You are on page 1of 11

RINGKASAN :

GIZI, IMUNITAS, DAN PENYAKIT INFEKSI


Secara umum diterima bahwa gizi merupakan salah satu determinan penting
respons imunitas. Penelitian epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa
kekurangan gizi menghambat respons imunitas dan meningkatkan risiko penyakit
infeksi. Sanitasi dan higiene perorangan yang buruk, kepadatan penduduk yang
tinggi, kontaminasi pangan dan air, dan pengetahuan gizi yang tidak memadai
berkontribusi terhadap kerentanan terhadap penyakit infeksi. Berbagai penelitian
yang dilakukan selama kurun waktu 35 tahun yang lalu membuktikan bahwa
gangguan imunitas adalah suatu faktor antara (intermediate factor) kaitan gizi dengan
penyakit infeksi (Chandra, 1997).
Sebagai contoh, kekurangan Energi-Protein (KEP) berkaitan dengan
gangguan imunitas berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem
komplemen, sekresi antibodi imunoglobulin A, dan produksi sitokin (cytokines).
Kekurangan zat gizi tunggal, seperti seng, selenium, besi, tembaga, vitamin A, vitamin
C, vitamin E, vitamin B6, dan asam folat juga dapat memperburuk respons imunitas.
Selain itu, kelebihan zat gizi atau obesitas juga menurunkan imunitas (Chandra,
1997).
Berbagai penelitian pada bayi di Asia dan Amerika Latin telah secara
meyakinkan membuktikan intervensi gizi dapat menurunkan angka kematian bayi dan
anakanak akibat penyakit infeksi. Pada kurun waktu April 1968 – Mei 1973, para
peneliti dari Departemen Kesehatan Internasional, The John Hopkins University
melakukan penelitian di negara bagian Punjab India (The Narangwal Nutrition
Study), yang meneliti kaitan antara kekurangan gizi dan infeksi dan dampaknya Pada
morbiditas, mortalitas, dan pertumbuhan anak prasekolah. Melalui penelitian tersebut,
Kielmann dan kawan-kawan menunjukkan bahwa mortalitas menurun dengan
suplementasi gizi. Penurunan ini berkaitan dengan meningkatnya daya tahan tubuh
terhadap penyakit infeksi (Kielmann etal., 1978).
Scrimshaw, selama bertugas di Gorgas Hospital, Panama pada kurun waktu
1945- 1946, mengamati bahwa tuberkulosa adalah penyakit yang lebih banyak
diderita anak- anak atau dewasa yang menderita kurang gizi daripada anak-anak atau
dewasa yang status gizinya lebih baik. Scrimshaw dan koleganya juga mengamati
bahwa cacar air lebih parah pada anak-anak yang menderita kekurangan gizi yang
buruk dibandingkan dengan rekannya yang berstatus gizi lebih baik. Sementara
itu, terdapat kaitan antara kekurangan gizi tingkat sedang dan buruk pada awal
episode penyakit infeksi (Scrimshaw, 2003).
Pada tahun 1968, World Health Organization (WHO) menerbitkan WHO
Monograph on Nutrition-infection Interactions. Publikasi ini merupakan hasil
kerjasama Nevin S. Scrimshaw, Carl Taylor, dan John Gordon (Scrimshaw et al.
1968). Pada publikasi ini, Scrimshaw dan koleganya untuk pertama kali
mengemukakan bahwa kaitan antara malagizi dan infeksi adalah sinergistis. Artinya,
malagizi memperparah penyakit infeksi, demikian juga halnya infeksi
memperburuk malagizi. Sebaliknya, status gizi yang makin baik akan meringankan
diare, dan selanjutnya, diare yang makin ringan akan memperbaiki status gizi. Contoh
klasik untuk ini adalah kaitan antara malagizi dengan diare (Gambar 1).

