Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Meskipun pelayanan kesehatan sangat bervariasi dari dan dalam satu negara,
propinsi maupun daerah di negara maju/industri maupun dunia ketiga. Akan
tetapi ciri dan sifat masalah tersebut tidak jauh berbeda satu sama lainnya
dalam hal yang mendasar yakni semakin meningkatnya jumlah populasi usia
lanjut (perubahan demografi), tuntutan dan harapan pasien akan pelayanan,
perkembangan teknologi kedokteran dan semakin terbatasnya sumber dana. 1, 2
Mutu/kualitas itu sendiri dapat ditinjau dari berbagai perspektif baik itu
dari perspekstif pasien dan penyandang dana, manajer dan profesi dari
pemberi jasa rumah sakit maupun pembuat dan pelaksana kebijakan layanan
kesehatan di tingkat regional, nasional dan institusi. (Quality is different
things to different people based on their belief and norms). 3
Disampaikan dalam rangka evaluasi Program Pelayanan Askes Terpadu Rumah Sakit (PPATRS)
diselenggarakan oleh Kantor Pusat PT Askes (Persero) di Hotel Panorama Batam 10 Desember 2008.
1
Davidson T, Levin LA. Do individuals consider expected income when valuing health states? Int J
Technol Assess Health Care 2008;24(4):488-94.
2
Simpson S, Packer C, Carlsson P et al. Early identification and assessment of new and emerging health
technologies: Action, progress, and the future direction of an international collaboration – EuroScan.
Int J Technol Assess Health Care 2008;24(4): 518-24.
3
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence
2000; 4(3):19-23.
1
Secara ringkasnya bagan dalam Gambar 1 berikut menunjukkan evolusi mutu
dari inspection, quality control, quality assurance hingga total quality serta
komponen komponennya; dan evolusi epidemiologi klinik, evidence-based,
health technology assessment sampai information mastery. 4,5,6,7, 8
2-6
Gambar 1. Evolusi bidang mutu dan epidemiologi klinik.
4
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan
pada seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-
ased Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung
Bidakara Jakarta 30 Mei 2000.
5
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures,
clinical guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? J Manajemen &
Administrasi Rumah Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
6
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
7
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalaman materi
rapat kerja RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
8
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance.
Presented at the plenary session in World IPA, Beijing 23rd July 2001.
2
Dalam Gambar 1 di atas terlihat bahwa penilaian (assessment dan akreditasi)
berdasarkan BSI 5757, ISO 9000:2000, Malcolm Baldrige National Quality
Award (MBNQA), European Quality Award (EQA), Benchmarking Award,
Deming Prize Award (DPA) maupun Service Quality Leadership Award (SQL)
merupakan bagian dalam quality system dari salah satu komponen dari total
quality, merupakan kelanjutan dari komponen kedua (conform to/with
standards) dari quality assurance.
Selama dua dekade tersebut manajemen bercorak ’doing things right’ yang
merupakan kombinasi ’doing things cheaper’ dan ’doing things better’.
Ternyata prinsip ’doing things right’ tidak memadai mengikuti perkembangan
kemajuan teknologi maupun tuntutan masyarakat yang semakin kritis; dan
prinsip manajemen ‘doing things right’ tersebut telah ketinggalan zaman dan
dianggap sebagai prinsip dan cara manajemen kuno.
Sedangkan istilah, definisi dan dimensi akan efisiensi juga belum ada
kesepakatan yang jelas dan eksplisit – tergantung dari berbagai perspektif.
Efisiensi dapat digolongkan kepada efisiensi tehnik (technical efficiency),
efisiensi produksi/hasil (productive efficiency) dan efisiensi alokatif
(allocative/societal efficiency) termasuk didalamnya bidang market dan
kesehatan.
Pada abad 21 ini menjelang era globalisasi dibutuhkan tidak hanya ’doing
things right’, akan tetapi juga diperlukan prinsip manajemen ‘doing the right
things’ (dikenal sebagai increasing effectiveness) sehingga kombinasi
keduanya disebut sebagai prinsip manajemen layanan modern ‘doing the right
things right’. (Gambar 2). 9,10,11 ,
9
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
10
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
11
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.
