You are on page 1of 19

Pengantar Hukum Bisnis

“Hukum Kontrak/Hukum Perjanjian”

Oleh :
Desak Made Dwi Januari (1506305026)
Ketut Memi Wulandari (1506305032)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Udayana
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi
Wasa karena atas segala anugerahnya sehingga kami sebagai penulis dapat menyelesaikan
penyusunan dan penulisan makalah ini dalam bentuk dan juga isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembacanya.

Makalah ini berjudul “Hukum Kontrak/Hukum Perjanjian” dimana dalam makalah ini
terkandung beberapa materi yang juga bersumber dari buku dan media-media lainnya.
Makalah ini menjelaskan dan memaparkan secara ringkas apa saja materi pokok dan
pembahasan dari Hukum Kontrak/Hukum Perjanjian. Dalam pembuatan makalah ini, penulis
bermaksud untuk menyusun makalah tentang materi-materi mengenai Pasar Monopoli yang
penting dan signifikan sehingga pengetahuan atau ilmu yang didapat dari makalah ini
nantinya akan berguna pagi penulis maupun pembaca.

Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi dari
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Penulis mengakui bahwa masih banyak kekurangan karena pengalaman yang dimiliki
oleh penulis masih sangat kurang. Oleh kerena itu penulis berharap agar para pembaca dapat
memberikan masukan-masukan serta kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, September 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ..................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
2.1 Pengertian Kontrak dan Perjanjian ......................................................................................... 2
2.2 Syarat Sahnya Suatu Kontrak ................................................................................................. 3
2.3 Batal dan Pembatalan Suatu Kontrak...................................................................................... 9
2.4 Anatomi Kontrak .................................................................................................................. 11
BAB III PENUTUP .............................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan. Bahkan sebagian ahli
hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri
ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu
peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu kontrak
yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak
konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan itu hanya merupakan akibat
dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk
memenuhi apa yang dijanjikan.
Dalam dunia bisnis tidak lepas dari kontrak dan perjanjian, sehingga pemahaman
tentang kontrak dan perjanjian dirasa penting bagi para pelaku bisnis. Hal ini menjadi
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pebisnis tentang kontrak dan perjanjian serta
mampu menghindari penipuan dalam kontrak dan perjanjian.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Apa pengertian kontrak dan perjanjian ?
1.2.2. Apa syarat sahnya suatu kontrak ?
1.2.3. Apa yang menyebabkan batal dan pembatalan suatu kontrak ?
1.2.4. Apa anatomi kontrak itu ?

1.3 Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian kontrak dan perjanjian.
1.3.2. Untuk mengetahui syarat sahnya suatu kontrak.
1.3.3. Untuk mengetahui penyebab batal dan pembatalan suatu kontrak.
1.3.4. Untuk mengetahui anatomi kontrak.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kontrak dan Perjanjian


2.1.1. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian dalam KUH Perdata merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
yaitu “overeenkomst”. Istilah overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang
berarti sepakat atau setuju, namun dalam berbagai kepustakaan terdapat berbagai istilah
yang dipandang oleh banyak pihak dapat menimbulkan kebingungan atau malah dianggap
sama. Dalam menerjemahkan istilah overeenkomst para ahli hukum menerjemahkannya
sebagai suatu perjanjian walaupun terdapat juga beberapa ahli hukum yang menerjemahkan
istilah oveerenkomst sebagai persetujuan.
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal istilah perjanjian dari pada persetujuan
karena perjanjian merupakan jenis perikatan yang sering terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam setiap perjanjian terdapat asas kebebasan berkontrak dimana setiap
orang bebas mengadakan atau membuat isi suatu perjanjian baik yang sudah diatur dalam
peraturan perundang-undangan maupun yang belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Pengertian perjanjian disebutkan dalam buku ke III Bab II KUH Perdata, yaitu di
dalam Pasal 1313. Menurut KUH Perdata, perjanjian adalah kontrak. Pasal 1313 KUH
Perdata menyebutkan bahwa, “Yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Perjanjian adalah satu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal.
2.1.2 Pengertian Kontrak
Kemudian, definisi kontrak (contract) menurut “Black’s Law Dictionary”, diartikan
sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.
Selain itu, Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak
Bisnis” (hal. 30-32) menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian
perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai
konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan
dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Secara gramatikal, istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, contract. Baik

