Professional Documents
Culture Documents
Mekanisme yang melaluinya zat gizi mencegah atau mengurangi beban penyakit
infeksi adalah peningkatan daya tahan tubuh. Peningkatan daya tahan tubuh ini tidak
hanya melalui produksi antibodi humoral dan kapasitas fagosit terhadap bakteri,
tetapi juga, antara lain, melalui sekresi antibody mukosal, imunitas berperantara sel,
pembentukan komplemen, T-lymphocytes,dan T-cells (Scrimshaw and
SanGiovanni,1997). Tulisan ini membahas kaitan giziimunitas-penyakit
infeksi.Pembahasan dimulai Dengan pendahuluan yang mengenalkan kaitan antara
zat gizi dan penyakit infeksi secara umum. Topik selanjutnya adalah sejarah
penelitian mengenai kaitan gizi dan penyakit infeksi. Selanjutnya Dilakukan kajian
literature kaitan antara gizi dan penyakit infeski. Pandangan tradisional (Gambar 2a)
mengenai kaitan gizi dan infeksi mulai berubah. Ada bukti bahwa status gizi inang
Memiliki efek langsung pada pathogen (Gambar 2b). Sebagai contoh, ketika strain
coxsackievirus B3 yang tidak berbahaya diinokulasikan ke dalam tikus yang
Mengalami kekurangan baik selenium maupun vitamin E, ditemukan bahwa virus
berubah menjadi strain yang sangat berbahaya yang memiliki komposisi nukleotida
Yang berbeda (pada berbagai sisi) Dari komposisi nukleotida tikus Asal
(Levander,1997).
VITAMIN
Vitamin A
Dalam kaitannya dengan fungsi imunitas vitamin yang menarik perhatian dan yang
sering menjadi fokus penelitian adalah vitamin A, vitamin E, vitamin C, dan
kelompok vitamin B. Di antara vitamin tersebut, vitamin A adalah yang paling luas
diteliti.
Pengamatan yang mengaitkan vitamin A dengan imunitas sudah dilakukan
bahkan sebelum struktur vitamin A diketahui dengan tepat pada tahun 1931 (Karrer et
al., 1931 dalam Villamor and Fawzi, 2005). Beberapa fakta ilmiah yang mengawali
pemahaman mengenai kaitan vitamin A dan penyakit infeksi antara lain adalah
temuan Green dan Mellanby yang menunjukkan bahwa tikus yang kekurangan
vitamin A lebih rentanterhadap infeksi (Green and Mellanby, 1928 dalam Semba,
1999).
Setelah antibodi ditemukan, penelitian mengenai mekanisme yang melaluinya
vitamin A memperbaiki fungsi imunitas telah digiatkan kembali pada tahun 1960-an
(Scrimshaw et al., 1968), dan kemudian pada tahun 1980-an dengan ditemukannya
efek pelindungan dari suplementasi vitamin A pada kematian anak di Indonesia
(Sommer et al., 1986). Penelitian mutakhir juga menunjukkan bahwa metabolit aktif
vitamin A (asam retionat) berperan pada pengaturan transkripsi gen. Informasi ini
menyediakan fakta mendasar pada pemahaman mekanisme bagaimana vitamin A
mempengaruhi imunitas.
Vitamin A secara luas beperan pada fungsi imunitas. Vitamin A sangat
penting untuk memelihara integritas epitel, termasuk epitel usus. Hal ini berkaitan
dengan hambatan fisik terhadap patogen dan imunitas mucosal.
