantitas. Analisis kualitas-kuantitas tentang anak berhubungan erat dengan fertilitas sehingga dalam pembangunan ekonomi disebut sebagai kajian human capital. c. Anak sebagai Barang Produksi Menurut Becker, anak dapat dilihat dari aspek produksi. Berdasarkan aspek produksi, utilitas anak berbeda dengan aspek konsumsi. Karena utilitas anak lebih dilihat dari aspek kuantitas dan bukan kualitas. Kondisi ini banyak dijumpai di daerah perdesaan atau daerah tingkat pertumbuhan ekonomi rendah (Becker, 1960). 2.2 Pendekatan Tingkat kelahiran (fertilitas) merupakan produk dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor sosial budaya, ekonomi, maupun nilai tentang anak merupakan faktor yang penting dan berperan dalam mempengaruhi tingkat fertilitas. Beberapa teori menerangkan, pengaruh faktor-faktor terhadap fertilitas cukup banyak, seperti: teori ekonomi mikro, pengambilan keputusan rumahtangga tentang pemilihan akan pemilikan anak oleh Schultz (1981) dan Becker (1995), teori supply dan demand anak (integrasi teori ekonomi dan sosiologi) serta biaya regulasi fertilitas oleh Richard Easterlin (1983) dalam United Nation (2001), dan sebagainya. Dalam studi tentang tingkat fertilitas ini, menurut beberapa ahli lebih cenderung memakai teori sosiologi dari Freedman (1979) yang menggunakan konsep analisis dengan memperhatikan variabel secara kausal dan urutan timbulnya variabel. Model yang digunakan umumnya model dari Freedman dengan pendekatan 11 variabel intermediate yang disarankan oleh Davis dan Blake (1956)( David L; dkk, 1990:56-57). Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas dibagi dua, yaitu: (1) faktor latar belakang yang secara tidak langsung mempengaruhi fertilitas; dan (2) 5

variabel intermediate sebagai faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi fertilitas. Davis dan Blake membagi kesebelas variabel-variabel antara itu menjadi 3 kategori: variabel-variabel hubungan seks; variabel-variabel konsepsi; dan variabelvariabel gestasi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketiga kategori tersebut adalah: (1) hubungan seks dipengaruhi oleh variabel: (a) umur memulai hubungan seks; (b) selibat permanen; (c) lamanya masa reproduksi yang hilang, seperti: perpisahan/perceraian dan suami meninggal dunia; (d) abstinensi sukarela dan paksa; dan (e) frekuensi hubungan seks; (2) konsepsi dipengaruhi oleh variabel: (a) kesuburan dan kemandulan sengaja dan tidak sengaja; dan (b) penggunaan alat kontrasepsi; dan (3) kehamilan dan kelahiran dipengaruhi oleh variabel: (a) kematian janin baik sengaja atau tidak sengaja (Mantra, IB, 2000:219-220). Kemudian, model Freedman dikembangkan oleh Bollen AJ, Glanville dan Stecklov, 2001) dengan A Latent Variable Approach (Gambar 1). Gambar 1. Path Diagram: A Latent Variable Model
Heads occupation Heads occupation Female occupation Place residence

Ethnicity

Age

S1
PERMANENT INCOME

CHILDREN EVER BORN

S2

Durable goods

Housting quality

Expenditures per adult

Sumber: Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 23) Diakui bahwa tingkat fertilitas merupakan bagian dari sistem yang sangat kompleks dalam bidang sosial, biologi, dan interaksinya dengan faktor lingkungan. Dalam penentuan tinggi rendahnya tingkat fertilitas seseorang, keputusan diambil oleh isteri atau suami-isteri atau secara luas oleh keluarga. Penentuan keputusan ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang dan lingkungan, misalnya pendidikan, pendapatan, pekerjaan, norma keluarga besar, umur perkawinan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan fertilitas antar masyarakat maupun antar waktu dari suatu masyarakat baru dapat diketahui atau dipahami apabila telah memahami beragam faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan fertilitas (Said Rusli, 1983 dalam Mantra, IB, 2000:221). Secara ekonomi, fertilitas dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor, yaitu: (1) selera yang ditunjukkan dari tingkat utilitas; (2) kualitas anak; 6

