You are on page 1of 18

FARMAKOTERAPI DIABETES MELLITUS

TUGAS FARMAKOTERAPI

KELOMPOK 4
Teti Nurbaeti S. / 260112090020
Ike Wulandari Z. / 260112090021
Rinnie Martdianthi / 260112090022
Ananda Mellyani H./ 260112090023
Dhini Pradipta S. / 260112090024
Kamelia Tulus H. / 260112090025

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2009

0
FARMAKOTERAPI DIABETES MELLITUS

I. Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dan ditandai
oleh hiperglikemik yang merupakan hasil dari gangguan pada sekresi insulin,
resistensi insulin atau keduanya. Hiperglikemik kronis dari DM dihubungkan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai macam
organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Greenspan and
Gardner, 2004).

Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi DM oleh American Diabetes Association (ADA) dan World
Health Organization (WHO) mengakui tiga bentuk DM, yaitu tipe 1, tipe 2, dan
Diabetes Gestasional (terjadi selama kehamilan).
1. Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus (DM) tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan
secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses
bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu
yang peka secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-
kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi
autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya
sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.
Manifestasi klinis DM terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi
rusak. Pada DM dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak
semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang
berkaitan dengan defisiensi insulin. Kejadian pemicu yang menentukan proses
autoimun pada individu yang peka secara genetik dapat berupa infeksi virus
coxsackie B4 (gondongan) atau virus lain. Obat-obatan tertentu yang diketahui
memicu penyakit autoimun lain juga dapat memulai proses autoimun pada
pasien-pasien DM tipe 1 (Price and Wilson, 2005).

1
Gambar 2.1 Kondisi pada DM tipe 1
(1) Lambung mengubah makanan menjadi glukosa,
(2) Glukosa masuk ke aliran darah,
(3) Pankreas memproduksi sedikit insulin atau tidak sama
sekali,
(4) Insulin dalam jumlah sedikit masuk ke aliran darah,
(5) Kadar glukosa meningkat dalam darah

Gambar 2.2 Kelainan insulin pada DM tipe 1

2. Diabetes mellitus tipe 2


Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit metabolik yang paling umum
terjadi di seluruh dunia. Walaupun penyebab utama dari diabetes masih belum
diketahui, tetapi jelas bahwa resistensi insulin berperan dalam patogenesis
diabetes dan gangguan pada sekresi insulin oleh sel beta pankreatik yang
bersifat instrumental dalam perkembangan ke arah hiperglikemik (Lowell and
Shulman, 2005).

2
Gambar 2.3 Kondisi pada DM tipe 2
(1) Lambung mengubah makanan menjadi glukosa,
(2) Glukosa masuk ke aliran darah,
(3) Pankreas memproduksi insulin,
(4) Insulin masuk ke aliran darah,
(5) Glukosa tidak dapat masuk ke sel tubuh, glukosa tetap berada
dalam pembuluh darah

Studi-studi menunjukkan bahwa pada individu dengan DM tipe 2, sel-sel


beta tidak dapat mendeteksi glukosa secara tepat sehingga tidak melepaskan
insulin dalam jumlah yang cukup (Lowell and Shulman, 2005).
Sekresi insulin pada orang non diabetes meliputi 2 fase yaitu fase dini
(fase 1) atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan.
Insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel
beta (siap pakai) dan fase lanjut (fase 2) adalah sekresi insulin dimulai 20
menit setelah stimulasi glukosa. Pada fase 1, pemberian glukosa akan
meningkatkan sekresi insulin untuk mencegah kenaikan kadar glukosa darah,
dan kenaikan glukosa darah selanjutnya akan merangsang fase 2 untuk
meningkatkan produksi insulin. Makin tinggi kadar glukosa darah sesudah
makan, makin banyak pula insulin yang dibutuhkan, akan tetapi kemampuan
ini hanya terbatas pada kadar glukosa darah dalam batas normal (Greenspan
and Gardner, 2004).

3
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa
darah sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin lebih banyak.
Pada keadaan ini, pankreas sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin
sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan
sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun
menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa
darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2,
dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemik dan
selanjutnya gangguan fase 2, dimana tidak terjadi hiperinsulinemia, akan tetapi
terjadi gangguan sel beta (Greenspan and Gardner, 2004).

