You are on page 1of 32

Pengendalian Mutu dan Efisiensi Pembiayaan Layanan

Kesehatan dari Perspektif Rumah Sakit 

Dr. Dody Firmanda, Sp.A, MA


Ketua Komite Medik
RSUP Fatmawati, Jakarta.

Pendahuluan

Meskipun pelayanan kesehatan sangat bervariasi dari dan dalam satu negara,
propinsi maupun daerah di negara maju/industri maupun dunia ketiga. Akan
tetapi ciri dan sifat masalah tersebut tidak jauh berbeda satu sama lainnya
dalam hal yang mendasar yakni semakin meningkatnya jumlah populasi usia
lanjut (perubahan demografi), tuntutan dan harapan pasien akan pelayanan,
perkembangan teknologi kedokteran dan semakin terbatasnya sumber dana. 1, 2

Mutu/kualitas itu sendiri dapat ditinjau dari berbagai perspektif baik itu
dari perspekstif pasien dan penyandang dana, manajer dan profesi dari
pemberi jasa rumah sakit maupun pembuat dan pelaksana kebijakan layanan
kesehatan di tingkat regional, nasional dan institusi. (Quality is different
things to different people based on their belief and norms). 3

Perkembangan evolusi mengenai bidang mutu (Quality), kaidah tehnik


mekanisme pengambilan keputusan untuk profesi seperti Evidence-based
(Medicine, Nursing, Healthcare, Health Technology Asssessment), dan
Sistem Layanan Kesehatan di rumah sakit sangat perlu dan penting untuk
diketahui terlebih dahulu sebelum menetapkan arah pengembangan suatu
sarana layanan kesehatan (rumah sakit) sehingga akan lebih mudah dalam
menilai progresivitas dan kinerja (performance) dalam bentuk indikator
indikator yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.


Disampaikan dalam rangka evaluasi Program Pelayanan Askes Terpadu Rumah Sakit (PPATRS)
diselenggarakan oleh Kantor Pusat PT Askes (Persero) di Hotel Panorama Batam 10 Desember 2008.
1
Davidson T, Levin LA. Do individuals consider expected income when valuing health states? Int J
Technol Assess Health Care 2008;24(4):488-94.
2
Simpson S, Packer C, Carlsson P et al. Early identification and assessment of new and emerging health
technologies: Action, progress, and the future direction of an international collaboration – EuroScan.
Int J Technol Assess Health Care 2008;24(4): 518-24.
3
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence
2000; 4(3):19-23.

1
Secara ringkasnya bagan dalam Gambar 1 berikut menunjukkan evolusi mutu
dari inspection, quality control, quality assurance hingga total quality serta
komponen komponennya; dan evolusi epidemiologi klinik, evidence-based,
health technology assessment sampai information mastery. 4,5,6,7, 8

2-6
Gambar 1. Evolusi bidang mutu dan epidemiologi klinik.

4
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan
pada seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-
ased Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung
Bidakara Jakarta 30 Mei 2000.
5
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures,
clinical guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? J Manajemen &
Administrasi Rumah Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
6
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
7
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalaman materi
rapat kerja RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
8
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance.
Presented at the plenary session in World IPA, Beijing 23rd July 2001.

2
Dalam Gambar 1 di atas terlihat bahwa penilaian (assessment dan akreditasi)
berdasarkan BSI 5757, ISO 9000:2000, Malcolm Baldrige National Quality
Award (MBNQA), European Quality Award (EQA), Benchmarking Award,
Deming Prize Award (DPA) maupun Service Quality Leadership Award (SQL)
merupakan bagian dalam quality system dari salah satu komponen dari total
quality, merupakan kelanjutan dari komponen kedua (conform to/with
standards) dari quality assurance.

Sedangkan evolusi sistem layanan kesehatan di rumah sakit secara prinsipnya


mulai dari yang bercirikan ’doing things cheaper’ dalam hal ini efficiency pada
tahun 1970an pada waktu krisis keuangan dan gejolak OPEC, kemudian
ekonomi mulai pulih dan masyarakat menuntut layanan kesehatan bercirikan
’doing things better’ dalam hal ini quality improvement.

Selama dua dekade tersebut manajemen bercorak ’doing things right’ yang
merupakan kombinasi ’doing things cheaper’ dan ’doing things better’.
Ternyata prinsip ’doing things right’ tidak memadai mengikuti perkembangan
kemajuan teknologi maupun tuntutan masyarakat yang semakin kritis; dan
prinsip manajemen ‘doing things right’ tersebut telah ketinggalan zaman dan
dianggap sebagai prinsip dan cara manajemen kuno.

Sedangkan istilah, definisi dan dimensi akan efisiensi juga belum ada
kesepakatan yang jelas dan eksplisit – tergantung dari berbagai perspektif.
Efisiensi dapat digolongkan kepada efisiensi tehnik (technical efficiency),
efisiensi produksi/hasil (productive efficiency) dan efisiensi alokatif
(allocative/societal efficiency) termasuk didalamnya bidang market dan
kesehatan.

