Professional Documents
Culture Documents
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun oleh:
Muhammad Surya Tiyantara (1510029041)
Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp. A
1
Tutorial Klinik
Menyetujui,
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul “Asma Bronkial dan Tuberkulosis pada Anak”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Sukartini, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2015 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Agustus, 2016
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul……………………..………………………………………….1
Halaman Pengesahan………..……………………………………….………..2
Kata Pengantar……………………….………………….…………...………..3
Daftar Isi…………………………...……………..……..…………...………..4
BAB I Pendahuluan……………….…...………………………….…..………5
Data Pasien……………………………………………………………………7
Asma Bronkial…………………………………………………...….………..14
Tuberkulosis Anak…………………………………………....……………....28
Daftar Pustaka………………………….……………………………………..45
4
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh
belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada
anak-anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor
lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor1. Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%
pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi dianjurkan
diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.3
Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis
dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis
dan overtreatment serta overdignosis dan undertreatment pada pasien. Sehingga
diharapkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta
mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.
Tuberkulosis (TB) pada anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak
usia 0-14 tahun. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya
alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan
pelaporan kasus TB anak. Data TB anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus
TB anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9.4%, kemudian
menjadi 8.5% pada tahun 2011 dan 8.2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data
per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1.8% sampai 15.9%. Hal ini
menunjukkan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat bervariasi pada level
5
provinsi. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5.4% dari semua
kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6.3% dan tahun 2012 menjadi
6%. Diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan
penetalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS.
Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan
mortalitas anak.4
6
DATA PASIEN
Identitas:
Nama : An. M.H
Umur : 2 tahun
Jenis kelamin : Pria
Alamat : Jl. Sebulu Modern, Tenggarong Seberang
Orang tua
Ayah : Bpk. T (20 tahun, swasta)
Ibu : Ibu. M (24 tahun, Ibu Rumah Tangga)
Anamnesis:
1. Keluhan Utama
Sesak
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 jam sebelum masuk
rumah sakit (SMRS) disertai mengi. Sesak paling berat pada malam dan dini
hari, sehingga mengganggu aktivitas dan tidur.. Pasien merasa sulit bernapas
dalam posisi berbaring, dan nyaman pada posisi duduk bertopang tangan.
Saat sesak terjadi, pasien berbicara per-kata diselingi menarik nafas karena
sesak yang dialami. Menurut keterangan ibu pasien sesak napasnya muncul
akibat pasien kelelahan bermain. Dalam 1 bulan pasien mengalami serangan
sebanyak 3-4x dalam 1 bulan dan selalu membutuhkan nebulizer dirumah.
Namun serangan kali ini, keluhan tidak berkurang walaupun sudah di
nebulizer, sehingga pasien datang ke IGD. Saat di IGD pasien di nebulizer
tapi keluhan tidak ada perbaikan.
7
Selain dicetuskan oleh kelekahan pasien juga mengalami serangan
apabila terkena cuaca dingin. Pasien meniliki riwayat alergi snack. Keluhan
selain sesak, pasien juga mengeluhkan batuk. Pasien mengeluhkan batuk
berdahak sejak 5 hari SMRS. Batuk cenderung terjadi pada malam dan dini
hari. Dahak berwarna putih bening dan encer. Batuk terjadi tanpa disertai
demam.
5. Riwayat Lingkungan
Kebersihan di rumah menurut pengakuan keluarga cukup bersih dan
paman pasien juga merokok di dalam rumah. Bantal dan tempat tidur pasien
terbuat dari kapuk.
8
bulan. Makan menu keluarga mulai dapat diikuti pasien sejak umur 1 tahun
sampai sekarang.
8. Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib lengkap
PB Lahir : 46 cm TB sekarang : 81 cm
Gigi keluar : 9 bulan Berdiri : 12 bulan
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda-tanda vital
1. Tekanan darah : mmHg 3. Frekuensi nafas : 48x/menit
2. Frekuensi nadi : 102x/menit 4. Suhu : 37,1oC
Status Gizi
Berat Badan : 10 kg
Tinggi Badan : 81 cm
9
Status generalisata
Kepala
Bentuk : Normochepali
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
refleks cahaya (+/+)
Hidung : nafas cuping hidung -|- , secret (-)
Mulut : mukosa basah, tidak pucat, faring tidak hiperemis
Leher
KGB : Pembesaran kelenjar getah bening (-) .
Thorax
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi (-) suprasternal
dan subcostal dangkal.