3. Gestational Diabetes Mellitus


Gestational Diabetes Mellitus (GDM) dikenali pertama kali selama
kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko
terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga,
dan riwayat diabetes gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi
berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa,
maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik (Price and Wilson, 2005).
GDM tejadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau
dilampaui sesudah pemberian 75 g glukosa oral, yaitu kadar glukosa puasa ≥
105 mg/dL; 1 jam ≥ 190 mg/dL; 2 jam ≥ 165 mg/dL; 3 jam ≥ 145 mg/dL.
Pengenalan diabetes seperti ini penting karena penderita berisiko tinggi
terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan mempunyai frekuensi
kematian janin yang lebih tinggi. Kebanyakan perempuan hamil harus
menjalani penapisan untuk diabetes selama usia kehamilan 24 hingga 28
minggu (Price and Wilson, 2005).

4
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologis Diabetes Mellitus (ADA, 2003)

I. Diabetes Mellitus Tipe I


(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi absolut)
A. Melalui proses immunologis
B. Idiopoatik
II. Diabetes Mellitus Tipe II
A. Defek Genetik Fungsi Sel Beta:
i. Kromosom 12, HNF-1alfa (dahulu MODY 3)
ii. Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
iii. Kromosom 20, HNF-4alfa (dahulu MODY 1)
iv. DNA Mitokondria
B. Defek Genetik Kerja Insulin
C. Penyakit Eksokria Pankreas
Pankreatitis, Trauma / pankreatektomi, Neoplasma, Cystic fibrosis,
Hemochromatosis, dan Pankreatopati fibrio kalkulus
D. Endrokrinopati: Akromegali, Sindroma Cushing, Feokromositoma,
Hipertiroidisme
E. Obat / zat kimia: Vacor, Pentamidin, Asam nikotinat,
Glukokortikoid, Hormon tiroid, Tiazida, Dilantin, Interferon alfa
F. Infeksi: Rubella kongenital dan CMV
G. Imunologi (jarang): Antibodi anti reseptor insulin
H. Sindroma genetik lain: Sindroma down, Klinefelter, turner,
huntington Chorea, dan Sindrom prader willi
III. Diabetes Gestasional (kehamilan)

II. Patofisiologi (Sukandar, et al., 2008)


 DM tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus / IDDM) terjadi pada
10% dari semua kasus diabetes. Secara umum, DM tipe ini berkembang
pada anak-anak atau pada awal masa dewasa yang disebabkan oleh
kerusakan sel  pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi defisiensi
insulin absolut. Reaksi autoimun umumnya terjadi setelah waktu yang
panjang (9-13 tahun) yang ditandai oleh adanya parameter-parameter
sistem imun ketika terjadi kerusakan sel . Hiperglikemia terjadi bila 80%-
90% dari sel  rusak. Penyakit DM dapat menjadi penyakit menahun
dengan risiko komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya autoimun tidak diketahui, tetapi proses itu diperantarai oleh

5
makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang bersirkulasi ke
berbagai antigen sel  (misalnya antibodi sel islet dan antibodi insulin).
 DM tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus / NIDDM) terjadi
pada 90% dari semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin ditandai
dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan
produksi glukosa hepatik, dan penurunan pengambilan glukosa pada otot
skelet. Disfungsi sel  mengakibatkan gangguan pada pengontrolan
glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan karena gaya hidup penderita
diabetes (kelebihan kalori, kurangnya olahraga, dan obesitas)
dibandingkan pengaruh genetik.
 Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2% dari semua
kasus diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali dan
sindrom Cushing), diabetes melitus gestational (DMG), penyakit pankreas
eksokrin (pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid, pentamidin,
niasin, dan -interferon).
 Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa
terjadi pada pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal
tetapi tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor risiko
untuk berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang
berhubungan dengan sindrom resistensi insulin.
 Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati, dan nefropati
sedangkan komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner,
stroke, dan penyakit vaskular periferal.

