You are on page 1of 8

 PERBURUAN DI BAWAH BAYANGAN

Derap tiga pasang kaki bersepatu boot menuruni tangga darurat. Ada licak lumpur yang
masih basah menyisakan jejak dengan bau got menyeruak. Seolah memberi tanda berapa
ukuran sepatunya, serta kemana langkahnya.

Tiga hari kemudian, sebilah sepatu mangkrak di dalam sebuah bunker kosong. Sebilah sepatu
masih menempel pada kaki kanan jasad laki-laki tanpa identitas. Kaki dan tangan terikat tali
tambang, jatuh bebas dengan usus terburai di bawah ganco berkarat. Wajahnya penuh luka
sayat, dan secara sembrono disiram air keras. Tikus pengerat daging berhiliran ketika jasad
sudah setengah kroak ditemukan polisi patrol.

Seorang kawan polisi yang sedang berkomunikasi dengan HT bilang kehabisan tinta pena
untuk mencatat laporan kejadian. Lantas meminta izin memotret TKP dan membubuhinya
dengan beberapa kalimat deskriptif. Tak lama, petugas penyidik datang membawa kantong
jasad, mereka memindahkannya tanpa merasa harus memanggil awak media massa.

Singkat cerita, penemuan jasad di dalam bunker itu tiba-tiba viral di media sosial. Polisi
patroli yang pernah memotret TKP didesak mengaku sebagai biang penyebar hoax, tanpa
banyak ba-bi-bu ia dimutasi segera ke divisi bawah. Menghentikan ocehannya menguap lebih
jauh ke atas.

Di sebuah rendezvous, coffee shop yang tidak ada larangan mengasap di dalamnya, setiap
hari penuh sesak beragam emosi. Gelagat dan bau nyinyir bercampur petikan gitar akustik
sederhana di atas pentas kecil. Americano untuk si jenius kritis yang suka banyak omong.
Frapuchino untuk si maniak gadget yang mengejar wifi gratis. Mocca late untuk si melankolis
yang diam di dekat jendela. Arabica, robusta, toraja blend, dan luwak, biasanya dipesan
khusus untuk beberapa pemujanya.

Bar tender di tengah ruangan adalah mantan marinir yang konon masih memiliki jaringan ke
dalam intelijen negara. Tidak ada yang tahu kalau ia juga berteman dengan banyak tokoh
politisi, kaum intelektual, intel cyber, konglomerat, atau sekedar ajudan perdana menteri yang
menitip salam di bawah cangkir kopinya. Satu dua wajah terkadang bisik-bisik menyelipkan
sandi di dalam obrolan kasar. Tiga empat kadang mengacung jari tinggi-tinggi. Kalau mau,
pemuda yang mengaku menduda itu akan memberi kelakar balasan. Menyetujui barter
percakapan.

“Aku butuh lebih banyak gula di dalam kopi luwak ini,” panggil seorang pelanggan di meja
paling sudut, meja kedua yang menghadap jendela. Tangannya teracung mengangkat jari
dengan pucuk kretek menyala di tengah. Di sisi dalam tungkai telapaknya, seberkas tato tribal
kecil saja diukir ahlinya.

Alexio, bar tender yang ramah seperti biasa akan mengirim pelayan berseragam celemek dan
rok mini ke meja tersebut. Menanyakan kebutuhan pelanggan yang baru saja menyebut
sandinya. Kopi luwak ini.

“Dia memesan kopimu, Pak.” Pelayan rendah yang disuruh tadi merutuk kesal pada Alexio.
Merasa benar bilang kalau orang-orang penting itu tidak butuh pelayan selain si Penghubung,
Alexio Douglas.

Tidak sampai dua menit, duda tangguh pemilik legalitas coffee shop itu sudah membanting
celemeknya, mengunyah sepotong pai daging, menyambar gelas air es tawar, lantas bergegas
ke sumber malapetaka. Jalannya agak pincang, sebab sepatu boot yang sudah kekecilan
menjepit jari kakinya.
Baru seminggu yang lalu interpol datang menginterogasi, mengatainya marinir pembelot,
juga tanpa segan membanting pistol di hadapan tamu lainnya. Bisik-bisik itu menguap
bersama kekhawatiran pria paruh baya pesolek yang pangkal pahanya basah terkencing-
kencing. Kali ini siapa lagi, umpat Alexio membatin.

“Selamat sore, Bung Alexio. Maaf, aku menggoda pelayan seksimu itu tadi. Kau dapat
dimana dia? Apa keahliannya selain meracik biji kopi? Memeras susu? Aah, lupakan. Lama
tak jumpa kau, kawan.” Basa-basi amatiran, pikir Alexio sambil menjabat tangannya.

