You are on page 1of 46

REFERAT

AUTIS
ILMU KEDOKTERAN JIWA

Disusun oleh:
Petrina Theda Philothra (102011101087)
Nadya Anisah (102011101009)
Indah Kusuma Wardani (102011101048)

Pembimbing:
dr. Justina Evy T., Sp.KJ
dr. Alif Mardijana, Sp.KJ

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa FK Universitas Jember - RSD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................. 1
DAFTAR ISI.......................................................................................... 2
PENDAHULUAN.................................................................................. 3
EPIDEMIOLOGI.................................................................................. 4
ETIOLOGI............................................................................................. 4
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN.................................................. 7
Perkembangan anak …………………….................................... 7
Pemeriksaan status mental…………………................................... 17
DSM IV ( 1995) Kriteria Gangguan Autisme.................................. 18
Kriteria Diagnosis Autisme menurut PPDGJ-3.............................. 20
DIAGNOSIS BANDING ..................................................................... 21
PENANGANAN AUTISME………… ....................................... 22
PROGNOSIS ………………………………………… …………..36
DETEKSI DINI ……………………………………… …………..37
STIMULASI DINI …………………………………… …………. 41
KESIMPULAN ………………………………………… ………...46
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………47

2
I. PENDAHULUAN
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai
dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku dan
interaksi sosial. Gejala harus sudah tampak sebelum usia 3 tahun. Beberapa
penelitian terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan
untuk melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi
orang lain, mengalami kesulitan mengenali emosi-emosi tertentu (Castelli, 2005),
dan kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem limbik salah satu bagian otak
yang mengalami kelainan pada anak autis memiliki peranan yang penting dalam
proses emosi pada anak autistik. Gangguan pada sistem limbik yang merupakan
pusat emosi mengakibatkan anak autistik kesulitan mengendalikan emosi, mudah
mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak
tertawa. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan
alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik
rambut (Moetrasi dalam Azwandi, 2005). Perilaku steriotip yang dilakukan anak-
anak autistik adalah suatu cara mereka untuk mengendalikan emosi. Tindakan
menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri
dilakukan anak autis untuk menghindari rasa sakit yang lebih besar dan menjadi
fungsi komunikatif untuk mencari perhatian. Kembali pada rutinitas dapat
menjadi cara anak untuk menghindari dan mengontrol rasa takut atau suatu cara
untuk lari dari situasi yang membingungkan (Azwandi, 2005).
Salah satu bidang fungsional dari syaraf pusat yang mengalami gangguan
adalah pemrosesan sensorik. Anak-anak dengan gangguan pemrosesan sensorik
tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya
dari berbagai sudut pandang. Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh
mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif. Reaktifitas sensorik atau
gangguan pemrosesan dapat menyebabkan anak salah menafsirkan informasi
emosional dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang
tidak tepat atau ekstrim (Greenspan dan Weider, 2006). Anak-anak autistik
mengalami dampak gangguan kemampuan biologis untuk menambahkan makna
pada persepsi harafiah. Anak-anak autis ini kesulitan untuk menganalisis dan

3
memahami komunikasi manusia dan akhirnya anak-anak autis ini juga kesulitan
untuk berkomunikasi. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan,
gangguan pemahaman/atau gangguan pervasif. Kognisi adalah mengenai
pemahaman. Anakanak melihat, mendengar, merasakan, dan mengecap. Mereka
kemudian belajar untuk menghayati, memahami, untuk berpikir abstrak.
Pemahaman berhubungan dengan proses seperti memperhatikan dan mengingat.
Gangguan pemrosesan pada anak autistik yang dapat menyebabkan anak salah
menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya tersebut mengakibatkan
reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan
kebingungan dan ketakutan. Dalam pengenalan emosi anak autis memiliki strategi
pengganti sehingga mereka memiliki respon yang berbeda pula. Dalam beberapa
teori dan penelitian mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus
yang menimbulkan respon emosi. Anak autistik yang mengalami permasalahan
pemrosesan sensorik dapat sangat peka atau kurang peka pada rangsangan
(Greenspan dan Wieder, 2006).Penyandang autisme mendapatkan terapi
medikamentosa, terapi biomedik, terapi wicara, terapi perilaku dan terapi okupasi
untuk meminimalkan gejala autisme.

II. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152-
per 10.000 anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu
yang hanya 2-4 per 10.000 anak. Melihat angka tersebut, dapat diperkirakan di
lndonesia setiap tahun akan lahir lebih kurang 69000 anak penyandang autis
(Yanwar Hadiyanto, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan Melly Budiman
(2001) memperlihatkan bahwa pada tahun 1987 penderita autisme 1/500 anak dan
tahun 2001 menjadi 1/150 anak.

III.ETIOLOGI
Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya autisme diantaranya
adalah sebagai berikut:

4
1. Faktor Psikodinamika dan Keluarga
Anggapan bahwa orang tua yang “dingin” yang menyebabkan anaknya
menjadi autis sudah tidak dianut lagi.
2. Faktor Neurologik dan Biologik
Komplikasi perinatal lebih banyak ditemukan dibanding dengan anak
normal. Sebagian kasus mengalami seizure (serangan kejang) suatu ketika
dalam hidupnya, dan sebagian menunjukkan pelebaran ventrikel pada CT-
Scan. Berbagai kelainan EEG ditemukan pada 10-83% anak autistik
walaupun tidak ada yang patognomonik. Pada otopsi ditemukan kekurangan
jumlah sel purkinje, dan pada pemeriksaan PET ditemukan peningkatan
mentabolisme kortikal.
3. Faktor Genetik
2-4% saudara kandung dari anak autistic juga menunjukkan gejala autism.
4. Faktor Imunologik
Adanya inkompatibilitas imunologik antara ibu dan janin yang dikandung
mungkin mempunyai andil dalam menyebabkan autism.
5. Faktor Perinatal
Riwayat perdarahan setelah trimester 1, mekonium dalam cairan amnion,
penggunan obat-obatan pada saat kehamilan, serta kondisi hipoksia saat
persalinan, lebih banyak didapatkan pada anak autis daripada pada anak
normal.
6. Faktor Neuroanatomik
Penelitian dengan MRI menemukan peningkatan volume otak pada lobus
oksipital, temporal, dan parietal pada kelompok anak autistik. Lobus
temporalis dianggap penting dalam terjadinya abnormalitas otak pada
autisme. Hal ini didasarkan pada laporan adanya autistic like syndrome pada
mereka dengan kerusakan lobus temporalis. Penemuan lain adalah
berkurangnya sel purkinje di otak kecil yang mengakibatkan gangguan
perhatian, arousal, dan proses-proses sensorik.

5
7. Faktor Biokimia
Pada sepertiga pasien autisme ditemuykan peningkatan kadar serotonin pada
plasma. Pada beberapa anak autistik, peningkatan kadar homovanilic acid
(metabolit dopamine) dalam cairan serebrospinal berhubungan dengan
perilaku menarik diri serta gerakan stereotipik.
8. Faktor Lingkungan
Sallie Bernard menemukan kumpulan gejala yang sangat mirip antara kasus
autisme dengan keracunan air raksa dan mengklaim bahwa autism adalah
suatu bentuk keracunan Hg. Merkuri yang berlebihan akan mempengaruhi
ketidakseimbangan immune cells, mengakibatkan tingginya kadar IgE,
mempengaruhi respon imun terhadap makanan (IgE dan IgG), mengganggu
fungsi enzim DDPIV (Dipeptidil Peptidase IV), dan mempengaruhi
mielinisasi jaringan saraf. Pada banyak anak autistik ditemukan logam berat
(Hg, Pb, As, Al dan Cd) yang berlebihan pada pemeriksaan rambut.
9. Teori Opioid
Menurut teori ini, autisme muncul dari adanya opioid yang berlebihan pada
system saraf pusat yang berlangsung lama. Opioid tersebut dianggap
bersumber pada hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan atau
casein berupa morphine like peptides yaitu casomorfin dan gliadorfin. Teori
ini juga berkaitan dengan adanya leaky gut sehingga peptide itu bias
menembus mukosa usus masuk ke peredaran darah dan menembus sawar
darah otak.
10. Mikroorganisme Patogen dalam Saluran Cerna
Pada umumnya anak autis mengalami gangguan pencernaan kronis, berupa
diare dan atau konstipasi, nyeri perut atau kembung. Pada biakan feces,
ditemukan berbagai penyebab, termasuk jamur, bakteri, virus, dan parasit.
11. Defisiensi Nutrisi
Pada kelompok anak autistik ditemukan defisiensi Zn, Ca, Mg, Omega-3
fatty acid, serat (fiber), anti oksidan dan berbagai vitamin. Konsekuensi dari
defisiensi tersebut adalah gangguan pencernaan, fungsi imunologi, dan
fungsi otak.

6
12. Autoimunitas
Penelitian oleh Singh V.K et al, menunjukkan adanya anti Myelin Basic
Protein (suatu antibodi) pada kasus autisme.

