You are on page 1of 20

REFERAT

DEMAM TIFOID

Disusun oleh :

Khaerunnisa

(1102013147)

Pembimbing

dr. Ani Ariani, Sp.A

Disusun dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

SMF Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

Periode 2 Juli 2018 – 8 September 2018


DEMAM TIFOID

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S typhi). Demam tifoid juga masih menjadi topik yang sering diperbincangkan.
Insidens penyakit ini sering dijumpai di negara-negara Asia dan dapat ditularkan melalui makanan
atau air yang terkontaminasi. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6
juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak
dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga
berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan,
dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah. Pada daerah endemik, infeksi paling
banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah
10³-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air
yang terkontaminasi oleh feses. Pada permulaan penyakit, biasanya tidak tampak gejala atau
keluhan dan kemudian timbul gejala atau keluhan seperti demam sore hari dan serangkaian gejala
infeksi umum dan pada saluran cerna. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis dan pemeriksaan tambahan dari laboratorium. Terapi untuk demam tifoid meliputi istirahat,
pemberian anti-mikroba, antipiretika, serta nutrisi dan cairan yang adekuat.1, 2,5

1
I. DEFINISI
Demam enterik adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri genus
Salmonella. Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi). Definisi tifoid adalah suatu infeksi akut
yang disebabkan bakteri Salmonella typhii dengan gejala utama demam, gangguan
saluran perncernaan, serta gangguan susunan saraf pusat/kesadaran.1,2

II. ETIOLOGI
Demam tifoid: Salmonella typhi.1,2
Demam paratifoid: S. paratyphi A, S. schottmuelleri, S. hirschfeldii, dan serotipe lain.1,2

III. EPIDEMIOLOGI
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan
ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum
dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid
diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000.
Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di
Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang
tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya,
Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang
termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.1,2
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia
3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga,
yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak
tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.2,3
Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World
Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit tersebut di
dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang
sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens penyakit yang
sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan

2
bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus,
kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid.
Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga dapat kurang tepat,
apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak akurat.1,2
Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi
pada populasi yang berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit (RS)
dengan demam tifoid berusia 5-25 tahun. Namun, beberapa penelitian di komunitas
menunjukkan bahwa demam tifoid dapat terjadi pada usia kurang dari 5 tahun dengan
gejala non-spesifik yang secara klinis tidak tampak seperti tifoid.1,2,3
Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan gejala klinis
infeksi, yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba yang tepat, pemilihan
antimikroba, umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi strain bakteri, jumlah kuantitas
inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor dari status imun pejamu.1,2,3

IV. PATOGENESIS
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa
tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan
terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum
terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang
melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi
dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid
mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia
primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah
biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-
14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan
berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan
sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah
periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah
dan menyebabkan bacteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode
inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala,
dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak

3
diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada
Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses infl amasi yang meng-akibatkan nekrosis
dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya
Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau
carrier.1,2,3

V. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi 7–14 hari (3–30 hr). Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala,
dapat muncul keluhan atau gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan
demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat
dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut,
serta beraneka ragam keluhan lainnya.1,2
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian
keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai
dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut
dari hati atau limpa atau kedua-duanya.1,2
Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan
dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang dewasa.
Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan
indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau maculopapular
(rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan
terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama
2-3 hari.6

4
Manifestasi berdasarkan Usia
a. Usia Sekolah dan Masa Remaja
Gejala klinis menyerupai penderita dewasa
Onset insidious
 Malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen (anak biasanya
tidak dapat menunjukkan daerah yang paling sakit/rasa tidak nyaman difus),
keluhan meningkat pada minggu kedua.3
 Demam sampai hari ke-4 bersifat remiten, dengan pola seperti anak tangga
(stepwise fashion), sesudah hari ke-5 atau paling lambat akhir minggu pertama pola
demam berbentuk kontinu.3
 Diare dapat ditemukan pada hari-hari pertama sakit, selanjutnya terjadi konstipasi.
Bila diare terjadi sesudah minggu kedua harus dicurigai infeksi tambahan oleh jasad
renik lain.3

