You are on page 1of 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/tenaga
kesehatanan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi
kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering
dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan
rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat.
Oleh karena itu diperlukan tenaga kesehatan yang mempunyai kemampuan yang bagus
dalam mengaplikasikan asuhan pengkajian gawat darurat untuk mengatasi berbagai
permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau
terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi
lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.
Asuhan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek pengkajian gawat darurat
yang diberikan kepada klien oleh tenaga kesehatan yang berkompeten di ruang gawat
darurat. Asuhan pengkajianyang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien
baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan pengkajian gawat darurat, yaitu : kondisi
kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang
ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling
ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di ruang
gawat darurat, pengkajian diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar
yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan ketepatan yang
tinggi (Maryuani, 2009).
Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang mendasar
pada kasus gawat darurat, maka setiap tenaga kesehatan gawat darurat harus
berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan
terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam
melakukan pengkajian awal yang akan menentukan bentuk pertolongan yang akan
diberikan kepada pasien. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula
dapat dilakukan pengkajian awal sehingga pasien tersebut dapat segera mendapat
pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian
primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah
yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan
pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga
jalan nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan
mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi
disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure,
enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).

1
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam
nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas.
Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat
(kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena
kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat
diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari
gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh
dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera.
Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak
permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian
primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien
(Mancini, 2011).

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

Tenaga kesehatanan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak
berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa,
pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan
dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung
memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap
pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey

2. Resuscitation

3. History

4. Secondary survey

5. Definitive care

A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada
primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
1. Airway maintenance dengan cervical spine protection
2. Breathing dan oxygenation
3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
5. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa
setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya
dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota
tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah
dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya
menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of
Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen. Kunci untuk tenaga kesehatanan trauma yang baik adalah
penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai
serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention,
reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009) :
a) General Impressions
1. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.

3
2. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
3. Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan
bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan
nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
2. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a. Adanya snoring atau gurgling
b. Stridor atau suara napas tidak normal
c. Agitasi (hipoksia)
d. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
e. Sianosis
3. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
a. Muntahan
b. Perdarahan
c. Gigi lepas atau hilang
d. Gigi palsu
e. Trauma wajah
4. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
5. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
6. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
a. Chin lift/jaw thrust
b. Lakukan suction (jika tersedia)
c. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
d. Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase

4
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
1. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
a. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
b. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumotoraks.
c. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
2. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
3. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
4. Penilaian kembali status mental pasien.
5. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
6. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
a. Pemberian terapi oksigen
b. Bag-Valve Masker
c. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
d. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
7. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.

d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis
shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh
karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang
cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain
yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola
dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:

5
1. Menentukan ada atau tidaknya
2. Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3. Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4. Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
1. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
2. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
3. dimengerti
4. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
5. awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
6. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.

f) Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
1. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
2. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil
atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

6
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012).

7
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012).

B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis

8
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial,
dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara
optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,
usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis
yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera
yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,
maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat
digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
a. C. have you ever felt should Cut down your drinking?
b. A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
c. G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
d. E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or
get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam
proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun
terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing Association, 2007):
a. Hurt you physically?
b. Insulted or talked down to you?
c. Threathened you with physical harm?

9
d. Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
a. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya
lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda
lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
b. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
c. Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
d. Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada
nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
e. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter
arteri pulmonal, kateter
urin, esophageal probe,
atau monitor tekanan
intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan,
kondisi penyakit, infeksi
dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas,
dan inspeksi dari usaha
10
bernafas. Tada dari
peningkatan usah
abernafas adalah adanya
pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak
mampu mengucapkan 1
kalimat penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan
respirasi, penurunan
kesadaran, penyakit serius
dan tanda vital yang
abnormal. Pengukurna
dapat dilakukan di jari
tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili
dari gambaran
kontraktilitas jantung,
frekuensi jantung, volume
sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan
cardiac output, seberapa
besar dan seberapa kuat
darah itu dipompakan.
Tekanan diastolic
menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting
diketahui di UGD karena
berhubungan dengan
keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung
dengan berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
11
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal,
ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).

b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring: inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna,kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri

c. Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan
menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi
trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway,
pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,

12
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)

e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan
nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk
adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,
ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen,
untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui
adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,,
nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan
intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage,
ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus
halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan
re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang
operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam
keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita
untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh
tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok
vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat
perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan
(pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus
dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada
adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi
pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika
pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler

13
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk
frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang
rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).

g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat
pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat
menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan
kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya
kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,
paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill
(pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot
dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal
dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya
dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap
bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang
muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi
syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita
mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet,
luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.

14
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan
dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis
dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.
Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat
imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang
sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan
leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu.
Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma
kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran
penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi
penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan
epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori

C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada
area pengkajiangawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary
survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif
(Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused
assessment ini dalam pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa
Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused
Assessment tetapi dengan istilah Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa
dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan.
Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan
penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan
segera dapat dilakukan tindakan definitif.

D. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat
darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask
Airway , maupun Endotracheal Tube
(salah satu dari peralatan airway) tetap
15
efektif untuk menjamin kelancaran jalan
napas. Pertimbangkan penggunaaan
peralatan dengan manfaat yang optimal
dengan risiko yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan


kebutuhan pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga
dada dengan rontgen foto thoraks,
untuk meyakinkan ada tidaknya
masalah seperti Tension
pneumothoraks, hematotoraks
atau trauma thoraks yang lain
yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi
menjamin perfusi jaringan khususnya
organ vital tetap terjaga, hemodinamik
tetap termonitor serta menjamin tidak
terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary


survey, perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic
yang lain seperti reflex patologis,
deficit neurologi, pemeriksaan
persepsi sensori dan pemeriksaan
yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey


dengan
 Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau
fraktur
 USG abdomen atau pelvis

16
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan
secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih
spesifik seperti :
1) Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan
perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui
perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi
lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat
ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber
perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio
displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c. Duodenum :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises
dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal
bleeding) (Djumhana, 2011).
2) Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus
dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini
dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi
infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat
menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa
intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya
pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul
akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip,
2004).
3) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi
seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan
menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan
dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu,
alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi
terakhir, CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan
menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan
juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak,
kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan
khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah
umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4) USG

17
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk
menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar
gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14
kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat
yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan
kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor,
gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah
yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat
menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan
berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa,
Syaharudin, 2011)
5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada,
abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative,
metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam
membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi
adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan
ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan
berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
6) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan
pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya
emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah
prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah
sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki
pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran
(Widjaya,2002).

18
BAB III

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan


Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di
rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik
meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik
segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
a. Kondisi gaduh gelisah.
b. Tindak kekerasan (violence)
c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium

Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan
utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan
pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan
tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi
informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau
inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi
dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak
dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan
status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan
penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter
di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah,
suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi
bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi,
demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan
besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima
hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien

19
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian
obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi
medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi,
kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali
menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan
psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua
kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini
dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta
kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara
ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau
pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.
Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di
rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:
a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.

Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi


1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa
hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya
penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi,
EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya,
informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum
tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
20
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif.

A. Keadaan Gaduh Gelisah


Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi
hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala
tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu
gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan
Maramis, 2009).
Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis
(Maramis dan Maramis, 2009):
1. Delirium
2. Skizofrenia katatonik
3. Gangguan skizotipal
4. Gangguan psikotik akut dan sementara
5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
6. Amok

1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium


Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak
organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium.
Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena
suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).
Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin
terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik
(misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial,
dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya)
dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa
atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada
otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun
biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya
tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada
suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui
penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis
yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).

21
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara
mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi
serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini
biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada
perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-
emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau
bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun.
Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah
ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping
psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang
inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).

3. Gangguan psikotik akut dan sementara


Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan
hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam
ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba
kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan
psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif
dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang
dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu.
Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia;
pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang
lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang
sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau
melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap
mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia
lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).

5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa
Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena dan

22
Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia” (“culture bound
phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya
seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia
bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula
terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja
yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering
berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga
atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya(Maramis dan
Maramis, 2009).

Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan


Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya perilaku agitatif
e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak
kekerasan.
h. Kegelisahan katatonik
i. Episode manik
j. Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu
Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):
a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24 tahun, status
sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah
c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat
psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis
d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita
harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan
kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang
kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara
dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi.
Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara
fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan
mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik
tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu
23
mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan
neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine,
haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak
secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu
tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara
intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti
neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan
antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf
vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop,
maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk
dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-
barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila
belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan
Maramis, 2009).

Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.

Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk
lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila
sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar
memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis,
2009).

24
B. Tindak kekerasan (violence)
Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau
tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai
gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat
mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
1. Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan
mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),
2. Intoksikasi alkohol atau zat lain,
3. Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
4. Katatonik furor
5. Depresi agitatif
6. Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),
7. Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
1. Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,
2. Adanya rencana spesifik,
3. Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
4. Laki-laki,
5. Usia muda (15-24 tahun),
6. Tatus sosioekonomi rendah,
7. Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
8. Tindakan antisosial lainnya
9. Riwayat percobaan bunuh diri.
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak
kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat
diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
Panduan wawancara dan Psikoterapi
a. Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas
bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu
dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan
menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”
b. Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,
c. Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang
dan penuh kontrol.
d. Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi diri anda
a. Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata

25
b. Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent)
seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa
dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.
c. Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu
pada anggota staf yang terlatih.
d. Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
e. Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
f. Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin merasa
bahwa anda mengancamnya
g. Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu persiapkan
rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag anda. Jangan
pernah membelakangi pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
a. Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini,
gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
b. Ancaman verbal,
c. Agitasi psikomotor,
d. Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
e. Waham kejar, dan
f. Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti
garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara
aman.
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya
setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk
menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan
wawancara pskiatrik.

Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan
obat antipsikotik atau benzodiazepin:
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata
per hari 13-14mg,
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2
menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang
sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk
penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan
benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan
respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan
Gitayanti Hadisukanto, 2010)

C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum


26
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan
dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009). Ada macam-macam
pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih
dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan
dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi
social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih
sedikit.

2. Bunuh diri altruistik

Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok
tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang, “puputan” di Bali
beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside
macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang
menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.

3. Bunuh diri anomik

Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan
masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa.
Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat
memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri
pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam
pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga
lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:


1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory
abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut
akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan
dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as
retroflexed murder”).

27
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti
kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk
bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan
emosi dengan keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan
bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita,
akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya
sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum
diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa
berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia
menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.

Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
a. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki. Akan
tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan
metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat
dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis
obat-obatan atau menggunakan racun.
b. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang
melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
c. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding ras
kulit hitam.
d. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah.
Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian
meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal
juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
e. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial
yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki
resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko
tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki
resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen

28
asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh
diri.
f. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan dalam
6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien
hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
g. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki
gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%,
dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental,
25% kecanduan juga kepada alkohol.
h. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien
bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien
kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau
pasangan dalam satu tahun terakhir.
i. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan
kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga
merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga
dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah
dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor
kontribusi tadi.

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri


Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
a. Pasien pernah mencoba bunuh diri
b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau
berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering dikatakan
pada keluarga)
c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan
lain-lain)
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan
serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang
miliknya.
f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi


a. Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
29
b. Mulailah dengan menanyakan:
1. Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
2. Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
c. Tanyakan isi pikiran pasien:
1. Berapa sering pikiran ini muncul?
2. Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
d. Selidiki :
1. Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh
dirinya?
2. Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
3. Seberapa pesimiskah mereka?
4. Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau
bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan
atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan
antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali
dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan
depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat
membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan
percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan
secara impulsif.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi
berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat
di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah
menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan
berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan
masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai
kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang
berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri.
(Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi
lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat
pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama
2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap
pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.

D. Sindroma Neuroleptik Maligna

30
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan
penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia
mutisme dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata
sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah
yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat
menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain
dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari
pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10
hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi
pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis
yang meningkat cepat.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika
terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala
berikut:
a. Diaforesis
b. Disfagia
c. Tremor
d. Inkontinensia
e. Penurunan kesadaran
f. Mutism
g. Takikardia
h. Tekanan darah yang meningkat atau labil
i. Leukositosis
j. Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya
sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan
hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan
gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan
kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas.
Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan
pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot

Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor
predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi,
kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol,
pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini
dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni
dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

31
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu
dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga
dan teman-temannya.

Evaluasi dan Penatalaksanaan


a. Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang
mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.
b. Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila
demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik
maligna.
c. Hentikna pemberian antipsikotik segera.
d. Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
e. Lakukan pmeriksaan laboratorium
f. Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
kemungkinan terjadiny agagal ginjal.
g. Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah kemudian
adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda
atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka
a. Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
b. Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45
mg/hari
c. Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach.
Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and
Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.

32
Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat
darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.
Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses
dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.
Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6 th edition.
St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults
aged 18-64: early release of estimates from the national health interview survey,
January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-
june_2011.pdf
Holder, AR. (2002 ).Emergency room liability. JAMA.
Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical
emergency team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuideline
s.aspx.
Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari
http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013
Lombardo, D. (2005). Patient asessment. In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s
manual of emergency care, ed 6. Philadelphia: Mosby.
Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal
Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28
April 2013.
Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005). Dokumentasi Ketenaga kesehatanan, Suatu Pendekatan
Proses Ketenaga kesehatanan, Edisi 3. Jakarta: EGC
Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.
Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info
Media Medis.
O’keefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998). Emergency
Care, eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon & Schuster Co.
Parhusip. (2004). Bronkoskopi. Diakses dari http://repository.usu.ac.id tanggal 28 april
2013.
Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for pre-
hospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN
978-0-9571028-2-8.
The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury: triage,
assessment, investigation and early management of head injury in infant, children
and adults. London: The National Institue for Health and Clinical Excellence
Thygerson, Alton. (2006). First aid 5 th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed.
Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

33
Vanderbilt Medical Center. (2011). Viewing and printing adult ED nursing assessment
documentation. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.mc.vanderbilt.edu/documents/sss2/files/View_Print_Adult_ED_Nurs_Ass
ess_Doc_2_10_11.doc
Widjaya, Cristina. (2002). Uji Diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer plasma pada
diagnosis stroke iskemik. FK. UNPAD. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id tanggal
28 april 2013.
Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams &
Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

34

You might also like