IV. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN


Tidak diperlukan suatu pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan
tambahan lainnya seperti EEG, CT-Scan kepala, MRI kepala, ataupun Brain
Mapping. Diagnosis didasarkan atas anamnesis yang teliti dan observasi perilaku
anak. Anamnesis meliputi perkembangan anak sejak lahir, serta keadaan ibu
sebelum dan selama hamil serta saat persalinan, kemudian ditambah riwayat
keluarga untuk berbagai gangguan perkembangan serta gangguan jiwa.
Pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan tambahan kadang diperlukan apabila
ada indikasi untuk memastikan faktor-faktor etiologi, diagnosis banding, atau
apabila ada kondisi atau gangguan lain yang menyertainya.
Perkembangan Anak
Pengetahuan mengenai perkembangan anak merupakan hal yang sentral dalam
psikiatri anak. Tanpa pengetahuan mengenai hal ini sesorang tidak mungkin
bekerja dan menangani masalah-masalah anak. Seorang bayi tumbuh dan
berkembang hingga akhir menjadi manusia dewasa. Perkembangan anak
merupakan hasil interaksi antara “nature” dan “muture” atau antara
“biologi”(aspek fisik, genetik dan lingkungan) dan “lingkungan”(psikoedukatif,
sosiokultural). Walaupun secara teoritik nature dan muture itu dapat dipisahkan,
tetapi dalam kenyataannya keduanya saling berada bersama, saling berinteraksi
dan tumpang tindih. Faktor lingkungan dapat mencetuskan atau merangsang
berkembangnya fungsi-fungsi tertentu, mengatur dan memberikan arah,
percepatan dan sebaliknya, menghambat perkembangan fungsi-fungsi itu. Di
pihak lain, sifat-sifat tertentu dari organisme itu sendiri dapat merangsang respon
lingkungan yang mendukung atau mengahambat, atau menimbulkan reaksi-reaksi
idiosinkratik dalam perkembangan fungsi-fungsinya. Proses perkembangan
merupakan proses yang kompleks.

7
1. Teori Perkembangan Psikoseksual (Freud)
Teori ini menerangkan bagaimana libido yang tadinya berbentuk diffuse
dan tidak terdiferensiasi, berkembang mencapai bentuknya yang dewasa yaitu
seks genital; dari fase pragenital mencapai fase genital primacy. Menurut teori
ini insting seksual dibawa individu sejak ia dilahirkan. Namun manifestasinya
tidak dalam bentuk seksualitas yang umunya diartikan oleh orang dewasa
(seks genital), melainkan dalam bentuk pragenital. Insting seksual ini
dianggap sebagai insting apling penting diantara insting-insting manusia
(insting vital, insting agresi, insting kematian) karena ia berada di dalam tabu
umat manusia kedalam nirsadar sehingga ia cendering direpresi, disangkal,
dan karenanya sering menjadi sumber konflik neurotik. Secara garis besar,
perkembangan ini akan melalui fase-fase sebagai berikut :
a. Fase oral : 0 – 2 tahun
b. Fase anal-uretral : 2 – 4 tahun
c. Fase phallus : 4 – 6 tahun
d. Fase laten : 6 – 11 tahun
e. Fase genital : 12 tahun – remaja
2. Teori perkembangan psiko-sosial dari Erik Erikson
Teori ini menggunakan prinsip epigenetik dalam usaha menerangkan
perkembangan pribadi manusia, yaitu bahwa semua yang berkembang
mempunyai rencana ataupun pola dasar yang sudah ada sebelumnya, dan dari
rancangan dasar itu akan berkembang berbagai fungsi menurut waktunya
sendiri-sendiri sebagai hasil interaksi antara manusia dengan lingkungannya,
hingga mencapai suatu kesatuan fungsional yang menyeluruh. Selagi individu
melalui proses perkembangannya, ia akan mengahadapi dan mengalami titik-
titik kritis, karena perkembangan itu menurut adanya perubahan-perubahan
dalam kualitas fungsi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perekembangan
yang semakin kompleks.
Seorang anak dalam perkembangan menghadapi konflik dengan
lingkungan. Anak berusaha mengatasi konflik, anak dapat berhasil dan dapat
gagal dalam setiap fase perkembangan. Bila anak berhasil mengatasi konflik
tersebut, anak akan lebih mudah dalam mengatasi konflik di fase berikutnya.

8
a. Oral sensory stage : lahir-1- 1 1/2 tahun, basic trust vs basic mistrust
b. Muscular anal stage : 2-3 tahun, autonomy vs shame and doubt
c. Locomotor genital stage : 3-6 tahun initiative vs guilt
d. Stage of latency : 6-11 tahun, industry vs inferiority
e. Stage of puberty and adolescence: 11-18 tahun ego identity vs role
confusion.
f. Stage of young adulthood :18-30 tahun, intimacy vs isolation
g. Stage of adulthood : 30-45 tahun, generativity vs stagnation
h. Stage of maturity : 45 thn keatas, Integrity vs despair.
3. Teori perkembangan psikokognitif Jean Piaget
Perkembangan intelegensia anak berdasarkan atas rangkaian yang
progresif dari suatu pola dimana dasarnya adalah proses asimilasi dan proses
akomodasi Ada 4 faktor utama menurut Piaget, terjadinya perkembangan
mental
a. Adanya pertumbuhan dan maturasi organik dari persyarafan dan sistem
endokrin.
b. Pengaruh dan peranan dari latihan dan pengalaman yang diperoleh dari
tindakan-tindakan yg dilakukan terhadap objek fisik
c. Adanya interaksi sosial dan transmisi sosial
d. Adanya daya upaya yang saling taut bertautan untuk mempertahankan
“ekuilibrium”.
Dalam setiap tingkatan perkembangan, persoalan dalam pembentukan
ekuilibrium, dimana konsep terdahulu akan merupakan dasar dalam
pembentukan kesanggupan selanjutnya, dan akan berakumulasi dalam pikiran
logis pada saat dewasa. Anak berada dalam suatu ekuilibrium konseptual, dan
bila ia memperoleh pengalaman yang tidak sesuai dengan ekuilibrium yang
dimilikinya, anak akan berada dalam “unpleasant state”, yaitu suatu keadaan
disekuilibrium dan anak akan mengadakan perubahan dalam kerangka
konseptual yang dimilikinya, sehingga ia berada dalam tingkatan yang lebih
maju dalam menghadapi masalah tersebut. Dan ini berarti anak kembali dalam
“state equilibrium”, dan berarti anak telah dapat menyesuaikan diri terhadap
persoalan tersebut. Perkembangan mental anak bergerak dari suatu
tingkatan/dataran/plateau ke tingkat yang lebih tinggi, dan anak mengadakan
perubahan terhadap kerangka. Konseptual yg dimilikinya, dengan melakukan
“proses akodasi“ dalam menghadapi masalah/pengalaman dan kesulitan baru.

9
Bila anak menerima persoalan atau pengalaman, akan tetapi masih dalam
tingkatan atau plateau yg sama, maka anak melakukan “proses asimilasi”.
Proses perkembangan Psikokognitif dari Jean Piaget melalaui empat peride
sebagai berikut :
1. Periode sensori-motor : lahir – 2 tahun
2. Periode pikiran pra - operasional, terdiri dari :
a. fase pra - operasional : 2-4 tahun
b. fase intuitif : 4-7 tahun
3. Periode operasional konkrit : 7 - 12 tahun
4. Periode operasional abstrak atau operasional formal : 12 - 15 tahun
4. Perkembangan moral dari Kohlberg
Secara sederhana, moralitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
membedakan yang benar atau baik dan yang salah atau buruk. Namun dalam
kenyataan, tidaklah sesederhana itu karena konsep tersebut mencakup tiga
aspek kemampuan seseorang, yaitu : aspek kognitif, aspek efektif, dan aspek
perilaku. Kematangan moral akan tercapai pada akhir masa remaja, dan
seringkali proses maturasi masih berlanjut sampai usia dewasa. Panutan pada
model sangat mempengaruhi, karena itu figur-figur percontohan dalam
lingkup keluarga dan masyarakat sangat penting dalam proses perkembangan
moral anak. Menurut kohlberg, perkembangan moral itu terjadi secara gradual
melalui 6 fase, menurut orientasi maralitas yang digunakan :
Pre – Konvensional :
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi perhatian diri

Konvensional :
1. Kesesuaian interpersonal
2. Otoritas dan mempertahankan perintah sosial
Post – Konvensional :
1. Orientasi kontrak sosial
2. Prinsip etik universal
Perkembangan Bayi-Remaja
a. Masa Bayi 0-1,5 tahun
Tuntutan perkembangan: Mendapatkan rasa percaya diri dan rasa aman.

10
Sarana : Proses penyusunan
Ciri-ciri : Tidak berdaya, ketergantungan.
Kebutuhan : rasa kasih sayang secara konsisten dan
berkesinambungan.
Tercapai : rasa aman dan kepercayaan terhadap sesama
manusia.
Gagal :
 Tidak percaya terhadap lingkungan
 Pesimis terhadap masa yang akan datang
 Ketergantungan yang kuat
 Menuntut kekuatan secara pasif
 Goyah terhadap perkembangan selanjutnya.
b. Masa Asuhan 1,5-3 tahun
Tuntutan perkembangan: Mendapatkan rasa kemampuan diri
Sarana :
 Rasa percaya diri dan aman yang kuat
 Belajar mengguanakan anggota badan atas kemauannya sendiri.
 Menentang
 Bandel
 Egois
 Sadis
 Belum dapat berbagi
 Senang main kotor
 Mau mencoba semua
Kebutuhan :
 Pujian
 Penghargaan
 Dukungan
 Dorongan
 Pengertian
Tercapai :
 Kemandirian
 Kepercayaan diri
Gagal :
 Rasa malu
 Sikap ragu-ragu
 Pengekangan diri secara berlebihan
 Kekaburan antara cinta dan benci
c. Masa Prasekolah 3-6 tahun

