Professional Documents
Culture Documents
TUGAS FARMAKOTERAPI
KELOMPOK 4
Teti Nurbaeti S. / 260112090020
Ike Wulandari Z. / 260112090021
Rinnie Martdianthi / 260112090022
Ananda Mellyani H./ 260112090023
Dhini Pradipta S. / 260112090024
Kamelia Tulus H. / 260112090025
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2009
0
FARMAKOTERAPI DIABETES MELLITUS
I. Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dan ditandai
oleh hiperglikemik yang merupakan hasil dari gangguan pada sekresi insulin,
resistensi insulin atau keduanya. Hiperglikemik kronis dari DM dihubungkan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai macam
organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Greenspan and
Gardner, 2004).
1
Gambar 2.1 Kondisi pada DM tipe 1
(1) Lambung mengubah makanan menjadi glukosa,
(2) Glukosa masuk ke aliran darah,
(3) Pankreas memproduksi sedikit insulin atau tidak sama
sekali,
(4) Insulin dalam jumlah sedikit masuk ke aliran darah,
(5) Kadar glukosa meningkat dalam darah
2
Gambar 2.3 Kondisi pada DM tipe 2
(1) Lambung mengubah makanan menjadi glukosa,
(2) Glukosa masuk ke aliran darah,
(3) Pankreas memproduksi insulin,
(4) Insulin masuk ke aliran darah,
(5) Glukosa tidak dapat masuk ke sel tubuh, glukosa tetap berada
dalam pembuluh darah
3
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa
darah sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin lebih banyak.
Pada keadaan ini, pankreas sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin
sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan
sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun
menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa
darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2,
dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemik dan
selanjutnya gangguan fase 2, dimana tidak terjadi hiperinsulinemia, akan tetapi
terjadi gangguan sel beta (Greenspan and Gardner, 2004).
4
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologis Diabetes Mellitus (ADA, 2003)
5
makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang bersirkulasi ke
berbagai antigen sel (misalnya antibodi sel islet dan antibodi insulin).
DM tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus / NIDDM) terjadi
pada 90% dari semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin ditandai
dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan
produksi glukosa hepatik, dan penurunan pengambilan glukosa pada otot
skelet. Disfungsi sel mengakibatkan gangguan pada pengontrolan
glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan karena gaya hidup penderita
diabetes (kelebihan kalori, kurangnya olahraga, dan obesitas)
dibandingkan pengaruh genetik.
Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2% dari semua
kasus diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali dan
sindrom Cushing), diabetes melitus gestational (DMG), penyakit pankreas
eksokrin (pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid, pentamidin,
niasin, dan -interferon).
Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa
terjadi pada pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal
tetapi tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor risiko
untuk berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang
berhubungan dengan sindrom resistensi insulin.
Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati, dan nefropati
sedangkan komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner,
stroke, dan penyakit vaskular periferal.
6
Gambar 2.4 Patofisiologi diabetes mellitus
Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan mengalami
metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen, dan
kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada DM semua proses tersebut
terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga energi terutama
diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan
salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut ini (Guyton, 1997):
1. berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan
naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/dL
2. sangat meningkatnya mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak,
sehingga menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai
dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah dan mengakibatkan
timbulnya aterosklerosis
3. berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
7
III. Manifestasi Klinik
Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi
pada tingkat lanjut. Ada tiga gejala klasik yang bisa menjadi penanda seseorang
kemungkinan terkena diabetes. Tiga gejala klasik itu adalah polyuria (banyak
kencing), polydipsia (banyak minum) dan polyphagia (banyak makan).
Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi. Jika kadar gula darah di atas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan
sampai ke urin. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air
tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal
menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering
berkemih dalam jumlah yang banyak / poliuri. Akibat poliuri maka penderita
merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum / polidipsi. Sejumlah
besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat
badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar
yang luar biasa sehingga banyak makan / polifagi (DetikHealth, 2009).
DM tipe 1 biasanya memiliki tubuh yang kurus dan cenderung
berkembang menjadi diabetes ketoasidosis (DKA) karena insulin sangat kurang
disertai peningkatan hormon glukagon. Sedangkan DM tipe 2 sering
asimptomimatik. Munculnya komplikasi dapat mengindikasikan bahwa pasien
telah menderita DM selama bertahun-tahun, umumnya muncul neuropati. Pada
diagnosis umumnya terdeteksi adanya letargi, poliuria, nokturia, dan polidipsia
sedangkan penurunan bobot badan secara signifikan jarang terjadi (Sukandar, et
al., 2008).