(3) income; dan (4) biaya, baik biaya langsung maupun opportunity cost 1995; 242). III STATUS SOSIAL EKONOMI DAN FERTILITAS

(Becker,

3.1 Tingkat Pendidikan dan Fertilitas Menurut teori human capital, kualitas sumberdaya manusia selain ditentukan oleh tingkat kesehatan juga ditentukan tingkat pendidikan. Pendidikan dipandang tidak hanya dapat menambah pengetahuan tetapi dapat juga meningkatkan keterampilan (keahlian) seorang individu sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ananta, dan Hatmadji dalam Profil Kependudukan Jambi, (1986;78)), bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu daerah atau masyarakat. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan kehidupan masyarakat yang bersangkutan, melainkan juga meningkatkan mutu masyarakat tersebut. Dengan mutu yang tinggi dan baik, jumlah penduduk tidak lagi merupakan beban atau tanggungan masyarakat melainkan sebagai modal atau aset pembangunan. Disisi lain, tingkat pendidikan dapat berpengaruh dalam keterampilan teknis dan kecerdasan akademis untuk memenuhi kebutuhan pangan, penciptaan lapangan kerja baru yang produktif serta dapat mengembangkan dan mengelola sumberdaya manusia (human resources) ia sendiri. Berbicara mengenai hubungan tingkat pendidikan dengan fertilitas, hasil penelitian Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 27), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan (laki-laki dan wanita) merupakan prediktor yang kuat terhadap permanen income dan fertilitas. Dengan kata lain, tingkat pendidikan berkorelasi positif terhadap penghasilan (income) dan berpengaruh negatif terhadap fertilitas. Kasus di negara Peru misalnya, tingkat pendidikan (laki-laki dan wanita) berpengaruh negatif terhadap fertilitas namun pengaruh pendidikan laki-laki sedikit lebih rendah, sedangkan di negara Ghana memperlihatkan hasil agak berbeda. Faktor pendidikan yang paling kuat berpengaruh terhadap fertilitas hanya tingkat pendidikan wanita sementara tingkat pendidikan laki-laki tidak menunjukkan hubungan yang significan. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan atau kontribusi tingkat pendidikan laki-laki dan wanita kaitannya dengan fertilitas berbeda. Terdapatnya perbedaan peranan jenjang pendidikan yang disandang antara laki-laki dan wanita erat hubungannya dengan defferensiasi peran atau tanggung jawab terhadap fertilitas. Penelitian Bollen dan Stecklov di Ghana dan Feru ini sejalan dengan Bankole dan Sing, (1998) kasus di Sub-Saharan Afrika, bahwa tendensi laki-laki menginginkan kelahiran anak lebih baik dibandingkan dengan wanita. Karena tingkat pendidikan lakilaki memiliki hubungan kuat sebagai a latent variable yang digunakan sebagai proxy pendapatan permanen atau socioeconomic status (SES) (Wood dan Lovell, 1992; Raftery, Lewis, dan Aghajanian, 1995 dalam Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G, 2002; 36) Menurut Balk (1994) dalam Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 36), tingginya tingkat pendidikan laki-laki (kontrol pendidikan wanita dan permanen income rumahtangga), maka kekuatan penguasaan dalam rumahtangga lebih besar sehingga pada gilirannya mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur kelahiran. Sebaliknya, tingkat pendidikan wanita yang tinggi (kontrol pendidikan laki-laki dan permanen income rumahtangga), maka autonomi wanita mengontrol kelahiran lebih tinggi dibanding laki-laki. 7

Pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara terencana sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Dalam pembangunan berkelanjutan, wawasan dan pandangan seseorang diartikan sebagai cara seseorang merespon suatu inovasi dan membangun gagasan dalam perencanaan. Dengan demikian, pengukuran tingkat pendidikan sangat bermanfaat dalam memprediksi kondisi wawasan pengetahuan dalam asas pemikiran individu terhadap inovasi dan proses adopsi yang menyertai inovasi tersebut. Oleh karena itu, tingkat pendidikan yang relatif baik (tinggi), mereka lebih memilih memiliki jumlah anak lebih sedikit karena keuntungan lain dapat mempertinggi status ia sandang dan tingginya opportunity cost pengasuhan (Axinn dan Barber, 2001; Willis, 1973 dalam Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 7-8). Kemudian, Angeles, et.al (2001:15), melalui penelitian secara Meta-Analysis di 14 negara Asia dan Afrika termasuk Indonesia dengan model Multivariat menunjukkan hasil yang relatif sama bahwa faktor pendidikan terutama pendidikan wanita (kontrol kontrasepsi) berpengaruh negatif terhadap preferensi fertilitas. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor pendidikan wanita mempunyai kontribusi cukup besar terhadap kesejahteraan keluarga terutama mengenai jumlah keluarga yang ideal (2 orang anak cukup, laki-laki atau perempuan sama), dan kontribusinya terhadap kualitas atau nilai anak yang diinginkan. Disamping itu, meningkatnya pendidikan seorang individu secara ekonomi berkorelasi positif dengan selera (taste). Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan maka selera atau keinginannya meningkat baik kuantitas maupun kualitas. Melalui pendekatan fungsi utilitas (indifference curve), selera tentang nilai anak suatu unit keluarga mengarahkan pilihannya kepada kualitas bukan jumlah anak yang dilahirkan (kuantitas). Hasil temuan secara empiris didukung oleh Becker (1995;243) dalam teori ekonomi fertilitas, anak sebagai barang normal. Apabila dilihat dari aspek permintaan, jumlah anak bukan jaminan kesejahteraan keluarga namun sebaliknya yang diutamakan adalah kualitas (human capital). Maka setiap peningkatan income masyarakat biasanya terjadi peningkatan rata-rata pengeluaran rumahtangga termasuk pengeluaran untuk anak. Karena terdapat peningkatan atau perubahan berbagai keperluan atau peningkatan fasilitas karena perubahan selera. Adapun keperluan atau fasilitas yang diperlukan sebagai peningkatan mutu anak, antara lain: peningkatan jumlah dan jenis menu makanan, biaya kesehatan, fasilitas yang diperuntukkan dalam berbagai peningkatan keterampilan, peningkatan jenjang pendidikan (formal dan non-formal), perlengkapan sekolah, dan keperluan penunjang lainnya seperti: olah raga dan rekreasi. Dengan adanya peningkatan biaya dalam berbagai keperluan dan fasilitas diharapkan anak menjadi human capital yang dapat diandalkan terutama dalam pasar kerja. 3.2 Struktur Umur dan Fertilitas Menurut Mantra (2000; 34), umur merupakan karakteristik penduduk yang penting karena struktur umur dapat mempengaruhi perilaku demografi maupun sosial ekonomi rumahtangga. Perilaku demografi yang dimaksud yaitu meliputi jumlah, pertambahan, dan mobilitas penduduk (anggota rumahtangga), sedangkan yang termasuk ke dalam indikator sosial ekonomi rumahtangga meliputi tingkat pendidikan, angkatan kerja, pembentukan dan perkembangan keluarga. Usia muda yang dominan berpengaruh secara nyata terhadap perilaku demografi terutama tentang jumlah dan pertambahan penduduk melalui fertilitas. Tampaknya, pernyataan Mantra dapat dibuktikan oleh Angeles, et.al (2001:15), melalui penelitian tentang fertilitas dan preferensi secara MetaAnalysis di 14 negara Asia dan Afrika termasuk Indonesia dengan model Multivariat 8

