You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus tipe II (DM tipe II) ini membentuk 90 - 95% dari semua

kasus diabetes, dahulu disebut diabetes melitus non-dependen insulin atau diabetes

onset dewasa. Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi insulin dan

biasanya mengalami defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin pada awalnya

dan sepanjang masa hidupnya, individu ini tidak membutuhkan pengobatan insulin

untuk bertahan hidup. Ada banyak kemungkinan berbeda yang menyebabkan

timbulnya diabetes ini. Walaupun etiologi spesifiknya tidak diketahui, tetapi pada

diabetes tipe ini tidak terjadi destruksi sel beta. Kebanyakan pasien yang menderita

DM tipe ini mengalami obesitas, dan obesitas dapat menyebabkan beberapa derajat

resistensi insulin (ADA, 2010).

Penyakit diabetes melitus dapat diartikan sebagai individu yang mengalirkan

volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah

penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolute insulin atau

penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin. Berdasarkan bukti epidemiologi

terkini jumlah penderita diabetes di seluruh dunia sampai saat ini mencapai 200 juta,

dan diperkirakan meningkat lebih dari 330 juta pada tahun 2025. Alasan peningkatan

ini termasuk meningkatkan angka harapan hidup dan pertumbuhan populasi yang

1
tinggi dua kali lipat disertai peningkatan obesitas yang dikaitkan dengan urbanisasi

dan ketergantungan terhadap makanan olahan. Di Amerika Serikat, 18,2 juta individu

pengidap diabetes (6,3% dari populasi), hampir satu per tiga tidak menyadari bahwa

mereka memiliki diabetes (Corwin, 2009).

Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevelensi

DM tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di

Makassar prevelensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5 %. Pada tahun

2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan

melakuakan surveilans Faktor Risiko Pemyakit Tidak Menular di Jakarta yang

melibatkan 1591 subyek. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM di lima wilayah

DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan

data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis cukup tinggi, hampir

3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi (Sudoyo dkk, 2009).

Komplikasi DM meliputi komplikasi terhadap pembuluh darah kecil dan

pembuluh darah besar. Komplikasi terhadap pembuluh darah kecil dapat

mengakibatkan kebutaan dan gangguan fungsi ginjal sedangkan komplikasi terhadap

pembuluh darah besar dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner, stroke, serta

penyakit pembuluh darah tepi (Soewondo, 2007).

Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal

ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2

2
sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena

jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Di Amerika,

nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua

komplikasi diabetes melitus, dan penyebab kematian tersering adalah karena

komplikasi kardiovaskular (Sudoyo dkk, 2009).

World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa prevalensi

diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada millennium ketiga ini,

termasuk negara di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagian besar dari

penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien DM terdapat keterlibatan

ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal diabeteik (PGD) juga

akan mengalami peningkatan di era awal abad 21 ini (Sudoyo dkk, 2009).

Awal gangguan fungsi ginjal (nefropati) pada penyandang DM ialah

mikroalbuminuria (adanya albumin dalam jumlah kecil dalam urine). Kenaikan kadar

glukosa darah merupakan penyebab perubahan fungsi ginjal pada DM (nefropati

diabetik) (Soewondo, 2007).

Penyakit ginjal terjadi saat pembuluh darah ginjal rusak akibat tingginya

kadar glukosa darah. Diabetes menjadi penyebab utama gagal ginjal dan para

pengidap diabetes melitus empat kali lipat mengalami penyakit ginjal ketimbang

mereka yang sehat (Kingham, 2009).

3
Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan salah

satu penyebab kematian terpenting pada diabetes melitus yang lama. Diabetes melitus

menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik

adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes melitus

(Corwin, 2009).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merumuskan masalah

sebagai berikut “Bagaimanakah Gambaran Fungsi Ginjal pada Penderita Diabetes

Melitus Tipe 2?

C. Tujuan

Untuk mengetahui gambaran fungsi ginjal pada penderita diabetes melitus

tipe 2

D. Manfaat

1. Akademik

Sebagai sumbangsih ilmiah bagi almamater program studi D-III Analis

Kesehatan STIKes Mega Rezky Makassar.

2. Praktisi

Memberikan informasi tambahan dalam peningkatan mutu terhadap pemeriksaan

Kimia Klinik khususnya pemeriksaan fungsi ginjal.

4
3. Masyarakat

Untuk memberikan pengetahuan pada masyarakat agar menjalankan pola hidup

sehat.

4. Peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam mengaplikasikan ilmu

yang diperoleh selama masa perkuliahan utamanya dalam bidang laboratorium.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Diabetes Melitus (DM) Tipe 2

1. Definisi Diabetes Melitus (DM) Tipe 2

Penyakit diabetes melitus (DM) atau yang lebih dikenal sebagai penyakit

kencing manis adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat kadar

glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia). Kadar glukosa darah tinggi ini

disebabkan jumlah hormon insulin kurang atau jumlah insulin cukup bahkan

kadang-kadang lebih, tetapi kurang efektif (resistensi insulin) (Soewondo, 2007).

Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat adanya

gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti dengan

komplikasi mikrovaskular (pembuluh darah kecil) dan makrovaskular (pembuluh

darah besar). Hal itu terjadi karena organ pankreas yang tidak mampu

memproduksi hormon insulin sesuai dengan kebutuhan tubuh (Yonita, 2013).

Diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) ini membentuk 90 - 95% dari semua

kasus diabetes, dahulu disebut diabetes melitus non-dependen insulin atau

diabetes onset dewasa. Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi

insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin

pada awalnya dan sepanjang masa hidupnya, individu ini tidak membutuhkan

pengobatan insulin untuk bertahan hidup. Ada banyak kemungkinan berbeda

6
yang menyebabkan timbulnya diabetes ini. Walaupun etiologi spesifiknya tidak

diketahui, tetapi pada diabetes tipe ini tidak terjadi destruksi sel beta.

Kebanyakan pasien yang menderita DM tipe ini mengalami obesitas, dan

obesitas dapat menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin (ADA, 2010).