Pada abad 21 ini menjelang era globalisasi dibutuhkan tidak hanya ’doing
things right’, akan tetapi juga diperlukan prinsip manajemen ‘doing the right
things’ (dikenal sebagai increasing effectiveness) sehingga kombinasi
keduanya disebut sebagai prinsip manajemen layanan modern ‘doing the right
things right’. (Gambar 2). 9,10,11 ,

9
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global
Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
10
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and
implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
11
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999;
1(1):43-9.

3
13-15
Gambar 2. Evolusi prinsip manajemen layanan kesehatan.

Maka bila ketiga filosofi dan konsep di atas dipadukan serta


diimplementasikan dalam praktek layanan kesehatan di rumah sakit melalui
suatu sistem yang terintegrasi dinamakan clinical governance.

Berbagai tantangan dari luar saat ini adalah era globalisasi pasar terbuka
yang telah memasuki modus operandi tahap empat ( resources) dengan cara
harmonizations of reciprocal agreement (dalam hal standarisasi dan
indikator).

WHO Regional Eropa12 melakukan implementasi dalam menilai kinerja rumah


sakit melalui instrumen yang dinamakan PATH (Performance Assessment Tool
for Quality Improvement in Hospitals ). Instrumen PATH tersebut terdiri 6
dimensi yang saling berkaitan yakni clinical effectiveness, safety, patient
centeredness, responsive governance, staff orientation dan efficiency
13,14, 15,16,17
(Gambar 3).

12
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals. Copenhagen, 2007.
13
World Health Organization. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the main dimension. (2003) Copenhagen:
WHO Regional Office for Europe. Report on a WHO Workshop Barcelona, Spain, 10-11 January

4
Definisi kinerja rumah sakit (hospital performance) sangat dipengaruhi oleh
nilai dan norma serta standar yang berlaku dari profesi, pasien dan
masyarakat - akan dikatakan memuaskan bila kinerja rumah sakit tersebut
dapat memberikan pelayanan sesuai dengan norma dan standar dari ke tiga
4,6
perspektif di atas.

Pada saat ini, sedang dilakukan uji coba suatu instrumen yang akan digunakan
untuk menilai kinerja mutu (performamce) rumah sakit oleh WHO regional
Eropa yang dinamakan Performance Assessment Tools for Hospital
(PATH).18, 19,20,21 Instrumen tersebut kemungkinan akan diterapkan oleh
seluruh rumah sakit di dunia sebagaimana halnya program WHO World
Alliance for Patient Safey – Move Program30 sebagai world class hospitals’
benchmarking.

2003.
14
Veillard J, Champagne F, Klazinga N, et al. A performance assessment framework for hospitals: the
WHO regional office for Europe PATH project. Int J Qual Health Care. 2005;17:487-96
15
Groene O. Pilot Test of the Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals
(PATH). Copenhagen: WHO Regional Office for Europe. The Performance Assessment Tool for
Quality Improvement (PATH): preparing for the second wave of data collection. (2007) Copenhagen:
WHO Regional Office for Europe. Report on Indicator Descriptions (March 2007)
16
World Health Organization. Assessing health systems performance: first preparatory meeting for
the WHO European Ministerial Conference on Health Systems, 2008, Brussels. Copenhagen: WHO
Regional Office for Europe. 29-30.
17
Groene O, Klazinga N, Kazandjian V, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization
Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the
Pilot Implementation in 37 Hospitals. Int J Qual Health Care. 2008;20(3):155-161.
18
WHO Regional Office for Europe. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the dimensions. January 2003
19
WHO Regional Office for Europe. How can hospital performance can be measured and monitored.
August 2003.
20
WHO Regional Office for Europe. PATH (Performance Assessment Tools for Quality Improvement
in Hospitals). 2007.
21
WHO Regional Office for Europe. Assuring the quality of care in the European Union. 2008

5
Gambar 3. Pendekatan multi dimensi dalam menilai kinerja rumah sakit
berdasarkan instrumen PATH (Performance Assessment Tools for Quality
Improvement in Hospitals ) dari WHO Regional Eropa. 48-53

53
Groene dan kawan kawan melaporkan hasil penelitian uji coba di 37 rumah
sakit di Eropa bahwa implementasi PATH sebaiknya ditanamkan (embedded)
atau patch in dengan sistem yang telah ada dan sedang berjalan di rumah
sakit tersebut.

Penilaian kinerja rumah sakit tersebut berdasarkan kompetensi kemampuan


profesi mengamalkan praktek keprofesiannya berlandaskan pengetahuan
mutakhir dan tanggap akan kebutuhan pasien/ masyarakat dengan
memberikan layanan secara terpadu terhadap seluruh pasien tanpa
membedakan latar belakangnya, memanfaatkan sarana dan teknologi yang
tersedia dengan seefisien dan risiko seminimal mungkin untuk mencapai
48-53
derajat kesehatan yang optima.

