You are on page 1of 50

BAB I

PENDAHULUAN

Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon.


Berdasarkan penyebab, kolitis dapat dibagi menjadi kolitis infeksi dan non-
infeksi. Kolitis infeksi disebabkan oleh berbagai macam kuman. Oleh karena
itulah kolitis infeksi terbagi menjadi kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa,
kolitis pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain. Kolitis non-
infeksi terdiri dari kolitis ulseratif, penyakit Crohn, kolitis radiasi, kolitis iskemik,
kolitis mikroskopik, maupun kolitis nonspesifik1.
Jenis kolitis yang paling sering ditemukan pada daerah tropis seperti
Indonesia adalah kolitis infeksi. Adapun prevalensi kolitis amebik di daerah tropis
adalah 50-80%. Namun prevalensi shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis
pseudomembran dan kolitis karena Eschericia coli di daerah tropis khususnya
Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi karena studi tentang
epidemiologi kolitis di Indonesia masih jarang dilakukan. Begitu juga dengan
prevalensi kolitis noninfeksi di Indonesia1.
Diagnosis kolitis ditegakkan melalui anamnesis yang cermat, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun, Gejala klinis kolitis infeksi dapat mirip
dengan penyakit Crohn ataupun kolitis ulseratif. Oleh karena itu diperlukan
pemeriksaan penunjang berupa endoskopi yaitu kolonoskopi, rektosigmoidoskopi
atau sigmoidoskopi untuk menegakkan diagnosis1,2.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Colon


Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Kaliber
kolon berubah secara perlahan, mulai dari sekum (±8,5 cm) sampai sigmoid (±2,5
cm). Panjang kolon sangat bervariasi untuk tiap individu, berkisar antara 91-
125cm, bahkan lebih3.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Normal sekum
menunjukkan kontur yang rata dan licin. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Katup ileosekal mengendalikan aliran
kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan
fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi menjadi kolon asenden,
transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam
pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatica
dan fleksura linealis. Kolon desenden dimulai dari fleksura linealis ke arah bawah
sampai persambungannya dengan sigmoid. Batas yang tegas antara kolon
desenden dengan sigmoid sukar ditentukan, namun krista iliaka mungkin dapat
dianggap sebagai batas peralihannya3.
Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk
S. Bentuknya yang demikian itu seringkali menyukarkan penilaian radiografik
proyeksi antero posterior. Proyeksi oblik danlateral merupakan cara terbaik untuk
mengatasinya. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid
bersatu dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan anatomis mengapa
memosisikan penderita ke sisi kiri saat pemberian enema. Pada posisi ini, gaya
gravitasi membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian
utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari
kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari

2
rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus
dan internus. Panjang rektum kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci)3.

Gambar 1. Anatomi Usus Besar (3)


Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam
tiga pita yang disebut sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal,
sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang
taenia lebih pendek dari usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk
kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises apiploika adalah
kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di sepanjang
taenia3.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan
pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior mendarahi belahan
kanan (sekum, kolon asendens, dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan
arteria mesenterika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum).
Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan
inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka inerna dan aorta abdominalis3.
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena
mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis superior

3
(bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media
dan inferio mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi
sistemik3.
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian
sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut parasimpatis
berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf
pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis
meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini
bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut
pascaganglion menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan
kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan3.
Mukosa usus besar, seperti pada usus halus, mempunyai banyak kripta
Lieberkuhn; tetapi, berbeda dengan usus halus, mukosa usus besar tidak memiliki
vili. Sel-sel epitelnya hampir tidak mengandung enzim. Sebaliknya, sel ini
terutama mengandung sel-sel mukus yang hanya menyekresi mukus. Sekresi yang
dominan pada usus besar adalah mukus. Mukus ini mengandung ion bikarbonat
dalam jumlah sedang yang disekresi oleh beberapa sel epitel yang tidak
menyekresi mukus. Kecepatan sekresi mukus terutama diatur oleh rangsangan
taktil, langsung dari sel-sel epitel yang melapisi usus besar dan oleh refleks saraf
setempat terhadap sel-sel mukus pada kripta Lieberkuhn4.

Gambar 2. Histologi Usus Besar (4)

4
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Sebagian besar absorbsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan
proksimal kolon,sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorbsi, sedangkan
kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses
sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon
penyimpanan4.
Mukosa usus besar seperti juga mukosa usus halus, mempunyai kemampuan
absorpsi aktif natrium yang tinggi, dan gradient potensial listrik yang diciptakan
oleh absorpsi natrium juga menyebabkan absorpsi klorida. Taut erat diantara sel-
sel epitel dari epitel usus besar jauh lebih erat daripada taut erat di usus halus.
Absorbsi ion natrium dan klorida menciptakan gradien osmotik di sepanjang
mukosa usus besar, yang kemudian akan menyebabkan absorpsi air. Usus besar
dapat mengabsorpsi maksimal 5 sampai 8 liter cairan dan elektrolit setiap hari.
Bila jumlah total cairan yang masuk usus besar melalui katup ileosekal atau
melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini, kelebihan cairan akan muncul
dalam feses sebagai diare4.

B. Definisi
Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon.1 Kolitis
berhubungan dengan enteritis (peradangan pada intestinal) dan proktitis (peradangan
pada rektum).2

C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab, kolitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1
1) Kolitis infeksi
a. Kolitis amebik
b. Shigelosis
c. Kolitis tuberkulosa
d. Kolitis pseudomembran
e. Kolitis karena virus/bakteri/parasit lain seperti Eschericia coli

5
2) Kolitis non-infeksi
a. Inflamatory bowel disease (IBD)
- Kolitis ulseratif
- Penyakit Crohn’s
- Indeterminate colitis
b. Kolitis radiasi
c. Kolitis iskemik
d. Kolitis mikroskopik
e. Kolitis non-spesifik (simple kolitis)

KOLITIS INFEKSI
Kolon merupakan org target infeksi tersering pada sistem gastrointestinal.
Gejala kolitis infeksi bervariasi, dari asimptomatik, ringan, diare yang sembuh
sendiri, sampai kolitis toksik fulminan. Diagnosis dan terapi yang dini sangat
penting dalam mencegah perburukan penyakit1.
Banyak organisme yang berkaitan seagai penyebab kolitis infeksi ini, yaitu
mulai bakteri, parasit, jamur dan virus. Pembahasan ini difokuskan pada kolitis
infeksi yang sering ditemukan di Indonesia sebagai daerh tropik, yaitu kolitis
amoeba, shigellosis dan kolitis tuberkulosis. Di samping itu dibahas pula kolitis
pseudoembran yang timbulnya terkait dengan pemakaian antibiotik, dan infeksi
E.coli patogen yang dilaporkan sebagai salah satu penyebab utama diare kronik di
berbagai kota besar di Indonesia.
1) Kolitis Amoeba (Amoebiasis)
a. Definisi
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica. Secara
epidemiologi, prevalensi amebiasis kolon sangat bervariasi, namun diperkirakan sekitar
10% populasi dunia terinfeksi. Prevalensi tertinggi adalah di daerah tropis, yaitu
sekitar 50-80%1.
a. Patofisiologi
E.histolytica ditularkan melalui konsumsi bentuk kistik (tahap infektif) dari
protozoa. Hidup di lingkungan selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan,

6
kista dapat ditemukan di tanah yang terkontaminasi tinja, pupuk, atau air atau
pada tangan yang terkontaminasi dari penangan makanan. Penularan fecal-oral
juga dapat terjadi dalam pengaturan praktik seksual anal atau inokulasi rektal
langsung melalui perangkat irigasi kolon7.
Pasien dengan amebiasis kolon yang asimtomatik tanpa invasi jaringan, hanya
mengeluarkan kista pada tinjanya. Namun pasien yang mengalami infeksi akut atau
kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit. Bentuk kista dapat bertahan
lama di luar tubuh manusia, sedangkan bentuk trofozoit tidak dapat bertahan lama1.
Berdasarkan pola isoenzimnya maka kuman E. hystolytica terbagi menjadi dua, yaitu
zymodeme patogenik dan zymodeme nonpatogenik. Walaupun mekanismenya belum
jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan
enzim proteolitik. Penglepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang
menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses berlanjut maka akan timbul ulkus seperti
botol labu. Ulkus dapat terjadi pada semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian
kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis. Akibat
invasi ameba ke dinding usus ini kemudian menimbulkan reaksi imunitas humoral dan
imunitas seluler amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta limfosit
sitotoksik CD4. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat
menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma yang
sering terjadi di daerah sekum atau kolon asenden1.