Palpasi : fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ekspirasi memanjang, wheezing
(+/+), bunyi jantung I & II tunggal reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar, scar (-)
Palpasi : supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) 9 kali/menit
Ekstremitas
Superior & Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, tidak edema
Pemeriksaan Penunjang:
10
1. Darah lengkap
10/2/2015
Lab Value
Haemoglobin 12,7 11-16,5 g/dl
Leukosit 7800 4000-10000/µ
Trombosit 342.000 150000-450000/µ
Hematokrit 36,9 36,0-54,0 %
11
Thorax: retraksi (+), Thorax: retraksi (-), Thorax: retraksi (-),
whe (+), rho (-), s1s2 whe (+), rho (-), s1s2 whe (+), rho (-), s1s2
tunggal regular, tunggal reguler tunggal reguler
murmur (-), gallop(-) murmur (-), gallop(-) murmur (-), gallop(-)
Abdomen:nyeri tekan Abdomen:nyeri tekan (- Abdomen:nyeri tekan (-
(-), BU (+)N ), BU (+)N ), BU (+)N
Ekstremitas: akral Ekstremitas: akral Ekstremitas: akral
hangat, CRT <2 detik hangat, CRT <2 detik hangat, CRT <2 detik
A Asma bronchial akut Asma bronchial akut Asma bronchial akut
derajat berat episode derajat berat episode derajat berat episode
jarang + limfadenitis jarang + limfadenitis jarang + limfadenitis
TB TB TB
P 1. IVFD D5 ½ NS 1. IVFD D5 ½ NS 1. IVFD D5 ½ NS
1250 cc/24 jam 1250 cc/24 jam 1250 cc/24 jam
2. Ephedrin 7.5mg ; 2. Ephedrin 7.5mg ; 2. Ephedrin 7.5mg ;
Ambroxol 7.5 mg; Ambroxol 7.5 mg; Ambroxol 7.5 mg;
Salbutamol 1.5 mg Salbutamol 1.5 mg Salbutamol 1.5 mg
mf pulv 3 x 1 pulv mf pulv 3 x 1 pulv mf pulv 3 x 1 pulv
3. Nebulizer ventolin 3. Nebulizer ventolin 3. Nebulizer ventolin
per 4 jam per 4 jam per 4 jam
4. KDT 1 x 3 4. KDT 1 x 3 4. KDT 1 x 3
14 Juli 2016
S Batuk (↓),
Sesak (↓),
Makan minum (+)
O Composmentis
HR: 92x/menit
RR: 31x/menit
12
T: 36,9 C
Kepala: ane (-), ikt (-),
sianosis (-), napas
cuping hidung (-)
tonsil dan faring dbn
Thorax: retraksi (-),
whe (-), rho (-), s1s2
tunggal reguler
murmur (-), gallop(-)
Abdomen:nyeri tekan
(-), BU (+)N
Ekstremitas: akral
hangat, CRT <2 detik
A Asma bronchial akut
derajat berat episode
jarang + limfadenitis
TB
P 1. IVFD D5 ½ NS
1250 cc/24 jam
2. Ephedrin 7.5mg ;
Ambroxol 7.5 mg;
Salbutamol 1.5 mg
mf pulv 3 x 1 pulv
3. Nebulizer ventolin
per 4 jam
4. Ketotifen 2 x cth
1/2
5. KDT 1 x 3
BAB 2
13
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asma Bronkial
2.1 Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.1
Definisi asma menurut Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI
menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau
atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.2
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) pada
tahun 2003, prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per
1000 anak dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000. Jumlah perempuan yang
14
mengalami serangan lebih banyak daripada laki-laki. WHO memperkirakan
terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan
NCHS pada tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi.5
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh
belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada
anak-anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor
lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor1. Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%
pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi dianjurkan
diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.3
2.4. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel
limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pencetus serangan asma dapat
disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain, alergen, virus, iritan yang dapat
menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan
pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.4
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Degranulasi sel
mast mengeluarkan histamin dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi.