(A satisfactory level of hospital performance is the


maintenance of a state of functioning that corresponds to
societal, patient and professional norms.
.

6
High hospital performance should be based on professional
competences in application of present knowledge, available
technologies and resources; Efficiency in the use of resources;
Minimal risk to the patient; Responsiveness to the patient;
Optimal contribution to health outcomes.

Within the health care environment, high hospital performance


should further address the responsiveness to community needs
and demands, the integration of services in the overall delivery
system, and commitment to health promotion.

High hospital performance should be assessed in relation to the


availability of hospitals’ services to all patients irrespective of
physical, cultural, social, demographic and economic barriers). 10-
15

Terlihat disini terjadi pergeseran titik fokus yang sebelumnya lebih kepada
hal administrasi dan manajerial ke arah profesionalisme dan kompetensi
profesi dalam mekanisme pengambilan keputusan untuk memberikan layanan
yang terpadu, efisien dan berefek risiko minimal. Pergesaran tersebut
merupakan suatu evolusi dari komponen ke tiga dalam quality assurance yakni
quality improvement – dari prinsip prinsip doing things cheaper (efisiensi) ke
doing things better (quality improvement) dan doing the rights things
(effectiveness) menjadi doing the right things right.22

Secara ringkas sebagaimana telah ditulis di atas PATH terdiri 6 dimensi yang
saling berkaitan. Komponen dari dimensi PATH tersebut terdiri dari 6
dimensi dengan 4 domain (clinical effectiveness, efficiency, staff orientation
and responsive governance) yang merangkum 2 perspektif transversal
(safety, patient centeredness) 23,24,25 sebagaimana dalam Gambar 4 berikut.

22
Gary JAM. Evidence-based health care: how to make health policy and management decisions.
Churchill Livingstone, London 1999.
23
WHO Regional Office for Europe. First Workshop on Pilot Implementation of the Performance
Assessment Tool for quality improvement in Hospitals. February 2004.
24
Oliver Groene O, Skau JKH, Frølich A. An international review of projects on hospital performance
assessment. International Journal for Quality in Health Care 2008 20(3):162-171
25
Groene O, Klazinga N, Kazandjian VB, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization
Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the
Pilot Implementation in 37 Hospitals. International Journal for Quality in Health Care 2008
20(3):155-161.

7
Dari ke enam keterkaitan dimensi tersebut ada 17 indikator utama (core
indicators) sebagaimana dalam Tabel 1 dan 24 indikator tambahan sesuai
kondisi dan kemampuan rumah sakit (tailored indicators). 26

Ke tujuh belas indikator utama tersebut terdiri dari:

A. Dimensi kombinasi Clinical effectiveness dan Safety:


1. Caesarean section
2.Prophylactic antibiotic use
3.Mortality
4.Readmission
5.Day surgery
6.Admission after day surgery
7.Return to Intensive Care Unit (ICU)

B. Dimensi Efisiensi:
8.Length of stay
9.Surgical theatre use

C. Dimensi kombinasi Staff orientation dan Safety:


10. Training expenditure
11. Absenteeism
12. Excessive working hours
13. Needle injuries
14. Staff smoking prevalence

D. Dimensi Responsive governance


15. Breastfeeding at discharge
16. Health care transitions

E. Dimensi Patient Centeredness


17. Patient expectations

26
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals – Indicator descriptions (core sets), Copenhagen, 2007.

8
Gambar 4. Hubungan yang berkaitan antar 6 komponen dimensi PATH dengan
55
17 indikator utama (core indicators) yang telah di modifikasi.

Tabel 1. Tujuh belas indikator utama (core indicators) dari 6 dimensi


PATH (Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals). 55

9
Bila diperhatikan ke tujuh belas indikator utama di atas tidak semua dimensi
saling berkaitan (hanya dimensi kombinasi Clinical effectiveness/ Safety dan
imensi kombinasi Staff orientation/Safety). Maka indikator lain dari
kombinasi lainnya disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kemampuan rumah
sakit setempat yang terdiri dari 24 indikator tambahan penyesuaian (tailored
indicators). 13-17,19

Pada tanggal 20 November 2008 The Joint Commission meluncurkan Guiding


principles for the development of future hospital 27 yang terdiri dari 5
prinsip utama yakni economic viability, technology adoption, patient-centered
care, staffing dan hospital designs. Dalam kelima prinsip utama tersebut
terdiri dari 26 parameter kriteria yang bila dikaji dan ditarik ke pilar pilar
dasarnya akan terlihat sebagaimana pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Pilar dasar (dengan modifikasi) dalam The Joint Commission 2008
Guiding principles for the development of future hospital .28

27
The Joint Commission. Guiding principles for the development of future hospital. November 20,
2008.
28
Firmanda D. Kojian Komite Medik mengenai perkembangan PATH, The Joint Commission 2008 -
Guiding principles for the development of future hospital dan Sistem Komite Medik RS Fatmawati.
Disampaikan pada Sidang Pleno Terbatas Komite Medik 21 November 2008 dan Sidang Pleno Komite
Medik 24 November 2008.