3
13-15
Gambar 2. Evolusi prinsip manajemen layanan kesehatan.
Berbagai tantangan dari luar saat ini adalah era globalisasi pasar terbuka
yang telah memasuki modus operandi tahap empat ( resources) dengan cara
harmonizations of reciprocal agreement (dalam hal standarisasi dan
indikator).
12
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals. Copenhagen, 2007.
13
World Health Organization. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the main dimension. (2003) Copenhagen:
WHO Regional Office for Europe. Report on a WHO Workshop Barcelona, Spain, 10-11 January
4
Definisi kinerja rumah sakit (hospital performance) sangat dipengaruhi oleh
nilai dan norma serta standar yang berlaku dari profesi, pasien dan
masyarakat - akan dikatakan memuaskan bila kinerja rumah sakit tersebut
dapat memberikan pelayanan sesuai dengan norma dan standar dari ke tiga
4,6
perspektif di atas.
Pada saat ini, sedang dilakukan uji coba suatu instrumen yang akan digunakan
untuk menilai kinerja mutu (performamce) rumah sakit oleh WHO regional
Eropa yang dinamakan Performance Assessment Tools for Hospital
(PATH).18, 19,20,21 Instrumen tersebut kemungkinan akan diterapkan oleh
seluruh rumah sakit di dunia sebagaimana halnya program WHO World
Alliance for Patient Safey – Move Program30 sebagai world class hospitals’
benchmarking.
2003.
14
Veillard J, Champagne F, Klazinga N, et al. A performance assessment framework for hospitals: the
WHO regional office for Europe PATH project. Int J Qual Health Care. 2005;17:487-96
15
Groene O. Pilot Test of the Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals
(PATH). Copenhagen: WHO Regional Office for Europe. The Performance Assessment Tool for
Quality Improvement (PATH): preparing for the second wave of data collection. (2007) Copenhagen:
WHO Regional Office for Europe. Report on Indicator Descriptions (March 2007)
16
World Health Organization. Assessing health systems performance: first preparatory meeting for
the WHO European Ministerial Conference on Health Systems, 2008, Brussels. Copenhagen: WHO
Regional Office for Europe. 29-30.
17
Groene O, Klazinga N, Kazandjian V, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization
Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the
Pilot Implementation in 37 Hospitals. Int J Qual Health Care. 2008;20(3):155-161.
18
WHO Regional Office for Europe. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the dimensions. January 2003
19
WHO Regional Office for Europe. How can hospital performance can be measured and monitored.
August 2003.
20
WHO Regional Office for Europe. PATH (Performance Assessment Tools for Quality Improvement
in Hospitals). 2007.
21
WHO Regional Office for Europe. Assuring the quality of care in the European Union. 2008
5
Gambar 3. Pendekatan multi dimensi dalam menilai kinerja rumah sakit
berdasarkan instrumen PATH (Performance Assessment Tools for Quality
Improvement in Hospitals ) dari WHO Regional Eropa. 48-53
53
Groene dan kawan kawan melaporkan hasil penelitian uji coba di 37 rumah
sakit di Eropa bahwa implementasi PATH sebaiknya ditanamkan (embedded)
atau patch in dengan sistem yang telah ada dan sedang berjalan di rumah
sakit tersebut.
6
High hospital performance should be based on professional
competences in application of present knowledge, available
technologies and resources; Efficiency in the use of resources;
Minimal risk to the patient; Responsiveness to the patient;
Optimal contribution to health outcomes.