Gambar 3. Kolitis Amebik (1)

7
b. Gejala Klinis
Gejala klinis amebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai berat,
dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Kira-kira 90% infeksi amebiasis
adalah asimtomatik. Secara klinis, gejala amebiasis dikelompokkan menjadi 5 gejala,
yaitu1:
- Karier, disebut juga cyst passer, yaitu ameba tidak mengadakan invasi ke dinding
usus, tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulen, obstipasi
dan kadang-kadang diare. Sekitar 90% pasien sembuh sendiri dalam waktu 1 tahun,
sisanya sekitar 10% berkembang menjadi kolitis amoeba.
- Disentri amoeba ringan berupa kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare
ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir. Keadaan umum
pasien biasanya baik.
- Disentri amoeba sedang, gejala-gejala yang muncul mulai dari kram perut, demam,
lemah, hepatomegali dengan nyeri spontan.
- Disentri amebik berat, terdapat gejala diare disertai banyak darah, demam tinggi,
mual, dan anemia.
- Disentri amoeba kronik mempunyai gejala seperti gejala pada disentri amebik ringan
dengan diselingi periode normal bebas gejala. Keadaan ini berlangsung berbulan-
bulan sampai bertahun-tahun. Serangan timbul pada keadaan-keadaan kelelahan,
demam, ataupun makanan yang sulit dicerna.

c. Diagnosis
Berikut algoritme dalam mendiagnosis kolitis amebik:

Gambar 4. Algoritma diagnosis Kolitis Amoeba(1)

8
Gambar 5. Pewarnaan Trichrom Tropozoit E.Histolytika(7)

Gambar 6. Kolonoskopi Kolitis Amebik (1)

d. Komplikasi
Komplikasi kolitis amebik dapat berupa kelainan intestinal maupun
ekstraintestinal. Kelainan intestinal yang muncul sebagai komplikasi adalah perdarahan
kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur. Sedangkan kelainan
ekstraintestinal yang terjadi adalah abses hati, amebiasis kulit, amebiasis pleuro-
pulmonal, abses otak, limpa atau organ lain.1
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolitis amebik ini didasarkan pada berat-ringanya penyakit. Pada
penderita asimptomatik ataupun karier diberikan obat yang bekerja di lumen usus
(luminal agents) antara lain: Iodoquinol (diiodohydroxyquin) 650 mg tiga kali per hari
selama 20 hari. Untuk amebiasis kolon derajat ringan dan sedang diberikan tetrasiklin
500 mg empat kali sehari selama 5 hari. Pada amebiasis kolon berat diberikan 3 macam

9
obat, yaitu metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, ditambah tetrasiklin
500 mg empat kali sehari selama 5 hari dan emetin 1 mg/kgBB/ hari secara injeksi
intramuskular (dosis maksimal 60 mg) selama 10 hari. Sedangkan pada amebiasis
ekstraintestinal, diperlukan Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditam-
bah dengan klorokuin fosfat 1 gram sehari selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis 500
mg/hari selama 4 minggu dan Emetin 1 mg/kgBB/hari secara intramuskular selama 10
hari (maksimal 60 mg per hari)1.

2) Shigellosis
a. Definisi
Merupakan infeksi akut pada ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh
bakteri genus Shigella. Secara umum, infeksi Shigella mudah terjadi pada populasi
tertentu termasuk anak-anak di tempat penitipan anak, orang yang dipenjara,
pelancong internasional, pria homoseksual, orang yang terinfeksi dengan human
immunodeficiency virus (HIV), dan mereka yang hidup di tempat pemukiman
padat dengan sanitasi yang buruk, kekurangan air bersih dan tingkat kebersihan
perorangan yang rendah. Pada daerah tropis, angka kejadian disentri biasanya
meningkat pada musim kemarau dengan S. flexneri merupakan penyebab infeksi
terbanyak1,8.
Kuman Shigella sp. termasuk kelompok enterobactericeae yang bersifat gram
negatif, anaerob fakultatif, tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam media
glukosa dan umumnya laktosa negatif. Terdapat 4 spesies Shigella dengan berbagai
serotipenya, yaitu S. dysentriae, S. boydii, S. flexneri, dan S. sonnei. Gejala klinis
terberat terjadi pada infeksi oleh S. dysentriae dan gejala klinis teringan adalah S.
Sonnei1.

b. Patofisiologi
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri yaitu suatu keadaan yang
ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair), disertai
eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclear (PMN) dan darah1.

10
Kolon adalah tempat utama yang diserang oleh Shigella, namun ileum terminalis
dapat juga terserang. Mekanisme patogenesis yang mendasari adalah pada
kemampuan bakteri untuk melakukan penetrasi pada mukosa intestin. Kuman ini
menginvasi sel-sel epitel kolon dengan cara makropinositotik langsung. Kuman
Shigella kemudian bermultiplikasi dalam sel epitel tanpa merusaknya, kemudian kuman
masuk ke dalam lamina propria1.
Perluasan invasi kuman ke sel di sekitarnya melalui mekanisme cell-to-cell transfer.
Walaupun lesi awal terjadi pada epitel, respons inflamasi yang menyertai cukup berat,
melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema,
mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan, dan ulserasi mukosa.
Bila penyakitnya berlanjut, terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propria,
dengan abses pada kripta merupakan gambaran yang utama1.

c. Gejala klinis
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya, gejala klinis
shigellosis bervariasi antara 7 hari pada orang dewasa, namun apat berlangsung sampai
4 minggu. Disentri basiller yang tidak diobati dengan baik gejalanya dapat menyerupai
kolitis ulserosa. Pada fase awal disentri basiler, pasien akan mengeluh nyeri perut bawah
disertai demam yang bisa mencapai 40°C.1 Tak lama kemudian diikuti diare yang
berlangsung sering sampai 10-12 kali dalam sehari dan mengandung lendir serta darah.
Tenesmus ani sering menyertai keadaan ini. Selanjutnya diare berkurang, tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir. Infeksi Shigella sering menyebabkan iritasi pada
susunan saraf pusat yang bermanifestasi sebagai kejang. Pada anak-anak sering
didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk,
dan letargi. Penderita fase pascainfeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4
minggu.walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun-tahun. Pengidap kronik tersebut
biasanya sembuh sendiri, dan dapat mengalami gejala Shigellosis intermitten1.

d. Diagnosis
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri
abdomen bawah, rasa panas rektal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja

11
menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN (polimorfonuklear). Untuk memastikan
diagnosis, dilakukan kultur dari bahah tinja segar atau hapus rektal. Sigmoideskopi
pada umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan pasien merasa tidak nyaman.
Pemeriksaan serologi Shigella pada fase akut tidak bermanfaat. Tes laboratorium lain,
seperti penghitungan WBC, dapat dilakukan pada orang dengan gejala berat atau
untuk menyingkirkan penyebab lain1,8.

Barium Enema

Gambar 7. Barium enema kontras tunggal menunjukkan ulserasi mukosa yang luas yang dihasilkan dari
kolitis Shigella(17).

e. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal. Komplikasi intestinal biasanya berupa megakolon toksik,
perforasi intestinal, dehidrasi renjatan hipovolemik dan malnutrisi. Sedangkan
komplikasi ekstraintestinal yang telah dilaporkan cukup banyak, di antaranya
adalah batuk, pilek, pneumonia, meningismus, kejang, neuropati perifer, sindrom
hemolitik uremik, trombositopenia, reaksi leukemoid, dan artritis (sindrom
Reiter)1.

f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit ini adalah mengatasi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Pada sebagian besar penderita dapat diberi rehidrasi oral,
namun pada keadaan di mana rehidrasi oral tidak dapat dilakukan dapat memerlukan
rehidrasi intravena. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan
beratnya penyakit. Perawatan antibiotik diindikasikan pada kebanyakan pasien.

12
Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah ampicillin 4x500 mg perhari atau
kotrimoksazol 2x2 tablet perhari atau tetrasiklin 4x500 mg perhari selama 5 hari.
Penggunaan anti-spasmodik perlu dihindari karena dapat menghambat motilitas
usus dan mengurangi eliminasi bakteri serta memprovokasi terjadinya megakolon
toksik. Cairan bening diikuti dengan residu rendah, diet bebas laktosa dianjurkan
sampai gejala-gejala shigellosis hilang. Obat-obat simptomatik lainnya dapat
diberikan sesuai dengan keadaan pasien1,8.