Penyakit diabetes melitus dapat menyerang siapa saja tanpa memandang

usia, bahkan anak-anak pun memiliki potensi sebagai penderita. Pada awal

terjadinya peningkatan kadar glukosa darah, penderita tidak merasakan apa pun

dan gejalanya juga tidak terlihat. Akan tetapi, di saat penderita mengalami

sesuatu yang tidak nyaman pada dirinya, seperti terjadinya penurunan berat

badan secara drastis, sering buang air kecil di malam hari, atau sering merasakan

haus yang tidak tertahankan, dia baru akan berkonsultasi ke dokter. Bahkan ada

yang baru menyadarinya ketika terjadi luka yang tidak kunjung sembuh atau

komplikasi lainnya (Yonita, 2013).

2. Epidemiologi

Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan

merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati

diabetik. 75% penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular.

Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang

paling utama (Price, 2014).

Estimasi prevalensi diabetes mellitus (DM) pada dewasa (usia 20-79

tahun) sebanyak 6,4% atau 285 juta orang pada tahun 2010 dan akan meningkat

7
menjadi 7,7% atau 439 juta orang pada 2030. Prevalensi DM tipe 2 terus

meningkat. Pada tahun 2020, jumlah penderita DM tipe 2 diperkirakan akan

mencapai 250 orang di seluruh dunia. Indonesia sendiri menempati urutan ke-9

dalam estimasi epidemiologi DM dunia pada tahun 2010 dengan 7 juta kasus dan

akan terus naik menjadi peringkat ke-5 pada tahun 2030 dengan 20 juta kasus

(Sugiono S, 2007).

3. Etiologi dan Faktor Risiko

Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja

insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap

kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor

permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan

mobilisasi pembawa GLUT-4 (Glucose Transporter 4) glukosa dan

meningkatkan transpor glukosa yang menembus membran sel (Price, 2014).

DM tipe 2 adalah hasil interaksi faktor genetik dan keterpaparan

lingkungan. Faktor genetik akan menentukan individu yang rentan kena DM.

Faktor lingkungan berkaitan dengan 2 faktor utama: kegemukan (obesitas) dan

kurang aktivitas fisik (Bustan, 2007)

a. Faktor Genetik

Penelitian menunjukkan bahwa 40% penderita DM tipe 2 mempunyai

keluarga DM. Penelitian DM tipe 2 kembar identik menunjukkan bahwa 60-

8
90% keduanya menderita DM tipe 2. Mutasi Gen untuk glukokinase juga

dibuktikan sebagai penyebab hiperglikemia pada DM usia muda (Sanusi H,

2006).

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan sangat berperan dalam proses timbulnya DM tipe 2.

Kelebihan energi dan perubahan pola hidup seperti aktivitas fisik yang

kurang dan pola makan yang tidak seimbang merupakan faktor risiko

timbulnya DM tipe 2 (Sanusi H, 2006).

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi

metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi

glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi

ambang ginjal untuk zat ini, maka akan timbul glukosuria. Glukosuria ini akan

mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria)

dan timbul rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang bersama urine, maka

pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa

lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat

kehilangan kalori (Price, 2014).

Gejala yang timbul pada penderita diabetes melitus tidaklah sama antara

satu penderita dengan penderita lainnya. Namun ada 3 gejala umum yang sering

terjadi yaitu: (Yonita, 2013).

9
a. Polidipsi (sering merasa haus sehingga banyak minum)

Rasa haus yang terjadi disebabkan karena meningkatnya intensitas

buang air kecil yang banyak dan menyebabkan tubuh menjadi dehidrasi

(kekurangan cairan). Oleh karena itu, timbul rangsangan pada susunan saraf

pusat sehingga penderita selalu kehausan dan menjadi banyak minum (Yonita,

2013).

b. Poliphagi (sering merasa lapar sehingga banyak makan)

Rasa lapar yang dirasakan oleh penderita terjadi karena adanya

rangsangan pada susunan saraf pusat karena kadar glukosa di dalam sel

(intraseluler) berkurang. Oleh karena itu, penderita merasa lapar dan selalu

ingin makan. Saat frekuensi makan bertambah, terutama makanan yang

mengandung karbohidrat dan glukosa lainnya akan meningkatkan kadar

glukosa darah. Kenaikan kadar glukosa darah tersebut tidak mampu

dimetabolisme sel karena tubuh kekurangan insulin (Yonita, 2013).

c. Poliuria (sering buang air kecil), terutama malam hari

Saat kadar glukosa dalam darah melebihi batas ambang ginjal, ginjal

akan mengeluarkan glukosa yang berlebihan tersebut dan membutuhkan

banyak air untuk mengeluarkannya. Jadi, inilah penyebabnya mengapa urine

penderita diabetes melitus berasa manis. Meningkatnya intensitas buang air

kecil, menyebabkan tubuh menjadi dehidrasi dan kulit menjadi kering maka

penderita akan menjadi haus dan lebih banyak minum (Yonita, 2013).

10
5. Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)

Klasifikasi yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association

(ADA) berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom

diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh

World Health Organization (WHO) dan telah dipakai diseluruh dunia.

1. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit hiperglikemia akibat

ketiadaan absolut insulin. Sebelumnya, tipe diabetes ini disebut sebagai

diabetes melitus dependen insulin (IDDM), karena individu pengidap

penyakit ini harus mendapat insulin pengganti. Diabetes tipe 1 biasanya

dijumpai pada individu yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun,

dengan perbandingan laki-laki sedikit lebih banyak daripada wanita (Corwin,

2009).

Diabetes tipe 1 ini paling jarang terjadi tetapi menjadi diabetes yang

paling serius. DM tipe 1 merupakan penyakit autoimun dimana sistem

kekebalan tubuh mengahancurkan sel-sel dalam pankreas yang bertanggung

jawab dalam memproduksi insulin. Para ilmuwan yakin bahwa paparan virus

atau zat kimia tertentu dapat memicu reaksi imunitas tubuh pada mereka

yang rentan (Kingham, 2009).

11
2. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemia akibat

insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin menurun atau berada dalam

rentang normal. Diabetes melitus tipe 2 adalah kondisi medis yang ditandai

dengan ketidakcukupan atau gangguan fungsi insulin. Karena insulin tetap

dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe 2 dianggap

sebagai non insulin dependent diabetes melitus (NIDDM) (Corwin, 2011).

