You are on page 1of 10

BAB III

PENATALAKSANAAN
3.1 Syok Hipovolemik
Manajemen syok hipovolemik harus dilakukan simultan antara menjaga stabilisasi A-B-C
dan mengatasi sumber perdarahan bila ada.
1. Pastikan jalan nafas dan pernafasan pasien dalam kondisi baik (Pa02 >80mmHg)
2. Tempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi dan lakukan resusitasi cairan segera
melalui akses intravena, kateter vena sentral, maupun jalur intraosseus. Pada situasi dengan
sarana terbatas, prosedur venaseksi dapat dilakukan pada vena safena magna untuk
mendapatkan akses vaskular.
3. Cairan yang diberikan adalah garam seimbang seperti ringer’s laktat (RL), bolus 2-4 L
dalam 20-30 menit. Penggunaan resusitasi dengan garam isotonus (NaCL 0,9%) harus
diwaspadai efek samping asidosis hiperkloremik.
4. Nilai ketat hemodinamik dan amati tanda-tanda perbaikan syok: tanda vital kesadaran,
perfusi perifer, urine output, pulse oxymetry, dan analisis gas darah. Kondisi asidosis, pada
dewasa sering akibat perfusi yang buruk, biasanya akan membaik sendiri setelah resusitasi.
Terapi bikarbonat jarang digunakan.
5. Atasi sumber perdarahan. Hemostasis darurat secara operatif diperlukan apabila terjadi
perdarahan masif (>40%). Kemungkinan adanya perdarahan harus selalu dicurigai apabila
gangguan hemodinamik masih belum dapat teratasi.
6. Kehilangan darah dengan kadar hemoglobin (Hb) <10 g/dL perlu penggantian dengan
transfusi, pastikan sediaan yang telah menjalani uji cross-match (uji silang) sebelumnya.
Pada kondisi sangat darurat, transfusi packed red cell (PRC) sesuai golongan darah dapat
diberikan, atau pemberian PRC golongan darah O dan rhesus negatif ( harus memenuhi
keduanya) hanya direkomendasikan pada pasien yang golongan darahnya tidak dapat
diketahui. Bila tersedia, analisa golongan darah harus diprioritaskan dahulu misalnya
dengan metode aglutinasi sederhana. Selalu, pertimbangkan antara manfaat dan risiko
transfusi darurat ini dalam situasi emergensi. Setelah perdarahan berhasil diatasi dan pasien
stabil, pertimbangkan penghentian transfusi setelah Hb >10 g/dL.
7. Pada kondisi hipovolemia yang berat dan berkepanjangan, pertimbangkan dukungan
inotropik dengan dopamin, vasopresin, atau dobutamin untuk meningkatkan kekuatan
ventrikel setelah volume darah dicukupi terlebih dahulu.

3.1 Syok Kardiogenik


Prinsip penangan syok kardiogenik (gagal pompa) harus memperhatikan hal-hal berikut
dimana terapi dilakukan bersama dengan perbaikan frekuensi jantung dan volume intravaskular.
Kemudian koreksi penyulit seperti hipoksia, hipoglikemia, keracunan obat. Perbaiki kontraksi baik
dengan medikamentosa, alat bantu mekanik, atau pembedahan.
1. Pastikan airway dan breathing stabil. Posisikan pasien setengah duduk, pasang akses vena
dan kateter urin, serta berikan O2 hingga 8 L/menit melalui nasal canul.
2. Lakukan pemeriksaan EKG, atau echocardiography untuk memastikan diagnosis dan
etiologi. Bila terjadi hipotensi berat pada syok kardiogenik dapat dimungkinkan untuk
dilakukan pemasangan kateter arteri pulmonalis (Swan-Ganz) untuk melihat tekanan
pengisian dan curah jantung.
3. Namun apabila syok masih diragukan sebagai kardiogenik atau hipovolemia dapat
dilakukan fluid challenge test yaitu dengan memberikan cairan Ringer laktat 500 mL dalam
10 menit, lalu nilai tanda-tanda perfusi jaringan. Jika terjadi perbaikan, maka syok terjadi
karena hipovolemia dan sebaliknya untuk syok kardiogenik. Pemasangan CVP juga dapat
dilakukan sebagi pedoman pemberian cairan (fluid challenge test) yang adekuat secara
parenteral untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam
penanganan syok kardiogenik.
4. Terapi medikamentosa, meliputi pemberian inotropik dan vasopresso. Norepinefrin dapat
dipilih pada kasus hipotensi yang sangat berat. Hindari penggunaan inotropik negatif dan
vasodilator (termasuk nitrogliserin) pada kasus syok.
5. Apabila belum terdapat perbaikan secara adekuat, pertimbangkan intervensi mekanik
seperti intra-aortic ballon counterpulsation (IABP). Balon pada IABP akan
mengembangkan balon saat fase diastolik (perfusi ke koroner meningkat melalui aliran
retrogade), dan mengempis saat fase sistolik (mengurangi afterload melalui efek vakum
pada balon).
6. Pada syok kardiogenik akibat infark miokardium, pertimbangkan prosedur reperfusi segera
dengan fibrinolitik, percutaneous coronary intervention (PCI), atau coronary artery bypass
grafting (CABG).