Mekanisme yang melaluinya zat gizi mencegah atau mengurangi beban penyakit
infeksi adalah peningkatan daya tahan tubuh. Peningkatan daya tahan tubuh ini tidak
hanya melalui produksi antibodi humoral dan kapasitas fagosit terhadap bakteri,
tetapi juga, antara lain, melalui sekresi antibody mukosal, imunitas berperantara sel,
pembentukan komplemen, T-lymphocytes,dan T-cells (Scrimshaw and
SanGiovanni,1997). Tulisan ini membahas kaitan giziimunitas-penyakit
infeksi.Pembahasan dimulai Dengan pendahuluan yang mengenalkan kaitan antara
zat gizi dan penyakit infeksi secara umum. Topik selanjutnya adalah sejarah
penelitian mengenai kaitan gizi dan penyakit infeksi. Selanjutnya Dilakukan kajian
literature kaitan antara gizi dan penyakit infeski. Pandangan tradisional (Gambar 2a)
mengenai kaitan gizi dan infeksi mulai berubah. Ada bukti bahwa status gizi inang
Memiliki efek langsung pada pathogen (Gambar 2b). Sebagai contoh, ketika strain
coxsackievirus B3 yang tidak berbahaya diinokulasikan ke dalam tikus yang
Mengalami kekurangan baik selenium maupun vitamin E, ditemukan bahwa virus
berubah menjadi strain yang sangat berbahaya yang memiliki komposisi nukleotida
Yang berbeda (pada berbagai sisi) Dari komposisi nukleotida tikus Asal
(Levander,1997).

GIZI DAN IMUNITAS


Gangguan pada berbagai aspek imunitas, termasuk fagositosis, respons
proliferasi sel ke mitogen, serta produksi Tlymphocyte dan sitokin telah ditemukan
Pada kondisi kekurangan gizi (Chandra and Kumari, 1994; Chandra, 1990; Kulkarni
et al.1994). Sampai saat ini, mekanisme yang Melaluinya kekurangan gizi
mengakibatkan Gangguan fungsi imunitas masih terus mendapat perhatian serius para
ahli gizi, imunolog, ahli biologi, dan ahli di bidang lain yang terkait.
Karena begitu eratnya kaitan antara status gizi dan fungsi imunitas, Chandra dan
Scrimshaw (1980) menawarkan indeks imunitas sebagai ukuran status gizi. Fungsi
imunitas yang dinilai adalah komponen komplemen, delayed-hypersensitivity, thymus-
dependent lymphocytes, secretory IgA, microbicidal capacity of neutrophils, dan
leukocyte terminal transferase.
Beberapa penelitian baik pada tikus maupun manusia telah menghasilkan
informasi penting berkenan hubungan antara susu terfermentasi dengan imunitas.
Pemberian susu terfermentasi dapat mendorong pembentukan antiobodi
dan respons imunitas seluler pada orang sehat. Fungsi imunitas yang paling
dipengaruhi adalah imunitas berperantara sel dan aktivitas sitokin (Solis-Pereira et
al., 1997).
Walaupun ada bukti bahwa kekurangan gizi dapat mempengaruhi patogen
(Levander,1997), akan tetapi, pada umumnya dampak kekurangan gizi pada penyakit
infeksi dikaitkan dengan menurunnya fungsi imunitas tubuh. Kekurangan energi-
protein, misalnya, antara lain, menyebabkan penurunan pada proliferasi limposit,
produksi sitokin, dan respons antibodi terhadap vaksin (Lesourd, 1997).