11
Tuntutan perkembangan : Memperoleh rasa inisiatif
Sarana :
 Rasa percaya diri dan aman
 Rasa kemampuan diri
 Ruang gerak yang meluas
 Dinamika kehidupan keluarga
 Proses belajar berperan
Ciri-ciri :
 Ingin tahu
 Banyak bertanya
 Berkhayal
 Aktif
 Senang main bersama
 Senang meniru
 Iri atau cemburu terhadap jenis kelamin yang sama
Kebutuhan :
 Pengertian
 persahabatan
 Penerangan
Tercapai :
 Kemampuan bermasyarakat
 Identifikasi seksual
 Inisiatif
Gagal :
 Rasa bersalah
 Takut berbuat sesuatu
 Takut mengemukakan sesuatu
d. Masa Sekolah 6-12 tahun
Tuntutan perkembangan : Memperoleh rasa mampu menyelesaikan sesuatu
dengan sempurna dan mampu menghasilkan sesuatu
Sarana :
 Rasa percaya diri dan aman
 Rasa kemampuan diri
 Modal inisiatif
 Lingkungan lebih luas (sekolah, dll)
Ciri-ciri :
 Belajar
 Bertanggung jawab
 Berkarya

12
 Bersahabat
 Keadilan
 Kejujuran
Kebutuhan :
 Contoh yang baik
 Keadilan
 Kejujuran
Tercapai : Produktivitas
Gagal :
 Rasa tidak mampu berprestasi/bersaing dalam masyarakat.
 Rendah diri
 Kurang bertanggung jawab
 Kurang bergairah
e. Masa Remaja 12-18 tahun
Tuntutan perkembangan: mencapai identitas diri
Sarana :
 Modal : rasa percaya diri dan aman, rasa kemampuan diri, inisiatif,
mampu menghasilkan sesuatu.
 Lingkungan : lebih luas
Ciri-ciri :
 Pencarian identitas diri :
o Butuh bereksperimentasi
o Butuh bertean kelompok
o Krisis terhadap orang dewasa
o Tak suka dikritik
o Merasa dewasa dan ingin bebas
 Pencarian identitas seksual:
o Merasa tertarik pada lawan jenis
o Mulai jatuh cionta/pacaran
 Pencarian identitas sosial:
o Mulai memikirkan masa depan
o Mulai mencari sekolah yang cocok
o Mulai membangun cita-cita
Kebutuhan : pengertian
Tercapai : Identitas diri
Gagal : Kekacauan dalam peran.

13
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak menurut
usia.
USIA 0 – 6 BULAN
 Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
 Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
 Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
 Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
 Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
 Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal

USIA 6 – 12 BULAN
 Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
 Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
 Gerakan tangan dan kaki berlebihan
 Sulit bila digendong
 Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
 Tidak ditemukan senyum sosial
 Tidak ada kontak mata
 Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
USIA 1 – 2 TAHUN
 Kaku bila digendong
 Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
 Tidak mengeluarkan kata
 Tidak tertarik pada boneka
 Memperhatikan tangannya sendiri
 Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
 Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
USIA 2 – 3 TAHUN
 Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
 Melihat orang sebagai “benda”
 Kontak mata terbatas
 Tertarik pada benda tertentu
 Kaku bila digendong
USIA 4 – 5 TAHUN
 Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
 Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
 Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
 Temperamen tantrum atau agresif
 Sering didapatkan ekolalia (membeo)

14
Pemeriksaan Status Mental Anak
Dalam mendiagnosis adanya gangguan jiwa pada anak, diperlukan sejumlah
observasi dan pemeriksaan mengenai status mental anak, agar dapat diketahui
apakah ada kelainan atau tidak. Kepribadian anak yang dievaluasi merupakan
evaluasi atas fungsi ego dan bagian yang terlihat dari superego. Sebagaimana
yang dikatakan Freud bahwa ego merupakan salah satu bagian penting pada
kepribadian mengenai bagaimana kepercayaannya dalam menjalankan fugsi
pentingnya.
Pemeriksaan status mental akan mendiskripsikan mengenai keadaan umum
dan perilaku anak. Diagnosis akan menjadi samar-samar dan membingungkan
apabila deviasi fungsi ego diabaikan dan tidak terekam atau hanya aspek yang
mengalami deviasi saja yang digali dari pasien. Berikut ini adalah beberapa hal
yang perlu digali pada pasien anak saat melakukan wawancara :
1. Appearance
Penampilan atau keadaan umum pasien anak memberikan petunjuk
mengenai fungsi egonya. Dengan ini kita dapat mengidentifikasi keinginan
anak dalam hal berpakaian, kenyamanan, dan keadaan sosioekonomi.
Beberapa hal yang perlu dicantumkan dalam pemeriksaan adalah deskripsi
ukuran tubuh pasien dan penampilan apakah anak tersebut mengalami
masalah emosi yang kronik sehingga menyebabkan munculnya jerawat,
obesitas, gangguan bicara dan sebagainya.
2. Mood or affect
Afek merupakan ekspresi atas perasaan yang ditampakkan oleh pasien.
Bagaimanakah perubahan fluktuasi afek selama wawancara dan
bagaimanakah perkembangan emosi pasien dari wawancara pertama dan
selanjutnya perlu untuk dievaluasi. Pada sebagain anak dapat terlihat
ketakutan saat awal, namun akan mencair beberapa saat setelahnya dan
menunjukkan perasaan sebenarnya.
3. Orientation and perception
Fungsi ego ini merefleksikan banyak mengenai kemampuan anak dalam
melihat kenyataan. Dalam menilai orientasi anak, dapat dilihat dari

15
bagaimana intelektual anak dalam melihat realitas seusia dengan usianya
dan pengetahuannya akan waktu, tempat, dan orang. Sedangkan persepsi
mengungkapkan kesan atas benda yang ditangkap melalui indranya.
Dalam menilai persepsi, hal yang perlu diketahui adalah bagaimana pasien
membedakan kenyataan dari fantasi. Pada usia 3-4 tahun, beberapa
kemampuan membedakan hal ini sudah dapat dievaluasi, dan evaluasi
secara jelas pada usia 6-7 tahun.
4. Coping mechanisms
Mekanisme ini merupakan cara bagaimana pasien mengendalikan atau
mengontrol emosinya serta kecemasannya. Pertahanan apa yang
digunakan oleh pasien, apakah pasien memiliki kecenderungan untuk
mengelak, menyangkal, menghindar, beralasan, ataupun berusaha
merasionalisasi.
5. Neuromuscular integration
Kita perlu mengetahui bagaimana derajat aktivitas anak yang dilihat dari
kemampuan motorik kasar dan halus dibandingkan anak normal seusianya.
Pada beberapa anak yang masih sangat kecil, anak psikotik ataupun
dengan anak yang memiliki gangguan otak organik mengalami kesulitan
dana motilitas dan koordinasi diri.
6. Thought process and verbalization
Informasi mengenai cara berbicara pasien dan cara berpikirnya dapat
dievaluasi saat wawancara langsung. Dengan membiarkannya bercerita,
kita dapat mengetahui banyak mengenai kelancaran berbicaranya,
kosakata, kesukaannya, bagaimana hubungannya dengan sesama, dan
kemampuannya mengorganisir pikirannya.
7. Fantasy
Fantasi merupakan salah satu bagian dari cara berpikir, fungsi ego,
kemampuan intelektual dan perseptif anak yang dapat digambarkan dalam
gambar, harapan, impian, dan aktivitas bermainnya.
8. Superego

16
Merupakan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan oleh orangtua,
bagaimana mempertahankan kesadaran moral seseorang atas dasar
kompleks sistem yang ideal.
9. Concept of self
Konsep atas diri, relasi terhadap objek, dan identifikasi dalam kelompok
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pemeriksa dapat
mengidentifikasi bagaimana interaksi pasien dengan pemeriksa, hubungan
dengan orangtua, dan teman sebayanya serta terhadap lingkungan osisal
yang ada. Dalam hal ini, dapat diketahui pula apakah erkembangannya
normal, mengalami retardasi atau regresi.

DSM IV ( 1995) Kriteria Gangguan Autisme:


A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala
dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :
1. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi
dalam sedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini :
a. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak
mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi
sosial.
b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya
sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan
orang lain.
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang
timbal balik.
2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1
dari gejala berikut ini:
a. Perkembangan bahasa lisan ( bicara) terlambat atau sama sekali
tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk
berkomunikasi secara non verbal.

17
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk
berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulang-
ulang.
d. Kurang mampu bermain imajinatif ( make believe play ) atau
permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf
perkembangannya.
3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang.
Minimal harus ada 1dari gejala berikut ini :
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan fokus dan
intensitas yang abnormal atau berlebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas
c. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti
menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan,menggerakkan
tubuh.
d. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian
tertentu dari obyek.
J. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun
minimal pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan
bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif.
K. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif
Masa Anak.

Kriteria Diagnosis Autisme menurut PPDGJ-3


A. Abnormalitas atau terganggunya perkembangan sudah terkihat
sebelum usia 3 tahun, minimal satu area di bawah ini:
1. Kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif dalam komunikasi
social.
2. Perkembangan kelekatan sosial yang selektif atau interaksi sosial
timbal balik.

18
3. Kemampuan menggunakan mainan sesuai fungsinya atau bermain
pura-pura.
B. Minimal ada enam gejala total dari 1, 2, dan 3, dengan sedikitnya dua
gejala dari 1, dan satu gejala dari masing-masing 2 dan 3.
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial. Minimal dua dari:
a. Kurangnya kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan
gerak-gerik untuk melakukan interaksi sosial.
b. Gagal dalam mengembangkan kemampuan interaksi dengan
sebaya yang meliputi minat, aktivitas, dan emosi.
c. Kurangnya kemampuan timbal balik secara sosial dan
emosional.
d. Kurangnya minat untuk berbagi kegembiraan atau kesenangan
dengan orang lain (misal: memamerkan benda, menunjuk benda
atau orang lain).
2. Abnormalitas secara kualitatif dalam komunikasi. Minimal satu
dari:
a. Terlambat atau belum bias berbahasa serta kurang mampu
menggunakan bahasa isyarat.
b. Kegagalan memulai suatu atau mempertahankandialog timbal
balik.
c. Penggunaan bahasa yang stereotipi atau berulang-ulang.
d. Kurang daya khayal serta kemampuan bermain pura-pura dan
meniru.
3. Perilaku berulang (stereotipi) serta minat dan aktivitas yang
terbatas. Minimal satu dari:
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih minat yang abnormal dalam
hal isi, atau keterpakuan, atau intensitasnya.
b. Kelekatan yang kompulsif pada rutinitas yang tak bertujuan atau
suatu ritual.