Pada penderita diabetes tipe 1, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa
berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena
sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini
mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan
keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah
menjadi asam (ketoasidosis).
8
Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus, sering kencing,
mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan
menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman
darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan,
ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu
hanya beberapa jam.
Gejala lain adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya
ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol
lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum
menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami
penurunan berat badan. Tapi untuk sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak
mengalami penurunan berat badan.
Setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I dapat
mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin
atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius.
Penderita diabetes tipe II dapat tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun.
Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering
kencing dan haus, jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi
(lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres misalnya infeksi atau obat-
obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma
hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik (DetikHealth, 2009).
9
5. Dikatakan DM jika:
- ada gejala DM + random plasma glukosa ≥200 mg/dl
- kadar glukosa puasa ≥126 mg/dl
- kadar glukosa 2 jam setelah tes toleransi glukosa ≥200mg/dl
- kadar glikosilat hemoglobin atau HbA1c>8%
6. Konversi kadar gula darah
- Kadar gula darah total (mg/dl) = kadar gula darah plasma(mg/dl) x 0,85
VI. Penanganan
A. Terapi nonFarmakologis
1. Terapi nutrisi (diet) untuk mencapai berat badan ideal bagi kesehatan
(rendah kalori, rendah kolesterol). Contoh diet khusus diabetes adalah
mengkonsumsi karbohidrat seperti beras merah, sereal gandum, dan
buah kaya serat seperti apel, jeruk, dan pisang (buah dikonsumsi hanya
setelah makan). Menghindari konsumsi asam lemak jenuh dan
mengurangi konsumsi garam pada penderita diabetes mellitus dengan
tekanan darah tinggi (Yosef, 2007).
2. Olahraga, bermanfaat bagi kebanyakan pasien.
Melakukan olahraga secara teratur yang disesuaikan dengan umur serta
kemampuan fisik seseorang. Olahraga tidak boleh dilakukan secara
ekstrim. Idealnya 3-4 kali dalam seminggu dengan durasi minimal 30
menit. Kegiatan yang dianjurkan adalah jalan, bersepeda santai, dan
golf (Yankesga, 2008).
B. Terapi Farmakologis
A. TERAPI MENGGUNAKAN INSULIN
10
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga
harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan
melalui suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat
diberikan per oral (ditelan).
Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. Pada
saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju
penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya.
Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di
lengan, paha atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak
terasa terlalu nyeri.
1. Jenis-jenis insulin (World Press, 2009)
Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan
lama kerja yang berbeda-beda antara lain:
a. Insulin rapid onset dan short duration / Insulin kerja cepat
Contoh: regular, lispro, dan aspart
Insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar. Insulin ini
seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit, mencapai
puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam.
Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani
beberapa kali suntikan setiap harinya dan disuntikkan 15-20 menit sebelum
makan.
11
Insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul setelah 6
jam dan bekerja selama 28-36 jam.
b. Pada otot
- meningkatkan transport glukosa
- disposisi, meningkatkan sintesis glikogen
- meningkatkan sintesis protein
c. Pada jaringan lemak
- meningkatkan transport glukosa
- lipogenesis
- intraseluler lipolisis
12
Obat hipoglikemik per oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe
II jika diet dan olah raga gagal menurunkan kadar gula darah dengan cukup.
Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun beberapa
penderita memerlukan 2-3 kali pemberian.
Jika obat hipoglikemik per oral tidak dapat mengontrol kadar gula darah
dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin.
1. Sulfonilurea (SU)
- Klorpropamid, glibenklamid
- Tolazamid
- Tolbutamid, Glimepirid
- Glipizid, Gliburid
Mekanisme Kerja
- meningkatkan sekresi insulin
- meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin
- menurunkan sekresi glukagon
a. Sulfonilurea (short acting)
- Contoh tolbutamin
- Absorpsi cepat, tidak dipengaruhi oleh makanan
- Bisa menyebabkan hipoglikemi, rash dan gangguan GI
b. Sulfonilurea (intermediate acting)
1) Acetoheksamid
- Absorpsi cepat
- T½ 6 jam, dan bersifat urikosurik
2) Tolazamid
- Absorpsi lambat
- Berefek diuretik lemah
3) Gliburid
- Absorpsi cepat
- Berefek diuretik lemah dan menghambat produksi glukosa di
hepar
4) Glipizide
Absorpsi cepat dan dapat dihambat oleh makanan.
c. Sulfonilurea (long acting)
- Contoh: klorpropamid dan glibenklamid
- Absorpsi cepat
- Efek samping hipoglikemi lebih besar
- Bukan pilihan yang baik untuk lansia
2. Golongan Biguanid (metformin)
Mekanisme kerja dan efek samping:
- meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan perifer dan menghambat
glukoneogenesis
- dalam bekerja memerlukan adanya insulin
13
- regimen dosis: 500 mg, 2-3 kali sehari
- karena tidak merangsang sekresi insulin maka tidak akan menimbulkan
efek samping hipoglikemi
- pada awal penggunaan mungkin menimbulkan gangguan lambung atau
diare yang akan berkurang jika diminum bersama makanan
3. Golongan glitazon
Contoh dari golongan ini adalah troglitazon, rosiglitazon, dan pioglitazon.