ENERGI DAN PROTEIN


Dampak KEP (zat gizi makro) pada timbulnya penyakit infeksi, terutama pada
bayi dan anak-anak telah diteliti secara luas. Intervensi gizi (energi dan protein) pada
bayi dan anak-anak dapat menurunkan angka
kesakitan dan kematian di Asia dan Amerika Latin. Berbagai penelitian juga telah
secara meyakinkan menunjukkan bahwa peranan gizi pada penurunan angka
kematian dan kematian ini adalah melalui perbaikan pada fungsi imunitas.
Kekurangan energi-protein, misalnya, berkaitan dengan gangguan imunitas
berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi
antibodi imunoglobulin A, dan produksi sitokin (Chandra, 1997).
Penelitian pada orang usia lanjut juga menunjukkan fenomena yang sama.
Kekurangan energi-protein dapat mengarah pada imunodefisiensi yang parah pada
orang usia lanjut, yang mempengaruhi tidak hanya imunitas spesifik (B- dan T-
lymphocytes) 190 tetapi juga imunitas nonspesifik (polymorphonuclear dan monosit).
Orang usia lanjut penderita KEP melepaskan lebih sedikit monokin yang
menyebabkan menurunnya rangsangan limposit (Lesourd, 1997). Sebagai
konsekuensinya, untuk merangsang respons imunitas spesifik pada taraf yang
memadai, tubuh mengekspresikan respons fase-akut jangka panjang. Efek ini lebih
berat pada orang usia lanjut karena mobilisasi simpanan zat gizi dalam tubuh kurang
efektif pada usia ini (Klasing, 1988).

