You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gangguan anxietas adalah keadaan tegang yang berlebihan atau tidak pada
tempatnya yang ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu atau takut.
Gangguan anxietas mencakup gangguan anxietas fobik, gangguan panik, gangguan
cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif serta gangguan stress pasca
trauma. 1

Gangguan Anxietas

Gangguan Gangguan Fobia Gangguan Gangguan


Panik Cemas Obsesif Stress
Menyeluruh kompulsif Pasca
Trauma

Agorafobia Fobia Fobia


Sosial Spesifik

Gambar 1. Pembagian Gangguan Anxietas 1

1
Gejala cemas, takut, menghindar, atau meningkatnya kesiagaan

Akibat fisiologik langsung dari Ya GANGGUAN CEMAS AKIBAT


penyakit umum PENYAKIT UMUM

Tdk
Akibat fisiologik langsung suatu zat Ya GANGGUAN CEMAS AKIBAT
(misal, drug abuse) ZAT

Tdk Agorafobia, misal,


Serangan panik berulang tak terduga cemas berada di
dengan 1 bulan rasa khawatir, Ya tempat yang sulit Ya GANGGUAN PANIK
prihatin tentang serangan atau menghindar atau DENGAN AGORAFOBIA
perubahan perilaku memalukan bila
terjadi serangan
panik
Tdk
Tdk GANGGUAN PANIK
TANPA AGORAFOBIA

Agorafobia, misal, cemas berada di


tempat yang sulit menghindar atau Ya AGORAFOBIA TANPA RIWAYAT
memalukan bila terjadi serangan GANGGUAN PANIK
panik

Tdk

Takut diperhina dan dipermalukan Ya


FOBIA SOSIAL
dalam situasi sosial atau dalam pentas

Tdk
Ya FOBIA SPESIFIK
Takut akan obyek atau situasi tertentu

Tdk
Ya GANGGUAN OBSESIF
Obsesif atau kompulsif
KOMPULSIF
Tdk

Masa 6 bulan dari cemas berat dan Ya GANGGUAN CEMAS


khawatir dengan gejala terkait MENYELURUH

Tdk
Ya Lamanya lebih dari Ya GANGGUAN STRESS
Cemas disebabkan trauma berat
1 bulan PASCA TRAUMA
Tdk
GANGGUAN STRESS
AKUT

Gambar 2. Diagnosis Banding Gangguan Anxietas 6

2
Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan anxietas yang ditandai
dengan adanya serangan panik yang tidak diduga dan spontan yang terdiri atas
periode rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi dari sejumlah serangan
sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun. Gangguan panik
sering disertai dengan agorafobia, yaitu rasa takut sendirian di tempat umum seperti
pasar, atau terutama tempat yang sulit keluar dengan cepat saat terjadi gangguan
panik. Serangan panik dapat pula terjadi pada jenis gangguan cemas yang lain,
namun hanya pada gangguan panik, serangan terjadi meskipun tidak terdapat faktor
presipitasi yang jelas.
2,3

Serangan panik dapat terjadi secara spontan ataupun sebagai respon terhadap
situasi tertentu. Variasi serangan sangat bervariasi, ada yang sering (setiap minggu),
tetapi berlangsung berbulan-bulan. Ada juga yang mengalami serangkaian serangan
tetapi diikuti periode tenang selama berminggu-minggu. 1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
GANGGUAN PANIK

2.1 DEFINISI
Istilah “panik” berasal dari kata Pan. Pan adalah dewa Yunani setengah hantu
yang tinggal di pegunungan dan hutan yang perilakunya sangat sulit diduga. Pada
tahun 1895 deskripsi gangguan panik pertama kali dikemukakan oleh Sigmund
Freud dalam kasus agorafobia. Serangan panik merupakan ketakutan akan
timbulnya serangan serta diyakini akan segera terjadi. Individu yang mengalami
serangan panik berusaha untuk melarikan diri dari keadaan yang tidak pernah
diprediksi. 4

Gangguan panik adalah gangguan yang ditandai dengan terjadinya serangan


panik yang spontan dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode
kecemasan atau ketakutan yang kuat dan relatif singkat (biasanya kurang dari satu
tahun), yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea.
Frekuensi pasien dengan gangguan panik mengalami serangan panik adalah
bervariasi dari serangan multiple dalam satu hari sampai hanya beberapa serangan
selama setahun. 4

2.2 EPIDEMIOLOGI
Penelitian epidemiologi telah melaporkan prevalensi seumur hidup untuk
gangguan panik adalah 1,5-5 % dan untuk serangan panik adalah 3 – 5.6 %. Sebagai
contohnya, satu penelitian terakhir pada lebih dari 1.600 orang dewasa yang dipilih
secara acak di Texas menemukan bahwa angka prevalensi seumur hidup adalah 3,8
% untuk gangguan panik, 5,6 % untuk serangan panik, dan 2,2 % untuk serangan
panik dengan gejala yang terbatas yang tidak memenuhi kriteria diagnostik
lengkap.1,2