3) Kolitis Tuberkulosa
a. Definisi
Kolitis tuberkulosa adalah infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Infeksi kuman ini pada saluran cerna tidak jarang terjadi, terutama di negara
berkembang. Insidens infeksi tuberkulosis pada saluran cerna akhir-akhir ini semakin
meningkat bersamaan dengan semakin meningkataya angka perpindahan penduduk dan
infeksi HIV (human immunodeficiency virus) serta pengobatan imunosupresi1,9.
Setiap bagian dari sistem gastrointestinal mungkin terinfeksi, meskipun ileum
dan kolon adalah situs umum. Pada pemeriksaan patologis berat, TB usus dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kategori1,10:
- Bentuk ulseratif TB terlihat pada sekitar 60% pasien. Ulkus superfisial
sebagian besar terbatas pada permukaan epitel. Ini dianggap sebagai bentuk
penyakit yang sangat aktif, dengan sumbu panjang ulkus yang tegak lurus
dengan poros panjang usus.
-
Bentuk hipertrofi terlihat pada sekitar 10% pasien dan terdiri dari penebalan
dinding usus dengan jaringan parut; fibros; dan penampilan yang kaku, seperti
massa yang menyerupai karsinoma.
-
Bentuk ulcerohipertrofik adalah subtipe yang terlihat pada 30% pasien.
Terdapat ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk penyembuhan.
Semua bagian saluran cerna dapat terinfeksi namun lokasi yang tersering (85-
90% kasus) adalah di daerah ileosekal.

b. Patofisiologi

13
Terjadinya infeksi kuman ini ke dalam saluran cerna dapat terjadi secara primer dan
sekunder. Infeksi primer terjadi melalui tertelannya mikroorganisme secara langsung
ataupun penyebaran dari tuberkulosis milier. Sedangkan infeksi sekunder terjadi
melalui tertelannya material yang telah terinfeksi kuman ini seperti sputum yang
kemudian menginvasi mukosa intestin secara langsung, penyebaran hematogenik
melalui darah menuju hepar yang kemudian diekskresi melalui cairan empedu ke
dalam saluran cerna ataupun melalui pembentukan tuberkuloma. Terjadi peningkatan
insidens tuberkulosis paru yang luas dengan tuberkulosis intestinal sekunder sebanyak
25-80%. Terdapat hubungan yang tinggi antara berat-ringannya infeksi tuberkulosis
paru dengan frekuensi tuberkulosis pada saluran cerna. Semua bagian saluran cerna
dapat terkena infeksi, namun yang paling sering adalah pada daerah ileosekal dan
ileum terminal1,9.

Gambar 8. Kolitis Tuberkulosa (10)

c. Gejala klinis
TB kolon paling sering dikaitkan dengan ileum TB. Keterlibatannya segmental
dan terutama melibatkan kolon kanan. Gejalanya meliputi penurunan berat badan,
demam, dan nyeri di fosa iliaka kanan, dengan massa yang teraba dan diare10.
Keluhan paling sering pada (80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang
tidak khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi,
anoreksia, demam ringan, penurunan berat bada atauteraba massa abdomen kanan
bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja. Tetapi dengan

14
pasientuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungki hanya berasal dan
kuman yang tertelan bersama sputum1.
d. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman M. tuberculosis melalui
pemeriksaan mikroskopik langsung ataupun kultur biopsi jaringan. Pada pemeriksaan
barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekukan mukosa,
ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip keganasan di sekum1.
Sebuah studi barium usus kecil adalah metode radiografi utama untuk evaluasi
TB usus di daerah-daerah di dunia di mana penyakit ini endemik. Namun, karena
peritonitis umum terjadi pada TB GI, CT abdomen dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan yang lebih disukai, yang hampir selalu menunjukkan diagnosis
dengan adanya nodus limfatik nekrosis atau perubahan sugestif dari peritonitis
TB10.

Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang penting untuk membantu


menegakkan diagnosis kolitis tuberkulosa. Dengan kolonoskopi didapatkan
visualisasi lesi secara langsung, sekaligus melakukan biopsi untuk pemeriksaan
kultur dan histopatologi. Pada tuberkulosis kolon biasanya ditemukan
penyempitan lumen, dinding kolon kaku, ulserasi dengan tepi yang irreguler dan
endematous1,10.

Foto Thorax

Gambar 9. Foto thorax menunjukkan limfadenitis tuberculosis(10).

15
Foto Polos Abdomen

Gambar 10. Foto polos abdomen yang menunjukkan limfadenopati difus yang mengalami klasifikasi pada
pasien dengan tuberkulosis gastrointestinal(10).

e. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi berupa perdarahan, obstruksi intestinal, fistula dan
sindroma malabsorpsi. Komplikasi yang sering terjadi yaitu obstruksi intestinal (±
30%).1

f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolitis tuberkulosa tidak jauh berbeda dengan tuberkulosis paru
karena sama-sama memerlukan kombinasi pengobatan dengan waktu pengobatan
yang lama dengan dosis tertentu. Pengobatan TB ekstra paru berat seperti TB usus
digunakan kategori I yaitu 2RHZE/4H3R3. INH 4-6 mg/kgBB/hari atau 300-450 mg.
Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari atau 1-1,5 g. Rifampisin 8-12 mg/kgBB/hari atau 450-
600 mg dan pirazinamid 20-30 mg/kgBB/hari atau 1-1,5 g1,9.

4) Kolitis Pseudomembran
a. Definisi
Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan
terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang lekat di permukaan mukosa.
Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah
menggunakan antibiotik1. Insidensnya semakin meningkat bersamaan dengan
meningkatnya penggunaan antibiotik. Sebagian besar kasus terjadi setelah penggunaan
antibiotik oral. Semua jenis antibiotik potensial menimbulkan kolitis pseudomembran,

16
namun yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin dan sefalosporin1,11. Kolitis
pseudomembran dapat saja terjadi tanpa didahului penggunaan antibiotik sebelumnya.
Pada dasarnya, 75-90% kuman penyebab kolitis pseudomembran adalah Clostridium
difficile11.

Gambar 11. Kolitis pseudomembran (12)

b. Patofisiologi
Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap infeksi C. difficile
belum jelas. Hal tersebut dimungkinkan karena penekanan flora usus normal oleh
antibiotik memberi kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi disertai
pengeluaran toksin. C. difficile adalah suatu bakteri gram positif, bentuk spora,
anaerob dan dapat diisolasi. Penularan kuman ini terjadi melalui fekal-oral. Kuman ini
menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman yang tidak
menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis ataupun diare1.
Toksin yang berperan adalah toksin A (enterotoksin) dengan aktivitas
sitotoksik lemah dan toksin B (sitotoksin) mengakibatkan perubahan kultur
jaringan. Enterotoksin terutama bertanggung jawab pada gejala klinik yang
berhubungan dengan infeksi C. difficile tetapi memiliki efek sitotoksik lebih
lemah dibandingkan sitotoksin. Enterotoksin mengakibatkan sekresi cairan dan
kerusakan mukosa dengan akibat diare dan inflamasi. Toksin melekat dan
menyerang mukosa serta mikrofilamen dari sel mukosa dan kemudian
menghasilkan kontraksi sitoplasma, perdarahan, inflamasi, nekrosis sel dan
kehilangan protein. Toksin juga mengganggu sintesa protein, stimulasi kemotaksis
granulosit dan meningkatkan permeabilitas kapiler dan respon mioelektrik usus

17
serta mengganggu peristaltik. Kerusakan awal oleh toksin A memungkinkan
toksin B masuk ke dalam sel dan memungkinkan kedua toksin menyebabkan
trauma pada sel. Replikasi patogen, produksi toksin dan pengerahan neutrofil
mengakibatkan kerusakan dan apoptosis, nekrosis lokal dan terbentuk
pseudomembran1,11.

c. Gejala klinis
Pada umumnya gejala tampak setelah 3 sampai 9 hari pemakaian antibiotika.
Namun kolitis dapat terjadi sejak hari pertama antibiotik digunakan dan mungkin pula
baru muncul setelah 6 minggu antibiotik dihentikan. Gejala dapat asimptomatik
sampai berat. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah diare cair atau mukoid
disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan tapi biasanya profus, berbau
busuk dan dapat disertai sedikit darah, dengan frekuensi sering (10-20 kali/hari),
dan dapat terjadi ileus tetapi sangat jarang. Mual dan muntah jarang ditemukan.
Sebagian besar pasien mengalami demam dengan temperatur tidak lebih dari 38°C.
Walaupun jarang dapat mengakibatkan manifestasi ekstraintestinal yaitu
oligoartritis dan iridosiklitis1.

d. Diagnosis
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik, perlu
dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. C. difficile ditemukan di tinja 3-5%
orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di kolonnya. Menegakkan diagnosis kolitis
pseudomembran memerlukan kultur anaerob feses, pemeriksaan toksin kuman dan
kolonoskopi. Sebagai gold standard adalah ditemukannya toksin B (sitotoksin) pada
tinja, mengingat spesifisitasnya 94-100% dan sensitivitasnya 99%. Namun karena
memakan waktu lama dan mahal maka cukup dengan memeriksa terdapatnya toksin A
(enterotoksin) dengan metode ELISA1.
Diagnosis C difficile colitis harus dicurigai pada pasien dengan diare yang
telah menerima antibiotik dalam 3 bulan sebelumnya, baru-baru ini dirawat di
rumah sakit, dan / atau mengalami diare 48 jam atau lebih setelah rawat inap.
Selain itu, C difficile dapat menjadi penyebab diare pada penghuni masyarakat
tanpa rawat inap atau paparan antibiotik sebelumnya12.