VITAMIN
Vitamin A
Dalam kaitannya dengan fungsi imunitas vitamin yang menarik perhatian dan yang
sering menjadi fokus penelitian adalah vitamin A, vitamin E, vitamin C, dan
kelompok vitamin B. Di antara vitamin tersebut, vitamin A adalah yang paling luas
diteliti.
Pengamatan yang mengaitkan vitamin A dengan imunitas sudah dilakukan
bahkan sebelum struktur vitamin A diketahui dengan tepat pada tahun 1931 (Karrer et
al., 1931 dalam Villamor and Fawzi, 2005). Beberapa fakta ilmiah yang mengawali
pemahaman mengenai kaitan vitamin A dan penyakit infeksi antara lain adalah
temuan Green dan Mellanby yang menunjukkan bahwa tikus yang kekurangan
vitamin A lebih rentanterhadap infeksi (Green and Mellanby, 1928 dalam Semba,
1999).
Setelah antibodi ditemukan, penelitian mengenai mekanisme yang melaluinya
vitamin A memperbaiki fungsi imunitas telah digiatkan kembali pada tahun 1960-an
(Scrimshaw et al., 1968), dan kemudian pada tahun 1980-an dengan ditemukannya
efek pelindungan dari suplementasi vitamin A pada kematian anak di Indonesia
(Sommer et al., 1986). Penelitian mutakhir juga menunjukkan bahwa metabolit aktif
vitamin A (asam retionat) berperan pada pengaturan transkripsi gen. Informasi ini
menyediakan fakta mendasar pada pemahaman mekanisme bagaimana vitamin A
mempengaruhi imunitas.
Vitamin A secara luas beperan pada fungsi imunitas. Vitamin A sangat
penting untuk memelihara integritas epitel, termasuk epitel usus. Hal ini berkaitan
dengan hambatan fisik terhadap patogen dan imunitas mucosal.
Natural killer-cells sangat penting pada pertahanan awal terhadap tumor dan
infeksi virus. Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa jumlah
NK-cell yang bersirkulasi menurun pada hewan yang kekurangan vitamin A
(Zhao et al., 1994). Senada dengan itu, pada penelitian efek status zat gizimikro
pada fungsi imunitas NK-cell, Ravaglia dan kawan-kawan menujukkan bahwa
status zat gizi mikro individual (termasuk vitamin A) dapat mempengaruhi
jumlah dan fungsi NK cell pada subyek usia lanjut (Ravaglia et al., 2000). Selain itu,
imunokompeten T cell dapat dipengaruhi oleh kekurangan vitamin A pada berbagai
tingkatan, termasuk limpopoiesis, distribusi, ekspresi, dan produksi sitokin (Villamor
and Fawzi, 2005). Penelitian suplementasi vitamin pada anakanak di Indonesia
menunjukkan terjadi peningkatan proporsi CD4 setelah 5 minggu dibandingkan
dengan control (tidak mendapatkan suplemen vitamin A) (Semba, etal.,1992).
Penelitian pada anak-anak di Afrika Yang positif terinfeksi HIV menujukkan
bahwa pemberian vitamin A meningkatkan jumlah limposit total dan juga jumlah
subpopulasi T-cell setelah 4 minggu pasca-pemberian vitamin A (Hussey et al.,1996).
Sementara itu, suplemetasi vitamin A dosis tinggi (75.000RE/kg diet) menunjukkan
bahwa vitamin A dapat meningkatkan produksi T-helper type 2 cytokine dan respons
IgA terhadap infeksi virus influensa A pada tikus coba (Cui et al., 2000).
Pemberian vitamin A juga dapat menurunkan episode dan kejadian diare pada
anak-anak ketika dikombinasikan dengan mineral seng (Rahman et al., 2001). Efek
suplementasi vitamin A pada morbiditas anak meliputi penurunan keparahan cacar air
yang dapat berkorelasi dengan peningkatan produksi antibodi T-cell-dependent
(Coutsoudis et al., 1991). Oleh karena itu, suplementasi vitamin A dianjurkan untuk
penanganan infeksi cacar air (Beck, 2001).
Vitamin E
Vitamin E sering disebut sebagai vitamin antioksidan. Hal ini dikarenakan perannya
untuk menangkal radikal bebas. Karena kemampuannya menahan tekanan radikal
oksidatif ini pula vitamin E disebut sebagai vitamin antipenuaan. Selain sebagai
antioksidan, vitamin E juga dikenal sebagai zat gizi penting untuk pencegahan
penyakit infeksi. Penelitian pada berbagai jenis hewan coba mengindikasikan bahwa
vitamin antioksidan berkaitan dengan peningkatan fungsi imunitas (Bendich, 1990
dalam Pallast et al., 1999). Lebih spesifik lagi, suplementasi vitamin E megadosis
(melebihi angka kecukupan gizi) memiliki efek perangsangan pada imunitas
humoral dan berperantara sel (Tangerdy et al., 1989 dalam Pallast et al., 1999).
Mekanisme peningkatan fungsi imunitas oleh vitamin E masih belum
seluruhnya dipahami. Dugaan mekanisme tersebut diduga melalui efek langsung dan
tidak langsung (melalui makrofag) vitamin E pada fungsi T-cell. Efek langsung
vitamin E mungkin diperantarai oleh perubahan molekul reseptor membran T-cell
yang diinduksi oleh vitamin E. Melalui perannya sebagai antioksidan, vitamin E juga
dapat menurunkan produksi faktor penekan imunitas (immunosuppressive factors)
seperti prostaglandin E dan hydrogen peroksida dengan mengaktifkan makrofag
(Beharka et al., 1997 dalam Pallast et al., 1999).
Pada penelitian efek suplementasi vitamin E pada orang dewasa Amerika,
Meydani et al. (1990) memperoleh efek perangsangan pada variabel yang berkaitan
dengan kepekaan imunitas T-cell-dependent 4,5 minggu setelah pemberian vitamin E
sebanyak 800 mg. Sementara itu, Pallast et al. (1999), menunjukkan bahwa
suplementasi vitamin E sebanyak 100 mg pada orang usia lanjut meningkatkan
produksi IL-4. Atas dasar temuan tersebut, Pallast dan kawankawan menyimpulkan
bahwa suplementasi vitamin E sebanyak 100 Mg dapat 2 bermanfaat pada fungsi
imunitas seluler pada orang usia lanjut.
Vitamin C

Seperti halnya vitamin E, vitamin C juga temasuk vitamin antioksidan.


Sebagai antioksidan, efek vitamin C pada respons imunitas juga sudah banyak diteliti.
Vitamin C berakumulasi (dengan konsentrasi milimol/l) dalam neutrofil, limposit,
dan monosit (Evans et al., 1982), yang mengindikasikan bahwa vitamin C berperan
penting pada fungsi imunitas. Penelitian menunjukkan fungsi pagosit, proliferasi T-
cell, dan produksi sitokin dipengaruhi oleh status vitamin C.
Pada masa infeksi, pagosit teraktivasi menghasilkan agen pengoksidasi yang
memiliki efek antimikrobial. Akan tetapi, itu dilepaskan ke media ektraselular
sehingga membahayakan inang. Untuk menetralisir efek peningkatan oksigen radikal
ini, sel memanfaatkan berbagai mekanisme antikoksidatif, termasuk vitamin
antioksidan seperti vitamin C (Li et al., 2006).