Jenis kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena dari pada laki-laki, walaupun
kurangnya diagnosis gangguan panik pada laki-laki mungkin berperan dalam
distribusi yang tidak sama tersebut. Perbedaan antara kelompok Hispanik, kulit
putih non-Hispanik, dan kulit hitam adalah sangat kecil. Faktor sosial satu-satunya

4
yang dikenali berperan dalam perkembangan gangguan panik adalah riwayat
perceraian atau perpisahan yang belum lama. Gangguan paling sering berkembang
pada dewasa muda - usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun, tetapi baik
gangguan panik maupun agorafobia dapat berkembang pada setiap usia. Sebagai
contohnya. gangguan panik telah dilaporkan terjadi pada anak-anak dan remaja. dan
kemungkinan kurang diagnosis pada mereka. 1,2

2.3 ETIOLOGI
Ø Faktor Biologis
Riset mengenai dasar biologis gangguan panik adalah ditemukannya
suatu interpretasi bahwa gejala gangguan panik terkait dengan abnormalitas
struktur dan fungsi otak. Diperoleh data bahwa pada otak pasien dengan
gangguan panik, beberapa neurotransmiter mengalami gangguan fungsi,
yaitu serotonin, GABA (Gama Amino Butyric Acid), dan norepinefrin.
Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada
sistem perifer maupun sistem saraf pusat (SSP). Pada beberapa kasus
ditemukan peningkatan tonus simpatetik dalam sistem otonom. Serangan
panik merupakan respon terhadap rasa takut yang ditampilkan oleh fear
network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal, dan
hipokampus. Terdapat bukti praklinis bahwa melemahnya tranmisi inhibisi
lokal GABA di amigdala basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat
mencetuskan respon fisiologis mirip ansietas.
Faktor biologik lain yang berhubungan adalah zat panikogen yang
digunakan terbatas pada penelitian, misalnya karbon dioksida, natrium
laktat, dan bikarbonat. Zat penginduksi panik neurokimia terutama
memengaruhi reseptor adrenergik, serotonergik, GABA di SSP secara
langsung.
Pada studi pencitraan struktur otak, perubahan pada tampilan MRI
juga dilaporkan, yaitu adanya abnormalitas terutama atrofi korteks di lobus
temporalis kanan dan kiri pasien. Pada positron emission tomography
(PET), terlihat adanya disregulasi aliran darah otak. Khususnya gangguan
ansietas dan serangan panik disertai vasokonstriksi serebral, yang dapat

5
menimbulkan gejala SSP seperti pusing, yang dicetuskan oleh hiperventilasi
dan hipokapnia. 1,4

Ø Faktor Genetika
Bahwa gangguan ini memiliki komponen genetika yang jelas. Angka
prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan
panik. Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan risiko
gangguan panik sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat pertama
pasien dengan gangguan panik dibandingkan dengan sanak saudara derajat
pertama dari pasien dengan gangguan psikiatrik lainnya. Studi kembar yang
telah dilakukan saat ini umumnya melaporkan bahwa kedua kembar
monozigot lebih mudah terkena bersamaan daripada kembar dizigot. 1,2,5

Ø Faktor Psikososial
Baik teori perilaku kognitif dan psikoanalitik telah dikembangkan
untuk menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori
perilaku kognitif menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang
dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau melalui proses
pembiasan klasik.
Teori psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat dari
pertahanan yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan
kecemasan. Apa yang sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan
ringan menjadi suatu perasaan ketakutan yang melanda, lengkap dengan
gejala somatik.
Peneliti menyatakan bahwa penyebab serangan panik kemungkinan
melibatkan alam bawah sadar peristiwa yang menegangkan dan bahwa
patogenesis serangan panik mungkin berhubungan dengan faktor
neurofisiologis yang dipicu oleh reaksi psikologis.
1,2,5

2.4 TANDA DAN GEJALA


Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang.
Serangan panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai dengan gejala
otonomik, terutama sistem kardiovaskular dan pernapasan. Serangan sering dimulai
selama 10 menit, kemudian gejala meningkat dengan cepat. Serangan cemasnya

6
disertai dengan gejala-gejala yang mirip dengan gangguan jantung, yaitu rasa nyeri
di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti tercekik.
Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya
menjadi sangat khawatir bahwa ia akan mengalami hal tersebut lagi (anticipatory
anxiety). Hal in sering membuat pasien mencari pertolongan ke rumah sakit
terdekat.
Pernapasan yang cepat dan pendek merupakan salah satu gejala yang sangat
jelas dirasakan pasien. Seringkali gejala sistem pernapasan yang tidak stabil adalah
spesifik pada gangguan panik, termasuk sindrom hiperventilasi dan peningkatan
variasi pernapasan. Peningkatan denyut nadi dan pernapasan yang tidak stabil bisa
timbul tanpa terjadi serangan panik. Sebaliknya serangan panik tidak selalu disertai
pengukuran objektif dari hiperventilasi atau disfungsi kardiovaskuler.
Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat, ancaman kematian
atau bencana. Pasien bisa merasa bingung dan sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang
menyertai adalah takikardia, palpitasi, dispnoe, dan berkeringat. Serangan dapat
berlangsung 20-30 menit, jarang lebih dari 1 jam.
Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi, kesulitan
bicara (gagap), dan gangguan memori. Depresi, derealisasi, dan depersonalisasi
dapat dialami saat serangan. Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan takut
mati karena masalah jantung atau pernapasan. Pasien sering merasa hampir-hampir
menjadi gila.
Apabila disertai dengan agorafobia, maka pasien akan menolak untuk
meninggalkan rumah ke tempat ramai yang sulit untuk keluar. Gejala penyerta
lainnya adalah depresi, obsesi kompulsif, dan pemeriksa harus waspada terhadap
tendensi bunuh diri.1,2

2.5 DIAGNOSIS
Menurut PPDGJ-III gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis
utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik. 6

Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas
berat dalam masa kira-kira 1 (satu) bulan:
1. Pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya.