“Kau suka kopi luwak ini, Tuan Richard?” timpal Alexio. “Pelangganku yang lebih modern
dari kau, lebih suka memesan caramel late. Oh, jangan salah duga, kopi luwak ini selalu
otentik racikan tanganku sendiri.”

“Benarkah? Aku bahkan belum mencicipinya.” Sejurus kemudian lelaki flamboyan itu
mengangkat gagang cangkir, mengendus aroma bak profesional, lalu menyesap pelan-pelan
dengan bibir sedikit maju.

“Bagaimana? Masih kurang gula?” Alexio menantang.

Lelaki itu menggeleng. “Kau peracik kopi terburuk, kawan. Aku hanya membayar yang
terbaik. Hei, kau punya sisa kulit pai di gigimu, ya, bisa aku minta sepotong dari dapurmu?
Yang masih panas. Aku lapar sekali belakangan ini.”

Alexio membaca seringai di ujung mata lawan bicaranya. Bau anjing pelacak selalu
memuakkan. Penuh tipu daya dan berbalut alkohol. Dengar saja dia bilang itu kopi terburuk
buatan Alexio, mungkin dia belum pernah digilas bersama biji kopi seumur hidupnya.
Sebelum mahir merajang kopi, dulu Alexio remaja sering dihajar dengan penumbuk lesung
oleh mendiang ayahnya jika ketahuan membolos sekolah.

“Aku tahu yang kau inginkan, Tuan Amerika.” Alexio menghembuskan napasnya. “Kau
sudah janji membayar mahal sepotong pai buatanku, bukan?”

Richard menuntaskan isi cangkirnya, membayar bil dengan selembar cek dalam amplop
cokelat di meja. Tidak main-main, enam digit nol dengan angka satu di depannya tegak
menyombong. Dolar sedang kuat-kuatnya sekarang.

Sialnya, kantong kertas recek itu hanya umpan yang dilempar. Terserah Alexio apa mau
memakannya. Lalu ia memadamkan puntung kretek di asbak, beranjak, berbalik lagi
melempar dua jari telunjuk dan jari tengah dari sepasang mata abu-abunya kepada Alexio.

Malam itu, perburuan dimulai. Seorang anjing pelacak yang dikirim ke coffee shop siang tadi
hanya menggeretak dengan angkuh. Menawarkan persekutuan basa-basi. Sejujurnya, Alexio
lebih suka langsung bergulat satu lawan satu. Bukan diam-diam menodong dari belakang jika
tak suka.

Oh ya, tentu, tidak semua mafia hukum berpikiran sepertinya. Dia pernah berhubungan
dengan orang yang lebih kasar dari Richard. Pernah nyaris terbunuh dengan air softgun
mencium pelipis kalau tidak punya kemampuan bela diri mumpuni. Itulah sebabnya mengapa
ia menduda, mantan istrinya tak suka pekerjaan Alexio yang berbahaya.
“Richard hanya ingin tahu siapa pembunuh kawannya. Aku punya informasi yang harus dia
bayar mahal. Kau jangan terlalu khawatir, Sayang,” gurau Alexio di sambungan telepon
satelit nir kabel pada perempuan di seberang.

“Ada CCTV yang menangkap gerak-gerik anak-anak Mossad di Celebes. Kau sudah dengar?
Mereka membuka peternakan, diam-diam mengelola lahan perkebunan kentang yang siap
meledak kapan saja. Aku ngeri kalau mengingat kau dalam bahaya, Alex,” rajuk si
perempuan sambil lalu mengoper bola informasi. Tentu saja, peternakan teroris sedang naik
daun, dengan sedikit kentang berbumbu, cepat laku di pasaran demi menggodok RUU
Terorisme. Itulah informasinya.

Sepatah dua patah lagi sebelum akhirnya percakapan dihentikan. Telepon satelit terputus saat
seberkas bayangan hendak menyusup ke dalam kamar Alexio. Dia tahu apa yang menjadi
sasarannya. Dan Alexio lebih dari sekedar paham situasinya.

Richard yang siang tadi sempat menodong dengan selembar cek dolar, lebih gesit dari
sekedar anjing pelacak bayaran. Dia membawa revolver yang siap siaga dan satu unit granat
untuk meledakkan gudang di belakang coffee shop. Alexio tahu bencana macam apa yang
akan dia hadapi, menelan ludah, di koran besok tercetak Kafein Coffee Shop miliknya hangus
tinggal puing-puing. Pihak asuransi akan mengurus sisanya.