6
Gambar 2.4 Patofisiologi diabetes mellitus
Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan mengalami
metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen, dan
kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada DM semua proses tersebut
terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga energi terutama
diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan
salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut ini (Guyton, 1997):
1. berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan
naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/dL
2. sangat meningkatnya mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak,
sehingga menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai
dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah dan mengakibatkan
timbulnya aterosklerosis
3. berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

7
III. Manifestasi Klinik
Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi
pada tingkat lanjut. Ada tiga gejala klasik yang bisa menjadi penanda seseorang
kemungkinan terkena diabetes. Tiga gejala klasik itu adalah polyuria (banyak
kencing), polydipsia (banyak minum) dan polyphagia (banyak makan).
Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi. Jika kadar gula darah di atas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan
sampai ke urin. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air
tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal
menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering
berkemih dalam jumlah yang banyak / poliuri. Akibat poliuri maka penderita
merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum / polidipsi. Sejumlah
besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat
badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar
yang luar biasa sehingga banyak makan / polifagi (DetikHealth, 2009).
DM tipe 1 biasanya memiliki tubuh yang kurus dan cenderung
berkembang menjadi diabetes ketoasidosis (DKA) karena insulin sangat kurang
disertai peningkatan hormon glukagon. Sedangkan DM tipe 2 sering
asimptomimatik. Munculnya komplikasi dapat mengindikasikan bahwa pasien
telah menderita DM selama bertahun-tahun, umumnya muncul neuropati. Pada
diagnosis umumnya terdeteksi adanya letargi, poliuria, nokturia, dan polidipsia
sedangkan penurunan bobot badan secara signifikan jarang terjadi (Sukandar, et
al., 2008).
Pada penderita diabetes tipe 1, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa
berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena
sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini
mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan
keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah
menjadi asam (ketoasidosis).

8
Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus, sering kencing,
mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan
menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman
darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan,
ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu
hanya beberapa jam.
Gejala lain adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya
ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol
lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum
menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami
penurunan berat badan. Tapi untuk sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak
mengalami penurunan berat badan.
Setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I dapat
mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin
atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius.
Penderita diabetes tipe II dapat tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun.
Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering
kencing dan haus, jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi
(lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres misalnya infeksi atau obat-
obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma
hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik (DetikHealth, 2009).

IV. Diagnosis (Priyanto, 2009)


1. Skrining untuk DM tipe II harus dilakukan setiap 3 tahun bagi orang yang
usianya ≥45 tahun, dan lebih sering bagi orang yang ada riwayat DM pada
keluarganya, obesitas, dan jarang olahraga.
2. Normal jika glukosa darah puasa < 110 mg/dl
3. Gangguan glukosa darah puasa, jika glukosa darah puasa ≥ 110 mg/dl tetapi
<126 mg/dl
4. Gangguan toleransi glukosa, jika kadarnya setelah 2 jam dari tes toleransi
glukosa kadarnya ≥ 140 mg/dl tetapi <200 mg/dl.

9
5. Dikatakan DM jika:
- ada gejala DM + random plasma glukosa ≥200 mg/dl
- kadar glukosa puasa ≥126 mg/dl
- kadar glukosa 2 jam setelah tes toleransi glukosa ≥200mg/dl
- kadar glikosilat hemoglobin atau HbA1c>8%
6. Konversi kadar gula darah
- Kadar gula darah total (mg/dl) = kadar gula darah plasma(mg/dl) x 0,85

- Kadar gula darah plasma (mmol/l) =

V. Hasil Terapi yang Diinginkan (Priyanto, 2009)


1. Menghilangkan gejala karena hiperglikemi, seperti polifagi, polidipsi, dan
poliuri.
2. Mengurangi percepatan dan progresivitas komplikasi vaskuler.
3. Mengurangi mortalitas dan meningkatkan kualitas hidup
4. Menurunkan kadar glukosa darah/plasma pada kondisi normal dan kadar
HbA1c < 7%

VI. Penanganan
A. Terapi nonFarmakologis
1. Terapi nutrisi (diet) untuk mencapai berat badan ideal bagi kesehatan
(rendah kalori, rendah kolesterol). Contoh diet khusus diabetes adalah
mengkonsumsi karbohidrat seperti beras merah, sereal gandum, dan
buah kaya serat seperti apel, jeruk, dan pisang (buah dikonsumsi hanya
setelah makan). Menghindari konsumsi asam lemak jenuh dan
mengurangi konsumsi garam pada penderita diabetes mellitus dengan
tekanan darah tinggi (Yosef, 2007).
2. Olahraga, bermanfaat bagi kebanyakan pasien.
Melakukan olahraga secara teratur yang disesuaikan dengan umur serta
kemampuan fisik seseorang. Olahraga tidak boleh dilakukan secara
ekstrim. Idealnya 3-4 kali dalam seminggu dengan durasi minimal 30
menit. Kegiatan yang dianjurkan adalah jalan, bersepeda santai, dan
golf (Yankesga, 2008).