Terlihat disini terjadi pergeseran titik fokus yang sebelumnya lebih kepada
hal administrasi dan manajerial ke arah profesionalisme dan kompetensi
profesi dalam mekanisme pengambilan keputusan untuk memberikan layanan
yang terpadu, efisien dan berefek risiko minimal. Pergesaran tersebut
merupakan suatu evolusi dari komponen ke tiga dalam quality assurance yakni
quality improvement – dari prinsip prinsip doing things cheaper (efisiensi) ke
doing things better (quality improvement) dan doing the rights things
(effectiveness) menjadi doing the right things right.22
Secara ringkas sebagaimana telah ditulis di atas PATH terdiri 6 dimensi yang
saling berkaitan. Komponen dari dimensi PATH tersebut terdiri dari 6
dimensi dengan 4 domain (clinical effectiveness, efficiency, staff orientation
and responsive governance) yang merangkum 2 perspektif transversal
(safety, patient centeredness) 23,24,25 sebagaimana dalam Gambar 4 berikut.
22
Gary JAM. Evidence-based health care: how to make health policy and management decisions.
Churchill Livingstone, London 1999.
23
WHO Regional Office for Europe. First Workshop on Pilot Implementation of the Performance
Assessment Tool for quality improvement in Hospitals. February 2004.
24
Oliver Groene O, Skau JKH, Frølich A. An international review of projects on hospital performance
assessment. International Journal for Quality in Health Care 2008 20(3):162-171
25
Groene O, Klazinga N, Kazandjian VB, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization
Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the
Pilot Implementation in 37 Hospitals. International Journal for Quality in Health Care 2008
20(3):155-161.
7
Dari ke enam keterkaitan dimensi tersebut ada 17 indikator utama (core
indicators) sebagaimana dalam Tabel 1 dan 24 indikator tambahan sesuai
kondisi dan kemampuan rumah sakit (tailored indicators). 26
B. Dimensi Efisiensi:
8.Length of stay
9.Surgical theatre use
26
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals – Indicator descriptions (core sets), Copenhagen, 2007.
8
Gambar 4. Hubungan yang berkaitan antar 6 komponen dimensi PATH dengan
55
17 indikator utama (core indicators) yang telah di modifikasi.
9
Bila diperhatikan ke tujuh belas indikator utama di atas tidak semua dimensi
saling berkaitan (hanya dimensi kombinasi Clinical effectiveness/ Safety dan
imensi kombinasi Staff orientation/Safety). Maka indikator lain dari
kombinasi lainnya disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kemampuan rumah
sakit setempat yang terdiri dari 24 indikator tambahan penyesuaian (tailored
indicators). 13-17,19
Gambar 5. Pilar dasar (dengan modifikasi) dalam The Joint Commission 2008
Guiding principles for the development of future hospital .28
27
The Joint Commission. Guiding principles for the development of future hospital. November 20,
2008.
28
Firmanda D. Kojian Komite Medik mengenai perkembangan PATH, The Joint Commission 2008 -
Guiding principles for the development of future hospital dan Sistem Komite Medik RS Fatmawati.
Disampaikan pada Sidang Pleno Terbatas Komite Medik 21 November 2008 dan Sidang Pleno Komite
Medik 24 November 2008.
10
Alangkah tepatnya bila bersiap untuk mengantisipasi hal tersebut dengan
situasi dan kondisi rumah sakit Indonesia sekarang ke arah PATH dan The
Joint Commission 2008 Guiding principles for the development of future
hospital tersebut dengan merangkum sistem yang telah ada dan berjalan saat
ini.
Jadi bila dihubungkan antara mutu (quality) dan efisiensi pembiayaan layanan
kesehatan rumah sakit – dari segi hal mencegah pemborosan dari hal yang
mubazir secara elimating waste, efisiensi disini adalah sebagai komponen
mutu; dan mutu bila ditinjau dari segi azas manfaat (net benefit) akan
menjadi salah satu bagian dari efisiensi disamping bagian lainnya yaitu biaya
sumber atau inputs (resource costs) – maka secara ringkas sebagai suatu
formula
Untuk tingkat direksi dan manajer rumah sakit untuk segi azas manfaat (net
benefit) di atas dapat dicapai dalam hal menentukan pengadaan sarana (obat,
alat kesehatan penunjang diagnostik dan terapeutik/operasi, ruangan, laundri,
makanan pasien dan sebagainya) berdasarkan pendekatan :
a. Efisiensi dan produktivitas:
i. Efisiensi = episod perawatan / biaya
ii. Efisiensi = Jumlah episode perawatan / Jumlah tenaga profesi
iii. Efisiensi = Jumlah intervensi yang bermanfaat (more good
than harm) / biaya
iv. Efisiensi = Jumlah intervensi terbukti efektif / biaya
11
diimplementasikan secara konsisten, tidak mengulang (not repetitive) dan
tidak duplikasi.