15
Reaksi fase lambat pada asma timbul sekitar 6-9 jam setelah fase awal. Meliputi
pengerahan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan
makrofag.4
Pada remodeling saluran pernapasan, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Berbagai sel terlibat dalam proses remodeling seperti sel-sel
inflamasi, matriks ekstraseluler, membran retikular basal, fibrogenic growth
factor, pembuluh darah, otot polos dan kelenjar mukus. Perubahan struktur yang
terjadi pada proses remodeling yaitu: hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran
napas, hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran reticular
basal, pembuluh darah meningkat, peningkatan fungsi matriks ekstraselular,
perubahan struktur parenkim, dan peningkatan fibrogenic growth factor. Dengan
adanya airway remodeling, terjadi peningkatan tanda dan gejala asma seperti
hipereaktivitas jalan napas, distensibilitas dan obstruksi jalan napas.4
17
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pada
struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi
etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.6
2.5.4 Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
obstruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator.6
2.6. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien.2,7
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitif. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan
salin hipertonis sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk
mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:8
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
2.6.1 Anamnesis
18
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan
gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan
batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala
yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala
yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya
tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit
mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.8
20
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
irritable irritable Irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat
hanya pada Sepanjang nyaring,
akhir ekspirasi Terdengar
ekspirasi ± inspirasi tanpa
stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya
Bantu respiratorik
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam,
Retraksi ditambah ditambah
Interkosta Retraksi Napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak
sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit
2.7.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang.8 Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk
menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan
potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah:7
21
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk
bermain dan berolah raga,
2. sedikit mungkin angka absensi sekolah,
3. gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu),
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF,
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan,
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak,
Tujuan tatalaksana saat serangan:2
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu
tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau
bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan
penurunan pelan – pelan (step down). Berikut ini adalah syarat step up dan step
down:7,8
Syarat Step Up Syarat Step down
pengendalian lingkungan dan hal-hal Pengendalian lingkungan harus tetap
yang memberatkan asma sudah baik
dilakukan
pemberian obat sudah tepat susunan Asma sudah terkendali selama 3 bulan
dan caranya berturut-turut
tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap
-6 minggu 3 bulannya sampai dengan dosis
terkecil yang masih dapat
mengendalikan asmanya.
22
efek samping ICS (inhaled Bila step down gagal, perlu dicari
cortikosteroid) tidak ada sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,
ICS dapat diturunkan bersama dengan
penambahan LABA dan atau LTRA
23
Nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval
20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam
(dosis maksimum 15 mg/jam) atau 2.5mg/kali nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi
(inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10
menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek
samping takikardi lebih sering terjadi.9
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
24
takikardi dan aritmia. Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia : 1–6
bulan: 0,5mg/kgBB/Jam; 6–11 bulan: 1 mg/kgBB/Jam; 1–9 tahun: 1,2 – 1,5
mg/kgBB/Jam; > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/Jam.9
c. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0,1 ml/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam
larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6
tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak
dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak.9
d. Epinefrine
Epinefrin subkutan dapat diberikan sebagai alternatif untuk serangan asma
akut. Obat ini diberikan secara subkutan dengan dosis 0.01 ml/kgbb dalam larutan
1:1000 (dosis maksimum 0.3 ml) menggunakan semprit 1 ml. Jika tidak ada
perbaikan setelah 20 menit, dapat diulang dua kali dengan interval dan dosis yang
sama.
25
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 6 – 8 jam.9
27
4.7.2. Cara Pemberian Obat7
2.1.2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) pada anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat
diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan
pelaporan kasus TB anak. Data TB anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus
TB anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9.4%, kemudian
menjadi 8.5% pada tahun 2011 dan 8.2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data
per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1.8% sampai 15.9%. Hal ini
menunjukkan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat bervariasi pada level
provinsi. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5.4% dari semua
kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6.3% dan tahun 2012 menjadi
6%. Diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan
penetalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS.
Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan
mortalitas anak.4
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB
maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi
faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor
risiko terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa
dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan
yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti
perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3
Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
sakit TB. Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir,
malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2
29
2.1.3. Etiologi
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan 2. MTB
memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih
tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman
dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant.
Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit
30
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan
kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara
yang kurang baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam
sekret endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena:
c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor
batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB
anak.
2. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
sakit TB.
a. Usia
Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi
infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan
timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala
yang akut.
31
a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif
menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,
pengangguran, pendidikan yang rendah.
c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV,
keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.
2.1.5. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup
setelah melewati barier mukosa basil TB akan mencapai alveolus. Pada sebagian
kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis
nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk
lesi di tempat tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer)2.
32
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yaitu
timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.
Catatan:
34
4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa
melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi
sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).
Perjalanan alamiah
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-
6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
35
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,
yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB
terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian
karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3
Gejala TB pada anak
Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit,
adalah sebagai berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak
nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
36
c. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi
ulkus (skin bridge).
e. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian
yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit
menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman
Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsy jaringan. Diagnosis pasti TB
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara,
yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala
TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan
serologi tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB
dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan
Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan
diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena
sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil berupa dahak, induksi
dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila
fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
37
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma
dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel
datia langhans dan atau kuman TB.
Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah
satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya,
perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji
tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau
anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu
menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas
yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik
maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang
disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan
tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta
menunjukkan gejala klinis maupun radiologis.
Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena
gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah
diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB
pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji
tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah
PPD RT-23 2 TU. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas
pelayanan kesehatan. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena
juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks
saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
38
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian
oleh para ahli yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan
disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB
pada anak terutama di fasilitas kesehatan dasar.
39
40
41
42
43
44
DAFTAR PUSTAKA
46