You are on page 1of 5

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ODGJ RISIKO PERILAKU KEKERASAN

DALAM MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN BERBASIS KELUARGA

DI WILAYAH UPTD PUSKESMAS KECAMATAN SANANWETAN KOTA BLITAR

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan jiwa adalah kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan
interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan
kesehatan emosional (videbeck, 2008). Orang Dengan Gangguan Jiwa yang disingkat dengan ODGJ
adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia (Undang Undang Kesehatan
JiwaNo.8, Tahun 2014).

Menurut WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang diseluruh dunia mengalami gangguan mental,
sekitar (10%) orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan (25%) penduduk diperkirakan
akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar pada tahun (2007) di Indonesia, menunjukan bahwa prevalensi gangguan jiwa secara nasional
mencapai (5,6%) dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukan bahwa pada setiap 1000
orang terdapat empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa. Berdasarkan dari data tersebut
bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat. Prevalensi
gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di Povinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (24,3%),
diikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%), Sumatera Barat (17,7%), Sumatera Selatan (9,2%) dan
Jawa Tengah (6,85) (Hidayanti,2011). Jumlah gangguan jiwa tahun 2013 di propinsi Jawa Tengah
sebanyak 121.962, sebagian besar kunjungan gangguan jiwa adalah di rumah sakit (67,29%),
sedangkan (32,71%) lainya di puskesmas dan sarana kesehatan lain (Dinkes jateng, 2013). Prevalensi
penderita schizophrenia di Indonesia adalah (0,3-1%).

Masalah utama dari ganguan jiwa adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan sering disebut gaduh
gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap stressor dengan gerakan motorik
yang tidak terkontrol (Yosep, 2007). Menurut Kusumawati dan Hartono (2010) kekerasan dianggap
sebagai suatu akibat yang ektrem dari marah atau ketakutan atau panik. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan sering dipandang sebagai rentang dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku
kekerasan (violence) di sisi yang lain. Suatu keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi,
benci atau marah. Hal ini akan mempengaruhi perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan emosi
secara mendalam tersebut terkadang perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan
koping yang kurang bagus. Menurut Prabowo (2014) akibat pasien dengan perilaku kekerasan dapat
menyebabkan risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Risiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan akibat dari risiko perilaku kekerasan. Tindakan yang digunakan
dalam mengontrol perilaku berupa SOP tentang Strategi Pelaksanaan (SP) tindakan keperawatan
pada pasien. SP ini merupakan standar model pendekatan asuhan keperawatan klien gangguan jiwa,
salah satunya pasien dengan masalah utama resiko perilaku kekerasan. Ada empat cara mengontrol
perilaku kekerasan yaitu: latihan fisik 1 tarik nafas dalam dan latihan fisik 2 (pukul bantal dan kasur),
minum obat secara teratur, berbicara secara baik dan melakukan teknik spiritual.

Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah amuk. Amuk merupakan respon kemarahan yang paling
maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang sangat kuat disertai
hilangnya kontrol, dimana individu dapat melukai diri sendiri, orang lain maupun keluarga (Keliat,
2011).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik diri sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh
gelisah yan tidak terkontrol (kusumawati dan hatono, dalam Direja 2011). Perilaku kekerasan
merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan
perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan, secara
verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Yosep,
2011). Pasien dengan gangguan jiwa baik yang dirawat maupun tidak dirawat, seharus di-
pertimbangankan potensi untuk melakukan perilaku kekerasan Pada penanganan masalah
gangguan jiwa terdapat salah satu diagnosa keperawatan yaitu resiko perilaku kekerasan. Resiko
perilaku

kekerasan adalah keadaan dimana seseorang pernah atau mempunyai

riwayat melakukan tindakan yang dapat mem-bahayakan diri sendiri atau

orang lain atau lingkungan baik secara fisik atau emosional atau seksual

dan verbal (Keliat, dalam Sari, 2015).

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan

untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan

datangnya tingkah laku tersebut. Resiko perilaku kekerasan ini dapat

berupa muka masam, bicara kasar, menuntut dan perilaku yang kasar

disertai kekerasan (Purba dkk, dalam Saragih, 2014).

Perilaku kekerasan dilakukan karena ketidakmampuan dalam melakukan

koping terhadap stres, ketidakpahaman terhadap situasi sosial, tidak mampu

untuk mengidentifikasi stimulus yang dihadapi, dan tidak mampu mengontrol

dorongan untuk melakukan perilaku kekerasan (Volavka & Citrome, 2011).

METODE

Penulis menggunakan cara

pendekatan interpersonal pada klien yang mengalami perilaku

kekerasan yaitu dengan membina

hubunan saling percaya, mendiskusikan penyebab perilaku kekerasan,


mendiskusikan keuntungan dan kerugian perilaku kekerasan terhadap diri

sendiri maupun orang lain. Setelah didapatkan data tentang penyebab klien

suka marah-marah dan klien dapat mengungkapkan keuntungan dan

kerugian perilaku kekerasan. Selanjutnya yang dilakukan penulis adalah

dengan mengajarkan cara mengontrol marah.