Ciri ciri rumah sakit yang berkembang maju untuk menjadi kelas dunia
tersebut terdiri dari spektrum performance sebagai berikut29:
Ruang lingkup Akreditasi harus jelas dan eksplisit dalam rangka pelayanan,
pendidikan dan penelitian meliputi kriteria struktur, proses, output,
outcome dan impact bila memungkinkan.
29
UK Cabinet Office. Excellence and fairness – achieving world class. London, 2008.
30
WHO and WFME. WHO/WFME guidelines for accreditation of basic medical education. Geneva/
Copenhagen, 2005.
12
2. Untuk dapat melaksanakan benchmarking antar institusi dalam dan luar
negri.
3. Untuk memberikan jaminan kepada pihak yang berkepentingan atau
stakeholders (pasien dan keluarganya, peserta didik, tenaga didik,
pemilik institusi dan penyandang dana).
4. Pemasaran (marketing) dan kebanggaan institusi (corporate proudness)
dan staf untuk meningkatkan moral dan motivasi berprestasi.
13
Nilai Komponen Bidang:
Klasifikasi Akreditasi: Pelayanan Pendidikan Penelitian
World Class > 85 % > 85 % > 85 %
Utama 81 – 85 % 81 – 85 % 81 – 85 %
Madya 76 – 80 % 76 – 80 % 76 – 80 %
Pratama 71 – 75 % 71 – 75 % 71 – 75 %
Tidak Lulus Akreditasi ≤70 % ≤70 % ≤70 %
Untuk suatu rumah sakit yang akan mulai berbenah diri, sebaiknya terlebih
dahulu membuat Sistem Rumah Sakit ( Corporate Governance) yang terdiri
dari sistem manajemen rumah sakit, sistem profesi medis (Komite Medik dan
SMF – Clinical Governance), sistem keperawatan, dengan berbagai subsistem
untuk pelayanan, pendidikan/pelatihan serta penelitian rumah sakit dengan
berbagai peraturan di tingkat rumah sakit (Hospital Bylaws) dan tingkat
profesi medis (Medical Staff Bylaws) dengan mengacu kepada Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan
Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws ) di rumah sakit.31
Konsep garis besar ‘Clinical Governance (CG)’ dikatakan sebagai upaya dalam
rangka continuous quality improvement (CQI) berdasarkan pendekatan
14
integrasi Evidence-based Medicine (EBM), Evidence-based Health Car
(EBHC) dan Evidence-based Policy yang terdiri dari empat aspek utama dari
enam aspek yaitu professional performance, resource use (efficiency), risk
management dan patients’ satisfaction . Penerapan Clinical Governance dalam
suatu organisasi pelayanan kesehatan memerlukan beberapa persyaratan
yakni organisastion-wide transformation, clinical leadership dan positive
organizational cultures.38,39,40,41
Clinical Governance (CG) adalah suatu cara (sistem) upaya menjamin dan
meningkatkan mutu pelayanan secara sistematis dalam satu organisasi
penyelenggara pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang efisien. Clinical
governance is “a framework through which organisations are accountable for
continuously improving the quality of their services and safeguarding high
standards of care by creating an environment in which excellence in clinical
care will flourish.” 42
Agar keempat komponen utama tersebut dapat terlaksana dengan baik dan
hasil yang optimum, maka dalam rencana strategisnya ditekankan akan ‘mutu’
dari segi performance dalam ‘inputs’, proses, output/outcome dan impact
38
Firmanda D. The evolution and roles of Evidence-based Health Policy in Health Service Management.