Pada diabetes tipe 2, pankreas masih menghasilkan insulin tetapi

tubuh tidak merespon dengan baik dan menjadi resisten terhadap insulin.

Dengan demikian, pankreas menghasilkan lebih banyak insulin untuk

menyeimbangkannya, tetapi lama-kelamaan tidak mencukupi. Akhirnya

kadar glukosa darah tetap meningkat (Kingham, 2009).

3. Diabetes tipe lain

Diabetes tipe lain adalah kelainan genetik dalam sel beta seperti yang

dikenali pada Maturity onset diabetes of the young (MODY). Diabetes

subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi

sebelum usia 14 tahun. Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan

sindrom resistensi insulin berat (Price, 2014).

12
4. Diabetes Gestasional

Diabetes gestasional muncul selama masa kehamilan, pada

trimester kedua atau ketiga. Kebutuhan insulin meningkat pada masa

kehamilan dan hormon-hormon yang diproduksi selama masa tersebut

mengurangi efektivitas insulin. Jenis diabetes ini didiagnosis melalui

pemeriksaan darah pada masa kehamilan 24-28 minggu dan jenis diabetes

ini mirip dengan diabetes tipe 2 dimana tubuh resistensi terhadap insulin

(Kingham, 2009).

Meskipun diabetes tipe ini sering membaik setelah persalinan,

sekitar 50% wanita pengidap kelainan ini tidak akan kembali ke status

nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Bahkan jika membaik setelah

persalinan, risiko untuk mengalami diabetes tipe 2 setelah sekitar 5 tahun

pada waktu mendatang lebih besar dari pada normal (Corwin, 2009).

6. Patofisiologi

Gambar 2.1 Patofisiologi DM Tipe 2 (Silbernagl, 2014).

13
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

atau kedua-duanya (ADA, 2010).

Kejadian DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai penyebab

utama. Di sisi lain timbulnya DM bisa berasal dengan kekurangan insulin yang

bersifat relatif yang disebabkan oleh adanya resistensi insulin. Keadaan ini

ditandai dengan ketidakrentanan/ketidakmampuan organ menggunakan insulin,

sehingga insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam mengatur metabolisme

glukosa. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia) (Bustan,

2007).

a. Resistensi Insulin

Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu

banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara

suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam

darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan penggunaan glukosa di otot dan

jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk

meningkatkan pelepasan insulin (Silbernagl, 2014).

Resistensi insulin yang kemudian diikuti dengan perkembangan DM

tipe 2 umumnya terjadi pada orang tua, dan pada orang gemuk yang secara

14
fisik tidak aktif, atau pada wanita hamil. Mereka tidak mampu

mengkompensasi resistensi insulin secara adekuat dengan meningkatkan

pelepasan insulin (Pamela dkk, 2011).

b. Gangguan Sekresi Insulin

Pada awal perjalanan penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya

normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin

yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang

cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun (Clare dkk, 2007).

Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya

gangguan sekresi insulin yang tipe II, dan bukan defisiensi sintesa insulin.

Namun pada perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi absolut yang

ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibanding DM tipe I . Penyebab

defisiensi insulin pada DM tipe II masih belum sepenuhnya jelas. Berdasarkan

data mengenai hewan percobaan dengan DM tipe II, diperkirakan mula-mula

resistensi insulin menyebabkan peningkatan kompensatorik massa sel beta

dan produksi insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik

terhadap DM tipe II, kompensasi ini gagal. Pada perjalanan penyakit

selanjutnya terjadi kehilangan 20 - 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat

menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.

Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.

15
Dasar molekuler gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini

masih belum dipahami (Clare dkk, 2007).

7. Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua

kategori mayor:

a. Komplikasi metabolik akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang

relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi yang paling serius

pada diabetes tipe 1 adalah diabetik ketoasidosis (DKA). Hiperglikemia,

hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut

lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih

tua. Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia

(reaksi insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin (Price,

2014).

b. Komplikasi vaskular jangka panjang

Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan

pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang

dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes

yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomelurus

16
ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-

otot serta kulit. Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis

berupa aterosklerosis (Price, 2014).

Gambar 2.2 Komplikasi DM Tipe 2 (Corwin, 2009).

B. Tinjauan Umum Tentang Fungsi Ginjal

1. Definisi Fungsi Ginjal

Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam

mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur

keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan asam basa dengan cara filtrasi darah,

reabsorbsi selektif air, elektrolit dan nonelektrolit, serta mengekskresi

kelebihannya sebagai urin. Ginjal juga mengeluarkan produk sisa metabolisme

(ureum, kreatinin, dan asam urat) dan zat kimia asing (Corwin, 2009).

17
2. Tes Fungsi Ginjal

a. Ureum

Ureum dihasilkan sebagai produk akhir metabolisme protein dan

diekskresikan melalui ginjal. Peningkatan kadar nitrogen urea darah (blood

urea nitrogen, BUN) dapat menjadi indikasi terjadinya dehidrasi, gagal

prarenal atau gagal ginjal (Kee, 2013)

b. Kreatinin

Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin. Rasio

ureum/kreatinin merupakan uji yang efektif, terutama untuk menentukan

fungsi ginjal. Kadar ureum dapat meningkat akibat dehidrasi, juga pada

disfungsi ginjal. Kadar kreatinin tidak dapat meningkat pada keadaan

dehidrasi, tetapi sudah pasti meningkat pada disfungsi ginjal. Pemeriksaan

rasio ini lebih sensitif untuk mengkaji hubungan ureum dan kreatinin,

dibandingkan dengan pemeriksaan ureum dan kreatinin yang terpisah (Kee,

2013).

c. Asam Urat

Asam urat adalah produk tambahan dari metabolisme purin.