3.3 Syok Distributif


3.3.1 Syok Septik
Manajemen sepsis berat harus dilakukan sesegera mungkin dalam periode emas (golden
hours) 6 jam pertama. Strategi terapi sepsis berat mencakup tiga hal berikut yaitu resusitasi awal
dan kontrol infeksi, terapi dukungan hemodinamik, serta terapi suportif lainnya.
Resusitasi Awal dan Kontrol Infeksi
1. Resusitasi cairan dalam 6 jam pertama, berikan sesegera mungkin pada kondisi hipotensi
atau peningkatan laktat serum >4 mmol/L. Resusitasi menggunakan cairan fisiologis, baik
kristaloid (NaCL, Ringer laktat) maupun koloid. Berikan cairan kristaloid minimal 30
Ml/KgBB bolus cepat selama 30 menit dengan prinsip fluid challenge test. Volume yang
lebih besar dan cepat dapat diberikan bila terjadi hipoperfusi jaringan. Kecepatan
pemberian harus dikurangi apabila tekanan pengisian jantung meningkat tanpa adanya
perbaikan hemodinamik. Catatan khusus diberikan pada pasien yang beresiko acute lung
injury/acute respiratory distress syndrome (ALI/ARDS): cairan harus dibatasi, serta
dilakuakan peninggian posisi tungkai secara pasif sewaktu melakukan flui challenge test.
Albumin boleh diberikan setelah pasien mendapatkan cairan kristaloid dalam jumlah yang
adekuat. Target resusitasi CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg. Produksi urin > 0,5
Ml/KgBB/jam, saturasi oksigen vena cava superior (ScvO2) atau vena campuran/mixed
vein (SvO2) 65-70% serta normalisasi kadar laktat serum.
2. Pemberian antibiotik diberikan sesuai etiologi berdasarkan hasil kultur darah seharusnya
diambil sebelum terapi antibiotik, bila memungkinkan (maksimal 45 menit, antibiotik
empiris harus diberikan). Kultur dilakukan secara duplo, masing-masing menggunakan
satu botol aerob dan satu botol anaerob, serta diambil secara perkutaneus dan dari akses
vaskular. Antibiotik empiris dalam jam pertama. Lokasi dan sumber infeksi merupakan
pertimbangan utama dalam menentukan antibiotik empiris. Terapi empiris diberikan dalam
durasi terbatas 7-10 hari, atau lebih lama bila ada fokus infeksi yang sulit dicapai oleh obat
atau kondisi imunodefisiensi. Kontrol sumber infeksi, lokasi anatomis infeksi harus
ditemtukan dan diintervensi dalm 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Bila perangkat
akses vaskular yang dicurigai sebagi sumber infeksi, lakukan penggantian segera.
Terapi dukungan Hemodinamik
1. Pemberian agen vasopresor dan inotropik. Vasopresor diberikan untuk menjaga tekanan
arteri rerata MAP >65mmHg dan inotropik diberikan pada pasien dengan disfungsi
miokardium (peninggian tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah).
Vasopresor pilihan pertama ialah norepinefrin. Pemberian epinefrin dapat ditambahan
bahkan setelah norepinefrin dapat dipertimbangkan untuk menjaga tekanan darah tetap
adekuat. Vasopressin dosis 0,03 U/ menit dapat ditambahakan pada norepinefrin untuk
meningkatkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin. Penggunaan dopamin sebagai
vasopressor alternatif norepinefrin hanya diberikan pada pasien tertentu, seperti resiko
rendah mengalami takiaritmia, bradikardia absolut atau relatif.
2. Kortikosteroid yaitu pemberian hidrokortison intravena (dosis 50 mg setiap 6 jam selama
7 hari) banyak direkomendasikan bagi pasien dewasa dengan syok septik yang tidak
mengalami perbaikan tekanan darah setelah resusitasi cairan dan terapi vasopresor.
Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk mengobati sepsis tanpa adanya kejadian syok,
kecuali adanya riwayat penyakit endokrin atau pemakaian steroid sebelumnya.
Terapi Suportif Lainnya
1. Transfusi darah (PRC) diberikan bila Hb <7,0 g/dL. Target transfusi ialah Hb 7,0-9,0 g/dL
pada dewasa. Pada kasus sepsis berat transfusi trombosit diberikan apabila jumlah
trombosit <5000/mm3 tanpa adanya perdarahan, atau adanya perdarahan dengan jumlah
trombosit 5000-30000/mm3 seringkali dibutuhkan untuk keperluan operasi atau prosedur
invasif. Penggunaan eritropoetin maupun fresh frozen plasma tidak direkomendasi untuk
pemberian rutin tanpa adanya indikasi khusus.
2. Manajemen nutrisi, prioritaskan rute oral atau enterak, bila memungkinkan dalam 48 jam
pertama setelah diagnosis sepsis berat/ syok septik. Rute enteral ditambah intravena
glukosa juga lebih direkomendasikan daripada nutrisi parenteral total. Pemberian kalori
diberikan secara bertahap (500 kalori/hari), dan ditingkatkan bila memungkinkan. Hindari
pemberian nutrisi kalori tinggi pada minggu pertama.