7
2. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situations)
3. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode
di antara serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat
terjadi juga “anxietas antisipatorik” yaitu anxietas yang terjadi setelah
membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi). 6

Kriteria diagnostik gangguan panik menurut DSM V ialah: 6

A. Berulangnya serangan panik yang tak diharapkan. Serangan panik yaitu


ketakutan berlebihan yang muncul dengan tiba-tiba dan mencapainya
puncaknya dalam beberapa menit, selama periode waktu tersebut empat
(atau lebih) terjadi gejala berikut:
1. Palpitasi, jantung berdebar, denyut jantung meningkat
2. Berkeringat
3. Menggigil atau gemetar
4. Nafas terasa pendek
5. Rasa tercekik
6. Rasa tidak nyaman atau nyeri di dada
7. Mual atau nyeri perut
8. Pusing atau rasa melayang atau kepala terasa ringan atau pingsan
9. Merasa dingin atau sensasi panas
10. Parastesia (mati rasa atau sensasi kesemutan)
11. Derealisasi, depersonalisasi
12. Takut hilang kendali atau “ menjadi gila”
13. Takut mati
B. Paling sedikit satu serangan diikuti oleh satu bulan (atau lebih) satu atau
dua yang berikut:
1. Kekhawatiran menetap tentang akan terjadinya kembali serangan
panik atau konsekuensinya (misalnya, hilang kontrol, mengalami
serangan jantung atau “menjadi gila”)
2. Perubahan maladaptif yang signifikan pada perilaku terkait serangan
(misalnya, perilaku yang dibentuk untuk menghindari mengalami

8
serangan panik, misalnya menghindari aktivitas atau situasi yang tak
biasa
C. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologik zat (misalnya,
penyalahgunaan zat atau medikasi) atau kondisi medik lain (hipertiroid atau
gangguan kardiopulmonar)
D. Gangguan tidak termasuk gangguan jiwa lainnya (misalnya, serangan panik
dalam berespons terhadap situasi sosial yang menakutkan, seperti fobia
sosial; dalam berespons terhadap objek atau situasi tertentu, seperti fobia
spesifik; dalam berespons terhadap obsesi, seperti gangguan obsesif-
kompulsif; dalam berespons ketika teringat peristiwa-peristiwa traumatik,
seperti gangguan stres pasca trauma; atau dalam berespons terhadap
perpisahan dengan orang-orang yang sangat dekat, seperti gangguan cemas
perpisahan)
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Panik Tanpa Agorafobia 2

a. Mengalami (1) dan (2)


(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;
(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih)
oleh salah satu atau lebih hal berikut:
i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;
ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth.,
hilang kendali, serangan jantung, menjadi gila);
iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.
b. Tidak ada agorafobia;
c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat (cth.,
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth.,
hipertiroidisme);
d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain,
seperti fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan
stress pasca trauma, atau gangguan cemas perpisahan.

9
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Panik dengan Agorafobia 2

a. Mengalami (1) dan (2)


(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;
(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih)
oleh salah satu atau lebih hal berikut:
i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;
ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth.,
hilang kendali, serangan jantung, menjadi gila);
iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.
b. Adanya agorafobia;
c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat (cth.,
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth.,
hipertiroidisme);
d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain,
seperti fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan
stress pasca trauma, atau gangguan cemas perpisahan.
Kriteria diagnostik PPDGJ III – F40.0 Agorafobia 6

a. Gejala psikologis, perilaku, atau otonomik yang timbul harus merupakan


manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala
lain seperti waham atau pikiran obsesif;
b. Ansietas yang timbul harus terbatas pada setidaknya dua dari situasi berikut:
banyak orang/keramaian, bepergian keluar rumah, bepergian sendiri;
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol (penderita menjadi “house-bound”)
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR Agorafobia 2

a. Ansietas saat berada di tempat atau situasi yang jalan keluarnya sulit (atau
memalukan) atau tidak ada pertolongan. Rasa takut agorafobik secara khas
melibatkan situasi yang mencakup berada jauh dari rumah sendirian, berada
di keramaian atau mengantri, berada di bawah jembatan, berjalan-jalan
dengan bus, kereta atau mobil;

10
b. Situasi tersebut dihindari, atau dijalani dengan penderitaan yang jelas
dengan ansietas akan mengalami serangan panik atau gejala mirip panik,
atau membutuhkan adanya teman;
c. Ansietas atau penghindaran fobik tidak disebabkan gangguan jiwa lain,
seperti fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan
stress pasca trauma, atau gangguan cemas perpisahan.
2.6 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah
sejumlah gangguan medis dan juga gangguan mental. 2,3