18
Pemeriksaan laboratorium non spesifik adalah ditemukan lekositosis
15.000/mm3 sampai 50.000/mm3, hipoalbumin dan lekosit pada feses. Pada
sebagian besar penderita kolitis pseudomembran yang dilakukan pemeriksaan
sigmoidoskopi fleksibel memberikan hasil positif diatas 90%, pada sebagian kecil
penderita jika penyakit terbatas pada proksimal kolon memerlukan pemeriksaan
kolonoskopi. Inspeksi langsung dengan endoskopi pada sebagian besar penderita
ditemukan mukosa kolon dan rektum tampak normal atau menunjukan inflamasi
ringan berupa berupa eritema, friability dan edema sampai menunjukkan kelainan
kolitis pseudomembran berupa plak pseudomembran dengan ukuran antara 2-5
mm dan seringkali bergabung menjadi bentuk besar berwarna putih kekuningan.
Pemeriksaan radiologi meliputi foto polos abdomen, barium enema dan CT scan
abdomen dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis kolitis pseudomembran9,13.

Gambar 12. Kolonoskopi kolitis pseudomembran (1)

Foto polos abdomen


Pemeriksaan ini dianggap cukup sesifik untuk PMS tetapi hanya diamati pada
kasus yang berat. Setiap bagian usus besar mungkin terlibat. Dalam sebuah
penelitian oleh Boland et al, kolon transversal paling sering terlibat, diikuti kolon
descendens dan lalu kolon ascendens13.

Gambar 13. Penebalan haustra nodular, paling menonjol di kolon transversus(13).

19
Barium Enema
Kontras enema harus dihindari pada pasien dengan kemungkinan PMC karena
potensi risiko perforasi. Enema barium jarang diindikasikan, terutama dengan
munculnya pencitraan cross-sectional13.
Temuan barium enema dapat bervariasi, tergantung pada tingkat keparahan
penyakit. Dalam bentuk yang lebih ringan, defek pengisian nodular yang
melibatkan mukosa dapat diamati yang menyatu saat penyakit berkembang,
memberikan penampilan tidak teratur ke dinding usus. Garis besar bergerigi dari
usus besar bukan hasil dari ulserasi mukosa tetapi, agaknya, adalah konsekuensi
dari barium yang terperangkap di antara membran mirip plak. Lihat gambar di
bawah ini13.

Gambar 14. Pemeriksaan bariun enema menunjukkan penampakan garis bergerigi khas di antara lipatan
mukosa edematous dan membran mirip plaquelike pada kolitis pseudomembran (13).

CT-Scan
Dengan meningkatnya penggunaan CT scan sebagai modalitas pencitraan
utama dalam evaluasi pasien dengan nyeri perut difus atau demam, sangat penting
bagi ahli radiologi untuk mengenali fitur CT scan dari PMC. Temuan CT scan,
meskipun tidak spesifik, mungkin sangat menyarankan PMC, dan CT scan sangat
baik untuk evaluasi tingkat PMC13.
Berikut ini adalah temuan CT scan di PMC13:
- Penebalan dinding kolon yang ditandai
- Tanda target

20
- Tanda akordeon
- Pericolonic stranding
- Asites

Ditandai penebalan dinding kolon


Penebalan dinding kolon adalah temuan CT yang paling umum pada pasien
dengan PMC dan berkisar 3-32 mm. Sebagian besar kasus menunjukkan
keterlibatan kolon total; namun, keterlibatan fokal dan segmental telah
didokumentasikan dengan baik. Penebalan mural bisa halus atau tidak teratur dan
eksentrik atau konsentris. PMC lebih sering menyebabkan penebalan dinding
tidak teratur dan shaggy daripada penebalan halus dan homogen diamati dengan
penyakit Crohn13.

Gambar 15. penebalan dinding kolon transversum(13).

Tanda target
Pada CT dengan peningkatan kontras, hiperemia mukosa mengarah ke
peningkatan dengan submukosa yang relatif hypodense sekunder untuk perubahan
edema. Ini memberikan tampilan mata banteng atau tanda target. Tanda ini lebih
baik dihargai pada fase peningkatan arterial. Ini adalah tanda nonspesifik dan
telah dilaporkan dengan bentuk kolitis lain seperti penyakit Crohn dan kolitis
ulserativa.

21
Tanda akordeon
Ini sangat sugestif dari PMC tetapi hanya diamati pada penyakit lanjut.
Penyebab tanda ini adalah entrapment dari barium yang diberikan secara oral di
antara lipatan haustral tebal dan edematous, memberikan band-band low dan high-
density bergantian. Lihat gambar di bawah ini.

Gambar 16. CT scan pada pasien dengan kolitis pseudomembran yang menunjukkan tanda akordion klasik (13).

Pericolonic stranding
Jika diamati, ini biasanya ringan, mencerminkan keterlibatan mukosa, bukan
serosa. Penampilan CT khas dari PMC adalah strik perikolonik ringan yang tidak
proporsional dengan penebalan dinding kolon yang ditandai.

Asites
Ini adalah temuan nonspesifik dan cenderung terjadi pada kasus-kasus berat
PMC. Asites diamati pada CT pada rata-rata 35% pasien.

Temuan lainnya
Pneumatosis, megakolon beracun, dan gas vena porta dapat diamati. Fitur-fitur
ini tidak spesifik dan dapat diamati dengan kolitis yang parah dari penyebab apa
pun.

22
Tingkat kepercayaan diri
Sensitivitas deteksi PMC pada CT sekitar 85%. Spesifisitas CT rendah (sekitar
48%), karena jenis kolitis lain dapat menyebabkan penampilan yang serupa.

e. Penatalaksanaan
Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga menjadi
penyebab, juga obat-obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik dan
antidiare), mencegah penyebaran nosokomial serta mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Pada kasus kolitis pseudomembran yang ringan, keadaan sudah
dapat diatasi dengan penghentian antibiotik penyebab dan rehidrasi cairan serta
elektrolit. Pada kasus-kasus dengan gejala yang lebih berat sebaiknya dilakukan
pemeriksaan toksin C. difficile dan mulai terapi spesifik dengan metronidazol atau
vankomisin1.
Terapi awal digunakan metronidazol dengan dosis peroral 250-500 mg empat kali
sehari selama 7-10 hari. Vankomisin digunakan sebagai second line therapy dengan
dosis per oral 125-500 mg empat kali sehari selama 7-14 hari. Alternatif pengobatan
lainnya adalah dengan kolestiramin untuk mengikat toksin yang dihasilkan C.
difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin sehingga diberikan 2 sampai 3
jam sebelum atau sesudah pemberian vancomycin. Kolestiramin diberikan peroral
dengan dosis 4 gram tiga kali sehari selama 5-10 hari. Dianjurkan setelah pengobatan
spesifik maka diberikan kuman Lactobacillus atau ragi (Saccharomyces boulardii)
selama beberapa minggu untuk menumbuhkan kembali flora usus yang normal1.

5) Kolitis akibat Escherichia coli


a. Defnisi
Kolitis akibat Escherichia coli adalah salah satu bentuk dari gastroenteritis
yang disebabkan oleh strain bakteri Escherichia coli (E.coli) tertentu (O157:H7),
yang menginfeksi usus besar dan menghasilkan racun (toksin) yang secara tiba-
tiba menyebabkan diare berdarah atau tidak dan kadang-kadang dengan

23
komplikasi lainnya yang serius. Angka kejadiannya tidak diketahui pasti, namun
bisa menyerang segala usia1.

b. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya diare dan sindroma hemolitik uremik (SHU) akibat
infeksi E. coli belum jelas. Diduga E. coli patogen melekat pada mukosa dan
memproduksi toksin (Shiga like toxins) yang bekerja lokal dan sistemik.
Kerusakan pembuluh darah kolon akibat toksin tersebut menyebabkan
lipopolisakarida dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh dan memicu
terjadinya SHU.1

Gambar 17. Shiga like (1)

c. Gejala klinis
Manifestasi klinis dari infeksi E. coli bervariasi dapat berupa infeksi
asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (kolitis hemoragika), SHU,
purpura trombositopenia sampai kematian. Adapun gejala klasik adalah kram
abdomen yang hebat, diare diikuti diare berdarah, nausea dan vomitus. Pada
umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal sehingga dikelirukan
sebagai kolitis non infeksi. Diare biasanya berlangsung selama 1-8 hari1.
Kira-kira 5% dari orang yang terinfeksi E.coli berkembang menjadi SHU yang
gejalanya terdiri dari1:

24
- anemia karena penghancuran sel darah merah (anemia hemolitik)
- trombosit yang menurun (trombositopenia)
- gagal ginjal akut.
Pada beberapa penderita juga timbul kejang, stroke atau komplikasi lain dari
kerusakan saraf atau otak. Komplikasi ini terjadi pada minggu kedua dan
didahului oleh kenaikan suhu tubuh. SHU ini sering terjadi pada anak-anak di
bawah 5 tahun dan pada orang tua1.
Purpura trombositopenia mempunyai gejala mirip SHU namun gejala gagal
ginjal dan kelainan neurologik lebih ringan. Biasa ditemukan pada dewasa.1

d. Diagnosis
Pada pemeriksaan barium enema dapat dilihat gambaran thumbprinting pattern
pada kolon ascenden dan atau transversum akibat edema dan perdarahan mukosa.
Pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa edematous dan
hiperemia, kadangkadang ditemukan ulserasi superfisial1.
Kultur dengan agar Sorbitol-Mac Conkey dan aglutinasi dengan O157 anti
serum merupakan sarana paling murah untuk memastikan diagnosa infeksi E.coli
patogen1.