MINERAL
Berbagai penelitian telah mengungkapkan peran mineral dalam kehidupan
manusia. Berapa mineral yang sebelumnya belum diketahui berperan dalam proses
metabolisme tubuh,termasuk dalam fungsi imunitas. Ada tujuh mineral mikro yang
secara jelas diketahui memiliki peran gizi. Juga, kekurangannya berdampak
merugikan kesehatan, yaitu besi, iodium, seng, tembaga, selenium, molibdenum,
kromium (Diplock, 1987). Sementara itu, mineral mikro yang banyak dikaitkan
dengan fungsi imunitas, antara lain adalah selenium dan seng.

Selenium
Selenium (Se) adalah suatu zat gizi mikro (trace element) yang sangat esensial
pada sejumlah protein yang berkaitan dengan fungsi enzim, termasuk glutation
peroksidase, glutation reduktase, dan tioredoksin reduktase. Selenoprotein (ikatan
antara Se dan protein) dipercaya memainkan peran penting sebagai enzim antioksidan
(selenosistein) (Beck, 2001). Lebih dari 20 jenis selenoprotein telah cirikan melalui
pemurnian, kloning, ekspresi rekombinan, dan perkiraan fungsinya menggunakan
teknik bioinformatika (Arthur et al., 2003).
Selenium berperan penting dalamfungsi imunitas. Selenium mempengaruhi baik
sistem imunitas bawaan (innate), nonadaptif, dan buatan (aquired). Selain itu, Se
mempengaruhi fungsi neutrofil (Arthur, 2003).
Selain peran Se dalam fungsi imunitas, kekurangan Se diketahui
mempengaruhi virus patogen. Salah satu contohnya adalah efek kekurangan Se pada
patogenitas coxsackievirus, suatu jenis virus mRNA (Levander, 1997; Beck, 2001,
Beck et al., 2003).
Seng
Mikromineral lain yang tak kalah pentingnya pada fungsi imunitas adalah
seng (Zn). Asupan seng merupakan faktor penting pada modulasi respons imunitas
berperantara sel. Kekurangan seng berdampak pada penurunan respons pembentukan
antibody dalam limfa (Chandra and Au, 1980). Kekurangan seng juga berkaitan
dengan respons imunitas yang diindikasikan oleh kuantitas limposit dalam darah
perifer, proliferasi T-lymphocyte, pelepasan IL-2, atau citotoksik limposit (Keen and
Gerswhin, 1990).

Suplemetasi seng pada orang usia lanjut yang kekurangan seng dapat
memperbaiki respons imunitas (Lesourd, 1997). Suplementasi seng bersama-
sama dengan mikromineral lain (selenium dan kuprum) juga menurunkan infeksi
bronchopneumonia dan mempersingkat waktu rawat pasien yang menderita luka
bakar (Berger et al., 1998).
Kesimpulannya, Status gizi merupakan determinan penting bagi respons
imunitas. Perbaikan pada fungsi imunitas merupakan faktor antara peran gizi
pada pencegahan penyakit infeksi. Gizi dan penyakti infeksi berkaitan secara
sinergistis. Penelitian mutakhir menghasilkan paradigma baru kaitan antara gizi (diet)
dan patogen (agen), yaitu diet diketahui mempengaruhi agen (misalnya terjadi mutasi
virus).
REFERENSI

Siagian, Albiner. (2006). Gizi, Imunitas, Dan Penyakit Infeksi. Medan : Departemen
Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM USU.
Tugas Ringkasan :

GIZI, IMUNITAS DAN PENYAKIT INFEKSI

OLEH :

DESI SANTRI
J1A1 15 020
KELAS A

FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017

You might also like