2
perjanjian maupun kontrak mengandung pengertian yang sama, yaitu suatu perbuatan
hukum untuk saling mengikatkan para pihak kedalam suatu hubungan hukum perikatan.
Istilah kontrak lebih sering digunakan dalam praktek bisnis. Karena jarang sekali orang
menjalankan bisnis mereka secara asal-asalan, maka kontrak-kontrak bisnis biasanya dibuat
secara tertulis, sehingga kontrak dapat juga disebut sebagai perjanjian yang dibuat secara
tertulis

2.2 Syarat Sahnya Suatu Kontrak


Pasal 1320 KUH Perdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
1. Adanya Kata Sepakat
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala
hal yang terdapat di dalam perjanjian. Pada dasarnya kata sepakat adalah
pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian.
Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia
memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai
persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara
pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte).
Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi
merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. Di
samping itu, kata sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara, yaitu:
a. Secara lisan
b. Tertulis
c. Dengan tanda
d. Dengan symbol
e. Dengan diam-diam
Berkaitan dengan kesepakatan dan lahirnya perjanjian, Mariam Darus
Badrulzaman mengemukakan beberapa teori mengenai lahirnya perjanjian
tersebut, yaitu:
a. Teori Kehendak (wilstheorie)
Menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima
dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
3
b. Teori Pengiriman (verzentheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan
itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi ketika pihak yang menawarkan sudah
mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima; dan
d. Teori Kepercayaan (vertrowenstheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak
dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat
dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini:
a. Paksaan (dwang)
Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi
kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal
ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan
tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan
membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada
akhirnya pihak lain memberikan hak, kewenangan ataupun hak istimewanya.
Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara
atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah,
atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang
dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar
undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental,
membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.

Menurut Sudargo, paksaan (duress) adalah setiap tindakan intimidasi


mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat dibuat
penuntutan terhadapnya. Akan tetapi jika ancaman kejahatan fisik tersebut
merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini
ancaman tersebut tidak diberi sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada
paksaan sama sekali. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan
atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai
kelainan mental.

4
b. Penipuan (Bedrog)
Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328
KUH Perdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan
pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang
memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya
itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan
dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan,
merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang keliru
sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Jadi, elemen
penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada
serangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkaian cerita
yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.
Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat
yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian
tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan membuat mereka
menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri bukan
merupakan penipuan, tetapi hal ini harus disertai dengan tindakan yang
menipu. Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama
pihak dalam kontrak, seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah
mempunyai maksud atau niat untuk menipu, dan tindakan itu harus merupakan
tindakan yang mempunyai maksud jahat. Contohnya, merubah nomor seri
pada sebuah mesin (kelalaian untuk menginformasikan pelanggan atas adanya
cacat tersembunyi pada suatu benda bukan merupakan penipuan karena hal ini
tidak mempunyai maksud jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka). Selain
itu tindakan tersebut haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu
tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari
4 (empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali
untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu
benda; (2) sebelum perjanjian tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud
agar pihak lain menandatangani perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan
semata-mata hanya dengan maksud jahat.
Kontrak yang mempunyai unsur penipuan di dalamnya tidak membuat
kontrak tersebut batal demi hukum (null and void) melainkan kontrak tersebut
5
hanya dapat dibatalkan (voidable). Hal ini berarti selama pihak yang dirugikan
tidak menuntut ke pengadilan yang berwenang maka kontrak tersebut masih
tetap sah.

c. Kesesatan atau Kekeliruan (Dwaling),


Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi
yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2
(dua) macam kekeliruan, yang pertama yaitu kekeliruan pada orangnya,
contohnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis yang terkenal tetapi
kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya
karena dia mempunyai nama yang sama. Yang kedua adalah error in
substantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan karakteristik suatu benda,
contohnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian
setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang dibelinya
tadi adalah lukisan tiruan dari lukisan Basuki Abdullah.
Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang
lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas dasar
kekeliruan dalam hal mengidentifikasi subjek atau orangnya.

d. Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheiden)


Penyalahgunaan Keadaan (undue influence) merupakan suatu konsep
yang berasal dari nilai-nilai yang terdapat di pengadilan. Konsep ini sebagai
landasan untuk mengatur transaksi yang berat sebelah yang telah ditentukan
sebelumnya oleh pihak yang dominan kepada pihak yang lemah.
Penyalahgunaan keadaan ada ketika pihak yang melakukan suatu perbuatan
atau membuat perjanjian dengan cara di bawah paksaan atau pengaruh terror
yang ekstrim atau ancaman, atau paksaan penahanan jangka pendek. Ada
pihak yang menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan adalah setiap
pemaksaan yang tidak patut atau salah, akal bulus, atau bujukan dalam
keadaan yang mendesak, di mana kehendak seseorang tersebut memiliki
kewenangan yang berlebihan, dan pihak lain dipengaruhi untuk melakukan
perbuatan yang tak ingin dilakukan, atau akan berbuat sesuatu jika setelahnya
dia akan merasa bebas.

6
Secara umum ada dua macam penyalahgunaan keadaan yaitu: Pertama,
di mana seseorang menggunakan posisi psikologis dominannya yang
digunakan secara tidak adil untuk menekan pihak yang lemah supaya mereka
menyetujui sebuah perjanjian di mana sebenarnya mereka tidak ingin
menyetujuinya. Kedua, di mana seseorang menggunakan wewenang
kedudukan dan kepercayaannya yang digunakan secara tidak adil untuk
membujuk pihak lain untuk melakukan suatu transaksi.
Menurut doktrin dan yurisprudensi, ternyata perjanjian-perjanjian yang
mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja, pihak
yang merasakan telah memberikan pernyataan yang mengandung cacat
tersebut dapat memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan dengan ini,
1321 KUH Perdata menyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat
kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu
terdapat cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu
dapat dibatalkan.
Persyaratan adanya kata sepakat dalam perjanjian tersebut di dalam
sistem hukum Common Law dikenal dengan istilah agreement atau assent.
Section 23 American Restatement (second) menyatakan bahwa hal yang
penting dalam suatu transaksi adalah bahwa masing-masing pihak
menyatakan persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lawannya.

2. Kecakapan untuk Membuat perikatan


Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian, yakni:
a. Orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan
c. Perempuan yang sudah menikah
Buku III KUH Perdata tidak menentukan tolok ukur kedewasaan tersebut.
Ketentuan tentang batasan ditemukan dalam Buku I KUH Perdata tentang Orang.
Berdasarkan Buku I Pasal 330 KUH Perdata, seseorang dianggap dewasa jika dia
telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian
dalam perkembangannya, berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No
7
1/1974 dinyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di
bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun. Undang-
Undang Jabatan Notaris juga menentukan batas kedewasaan tersebut adalah 18
tahun.
Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau istri)
berhak melakukan perbuatan hukum.

3. Suatu Hal Tertentu


Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een
bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya
(determinable). Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian
haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang
diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya
(determinable).
Istilah barang yang dimaksud di sini yang dalam bahasa Belanda disebut
sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti
sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh
karena itu, objek perjanjian itu tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa
jasa.
Secara umum, suatu hal tertentu dalam kontrak dapat berupa hak, jasa,
benda atau sesuatu, baik yang sudah ada ataupun belum ada, asalkan dapat
ditentukan jenisnya (determinable). Perjanjian untuk menjual sebuah lukisan yang
belum dilukis adalah sah. Suatu kontrak dapat menjadi batal ketika batas waktu
suatu kontrak telah habis dan kontrak tersebut belum terpenuhi.
KUH Perdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus
disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Sebagai contohnya
perjanjian untuk ‘panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun berikutnya’
adalah sah.

8
4. Suatu Sebab yang Halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya suatu sebab yang
halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan
atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya,
perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal,
maka kontrak ini tidak sah.
Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal
tertentu, dan sebab yang halal.