menunjukkan bahwa faktor struktur umur terutama umur wanita (kontrol kontrasepsi) berpengaruh negatif terhadap fertilitas. Artinya, semakin tua umur maka tingkat produktivitas dan fertilitas individu semakin rendah atau menurun. Namun, lain halnya dengan penelitian Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 26) bahwa struktur umur penduduk (20-50) tahun berkorelasi positif dengan fertilitas (kontrol permanent income). Struktur umur seorang individu berkaitan erat dengan produktivitas kerja yang dicurahkan. Mengingat semakin tua umur secara linier diikuti dengan bertambahnya tingkat produktivitas (batas umur 55 tahun), hal ini dimungkinkan karena diakibatkan oleh faktor pengalaman kerja. Disisi lain, secara mikro umur mempengaruhi jam kerja di pasar kerja dan tingkat reproduksi (masa subur wanita). Padahal struktur umur (20-50) tahun menurut teori kependudukan berkorelasi negatif atau berbentuk huruf U terbalik terhadap fertilitas. Hal ini dimungkinkan karena penelitian yang dilakukan oleh Bollen Kenneth dkk, menggunakan model hanya permanent income sebagai latent variable padahal menurut Freedman, variabel antara yang dapat mempengaruhi fertilitas ada 11 variabel, antara lain faktor sosial budaya dan status tempat tinggal. Berdasarkan pendekatan teori ekonomi dan perilaku fertilitas bahwa struktur umur berkaitan dengan usia kawin pertama (Bryant J Keith, 1990, 200). Usia kawin pertama relatif muda (<35 tahun) berdampak positif terhadap jumlah kelahiran dan waktu yang dicurahkan terhadap anak. Sebaliknya, usia kawin pertama relatif tua (>35 tahun) berdampak negatif terhadap jumlah kelahiran dan waktu dengan anak. 3.3 Status Pekerjaan Suami dan Fertilitas Batasan pekerjaan suami berbeda satu negara dengan negara lain apalagi antara negara berkembang dengan negara maju. Tetapi secara umum dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar, yaitu: low-prestige occupations (blue-collar jobs termasuk farmer); medium-prestige occupations (white-collar jobs); dan hig-prestige occupations (e.g. college-graduates, academic jobs). Pekerjaan suami berpengaruh langsung terhadap permanent income dan penghasilan rumahtangga. Hasil penelitian Bollen Kenneth AJ, dan Glanville Stecklov G (2002; 27), menunjukkan bahwa pekerjaan kepala rumahtangga/suami merupakan variabel utama terhadap permanent income dan fertilitas. Artinya, status pekerjaan suami berkorelasi positif terhadap penghasilan (income). Melalui faktor permanent income atau disebut sebagai penghasilan rumahtangga berpengaruh negatif terhadap fertilitas (Peru dan Ghana). Hal ini sejalan dengan hasil temuan Becker (1995; 261), bahwa faktor pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas. Terdapatnya pengaruh negatif antara pendapatan atau penghasilan suami terhadap tingkat fertilitas dengan asumsi bahwa pendapatan suami yang tinggi umumnya terdapat pada kelompok suami dengan jenis pekerjaan medium dan higtprestige occupation, sedangkan kelompok pekerjaan tersebut sebagian besar berada di daerah perkotaan atau pada masyarakat industri maju. Ciri dari masyarakat industri maju (open-society) adalah keluarga kecil bahagia dengan mempertimbangkan beban ketergantungan (dependency ratio) seorang anak. Artinya, kesejahteraan keluarga terutama mengenai jumlah keluarga yang ideal (2 orang anak cukup, laki-laki atau perempuan sama), dan memperhatikan kualitas atau nilai anak yang diinginkan bukan jumlah berapa banyak anak yang harus dimiliki. Dengan kata lain, semakin besar jumlah anak (belum dan atau tidak produktif) maka nilai dependency ratio semakin besar sehingga pada gilirannya semakin besar pula beban keluarga (orang tua) akan menanggung kebutuhan mereka baik kebutuhan pokok, seperti: kebutuhan pangan, sandang, papan maupun kebutuhan lainnya. 9

Pada sisi lain, seperti dikemukakan oleh Mantra (2000;92) bahwa tingginya angka rasio beban tanggungan merupakan faktor penghambat pembangunan ekonomi karena sebagian dari pendapatan yang diperolah dari golongan yang produktif terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif untuk kebutuhan akan pangan, fasilitas pendidikan dan fasilitas lainnya.