Peningkatan kadar asam urat dalam urine dan serum (hiperurisemia)

bergantung pada fungsi ginjal, laju metabolisme purin, dan asupan diet dari

makanan yang mengandung purin. Jumlah asam urat yang berlebihan

18
dieskresikan melalui urine. Asam urat dapat mengkristal dalam saluran

kemih pada kondisi urin yang bersifat asam. Oleh sebab itu, fungsi ginjal

yang efektif dan kondisi urin yang alkalin diperlukan bila terjadi

hiperurisemia. Masalah yang paling banyak terjadi berkaitan dengan

hiperurisemia adalah gout (Kee, 2013).

d. Uji laju Fitrasi Glomerulus

Laju filtrasi glomerulus (LFG) merupakan mengukuran spesifik untuk

mengetahui kapasitas filtrasi glomerulus dan fungsi ginjal. LFG dapat

diperhitungkan sesuai dengan kreatinin serum. Perhitungan GFR berdasarkan

kreatinin serum, usia, ukuran tubuh, jenis kelamin, dan ras tanpa

membutuhkan kadar kreatinin urin menggunakan persamaan Cockcroft and

Gault (Verdiansyah, 2015).

e. Cystatin C

Cystatin Cadalah protein berat molekul rendah yang diproduksi oleh

sel-sel berinti. Cystatin C difiltrasi oleh glomerulus, direabsorpsi, dan

dikatabolisme di tubulus proksimal. Cystatin C diproduksi dalam laju yang

konstan, kadarnya stabil pada ginjal normal. Kadar cystatin C tidak

dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, usia, dan massa otot. Pengukuran

cystatin C mempunyai kegunaan yang sama dengan kreatinin serum dan

klirens kreatinin untuk memeriksa fungsi ginjal (Verdiansyah, 2015).

19
3. Metode Pemeriksaan Fungsi Ginjal

a. Pemeriksaan Ureum

a) Metode : Urease / GLDH, Intial Rate (Arianda, 2013)

b) Prinsip : Urease akan menghidrolisis urea menjadi ion ammonium dan

bikarbonat. Ammonium yang terbentuk akan bereaksi dengan oxoglutarat

dan NADH (Nikotin Amid Dehidroginase). Kemudian dengan bantuan

enzim GLDH (Glutamate dehydrogenase), oxoglutarat akan menjadi

glutamat yang disertaiperubahan NADH menjadi NAD (Nikotinamida

Adenine Dinukliotida). Penurunan konsentrasi NADH sebanding dengan

konsentrasi ureum dalam sampel

Urease
Urea + H2O → 2NH3 + CO2

GLDH
NH3 + α- KG + NADH + H+ → L-Glutamate + NAD+ + H2O

Ket :

- α-KG : a-ketoglutarate

- NADH : Nicotinamide adenine dinucleotida

- GLDH : Glutamate dehidrogenase

Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur kadar ureum

serum, yang sering dipilih/digunakan adalah metode enzimatik. Enzim urease

menghidrolisis ureum dalam sampel menghasilkan ion ammonium yang

kemudian diukur. Ada metode yang menggunakan dua enzim, yaitu enzim

urease dan glutamat dehidrogenase. Jumlah nicotinamide adenine dinucleotide

20
(NADH) yang berkurang akan diukur pada panjang gelombang 340 nm

(Verdiansyah, 2015).

b. Pemeriksaan Kreatinin

a) Metode : Reaksi Jaffe (Cold) Stable

b) Prinsip : Kreatinin bereaksi dengan larutan Pikrat Alkalis membentuk

warna kemerahan (reaksi Jaffe). Warna merah yang terbentuk berbanding

lurus dengan kadar Kreatinin dan diukur dengan photometer pada

panjang gelombang 510 (500-520) nm (Arianda, 2013).

c. Pemeriksaan Asam Urat

a) Metode : Kolorimetri enzimatik

b) Prinsip : Asam urat dioksidasi oleh Uricase menjadi Allatoin dan H2O2

dengan adanya Peroksidase menghasilkan Chromogen berwarna yang

diukur pada panjang gelombang 520 nm yang sebanding dengan kadar

asam urat dalam sampel (Arianda, 2013)

Salah satu metode pemeriksaan yang dipergunakan untuk memeriksa

asam urat adalah metode caraway. Metode ini menggunakan reaksi oksidasi

asam urat yang dilanjutkan reduksi asam fosfotungstat pada suasana alkali

menjadi tungsten blue. Metode yang menggunakan enzim uricase yang

mengkatalisis oksidasi asam urat menjadi allantoin. Perbedaan absorbansi

sebelum dan sesudah inkubasi dengan enzim uricase sebanding dengan kadar

asam urat (Verdiansyah, 2015)

21
Metode coupled enzyme mengukur hidrogen peroksida yang

dihasilkan dari perubahan asam urat menjadi allantoin. Enzim peroksidase dan

katalase digunakan sebagai indikator katalis reaksi kimia. Warna yang

dihasilkan sebanding dengan kadar asam urat pada bahan pemeriksaan.

Bilirubin dan asam urat dapat menjadi faktor pengganggu pada metode

coupled enzyme (Verdiansyah, 2015).

C. Tinjauan Umum Tentang Hubungan Fungsi Ginjal dengan Diabetes Melitus

(DM) Tipe 2

Diabetes melitus merupakan penyebab utama kebutaan dan amputasi pada

orang dewasa, dan merupakan penyebab utama gagal ginjal, serangan jantung, dan

stroke. Sebagian besar kasus diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kelompok,

tipe 1 dan tipe 2 (Pamela dkk, 2011).

Ginjal berperan penting dalam degradasi insulin. Sekitar 20% insulin yang

dibentuk oleh pankreas didegradasi oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita

diabetes melitus yang menderita payah ginjal mungkin membutuhkan insulin yang

jumlahnya lebih sedikit (Corwin, 2009).

Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan salah

satu penyebab kematian terpenting pada diabetes melitus yang lama. Diabetes melitus

menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik

22
adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes melitus

(Corwin, 2009).

Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya

mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis,

berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerulardan berakhir dengan gagal

ginjal yang memerlukan pengelolaan dengan pengobatan subtitusi (Sudoyo dkk,

2009).

Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penyebab utama

gagal ginjal tahap akhir, yang membutuhkan tindakan cuci darah/hemodialisis adalah

DM. 45% pasien dalam hemodialisis adalah penyandang DM (Soewondo, 2007).