Alexio tidak tahu benar siapa nama asli Richard, pembunuh bayaran dari negeri Paman Sam.
Selain informasi tentang berkeliarannya agen Mossad di Celebes, anak-anak zionis punya
banyak nama samaran sebanyak e-ktp yang tercecer di kota hujan beberapa waktu lalu.

Mereka lincah menyeludup, bertransaksi dalam bayangan, dan bergerak seperti angin lalu.
Mereka pandai dalam jual-beli hukum, melakukan lobi negosiasi di belakang meja
pertahanan, bahkan menghilangkan jejaknya. Apalagi sekedar memutar balikkan fakta di
media massa. Mereka mafia, punya uang yang cukup untuk membeli pena para jurnalis.
Jangan tanya tentang skill membunuh, mereka buas seperti singa gunung.

Terbunuhnya seorang tentara Paman Sam di dalam bunker kosong jelas sudah menabuh
genderang perang. Akan ada sasaran tembak berikutnya yang di adu domba. Kalian tahu
siapa korban sejatinya? Anak-anak manusia yang tiap hari berdoa di kaki langit, bersujud
simpuh pada Tuhan semesta. Atas kawannya yang lagi-lagi akan digenosida segera.
Membunuh pembunuh tikus hanya alibi yang dibuat-buat untuk menakut-nakuti anak kecil.

Richard, tak banyak yang tahu kecuali yang membayarnya mahal. Pernah menjadi intelijen
Rusia terlatih, lantas membelot dan menjual jasanya dengan emas batangan murni. Richard,
oleh tuannya, adalah alat spionase bayaran yang lihai mengerjakan tugas. Pintar bermain api,
dan tahu cara memadamkannya. Matanya tajam merekam target, memburu sampai ke titik
paling pangkal. Tak takut jika buruannya berkawan dengan orang yang lebih tinggi. Selalu
pulang dengan checklist di gawai, sangat flamboyan.

Maka, hanya dengan mengintai perawakan Alexio, agen Richard tahu siapa si pembunuh.
Sepatu kekecilan itu memiliki jejak lumpur yang sama seperti noda yang membekas di salah
satu sepatu yang mangkrak tak bertuan di kaki si jasad.