3.4 Status Tempat Tinggal dan Fertilitas Status tempat tinggal yang dikaji yaitu tempat tinggal yang kelompokkan desakota atau daerah tertinggal dan maju. Menurut Siswanto AW (1995:23-24), perubahan perilaku reproduksi bersamaan dengan terjadinya perubahan pola hidup masyarakat tradisional menjadi masyarakat industri. Data empirik menunjukkan bahwa selama modernisasi, peningkatan praktek kontrasepsi merupakan penyebab terjadinya transisi fertilitas di masyarakat industri. Bukti ini diulangi lagi di negara-negara berkembang, ternyata hasilnya cukup menggembirakan dalam penurunan fertilitas. Disamping faktor kontrasepsi, penurunan fertilitas dapat juga melalui praktek menyusui dan pantang berkala penyebab rendahnya tingkat fertilitas. Kajian menarik: keterkaitan socioeconomic dan fertilitas yang dilakukan oleh Nankai University China di China, hasil menunjukkan bahwa perbedaan sosio-ekonomi antara wilayah/daerah (eastern, middle dan western) terdapat perbedaan pola tentang fertilitas. Sebagai contoh, pertumbuhan penduduk yang tinggi terdapat di daerah atau wilayah western dan middle (Quangxi, Guizhoo, Qingkai, dan lainnya), sedangkan diwilayah eastern (Beijing, Tianjin, dan Shanghai), tingkat pertumbuhan penduduk relatif rendah. Terdapatnya perbedaan tingkat pertumbuhan penduduk antara western dan middle dengan eastern erat kaitannya dengan tingkat kemajuan daerah dan/ atau wilayah. Artinya, wilayah western dan middle merupakan daerah tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah (wilayah tertinggal), sementara di wilayah eastern dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata lebih baik (maju). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh fenomena fertilitas. Daerah perdesaan, secara rata-rata memiliki tingkat fertilitas lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan. Terdapatnya perbedaan tingkat fertilitas desa-kota dipengaruhi oleh perbedaan: ekonomi, budaya, tradisi, dan mekanisasi. Hasil penelitian Nankai University China di China didukung oleh teori kependudukan (fertilitas), bahwa faktor sosial ekonomi, berpengaruh terhadap pemahaman konsep dan perilaku kelahiran dan kehadiran seorang anak. Kemudian, teori transisi demografi lebih rinci lagi melihat bahwa modernisasi memberikan kontribusi terhadap fertilitas karena perubahan tingkat fertilitas diakibatkan adanya perubahan socioeconomic melalui transformasi society. Artinya, transformasi society dari desaagraris (close-society) berubah menjadi masyarakat maju / industri (open-society) sehingga berdampak terhadap sistem dan pola hidup masyarakat. Pada open-society, sistem struktur keluarga berkorelasi positif dengan peranan wanita dalam rumahtangga. Dengan kata lain, wanita pada kondisi masyarakat industri maju terdapat tingkat independency lebih tinggi dari masyarakat tradisional dan berdampak terhadap autonomi mereka dalam pengaturan kelahiran (kontrol tingkat pendidikan) (Hirschman, 1994; Kirh, 1996; dan Mason, 1997 dalam United Nations, 2001). Penelitian yang sama di beberapa negara Eropa Timur dan Selatan menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan bahwa rata-rata fertilitas mendekati satu orang anak setiap pasangan. Hal ini disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan usia childbearing (Bongaarts, 2001 dalam UN, 2001). Observasi lain mengklaim bahwa biaya melahirkan (sosial dan ekonomi) cukup tinggi pada masyarakat industri maju. Dengan demikian, 10