10
Alangkah tepatnya bila bersiap untuk mengantisipasi hal tersebut dengan
situasi dan kondisi rumah sakit Indonesia sekarang ke arah PATH dan The
Joint Commission 2008 Guiding principles for the development of future
hospital tersebut dengan merangkum sistem yang telah ada dan berjalan saat
ini.

Jadi bila dihubungkan antara mutu (quality) dan efisiensi pembiayaan layanan
kesehatan rumah sakit – dari segi hal mencegah pemborosan dari hal yang
mubazir secara elimating waste, efisiensi disini adalah sebagai komponen
mutu; dan mutu bila ditinjau dari segi azas manfaat (net benefit) akan
menjadi salah satu bagian dari efisiensi disamping bagian lainnya yaitu biaya
sumber atau inputs (resource costs) – maka secara ringkas sebagai suatu
formula

Efisiensi layanan kesehatan = azas manfaat (net benefit)


biaya sumber (resource costs)

Untuk tingkat direksi dan manajer rumah sakit untuk segi azas manfaat (net
benefit) di atas dapat dicapai dalam hal menentukan pengadaan sarana (obat,
alat kesehatan penunjang diagnostik dan terapeutik/operasi, ruangan, laundri,
makanan pasien dan sebagainya) berdasarkan pendekatan :
a. Efisiensi dan produktivitas:
i. Efisiensi = episod perawatan / biaya
ii. Efisiensi = Jumlah episode perawatan / Jumlah tenaga profesi
iii. Efisiensi = Jumlah intervensi yang bermanfaat (more good
than harm) / biaya
iv. Efisiensi = Jumlah intervensi terbukti efektif / biaya

b. Efisiensi berdasarkan hasil (outcomes)


i. Efisiensi = pasien keluar hidup / biaya
ii. Efisiensi = pasien keluar hidup – kejadian tidak diharapkan /
biaya
 QALY (Quality Adjusted Life years)

Sedangkan untuk profesi medis dapat melalui pendekatan mekanisme


pengambilan keputusan klinis evidence-based medicine (EBM) dan Health
Technology Assessment dalam bentuk standar pelayanan medis yang

11
diimplementasikan secara konsisten, tidak mengulang (not repetitive) dan
tidak duplikasi.

Ciri ciri rumah sakit yang berkembang maju untuk menjadi kelas dunia
tersebut terdiri dari spektrum performance sebagai berikut29:

1. Melampaui standar/target nasional (Exceeding national targets)


2. Melakukan upaya benchmarking
3. Melaksanakan upaya peningkatan mutu berkesinambungan (Continuous
Quality Improvement)

Ketiga hal di atas dapat dicapai melalui tahapan self-assessment dan


30
akreditasi.

Sedangkan definisi akreditasi adalah suatu proses penilaian dalam rangka


pengakuan telah memenuhi standar yang telah ditentukan. Akreditasi
merupakan langkah kedua dari 3 langkah dalam program quality assurance.

Program quality assurance terdiri dari:


1. Standarisasi – meliputi kriteria yang terukur ( measurable) dan
indikator satuan waktu (time-frame).
2. Akreditasi – dilakukan setelah yang akan dinilai melaksanakan penilian
diri (self-assessment) maksimal 2 (dua) kali terlebih dahulu.
3. Kegiatan mutu berkesinambungan (contiuous quality improvement)
dengan mempergunakan kaidah mutu (Plan-Do-Check-Action) dalam
rangka mempertahankan dan atau meningkatkan mutu.

Ruang lingkup Akreditasi harus jelas dan eksplisit dalam rangka pelayanan,
pendidikan dan penelitian meliputi kriteria struktur, proses, output,
outcome dan impact bila memungkinkan.

Adapun tujuan Akreditasi tersebut adalah dalam rangka:


1. Untuk pembinaan dan pengembangan institusi tersebut mendapat
pengakuan telah memenuhi standar yang telah ditentukan.

29
UK Cabinet Office. Excellence and fairness – achieving world class. London, 2008.
30
WHO and WFME. WHO/WFME guidelines for accreditation of basic medical education. Geneva/
Copenhagen, 2005.

12
2. Untuk dapat melaksanakan benchmarking antar institusi dalam dan luar
negri.
3. Untuk memberikan jaminan kepada pihak yang berkepentingan atau
stakeholders (pasien dan keluarganya, peserta didik, tenaga didik,
pemilik institusi dan penyandang dana).
4. Pemasaran (marketing) dan kebanggaan institusi (corporate proudness)
dan staf untuk meningkatkan moral dan motivasi berprestasi.