19
c. Gerakan motorik berulang pada tangan atau jari-jari, kepak-
kepak atau gerakan memelintir, atau gerakan tubuh yang
kompleks.
d. Preokupasi terhadap bagian dari benda atau mainan (misal: pada
baunya, teksturnya, suaranya, atau getaran yang
ditimbulkannya).
C. Gambaran klinis tidak sesuai untuk kelompok gangguan
perkembangan pervasif, gangguan perkembangan khas berbicara dan
berbahasa, gangguan kelekatan rektif atau gangguan kelekatan
terhambat, retardasi mental, skizofrenia onset masa kanak, dan
sindrom Rett.

V. DIAGNOSIS BANDING
Gangguan Perkembangan Pervasif sering disebut dengan Gangguan Spektrum
Autisme. Ada 5 diagnosis banding, yaitu:
1. Sindrom Rett
2. Gangguan Desintegratif Masa Kanak Lainnya
3. Sindrom Asperger
4. Gangguan Aktivitas Berlebih yang Berhubungan dengan Retardasi Mental dan
gerakan stereotipik
5. Gangguan Perkembangan Pervasif YTT (Tak khas)

VI. PENANGANAN AUTISME


Autisme masih mempunyai harapan untuk sembuh walaupun tidak sembuh
secara total, karena ada kelainan pada otaknya. Namun dapat diusahakan agar sel-
sel otak yang yang masih baik dapat mengambil alih dan berfungsi menggantikan
sel yang rusak asal dilakukan dengan cepat dan tepat dan dimulai sejak gejalanya
masih ringan. Hal terpenting yang mempengaruhi kemajuan anak autisme adalah
deteksi dini yang diikuti oleh penanganan yang tepat dan benar, serta intensitas
terapi yang dijalani oleh anak autisme. Jika keduanya dilakukan, anak dengan
autisme masih mempunyai harapan untuk lebih baik untuk dapat hidup mandiri

20
dan bersosialisasi dengan masyarakat yang normal. Semakin cerdas anak, semakin
cepat kemajuannya (Handojo, 2004).
Berbagai jenis terapi telah dikembangkan untuk mengembangkan
kemampuan anak autisme agar dapat hidup mendekati normal. Tatalaksana ini
meliputi semua disiplin ilmu yang terkait seperti tenaga medis (psikiater, dokter
jiwa, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga
pendidik, psikolog, alhli terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi
pada anak autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan
kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penggunaan bahasa.
Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang
menyeluruh dan bersifat individual (Ferizal Masra, 2003). Hal yang paling
ditakuti jika anak tidak diterapi adalah ketidak mampuan anak melakukan segala
sesuatunya sendiri dengan kata lain anak: tidak akan bisa mandiri seperti makan,
minum, toileting, gosok gigi, dan kegiatan-kegiatan lain (Y. Handoyo, 2003).
Bahkan literature mengatakan 75% anak autisme yang tidak tertangani, akhimya
menjadi tunagrahita (Clara Westy, 2004).
Anak yang diberikan terapi tidak mempunyai target waktu yang
ditentukan, karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai waktu yang pasti
dan terapi yang diberikan tergantung pada banyak hal seperti usia anak pada saat
pertama kali diterapi dan kemampuan terapis untuk memberikan terapi. Anak
penyandang autisme harus ditempa agar dapat hidup dan berkembang layaknya
anak normal, sebuah penelitian menunjukkan anak yang diintervensi secara terus
menerus selama lebih kurang 6 minggu secara terstruktur memperlihatkan hasil
yang baik. Hal ini mungkin didukung oleh fasilitasi dalam menjalankan terapi
dimana pada saat anak diberikan terapi perilaku mereka mendapatkan satu
ruangan perorang sehingga anak bebas dari gangguan dari lingkungan sekitamya
seperti bunyi-bunyian. Ruangan yang tenang dapat membantu anak untuk
menerima materi dengan mudah karena lebih konsentrasi. Begitu juga dengan
terapis lebih konsentrasi menangkap kemajuan yang diperlihatkan anak autistik.
Menurut Abdul Hadits dalam bukunya “Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus Autistik” mengistilahkan dengan layanan pendidikan, yang meliputi :

21
layanan pendidikan awal dengan program intervensi dini, dengan program terapi
penunjang dan layanan pendidikan lanjutan (Hadist, 2006)
A. Layanan Pendidikan Awal dengan Program Intervensi Dini
Anak autis dengan masalah perkembangan dan kemampuan berbeda,
pendekatan penanganan pendidikannya pun juga berbeda-beda. Depdiknas
mengemukakan bahwa program pendidikan dalam pendidikan intervensi dini
untuk anak autis meliputi :
1. Discrete Trial Training (DTT)
Program ini didasari oleh model perilaku “orper and conditioning” yaitu
pemberian hadiah atau penguatan terhadap perilaku positif yang terjadi
dan dikehendaki oleh guru, orang tua, dan masyarakat, agar perilaku baik
itu diulang-ulang atau dipertahankan.
2. Learning Experience and Alternative Program for Preschooler and
Parents (LEAP)
Merupakan perkembangan sosial anak dengan menggunakan teknik
pengajaran reinforcement (penguatan) dan kontrol terhadap stimulus.
Metode stimulus respon sama dengan DTT tetapi anak langsung berda
dalam lingkungan sosial (dengan teman-temannya). Anak yang autis
belajar dan berperilaku melalui pengamatan perilaku orang lain.

3. Floor time
Perkembangan keterampilan kognitif dalam 4-5 tahun pertama kehidupan
berdasarkan pada emosi dan relationship. Greenspan dkk
mengembangkan suatu pendekatan perkembangan terpadu untuk
intervensi anak yang memiliki kesulitan besar dalam berhubungan,
berkomunikasi dan teknik intervensi interaktif yang sistematik. Teknik ini
dilakukan melalui kegiatan intervensi interaktif. Interaksi anak dalam
hubungan dan pola eluarga merupakan kondisi pendting dalam stimulasi
perkembangan dan pertumbuhan dari segi komunikasi, sosial, dan perilaku
anak.

22
4. Treatment and Education of Autistic Children and Related Communication
Handicapped Children (TEACCH)
Penanganan ini termasuk diagnosa, terapi, dan konsultasi, kerjasama
dengan masyarakat sekitar, tunjangan hidup dan tenaga kerja dan berbagai
pelayanan lainnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga khususnya para
terapis, dimana program ini menuntut pengetahuan dalam berbagai bidang
seperti speech pathology, lembaga kemasyarakatan, intervensi dini,
pendidikan luar biasa dan psikologi. Konsep pembelajaran dari pendekatan
TEACCH berdasarkan tingkah laku, perkembangan dan dari sudut
pandang teori ekologi yang berhubungan dengan teori dasar autisme.

B. Layanan Pendidikan Awal dengan Program Terapi Penunjang


Depdiknas mengungkapkan bahwa terdapat delapan jenis terapi sebagai
penunjang anak autistil. Kedelapan jenis terapi tersebut adalah :
1. Terapi wicara
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan, karena
anak autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
Tujuannya adalah untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara
lebih baik. Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan
dalam bicara dan berbahasa.
Ada perbedaan antara bicara dan bahasa. Bicara adalah pengucapan,
yang menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara dalam
suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam
suatu cara tertentu. Bahasa merupakan salah satu cara berkomunikasi.
Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan
apa yang didengar. Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk
berkomunikasi secara simbolis baik visual (menulis, member tanda) atau
auditorik. Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin
saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat
menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak
mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata

23
yang benar untuk menyatakan keinginannya. Masalah bicara dan bahasa
sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah ini sering kali tumpang tindih.
Bagi penyandang autisme oleh karena semua penyandang autisme
mempunyai keterlambatan dalam bicara dan kesulitan dalam berbahasa,
maka terapi ini adalah suatu keharusan (Y.Handoyo, 2003). Terapi wicara
yang dilakukan pada anak autisme disekolah ini banyak yang
memperlihatkan kemajuan dimana hal ini bisa disebabkan oleh karena
anak sudah pemah mempunyai konsep pemahaman, konsep ujaran
decoding (menerima atau memberi tanggapan) dan encoding (memberi
ransangan atau atau stimulus) sesuai umumya (Bonny Danuatmaja, 2003).
Selain itu anak yang bisa mengikuti terapi ini dengan baik telah sampai
pada terapi symptomatic jadi pemahaman sudah lebih baik. Terapi
symptomatic merupakan tahapan dari terapi wicara dimana terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak berbicara sesuai
kemampuan sendiri atau ekspresif (Bonny Danuatmaja, 2003).
Tahapan komunikasi anak autistik:
1. The Own Agenda Stage
 Anak terlihat sibuk dengan dirinya sendiri
 Belum tahu bahwa komunikasi dapat mempengaruhi orang lain
 Mengambil sendiri makanan atau benda-benda
 Interaksi hanya dengan orangtua atau pengasuh
 Belum dapat bermain dengan benar
 Menangis atau berteriak bila terganggu
2. The Requester Stage
 Sadar bahwa tingkahlakunya mempengaruhi orang lain
 Menarik tangan bila ingin sesuatu
 Menyukai kegiatan fisik
 Mengulangi kata/suara untuk diri sendiri
 Dapat mengikuti perintah sederhana
 Memahami rutinitas sehari-hari