Presented in seminar and discussion panel on “Evidence-based Policy for the era of Indonesian
Health Decentralized System in 21st Century”. Center for Public Health Research, Faculty of
Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta 1st March 2001.
39
Scally G, Donaldson LJ. Clinical governance and the drive for quality improvement in the new NHS in
England. BMJ 1998; 317(7150):61-5.
40
Heard SR, Schiller G, Aitken M, Fergie C, Hall LM. Continuous quality improvement: educating
towards a culture of clinical governance. Qual Health Care 2001; 10:70-8.
41
Sausman C. New roles and responsibilities of chief executives in relation to quality and clinical
governance. Qual Health Care 2001;10(Suppl II):13-20.
42
Buetow SA, Roland M. Clinical governance: bridging the gap between managerial and clinical
approaches to quality of care. Qual Health Care 1999;8:184-190.
15
untuk ketiga bidang komponen (pelayanan, pendidikan dan penelitian) di
institusi rumah sakit tersebut.
43
Groll R, Baker R, Moss F. Quality improvement research: understanding the science of change in
health care – essential for all who want to improve health care and education. Qual Saf Health Care
2002; 11:110-1.
44
Pittilo RM, Morgan G, Fergy S. Developing programme specifications with professional bodies and
statutory regulators in health and social care. Qual Assur Education 2000; 8(4):215 -21.
45
Ancarani A, Capaldo G. Manegement of standarised public services: a comprehensive approach to
quality assessment. Managing Service Qual 2001;11(5):331-41.
46
Carroll JS, Edmondson AC. Leading organisational learning in health care. Qual Saf Health Care
2002;11:51–6.
16
Organisasi
Kolegium Profesi
Patients Safety
Rumah Sakit
17
Rumah Sakit:
Gambar 7. Peran dan hubungan organisasi profesi, kolegium, rumah sakit dan
sarana dalam Clinical Governance dalam rangka keamanan pasien (patients
safety ).47
47
Firmanda D. Patients Safety di rumah sakit pendidikan dikaitkan dengan proses pendidikan profesi
dokter. Disampaikan pada Muktamar Nasional Ikatan Rumah Sakit Pendidikan (IRSPI) III di Makasar,
28-29 Juli 2005.
18
Health
Resources
Groups
(HRG)
Health
Impact
Intervention
(HII)
48
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix
di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.
19
dan memadai; maka dengan secara langsung akan meningkatkan risiko
ketidakamanan pasien (insecure of patients safety) di rumah sakit dan risiko
akan ligitasi meningkat.
Oleh karena itu - terlihat disini terjadi pergeseran titik fokus yang
sebelumnya lebih kepada hal administrasi dan manajerial ke arah
profesionalisme dan kompetensi profesi dalam mekanisme pengambilan
keputusan untuk memberikan layanan yang terpadu, efisien dan berefek
risiko minimal. Pergesaran tersebut merupakan suatu evolusi dari komponen
ke tiga dalam quality assurance yakni quality improvement – dari prinsip
prinsip doing things cheaper (efisiensi) ke doing things better (quality
improvement) dan doing the rights things (effectiveness) menjadi doing the
right things right.49
Maka dengan menggabungkan PATH dan The Joint Commision 2008 serta
skema sistem Komite Medik rumah sakit dalam memberikan pelayanan men-
jadi sebgaimana dalam Gambar 9 berikut.
49
Gary JAM. Evidence-based health care: how to make health policy and management decisions.
Churchill Livingstone, London 1999.
20
Gambar 9. Penggabungan WHO Europe PATH 2007, The Joint Commission
2008 dalam Sistem Profesi Komite Medik Rumah Sakit.
21
Sedangkan dalam implementasi, monitoring dan evaluasi layanan pasien secara
individu dan terintergrasi serta bercirikan timelines di rumah sakit dapat
menggunakan Clinical Pathways sebagai alat dan suatu konsep perencanaan
pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada
pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu
50,51,52
selama di rumah sakit.