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berupa terapi suportif dan simtomatik. Yang terpenting dalam
pengobatan adalah minum cukup cairan untuk menggantikan cairan yang telah
hilang dan tetap memberikan makanan lunak. Antibiotik tidak menghilangkan
gejala, membunuh bakteri ataupun mencegah komplikasi. Penderita dengan
komplikasi sebaiknya dirawat secara intensif di rumah sakit1.

KOLITIS NON-INFEKSI
1) Inflamatory Bowel Disease (IBD)
Inflamatory bowel disease (IBD) adalah penyakit inflamasi kronik yang
melibatkan saluran cerna, bersifat remisi/kambuhan, dengan penyebab pastinya
sampai saat ini belum diketahui jelas. IBD terdiri dari kolitis ulseratif, penyakit

25
Crohn dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam
kategori indeterminate colitis1,15,18.
Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai IBD, data masih
didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based)18. Inflmmatory bowel
diseases (IBD), yang termasuk penyakit Crohn dan kolitis ulseratif,
mempengaruhi sebanyak mungkin 1,6 juta orang Amerika, sebagian besar
didiagnosis sebelum usia 35 tahun. Kondisi kronis seumur hidup ini dapat diobati
tetapi tidak disembuhkan. IBD bisa secara signifikan mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan mungkin memiliki tinggi beban financial14.

a. Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif merupakan penyakit radang kolon nonspesifik yang umumnya
berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang berganti-ganti3.
Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit inflamasi pada usus besar, ditandai
oleh kerusakan mukosa yang difus yang disertai ulserasi. Kolitis ulseratif terbatas
pada usus besar (usus besar) dan rektum. Inflasonasi hanya terjadi di lapisan
paling dalam dari lapisan usus. Itu biasanya dimulai di rektum dan kolon bawah,
tetapi bisa juga menyebar terus menerus untuk melibatkan seluruh usus besar14.
Sepertiga kasus kolitis ulseratif yang melibatkan rektum dan sigmoid
(proktosigmoiditis), sebagian besar kasus melibatkan rektum sampai dengan
flexura lienalis (left side colitis). Sebagian kecil terjadi pada seluruh bagian kolon
(pancolitis)5. Ulkus terbentuk dari inflamasi yang menyebabkan kematian
jaringan, kemudian menghasilkan darah dan pus. Jika inflamasi mengenai rektum
dan kolon bagian bawah disebut proktitis ulseratif5.
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon
sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam
terjadinya kolitis ulseratif. Atropi mukosa dan abses pada kripta sering ditemukan.
Kolitis ulseratif dapat mengenai rektum, kolon sigmoid, dan seluruh bagian kolon,
namun tidak mengenai intestinal. Pada stadium ringan ditemukan mukosa eritem,
edem dan mengalami granulasi. Pada stadium sedang dan berat kolon tampak
mengalami ulserasi, erosi, friability dan perdarahan spontan5.

26
Banyak pola presentasi yang mungkin dalam kelompok usia anak. Gejala khas
kolitis ulseratif termasuk kram perut, diare, dan tinja berdarah, tetapi gejala fisik
bervariasi dengan tingkat, durasi, dan keparahan penyakit. Kolitis ulseratif
mempengaruhi rektum, dengan keterlibatan berdekatan yang dapat mencakup
seluruh usus besar. Fenotipe penyakit dapat dikarakterisasi berdasarkan
Klasifikasi Paris, yang membagi penyakit menjadi proktitis terisolasi, kolitis sisi
kiri, kolitis yang diperpanjang, dan pancolitis. Manifestasi ekstraintestinal dari
kolitis ulseratif, seperti nyeri sendi, kondisi mata, dan penyakit hepatobilier dapat
terjadi pada beberapa pasien14.
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare, perdarahan rektum, tenesmus,
keluarnya mukus dan nyeri abdomen keram. Keparahan gejala berkolerasi dengan
perluasan penyakit. Meskipun kolitis ulseratif bisa timbul secara akut, gejala
biasanya telah ada selama beberapa minggu sampai bulan. Kadang diare dan
perdarahan sedemikian jarang terjadi dan ringan sehingga pasien jarang berobat.
Gejala klinis tergantung derajat inflamasi mukosa dan perluasan kolitis. Gejala
yang sering ditemukan berupa diare berdarah dan kram perut. Proktitis biasa
menyebabkan tenesmus. Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon
sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau diantara
waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung banyak sel
darah merah dan sel darah putih. Namun, suatu serangan bisa mendadak dan
berat, menyebabkan diare hebat, demam tinggi, takikardi, sakit perut, peritonitis
dengan lekositosis. Selama serangan, penderita tampak sangat sakit. Jika
ditemukan keadaan ini dipertimbangkan kolitis fulminan dan toksik megakolon16.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan tinja.


Pada stadium ringan biasanya hasil laboratorium yang ditemukan normal.
Sigmoidoskopi (pemeriksaan sigmoid) atau kolonoskopi merupakan metode
paling akurat untuk menegakkan diagnosis kolitis ulseratif. Kolonoskopi dengan
biopsi adalah prosedur yang paling berharga dalam mengevaluasi pasien dengan
penyakit radang usus. Temuan khas pada seseorang dengan UC adalah
peradangan yang pertama kali terlihat di rektum dan yang proksimal meluas
secara berdekatan. Namun untuk keadaaan akut digunakan sigmoidoskopi untuk

27
mencegah resiko perforasi kolon. Hal ini memungkinkan dokter untuk secara
langsung mengamati beratnya peradangan. Bahkan selama masa bebas gejalapun,
usus jarang terlihat normal. Sampel jaringan yang diambil untuk pemeriksaan
mikroskopik menunjukan suatu peradangan menahun14.
Studi radionuklida berguna dalam kasus kolitis fulminan akut ketika
pemeriksaan kolonoskopi atau barium enema merupakan kontraindikasi. Studi
radionuklida juga berguna dalam menggambarkan aktivitas penyakit dan tingkat
penyakit dan dalam memonitor respon terhadap terapi17.

Foto polos Abdomen


Foto polos abdomen seringkali dapat membantu dalam penegakan diagnosis
kolitis ulseratif. Foto polos abdomen dapat menunjukkan dilatasi kolon yang
masif yang disertai dengan kontur mukosa yang abnormal. Dilatasi yang terjadi
seringkali terdapat pada kolon transversal. Perforasi kolon merupakan salah satu
komplikasi dari kolitis ulseratif. Perforasi dapat terjadi dengan atau tanpa
megakolon toksik. Pneumoperitoneum masif biasanya menyertai perforasi kolon.
Residu feses biasanya tidak terlihat pada usus yang mengalami inflamasi.
Gambaran edema pada dinding usus biasa tampak pada fase akut dari kolitis
ulseratif, yang disebut juga gambaran thumbprinting. Terdapat juga gambaran
pseudopolip yang menunjukkan mukosa yang udem diantara mukosa yang
mengalami ulserasi. Pada fase kronik, terjadi pemendekan usus akibat spasme
muskulus longitudinal atau fibrosis yang ireversibel. Selain itu, haustra pada
kolon desendens menghilang17.

Gambar 18. Foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi akut menunjukkan
gambaran thumbprinting pada fleksura splenika dari kolon(21).

28
Gambar 19. Foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat kolitis ulseratif menunjukkan striktur/spasme
yang panjang pada kolon asendens/sekum. Perhatikan bahwa terdapat pseudopoliposis pada kolon
desendens(21).