Mekanisme kerja diduga menyebabkan penurunan resistensi perifer.
Efek samping:
- edema dan peningkatan berat badan
- retensi air yang dapat memicu atau memperberat gagal jantung kongestif.
4. Meglitinid
- Contohnya adalah repaglinid dan nateglinid
- Bekerja seperti sulfonilurea
- Obat sebaiknya diminum 30 menit sebelum makan
- Obat tidak boleh diminum jika tidak makan
- Kemungkinan dapat meningkatkan berat badan seperti golongan
sulfonilurea
5. Acarbose
- Cara kerjanya menghambat enzim α-glukosidase
- Merupakan polisakarida
14
Rencana pelayanan kefarmasian yang berkelanjutan untuk pasien DM akan
bertujuan untuk:
mengoptimalkan kontrol glukosa darah
untuk melindungi, mencegah, atau mengatur komplikasi mikrovaskular
dan makrovaskular
kadar gula terkontrol
Solusi
Berdasarkan data tersebut, luka yang mengelupas, berair, dan berwarna
merah kemungkinan adalah dermatitis. Dermatitis adalah peradangan pada kulit
yang ditandai dengan gejala gatal, kemerahan, rash atau bentol. Dermatitis
disebabkan oleh berbagai macam hal, diantaranya adalah alergen (zat penyebab
alergi) dan bahan kimia.
15
Dermatitis pada lokasi lekuk-lekuk jari tangan dan sedikit di atas
pergelangan tangan menandakan keadaan yang disebut dengan dermatitis kontak.
Dermatitis kontak adalah peradangan kulit akibat kontak langsung dengan benda
atau zat tertentu, yang dapat bersifat iritan (mengiritasi kulit) ataupun alergen
(memicu reaksi alergi). Gejalanya berupa kemerahan, pengelupasan kulit, dan
gatal pada tempat kontak. Faktor pencetusnya dapat sabun, pelembab, detergen,
parfum, dan krim.
Kemungkinan lain, dermatitis atau peradangan yang disebabkan karena
penyebab alergi (dermatitis atopi). Penyebab dari dermatitis belum diketahui.
Diperkirakan berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh yang berkaitan dengan
reaksi alergi. Kontak dengan bahan alergen (pencetus alergi) yang dapat memicu
adalah sabun, detergen, udara (dingin, panas, lembab), krim, keringat, garukan,
bakteri, emosi atau stres, pakaian, dan perhiasan.
Kondisi DM yang tidak terkontrol dengan baik, dapat membuat penyakit
ini lebih lama sembuh. Kondisi gatal yang terjadi sejak 6 bulan memang dapat
dicetuskan oleh gula darah yang tidak terkontrol. Selain itu, penyakit DM-pun
memang dapat menjadi pencetus terjadinya dermatitis karena kekebalan tubuh
yang berkurang.
Cara terbaik untuk menghindari dermatitis kambuh kembali adalah
mengenali faktor pencetus apa yang dapat membuat dermatitis kambuh kembali
(detergen, pelembab, atau stres) dan sebisa mungkin hindari pencetus tersebut.
Langkah selanjutnya adalah mencegah kulit kering dengan menggunakan sabun
bayi dan mengoleskan pelembab pada kulit, dan hindari menggaruk.
Apabila memang alergen sulit untuk dihindari maka dapat dioleskan salep
kortikosteroid lemah. Salep hanya dioleskan ketika dermatitis sedang kambuh.
Hindari stres, makan bergizi, dan beristirahat teratur. Kortikosteroid topikal
apabila digunakan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan penipisan kulit,
hipopigmentasi, dan jerawat. Efek sistemiknya adalah supresi pertumbuhan dan
supresi adrenal. Untuk meminimalisasi risiko tersebut, maka sebaiknya krim
kortikosteroid hanya dioleskan pada daerah eksim selama 2-3 minggu, 1x/hari,
16
digunakan di sore hari, dan mengoleskan pelembab pada eksim apabila tidak
menggunakan krim kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
17