2.3 Batal dan Pembatalan Suatu Kontrak

Kontrak Penghentian Pemutusan Kontrak


Dibatalkan/ Batal Kontrak
Demi Hukum
Penyebab Tidak terpenuhinya 1. Kontrak selesai Penyedia tidak dapat
syarat sah nya 2. Kahar menyediakan
Kontrak, sehingga: 3. Pengguna tidak barang/jasa yang
1. Kontrak dapat melakukan diatur dalam Kontrak
dibatalkan; atau pembayaran
2. Kontrak batal
demi hukum.
Akibat bagi Dalam hal kontrak 1. Penyedia berhak 1. Penyedia
Penyedia dibatalkan atau batal mendapatkan dinyatakan
demi hukum, maka: pembayaran atas wanprestasi
1. Penyedia harus pekerjaan yang telah 2. Penyedia harus
mengembalikan dilakukan mengusahakan
kondisi seperti 2. Penyedia berhak dengan cara apapun
semula saat belum menghentikan sampai diperolehnya
dilaksanakannya pekerjaan barang/jasa yang
Kontrak. 3. Penyedia berhak diatur dalam Kontrak
2. Penyedia tidak mendapatkan ganti
boleh memperoleh rugi finansial
keuntungan finansial

9
dari Kontrak

Akibat bagi Dalam hal kontrak 1. Pembeli harus Pembeli tidak perlu
Pengguna dibatalkan atau batal melakukan melakukan
demi hukum pembayaran atas pembayaran jika
1. Jika barang/jasa barang/jasa yang barang/jasa yang
akan dimanfaatkan diterimanya diatur dalam Kontrak
oleh Pengguna, 2. Pembeli harus tidak diterima 100%,.
maka memberikan ganti
Penggunahanya rugi finansial atas
boleh membayar keterlambatan
sebatas biaya yang pembayaran
dikeluarkan oleh
Penyedia tanpa perlu
memberikan
keuntungan.
2. Jika barang/jasa
tdk dimanfaatkan
oleh Pengguna,
maka barang/jasa
dikembalikan

10
2.4 Anatomi Kontrak
Dalam menyusun sebuah kontrak atau perjanjian, adalah menjadi keharusan bagi para
pihak untuk menyedari sepenuhnya dan mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya
mereka kehendaki dan syarat-syarat apa yang disepakati untuk dituangkan dalam kontrak
atau perjanjian. Kelihatannya sederhana dan memang seharusnya begitu apabila orang mau
membuat kontrak. Namun demikian, kadang kita melupakan hal-hal yang dalam pandangan
kita nampak tidak penting, tapi ternyata kemudian menimbulkan masalah yang cukup
membuat rumit.
Untuk menyusun sebuah kontrak, kita harus tahu “konstruksi” kontrak tersebut. Berikut
ini adalah susunan kontrak secara umum:

I. JUDUL
II. PENDAHULUAN Pembuka
Komparisi (Identitas pihak-pihak)
Penjelasan/latar belakang kontrak (premis)
III. ISI Definisi /Pengertian (Apabila diperlukan)
Transaksi
Ketentuan yg sifatnya spesifik
Ketentuan yg sifatnya umum
IV. PENUTUP
V. LAMPIRAN (Apabila ada)

Penjelasan untuk masing – masing hal tersebut di atas, adalah sebagaimana diuraikan
berikut di bawah ini.

1. Judul
Suatu judul perjanjian harus mencerminkan apa yang menjadi obyek
perjanjian. Judul perjanjian haruslah disusun dalam kalimat yang lugas, jelas dan
singkat.
2. Pendahuluan
Pendahuluan terbagi atas kalimat pembuka, identitas dan penjelasan, sebagai
berikut :.