Natural killer-cells sangat penting pada pertahanan awal terhadap tumor dan
infeksi virus. Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa jumlah
NK-cell yang bersirkulasi menurun pada hewan yang kekurangan vitamin A
(Zhao et al., 1994). Senada dengan itu, pada penelitian efek status zat gizimikro
pada fungsi imunitas NK-cell, Ravaglia dan kawan-kawan menujukkan bahwa
status zat gizi mikro individual (termasuk vitamin A) dapat mempengaruhi
jumlah dan fungsi NK cell pada subyek usia lanjut (Ravaglia et al., 2000). Selain itu,
imunokompeten T cell dapat dipengaruhi oleh kekurangan vitamin A pada berbagai
tingkatan, termasuk limpopoiesis, distribusi, ekspresi, dan produksi sitokin (Villamor
and Fawzi, 2005). Penelitian suplementasi vitamin pada anakanak di Indonesia
menunjukkan terjadi peningkatan proporsi CD4 setelah 5 minggu dibandingkan
dengan control (tidak mendapatkan suplemen vitamin A) (Semba, etal.,1992).
Penelitian pada anak-anak di Afrika Yang positif terinfeksi HIV menujukkan
bahwa pemberian vitamin A meningkatkan jumlah limposit total dan juga jumlah
subpopulasi T-cell setelah 4 minggu pasca-pemberian vitamin A (Hussey et al.,1996).
Sementara itu, suplemetasi vitamin A dosis tinggi (75.000RE/kg diet) menunjukkan
bahwa vitamin A dapat meningkatkan produksi T-helper type 2 cytokine dan respons
IgA terhadap infeksi virus influensa A pada tikus coba (Cui et al., 2000).
Pemberian vitamin A juga dapat menurunkan episode dan kejadian diare pada
anak-anak ketika dikombinasikan dengan mineral seng (Rahman et al., 2001). Efek
suplementasi vitamin A pada morbiditas anak meliputi penurunan keparahan cacar air
yang dapat berkorelasi dengan peningkatan produksi antibodi T-cell-dependent
(Coutsoudis et al., 1991). Oleh karena itu, suplementasi vitamin A dianjurkan untuk
penanganan infeksi cacar air (Beck, 2001).
Vitamin E
Vitamin E sering disebut sebagai vitamin antioksidan. Hal ini dikarenakan perannya
untuk menangkal radikal bebas. Karena kemampuannya menahan tekanan radikal
oksidatif ini pula vitamin E disebut sebagai vitamin antipenuaan. Selain sebagai
antioksidan, vitamin E juga dikenal sebagai zat gizi penting untuk pencegahan
penyakit infeksi. Penelitian pada berbagai jenis hewan coba mengindikasikan bahwa
vitamin antioksidan berkaitan dengan peningkatan fungsi imunitas (Bendich, 1990
dalam Pallast et al., 1999). Lebih spesifik lagi, suplementasi vitamin E megadosis
(melebihi angka kecukupan gizi) memiliki efek perangsangan pada imunitas
humoral dan berperantara sel (Tangerdy et al., 1989 dalam Pallast et al., 1999).
Mekanisme peningkatan fungsi imunitas oleh vitamin E masih belum
seluruhnya dipahami. Dugaan mekanisme tersebut diduga melalui efek langsung dan
tidak langsung (melalui makrofag) vitamin E pada fungsi T-cell. Efek langsung
vitamin E mungkin diperantarai oleh perubahan molekul reseptor membran T-cell
yang diinduksi oleh vitamin E. Melalui perannya sebagai antioksidan, vitamin E juga
dapat menurunkan produksi faktor penekan imunitas (immunosuppressive factors)
seperti prostaglandin E dan hydrogen peroksida dengan mengaktifkan makrofag
(Beharka et al., 1997 dalam Pallast et al., 1999).
Pada penelitian efek suplementasi vitamin E pada orang dewasa Amerika,
Meydani et al. (1990) memperoleh efek perangsangan pada variabel yang berkaitan
dengan kepekaan imunitas T-cell-dependent 4,5 minggu setelah pemberian vitamin E
sebanyak 800 mg. Sementara itu, Pallast et al. (1999), menunjukkan bahwa
suplementasi vitamin E sebanyak 100 mg pada orang usia lanjut meningkatkan
produksi IL-4. Atas dasar temuan tersebut, Pallast dan kawankawan menyimpulkan
bahwa suplementasi vitamin E sebanyak 100 Mg dapat 2 bermanfaat pada fungsi
imunitas seluler pada orang usia lanjut.