Diagnosis banding organik untuk gangguan panik dapat dilihat pada tabel di
bawah:
Tabel 1: Diagnosis Banding Organik Gangguan Panik 2

Penyakit kardiovaskular Anemia


Gagal jantung kongestif
Hipertensi
Angina, Miokard infark
Penyakit paru Asma
Hiperventilasi
Emboli paru
Penyakit neurologis Epilepsi
Huntington disease
Penyakit meniere
Multiple sklerosis
Migrain, tumor, infeksi
Penyakit endokrin Hipertiroid
Diabetes
Intoksikasi obat Amfetamin
Kokain
Hallusinogen
Nikotin

11
Gejala putus zat Alkohol
Opiat dan opioid
Obat hipnotik sedatif
Kondisi lainnya Anafilaksis
Uremia

Diagnosis banding psikiatrik untuk gangguan panik adalah pura-pura,


gangguan buatan, hiponkondriasis, gangguan depersonalisasi, gangguan stress
pascatraumatik, gangguan depresif, skizofrenia, gangguan somatisasi, gangguan
obsesif kompulsif, dan fobia. Pada gangguan somatisasi, pasien merasa cemas
terhadap penyakit serius ataupun gejala fisik yang dirasakan dan akan berusaha
meminta pertolongan dokter, sedangkan pada gangguan panik pasien merasakan
gejala-gejala hiperaktivitas otonomik sebagai akibat dari kecemasan yang
dirasakannya. Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien melakukan kegiatan
berulang (kompulsi) untuk menghilangkan panik. Pada fobia harus ditemukan
objek tertentu yang dihindari atau menimbulkan panik. Pada gangguan stress pasca
trauma, kecemasan berhubungan dengan trauma yang terjadi pada pasien,
sedangkan pada gangguan panik biasanya berhubungan dengan aktivitas sehari-
hari.
1,2,3

2.7 TERAPI
2.7.1 Farmakoterapi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan
panik, yakni golongan SSRI, trisiklik, dan MAOI (Monoamine oxidase inhibitor).
Sedangkan golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontroversial
dalam terapi gangguan panik. 5,7

1. Golongan SSRI (Serotonin-selective reuptake inhibitors)


Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya dimulai dalam
rentang 2 minggu sejak serangan panik terjadi karena SSRI dapat memicu serangan
panik pada pemberian awal. Oleh karena itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil
lalu ditingkatkan secara perlahan di setiap kesempatan follow up berikutnya.

12
Mekanisme Kerja SSRI
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular dengan
cara menghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel presinaptik
sehingga ada lebih banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan dengan
reseptor sel post-sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik
terhadap transporter monoamin yang lain, seperti pada transporter noradrenaline
dan dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah terhadap kedua reseptor tersebut
sehingga efek sampingnya lebih sedikit.7,8

SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki desain obat
rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target biologi
tertentu dan memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu SSRI
digunakan secara luas di hampir semua negara sebagai lini pertama pengobatan
antipanik.
7,8

SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat ditingkatkan
secara bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis SSRI yang dikenal saat ini
memiliki efektifitas yang baik dalam menangani gangguan panik. Salah satunya,
Fluoxetine dalam tablet salut memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga
cocok digunakan untuk pasien yang kurang patuh minum obat. Selain itu waktu
paruh yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawl yang dapat terjadi ketika
pasien lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI. 2,5

Contoh Obat Golongan SSRI 1,2

• Fluoxetine
Fluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan
efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinephrine
atau dopamine.
• Paroxetine
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya
merupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan
memiliki efek yang lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.

13
• Sertraline
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah pada
reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
• Fluvoxamine
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake
serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik,
histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit
dibanding obat-obatan jenis trisiklik.
• Citalopram
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif reuptake
serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik obat ini lebih
sedikit.
• Escitalopram
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya mirip
dengan citalopram.
Efek Samping SSRI
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika tubuh
mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang timbul
pada fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu
ketika obat mulai mendekat potensi terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek
samping SSRI antara lain: anhedonia, insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi
urin, perubahan pada perilaku seksual, penurunan berat badan, mual, muntah dan
yang ditakutkan adalah efek samping keinginan bunuh diri dan meningkatkan
perasaan depresi pada awal pengobatan. 7,8

2. Golongan Tricyclic/Trisiklik
Golongan trisiklik zat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan untuk
mengatasi depresi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan pilihan
pertama untuk terapi depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang
tinggi, namun saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan
antidepresan lain yang terbaru. 7,8

14
Beberapa golongan trisiklik memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya cukup
1x/hari, rendah risiko ketergantungan, dan tidak perlu ada pantangan makanan.
Namun 35% penggunanya langsung menghentikan pengobatan karena efek
samping yang tidak menyenangkan. Golongan trisiklik harus dimulai dengan dosis
kecil untuk menghindari amphetamine like stimulation. Biasanya pengobatan
dengan menggunakan trisiklik membtuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk
mencapai respon terapi. 2

Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau panik
yang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik tidak
menyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang
lama. Hanya saja kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya biasanya
mendahului efek terapi sehingga banyak pasien yang justru segera menghentikan
pengobatan meskipun efek terapinya belum tercapai. 1,2

Mekanisme Kerja Trisiklik


Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI (serotonin-
norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok transporter serotonin dan
norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter ekstraseluler yang
dapat bereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali tidak bereaksi
terhadap transporter dopamin sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin
seperti halusinasi dapat berkurang. 7,8

Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga


bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT (5-HT and 5-HT ), 5-HT ,
2 2A 2C 6

5-HT , α -adrenergic, reseptor NMDA, dan sebagai agonists pada sigma receptors
7 1

(σ and σ ), yang memberikan kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya.
1 2

Trisiklik juga dikenal sebagai antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat
bereaksi dengan reseptor histamine dan asetilkolin muskarinik. 8

Kebanyakan trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium,


sehingga dapat bekerja seperti obat-obatan natrium channel blocker dan calcium
channel blocker. Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan
kardiotoksik. 7,8

15
Contoh Obat Trisiklik 1,2

• Imipramine
Imipramine menghambat reuptake norepinephrine dan serotonin pada neuron
presinaptikin.
• Desipramine
Desipramine dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine pada celah
sinaptik SSP dengan cara menghambat reuptakenya di membran presinaptik.
Hal ini dapat menyebabkan efek desensitasi pada adenyl cyclase, menurunkan
regulasi reseptor beta-adrenergik, dan regulasi reseptor serotonin.
• Clomipramine
Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin sedangkan efeknya pada
uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi metabolitnya,
desmethylclomipramine.
Efek Samping Trisiklik 7,8

Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang berkaitan
dengan antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut kering, hidung
kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan
peningkatan temperatur tubuh.
Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit tidur,
akathisia, hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis.
3. MAO Inhibitor
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis
antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada masa lalu
golongan ini digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang sudah
resisten terhadap golongan trisiklik.7

MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai


agoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan
penyakit parkinson karena target dari obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam
timbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson. 7,8

Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah dan
efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik.

16
MAOI lebih efektif dibandingkan obat trisiklik, dan laporan anekdotal
menyatakan bahwa pasien yang tidak berespon terhadap trisiklik kemungkinan
berespon terhadap MAOI. 7

Cara Kerja MAOI


MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase,
sehingga ini dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitters dan
meningkatkan availabilitasnya. Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan
MAO-B. MAO-A berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine
and norepinephrine. Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine and
trace amines. Dopamine dideaminasi oleh keduanya. 7

Contoh Obat MAOI 1,2

• Phenelzine (Nardil)
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering digunakan dalam
mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan melalui superioritas yang
jelas terhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk mengatas
gangguan panik. Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon
terhadap obat golongan trisiklik atau obat antidepresi golongan kedua.
• Tranylcypromine (Parnate)
Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan secara
ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan
meningkatkan availabilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI 7,8

Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine. Sehingga


ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat menderita
krisis hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga, maka hal
ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang dibutuhkan
hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap individu.
Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis
hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan tiramin
menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini
norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran

17
norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis hipertensi. Teori lain menyatakan
bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang menyebabkan krisis hipertensi.
Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan yang
difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-kacangan.
Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.
4. Golongan Benzodiazepin
Pemakaian benzodizepin untuk gangguan panik adalah terbatas karena
permasalahan tentang ketergantungan, gangguan kognitif dan penyalahgunaan.
Tetapi benzodizepin efektif dalam gangguan panik dan mungkin memiliki onset
yang lebih cepat (onset mencapai satu sampai dua minggu, mencapai puncak
setelah empat sampai delapan minggu) dibandingkan farmakoterapi lainnya. 7

Cara Kerja Benzodiazepin 7,8

Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter


GABA (gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga
dapat menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot
dan dapat mengakibatkan amnesia.
Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate acting dan
long acting. Benzodiazepin short- dan intermediate acting digunakan untuk
mengatasi insomnia sedangkan yang golongan long-acting digunakan untuk
mengatasi gangguan panik.
Contoh Obat Benzodiazepin 1,2

• Lorazepam
Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek onset singkat
dan paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan meningkatkan aksi
GABA, yang merupakan inhibitor utama di otak, lorazepam dapat menekan
semua kerja SSP, termasuk sistem limbik dan formasi retikuler.
• Clonazepam
Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter inhibitorik lainnya.
Selain itu, obat ini memiliki waktu paruh yang relatif panjang sekitar 36 jam.

18
• Alprazolam
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen serangan panik. Obat
ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa bagian otak, termasuk
sistem limbik dan RES. Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan
penggunaan alprazolam dalam waktu lama karena tingkat ketergantungannya
sangat tinggi.
• Diazepam
Diazepam merupakan salah satu jenis benzodiazepin yang potensinya rendah.
Namun dapat digunakan untuk mengatasi serangan panik.
Efek Samping Benzodiazepin
Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin biasanya
berkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa di antaranya adalah
mengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan kewaspadaan. Kurangnya
koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan kecelakaan, terutama pada orang tua.
Akibat lain dari benzodiazepin adalah penurunan kemampuan menyetir sehingga
dapat berakibat pada tingginya angka kecelakaan.
Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat pernapasan
terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain yang dapat
timbul pada penggunaan benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera
makan, pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk.
Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik. 7,8

5. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors


Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini adalah
mencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat mengatasi
kepanikan. 7

Contoh Obat
• Venlafaxine
Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat inhibitor reuptake
serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah menurunkan
regulasi reseptor beta.