Mengingat komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang

direncanakan secara sadar, mempunyai tujuan, serta kegiatannya

dipusatkan untuk kesembuhan pasien, dan kegunaannya untuk mendorong

dan menganjurkan kerja sama melalui hubungan tenaga medis spesialis

jiwa dengan pasien, sehingga kualitas hubungan ini akan memberikan

dampak terapeutik yang mempercepat proses penyembuhan pasien. maka

komunikasi terapeutik sangat efektif untuk menurunkan resiko perilaku

kekerasan dengan cara mengajarkan SP 1 sampai dengan SP 4. SP 1 latih

cara mengontrol marah dengan tarik nafas dalam dan pukul bantal, SP 2

latih cara mengontrol marah dengan obat SP 3 latih mengontrol marah

dengan verbal, SP 4 latih cara mengontol marah engan cara spiritual

(Chandra, 2008).

Menurut Stuart dan Sundeen (1995) perilaku kekerasan merupakan

suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat

membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun

lingkungan. Sulandra (2011) menjelaskan lebih lanjut bahwa perilaku

kekerasaan adalah suatu respon emosional yang tidak dapat dikendalikan oleh

seseorang sehingga dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan

lingkungan. Hal tersebut menunjukan dengan karakteristik yang dimiliki klien

risiko perilaku kekerasan bahwa sangat dibutuhkan dukungan dari keluarga

untuk memberikan motivasi dalam proses kesembuhan sehingga klien bisa

mandiri dalam memenuhi kebutuhan aktifitas hariannya.

Menurut Eko (2009) keluarga merupakan pendukung sosial paling

dekat dan dukungan yang diberikan kepada individu khususnya sewaktu

dibutuhkan oleh orang-orang yang memiliki hubungan emosional yang dekat


dengan orang lain. Bomar (2004) menjelaskan lebih lanjut bahwa dukungan

keluarga pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh

yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti anggota keluarga,

saudara, teman dan rekan kerja. Friedman (1998) menjelaskan lebih lanjut lagi

bahwa keluarga merupakan suatu kelompok yang mempunyai peranan yang

amat penting dalam mengembangkan, mencegah, mengadaptasi dan

memperbaiki masalah kesehatan yang ditemukan dalam keluarga.

Keluarga merupakan orang yang sangat dekat dengan klien dan

dianggap paling banyak tahu kondisi klien serta dianggap paling banyak

memberi pengaruh pada klien. Keluarga sangat berperan penting dalam

memberikan dukungan keluarga karena hubungan seseorang dengan orang lain

dimulai dari keluarga. Apabila ditinjau tidak semua keluarga kooperatif dalam

merawat klien, sehingga klien tidak dapat belajar mandiri dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor dukungan

sosial keluarga (care giver).

Jumlah ODGJ saat ini cukup tinggi, baik di Indonesia maupun di dunia. ODGJ di dunia pada tahun
2001 berjumlah 450 juta jiwa (WHO, 2005). Di Indonesia diperkirakan dari sekitar 220 juta penduduk
Indonesia, ada sekitar 50 juta atau 22 persennya mengalami gangguan jiwa (Hawari, 2009).
Sedangkan Riskesdas (2013) dalam Badan Litbang Kesehatan (2013) menyebutkan bahwa prevalensi
gangguan jiwa berat (psikosis) di Indonesia berjumlah 1,7 per mil, yang artinya 1-2 orang dari 1000
penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa.

Gangguan dari halusinasi tersebut menunjukkan gejala, seperti klien berbicara sendiri, mata melihat
kekanan dan kekiri, jalan mondar-mandir, sering tersenyum dan tertawa sendiri, dan sering
mendengar suara-suara (Maramis, 2005).

Menurut penelitian Nurdiana (2007) ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya
kekambuhan penderita skizofrenia khususnya halusinasi adalah kurangnya peran serta keluarga
dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut. Salah satu
penyebabnya adalah karena keluarga yang tidak tahu cara menangani penderita halusinasi di rumah.
Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita skizofrenia, menganggap penderita
sebagai aib bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial. Oleh karena itu, penderita
skizofrenia sering kali disembunyikan dan dikucilkan agar tidak diketahui oleh masyarakat. Hal ini
justru akan memberatkan gejala yang dialami pasien, sehingga tentunya juga akan memberatkan
bagi keluarga yang merawatnya (Durand & Barlow, 2007). Kurangnya pengetahuan dari keluarga
dalam hal merawat pasien, menjadi faktor utama dalam meningkatnya angka kekambuhan
penderita skizofrenia. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi pengetahuan, diantaranya: tingkat
pendidikan, motivasi, pengalaman, dan persepsi (Pelling, 2008).

Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan perawat utama bagi
penderita. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan penderita di
rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang
kemudian mengakibatkan penderita harus di rawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak
awal perawatan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita
sehingga kemampuan kambuh dapat dicegah.

Hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh penulis pada dua keluarga dengan anggota keluarga
mengalami halusinasi yaitu didapatkan bahwa keluarga tidak tahu apa yang harus dilakukan apabila
anggota keluarga yang sakit mengalami halusinasi.

Dari pendahuluan tersebut diatas, peneliti ingin mengetahui pengalaman keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang mengalami halusinasi di Kabupaten Magelang

You might also like