5
 Mual dan muntah dapat ditemukan pada awal sakit, bila ditemukan pada minggu
kedua atau ketiga harus diwaspadai awal suatu penyulit.2,3
 Pada minggu kedua keluhan malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah
abdomen pada minggu kedua bertambah berat, dapat ditemukan disorientasi,
letargi, delirium bahkan stupor.3

Pemeriksaan jasmani penting:


 Bradikardia relatif (jarang pada anak usia yang lebih muda, dapat ditemukan pada
remaja).3
 Dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali, distensi abdomen yang disertai rasa
sakit. Biasanya anak tidak dapat melokalisasi rasa sakit, memberi kesan rasa tidak
enak/sakit yang difus.3
 Rose spot ditemukan pada 50% kasus, dicari di daerah dada bawah dan abdomen
bagian atas.3
 Bila ditemukan tanda pneumonia seperti sesak napas dan crackles, biasanya terjadi
sesudah minggu kedua dan merupakan superinfeksi.3
Bila tanpa penyulit akan sembuh dalam 2–4 minggu3

b. Usia Balita
Relatif jarang, biasanya bersifat ringan berupa demam ringan, malaise, dan diare.
Sering misdiagnosis sebagai diare akut.3

c. Neonatus
Gejala timbul biasanya sesudah tiga hari pasca dilahirkan berupa muntah-muntah,
diare, distensi abdomen. Suhu tubuh tidak stabil, ikterus, BB turun, undoing well,
kadang disertai kejang.3

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya

6
komplikasi. Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk
membantu mendeteksi dini penyakit ini.1,2
Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis. Gambaran darah tepi pada permulaan
penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada
permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri,
sedangkan pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis
relatif ). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofilia
(menghilangnya eosinofil). 1,2

Anamnesis
Setelah seorang terinfeksi S. typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14
(kisaran 3-60) hari. Awitan bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Pasien pada
umumnya datang ke RS menjelang akhir minggu pertama setelah terjadi gejala demam,
gejala mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan
mialgia. Demam akan meningkat secara progresif dan pada minggu kedua, demam
seringkali tinggi dan menetap (39-40 derajat celsius).3,7
 Demam > 7 hari. Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi
pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. 3,7,9
 Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri
perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. 3,7,9
 Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan icterus.
3,7,9

Pemeriksaan Fisik
 Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid, namun
bukan gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya,
hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan. Beberapa rose spot, lesi
maculopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm, dilaporkan pada 5%-30% kasus
yang tampak terutama pada abdomen dan dada. 3,7,9

7
 Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid (kotor
pada bagian tengah dan pinggirnya hiperemis), meteriosmus, hepatomegali,
splenomegali. 3,7,9

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada
3 prinsip, yaitu1,2
 Isolasi bakteri
 Deteksi antigen mikroba
 Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab

a. Biakan salmonella
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan biakan
empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal perjalanan
penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah akhir minggu pertama
infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah. Di negara berkembang, ketersediaan dan
penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan sensitivitas biakan darah menjadi
rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit dilakukan dalam praktek,
invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan masyarakat.2
 Darah: umumnya (+) pada mgg pertama dan awal minggu ke-2 (60–80%) dari
rose spot (60%), sumsum tulang (80–90%). Pemeriksaan kultur sumsum tulang
merupakan tindakan invasif, biasanya hanya dilakukan untuk keperluan
penelitian.2
 Urin/feses: sesudah bakteremia sekunder (minggu ke dua sampai tiga)2

b. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit yang
rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran
jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai
20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat dan

8
disertai dengan koagulasi intravascular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat
berubah, namun gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan.3,4,5

Darah rutin

 Sering ditemukan anemia normokrom-normositer akibat supresi sumsum


tulang, leukopenia tetapi jarang <2.500/mm3 disertai limfositosis relatif.3,4
 Dapat ditemukan trombositopenia yang cukup berat terutama pada akhir mgg
pertama.3,4