Barium enema
Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema sangat
bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih sempit, dan hal ini
bisa saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak sempurna akibat spasme dan
iritabilitas pada kolon17,21.
Pemeriksaan barium enema dapat menunjukkan hilangnya haustra pada lumen
kolon. Adanya granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan udem pada mukosa yang
dapat menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat menyebar dan menutupi semua
lapisan mukosa. Terdapat gambaran bintik-bintik pada mukosa akibat perlengketan
barium pada ulser superfisial. Collar button ulcers merupakan ulserasi yang lebih dalam
pada mukosa yang udem dengan kripte abses pada submukosa21. Striktur dapat terjadi
pada 1 -11% pasien yang menderita kolitis ulseratif dalam jangka waktu yang lama.
Striktur terutama ditemukan pada kolon asendens17,21.

Gambar 21. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan kolitis ulseratif pada
stadium awal, di mana mukosa masih normal dan tampak pseudopolip(17).

29
Gambar 22. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan keterlibatan kolon
dengan collar button ulcers yang banyak seperti yang diperlihatkan dengan tanda panah (21).

Gambar 23. Pemeriksaan barium enema menunjukkan keterlibatan striktur yang panjang pada
kolitis ulseratif, yang ditandai dengan penyempitan lumen kolon desendens yang ireguler (17).

Gambar 24. Pemeriksaan barium enema menunjukkan hilangnya haustra pada seluruh kolon
desendens disertai dengan ulserasi, sehingga memberikan gambaran “lead-pipe”(17).

30
CT-Scan Abdomen
Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu ahli radiologi dalam membedakan kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn, jika pemeriksaan barium enema menunjukkan kemiripan di
antara keduanya. CT dapat mendeteksi bagaimana karakteristik dari kolitis ulseratif. CT-
Scan abdomen dan pelvis menunjukkan dilatasi, penebalan pada bagian mural, dan
permukaan mukosa yang ireguler, serta terdapat target sign. Dapat juga terlihat
pseudopolip pada dinding kolon, dan pembuluh darah yang berdilatasi akibat adanya
inflamasi dan hiperemia.

Gambar 25. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan coronal menunjukkan penebalan dinding mukosa dan
iregularitas yang terjadi pada kolon asendens dan desendens, seperti yang diperlihatkan pada tanda panah (17).

Gambar 26. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial menunjukkan target
sign, seperti yang diperlihatkan pada tanda panah(17).

31
Gambar 27. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial menunjukkan pelebaran pembuluh darah
perisigmoid dan ascites, seperti yang diperlihatkan pada tanda panah(17).

Pemeriksaan Endoskopi dan Biopsi


Sekali kita mencurigai kolitis ulseratif, pemeriksaan endoskopi berupa kolonoskopi,
harus dilakukan. Selain itu, harus dilakukan biopsi pada mukosa yang meradang dan
pada mukosa yang normal. Hasil yang didapatkan pada pemeriksaan kolonoskopi dan
biopsi dapat mengonfirmasi diagnosis kolitis ulseratif, dan juga berguna untuk melihat
atau memantau sejauh mana perjalanan penyakit tersebut. Namun, tindakan ini harus
dilakukan dengan hatihati karena kemungkinan dapat mengakibatkan perforasi atau
komplikasi lainnya. Kasus kolitis ulseratif yang berat ditandai dengan adanya ulser dan
perdarahan spontan(5).

Gambar 28. Gambaran kolitis ulseratif pada kolonoskopi(5).

Pemeriksaan Histopatologi
Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan perjalanan klinis dan hasil
pemeriksaan endoskopi dari kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif terbatas pada mukosa dan
submukosa yang superfisial, lapisan bagian dalam tidak terlibat kecuali pada kolitis
ulseratif fulminan. Pada kolitis ulseratif, terdapat dua tanda histologis yang
menunjukkan kronisitas dan membantu membedakannya dari kolitis ulseratif akut dan
kolitis ulseratif yang self-limiting. Pertama, terdapat kripte yang terdistorsi pada kolon;
kripte bisa saja berbentuk bifida dan sedikit jumlahnya, dan seringkali terdapat celah di
antara dasar kripte dan muskularis mukosa. Kedua, beberapa pasien memiliki sel basal
plasma dan agregasi limfoid basal multipel. Dapat juga ditemukan kongesti vaskuler
pada mukosa, dengan edema dan perdarahan fokal, dan infiltrat sel-sel inflamasi,
seperti neutrofil, limfosit, sel plasma, dan makrofag. Neutrofil menginvasi epithelium,
biasanya ke dalam kripte, dan dapat menimbulkan kriptitis dan abses kripte(5).

32
Gambar 29. Hasil pemeriksaan histopatologis pada kolitis ulseratif kronik eksaserbasi akut menunjukkan
inflamasi difus, limfoplasmasitosis basal, atrofi dan iregularitas pada kripte, dan erosi superficial(5)

Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi gejala


dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Obat-obatan yang digunakan untuk
kolitis ulseratif, yaitu3,5,18:
a) 5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazin, olsalazin, mesalamin
dan balsalazid digunakan untuk mengontrol inflamasi.
b) Kortikosteroid, seperti prednison, metilprednison dan hidrokortison
digunakan untuk mengurangi inflamasi.
c) Obat Imunosupresif, seperti azatioprin dan 6-merkapto purin (6-MP)
bermanfaat mengurangi inflamasi yang disebabkan reaksi imun. Digunakan
pada pasien yang tidak berspon terhadap 5-ASA atau kortikosteroid atau
yang tergantung pada kortikosteroid.
d) Obat-obat untuk mengurangi rasa sakit, diare atau infeksi dapat juga
diberikan.

b. PENYAKIT CROHN

Penyakit Crohn seperti halnya kolitis ulseratif merupakan suatu penyakit


inflamasi menahun dengan karakteristik eksaserbasi intermiten dan remisi5.
Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada
bagian terendah dari intestinal dan kolon, namun dapat terjadi pada bagian
manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit
sekitar anus. Ini disebut penyakit Crohn perianal5. Karena penyakit Crohn dapat
terjadi di berbagai area dari saluran pencernaan, aktivitas penyakit dan keparahan
bisa bervariasi secara luas dari waktu ke waktu. Sebagian besar pasien memiliki
penyakit aktif saat penyakit Crohn didiagnosis16.

33
Penyebab penyakit Crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan perhatian
pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu kelainan fungsi sistim pertahanan
tubuh, infeksi dan makanan. Pada penyakit Crohn terjadi penebalan dan edem
pada dinding usus yang terkena. Terdapat lesi pada mukosa berupa ulkus yang
besar, dalam, kadang-kadang bergabung membentuk ulkus linear longitudinal dan
transversal. Dasar dari ulkus ini bisa penestrasi lebih dalam membentuk fisura
pada lapisan muskularis. Karakteristik dari penyakit Crohn adalah inflamasi
transmural dan granuloma non nekrosis. Oleh karena itu, penyakit Crohn dapat
mengenai banyak bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus5.
Gejala klasik dari penyakit Crohn adalah nyeri kolik perut kanan bawah dan
diare. Gejala lain yang dapat ditimbulkan berupa demam, nafsu makan berkurang
dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan dan
benjolan pada perut kanan bawah5.
Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit
Crohn. Penemuan khas pada pemeriksaan ini meliputi skip lesions, cobblestone
appearance dan penyempitan lumen usus (string sign) karena penebalan dan
edem pada dinding usus. Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan
kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis5.
Barium enema

Gambar 30. Karateristik permukaan mukosa penyakit crohn(10).

Perubahan awal pada pemeriksaan barium menunjukkan penebalan nodus


mukosa nodular, dengan hilangnya simetri dalam pola lipat. Seperti halnya
penyakit Crohn, fisura dalam, saluran sinus, fistula enterokutan, dan perforasi
dapat terjadi, meskipun jarang. Tampilan batu mukosa adalah fitur yang terlihat
pada penyakit Crohn yang tidak terlihat pada TB. Ulserasi dapat ditunjukkan pada

34
pemeriksaan kontras ganda, biasanya tegak lurus dengan sumbu panjang usus; ini
menyembuhkan dengan pembentukan strikula annular pendek. Karena iritabilitas
persisten dari peradangan di ileum terminal, pengosongan cepat segmen tersebut
dapat terjadi (tanda Stierlin). Sudut ileocecal dilenyapkan dengan katup ileocecal
paten secara luas10.
Pada prinsipnya penatalaksanaan penyakit Crohn sama dengan kolitis ulseratif.
Obat-obatan yang digunakan untuk penyakit Crohn, yaitu5:
1) 5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazin, olsalazin, mesalamin
dan balsalazid digunakan untuk sadium penyakit ringan sampai sedang.
2) Kortikosteroid, seperti prednison, metilprednison dan hidrokortison
digunakan untuk sadium penyakit sedang sampai berat.
3) Obat Imunosupresif, seperti azatioprin and 6-merkapto purin (6-MP)
bermanfaat mengurangi inflamasi yang disebabkan reaksi imun. Digunakan
pada pasien yang tidak berspon terhadap 5-ASA atau kortikosteroid atau
yang tergantung pada kortikosteroid.
4) Antibiotik, seperti metronidazol dan siprofloksazin.