B. Terapi Farmakologis
A. TERAPI MENGGUNAKAN INSULIN

10
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga
harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan
melalui suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat
diberikan per oral (ditelan).
Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. Pada
saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju
penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya.
Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di
lengan, paha atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak
terasa terlalu nyeri.
1. Jenis-jenis insulin (World Press, 2009)
Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan
lama kerja yang berbeda-beda antara lain:
a. Insulin rapid onset dan short duration / Insulin kerja cepat
Contoh: regular, lispro, dan aspart
Insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar. Insulin ini
seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit, mencapai
puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam.
Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani
beberapa kali suntikan setiap harinya dan disuntikkan 15-20 menit sebelum
makan.

b. Intermediated onset & duration / Insulin kerja sedang


Contoh: NPH (isophane) dan lente
Insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan mulai bekerja dalam
waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam dan bekerja
selama 18-26 jam.
Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan
selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi
kebutuhan sepanjang malam.
c. Prolonged duration / Insulin kerja lambat
Contoh: protamin zinc insulin, extended isulin zinc, dan ultra lente

11
Insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul setelah 6
jam dan bekerja selama 28-36 jam.

2. Struktur dan sintesis insulin (Priyanto, 2009)


a. Merupakan hormon polipeptida yang disekresi oleh sel β pankreas
b. Disimpan dalam bentuk komplek dengan zink 2+
c. Sintesis dan pelepasannya dipacu oleh:
- glukosa, asam amino, dan asam lemak
- dipacu oleh β-adrenergik
- dihambat oleh α-adrenergik

3.Mekanisme kerja insulin (Priyanto, 2009)


Insulin berikatan dengan tirosin kinase menyebabkan peningkatan
transport glukosa pada sel otot dan jaringan adipose.
a. Pada Hepar
- menghambat produksi glukosa
- menghambat glikogenolisis dan meningkatkan sintesis glikogen
- meningkatkan sintesis trigliserida
- meningkatkan sintesa protein

b. Pada otot
- meningkatkan transport glukosa
- disposisi, meningkatkan sintesis glikogen
- meningkatkan sintesis protein
c. Pada jaringan lemak
- meningkatkan transport glukosa
- lipogenesis
- intraseluler lipolisis

B. Obat Hipoglikemik Oral (Priyanto, 2009)


Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula darah
secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes
tipe I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini
menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh
pankreas dan meningkatkan efektivitasnya.
Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin
tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri. Akarbos bekerja
dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus.

12
Obat hipoglikemik per oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe
II jika diet dan olah raga gagal menurunkan kadar gula darah dengan cukup.
Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun beberapa
penderita memerlukan 2-3 kali pemberian.
Jika obat hipoglikemik per oral tidak dapat mengontrol kadar gula darah
dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin.
1. Sulfonilurea (SU)
- Klorpropamid, glibenklamid
- Tolazamid
- Tolbutamid, Glimepirid
- Glipizid, Gliburid
Mekanisme Kerja
- meningkatkan sekresi insulin
- meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin
- menurunkan sekresi glukagon
a. Sulfonilurea (short acting)
- Contoh tolbutamin
- Absorpsi cepat, tidak dipengaruhi oleh makanan
- Bisa menyebabkan hipoglikemi, rash dan gangguan GI
b. Sulfonilurea (intermediate acting)
1) Acetoheksamid
- Absorpsi cepat
- T½ 6 jam, dan bersifat urikosurik
2) Tolazamid
- Absorpsi lambat
- Berefek diuretik lemah
3) Gliburid
- Absorpsi cepat
- Berefek diuretik lemah dan menghambat produksi glukosa di
hepar
4) Glipizide
Absorpsi cepat dan dapat dihambat oleh makanan.
c. Sulfonilurea (long acting)
- Contoh: klorpropamid dan glibenklamid
- Absorpsi cepat
- Efek samping hipoglikemi lebih besar
- Bukan pilihan yang baik untuk lansia
2. Golongan Biguanid (metformin)
Mekanisme kerja dan efek samping:
- meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan perifer dan menghambat
glukoneogenesis
- dalam bekerja memerlukan adanya insulin

