You are on page 1of 3

Nama: Lucy Nafis

Kelas: XII MIPA 1

Sinopsis Buku Kado dari Kairo

Keinginan yang besar untuk bisa kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo dengan
beasiswa ini membuat Jauhar Ridloni Marzuq kewalahan bahkan hampir memutuskan untuk
melupakan keinginannya tersebut. Tetapi, dengan usaha mencari berbagai jalur beasiswa
akhirnya Jauhar berhasil mendapatkan beasiswa tersebut. Penjaringan beasiswa yang
diselenggarakan oleh Kedutaan Mesir di Jakarta harus Jauhar lalui dengan berbagai tes yang
dilakukan. Namun, masalah yang ia hadapi belum selesai meskipun ia sudah mendapat
beasiswa tersebut, ia harus mengurus segala keperluan dari mulai berangkat ke Kairo,
mengurus data mahasiswa sampai tempat untuk tinggal di Kairo pun harus ia urus sendiri.
Namun, segala masalah yang ia hadapi tersebut tak menyurutkan semangatnya untuk tetap
mengenyam pendidikan di universitas terkemuka tersebut, dengan usaha dan doa yang selalu
ia panjatkan, ia mampu mengatasi semua masalah.

Sejak pertama kali Jauhar manapakkan kaki di kota dengan sejuta kisah peradaban
umat Islam ini tak henti membuat ia selalu terkagum-kagum oleh kemegahan kota ini,
dimulai dari struktur bangunan, gaya hidup masyarakatnya hingga situs sejarah yang menjadi
bukti bahwa peradaban Islam sejak dahulu sudah menunjukkan ke-modern-annya. Selain itu,
cuaca yang begitu ekstrim hingga lalu lintas yang semrawut membuat kehidupan di Kairo
saat musim kemarau menjadi momen untuk melatih kesabaran.

Kota yang menjadi terobosan ulama-ulama besar di dunia ini, tak lain karena peran
para dosen di Universitas Al-Azhar yang memiliki sifat kesederhanaan yang tinggi, seperti
Profesor Sayyid Mursi merupakan salah seorang Guru Besar bidang Tafsir dan Ulum al-
Qur’an ini memiliki kesederhanaan yang patut dicontoh oleh guru-guru di Indonesia, dimulai
dari penampilannya sederhana yang hanya memakai jas usang dengan dalaman sweater
kusam dan celana kain bahan dan sepatu pantofel yang sudah tidak baru lagi serta
keikhlasannya dalam mengajar, hingga yang tampak hanyalah kerendahan hati, ini
menandakan bahwa dosen di Universitas Al-Azhar ini menerapkan ilmu padi yang semakin
berisi, semakin merunduk, begitu juga dengan Prof. Dr.Thaha Dasuqi Hibisyi adalah seorang
ulama dan juga spesialis Aqidah dan Filsafat yang memiliki semangat dan keikhlasan dalam
menyampaikan ilmu-ilmu Islam yang sangat tinggi, sehingga setiap kata yang ia utarakan
benar-benar membekas di hati Jauhar maupun mahasiswa lainnya.

Walaupun para dosen di Universitas Al-Azhar dalam menyampaikan ilmunya selalu


bersemangat, tak menutup kemungkinan bahwa banyak mahasiswa memilih untuk
membolos, ini dikarenakan adanya kebebasan mahasiswa di Universitas Al-Azhar apakah
ingin mengikuti mata kuliah atau tidak. Ini menyebabkan banyak mahasiswa terutama
mahasiswa dari Indonesia untuk membolos dan lebih mementingkan kegiatan organisasi
Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Namun, tidak dengan Jauhar yang tidak
ingin menyiakan kesempatan dalam hidupnya mengenyam pendidikan di Universitas Al-
Azhar ini, ia hanya akan mengikuti kegiatan organisasi pada masa libur.