D. Tinjauan Umum Tentang Photometer 5010

Photometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur pecahayaan atau

penyinaran. Seperti penerapan di fotometry industri, suatu “fotometer” adalah kata

umum yang meliputi alat-alat untuk mendeteksi :

1. Intensitas cahaya hamburan

2. Penyerapan

3. Fluoresensi

Kebanyakan photometer berlandaskan pada sebuah fotoresistor atau

fotodioda. Masing-masing mengalami perubahan sifat kelistrikan ketika disinari

cahaya yang selanjutnya dapat di deteksi dengan suatu rangkaian elektronik tertentu

(Lefever J. 2007).

23
Prinsip dasar photometer adalah pengukuran penyerapan sinar akibat interaksi

sinar yang mempunyai panjang gelombang tertentu dengan larutan atau zat warna

yang dilewatinya. Kebanyakan photometer mendeteksi cahaya dengan

photomeresistor, dioda atau photomultipliers. Untuk menganalisa cahaya, fotometer

bisa mengukur cahaya setelah melalui filter atau melalui monokromator penentuan

ditentukan panjang gelombang atau untuk analisis terhadap distribusi spektrum

cahaya (Lefever J. 2007).

E. Kerangka Pikir

DM tipe 2

Ginjal
Hiperglikemia

Gangguan Fungsi Ginjal


Komplikasi Mikroangiopati

Pemeriksaan Laboratorium

Ureum Kreatinin Asam urat

Keterangan
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti

24
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini dilakukan dengan observasi laboratorium yang bertujuan

untuk mengetahui gambaran fungsi ginjal pada penderita diabetes melitus (DM) tipe

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 22 Juni sampai 01 Juli 2016.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita Diabetes melitus (DM) tipe 2 yang

berada di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.

2. Sampel dan besar sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah penderita Diabetes melitus (DM) tipe 2 yang

melakukan pemeriksaan fungsi ginjal di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar,

dengan jumlah sampel sebanyak 20 sampel.

25
Rumus besaran sampel diperkirakan berdasarkan rumus Simple Random

Sampling:

Z∝2 PQ
𝑁= 𝑑

Keterangan :

- Z = Deviat baku nominal untuk tingkat kemaknaan (ditetapkan) nilai ini

dipilih sesuai dengan interval kepercayaan (IK) yang diinginkan. Bila IK

95% berarti α = 0,05, sehingga Zα = 1,96

- P = Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak diketahui

proporsinya ditetapkan 50% (0,5) (peneliti sebelumnya)

- Q = 1-P

- d = Kesalahan absolut yang dapat ditolerir, d (10%), d (5%) dan d (1%)

ditetapkan

- N = besar sampel

D. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini secara Purpossive

Sampling. Purpossive Sampling merupakan salah satu metode non-random yang

mengambil samplingnya sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti.

E. Kriteria Sampel

1. Merupakan pasien yang telah didiagnosa dokter sebagai penderita diabetes

melitus tipe 2

2. Tidak mengkonsumsi obat 8 jam sebelum pengambilan darah

26
3. Laki-laki berusia di atas 25 tahun

4. Lama menderita diabetes melitus adalah 2 sampai 10 tahun

F. Teknik Pengumpulan Data

Data dari penelitian ini diambil berdasarkan hasil observasi laboratorium

dengan hasil gambaran fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat) pada pasien

diabetes mellitus tipe 2

G. Prosedur Kerja

1. Prosedur Pengambilan Darah

1) Pra Analitik

a) Persiapan pasien

Lakukan pendekatan pasien dengan tenang dan ramah, uasahan

pasien senyaman mungkin. Identifikasi pasien dengan benar sesuai

dengan data dilembar permintaan. Verifikasi keadaan pasien, misalnya

puasa atau konsumsi obat. Catat bila pasien minum obat tertentu,tidak

puasa dan lainnya.

b) Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada pengambilan darah vena

adalah spoit 3 cc, alat pembendung, tabung, plester, kapas alkohol

27
2) Analitik

Bersihkan tempat yang akan diambil yaitu vena fossa cubiti dengan

kapas alkohol 70% dan biarkan sampai kering. Pasang ikat pembendung pada

lengan bagian atas dan meminta pasien untuk mengepal dan membuka

tangannya beberapa kali agar vena terlihat jelas. Tusuk kulit pelan-pelan

sampai ujung jarum masuk ke dalam vena, dengan lubang jarum menghadap

keatas. Lepas pembendung dan pelan-pelan tarik penghisap spoit sampai

didapatkan jumlah darah yang dikehendaki. Taruh kapas diatas jarum,

kemudian dicabut spoit dan jarumnya. Minta pasien untuk menekan tempat

tusukan tadi selama beberapa menit. Alirkan darah dari semprit kedalam

tabung yang tersedia melalui dinding tabung.

3) Pasca Analitik

Sampel memenuhi kriteria untuk pemeriksaan lanjutan.

2. Pemeriksaan Ureum

1) Pra Analitik

a) Persiapan pasien

Pasien tidak mengkonsumsi obat

b) Persiapan sampel

Hindari pemakaian sampel hemolisis dan keruh. Sampel yang

digunakan serum. Sampel hendaknya dianalisa beberapa jam setelah

28
dikumpulkan karena urea akan hilang pada aktivitas bakteri atau

hendaknya disimpan pada lemari pendingin.

c) Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan yaitu photometer, tabung reaksi,

rak tabung, sentrifus, klinipet, tip, serum, dan reagen kerja.

2) Analitik

Pipet serum 5 ul masukkan ke tabung reaksi, tambahkan 500 ul

Reagen 1, inkubasi 5 menit kemudain tambahkan 500 ul Reagen 2,

homogenkan. Inkubasi selama 5 menit lalu baca hasil pada alat photometer

3) Pasca analitik

Nilai normal : 10 - 50 mg/dl

3. Pemeriksaan Kreatinin

1) Pra Analitik

a) Persiapan pasien

Pasien tidak mengkonsumsi obat

b) Persiapan sampel

Hindari pemakaian sampel hemolisis dan keruh. Sampel yang

digunakan serum

c) Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan yaitu photometer, tabung reaksi,

rak tabung, sentrifus, klinipet, tip, serum, dan reagen kerja.