19
Tabel 3. Sediaan obat anti-panik dan dosis anjuran
No Nama Generik Golongan Sediaan Dosis Anjuran
1. Imipramine Trisiklik Tab. 25 mg 75-150 mg/hari
2. Clomipramine Tab. 25 mg 75-150 mg/hari
3. Alprazolam Tab. 0,25-0,5-1 3x 0,25-0,5 mg/hari
mg
4. Diazepam Tab. 25 mg Peroral 10-30
Benzodiazepin mg/hari, 2-3x/hari,
Parental IV/IM 2-
10 mg/kali, setiap
3-4 jam
5. Klordiazepoksoid Tab. 5 mg 15-30 mg/hari
Caps. 5 mg 2-3 x/hari
6. Lorazepam Tab. 0,5-2 mg 2-3x 1 mg/hari
7. Clobazam Tab. 10 mg 2-3x 10 mg/hari
8. Brumazepin Tab. 1,5-3-6 mg 3x 1,5 mg/hari
9. Oksazolom Tab. 10 mg 2-3x 10 mg/hari
10. Klorazepat Caps. 5-10 mg 2-3x 5 mg/hari
11. Prazepam Tab. 5 mg 2-3x 5 mg/hari
12. Moclobemide RIMA Tab. 150 mg 300-600 mg/hari
(Reversible
Inhibitor of
Monoamine
Oxydase-A)
13. Sertraline Tab. 50 mg 50-100 mg/hari
14. Fluoxetine SSRI (Selective Caps. 10-20 mg 20-40 mg/hari
15. Parocetine Serotonine Tab. 20 mg 20-40 mg/hari
16. Fluvoxamine Reuptake Tab. 50 mg 50-100 mg/hari
17. Citalopram Inhibitor) Tab. 20 mg 20-40 mg/hari
18. Buspiron Obat lain Tab. 10 mg 15-30 mg/hari

20
Interaksi Obat
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai interaksi obat yang dapat
terjadi. Obat anti-panik trisiklik (Imipramine/Clomipramine) bila diberikan
bersamaan dengan haloperidol (phenothiazine) dapat mengurangi kecepatan
ekskresi dari trisiklik sehingga kadar dalam plasma meningkat, sebagai akibatnya
dapat terjadi potensiasi efek samping antikolinergik seperti ileus paralitik, disuria,
gangguan absorbsi dan lain-lain.
Obat trisiklik/SSRI bila diberikan bersamaan dengan CNS depressant (alkohol,
opioid, benzodiazepine, dll) menyebabkan potensiasi efek sedasi dan penelanan
terhadap pusat pernapasan bahkan dapat terjadi gagal napas.
Obat trisklik/SSRI dan obat simpatomimetik (derivat amfetamin) bila
diberikan bersamaan dapat membahayakan kondisi jantung.
Obat trisiklik/SSRI dan MAOI tidak boleh diberikan bersamaan karena dapat
terjadi Serotonin Malignant Syndrome. Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI
menjadi MAOI atau sebaliknya harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu untuk
wash out period.
Obat trisiklik bila diberikan bersama SSRI, dapat meningkatkan toksisitas obat
trisiklik.
1,4,9,10

Respons dan Durasi Farmakoterapi


Jika pasien gagal memberikan respons terhadap salah satu golongan obat,
golongan obat lain harus dicoba. Data terkini menyokong efektivitas venfalaxine.
Kombinasi SSRI atau obat trisiklik dan benzodiazepin atau SSRI dan litium atau
obat trisiklik dapat dicoba. Beberapa laporan kasus menunjukkan efektivitas
karbamazepin, valproat, dan calcium channel blocker yang mengesankan. Buspiron
dapat memiliki peran dalam memperkuat obat lain tetapi efektivitasnya kecil.
Ketika efektif, terapi farmakologis umumnya harus diteruskan selama 8-12
bulan. Data menunjukkan bahwa gangguan panik adalah gangguan kronis yang
mungkin dapat terjadi seumur hidup dan akan kambuh jika terapi dihentikan
mendadak. Studi melaporkan bahwa 30-90 % yang mengalami keberhasilan terapi
mengalami kekambuhan ketika obatnya dihentikan. 1, 2

21
2.7.2 Psikoterapi
A. Terapi Kognitif dan Perilaku
Terapi kognitif dan perilaku merupakan terapi yang efektif untuk gangguan
panik yang memerlukan usaha serta kerjasama dari terapis dan individu itu sendiri.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa psikoterapi ini mengungguli terapi secara
farmakologis, beberapa yang lain mengatakan hal yang sebaliknya. Tetapi
kombinasi farmakologi dan psikoterapi lebih efektif dibandingkan terapi itu secara
tersendiri. Dua fokus utama terapi kognitif gangguan panik adalah instruksi
mengenai keyakinan salah pasien dan informasi mengenai serangan panik. Instruksi
mengenai keyakinan yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk salah
mengartikan sensasi tubuh ringan sebagai tanda khas akan terjadinya serangan
panik, ajal atau kematian. Informasi mengenai serangan panik mencakup penjelasan
bahwa, ketika serangan panik terjadi, serangan ini terbatas waktu dan tidak
mengancam nyawa. 2