Sedangkan konsep Akreditasi adalah memenuhi persyaratan standar nasional


yang telah ditentukan dan standar international yang dikehendaki dengan nilai
norma norma dalam profesi dan masyarakat serta sesuai dengan peraturan
dan perundangan yang berlaku.

Struktur Akreditasi terdiri dari instrumen penilaian diri (self assessment)


dan proses akreditasi itu sendiri.

Model Akreditasi dapat secara pendekatan secara bottom-up approach untuk


penilaian diri (self-assessment) dan secara top-down approach dengan
instrumen yang telah digunakan untuk akreditasi serta kombinasi keduanya
untuk pembinaan/pengembangan dan peningkatan mutu.

Implementasi Akreditasi mekanisme:


1. Penilaian dilakukan oleh surveyor/asesor yang berlisensi untuk me-
laksanakan akreditasi.
2. Lisensi tersebut berjenjang dari pratama, madya dan utama serta
diberikan oleh pihak berwenang yang diakui oleh pemerintah.
3. Kriteria penjenjangan lisensi surveyor/asesor tersebut ditentukan dan
diatur secara terpisah oleh pemerintah (Departemen Kesehatan RI
dan melibatkan pihak terkait).

Monitoring dan evaluasi Akreditasi dilakukan oleh oleh pemerintah


(Departemen Kesehatan RI dan pihak lain yang terkait) untuk tindak lanjut
upaya perbaikan/peningkatan mutu. Sedangkan sertifikat Akreditasi
berdasarkan klasifikasinya ditentukan/diberikan oleh pemerintah bersama
pihak lain yang terkait untuk batasan waktu tertentu bila telah memenuhi
atau mencapai standar yang telah ditentukan.

13
Nilai Komponen Bidang:
Klasifikasi Akreditasi: Pelayanan Pendidikan Penelitian
 World Class > 85 % > 85 % > 85 %
 Utama 81 – 85 % 81 – 85 % 81 – 85 %
 Madya 76 – 80 % 76 – 80 % 76 – 80 %
 Pratama 71 – 75 % 71 – 75 % 71 – 75 %
 Tidak Lulus Akreditasi ≤70 % ≤70 % ≤70 %

Darimana kita mulai?

Untuk suatu rumah sakit yang akan mulai berbenah diri, sebaiknya terlebih
dahulu membuat Sistem Rumah Sakit ( Corporate Governance) yang terdiri
dari sistem manajemen rumah sakit, sistem profesi medis (Komite Medik dan
SMF – Clinical Governance), sistem keperawatan, dengan berbagai subsistem
untuk pelayanan, pendidikan/pelatihan serta penelitian rumah sakit dengan
berbagai peraturan di tingkat rumah sakit (Hospital Bylaws) dan tingkat
profesi medis (Medical Staff Bylaws) dengan mengacu kepada Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan
Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws ) di rumah sakit.31

Akhir akhir ini QA di bidang kesehatan/kedokteran telah bergeser ke arah


satu variasi yang dinamakan ‘Clinical Governance (CG)’ dengan
menitikberatkan dalam hal dampak ( impact) yakni Patients
32,33,34,35,36,37
Safety.

Konsep garis besar ‘Clinical Governance (CG)’ dikatakan sebagai upaya dalam
rangka continuous quality improvement (CQI) berdasarkan pendekatan

31 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan Internal


Staf Medis (Medical Staff Bylaws) di rumah sakit, Jakarta 25 April 2005.
32
Donaldson L. Championing patient safety: going global – a resolution by the World Health Assembly.
Qual Saf Health Care 2002; 11:112.
33
US Department of Health and Human Services. US and UK sign agreements to collaborate on health
care quality. 10 October 2001.
34
World Health Organization. World Health Organization Executive Board Resolution EB109.R16, 18
January 2002.
35
Moss F, Barach P. Quality and safety in health care: a time of transition. Qual Saf Health Care
2002;11:1.
36
Leach DC. Changing education to improve patient care. Qual Health Care 2001; 10:54-8.
37
Lilford RJ. Patient safety research: does it have legs? Qual Saf Health Care 2002; 11:113-4.

14
integrasi Evidence-based Medicine (EBM), Evidence-based Health Car
(EBHC) dan Evidence-based Policy yang terdiri dari empat aspek utama dari
enam aspek yaitu professional performance, resource use (efficiency), risk
management dan patients’ satisfaction . Penerapan Clinical Governance dalam
suatu organisasi pelayanan kesehatan memerlukan beberapa persyaratan
yakni organisastion-wide transformation, clinical leadership dan positive
organizational cultures.38,39,40,41

Clinical Governance (CG) adalah suatu cara (sistem) upaya menjamin dan
meningkatkan mutu pelayanan secara sistematis dalam satu organisasi
penyelenggara pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang efisien. Clinical
governance is “a framework through which organisations are accountable for
continuously improving the quality of their services and safeguarding high
standards of care by creating an environment in which excellence in clinical
care will flourish.” 42

Secara konsep komponen utama Clinical Governance terdiri dari:


1. Akauntabilitas dan alur pertanggung jawaban yang jelas bagi mutu
pelayanan secara umum dan khusus.
2. Kegiatan program peningkatan mutu yang berkesinambumgan.
3. Kebijakan manajemen resiko.
4. Prosedur profesi dalam identifikasi dan upaya perbaikan/peningkatan
kinerja.