11
a. Pembuka berisi pembukaan perjanjian, yang biasanya berbunyi, seperti
sebagai berikut: “Pada hari ini…tanggal.., yang bertandatangan di
bawah ini :..”.
b. Komparisi / Identitas Para Pihak merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhatikan, namun sering kurang mendapatkan porsi sebagaimana yang
seharusnya. Pada bagian ini dituliskan identitas para pihak. Apabila
perorangan, maka yang wajib ditulis disini minimal adalah : nama,
pekerjaan, alamat yang bersangkutan. Apabila sebuah badan hukum,
misalnya Perseroan Tebatas (PT), maka yang berhak tanda tangan disini,
adalah adalah yang berhak mewakili, bertindak untuk dan atas nama PT
yang besangkutan. Apabila yang hendak menandatangani kontrak adalah
direkturnya, maka harus dicantumkan dasar kewenangan direktur,
sebagaimana terdapat dalam akta pendirian/anggaan dasar PT yang
bersangkuan, dalam hal ini perlu dituliskan nomor dan tanggal akta
pendirian/anggaran dasar PT tersebut. Apabila yang akan menandatangani
kontrak adalah salah seorang manajer atau pejabat di PT tersebut, maka
harus ada kuasa. Mengapa ini penting? Ini penting sebagai antisipasi
apabila terjadi hal hal-hal yang tidak kita inginkan di kemudian hari dan
kita mengetahui dengan siapa kita bertransaksi, apakah perorangan atau
badan hukum.
c. Premis (Penjelasan/Latar Belakang Kontrak) dijelaskan mengenai latar
belakang atau alasan mengapa kontrak tersebut dibuat. Biasanya dituliskan
sebagai berikut: “Para Pihak menerangkan terlebih dahulu, hal-hal
sebagai berikut :” a. Bahwa… dst“. Bagian ini juga merupakan bagian
penting dari sebuah kontrak. Bagian ini memberikan informasi hal-hal
yang melatarbelakangi dibuatnya suatu kontrak. Dibagian ini silahkan
tulisakan secara garis besar kronolgis yang melatarbelakngi perjanjian.
3. Isi
Selanjutnya, marilah kita masuk pada bagian isi, yang dapat dibagi menjadi
definisi/pengertian, transaksi, spesifik dan umum, sebagai berikut di bawah ini.
a. Definisi/Pengertian. Pasal ini mengatur tentang berbagai definisi, istilah,
interprestasi dalam kontrak. Memang klausula ini tidak harus ada pada setiap
kontrak, tergantung keperluannya. Klausula ini diperlukan apabila dalam
materi pasal-pasal dalam kontrak terdapat berbagai terminologi yang harus
12
dijelaskan, agar tidak mengulang-ulang penulisan pengertian dan istilah
tersebut pada pasal-pasal berikutnya.
b. Transaksi. Pasal ini mengatur tentang transaksi atau obyek dari kontrak atau
perjanjian tersebut. Bagian ini harus kita cermati benar, karena mengenai
pokok atau obyek yang diperjanjikan, apakah itu perjanjian jual – beli barang
atau jasa, juga kerjasama lainnya. Sebagai contoh adalah, sebagai
berikut: “PIHAK KEDUA bersedia untuk membeli dari PIHAK PERTAMA,
PIHAK PERTAMA bersedia untuk menjual kepada pihak KEDUA, barang
berupa….dst..“
c. Ketetuan yang Spesifik. Pasal ini mengatur hal-hal yang secara khusus hanya
dikenal pada transaksi yang bersangkutan. Contoh klausula spesifik, misalnya
dalam transaksi jual beli barang yang kondisinya sedemikian rupa sehingga
memerlukan penanganan khusus dalam pengirimannya, maka proses
pengirimannya perlu diatur dalam perjanjian tersebut, seperti: “Penjual wajib
menyerahkan barang obyek jual beli sebagaimaa dimaksud pada pasal 1
Perjanjian ini dalam keadaan terbungkus rapat dengan bahan aluminium foil
dan …..“
d. Ketentuan yang Sifatnya Umum. Pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang
sifatnya antisipatif dan pada umumnya klausula ini terdapat pada hampir
semua kontrak. Yang termasuk dalam klausula umum, misalnya antara lain,
pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa, penyampingan Pasal
1266 dan 1267 KUHPerd, Pemutusan Perjanjian (Termination), force
majeure/sebab kahar, perubahan-perubahan/amandemen, kerahasiaan,
larangan pengalihan pekerjaan, pekerjaan tambah kurang dan lain-lain.