24
3. The Early communication Stage
 Komunikasi dengan gesture, suara, gambar
 Menggunakan bentuk komunikasi tertentu secara konsisten
 Komunikasi untuk pemenuhan kebutuhan
 Memahami kalimat sederhana
 Dapat belajar menjawab pertanyaan "Apa ini/itu?", mengenal
konsep "Ya/Tidak"
4. The Partner Stage
 Mulai melakukan percakapan sederhana
 Menceritakan pengalaman masa lalu dan keinginan yang belum
terpenuhi
 Masih terpaku pada kalimat yang dihafalkan
 Bagi anak non-verbal, mampu menyusun kalimat dengan gambar
atau tulisan
 Masih mengalami kesulitan dalam interaksi sosial
Terapi wicara yang dapat diberikan:
1. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism),
yang sifatnya fungsional, maka terapis wicara akan mengikut
sertakan latihan-latihan Oral Peripheral Mechanism Exercises;
maupun Oral-Motor activities sesuai dengan organ bicara yang
mengalami kesulitan.
2. Untuk Artikulasi atau Pengucapan:
Artikulasi atau pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena
adanya gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara
dan Tempat Pengucapan (Place and manners of Articulation).
Kesulitan pada Artikulasi atau pengucapan, biasanya dapat dibagi
menjadi: substitution (penggantian), misalnya: rumah menjadi
lumah, omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu;
distortion (pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak
jelas); dan addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia,

25
latihan yang dapat diberikan antara lain: Proprioceptive
Neuromuscular.
3. Untuk Bahasa:
Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah:
1. Phonology (bahasa bunyi);
2. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata;
3. Morphology (perubahan pada kata),
4. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa;
5. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas),
6. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) dan;
7. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).
4. Suara:
Gangguan pada suara adalah penyimpangan dari nada, intensitas,
kualitas, atau penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atribut-
atribut dasar pada suara, yang mengganggu komunikasi, membawa
perhatian negatif pada si pembicara, mempengaruhi si pembicara
ataupun si pendengar, dan tidak pantas (inappropriate) untuk umur,
jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu sendiri.
5. Pendengaran:
Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran
maka bantuan dan terapi yang dapat diberikan: (1) Alat bantu
ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk pada dokter yang
terkait; (2) Penggunaan sensori lainnya untuk membantu
komunikasi;
Pada beberapa anak yang tidak mengalami kemajuan terapi wicara
dimana hal ini bisa disebabkan oleh koordinasi otot mulut yang tidak
baik dan adanya gangguan di pusat bahasa pada otak anak sehingga
perkembangan bahasa dan wicaranya belum mempunyai konsep
pemahaman dan ujaran dan belum terhubungnya antara pusat
pemahaman bahasa (area wemicke's) dengan pusat motoriknya (area
broca's) (Agus Suryana, 2004). Dari segi pendidikan, bahasa

26
memiliki kedudukan penting dan mendasar karena dengan memiliki
kemampuan bahasa, anak akan mengerti dan memahami materi yang
disampaikan oleh orang lain dan akhimya mampu
mengoperasikannya (Puspita, 2005). Komunikasi akan lebih baik
didapatkan oleh anak apabila selain disekolah anak juga diajarkan
berkomunikasi dengan baik oleh keluarga.
2. Terapi perilaku
Anak autis seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak
memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya.
Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak
heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih akan
mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari
solusinyadengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak
tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
Terapi perilaku (behavior theraphy) adalah terapi yang dilaksanakan untuk
mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan
untuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak wajar dan menggantikannya
dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku ini
merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum patuh (belum bisa kontak
mata dan duduk mandiri) karena program dasar/kunci terapi perilaku adalah
melatih kepatuhan, dan kepatuhan ini sangat dibutuhkan saat anak-anak akan
mengikuti terapi-terapi lainnya seperti terapi wicara, terapi okupasi,
fisioterapi, karena tanpa kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah
berhasil.
Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik
dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang
berkekurangan (belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di
seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang diciptakan
oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA).
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian
reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang

27
diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila
anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali
maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.
Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons
positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak
berespons) terhadap instruksi yang diberikan.
Metode ABA lebih banyak diterapkan karena materi yang diajarkan
sistematik, terstruktur dan terukur, dimulai dari sistem one on one, adanya
prompt (bimbingan, model, arahan) kemudian respon yang benar akan
mendapatkan imbalan. Latihan yang dilakukan oleh terapis juga sangat
mendukung dimana latihan dilakukan dengan berulang-ulang sampai anak
berespon dengan sendiri tanpa prompt serta adanya evaluasi yang sesuai
dengan kriteria yang sudah dibuat (Hardiono, 2005). Pada 10 anak yang
melakukan terapi perilaku dengan kurang baik yang memperlihatkan
kemajuan hanya 4 orang (40%). Hal ini bisa saja disebabkan oleh efek terapi
yang lain yang diterima oleh anak autisme yaitu terapi medikamentosa atau
terapi obat-obatan. Anak autisme mendapatkan obat-obatan yang bekerja pada
susunan saraf pusat karena pada penyandang autisme adanya kelainan pada
otak mereka, contoh obat-obatan yang diberi adalah risperdal dan vitamin B6
(Pyridoksin) sehingga efek dan pengaruh obat yang mereka terima membuat
anak masih berada dalam keadaan yang sulit untuk fokus terhadap materi yang
diberikan (Y.Handoyo, 2003). Pemakaian obat yang tidak tepat bisa membuat
penyaluran informasi antar otak semakin kacau mengingat obat yang dipakai
adalah obat-obatan yang bekerja pada susunan saraf pusat (Agus Suryana,
2004).
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan adalah 40 jam/minggu,
tetapi keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor :
1). Berat ringannya derajat autisme,
2). Usia anak saat pertama kali ditangani / terapi,
3). Intensitas terapi,
4). Metode terapi,

28
5). IQ anak,
6). Kemampuan berbahasa,
7). Masalah perilaku,
8). Peran serta orang tua dan lingkungan.
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-
C; yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan
C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku)
berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak dengan autisme.
Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak dengan autism kemudian
memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya
sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan
cenderung terjadi lagi bila anak memperoleh Consequence (konsekuensi
perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang menyenangkan.
3. Terapi okupasi
Terapi okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki
koordinasi dan keterampilan otot pada anak autis dengan kata lain untuk
melatih motorik halus anak. Hampir semua anak autis mempunyai
keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Beberapa penderita autis
memiliki gerakan yang kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pensil dengan cara yang benar, memegang sendok untuk menyuap, dan
sebagainya. Contohnya adalah floortime.
4. Terapi bermain
Terapi ini digunakan untuk melatih anak melalui belajar sambil bermain.
Meskipun terdengar aneh, seorang anak autis membutuhkan pertolongan
dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebayanya berguna untuk
belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial.
Metode lain pada terapi bermain adalah Son rise. Son rise adalah program
terapi berbasis rumah untuk anak-anak dengan yang mengalami gangguan
komunikasi dan interaksi sosial. Program ini dapat membantu meningkatkan
kontak mata, menerima keberadaan orang lain. Dan yang lebih penting,
program ini, tidak memberikan punishment berupa kekerasan kepada anak.

29
Proses ini dilakukan dengan harapan, anak mereka dapat ”berubah” dan
menjadi kondisi yang lebih baik.
Metode ini tidak bisa diterapkan/diimplementasikan pada semua kasus,
terutama kasus autis yang masih berada pada tahap kurikulum awal.
Kemampuan perkembangan bermain, merupakan hal yang penting dalam
program ini, selain juga kemampuan komunikasi dan sosialisasi. Program son
rise, menyatakan bahwa, jika kita mengadakan pendekatan ke anak secara
positif, dengan rasa cinta, akan membuat anak menjalin interaksi dengan kita,
dibandingan bila kita mengedepankan sikap marah dan sebagainya.
5. Terapi integrasi sensorik
Tujuan dari terapi ini adalah untuk melatih kepekaan dan koordinasi daya
indra anak autis. Terapi integrasi auditori, digunakan untuk melatih kepekaan
pendengaran supaya lebih sempurna.
6. Terapi biomedik
Terapi biomedis adalah suatu bentuk terapi yang bertujuan memperbaiki
metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplementasi. Terapi ini
dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan pencernaan, alergi, daya tahan
tubuh rentan, dan keracunan logam berat. Berbagai gangguan fungsi tubuh ini
akhirnya mempengaruhi fungsi otak (Widyawati dkk, 2003).
Menurut Shattock (2002), protokol terapi biomedis terdiri dari 3 tahapan dan
ditambah dengan 1 tahap intervensi tambahan, yaitu:
a. Tahapan Genjatan Senjata (Ceasefire)
Tahap ini dilakukan dengan diet susu dan gandum. Anak autis diduga
mengalami kelebihan opioid dalam tubuhnya. Opioid berkumpul di otak,
bereaksi dan berfungsi seperti morfin sehingga mengacaukan otak anak.
Opioid berasal dari kasein (protein dari susu sapi atau domba) dan glutein
(protein dari gandum) yang dikonsumsi anak lewat makanan sehari-hari.
Pada anak yang memiliki pencernaan normal, protein dari susu sapi dan
gandum dapat dicerna sempurna sehingga rantai protein terurai total.
Namun, anak yang pencernaannya tidak sempurna sulit mencerna
sehingga rantai protein tidak terurai total, melainkan menjadi rantairantai