Terapi ini secara tidak langsung mengajak individu untuk membentuk kembali
pola perilaku menjadi lebih rasional serta restrukturisasi kognitif. Individu dilatih
untuk membuat daftar pengalaman harian serta cara individu dalam menyikapi
berbagai peristiwa yang dialami dan dilakukan evaluasi setiap kali pertemuan. Pada
sebuah penelitian mengenai perbandingan terapi kognitif dan perilaku dengan terapi
perilaku itu sendiri, diperoleh fakta bahwa terapi kognitif dan perilaku, keduanya
menjadi kombinasi terapi yang lebih unggul secara bersama-sama dibandingkan
dengan terapi perilaku secara tunggal.11

B. Terapi Relaksasi
Terapi ini bermanfaat secara relatif cepat untuk meredakan serangan panik dan
menenangkan individu. Tujuan terapi relaksasi adalah memberikan pasien rasa
kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Teknik dasar menggunakan terapi
relaksasi otot dan membayangkan situasi yang membuat santai, sehingga pasien
menguasai teknik yang dapat membantu saat terjadi serangan panik. Individu
diperkenalkan kepada sensasi ketegangan dan sesudah itu sensasi relaks. Individu
harus bisa membedakan antara sensasi saat panik dengan sensasi relaks. 1

22
Relaksasi dapat berfungsi sebagai teknik tunggal atau sebagai kombinasi
bersama terapi lainnya, seperti terapi perilaku dan desentisasi sistematik. Sebelum
dilakukan terapi relaksasi, individu perlu dipersiapkan dan diberi penjelasan yang
cukup agar dapat bekerja sama dan memfokuskan dirinya untuk melakukan
relaksasi itu sendiri. Teknik relaksasi ini sebaiknya tidak digunakan untuk keadaan
asma bronkial, pasien dengan psikosis akut, depresi agitatif atau yang mudah
terkena disosiasi. Pada permulaan terapi relaksasi pada gangguan panik dapat
timbul ansietas yang diinduksi oleh relaksasi itu sendiri. 2

C. Pelatihan Pernapasan
Karena hiperventilasi yang berhubungan dengan serangan panik mungkin
berkaitan dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, satu pendekatan
langsung untuk mengendalikan serangan panik adalah melatih pasien
mengendalikan dorongan untuk melakukan hiperventilasi. Setelah pelatihan seperti
itu, pasien dapat menggunakan teknik untuk membantu mengendalikan
hiperventilasi selama serangan panik. 2

D. Pajanan In Vivo
Pajanan in vivo dahulu merupakan terapi perilaku lazim untuk gangguan panik.
Teknik ini meliputi pemajanan pasien terhadap stimulus yang ditakuti yang
semakin lama semakin berat: dari waktu ke waktu pasien menjadi mengalami
desensitisasi terhadap pengalaman tersebut. Dahulu, fokusnya adalah pada stimulus
eksternal; baru-baru ini, teknik ini telah mencakup pajanan sensasi internal yang
ditakuti pasien (contohnya, takipnea dan rasa takut mengalami serangan panik). 12

E. Psikoterapi Dinamik
Psikoterapi dinamik merupakan sebuah terapi psikiatri yang diterapkan dari
teori Sigmund Freud. Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas yang
tidak disadari telah dihipotesiskan, simbolis situasi yang dihindari, kebutuhan untuk
menekan impuls dan keuntungan sekunder gejala tersebut. Individu diajak untuk
lebih memahami diri dan lingkungannya (berdasarkan tilikan), bukan hanya
sekedar menghilangkan gejalanya semata. 13

Pengalaman traumatik yang terutama terjadi pada awal kehidupan dapat


menimbulkan konflik psikologis. Sebagian besar aktivitas mental dipengaruhi oleh

23
alam bawah sadar dan pikiran sadar dilindungi dari pengalaman konflik dengan
mekanisme yang dirancang untuk mengurangi kecemasan. Mekanisme tersebut
berkembang dalam kehidupan dewasa dan menghasilkan gejala psikologis atau
kurangnya kemampuan untuk pertumbuhan dan pemenuhan personal. Keluarga
individu dan hubungan pribadi sebelumnya dapat bermakna dalam mencapai tujuan
psikoterapi itu sendiri, yaitu pemahaman dan perubahan pada individu. Pada sebuah
penelitian, penerapan psikoterapi dinamik dengan pemberian klomipramin
menunjukkan bahwa angka kekambuhan berkurang dibandingkan dengan terapi
klomipramin itu sendiri.
13

F. Terapi Keluarga
Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga mungkin telah
dipengaruhi oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada
edukasi dan dukungan sering bermanfaat. 2