Dari beberapa klausula umum tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang
perlu dijelaskan sedikit disini,, antara lain adalah pasal yang mengatur
mengenai penyelesaian sengketa, penyampingan Pasal 1266 / 1267 dan
pemutusan perjanjian (termination).

Pada pasal “penyelesaian sengketa“, biasanya diatur mengenai opsi untuk


menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat dan penyelesaian melalui
forum peradilan. Penyelesaian melalui forum peradilan sesuai keinginan para

13
pihak (Choice Of Forum) dapat meliputi, pengadilan (dalam/luar negeri),
arbitrase (dalam Luar negeri), mediasi, dan lain-lain.

Kemudian ketentuan mengenai penyampingan Pasal 1266 dan 1267, yang


diatur dengan tujuan agar dalam hal terjadi pemutusan perjanjian sebelum
berakhirnya masa berlaku kontrak, tidak harus melalui lembaga pengadilan,
cukup kesepakatan para pihak atau secara sepihak (hal ini masih mnjadi
perdebatan dikalangan ahli hukum, apakah ketentuan Pasal tersebut dapat
dikesampingkan atau tidak).

e. Pemutusan Perjanjian (sebelum berakhirnya masa perjanjian). Ketentuan ini


diperlukan dalam hal salah satu pihak memandang perlu memutus perjanjian
sebelum berakhirnya masa kontrak karena dinilai pihak lainnya tersebut sudah
tidak ada itikad baik atau tidak mampu untuk menyelesaikan pekerjaan yang
diperjanjikan. Dalam pasal ini perlu ditegaskan hal-hal yang mennyebabkan
pemutusan perjanjian, baik atas kesepakatan para pihak mapun pemutusan
secara sepihak.
4. Penutup
Pada bagian ini terdapat kalimat penutup, yang diikuti dengan penempatan
kolom tanda tangan. Bagian ini, termasuk bagian lampiran, sudah jelas, sehingga
tidak perlu dibahas disini.
5. Materai
Hal lain yang juga kerap menjadi pertanyaan adalah materai. Apakah suatu
Kontrak atau Perjanjian harus dibubuhi materai? Apalah seandainya tidak
dibubuhi materai, kontrak menjadi tidak sah? Secara singkat dapat dikatakan
bahwa materai tidak menentukan sah tidaknya suatu perjanjian, namun materai
merupakan kewajban para pembuat kontrak atau perjanjian kepada negara
(semacam pajak).

14
BAB III
PENUTUP

Perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih yang mengikat dirinya dengan
orang lain dengan tujuan tertentu atau untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian ini juga
memiliki syarat sah yakni, adanya kesepakatan, kecakapan, hal-hal tertentu, dan sebab yang
halal. Dalam kontrak/perjanjian juga terdapat batal/pembatalan suatu kontrak yang biasanya
disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu kontrak. Selain itu, anatomi kontrak
juga sangat berperan penting dalam kontrak/perjanjian itu sendiri, hal ini melibatkan judul,
pembukaan, komparisi, premis, isi perjanjian, & penutup.
Jadi, dapat disimpulkan tidak akan ada perikatan yang mengikat seseorang jika tidak
ada kesepakatan yang disepakati oleh masing-masing pihak. Sehingga perikatan merupakan
konsekuensi logis dari pada perjanjian dan secara garis besar hukum perjanjian akan sah di
depan hukum jika memenuhi syarat sah perjanjian.

15
DAFTAR PUSTAKA

H.Salim d.k.k, 2007, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding


(MoU), Jakarta: Sinar Grafika
Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
J. Satrio, 1955, Hukum Perikatan “Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian”, Buku I,
Bandung: Citra Aditya Bakti
Ahmadi Miru, 2011, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta: Kharisma Putra Utama
Offset
Hasanuddin Rahman, 2003, Contract Drafting, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm.
http://www.negarahukum.com/hukum/perjanjian-perikatan-kontrak.html diakses tanggal 19
September 2017 pukul 20.05

16

You might also like