30
pendek asam amino, yang disebut peptida. Di dalam otak, peptida akan
diikat opioid reseptor (penerima opioid), yang kemudian berfungsi dan
bereaksi seperti morfin.
b. Menilai Problem dan Mencari
Persamaan
Tahap ini dilakukan dengan menggunakan buku harian makanan dan
pemeriksaan laboratorium. Buku harian makanan (food diary), diisi
dengan mencatat apa saja yang dikonsumsi anak setiap hari, juga perilaku,
dan kemampuan yang dicapai anak.
Setelah melakukan diet bebas kasein dan bebas glutein, anak melakukan
tes laboratorium. Hasil tes akan lebih akurat setelah tubuh bersih dari
kasein dan glutein. Biasanya hasil uji laboratorium sebelum dan sesudah
tes akan menunjukkan hasil yang berbeda. Setelah kasein dan glutein
dibuang dari menu anak terlihat perbaikan fungsi usus sehingga vitamin
dan mineral terserap lebih baik, penurunan jumlah alergi, dan
menunjukkan adanya kesembuhan infeksi jamur.
c. Proses Membangun Kembali (Rekonstruksi)
Tujuan akhir dari terapi biomedisadalah agar anak dapat mengkonsumsi
makanan senormal mungkin. Jika kadar peptida yang merusak bisa
mengurangi di dalam usus maka daya rembes dinding usus dan sawar otak
(blood brain barrier) dapat diperbaiki. Dengan demikian, resiko buruk
dapat dikurangi.
Inilah tujuan akhir dari fase reskonstruksi.
Pada tahap ketiga ini ahli medis akan merekomendasikan pemberian
suplemen atau makanan tambahan berdasarkan hasil uji laboratorium.
Dengan demikian, penanganan anak autis satu dengan yang lainnya
berbeda.
d. Intervensi Tambahan
Intervensi tambahan sengaja ditempatkan dibagian akhir karena walaupun
ditunjang teori maupun eksperimen, pemakaian supplemen, seperti
hormon sekretin pada intervensi tambahan masih dalam tahap percobaan.

31
Pemakaian vitamin B6 (piridoksin) dosis tinggi banyak ditentang, karena
secara teoritis mengandung resiko. Begitu juga pemakaian DMG
(dimethyl glycine), meski efektif, belum dapat diterangkan cara kerjanya.
7. Terapi medikamentosa
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tegang bagi
lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya. Kondisi
ini seringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang
mempunyai potensi untuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan
bersama-sama dengan intervensi edukational, perilaku dan sosial.
a) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaik
adalah dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga
dengan agonis alfa adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai
alternatif.
 Neuroleptik
Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin-dapat menurunkan
agresifitas dan agitasi.
Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol-dapat menurunkan
agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik.
Neuroleptik atipikal-Risperidon-akan tampak perbaikan dalam
hubungan sosial, atensi dan absesif.
 Agonis reseptor alfa adrenergik
Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas
dan hiperaktifitas.
 Beta adrenergik blocker
Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas.
b) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi
Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi
perilaku stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap
perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.
c) Jika inatensi menjadi target terapi

32
Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapat meningkatkan atensi dan
mengurangi destruksibilitas.
d) Jika insomnia menjadi target terapi
Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat
mengatasi keluhan ini.
e) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama
Ganguan metabolisme yang sering terjadi meliputi gangguan
pencernaan, alergi makanan, gangguan kekebalan tubuh, keracunan
logam berat yang terjadi akibat ketidak mampuan anak-anak ini untuk
membuang racun dari dalam tubuhnya. Intervensi biomedis dilakukan
setelah hasil tes laboratorium diperoleh. Semua gangguan metabolisme
yang ada diperbaiki dengan obat-obatan maupun pengaturan diet.
8. Terapi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik
perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat
tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan dapat
bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga yang dapat
berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling mendukung.
Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen
terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali
kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme. Faktor-
faktor peran orangtua yang bertanggungjawab dalam pengasuhan anak adalah
sebagai berikut:
a. Pengawasan yang Membimbing
b. Pemberian Contoh yang Baik
c. Pendekatan Pribadi
Menurut Puspita (2004), ada dua bentuk-bentuk peran orangtua dalam
penanganan anak autis adalah sebagai berikut:
a. Memahami keadaan anak apa adanya
b. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak

33
Menurut Maccoby dalam Puspita (2004), ciri-ciri peran orangtua dalam
penanganan anak autis yaitu mengungkapkan perasaan, pikiran, serta sikap
terhadap anaknya adalah sebagai berikut:
a. Orangtua yang Menerima Anak
1). Orangtua yang hangat
2). Komunikasi orangtua dan anak yang lancar, hangat, dan terbuka
3). Menghargai anak
b. Sikap Orangtua yang Menolak Anak
c. Sikap Orangtua yang Keras
Peran orangtua pada terapi biomedis untuk anak autis sangat penting,
terutama pada pemberian food supplement (pemakaian obat, vitamin dan
mineral) dan program diet yang akan dilakukan. Pemakaian obat atau food
supplement harus dipahami benar apa, bagaimana, dan sesuaikah dengan
kebutuhan anak. Orangtua harus mengetahui bahwa obat dan food
supplement terbuat dari zat kimia (Widyawati dkk, 2003).
C. Layanan Pendidikan Lanjutan
Layanan pendidikan lanjutan diberikan setelah 1-2 tahun menjalani intervensi
dini dengan baik, sehingga anak siap masuk ke dalam kelompok kecil, bahkan
kelompok bermain. Di kelompok ini mereka mendapatkan kurikulum yang
khusus dirancang secara individual disertai penanganan yang terpadu
multidisiplin. Program atau kelas dapat terbagi-bagi seperti berikut di bawah
ini (Maulana, 2007) :
1. Kelas transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak autis yang telah diterapi secara
terpadu dan sebagai kelas persiapan dan pengenalan pengajaran
dengan kurikulum sekolah biasa tetapi dengan metode pengajaran
untuk anak autis. Ukuran kelas ini kecil dengan jumlah guru yang
banyak, disertai alat visual berupa gambar dan kartu dengan instruksi
yang jelas. Kelas terpadu dalam bentuk kelas transisi ini membantu
anak dalam mempersiapkan transisi ke sekolah reguler (normal) dan

34
membantu anak beajar secara intensif terhadap pebelajaran yang
tertinggal di kelas reguler.
2. Program inklusi
Dalam program ini, anak autis diintegrasikan ke sekolah reguler
(normal) dan membantu anak belajar secara intensif terhadap pelajaran
yang tertinggal di kelas reguler. Pada anak autis, selain diajar oleh guru
kelas untuk anak normal, namun juga didampingi oleh guru
pembimbing khusus.
3. Sekolah khusus, dan program sekolah di rumah.

VII. PROGNOSIS
Prognosa untuk penyandang autis tidak selalu buruk. Bagi banyak anak,
gejala autisme membaik dengan pengobatan dan tergantung pada umur. Beberapa
anak autis tumbuh dengan menjalani kehidupan normal atau mendekati normal.
Anak-anak dengan kemunduran kemampuan bahasa di awal kehidupan, biasanya
sebelum usia 3 tahun, mempunyai resiko epilepsi atau aktivitas kejang otak.
Selama masa remaja, beberapa anak dengan autisme dapat menjadi depresi atau
mengalami masalah perilaku. Dukungan dan layanan tetap dibutuhkan oleh
penderita autis walaupun umur bertambah, tetapi ada pulayang dapat bekerja dengan
sukses dan hidup mandiri dalam lingkungan yang juga mendukug
VIII. DETEKSI DINI
Definisi Deteksi Dini
Deteksi dini adalah upaya penyaringan yang dilaksanakan untuk
menemukan penyimpangan kelainan tumbuh kembang secara dini dan mengetahui
serta mengenal faktor-faktor resiko terjadinya kelainan tumbuh kembang tersebut
(Ismail, 2009). Deteksi dini gangguan tumbuh kembang balita dapat dilakukan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisis rutin, skrining perkembangan dan
pemeriksaan lanjutan. Skrining merupakan hal yang sangat penting dan
dianjurkan untuk melakukan skrining perkembangan terhadap semua anak.
Namun pada kenyataannya, hanya 23% dokter spesialis anak di Amerika yang

35
melakukan skrining gangguan perkembangan neurologis secara rutin (Ismael,
2010).
Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung
autism. Untuk menetapkan diagnosis gangguan autism para klinisi sering
menggunakan pedoman DSM IV. Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan
DSM-IV. Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara seksama mengamati
perilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat
perkembangannya. Banyak tanda dan gejala perilaku seperti autism yang
disebabkan oleh adanya gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan penunjang
lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab
lain tersebut.
Karena karakteristik dari penyandang autistik ini banyak sekali ragamnya
sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada
beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit
anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang
autism. Dokter ahli atau praktisi kesehatan profesional yang hanya mempunyai
sedikit pengetahuan dan wawasan mengenai autisme akan mengalami kesulitan
dalam men-diagnosa autisme. Kesulitan dalam pemahaman autism dapat
menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang
autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.
Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari
kemampuan dan perilaku seorang anak. Secara sekilas, penyandang autistik dapat
terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan
pendengaran atau bahkan berperilaku aneh. Yang lebih menyulitkan lagi adalah
semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan. Karenanya sangatlah
penting untuk membedakan antara autis dengan yang lainnya sehingga diagnosa
yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan
terapi yang tepat. Orangtua dan guru anak autistik sering bertanya bagaimana
caranya mengidentifikasi gangguan perkembangan pada anak, baik di lingkungan
sekolah maupun lingkungan keluarga.