Agar keempat komponen utama tersebut dapat terlaksana dengan baik dan
hasil yang optimum, maka dalam rencana strategisnya ditekankan akan ‘mutu’
dari segi performance dalam ‘inputs’, proses, output/outcome dan impact

38
Firmanda D. The evolution and roles of Evidence-based Health Policy in Health Service Management.
Presented in seminar and discussion panel on “Evidence-based Policy for the era of Indonesian
Health Decentralized System in 21st Century”. Center for Public Health Research, Faculty of
Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta 1st March 2001.
39
Scally G, Donaldson LJ. Clinical governance and the drive for quality improvement in the new NHS in
England. BMJ 1998; 317(7150):61-5.
40
Heard SR, Schiller G, Aitken M, Fergie C, Hall LM. Continuous quality improvement: educating
towards a culture of clinical governance. Qual Health Care 2001; 10:70-8.
41
Sausman C. New roles and responsibilities of chief executives in relation to quality and clinical
governance. Qual Health Care 2001;10(Suppl II):13-20.
42
Buetow SA, Roland M. Clinical governance: bridging the gap between managerial and clinical
approaches to quality of care. Qual Health Care 1999;8:184-190.

15
untuk ketiga bidang komponen (pelayanan, pendidikan dan penelitian) di
institusi rumah sakit tersebut.

Sudah seyogyanya ketiga bidang komponen (pelayanan, pendidikan dan


penelitian) kesehatan/kedokteran terstruktur dengan baik dan
diselenggarakan secara simultan serta berkesinambungan melalui suatu
sistem dan subsistem yang jelas dan konsisten dalam hal kebijakan ( policy)
dan panduan (manual).43,44, 45,46

Secara ringkas kita dapat memadukan kerangka konsep Clinical Governance


dengan kondisi struktur perumah sakitan di tanah air pada saat ini dalam
penerapan Undang Undang Praktik Kedokteran dan antisipasi (Rancangan)
Undang Undang Rumah Sakit dalam suatu model integrasi yang
mengedepankan mutu pelayanan dalam bentuk keamanan dan keselamatan
pasien (patients safety) (Gambar 6 dan 7) dengan biaya yang terjangkau
secara pendekatan sistem pembiayaan DRGs Casemix (diharapkan nantinya
berkembang menjadi Health Resource Groups /HRG) melalui suatu mekanisme
Clinical Pathways yang jelas dan terintegrasi dengan standar fasilitas yang
sesuai dengan kompetensi pelaksana sehingga dapat dilakukan evaluasi/audit
tidak hanya semata dari segi kriteria indikator input/struktur, proses dan
outcome/output, akan tetapi bergerak lebih jauh lagi dalam bentuk lebih
rinci, sensitif dan spesifik yakni Health Impact Intervention (Gambar 8).

43
Groll R, Baker R, Moss F. Quality improvement research: understanding the science of change in
health care – essential for all who want to improve health care and education. Qual Saf Health Care
2002; 11:110-1.
44
Pittilo RM, Morgan G, Fergy S. Developing programme specifications with professional bodies and
statutory regulators in health and social care. Qual Assur Education 2000; 8(4):215 -21.
45
Ancarani A, Capaldo G. Manegement of standarised public services: a comprehensive approach to
quality assessment. Managing Service Qual 2001;11(5):331-41.
46
Carroll JS, Edmondson AC. Leading organisational learning in health care. Qual Saf Health Care
2002;11:51–6.

16
Organisasi
Kolegium Profesi

Patients Safety

Rumah Sakit

Gambar 6. Ilustrasi mekanisme pertahanan Patients Safety dikaitkan dengan


peran organisasi profesi, kolegium dan fasilitas penyelenggara pelayanan
kesehatan.19

17
Rumah Sakit:

Gambar 7. Peran dan hubungan organisasi profesi, kolegium, rumah sakit dan
sarana dalam Clinical Governance dalam rangka keamanan pasien (patients
safety ).47

47
Firmanda D. Patients Safety di rumah sakit pendidikan dikaitkan dengan proses pendidikan profesi
dokter. Disampaikan pada Muktamar Nasional Ikatan Rumah Sakit Pendidikan (IRSPI) III di Makasar,
28-29 Juli 2005.