Saat memasuki bulan Ramadhan di Mesir, tak jauh beda dengan kebudayaan
menyambut bulan suci ini dengan di Indonesia, Ramadhan di Mesir pun dipenuhi dengan
kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas keimanan seperti tadarus al-Qur’an, shalat
tarawih, pengajian, dan ceramah-ceramah keagamaan yang banyak didatangi masyarakat.
Yang membedakan budaya menyambut Ramadhan di Mesir dan di Indonesia adalah adanya
tradisi “Lentera Fanous” yaitu sebuah tradisi dimana warga-warga Kairo menghiasi rumah-
rumah dan jalanan dengan lentera-lentera Fanous yang cantik dan mewah.

Momen bulan Ramadhan ini dimanfaatkan oleh orang Mesir baik miskin maupun
kaya untuk selalu berbuat kebaikan, kebaikan yang mereka lakukan biasanya dalam bentuk
memberi mahasiswa maupun warga sekitar dengan menyediakan makanan untuk berbuka dan
saur, tradisi ini biasa disebut Maidatul Rahman, selain itu warga Mesir biasa berbagi dalam
bentuk uang tunai yang biasa diberikan kepada mahasiswa asing, bantuan ini biasa disebut
“musa’adah”.

Menempuh pendidikan di daerah yang jauh dari kampung halaman memberikan


banyak kesan, sedih maupun senang. Seperti ketika hari Raya Idul Fitri tiba, Jauhar merasa
haru karena bertemu lagi dengan Idul Fitri. Namun ia pun ada rasa rindu kepada keluarga di
Indonesia, sehingga rasa haru dan rindu tersebut menjadi bercampur aduk. Namun, rasa
rindu tersebut sedikit terobati karena saat Hari Raya Idul Fitri Dubes RI beserta para jajaran
pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo mengadakan halal bihalal dengan
mahasiswa Indonesia yang ada di Kairo.
Kairo sebagai kiblat keilmuan terutama dalam ilmu pengetahuan Islam menjadikan
kota ini sebagai rujukan dari berbagai negara, karena buku yang dijual di kota ini terbilang
sangat murah dan mudah untuk dijumpai. Di sepanjang jalan Kota Kairo sangat mudah untuk
menemukan buku-buku yang murah dengan kualitas yang bagus, dosen-dosen Universitas
Al-Azhar pun menerbitkan buku-buku yang dijadikan referensi para mahasiswa di Mesir
maupun seluruh dunia. Bahkan Pemerintah Mesir di bawah pengawasan Kementrian
Pendidikan, Kementrian Kebudayaan, Kementrian Penerangan, dan Kementrian Administrasi
Negara sendiri menerbitkan buku-buku dengan harga paling murah serta kualitas buku yang
bagus, ini karena pemerintah Mesir melalui kementrian-kementrian telah memberikan subsidi
untuk pembelian buku-buku tersebut. Bahkan tak jarang buku-buku yang diterbitkan oleh
pemerintah adalah buku-buku langka yang sudah tidak dicetak lagi oleh penerbit-penerbit
lain di Mesir, ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat Mesir untuk membuat
perpustakaan pribadi. Karena itu, penerbit ini diberi nama Muktabah Usrah yang berarti
“Perpustakaan Keluarga”.

Mesir sebagai negari seribu peradaban, gudang ilmu, dan negeri yang penuh
kontradiksi membuat setiap warga asing yang tinggal akan selalu merasa kagum karena
gedung-gedung tingginya, tetapi mereka pun akan selalu merasa heran dengan kehidupan
masyarakat dengan watak yang keras kepala. Di Mesir terdapat banyak sekali pengangguran
dan masyarakat yang miskin, tetapi di negeri ini pun banyak lembaga-lembaga bantuan sosial
didapatkan. Begitupun yang dirasakan Jauhar Ridloni Marzuq selama tinggal di Mesir ini, ia
dapat bertahan hidup selama empat tahun menempuh pendidikan di Mesir karena berkat
beasiswa yang didapatnya dari Universitas Al-Azhar.

You might also like