Clinical Pathways
Definisi
50
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix
di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober
2005.
51
Firmanda D. Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di
rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005,
RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam
rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29
Desember 2005.
52
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways
Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.
22
a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara
terpadu/integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien (Patient
Focused Care) serta berkesinambungan (continuous of care)
b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata,
laboratoris dan farmasis)
c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan
perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian
(untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit
emergensi).
d. Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien
secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk
dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat sebagai
varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit
penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors) .
g. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.
23
2. Manfaatkan data yang telah ada di lapangan rumah sakit dan kondisi
setempat53 seperti data Laporan RL2 (Data Keadaan Morbiditas
Pasien) yang dibuat setiap rumah sakit berdasarkan Buku Petunjuk
Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit 54 dan sensus
harian untuk:
a. Penetapan judul/topik Clinical Pathways yang akan dibuat.
b. Penetapan lama hari rawat.
3. Untuk variabel tindakan dan obat obatan mengacu kepada Standar
Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan Daftar Standar
Formularium yang telah ada di rumah sakit setempat, Bila perlu
standar standar tersebut dapat dilakukan revisi sesuai kesepakatan
setempat.
4. Pergunakan Buku ICD 10 untuk hal kodefikasi diagnosis dan ICD 9 CM
untuk hal tindakan prosedur sesuai dengan profesi/SMF masing
masing.
Agar dalam menyusun Clinical Pathways terarah dan mencapai sasaran serta
efisien waktu, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi antar profesi di
SMF, Instalasi Rawat Inap (mulai dari gawat darurat, ruangan rawat inap,
ruangan tindakan, instalasi bedah, ICU/PICU/NICU) dan sarana penunjang
(instalasi gizi, farmasi, rekam medik, akuntasi keuangan, radiologi dan
sebagainya). Lihat Gambar 10 sampai dengan Gambar 15.
53
Firmanda D. Kodefikasi ICD 10 dan ICD 9 CM: indikator mutu rekam medik dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Disampaikan pada Sosialisasi Pola Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI
di Hotel Panghegar Bandung 1-3 Juni 2006.
54
Departemen Kesehatan RI. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah
Sakit. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta 2005.
24
divisi SMF/Instalasi dengan kode ICD 10 serta rerata lama hari rawat
berdasarkan data laporan morbiditas RL2.
3. Profesi Perawat – mempersiapkan Asuhan Keperawatan.
4. Profesi Farmasi – mempersiapkan Daftar Formularium, sistem unit
dose dan stop ordering.
5. Profesi Akuntasi/Keuangan – mempersiapkan Daftar Tarif rumah sakit
25
Gambar 11. Peran profesi medis dalam menyusun Clinical Pathways.
26
Gambar 12. Peran profesi rekam medis dalam menyusun Clinical Pathways.
27
Gambar 13. Peran profesi keperawatan dalam menyusun Clinical Pathways.
28
Gambar 14. Peran profesi apoteker dalam menyusun Clinical Pathways.
29
Gambar 15. Peran profesi akutansi dalam menyusun Clinical Pathways.
30
Format Umum Clinical Pathways
Langkah selanjutnya adalah mengkaji dan mendesain Format Umum Clinical
Pathways sebagai ‘template’ untuk setiap profesi untuk membuat clinical
pathways masing masing sesuai dengan bidang keahliannya dan melibatkan
multidisiplin profesi medis, keperawatan dan farmasis/apoteker sebagai
contoh dapat dilihat pada Gambar 16 berikut.
Gambar 16. Format Umum Clinical Pathways RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar 55
55
Firmanda D. Penyusunan Clinical Pathways. Disampaikan pada Pelatihan dan Penyusunan Clinical Pathways di RSUP
Wahidin Sudirohusodo dan FK Universitas Hasanudin 7-8 Agustus 2008 di Makassar.
31
Hubungan Clinical pathways dalam Sistem Casemix (INA-DRF)
32