Vitamin C
MINERAL
Berbagai penelitian telah mengungkapkan peran mineral dalam kehidupan
manusia. Berapa mineral yang sebelumnya belum diketahui berperan dalam proses
metabolisme tubuh,termasuk dalam fungsi imunitas. Ada tujuh mineral mikro yang
secara jelas diketahui memiliki peran gizi. Juga, kekurangannya berdampak
merugikan kesehatan, yaitu besi, iodium, seng, tembaga, selenium, molibdenum,
kromium (Diplock, 1987). Sementara itu, mineral mikro yang banyak dikaitkan
dengan fungsi imunitas, antara lain adalah selenium dan seng.
Selenium
Selenium (Se) adalah suatu zat gizi mikro (trace element) yang sangat esensial
pada sejumlah protein yang berkaitan dengan fungsi enzim, termasuk glutation
peroksidase, glutation reduktase, dan tioredoksin reduktase. Selenoprotein (ikatan
antara Se dan protein) dipercaya memainkan peran penting sebagai enzim antioksidan
(selenosistein) (Beck, 2001). Lebih dari 20 jenis selenoprotein telah cirikan melalui
pemurnian, kloning, ekspresi rekombinan, dan perkiraan fungsinya menggunakan
teknik bioinformatika (Arthur et al., 2003).
Selenium berperan penting dalamfungsi imunitas. Selenium mempengaruhi baik
sistem imunitas bawaan (innate), nonadaptif, dan buatan (aquired). Selain itu, Se
mempengaruhi fungsi neutrofil (Arthur, 2003).
Selain peran Se dalam fungsi imunitas, kekurangan Se diketahui
mempengaruhi virus patogen. Salah satu contohnya adalah efek kekurangan Se pada
patogenitas coxsackievirus, suatu jenis virus mRNA (Levander, 1997; Beck, 2001,
Beck et al., 2003).
Seng
Mikromineral lain yang tak kalah pentingnya pada fungsi imunitas adalah
seng (Zn). Asupan seng merupakan faktor penting pada modulasi respons imunitas
berperantara sel. Kekurangan seng berdampak pada penurunan respons pembentukan
antibody dalam limfa (Chandra and Au, 1980). Kekurangan seng juga berkaitan
dengan respons imunitas yang diindikasikan oleh kuantitas limposit dalam darah
perifer, proliferasi T-lymphocyte, pelepasan IL-2, atau citotoksik limposit (Keen and
Gerswhin, 1990).
Suplemetasi seng pada orang usia lanjut yang kekurangan seng dapat
memperbaiki respons imunitas (Lesourd, 1997). Suplementasi seng bersama-
sama dengan mikromineral lain (selenium dan kuprum) juga menurunkan infeksi
bronchopneumonia dan mempersingkat waktu rawat pasien yang menderita luka
bakar (Berger et al., 1998).
Kesimpulannya, Status gizi merupakan determinan penting bagi respons
imunitas. Perbaikan pada fungsi imunitas merupakan faktor antara peran gizi
pada pencegahan penyakit infeksi. Gizi dan penyakti infeksi berkaitan secara
sinergistis. Penelitian mutakhir menghasilkan paradigma baru kaitan antara gizi (diet)
dan patogen (agen), yaitu diet diketahui mempengaruhi agen (misalnya terjadi mutasi
virus).
REFERENSI
Siagian, Albiner. (2006). Gizi, Imunitas, Dan Penyakit Infeksi. Medan : Departemen
Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM USU.
Tugas Ringkasan :
OLEH :
DESI SANTRI
J1A1 15 020
KELAS A