13
- regimen dosis: 500 mg, 2-3 kali sehari
- karena tidak merangsang sekresi insulin maka tidak akan menimbulkan
efek samping hipoglikemi
- pada awal penggunaan mungkin menimbulkan gangguan lambung atau
diare yang akan berkurang jika diminum bersama makanan
3. Golongan glitazon
Contoh dari golongan ini adalah troglitazon, rosiglitazon, dan pioglitazon.
Mekanisme kerja diduga menyebabkan penurunan resistensi perifer.
Efek samping:
- edema dan peningkatan berat badan
- retensi air yang dapat memicu atau memperberat gagal jantung kongestif.
4. Meglitinid
- Contohnya adalah repaglinid dan nateglinid
- Bekerja seperti sulfonilurea
- Obat sebaiknya diminum 30 menit sebelum makan
- Obat tidak boleh diminum jika tidak makan
- Kemungkinan dapat meningkatkan berat badan seperti golongan
sulfonilurea
5. Acarbose
- Cara kerjanya menghambat enzim α-glukosidase
- Merupakan polisakarida

C. PRINSIP TERAPI DM TIPE II (Priyanto, 2009)


- Menggunakan obat tunggal jika memungkinkan atau sudah tercapai
tujuannya
- Kombinasi 1,2 sampai 4 antidiabetik oral atau kombinasi dengan insulin
jika penggunaan tunggal tidak mencapai sasaran
- Kombinasi mulai dari 2-4 obat antidiabetes (OAD) dengan cara kerja
yang berbeda
- Insulin sensitier (glitazon, metformin) dan α-glukosidase dapat
dikombinasikan dengan semua obat oral

D. TUJUAN TERAPI KOMBINASI (Priyanto, 2009)


1. Memperlambat perburukan sel  langerhans
- menurunkan produksi glukosa di hepar
- meningkatkan aksi insulin dengan mengurangi retensi insulin, dan
- meningkatkan sekresi insulin
2. Untuk menghindari efek samping atau toksik karena peningkatan
dosis.

VII. Evaluasi Hasil Terapi (Dipiro, et al., 2005).

14
Rencana pelayanan kefarmasian yang berkelanjutan untuk pasien DM akan
bertujuan untuk:
 mengoptimalkan kontrol glukosa darah
 untuk melindungi, mencegah, atau mengatur komplikasi mikrovaskular
dan makrovaskular
 kadar gula terkontrol

VIII. Contoh Kasus dan Solusi


Kasus
Seorang perempuan berusia 57 tahun dengan berat badan 65 kg dan tinggi badan
150 cm menderita diabetes. Sudah 6 bulan kulit tangannya (dari telapak tangan
hingga bahu) seperti mengelupas dan berair sehingga terasa gatal, perih, dan
berair terus jika terkena air sabun. Sejak dulu sabun dan deterjen yang digunakan
sama. Luka tersebut bisa tiba-tiba muncul dan berair mungkin saat gula darah
tinggi. Bagian yang mengelupas hanya bagian lekuk-lekuk jari dan sedikit di atas
pergelangan tangan. Bagian yang mengelupas berdasar merah. Awalnya luka
tersebut terasa gatal, bintil kecil dan menjalar di sekitar lekuk jari, baru selang
sehari atau dua hari luka tersebut mengelupas dan perih. Anehnya luka selalu pada
tempat yang sama. Meskipun luka tersebut pernah mengering dan tidak berbekas.
Ia tidak mengalami demam. Obat DM yang diminum adalah gliben. Gula
darahnya tidak terlalu terkontrol dengan baik, karena dalam 4 bulan rutin (setiap
minggu cek, kadang minggu ini 180mg/dl, minggu depan 373mg/dl. Pernah gula
darah minggu ini 93mg/dl, minggu depan 350mg/dl.

Solusi
Berdasarkan data tersebut, luka yang mengelupas, berair, dan berwarna
merah kemungkinan adalah dermatitis. Dermatitis adalah peradangan pada kulit
yang ditandai dengan gejala gatal, kemerahan, rash atau bentol. Dermatitis
disebabkan oleh berbagai macam hal, diantaranya adalah alergen (zat penyebab
alergi) dan bahan kimia.