36
Tujuan Deteksi Dini
Menurut Soetjiningsih (1998), tujuan deteksi dini pada anak adalah untuk
mengetahui kelainan perkembangan dan hal-hal yang merupakan risiko terjadinya
kelainan perkembangan tersebut. Selain itu dengan deteksi dini dapat diketahui
berbagai masalah perkembangan yang memerlukan pengobatan atau konseling
genetik, serta dapat mengetahui kapan anak perlu dibawa ke pusat rujukan yang
lebih tinggi.

Tatacara Deteksi Dini pada Anak Autis


Dalam mendeteksi gejala autis, perlu untuk disesuaikan dengan kondisi saat
itu, baik itu dimulai dari deteksi awal saat masa kehamilan hingga deteksi pada
masa tumbuh dan kembang anak autis.
A. Gejala awal secara umum : Meskipun penyebab Autisttik hingga kini
belum terungkap, namun pengalaman menunjukan bahwa yang penting
adalah mendeteksi gejala pada usia sedini mungkkin. Salah satu yang
disarankan oleh para ahli adalah mengecek apakah bayi pada usia satu
tahun bisa merespon jika namanya di panggil. Sebenarnya anak sudah
bisa dideteksi pada usia 6-7 bulan karena pada usia tersebut anak sudah
mulai berinteraksi dengan orangtuanya. Jika dia mengalami gangguan
autism, maka biasanya dia tidak mau kontak mata denagan orang lain,
terlalu diam atau malah terlalu ramai dan sering menangis. Terapi
berdasarkan hasil riset yang dilkukan oleh para ahli Amerika Serikat,
gejala autism berbeda-beda, karenanya mengecek suara rutin apakah
balita bisa merespon saat di panggil merupakan cara terbaik untuk
mendeteksi adanya gangguan autism
B. Deteksi Dini Sejak Dalam Kandungan Sampai sejauh ini dengan
kemajuan teknologi kesehatan di dunia masih juga belum mampu
mendeteksi resiko autism sejak dalam kandungan. Terdapat beberapa
pemeriksaan biomolekular pada janin bayi untuk mendeteksi autism
sejak dini, namun pemeriksaan ini masih dalam batas kebutuhan untuk
penelitian.

37
C. Mendeteksiteksi Autistik pada Balita
Mendeteksi adanya autis pada balita dapat di lihat dari adanya kebiasaan
kebiasaan beriku t
- Bayi tidak menunjukkan kontak mata dan tidak bereaksi ketika diajak
berbicara/bercanda.
- Cenderung sangat tenang, terlalu cuek dan diam atau sebaliknya sangat
rewel dan cerewet.
- Lebih suka bermain-main sendiri dan tidak tertarik dengan anak lain.
- Mengamati benda-benda bergerak di sekitarnya atau menonton TV
selama berjam-jam dan sangat marah jika diganggu.
- Tidak mampu memanggil orang-orang terdekat sampai usia 18 bulan.
- Bermain dengan benda-benda yang bukan mainan atau bermain dengan
cara kurang variatif.
- Tidak mampu bermain pura-pura (pretend play).
- Berperilaku aneh dan stereotif tanpa ada sesuatu penyebab seperti
melompat -lompat, jinjit-jinjit, mengepak-kepakkan tangan, berputar-
putar, bergerak tanpa tujuan, tertawa atau menangis sendiri, dsb.

D. Skrining Perkembangan
Menurut batasan WHO, skrining adalah prosedur yang relatif cepat,
sederhana dan murah untuk populasi yang asimptomatik tetapi mempunyai
resiko tinggi atau dicurigai mempunyai masalah. Skrining perkembangan
harus dilakukan secara periodik pada bayi atau anak dengan risiko tinggi
(berdasarkan anamnesis atau pemeriksaan fisik rutin). Sedangkan bayi atau
anak dengan risiko rendah dimulai dengan kuesioner praskrining yang diisi
atau dijawab oleh orangtua. Bila dari kuesioner dicurigai ada gangguan
tumbuh kembang dilanjutkan dengan tes skrining (Soedjatmiko, 2001).
Skrining perkembangan yang dilakukan untuk memantau
perkembangan motorik pada penelitian ini adalah Kuesioner Pra Skrening
Perkembangan (KPSP). Kuesioner ini diterjemahkan dan dimodifikasi dari
Denver Prescrening Developmental Questionnaire (PDQ) oleh Tim Depkes
RI yang terdiri dari beberapa dokter spesialis anak, psikiater anak, neurolog,

38
THT, mata dan lain-lain pada tahun 1986. Kuesioner ini dilaksanakan untuk
skrining pendahuluan bayi umur 3 bulan sampai anak umur 6 tahun yang
bisa dilakukan oleh orangtua atau petugas medis (Soedjatmiko, 2001).
Dalam skrining ini, setiap umur tertentu ada 10 pertanyaan tentang
kemampuan perkembangan anak, yang harus diisi (atau dijawab) oleh
orangtua dengan ya atau tidak, sehingga hanya membutuhkan waktu 10-15
menit. Jika jawaban ya sebanyak 6 atau kurang maka anak dicurigai ada
gangguan perkembangan dan perlu dirujuk, atau dilakukan tes skrining
dengan Denver II. Jika jawaban ya sebanyak 7-8, perlu diperiksa ulang 1
minggu kemudian. Jika jawaban ya 9-10, anak dianggap tidak ada
gangguan, tetapi pada umur berikutnya dilakukan KPSP lagi (Soedjatmiko,
2001).
Untuk memperluas jangkauan skrining perkembangan, Frankenburg
dkk., (1976) menganjurkan agar lebih banyak menggunakan PDQ, karena
mudah, cepat, murah dan dapat dikerjakan sendiri oleh orangtua atau
dibacakan oleh orang lain (misalnya paramedis atau kader kesehatan). Jika
dengan PDQ dicurigai ada gangguan perkembangan, anak tersebut dirujuk
untuk dilakukan skrining dengan Denver II yang lebih rumit, lama dan harus
dilakukan oleh tenaga terlatih. Kuesionor ini sampai sekarang masih
dianjurkan oleh Depkes untuk digunakan di tingkat pelayanan kesehatan
primer (dokter keluarga, puskesmas) (Soedjatmiko, 2001).

IX. STIMULASI DINI


Definisi
Stimulasi merupakan suatu perangsanganan yang datangnya dari lingkungan
di luar individu anak. Stimulasi dapat juga berfungsi sebagai penguat
(reinforcement). Anak yang banyak mendapatkan stimulasi akan lebih cepat
berkembang daripada anak yang kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi dan
pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya (Soetjinigsih,
1998).

39
Stimulasi dini adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi lahir (bahkan
sebaiknya sejak janin 6 bulan di dalam kandungan) dilakukan setiap hari, untuk
merangsang semua sistem indera (pendengaran, penglihatan, perabaan, pembauan,
pengecapan). Selain itu harus pula merangsang gerak kasar dan halus kaki, tangan
dan jari-jari, mengajak berkomunikasi, serta merangsang perasaan yang
menyenangkan dan pikiran bayi dan balita. Rangsangan yang dilakukan sejak
lahir, terus menerus, bervariasi, dengan suasana bermain dan kasih sayang, akan
memacu berbagai aspek kecerdasan anak (kecerdasan multipel) yaitu kecerdasan :
logiko-matematik, emosi, komunikasi bahasa (linguistik), kecerdasan musikal,
gerak (kinestetik), visuo-spasial, senirupa, dan lain-lain (Soedjatmiko, 2012).

Bentuk Stimulasi
Pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Pieget dan
Kohberg dalam Hurlock (1999) mengatakan, rangsangan dan stimulasi adalah
upaya dalam memperkuat perkembangan anak seoptimal mungkin sesuai potensi
yang dimiliki anak. Pada awal perkembangan kognitif, anak berada dalam tahap
sensori motorik. Pada tahap ini keadaan kognitif anak akan memperlihatkan
aktifitas-aktifitas motoriknya, yang merupakan hasil dari stimulasi sensorik.
Misalnya pemberian stimulasi visual pada ranjang bayi akan meningkatkan
perhatian anak terhadap lingkungannya, bayi akan gembira dengan tertawa-
tertawa dan menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya. Selain stimulasi sensorik
untuk merangsang aktivitas ototnya, juga diperlukan stimulasi afektif dan
selanjutnya stimulasi yang mempunyai aspek sosial dan kognitif, sehingga akan
terwujud perkembangan yang optimal baik fisik, mental dan sosial (Soetjinigsih,
1998).
Pada tahun-tahun pertama tumbuh kembang anak, anak belajar
mendengarkan, yang juga disebut “periode kesiapan mendengarkan”. Stimulasi
verbal pada periode ini sangat penting untuk perkembangan bahasa anak pada
tahun pertama kehidupannya, karena kualitas dan kuantitas vokalisasi seorang