18
Health
Resources
Groups
(HRG)

Health
Impact
Intervention
(HII)

Gambar 8. Skema pendekatan sistem Komite Medik RS Fatmawati dalam Clinical


Governance dan Sistem DRGs Casemix.48

Agak sulit untuk menilai kepastian kompetensi seorang profesi - terutama


untuk profesi yang banyak mengandalkan ketrampilan dan tergantung kepada
fasilitas peralatan medis. Bila sarana/fasilitas peralatan rumah sakit
tersebut tidak atau kurang memadai untuk menunjang kinerja ( performance)
profesi, maka selain ketrampilan klinis profesi itu sendiri akan berkurang
bahkan hilang dan bila tetap ’dipaksakan’ dengan fasilitas yang tidak sesuai

48
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix
di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.

19
dan memadai; maka dengan secara langsung akan meningkatkan risiko
ketidakamanan pasien (insecure of patients safety) di rumah sakit dan risiko
akan ligitasi meningkat.

Jenis medical errors seperti di atas dapat dikategorikan sebagai latent


errors atau system errors dan dengan sendirinya akan terjadi active errors .
Bila ini terjadi, maka filosofi tujuan dasar dari Undang Undang Nomor 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran - yakni melaksanakan praktik
kedokteran yang memberikan perlindungan dan keselamatan pasien tidak akan
terwujud. Bila keadaan ini terus berlanjut tanpa ada upaya perbaikan dan
peningkatan fasilitas serta kompetensi sesuai dengan standar, maka secara
keseluruhan rentetan ini sudah menjadi suatu system failure yang kelak
sangat sulit untuk dapat survive dan berkembang dalam rangka antisipasi
modus keempat dari perjalanan globalisasi WTO yang telah diratifikasi.

Oleh karena itu - terlihat disini terjadi pergeseran titik fokus yang
sebelumnya lebih kepada hal administrasi dan manajerial ke arah
profesionalisme dan kompetensi profesi dalam mekanisme pengambilan
keputusan untuk memberikan layanan yang terpadu, efisien dan berefek
risiko minimal. Pergesaran tersebut merupakan suatu evolusi dari komponen
ke tiga dalam quality assurance yakni quality improvement – dari prinsip
prinsip doing things cheaper (efisiensi) ke doing things better (quality
improvement) dan doing the rights things (effectiveness) menjadi doing the
right things right.49

Maka dengan menggabungkan PATH dan The Joint Commision 2008 serta
skema sistem Komite Medik rumah sakit dalam memberikan pelayanan men-
jadi sebgaimana dalam Gambar 9 berikut.

49
Gary JAM. Evidence-based health care: how to make health policy and management decisions.
Churchill Livingstone, London 1999.

20
Gambar 9. Penggabungan WHO Europe PATH 2007, The Joint Commission
2008 dalam Sistem Profesi Komite Medik Rumah Sakit.

21
Sedangkan dalam implementasi, monitoring dan evaluasi layanan pasien secara
individu dan terintergrasi serta bercirikan timelines di rumah sakit dapat
menggunakan Clinical Pathways sebagai alat dan suatu konsep perencanaan
pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada
pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu
50,51,52
selama di rumah sakit.

Sebagaimana dalam Gambar 8 dan 9 di atas Clinical Pathways sebagai crucial


point dalam menilai tingkat pengendalian mutu dan efisiensi biaya layanan
yang diberikan rumah sakit untuk tingkat mikro maupun makro dalam sistem
layanan kesehatan.

Clinical Pathways

Definisi

Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu


yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan
standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan
hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit. 50-
52

Prinsip prinsip dalam menyusun Clinical Pathways

Dalam membuat Clinical Pathways penanganan kasus pasien rawat inap di


rumah sakit harus bersifat:

50
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix
di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober
2005.
51
Firmanda D. Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di
rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005,
RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam
rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29
Desember 2005.
52
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways
Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.

22
a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara
terpadu/integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien (Patient
Focused Care) serta berkesinambungan (continuous of care)
b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata,
laboratoris dan farmasis)
c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan
perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian
(untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit
emergensi).
d. Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien
secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk
dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat sebagai
varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit
penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors) .
g. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.

Clinical Pathways tersebut dapat merupakan suatu Standar Prosedur


Operasional yang merangkum:
a. Profesi medis: Standar Pelayanan Medis dari setiap Kelompok Staf
Medis/Staf Medis Fungsional (SMF) klinis dan penunjang.
b. Profesi keperawatan: Asuhan Keperawatan
c. Profesi farmasi: Unit Dose Daily dan Stop Ordering
d. Alur Pelayanan Pasien Rawat Inap dan Operasi dari Sistem Kelompok
Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF), Instalasi dan Sistem
Manajemen Rumah Sakit.