15
Dermatitis pada lokasi lekuk-lekuk jari tangan dan sedikit di atas
pergelangan tangan menandakan keadaan yang disebut dengan dermatitis kontak.
Dermatitis kontak adalah peradangan kulit akibat kontak langsung dengan benda
atau zat tertentu, yang dapat bersifat iritan (mengiritasi kulit) ataupun alergen
(memicu reaksi alergi). Gejalanya berupa kemerahan, pengelupasan kulit, dan
gatal pada tempat kontak. Faktor pencetusnya dapat sabun, pelembab, detergen,
parfum, dan krim.
Kemungkinan lain, dermatitis atau peradangan yang disebabkan karena
penyebab alergi (dermatitis atopi). Penyebab dari dermatitis belum diketahui.
Diperkirakan berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh yang berkaitan dengan
reaksi alergi. Kontak dengan bahan alergen (pencetus alergi) yang dapat memicu
adalah sabun, detergen, udara (dingin, panas, lembab), krim, keringat, garukan,
bakteri, emosi atau stres, pakaian, dan perhiasan.
Kondisi DM yang tidak terkontrol dengan baik, dapat membuat penyakit
ini lebih lama sembuh. Kondisi gatal yang terjadi sejak 6 bulan memang dapat
dicetuskan oleh gula darah yang tidak terkontrol. Selain itu, penyakit DM-pun
memang dapat menjadi pencetus terjadinya dermatitis karena kekebalan tubuh
yang berkurang.
Cara terbaik untuk menghindari dermatitis kambuh kembali adalah
mengenali faktor pencetus apa yang dapat membuat dermatitis kambuh kembali
(detergen, pelembab, atau stres) dan sebisa mungkin hindari pencetus tersebut.
Langkah selanjutnya adalah mencegah kulit kering dengan menggunakan sabun
bayi dan mengoleskan pelembab pada kulit, dan hindari menggaruk.
Apabila memang alergen sulit untuk dihindari maka dapat dioleskan salep
kortikosteroid lemah. Salep hanya dioleskan ketika dermatitis sedang kambuh.
Hindari stres, makan bergizi, dan beristirahat teratur. Kortikosteroid topikal
apabila digunakan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan penipisan kulit,
hipopigmentasi, dan jerawat. Efek sistemiknya adalah supresi pertumbuhan dan
supresi adrenal. Untuk meminimalisasi risiko tersebut, maka sebaiknya krim
kortikosteroid hanya dioleskan pada daerah eksim selama 2-3 minggu, 1x/hari,

16
digunakan di sore hari, dan mengoleskan pelembab pada eksim apabila tidak
menggunakan krim kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

Greenspan, F. S. and D. G. Gardner. 2004. Basic and Clinical Endocrinology. 7th


Edition. USA: McGraw-Hill Companies. 660-675.
Price, S. A. and Willson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Penerjemah: Brahm U. Edisi VI. Jakarta: EGC. 1259-1271.
Lowell, B. B. and Shulman. 2005. Mithocondrial Dysfunction and Type 2
Diabetes. Journal Pharm Sci. 307: 384-387.
ADA. 2003. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care.
27(Suppl 1):S5-S10; S15-S35.
Sukandar, E.Y., R. Andrajati, J.I.Sigit, I.K.Adnyana, A.A.P.Setiadi, Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan.
Handoko, T. dan B. Suharto. 1995. “Insulin, Glukagon, dan Antidiabetik Oral.”
dalam S.G.Ganiswara. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. 467-480.
Guyton, A.C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerjemah: I. Setiawan, K.
A. Tangadi, dan A. Santoso. Edisi IX. Jakarta: EGC. 1235.
DetikHealth. 2009. Tiga Gejala Klasik Diabetes. Available online at
www.DetikHealth.com. Diakses tanggal 30 September 2009.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jakarta: Lenskofi.
Yosef. 2007. Penggunaan Glibenklamid dalam Terapi Diabetes Mellitus.
Available online at http://yosefw.wordpress.com. Diakses tanggal 2 Oktober
2009.
Yankesga. 2008. Available online at http://yankesga.com/html. Diakses tanggal 2
Oktober 2009.
World press, 2009. Diabetes The Silent Killer. Available online at
www.worldpress.com Diakses 30 September 2009.
Dipiro, J.T., R.L.Talbert, G.C.Yees, G.R.Matzke, B.G.Weels, L.M.Posey. 2005.
Pharmacotherapy: A Patophysiologic Approach. Sixth Edition. London:
McGraw-Hill.

17

You might also like