2) Analitik

29
Pipet 500 ul reagen 1, masukkan ke tabung reaksi kemudian

tambahkan 500 ul reagen 2 lalu tambahkan 100 ul serum, homogenkan.

Baca hasil pada alat photometer

3) Pasca analitik

Nilai normal laki-laki : 0,6 – 1,1 mg/dl

Nilai normal perempuan : 0,5 – 0,9 mg/dl

4. Pemeriksaan Asam Urat

1) Pra Analitik

a) Persiapan pasien

Pasien tidak mengkonsumsi obat

b) Persiapan sampel

Hindari pemakaian sampel hemolisis dan keruh. Sampel yang

digunakan serum

c) Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan yaitu photometer, tabung reaksi,

rak tabung, sentrifus, klinipet, tip, serum, dan reagen kerja.

2) Analitik

Pipet serum 20 ul, masukkan ke tabung reaksi kemudian tambahkan

reagen asam urat 1000 ul, homogenkan. Lalu inkubasi selama 10 menit dan

baca hasil pada alat photometer

3) Pasca analitik

30
Nilai normal laki-laki : 3,4 – 7,0 mg/dl

Nilai normal perempuan : 2,4 – 5,7 mg/dl

31
H. Alur Kerja Penelitian

Pasien diabetes
melitus tipe 2
yang memenuhi kriteria, pencatatan data
pasien tentang HbA1c dan lama
menderita DM
Pengambilan sampel
darah vena

Sentrifus

kecepatan 3000 rpm, selama 15 menit


Serum

Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan Asam


Ureum (BUN) Kreatinin metode Urat metode
metode Kolorimetri Kolorimetri Kolorimetri
Enzimatik Enzimatik Enzimatik

Hasil

Analisis Data

Pembahasan

Kesimpulan

32
I. Definisi Operasional

a. Penyakit diabetes melitus (DM) atau penyakit kencing manis akibat resitensi

insulin dan gangguan sekresi insulin yang ditandai dengan polidipsi, poliphagi,

dan poliuria serta kadar GDP >126 mg/dl dengan lama menderita DM 2-10 tahun

b. Pemeriksaan fungsi ginjal yang dimaksud adalah ureum, kreatinin, dan asam

urat. Diperiksa dengan metode kolorimetri enzimatik dan hasil dinyatakan dalam

satuan mg/dl

J. Analisis Data

Data hasil pada penelitian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel.

33
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan di Rumah Sakit Islam Faisal

Makassar pada tanggal 22 Juni sampai 01 Juli 2016 dengan jumlah sampel 20, maka

didapatkan data sebagai berikut:

Tabel 4.1 Hasil penelitian kadar ureum, kreatinin dan asam urat

Kode Umur Ureum Kreatinin Asam Lama HbA1c


No Sampel (tahun) (mg/dl) (mg/dl) Urat DM (%)
(mg/dl) (tahun)
1 A 77 65 2,1 7,4 9 -
2 B 63 54 1,9 8,1 8 -
3 C 61 31 0,7 6,2 2 -
4 D 70 26 0,8 4,0 3 10,4
5 E 70 30 1,0 2,8 4 6,0
6 F 75 42 2,1 5,9 8 11,0
7 G 55 29 0,5 6,2 3 9,9
8 H 67 46 1,0 4,5 4 10,6
9 I 60 35 0,8 6,0 3 11,3
10 J 51 64 1,2 4,6 7 9,3
11 K 56 30 0,8 9,7 3 6,4
12 L 56 63 1,8 7,2 3 12,6
13 M 50 30 0,7 4,5 2 9,2
14 N 57 25 0,6 4,8 3 6,5

34
15 O 46 26 1,1 5,1 6 8,7
16 P 71 29 0,7 6,3 4 6,1
17 Q 48 39 1,6 7,2 5 14,0
18 R 60 66 1,1 8,0 7 12,3
19 S 55 16 0,9 5,2 3 7,9
20 T 58 35 0,7 6,7 4 6,5
Sumber: data primer dan sekunder

Keterangan : Nomor 1-3 (data primer)

Nomor 4-20 (data sekunder)

Tabel 4.2 Hasil persentasi kadar ureum, kreatinin dan asam urat

Kategori Ureum (mg/dl) Kreatinin Asam Urat


(mg/dl) (mg/dl)
Jumlah sampel 20 20 20
Rata-rata 39,05 1,105 6,02
Kadar tertinggi 66 2,1 9,7
Kadar terendah 16 0,5 2,8
Nilai normal 10-50 0,6-1,1 3,4-7,0

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan rata-rata kadar ureum 39,05 mg/dl, kadar

tertinggi 66 mg/dl dan kadar terendah 16 mg/dl. Rata-rata kadar kreatinin 1,105 mg/dl

kadar tertinggi 2,1 mg/dl dan kadar terendah 0,5 mg/dl. Rata-rata kadar asam urat

6,02 mg/dl, kadar tertinggi 9,7 mg/dl dan kadar terendah 2,8 mg/dl

35
Tabel 4.3 Persentasi kadar ureum

Kadar ureum (mgdl) Jumlah sampel Persentasi (%)


< 10 0 0
10-50 15 75
> 50 5 25

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan kadar ureum tidak ada yang di bawah

normal (0%), 15 sampel menunjukkan normal (75%) dan 5 sampel menunjukkan di

atas normal (25%).

Tabel 4.4 Persentasi kadar kreatinin

Kadar Kreatinin Jumlah sampel Persentasi (%)


(mg/dl)
< 0,6 1 5
0,6-1,1 13 65
> 1,1 6 30

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan kadar kreatinin 1 sampel di bawah normal

(5%), 13 sampel menunjukkan normal (65%) dan 6 sampel menunjukkan di atas

normal (30%).

Tabel 4.5 Persentasi kadar asam urat

Kadar Asam urat Jumlah sampel Persentasi (%)


(mg/dl)
< 3,4 1 5
3,4-7,0 14 70
> 7,0 5 25

36
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan kadar asam urat 1 sampel di bawah

normal (5%), 14 sampel menunjukkan normal (70%) dan 3 sampel menunjukkan di

atas normal (25%).