Langkah langkah penyusunan Clinical Pathways

Langkah langkah dalam menyusun Format Clinical Pathways yang harus


diperhatikan:
1. Komponen yang harus dicakup sebagaimana definisi dari Clinical
Pathways

23
2. Manfaatkan data yang telah ada di lapangan rumah sakit dan kondisi
setempat53 seperti data Laporan RL2 (Data Keadaan Morbiditas
Pasien) yang dibuat setiap rumah sakit berdasarkan Buku Petunjuk
Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit 54 dan sensus
harian untuk:
a. Penetapan judul/topik Clinical Pathways yang akan dibuat.
b. Penetapan lama hari rawat.
3. Untuk variabel tindakan dan obat obatan mengacu kepada Standar
Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan Daftar Standar
Formularium yang telah ada di rumah sakit setempat, Bila perlu
standar standar tersebut dapat dilakukan revisi sesuai kesepakatan
setempat.
4. Pergunakan Buku ICD 10 untuk hal kodefikasi diagnosis dan ICD 9 CM
untuk hal tindakan prosedur sesuai dengan profesi/SMF masing
masing.

Persiapan dalam penyusunan Clinical Pathways

Agar dalam menyusun Clinical Pathways terarah dan mencapai sasaran serta
efisien waktu, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi antar profesi di
SMF, Instalasi Rawat Inap (mulai dari gawat darurat, ruangan rawat inap,
ruangan tindakan, instalasi bedah, ICU/PICU/NICU) dan sarana penunjang
(instalasi gizi, farmasi, rekam medik, akuntasi keuangan, radiologi dan
sebagainya). Lihat Gambar 10 sampai dengan Gambar 15.

1. Profesi Medis – mempersiapkan Standar Pelayanan Medis (SPM/SPO)


sesuai dengan bidang keahliannya. Profesi Medis dari setiap divisi
berdasarkan data dari rekam medis diatas - mempersiapkan
SPM/SPO, bila belum ada dapat menyusun dulu SPM/SPOnya sesuai
kesepakatan.
2. Profesi Rekam Medis/Koder – mempersiapkan buku ICD 10 dan ICD 9
CM, Laporan RL1 sampai dengan 6 (terutama RL2). Profesi Rekam
Medis membuat daftar 5 - 10 penyakit utama dan tersering dari setiap

53
Firmanda D. Kodefikasi ICD 10 dan ICD 9 CM: indikator mutu rekam medik dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Disampaikan pada Sosialisasi Pola Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI
di Hotel Panghegar Bandung 1-3 Juni 2006.
54
Departemen Kesehatan RI. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah
Sakit. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta 2005.

24
divisi SMF/Instalasi dengan kode ICD 10 serta rerata lama hari rawat
berdasarkan data laporan morbiditas RL2.
3. Profesi Perawat – mempersiapkan Asuhan Keperawatan.
4. Profesi Farmasi – mempersiapkan Daftar Formularium, sistem unit
dose dan stop ordering.
5. Profesi Akuntasi/Keuangan – mempersiapkan Daftar Tarif rumah sakit

Gmbar 10. Keterkaitan dan keterpaduan antar profesi dalam menyusun


Clinical Pathways.

25
Gambar 11. Peran profesi medis dalam menyusun Clinical Pathways.

26
Gambar 12. Peran profesi rekam medis dalam menyusun Clinical Pathways.

27
Gambar 13. Peran profesi keperawatan dalam menyusun Clinical Pathways.

28
Gambar 14. Peran profesi apoteker dalam menyusun Clinical Pathways.

29
Gambar 15. Peran profesi akutansi dalam menyusun Clinical Pathways.

30
Format Umum Clinical Pathways
Langkah selanjutnya adalah mengkaji dan mendesain Format Umum Clinical
Pathways sebagai ‘template’ untuk setiap profesi untuk membuat clinical
pathways masing masing sesuai dengan bidang keahliannya dan melibatkan
multidisiplin profesi medis, keperawatan dan farmasis/apoteker sebagai
contoh dapat dilihat pada Gambar 16 berikut.

Gambar 16. Format Umum Clinical Pathways RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar 55

55
Firmanda D. Penyusunan Clinical Pathways. Disampaikan pada Pelatihan dan Penyusunan Clinical Pathways di RSUP
Wahidin Sudirohusodo dan FK Universitas Hasanudin 7-8 Agustus 2008 di Makassar.

31
Hubungan Clinical pathways dalam Sistem Casemix (INA-DRF)

Dengan mempergunakan Clinical Pathways secara micro-system: untuk


individu pasien/keluarga, penyandang dana (asuransi) sebagai purchasers dan
external customers, dan profesi (dokter, apoteker, perawat, penata, akuntasi
dan rekam medik) serta penyelenggara rumah sakit sebagai provider dan
internal customer menjadi jelas, eksplisit dan akauntabel dari segi mutu
layanan maupun biaya yang dikeluarkan (value for money) .

Secara macro-system – dalam hal ini pemerintah mudah untuk


mengalokasikan biaya kesehatan yang diperlukan untuk masyarakat dan dapat
menilai benchmarking efisiensi biaya dan mutu layanan setiap penyelenggara
kesehatan sehingga mempertajam skala prioritas pembangunan kesehatan
dalam menyusun national health accounts dan universal coverage sistem
asuransi nasional.
Terima kasih dan semoga bermanfaat.
Dody Firmanda 10 Desember 2008.

32

You might also like