Mungkin, Alexio terburu-buru mengenakan salah satunya saat hendak melarikan diri. Tak
tahu menahu mana sepatu milik siapa saat pergumulan di bunker itu menyebabkan sepatunya
sendiri tertukar. Celaka, dia justru berhadapan dengan anjing pelacak macam Richard
setelahnya.

~~~***~~~

Contoh Cerpen Lucu

KAKEK PENJUAL SATE

Tiba-tiba bumi berguncang hebat! Melempar tubuhku kesana kemari, hingga serasa bagai
diombang-ambingkan ombak lautan. Petir terdengar bergemuruh memekakkan telinga …,
dan puncaknya, sebuah halilintar meledak, membahana memecah angkasa!

“Hooiii! Baanguuun, Laaann …!”

Aku tersentak kaget dengan napas memburu. Sesaat terpana melihat kakak berdiri di ujung
pembaringan.

“Akhirnya bangun juga kerbau satu ini! Dari tadi dipanggil-panggil, digoncang-goncang,
ditarik-tarik, susah bener bangunnya!”

Aku mengucek-ucek mata sesaat ….

“Sahur ya, kak?” tanyaku masih setengah sadar.

“Belum! Baru jam setengah tiga lebih.”


Seketika alisku berkerut tak senang.

“Kenapa udah dibangunin?!” gerutuku kesal sambil kembali mencium bantal.

“Eeeh … malah tidur lagi! Heii, dengerin! Tadi kakak lupa pesan mama, suruh angetin lauk
sebelum tidur. Sekarang lauknya basi semua.”

“Ya, salah kakak dong! Kenapa jadi aku dibangunin gasik gini?”

“Kamu disuruh Mama keluar, beli lauk buat sahur! Mau sahur apa gak? Apa mau sahur cuma
pake nasi?”

Dengan malas-malasan, sambil menggerutu, aku pun bangkit. Ganti baju, pake jeans, ambil
jaket … lalu ke kamar mandi.

“Heeiii …! Ngapain ke kamar mandi? Emang ada yang jualan lauk di kamar mandi?” tegur
Kakak.

“Cuci muka dulu, Kak!” jawabku singkat.

“Bukannya tadi, sebelum ganti baju dan pake jaket?! Udah lengkap gitu, baru ke kamar
mandi?”

“Namanya juga orang baru bangun. Mana bangunnya kaget lagi. Ya, belum sadar penuh
dong!” kataku berdalih, padahal lupa.

Kakak tertawa tergelak-gelak.

“Cepetan…! Keburu imshak ntar!” teriaknya lagi memekakkan telinga.

Aku cuma membalas dengan lambaian tangan.

***

Motor kujalankan perlahan sambil tengok kiri-kanan, mencari warung atau restauran yang
masih buka.

‘Jam segini … paling warung padang yang masih buka 24 jam,’ batinku berpikir. ‘Ya udah,
beli lauk masakan padang ajalah ….’

Kuputuskan menuju salah satu rumah makan Padang terdekat. Namun belum jauh motor
melaju, kulihat seorang kakek berjalan memanggul kotak dagangan. Karena tertarik, kudekati
dia. Di kaca kotak dagangannya tertera tulisan: ‘Sate Ayam dan Lontong’.

Aku pun berhenti, menjajarinya seraya menyapa, “Pak … jualan sate, ya?”

Kakek itu menatapku seraya tersenyum ramah ….

“Iya, Mas…”
“Masih gak, Pak?”

“Masih, Mas. Mau beli?”

“Iya, Pak.”

Kakek itu lalu menurunkan dagangannya. Ia duduk di sebuah bangku kecil dari kayu, lalu
dengan cekatan mempersiapkan olahan satenya.

“Berapa tusuk, Mas?”

“Masih banyak, Pak?” aku balik bertanya.

“Ada … 60 tusuk. Lontongnya masih delapan potong.”

“Ya udah, semua aja deh, Pak”

Kakek itu mengangguk. Ia pun mulai sibuk mengolah sate. Karena tidak ada bangku lain, aku
pun nongkrong di dekat kakek itu. Iseng-iseng, sambil nunggu sate matang, aku ajak kakek
itu mengobrol ….

“Udah lama jualannya, Pak?”

“Udah puluhan tahun, Mas”

“Ooh … udah lama, ya. Sampai sekarang masih jualan aja, Pak?! Gak cape? Maaf …, Bapak
kan udah lanjut usia gini.”

Kakek itu tersenyum.

“Tadinya saya memang jualan setiap hari … dari sore sampai malam, kadang sampai pagi.
Tapi sekarang udah enggak … udah gak kuat lama di luar, Mas,” balas Kakek itu.

“Trus, kenapa sekarang masih jualan juga, Pak? Sampai pagi gini lagi.”

“Sekarang saya jualannya cuma kalau bulan puasa, Mas. Sengaja jualan saat menjelang sore
dan menjelang subuh.”

Alisku berkerut, heran. “Kenapa, Pak?”

“Sambil mencari amal sebanyak-banyaknya, Mas. Siapa tahu ada orang yang sedang bingung
mencari lauk untuk berbuka atau untuk sahur. Seperti Mas ini, beli untuk sahur, kan?”

Aku terbengong ….

“Jadi Bapak yang udah merasa tua, udah gak sekuat dulu lagi, udah gak jualan seperti biasa,
tapi tetap sengaja berjualan malam … sengaja untuk berjaga-jaga kalau ada orang yang
kebingungan cari lauk buat buka atau sahur?”

Kakek itu tersenyum sambil mengangguk ….


“Saya ingin menambah amal dengan melayani orang yang berpuasa, Mas. Dan saya senang
bisa melakukannya. Kalau orang itu atau Mas tidak punya uang pun, saya ikhlas
memberinya,” ucap si Kakek. “Melayani satu orang yang berpuasa, sama pahalanya dengan
orang yang berpuasa itu. Saya ingin dapat melayani sebanyak-banyaknya. Cuma itu yang bisa
saya lakukan, untuk menambah bekal saya ke akhirat kelak.”

Subhanallah ….

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Barang siapa yang membantu persiapan orang berjihad maka dia juga telah berjihad.” (HR.
Al Bukhari No. 2843)

“Barangsiapa orang yang mau memberi makanan untuk orang yang berpuasa pada saat
berbuka, maka niscaya ia akan mendapatkan pahala yang semisal orang yang berpuasa
tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun.” (HR. At
Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits Hasan Shahih”)

Aku terdiam … terharu mendengar kata-kata dari kakek tua itu. Setua ini, mempunyai sikap
dan pengertian sedalam itu, pastilah ia seorang soleh yang cukup tahu banyak tentang agama.
Namun tetap merasa belum cukup bekal untuk dibawa menghadapNya. Apalagi aku yang
masih semuda ini, bila tiba-tiba dipanggil olehNya …?

Sebuah renungan dari seorang kakek tua penjual sate … memberi sebuah sahur yang
berkesan untukku.

Kesan yang ‘kan selalu menimbulkan tanya dalam sanubari …, sudah cukupkah amalku atas
dosa, saat kapanpun dipanggil pulang menghadapNya?

You might also like