2) Kolitis Radiasi

a. Definisi
Kolitis radiasi (juga dikenal dengan sebutan prokitis radiasi) adalah penyakit
peradangan kolon sebagai komplikasi abdominal dan pelvis akibat terapi radiasi
terhadap kanker ginekologi (karsinoma serviks), urologi (karsinoma prostat,
kandung kemih dan testis) dan rectum2.

b. Patofisiologi
Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan menjadi kerusakan akibat2:
1) Whole body irradiation
Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad terjadi gejala awal berupa nausea,
vomitus dan penurunan sekresi asam lambung. Ini akan diikuti dengan
destruksi difus dari mukosa saluran cerna serta gangguan pada sumsum tulang

35
belakang, tergangunya fungsi mukosa saluran cerna, perubahan flora usus serta
diikuti oleh kehilangan cairan dan elektrolit bahkan sepsis.
2) Localized irradiation
Kedaan akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dal sel-sel endotel
pembuluh darah saluran cerna yang diikuti edema submukosa akibat
peningkatan permeabelitas kapiler. Dengan meningkatnya dosis radiasi dalam
fase lanjut akan terjadi telengiektasis, atrofi, fibrosis, striktur dan trombosis
yang menyebabkan iskemia jaringan.

c. Gejala Klinis
Secara umum, terbagi menjadi 2 gejala2:
1) Gejala akut berupa mual, muntah-muntah, diare dan tenesmus. Terjadi
dalam 6 minggu setelah radiasi.
2) Gejala kronik berupa hematoskezia, diare, kolik dan tenesmus. Terjadi
dalam 2 tahun pasca radiasi, umumnya 6-9 bulan setelah terapi radiasi selesai.

d. Diagnosis
Diagnosis kolitis radiasi ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
endoskopi saluran cerna dan pemeriksaan histopatologi. Jika endoskopi sulit
dilakukan, dilakukan pemeriksaan dengan barium enema. Pada pemeriksaan
kolonoskopi ditemukan gambaran telengiektasis, edema, striktur, fistula, mukosa
yang kaku serta mudah berdarah. Kolitis radiasi dibagi menjadi 4 derajat menurut
Kottmeimer (1964)2:
- Derajat I : Keluhan ringan disertai kelainan mukosa ringan
- Derajat II : Diare disertai mukus dan darah. Pada kolonoskopi didapatkan
jaringan nekrosis, ulkus atau stenosis sedang.
- Derajat III : Stenosis rektum berat sehingga memerlukan kolostomi
- Derajat IV : Terdapat fistula

e. Penatalaksanaan

36
Penatalaksanaan kolitis radiasi, terutama dengan kerusakan yang berat, sampai
saat ini masih merupakan masalah. Pada umunya, terapi dimulai dengan
pemberian steroid enema, sulfasalazine/mesalazin serta sukralfat enema. Pada
pasien dengan kerusakan berat umumnya memerlukan pembedahan karena
perdarahan yang tidak dapat dikendalikan, striktur dan fistula2.

3) Kolitis Iskemik
a. Definisi
Kolitis iskemik adalah gangguan yang berkembang ketika aliran darah ke suatu
bagian dari usus besar (kolon) berkurang. Hal ini dapat menyebabkan peradangan
pada daerah usus besar dan, dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan kerusakan
usus permanen. Kolitis iskemik dapat mempengaruhi setiap bagian dari kolon,
tapi kebanyakan orang yang terkena rasa sakit berkembang di sisi kiri perut.
Buang air besar yang mengedan dan diare berdarah juga umum terjadi pada kolitis
iskemik. Kebanyakan kasus kolitis iskemik adalah ringan dan dapat sembuh
sendiri dalam beberapa hari19.
b. Patofisiologi
Kolon perdarahi oleh A. Mesenterika superior dan A. Mesenterika inferior.
Terbentuk kolateral dari hubungan kedua arteri ini. Namun fleksura splenikus dan
kolon ascenden memiliki sedikit kolateral dari kedua arteri ini sehingga iskemia
lebih mudah terjadi pada daerah ini. Sedangkan rektum mendapat suplai darah
dari A. Mesenterika inferior & A. Iliaka interna sehingga pada rektum jarang
terjadi iskemia4.
Kolon menerima 10-35% dari total cardiac output. Jika aliran darah ke kolon
menurun lebih dari 50% maka akan terjadi iskemia. Arteri pada kolon sensitif
terhadap vasokonstriktor seperti kondisi stres dan obat-obat vasikonstriktor seperti
ergotamin, kokain atau vasopresin. Kondisi patologis yang bisa ditemukan pada
kolitis iskemik berupa perdarahan dan edem mukosa dan submukosa, nekrosis dan
ulserasi. Pada kondisi yang berat dapat ditemukan gambaran ulserasi kronik, abses
kripta dan pseudopolip serta infark transmural4,6.

37
c. Gejala Klinis
Tanda-tanda umum dan gejala kolitis iskemik meliputi:15
1) Nyeri abdomen, nyeri atau kram, biasanya terlokalisasi ke sisi kiri bawah
perut, dapat tiba-tiba atau bertahap
2) Feses berwarna merah terang atau merah darah, suatu ketika dapat keluar
darah sendiri tanpa feses.
3) Perasaan ingin mengedan
4) Diare
5) Mual
6) Muntah

d. Diagnosis
Diagnosis kolitis iskemik ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis
(>15.000/mm3) dan penurunan kadar bikarbonat <24 mmol/L. Endoskopi berupa
kolonoskopi atau fleksibel sigmiodoskopi merupakan prosedur pilihan jika
diagnosis masih belum jelas. Biopsi melalui endoskopi bermanfaat menyediakan
lebih banyak informasi. Visible light spectroscopic catheter ditempatkan di usus
menggunakan endoskopi, berguna untuk menganalisis kadar oksigen. Spesifitas
alat ini 90% atau lebih untuk iskemia kolon akut dan 83% untuk iskemia
mesenterika kronik19.

e. Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan untuk kolitis iskemik tergantung pada derajat keparahan.
Bila kolitis iskemik ringan, dapat diberikan obat untuk menjaga tekanan darah
pada tingkat normal, yang akan membantu memperlancar aliran darah ke usus.
Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi. Dengan langkah-langkah
konservatif tersebut, gejala sering berkurang dalam 24 hingga 48 jam dalam
kasus-kasus ringan, tanpa perlu rawat inap. Namun, jika pasien mengalami
dehidrasi, perlu diberikan cairan dan nutrisi melalui pembuluh darah, mungkin
juga perlu pembatasan asupan makanan selama beberapa hari untuk

38
mengistirahatkan usus. Pada kasus ringan, penyembuhan dapat terjadi dalam dua
minggu atau kurang. Dalam kasus yang lebih parah, pemulihan dapat memakan
waktu lebih lama, dan kekambuhan dapat terjadi. Jika kolitis iskemik berkembang
sebelum usia 50 atau pada pasien yang memiliki riwayat hiperkoagulable atau
gangguan yang meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku (faktor V
Leiden) dapat diberi warfarin (Coumadin), yang dapat membantu mencegah
episode kolitis iskemik20.

39
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas
 Nama : Ny. N
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 54 Tahun
 Alamat : Ds. Tada dusun I Parimo
 Pekerjaan : IRT
 Pendidikan terakhir :-
 Tanggal Pemeriksaan : 20/8/2018
 Ruangan : AMC VIP/VVIP Parkit Lt. 4 RSU Anutapura Palu

B. Anamnesis
 Keluhan Utama : BAB darah
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan perut terasa kembung dialami sejak ± 2
minggu, mual (+), muntah (-), demam (-), riwayat BAB berdarah ± 2 minggu dan
di rawat di RS Parigi.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat DM (-)
Riwayat HT (+)
Riwayat Jantung (-)
Riwayat HD (-)
Riwayat prostat (-)
 Kebiasaan (lifestyle) :
Riwayat merokok (-)
Riwayat minum alkhohol (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga

40
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.