Tabel 4.6 Persentasi lama menderita DM dengan fungsi ginjal

Lama Ureum Kreatinin Asam urat Keterangan


mendeita DM (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl)
(tahun)
2-4 30,16 0,76 5,57 Normal
5-7 51,6 1,36 6,42 Kreatinin meningkat, asam
urat dan ureum normal
8-10 53,66 2,03 7,13 Meningkat

Berdasarkan tabel 4.6 lama menderita DM 2-4 tahun menunjukkan rata-rata

kadar ureum 30,16 mgdl, kreatinin 0,76 mg/dl dan asam urat 5,57 mg/dl. Lama

menderita DM 5-7 tahun menunjukkan rata-rata kadar ureum 51,6 mgdl, kreatinin

1,36 mg/dl dan asam urat 6,42 mg/dl. Lama menderita DM 8-10 tahun menunjukkan

rata-rata kadar ureum 53,66 mgdl, kreatinin 2,03 mg/dl dan asam urat 7,13 mg/dl.

Tabel 4.7 Persentasi kadar HbA1c dengan fungsi ginjal

Kadar Ureum Kreatinin Asam urat Keterangan


HbA1c (%) (mg/dl) (mgdl) (mg/dl)
< 6,5 33,66 0,83 6,26 Normal
6,5 30 0,65 5,75 Normal
> 6,5 39,16 1,23 5,7 Kreatinin meningkat, asam
urat dan ureum normal

Berdasarkan tabel 4.7 HbA1c <6,5 % menunjukkan rata-rata kadar ureum

33,66 mgdl, kreatinin 0,83 mg/dl dan asam urat 6,26 mg/dl. HbA1c 6,5%

menunjukkan rata-rata kadar ureum 30 mgdl, kreatinin 0,65 mg/dl dan asam urat 5,75

37
mg/dl. HbA1c menunjukkan rata-rata kadar ureum 39,16 mgdl, kreatinin 1,23 mg/dl

dan asam urat 5,7 mg/dl.

B. Pembahasan

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasi laboratorik yang

bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan hasil pemeriksaan kadar

ureum, kreatinin dan asam urat pada penderita diabetes melitus (DM) tipe 2 di Rumah

Sakit Islam Faisal Makassar

Sampel pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki karena laki-laki memiliki

hubungan bermakna dengan kejadian nefropati diabetik. Laki-laki mempunyai risiko

menderita nefropati diabetik yang lebih tinggi daripada wanita. Laki-laki memiliki

kadar serotonin yang lebih tinggi daripada wanita, sehingga massa otot laki-laki

jauh lebih besar daripada wanita. Massa otot berperan dalam peningkatan kadar

kreatin fosfat yang juga berpengaruh terhadap kadar kreatinin. Kreatinin pada laki-

laki umumnya lebih tinggi daripada wanita. Kadar kretinin yang tinggi dapat

mencetus gangguan fungsi ginjal, karena ginjal harus bekerja lebih keras untuk

memfiltrasi dan mengekskresikan kreatinin ke urin.

Dari hasil penelitian didapatkan lama menderita DM 2-4 tahun menunjukkan

fungsi ginjal normal, lama menderita DM 5-7 tahun menunjukkan kadar kreatinin

meningkat, ureum dan asam urat normal dan lama menderita DM 8-10 tahun juga

menunjukkan fungsi ginjal meningkat.

38
Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada pembuluh darah kecil yang

dapat menyebabkan kerusakan ginjal dimana kerusakan ginjal tersebut dapat

menyebabkan kegagalan ginjal yang berat. Namun diperlukan waktu sekitar 5-10

tahun untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang bermakna.

Pasien DM tipe 2 dengan lama menderita 5-10 tahun, dua kali lebih berisiko

daripada pasien DM tipe 2 dengan lama menderita < 5 tahun. Pasien DM tipe 2

akan menunjukkan tanda-tanda mikroalbuminuria setelah 5 tahun menderita, dan

makroalbuminuria muncul setelah 15 hingga 20 tahun menderita diabetes

melitus. Semakin lama seseorang menderita DM maka kerusakan dari fungsi ginjal

akan semakin parah yang dapat dilihat dari kenaikan kadar ureum darah, serum

kreatinin, dan adanya mikroalbuminuria.

HbA1c < 6,5 % menunjukkan fungsi ginjal normal, HbA1c 6,5 % juga

menunjukkan fungsi ginjal normal, dan HbA1c > 6,5% menunjukkan kadar kreatinin

meningkat, ureum dan asam urat normal.

Konsenstrasi HbA1c tergantung pada konsentrasi glukosa darah dan usia

eritrosit. Kadar glukosa yang berlebih akan selalu terikat di dalam hemoglobin

denga kadar yang tinggi pula. Kadar HbA1c yang terukur sekarang atau

sewaktu mencerminkan kadar glukosa pada waktu 3 bulan yang lampau sesuai

dengan umur sel darah merah manusia yaitu sekitar 120 hari.

39
Kadar HbA1c < 6,5 % dapat mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular

pada penderita diabetes. Apabila kadar HbA1c ini dikontrol dengan baik segera

setelah pasien terdiagnosis diabetes melitus maka dapat mencegah atau

mengurangi komplikasi makrovaskular dalam jangka waktu yang panjang.

Diabetes melitus yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai

komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Penyakit akibat

komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada pasien diabetes yaitu retinopati dan

nefropati diabetik. Nefropati diabetik adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal

yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal.

Ureum yang tinggi dapat mengindikasikan disfungsi ginjal, akan tetapi

dikarenakan ureum juga dipengaruhi oleh asupan protein serta fungsi hati,

pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan kreatinin darah,

indikator yang lebih spesifik dari fungsi ginjal.