fertilitas yang menyamai replacement level merupakan keinginan yang diidamkan bagi hampir semua masyarakat industri maju (Cheisnais, 2001 dalam UN, 2001). Data empiris yang ditemui dilapangan sejalan dengan pendekatan teori ekonomi dan perilaku fertilitas yang dikembangkan oleh Willis A (1980) bahwa kelahiran anak berpengaruh negatif pada daerah perkotaan, dan berpengaruh positif pada daerah perdesaan. Becker (1995) melihat bahwa secara ekonomi, terdapat perbedaan orientasi tentang nilai anak antara masyarakat maju (kaya) dengan masyarakat tertinggal (miskin). Masyarakat miskin misalnya, nilai anak lebih bersifat barang produksi. Artinya, anak yang dilahirkan lebih ditekankan pada aspek jumlah atau banyaknya anak dimiliki (kuantitas). Menurut Becker, banyaknya anak dilahirkan oleh masyarakat miskin diharapkan dapat membantu orang tua pada usia pensiun atau tidak produktif lagi sehingga anak diharapkan dapat membantu mereka dalam ekonomi, keamanan, dan jaminan sosial (asuransi). Karena pada masyarakat miskin umumnya orang tua tidak memiliki jaminan hari tua. Sementara pada masyarakat maju (kaya), nilai anak lebih ke arah barang konsumsi yaitu dalam bentuk kualitas. Dengan arti kata, anak sebagai human capital sehingga anak yang dilahirkan relatif sedikit namun investasi atau biaya yang dikeluarkan lebih besar baik biaya langsung maupun opportunity cost terutama untuk peningkatan kesehatan, pendidikan, gizi, keterampilan dan sebagainya sehingga anak diharapkan dapat bersaing di pasar kerja bukan difungsikan sebagai keamanan apalagi sebagai jaminan sosial bagi orang tua. IV SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Terdapat hubungan negatif antara faktor sosial ekonomi dengan tingkat fertilitas. Kemajuan atau perkembangan suatu masyarakat dari tradisional ( close-society) menjadi masyarakat maju/industri (open-society) dan pola kehidupan modern dapat menggoyahkan keluarga luas (extended family) menjadi keluarga kecil sehat dan bahagia. Karena pada masyarakat modern memiliki pola konsumsi berbeda dengan masyarakat tradisional terutama pola pengasuhan anak, biaya pemeliharaan, dan nilai anak (kualitas anak). Melalui perkembangan atau kemajuan masyarakat berdampak positif terhadap perubahan status wanita. Wanita lebih banyak bekerja di luar rumah daripada bekerja domestik baik dengan maksud tambahan pendapatan maupun carier. Mereka ingin mengembangkan dirinya sehingga mereka ingin mempunyai jumlah anak yang kecil, dan tidak terus menerus dikungkung oleh urusan dapur dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena kehidupan kota dicirikan oleh masalah perumahan dan kebutuhan hidup yang senantiasa meningkat. Keadaan kehidupan seperti ini, keluarga kecil lebih menguntungkan (kualitas anak). 4.2 Saran 1. Perlu penelitian lebih lanjut hubungan sosial ekonomi dan fertilitas dengan melakukan berbagai variasi variabel antara (A Latent Variable) terutama variabel sosial budaya, dan status tempat tinggal. 2. Dampak dari fertilitas adalah kualitas anak. Upaya untuk mencapai kualitas anak yang baik diperlukan peningkatan pendidikan wanita dan peranan dalam rumahtangga. 11

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000. Fertility Trends and the Prospect of Family Planning Program in China: Its Future Changes and Related Policy Selection. Institute of Population and Development, Nankai University. Becker, 1995. An Economic Analysis of Fertility. Dalam The Essence of B.E.C.K.E.R. Ramon Febrero dan Pedro S. Schwartz. Hoover Institution Press. Stanford University, Stanford, California. Bollen Kenneth A; Jennifer L. Glanvile; dan Guy Stecklov, 2002. Socioeconomic Status, Permanent Income, and Fertility: A Latent Variable Approach. Carolina Population Center, University of North Carolina. At Chapel Hill. Bryant, W.Keith, 1990. The Economic Organization of the Household. Cambridge University Press. New York, Port Chester, Melbourne, Sydney. David Lucas, Peter McDonald, Elspeth Young, Christabel Young, 1990. Pengantar Kependudukan. Gadjah Mada University Press. Pusat penelitian dan Studi Kependudukan UGM. Yogyakarta. Gustavo Angeles, Jason dietrich, David Guilkey, Domkinic Mancini, Thomas Mroz, AMy Tsui dan Feng Yu Zhang, 2001. A Meta-Analysis of The Impact of Family Planning Programs on Fertility Preferences, Contraceptive Method Choice and Fertility. Carolina Population Center, University of North Carolina. At Chapel Hill. Mantra, Ida Bagus, 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar Yogyakarta. Yogyakarta. Masri Singarimbun, 1987. Liku-liku Penurunan Kelahiran. LP3ES bekerja sama dengan Lembaga Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Philip Setel, 1995. The Effects of HIV and AIDS on Fertility in East and Central Africa. National Centre for Epidemiology and Population Health. The Australian National University. Sara S. Mclanahan, dan Marcia J.Carlson, 2000. Welfare Reform, Fertility, and Father Involvement. Bendheim-Thoman Center for Research on Child Welbeing. Princeton University. Princeton. Siswanto, Agus Wilopo, 1995. Transisi Demografi dan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam POPULASI, Vol. 6 No.1 tahun 1995. Penelitian Kebijakan Kependudukan, UGM (Hal.19-37). Yogyakarta. United Nation, 2001. World Population Prospects: The 2000 Revision. Two Volumes. New York: United Nation. Willis, Albert, J, 1980. New Approach to the Economic Theory of Fertility Behavior. National Bureau of Economic Research. 12

You might also like