G. Psikoterapi Kombinasi dan Farmakologi


Ketika farmakoterapi efektif menghilangkan gejala primer gangguan panik,
psikoterapi dibutuhkan untuk mengurangi gejala sekunder. Intervensi
psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar rumah. Di samping
itu, intervensi terapeutik dibutuhkan untuk beberapa pasien yang menolak obat
dikarenakan stigma ‘sakit jiwa’, sehingga pasien dapat mengerti dan
menghilangkan resistensi terhadap farmakoterapi. 2

2.8 PROGNOSIS
Gangguan panik biasanya memiliki onsetnya selama masa remaja akhir atau
masa dewasa awal, walaupun onset selama masa anak-anak, remaja awal, dan usia
pertengahan dapat terjadi. Biasanya kronik dan bervariasi tiap individu. Frekuensi
dan keparahan serangan panik mungkin berfluktuasi. Serangan panik dapat terjadi
beberapa kali dalam sehari atau tidak terjadi sama sekali dalam satu bulan. Namun
demikian kira-kira 30-40% pasien tampaknya bebas dari gejala jangka panjang,
kira-kira 50% memiliki gejala yang cukup ringan yang tidak mempengaruhi
kehidupannya secara bermakna dan kira-kira 10-21 % terus memiliki gejala yang
bermakna. 2

24
Depresi dapat mempersulit gambaran gejala pada kira-kira 40-80 % dari semua
pasien. Pasien dengan fungsi premorbid yang baik dan lama gejala singkat
cenderung memiliki prognosis yang baik. 2

Penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu: 10

a. Prognosis positif, apabila didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti:


onset terjadi pada usia yang lebih lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya
kehidupan yang relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang
sosial, pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara singkat,
munculnya gejala gangguan mood, adanya gejala positif, sudah menikah,
dan adanya sistem pendukung yang baik.
b. Prognosis negatif, dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan
seperti berikut: onset gangguan lebih awal, faktor pencetus tidak jelas,
riwayat kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase
prodromal terjadi cukup lama, adanya perilaku yang autistik, melakukan
penarikan diri, statusnya lajang, bercerai, atau pasangannya telah
meninggal, adanya riwayat keluarga yang mengidap skizofrenia,
munculnya gejala negatif, sering kambuh secara berulang, dan tidak adanya
sistem pendukung yang baik.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Gangguan panik adalah salah satu jenis gangguan cemas yang sering terjadi,
lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki. Penyebabnya sendiri dapat
multifaktorial baik dari organobiologik, psikososial, bahkan genetik. Gejala fisik
yang dapat muncul adalah gejala yang menyerupai gangguan pada sistem
kardiovaskular dan pernapasan, yaitu nyeri dada, berdebar-debar, keringat dingin,
hingga merasa seperti tercekik, nafas cepat dan pendek. Sementara gejala mental
yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat dan ancaman kematian. Gangguan
panik dapat timbul bersama gangguan mood, dengan gejala mood secara potensial
meningkatkan onset serangan panik. Gangguan panik juga bisa didiagnosis dengan
atau tanpa agoraphobia.
Tatalaksana yang dapat diberikan adalah kombinasi psikofarmaka dan
psikoterapi, untuk jangka panjang. Kombinasi dua terapi ini memberikan prognosis
yang lebih baik dan tingkat kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan hanya
dengan salah satu terapi. Tujuan utama penatalaksanaan gangguan panik adalah
untuk mengurangi atau mengeliminasi gejala serangan panik, mencegah dan
mengantisipasi ansietas serta mengatasi keadaan komorbid yang menyertainya.
Mengingat terdapatnya faktor psikososial, maka sangat penting untuk melakukan
edukasi dan pengarahan terhadap pihak keluarga. Prognosisnya bergantung dari
awitan, fungsi premorbid yang baik, dan durasi serangan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumadewi I, Elvira SD. 2017. Gangguan Panik dalam: Buku Ajar


Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia edisi ketiga. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.
2. Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi kedua.
Jakarta: EGC.
3. Departeman Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama. hal. 177-9.
4. Saddock BJ & Saddock VA. 2007. Panic disorder and agoraphobia. In:
Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Stein DJ, Hollander E, Rothbaum BO. 2009. Textbook of Anxiety Disorders.
Washington DC: American Psychiatric Publishing, Inc.
6. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
FK-Unika Atmajaya.
7. Lydiard RB, Johnson RH. 2011. Assessment and Management of
Treatment-Resistance in Panic Disorder. Focus psychiatry guideline. Vol
IX: No. 3.
8. Stein MB et al. 2009. Practice Guideline For The Treatment of Patients With
Panic Disorder. Second Edition. American Psychiatric Association
guideline.
9. Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited
on September 2018]. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1.
10. Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited on September
2018]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/287913-
overview.

27
11. Manjula M, Kumariah, V et al. 2009. Cognitive behavior therapy in the
treatment of panic disorder. Indian Journal of Psychiatry. Vol 51(2): 108-
110.
12. Elvira SD. 2017. Psikoterapi dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
13. Adikusumo A dan Elvira SD. 2017. Terapi Relaksasi dalam: Buku Ajar
Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia edisi ketiga. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI

28

You might also like