40
anak akan dapat bertambah dengan stimulasi verbal dan anak-anak akan belajar
menirukan kata-kata yang didengarnya (Soetjinigsih, 1998).
Stimulasi visual dan verbal pada permulaan perkembangan anak, merupakan
stimulasi awal yang penting karena dapat menimbulkan sifat-sifat ekspresif,
misalnya mengangkat alis, membuka mulut dan mata seperti ekspresi keheranan,
dan lain-lain. Selain stimulasi tersebut di atas, anak juga memerlukan stimulasi
taktil. Kurangnya stimulasi taktil dapat menimbulkan penyimpangan perilaku
sosial, emosional dan motorik (Soetjinigsih, 1998).
Perhatian dan kasih sayang juga merupakan stimulasi yang diperlukan anak.
Stimulasi semacam ini akan menimbulkan rasa aman dan rasa percaya diri pada
anak sehingga anak lebih responsif terhadap lingkungannya dan lebih berkembang
(Soetjinigsih, 1998).
Pada anak yang lebih besar yang sudah mampu berjalan dan berbicara, akan
senang melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap lingkungannya, yang
merupakan perwujudan dari motif kompetensinya. Motif kompetensi ini dapat
diperkuat ataupun diperlemah oleh lingkungannya, melalui jumlah reaksi yang
diberikan terhadap perilaku anak tersebut. Anak akan cenderung mengulangi
perilakunya lagi apabila terdapat reaksi yang sering diberikan terhadap perbuatan
anak. Di sini anak akan belajar menganalisis perilaku mana yang dapat
memberikan efek tertentu dan meletakkan hubungan antara perilaku tersebut
dengan akibat yang ditimbulkan. Dengan demikian stimulasi verbal sangat
diperlukan pada tahap perkembangan ini. Dengan penguasaan bahasa, anak akan
mengembangkan inisiatif atau ide-ide melalui pertanyaan-pertanyaan, yang
selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan kognitifnya (Soetjinigsih, 1998).
Pada masa sekolah, perhatian anak mulai keluar dari lingkungan
keluarganya, perhatian mulai beralih ke teman sebayanya (peer group). Pada
tahap perkembangan ini, anak akan sangat beruntung jika mempunyai kesempatan
untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Melalui sosialisasi anak akan
memperoleh banyak stimulasi sosial yang bermanfaat bagi perkembangan sosial
anak (Soetjinigsih, 1998).

41
Prinsip Dasar Melakukan Stimulasi
Secara garis besar, prinsip-prinsip dasar yang harus diketahui oleh ibu
dalam melakukan stimulasi/ rangangan pada anak adalah (Kementerian Kesehatan
RI, 2010):
a. Stimulasi/rangsangan dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.
b. Selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak akan meniru
tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya.
c. Stimulasi/rangsangan dilakukan sesuai dengan kelompok umur anak.
d. Melakukan stimulasi/rangsangan dengan cara mengajak anak bermain,
bernyanyi, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman.
e. Melakukan stimulasi/rangsangan secara bertahap dan berkelanjutan sesuai
umur anak, terhadap ke 4 faktor kemampuan dasar anak (motorik halus,
motorik kasar, kemampuan bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan
kemandirian).
f. Menggunakan alat bantu/permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar
anak.
g. Memberikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.
h. Memberikan anak pujian, bila perlu diberi hadiah atas keberhasilannya.

Cara Melakukan Stimulasi Dini


Stimulasi sebaiknya dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan
bayi/balita, misalnya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui, menyuapi
makanan, menggendong, mengajak jalan-jalan, bermain, menonton TV, di dalam
kendaraanm menjelang tidur, dan lain-lain. Menurut Soedjatmiko (2012),
stimulasi juga dilakukan sesuai usia dan tahap-tahap perkembangannya, yaitu :
a. Stimulasi untuk bayi umur 0 - 3 bulan dengan cara : mengusahakan rasa
nyaman, aman dan menyenangkan, memeluk, menggendong, menatap mata
bayi, mengajak tersenyum, berbicara, membunyikan berbagai suara atau
musik bergantian, menggantung dan menggerakkan benda-benda berwarna
mencolok, benda-benda berbunyi, mengguling-gulingkan bayi ke kanan ke
kiri, tengkurap-telentang, dirangsang untuk meraih dan memegang mainan.
b. Umur 3 - 6 bulan ditambah dengan bermain “cilukba”, melihat wajah bayi dan
pengasuh di cermin, dirangsang untuk tengkurap, terlentang bolak-balik,
duduk.

42
c. Umur 6 - 9 bulan ditambah dengan memanggil namanya, mengajak
bersalaman, tepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dilatih
berdiri berpegangan.
d. Umur 9 - 12 bulan ditambah dengan mengulang-ulang menyebutkan mama-
papa, kakak, memasukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas,
menggelinding bola, dilatih berdiri, berjalan dengan berpegangan.
e. Umur 12 – 18 bulan ditambah dengan latihan mencoret-coret menggunakan
pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana
(puzzle), memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya,
bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, lap. Latihlah berjalan
tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola,
melepas celana, mengerti dan melakukan perintah-perintah sederhana,
menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda.
f. Umur 18-24 bulan ditambah dengan menanyakan, menyebutkan,
menunjukkan bagian-bagian tubuh, menanyakan gambar atau menyebutkan
nama binantang dan benda-benda di sekitar rumah, mengajak bicara tentang
kegiatan sehari-hari, latihan menggambar garis, mencuci tangan, memakai
celana dan baju, melempar bola, melompat.
g. Umur 2 – 3 tahun ditambah dengan mengenal dan menyebutkan warna,
menggunakan kata sifat, menyebutkan nama-nama teman, menghitung benda-
benda, memakai baju, menyikat gigi, bermain kartu, boneka, masak-masakan,
menggambar garis, lingkaran, manusia, latihan berdiri dengan satu kaki,
buang air kecil/ besar di toilet.
h. Setelah umur 3 tahun, selain mengembangkan kemampuan-kemampuan usia
sebelumnya, stimulasi juga diarahkan untuk kesiapan bersekolah antara lain :
memegang pensil dengan baik, menulis, mengenal huruf dan angka, berhitung
sederhana, mengerti perintah sederhana, berbagi dengan teman dan
kemandirian (ditinggalkan di sekolah). Perangsangan dapat dilakukan di
rumah atau di kelompok bermain.
Stimulasi dilakukan setiap ada kesempatan berinteraksi dengan bayi,
dilakukan setiap hari, terus-menerus, bervariasi, disesuaikan dengan umur
perkembangan kemampuannya dan hendaknya dilakukan oleh keluarga (terutama
ibu atau pengganti ibu). Selain itu stimulasi juga harus dilakukan dalam suasana

43
yang menyenangkan dan penuh kegembiraan antara pengasuh dan bayinya.
Pengasuh yang sering marah, bosan, sebal, maka tanpa disadari justru
memberikan rangsang emosinal yang negatif, karena pada prinsipnya semua
ucapan, sikap dan perbuatan pengasuh merupakan stimulasi yang direkam, diingat
dan akan ditiru atau bahkan menimbulkan ketakutan pada bayi (Soedjatmiko,
2012).
Dalam pemberian stimulasi, interaksi antara pengasuh dan bayi harus
dilakukan dalam suasana pola asuh yang demokratik (otoritatif), yaitu pengasuh
harus peka terhadap isyarat-isyarat bayi. Pengasuh harus memperhatikan minat,
keinginan, pendapat anak, tidak memaksakan kehendak, penuh kasih sayang dan
kegembiraan. Selain itu pengasuh juga harus bisa menciptakan rasa aman dan
nyaman, memberi contoh tanpa memaksa, mendorong keberanian untuk mencoba
berkreasi, memberi penghargaan atau pujian atas keberhasilan atau perilaku anak
yang baik, memberikan koreksi dan bukan ancaman atau hukuman bila anak tidak
dapat melakukan sesuatu atau ketika melakukan kesalahan (Soedjatmiko, 2012).

X. KESIMPULAN
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang
ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku dan
interaksi social. Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah
mencapai 152- per 10.000 anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh
tahun yang lalu yang hanya 2-4 per 10.000 anak. Autis bisa disebabkan oleh
multifaktorial seperti psikodinamika keluarga, faktor biokimia, dan faktor
lingkungan. Diagnosisnnya juga tidak memerlukan pemeriksaan tambahan yang
banyak, cukup dengan anamnesis yang cermat dan observasi perilaku anak. Terapi
pada autis umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara
intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.

44
DAFTAR PUSTAKA

D Pusponegoro, Hardiono. 2005. Autisme Bagaimana Mengenalnya, Majalah


Anakku vol 1 no 4
Hurlock, E.B. 1999. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga
Handojo, 2004. Autisma : Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar
Anak Normal, Autis, dan Perilaku Lain. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer
Hadis, Abdul. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung:
Alfabeta.
Ismael, Sofyan. 2010. A Journey to Child Development : dalam A Journey to
Child Neurodevelopment : Application in Daily Practice. Jakarta : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2010. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Indonesia dan Japan International Cooperatation
Agency.
Maulana, Mirza. 2007. Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju
Anak Cerdas dan Sehat. Yogyakarta: Kata Hati

45
Puspita, D. 2004. Makalah : Masalah Peran Keluarga pada Penanganan Individu
Autistic Spectrum Disorder. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia
Shattock, P. 2002. Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan Memperbaiki
Metabolisme Tubuh. Jakarta: Nirmala
SIMMONS, James. 1981. Psychiatric Examination of Children. Third edition.
U.S.A. Lea & Febiger
Soedjatmiko. 2001. Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Balita. Sari
Pediatri. Vol 3(3). 175-188.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Cetakan ke-2. Jakarta : EGC.
Soetjiningsih. 2010. Upaya Peningkatan Kualitas Tumbuh Kembang Anak :
dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Edisi Pertama
IDAI. Yogyakarta : Sagung Seto.
Suryana, A. 2004. Terapi Autisme, anak berbakat dan anak hiperaktif. Jakarta:
Progres Jakarta
Widyawati, I. Rosadi, D. E., dan Yulidar. 2003. Terapi Anak Autis di Rumah.
Jakarta: Puspa Swara

46

You might also like