Kreatinin sangat berguna untuk menilai fungsi ginjal dan kadar plasma

kreatinin lebih baik dibandingkan kadar plasma ureum. Kenaikan plasma kreatinin

dari normal menandakan penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) kurang lebih

50%. Sedangkan asam urat tidak dapat dijadikan indikator untuk deteksi dini dari

GGK, karena tidak mempunyai hubungan erat dengan derajat penurunan fungsi ginjal

dan banyak dipengaruhi oleh banyak faktor dalam metabolisme asam urat.

40
Dari hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum, kreatinin dan asam urat) pada

penderita diabetes melitus (DM) tipe 2 di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar

didapatkan hasil normal dan abnormal. Hasil abnormal didapatkan lebih sedikit

dibandingkan nilai normal.

Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dibentuk di dalam hati dan

dikeluarkan melalui ginjal. Ureum berasal dari diet dan protein endogen yang telah

difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi sebagian oleh tubulus. Pada orang sehat

yang makanannya banyak mengandung protein, ureum biasanya berada di atas

rentang normal. Kadar rendah biasanya tidak dianggap abnormal karena

mencerminkan rendahnya protein dalam makanan atau ekspansi volume plasma

Peningkatan kadar urea disebut juga dengan uremia. Penyebab uremia dibagi

menjadi tiga, yaitu penyebab prarenal, renal, dan pascarenal. Uremia prarenal terjadi

karena gagalnya mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh glomerulus.

Mekanisme tersebut meliputi penurunan aliran darah ke ginjal dan peningkatan

katabolisme protein seperti pada perdarahan gastrointestinal, hemolisis, leukemia

(pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka bakar, dan demam.

Kreatinin adalah produk metabolisme yang memiliki molekul lebih besar dari

ureum dan pada dasarnya tidak permeabel terhadap membran tubulus. Oleh karena

itu, kreatinin yang difiltrasi hampir tidak ada yang direabsorbsi, sehingga sebenarnya

semua kreatinin yang difiltrasi oleh glomerulus akan diekskresikan ke dalam urin.

41
Namun sejumlah kecil kreatinin disekresikan oleh tubulus, sehingga jumlah kreatinin

yang diekskresikan dalam urin sedikit melebihi jumlah yang difiltrasi. Kreatinin

merupakan produk penguraian kreatin. Kreatin disintesis di hati dan terdapat pada

hampir semua otot rangka sehingga individu dengan massa otot besar dapat memiliki

nilai yang lebih tinggi.

Asam urat merupakan produk akhir dari katabolisme purin yang berasal

dari degradasi nukleotida purin yang terjadi pada semua sel. Asam urat disintesis

terutama dalam hati, dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh enzim xantin oksidase.

Asam urat kemudian mengalir melalui darah ke ginjal, tempat zat ini difiltrasi,

direabsorpsi sebagian, dan disekskresi sebagian sebelum akhirnya diekskresikan

melalui urine.

Organ yang bertanggung jawab dalam mengendalikan kadar asam urat

didalam darah agar selalu dalam batas normal adalah ginjal. Ginjal mengatur

pembuangan asam urat melalui urin. Namun bila produksi asam urat menjadi sangat

berlebihan atau pembuangannya berkurang, akibatnya kadar asam urat dalam darah

menjadi tinggi. Dan keadaan ini disebut hiperurisemia.

Menurut penelitian terbaru, asam urat merupakan faktor risiko penyakit ginjal

pada populasi umum dan penderita penyakit ginjal. Pada pasien sindrom metabolik,

sering terjadi hiperurisemia akibat stimulasi insulin terhadap resbsorpsi air dan asam

urat pada tubulus proksimal. Hiperurisemia yang sering terjadi lebih dahulu daripada

42
hiper insulinemia, obesitas, dan diabetes, dapat ditemukan pada penderita sindrom

metabolik dengan berat badan normal.

Ureum, kreatinin dan asam urat merupakan produk metabolisme yang sangat

bergantung pada filtrasi glomerulus untuk ekskresinya. Peningkatan konsentrasi zat-

zat tersebut sebanding dengan jumlah penurunan nefron fungsional. Sehimgga,

pengukuran konsentrasi ureum, kreatinin dan asam urat parameter penting untuk

menilai fungsi ginjal.

Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi penyakit diabetes mellitus

yang termasuk dalam komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang terjadi pada

pembuluh darah halus (kecil). Hal ini dikarenakan terjadi kerusakan pada pembuluh

darah halus di ginjal. Kerusakan pembuluh darah menimbulkan kerusakan glomerulus

yang berfungsi sebagai penyaring darah. Tingginya kadar gula dalam darah akan

membuat struktur ginjal berubah sehingga fungsinyapun terganggu.

Kadar glukosa dalam keadaan normal difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan

semua glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi di tubulus proksimal ginjal tidak

mengontrol kadar glukosa darah karena ginjal hanya berfungsi sebagai memfiltrasi

dan mereabsorbsi, sedangkan pankreas melalui insulin mengontrol glukosa darah.

Hilangnya fungsi ginjal pada penderita gagal ginjal berarti proses filtrasi dan

reabsorbsi pankreas melalui insulin dalam mengontrol glukosa darah juga terganggu.

43
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Islam Faisal

Makassar pada tanggal 22 Juni sampai 01 Juli 2016 dengan jumlah sampel 20 dapat

disimpulkan bahwa rata-rata kadar ureum (39,05 mg/dl), kadar kreatinin (1,105

mg/dl) dan kadar asam urat (6,02 mg/dl) yang masih berada di batas normal.

Persentasi kadar ureum di atas normal adalah 25% sebanyak 5 sampel, persentasi

kadar kreatinin di atas normal 30% sebanyak 6 sampel dan persentasi kadar asam urat

di atas normal adalah 25% sebanyak 5 sampel yang berarti kurangnya lama menderita

DM dan semakin baik pengontrolan semakin rendah risiko komplikasi DM terhadap

fungsi ginjal.

B. Saran

1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar memeriksa penanda fungsi ginjal

yang lain seperti uji Laju Filtrasi Glomerulus dan Cystatin C

2. Penderita DM tipe 2 diharapkan mengatur pola hidup yang sehat dan rutin

melakukan pengontrolan kadar glukosa darah, HbA1c dan fungsi ginjal sehingga

mengurangi risiko gagal ginjal (nefropati diabetik).

44

You might also like