Kimia darah

 Pada penderita dengan penyulit hepatitis tifosa dapat ditemukan peningkatan


transaminase hepar dan bilirubin serum (harus dibuktikan bukan oleh sebab lain
seperti virus hepatitis). Pada penderita gizi kurang/buruk dapat ditemukan
hiponatremia dan hypokalemia.3,4

c. Pemeriksaan Widal
Tes Widal: diambil 2 kali (dengan serum berpasangan), didapat meningkatnya titer
O > 4 kali, pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena banyak ditemukan nilai
(+) palsu IgM anti-S. typhi hari ke-6–8, pemeriksaan ini hanya berlaku untuk demam
tifoid, bila (−) tidak menyingkirkan kemungkinan demam paratifoid.2,3,9
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi dan
sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satusatunya pemeriksaan
penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin
tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya
antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.
2,3,9

Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena beberapa


faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik,
teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid, gambaran imunologi masyarakat
setempat, dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah

9
tergantung kualitas antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif
pada 30% sampel biakan positif demam tifoid.2,3,9
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai
prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena
reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan
dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan
preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.
Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4
kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid.
Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar
laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan
catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting
dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu variablitas alat
pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang
S.typhi di daerah endemis, reaksi silang terhadap non-Salmonella lain, dan kurangnya
kemampuan reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk
aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan. 2,3,9,10

d. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah


Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex yang
mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua
dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi
berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang. 2,3,10
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara lain:
liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul
(virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam
tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen
O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)Rmemiliki
sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%.2,3,9

10
Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit
dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6
dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus
dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena
IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan. 2,3,9,10

e. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul
dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-
flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.
Pemeriksaan nested polymerase chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat
digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan
merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR

11
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22
(95.5%), dikuti dari specimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).2,3

f. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin


Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup D
Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%,
namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan
ELISA menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen 9 somatik (O9), antigen d
flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki
sensitivitas tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi
terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).
Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan
untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu pertama sejak
timbulnya demam.2,3

g. Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva


Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari lipopolisakarida S.
typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam
tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1%
dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit
demam tifoid.2,3,9

h. Pemeriksaan lain
Pencitraan (Rontgen toraks, Rontgen polos perut (BNO), USG abdomen), D-dimer,
dan lain-lain dilaksanakan apabila terjadi penyulit. Manifestasi demam enterik sangat
luas dan tidak khas, sehingga diagnosis pasti ditegakkan atas ditemukannya bakteri
pada kultur. Dengan demikian, pada pengelolaan kecurigaan demam enterik harus
dilakukan pemeriksaan biakan sebelum pemberian antibiotik. 2,3,9

12
Diagnosis Banding

Diagnosis banding antara lain sepsis, tuberkulosis, meningitis, hepatitis anikterik,


mononukleosis infeksiosa, dan keganasan (limfoma, leukemia).8,9,10

VII. TATALAKSANA

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana
umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik sebagai
pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan
kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier
salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis
bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.2,3,4

Tatalaksana Umum

Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral
ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi
darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan
dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak
perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah
sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang
diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang
lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan. 2,3,4

Tatalaksana umum:
 Isolasi
 Tirah rebah selama panas
 Diet makanan lunak yang mudah dicerna

13
Tatalaksana Khusus
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di
negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan
ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan
demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa,
dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin,
siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat
ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan
dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR).
S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali timbul pada tahun 1970,
kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-
sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah
memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas
pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun
alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang
membutuhkan pengobatan parenteral. Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai
keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang
juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan carrier. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella
typhi setempat. 2,3,4,5

Tatalaksana khusus: 2,3,4,5


 Eradikasi kuman
 Terapi penyulit
 Kortikosteroid : Pada kasus berat dengan gangguan kesadaran (stupor, koma), gangguan
sirkulasi, dan gejala berkepanjangan
 Deksametason 3 mg/kgBB inisial, diikuti 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam. Bila
dikhawatirkan terjadi hipotermia akibat pemberian deksametason, pengalaman kami
menunjukkan pemberian dengan dosis 0,15 mg/kgBB cukup aman dan efektif

14
Sumber : Garna, Herry, dan Heda Melinda Nataprawira. 2014. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi ke-5, hal. 411-414. Bandung: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSHS/FKUNPAD.

15
Sumber : Prayitno, Ari. 2012. Pilihan Antibioti untuk Demam Tifoid hal 9-15. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM/FKUI.

VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi pada 10%-15% kasus yang menderita penyakit lebih dari 2
minggu. Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi saluran cerna (10%) dan
ensefalopati tifoid (10-40%). Komplikasi demam tifoid terjadi intra dan ekstra
intestinal berupa perdarahan usus (1-10%), perforasi (0,5–3%), pneumonia (10%),
miokarditis toksik, gangguan syaraf, endokarditis, parotitis, orkitis, pielonefritis,
sindrom nefrotik, limfadenitis supuratifa, dan hepatitis. 2,3,6,9
Pada umumnya terjadi pada akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga berupa:
Perforasi intestinal (0,5–3%), perdarahan intestinal (1–10%), hepatitis tifosa,
kolesistitis, pankreatitis, sepsis, pielonefritis, ensefalopati, pneumonia, dan lain-lain.
2,3,6,9

IX. PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita, keadaan
kesehatan sebelumnya, serotipe salmonella penyebab dan ada tidaknya komplikasi.6,9,10
Dinegara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di
negara berkembang, angka mortalitasnya > 10 %, biasanya karena keterlambatan
diagnosis perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endocarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 6,9,10

X. PENCEGAHAN
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan
minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-
hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus
resistensi.2,3,7

16
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang
dari negara maju ke daerah yang endemic demam tifoid.1 Vaksin vaksin yang sudah
ada yaitu:2,3,10
 Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan
secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efi
kasi perlindungan sebesar 70-80%.2,3,6,7
 Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada
anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang
2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini
efektif selama 3 tahun dan memberikan efi kasi perlindungan 67-82%.2,3,6,7
 Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi
perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap
selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.2,3,6,7

17
KESIMPULAN

1. Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan yang penting di negara yang sedang
berkembang di Asia, termasuk Indonesia.
2. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
tambahan dari laboratorium.
3. Terapi yang diberikan adalah istirahat, diet lunak, dan antimikroba.
4. Diagnosis demam tifoid yang ditegakkan secara dini dan disertai pemberian terapi yang
tepat mencegah terjadinya komplikasi, kekambuhan, pembawa kuman (carrier), dan
kemungkinan kematian.
5. Strategi pencegahan diarahkan pada ketersediaan air bersih, menghindari makanan yang
terkontaminasi, hygiene perorangan, sanitasi yang baik, dan pemberian vaksin sesuai
kebutuhan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, RHH. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta: Divisi Penyakit Tropik dan
Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; vol.39, no.2, 2012; hal. 247-250.
Diunduh dari
www.kalbemed.com/.../05_192CME_1%20Tata%20Laksana%20Terkini%20Demam...
2. Karyanti, Mulya Rahma. Pemeriksaan Diagnostik Terkini Demam Tifoid. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM/FKUI; 2012; hal.1-8.
3. Garna, Herry, dan Heda Melinda Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSHS/FKUNPAD; edisi
ke-5, 2014; hal. 411-414.
4. Prayitno, Ari. Pilihan Antibiotik untuk Demam Tifoid. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM/FKUI; 2012; hal 9-15.
5. Nelson 2011. Ilmu Kesehatan Anak Esensial edisi ke-6, hal 17-19, hal 41-43. Sauders,
Singapura.
6. Sidabutar, Sondang dan Hindra Irawan Satari. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid
pada Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSCM/FKUI; vol.11, no.6, 2010; hal.434-439. Diunduh dari
https://www.saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/611/546
7. Darmawan, Anthony Christian. Mengenal Demam Tifoid. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2016. Diakses dari http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-
anak/mengenal-demam-tifoid
8. Demam tifoid. [Internet] 2015. [Diakses 27 Jul 2018] Diakses dari
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/TI16_Demam-tifoid-
Q.pdf
9. Typhoid Fever. [Internet] 2015. [Diakses 27 Jul 2018] Diakses dari
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/typhoid-fever/symptoms-causes/syc-
20378661 pada tanggal 27 Juli 2018.
10. Typhoid Fever. [Internet] 2015. [Diakses 27 Jul 2018] Diakses dari
https://www.webmd.com/a-to-z-guides/typhoid-fever#1 pada tanggal 27 Juli 2018.

19

You might also like