C. PEMERIKSAAN FISIS
 Keadaan umum :
Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital :
TD : 160/90 mmHg Pernapasan : 24 kali/menit
Nadi : 92 kali/menit Suhu : 36.50C

Kepala
 Bentuk : Normocephal
 Rambut : Sukar dicabut
 Mata : Isokor, diameter 3/3 mm
 Telinga : Tidak ada Keluhan
 Mulut : Mukosa mulut lembab

Leher
 KGB : Pembesaran (-)
 Tiroid : Pembesaran (-)
 JVP : Tidak meningkat
 Massa Lain : Tidak ada

Thoraks
 Inspeksi : Bentuk dada kanan kiri simetris, retraksi dinding dada (-),
 Palpasi : Krepitasi (-),
 Perkusi : Sonor (+) dikedua lapangan paru
 Auskultasi : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, Wheezing -/-

Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
 Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak teraba
 Perkusi Batas jantung : Batas jantung normal

41
Auskultasi : BJ S1 dan S2 murni regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
 Inspeksi : Perut kesan cembung
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal, Asites (-)
 Perkusi : Timpani (+)
 Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-)
 Tes undulasi (-)

Anggota gerak
 Atas : Akral hangat, edema (-/-), tidak ada hambatan gerak
 Bawah : Akral hangat, edema (-/-),tidak ada hambatan gerak

D. Hasil Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
DARAH LENGKAP
NILAI RUJUKAN
(14 Agustus 2018)
WBC 6,4 x 103/mm3 4,8 – 10.8
RBC 3,98 x 106/uL 4,7 – 6,1
HGB 11,5 g/dL 12-16
HCT 34,6 % 42 – 52
MCV 87 fL 80-99
MCH 29,0 pg 27 – 31
MCHC 33,4 g/dL 33 – 37
PLT 427 x 103/uL 150 -450

PEMERIKSAAN DARAH HASIL NILAI RUJUKAN


14 Agustus 2018
Glukosa sewaktu 92 mg/dL 80-199 mg/dL

42
FUNGSI HATI
NILAI RUJUKAN
(14 Agustus 2018)
< 23 U/L (P)
SGPT 22 U/L
<30 U/L (L)
<21 U/L (P)
SGOT 25 U/L
<25 U/L(L)

FUNGSI GINJAL
NILAI RUJUKAN
(14 Agustus 2018)
UREA 22 mg/dL 8 – 25 mg/dL
60 – 150 U/L (P)
KREATININ 1,04 U/L
70 – 160 U/L (L)

PROFIL LIPID
NILAI RUJUKAN
(14 Agustus 2018)
KOLESTEROL 235 mg/dL < 200 mg/dL
HDL 47 mg/dL 45 – 65 mg/dL
LDL 180 mg/dL 33 – 55 mg/dL
TRIGLISERID 54 mg/dL 120 – 190 mg/dL
2.4 – 6 mg/dL (P)
ASAM URAT 8 mg/dL
3.4 – 7 mg/dL (L)

43
Radiologi
Foto polos abdomen dan colon in loop

44
Foto Polos Abdomen (20 Agustus 2018):

- Distribusi udara sampai ke distal colon


- Tidak tampak dilatasi loop usus
- Preperitoneal fat line dan psoas line intak
- Tulang-tulang intak

Foto colon in loop (20 Agustus 2018):

- Kontras dimasukkan melalui rektum


- Kontras mengisi rectum, colon sigmoid, colon descendens, colon
transversum, colon ascendens sampai usus halus
- Caliber lumen colon ascendens dan sigmoid mengecil dengan haustra yang
menghilang
- Tidak tampak filiing defek maupun additional shadow

Kesan : Colitis colon ascendens dan sigmoid

E. Resume
Pasien perempuan usia 54 tahun dibawa ke rumah sakit pada tanggal 14
Agustus 2018 dengan keluhan perut terasa kembung yang di alami sejak ± 2
minggu yang lalu. Riwayat BAB berdarah ± 2 minggu yang lalu dan BAB seperti
kotoran kambing 2 hari yang lalu (12 Agustus 2018). Nausea (+) vomitus (-),
demam (-). Pada pemeriksaan rectal tuse sphcinter ani mencekik, mukosa licin,
ada feses. Tanda-tanda vital: TD 160/90 mmHg, Nadi 92x/menit, Pernapasan
24x/menit dan Suhu 36.5°C. Hasil laboratorium WBC 6.4, RBC 3.98, HGB 11.5
g/dL, HCT 34.6%, PLT 427x103/mm3.

F. DIAGNOSA KERJA
- Tumor rectosigmoid
- Hipertensi grade II
- Dislipidemia

45
G. Penatalaksanaan
Medikamentosa :
- Amlodipin 1x1
- Ketorolac Inj/8 jam
- Cefoperazone ivial/12 jam

46
BAB IV

PEMBAHASAN

Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon. Berdasarkan
penyebab, kolitis dapat dibagi menjadi kolitis infeksi dan non-infeksi. Kolitis
infeksi disebabkan oleh berbagai macam kuman. Oleh karena itulah kolitis infeksi
terbagi menjadi kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis
pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain. Kolitis non-infeksi
terdiri dari kolitis ulseratif, penyakit Crohn, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis
mikroskopik, maupun kolitis nonspesifik1.
Pada kasus ini pasien perempuan usia 54 tahun dibawa ke rumah sakit pada
tanggal 14 Agustus 2018 dengan keluhan perut terasa kembung yang di alami
sejak ± 2 minggu yang lalu. Riwayat BAB berdarah ± 2 minggu yang lalu dan
BAB seperti kotoran kambing 2 hari yang lalu (12 Agustus 2018). Nausea (+)
vomitus (-), demam (-). Pada pemeriksaan rectal tuse sphcinter ani mencekik,
mukosa licin, ada feses. Tanda-tanda vital: TD 160/90 mmHg, Nadi 92x/menit,
Pernapasan 24x/menit dan Suhu 36.5°C. Hasil laboratorium WBC 6.4, RBC 3.98,
HGB 11.5 g/dL, HCT 34.6%, PLT 427x103/mm3.
Berdasarkan keluhan yang diperoleh dari hasil anamnesis, terdapat
beberapa keluhan yang mengarahkan diagnosis ke tumor rectosigmoid, hipertensi
grade II dan dislipidemia. Namun berdasarkan pemeriksaan diagnostik berupa
colon in loop ditemukan caliber lumen colon ascendens dan sigmoid mengecil
dengan haustra yang menghilang. Yang mengarahkan diagnosis ke Colitis colon
descendens dan colon sigmoid.
Jenis kolitis yang paling sering ditemukan pada daerah tropis seperti
Indonesia adalah kolitis infeksi. Adapun prevalensi kolitis amebik di daerah tropis
adalah 50-80%. Namun prevalensi shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis
pseudomembran dan kolitis karena Eschericia coli di daerah tropis khususnya
Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi karena studi tentang

47
epidemiologi kolitis di Indonesia masih jarang dilakukan. Begitu juga dengan
prevalensi kolitis noninfeksi di Indonesia1.
Pada kasus ini, pada tanggal 21 Agustus 2018 pasien dipulangkan dalam
keadaan membaik.

48
DAFTAR PUSTAKA
1. Oesman N. Kolitis Infeksi. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009. Hal. 560
2. Makmun D. Kolitis radiasi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009. Hal. 1838-1839.
3. Lindseth G, N. Gangguan usus besar. In: Price SA, WIlson LM, editors.
Patofisiologi : konsep klinis dasar-dasar penyakit 1. 6 ed. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran ECG; 2003. p. 456-64
4. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi gastrointestinal. Buku Ajar Fisiologi
Kedokterran Edisi 11. Jakarta:EGC;2007.hal 829, 48, 58.
5. Djojoningrat D. Inflamatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009. 583
6. Buku Ajar Anatomi Biomedik II. Ed III. Bagian anatomi Fakultas
Kedokteran,Unciversitas Hasanudin. 2014.
7. Dhawan Vinod K. 2018. Amebiasis. http://emedicine.medscape.com
8. Kroser Joyann A. 2017. Shigellosis. http://emedicine.medscape.com
9. Aditama TY, dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
10. Anand M, K. 2018. Gastrointestinal Tuberculosis Imaging.
http://emedicine.medscape.com
11. Gerding dan Johnson. 2014. Penyakit terkait-Clostridium Difficult, termasuk
kolitis pseudomembranosa. Harrison’s gastroenterology and hepatology.
Jakarta: EGC. Hal 217-221.
12. Aberra F, A. 2017. Clostridium difficile colitis.
http://emedicine.medscape.com
13. Gheyl Vinay K. 2015. Pseudomembranous colitis imaging.
http://emedicine.medscape.com

49
14. Janowitz, et al. 2014. The facts about inflamatory bowel disease. New York,
CCFA.
15. Piccoli D, A. 2017. Colitis. http://emedicine.medscape.com
16. Friedman dan Blumberg. 2014. Inflamatory bowel disease. Harrison’s
gastroenterology and hepatology. Jakarta: EGC. Hal 158-177.
17. Khan A, W. 2015. Ulcerative colitis imaging. http://emedicine.medscape.com
18. Firmansyah M, A. 2013. Perkembangan terkini diagnostik dan
penatalaksanaan Inflammatory bowel disease. CDK-203/ vol. 40 no. 4.
19. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran . Ed III . Jakarta; 2000.
20. Dan L. Longo,Fauci SA. Harisson Gastroenterologi dan hepatologi.EGC.
2014
21. Herring W. 2005. Ulcerative colitis. Available in GI Radiology.
(www.learningradiology.com)

50

You might also like