3.3.2 Syok Anafilaktik


1. Pastikan airway dan breathing dalam kondisi baik. Bila pasien tampak sesak, mengi, atau
sianosis, berikan oksigen 3-6 L/menit dengan nasal kanul
2. Pasang akses vena untuk resusitasi cairan dan pemberian obat-obatan
3. Berikan epinefrin 1: 1000 sebanyak 0,3-0,5 IM pada sepertiga medial anterolateral paha.
Rute pemberian alternatif ialah subkutan. Lokasi alternatif lainnya ialah lengan atas.
Tinggikan posisi tungkai/ lengan atas. Tinggikan posisi tungkai/ lengan bila
memungkinkan. Dosis dapat diulang 5-15 menit berikut apabila belum ada perbaikan
klinis.
4. Monitor tanda vital dan hemodinamik setiap 15 menit, terutama pada orangtua.
Apabila tekanan darah semakin turun (hipotensi)
1. Pastikan pasien dalam posisi tredelenburg
2. Berikan resusitasi cairan secara agresif bolus 1000mL, cairan isotonis salin normal yang
dititrasi hingga tekanan sistolik >90mmHg
3. Apabila gejala klinis belum membaik atau hipotensi berulang, berikan epinefrin 1: 10000
dengan dosis 0,3- 0,5 mL IV perlahan atau pertimbangkan pemberian infus epinefrin
0,0025-0,1/mcg/KgBB/menit
4. Apabila hipotensi belum juga teratasi berikan infus norepinefrin 0,05- 0,5/mcg/menit atau
dopamin HCL 2-10/ mcg/KgBB/menit. Injeksi dititrasi untuk menjaga tekanan darah tetap
stabil.
Pada pasien dengan sesak hebat, curigai adanya spasme bronkus atau edeme saluran napas
1. Bila disertai spasme bronkus, berikan tambahan inhalasi b-2 agonis, seperti albuterol 0,5
mL dalam NaCl 0,9% 2,5 Ml selama 15-30 menit.
2. Bila spasme menetap. Berikan aminofilin 5,5 mg/KgBB yang dilarutkan dalam NaCl 0,9%
10 Ml, diberikan perlahan-lahandalam 20 menit (bila pasien tiak menggunakan teofilin
rutin. Bila perlu lanjutan rumatan infus aminofilin 0,2-1,2 mg/KgBB.
3. Pemberian kortikosteroid IV dapat membantu apabila gejala belum membaik dalam 1-2
jam terapi.
4. Bila edem saluran nafas atas, pertimbangkan intubasi endotrakeal.
Pada pasien dengan urtikaria dan angioedema, dapat ditambahkan antihistamin, seperti
Difenhidramin HCL 50 mL dengan dosis 25-50 mg IV atau IM.
3.3.3 Syok Neurogenik
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasopressor seperti fenilefrin
dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena
kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut. Kemudian konsep
dasar berikutnya adalah dengan penggunaan prinsip A(airway) - B(breathing) - C(circulation) dan
untuk selanjutnya dapat diikuti dengan beberapa tindakan berikut yang dapat membantu untuk
menjaga keadaan tetap baik (life support), diantaranya:
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang
berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus
secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan
darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif
(adrenergik, agonis alfa yang kontraindikasi bila ada perdarahan seperti ruptur lien).
Dopamin merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa
dengan norepinefrin dan jarang terjadi takikardi. Norepinefrin efektif jika dopamin tidak adekuat
dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah
jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan,
diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik
karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi).
Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat
ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
Epinefrin pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme
cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung,
sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok
hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh
diberikan pada pasien syok neurogenik. Dobutamin berguna jika tekanan darah rendah yang
diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Pasien-pasien yang diketahui atau diduga mengalami
syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan
vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan.

3.4 Syok Obstruktif


Penanganan syok obstruktif bertujuan untuk menghilangkan sumbatan; dapat dilakukan
sebagai berikut:
1. Pemberian cairan kristaloid isotonik untuk mempertahankan volume intra-vaskuler
2. Pembedahan untuk mengatasi hambatan/obstruksi sirkulasi14

- Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam penanganan syok
kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara parenteral dengan menggunakan
pedoman CVP. Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi dianjurkan
untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara
sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan
syok kardiogenik. Caranya :
- Bila CVP < 12 mmH2O, sulit untuk mengatakan adanya pump failure dan sebelum
penanganan lebih lanjut, volume cairan intravaskular harus ditingkatkan hingga LVEDP
mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml
cairan melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respons, berupa peningkatan tekanan
darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak
ada atau tidak semakin berat, maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam
waktu 10 menit.
- Bila selanjutnya CVP tetap < 15 cmH2O, tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau
tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus dilanjutkan
dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai tekanan darah dan gejala klinis syok
lain menghilang. Periksa CVP, tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan CVP
meningkat sampai 15 cmH2O.
- Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai CVP awal 12-18 cmH2O, maka diberikan
infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari
peningkatan CVP, perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru.
- Jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih, maka tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan
intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator.
- Jika nilai CVP < 5 cmH2O , infus cairan dapat diberikan walau didapatkan edema paru
akut.
- Jika pasien menunjukkan adanya edema paru dan dalam penanganan dengan pemberian
infus cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan klinis,
maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.
1. Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Jurnal kesehatan andalas. 2013; 2 (3): h. 178-82.
2. Leksana E. Dehidrasi dan Syok. CDK-228. 2015; vol. 42 (5): h. 391-94
3. Harahap S, Dalimunthe N, Isnanta R, Safri Z, Hasan Z, Ginting G. Syok Kardiogenik,.
Diunduh dari :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63387/041%20.pdf?sequence=1
Pada tanggal 22 September 2017.
4. Alwi Idrus, 2014, Syok Kardiogenik, Syok Hipovolemik, Syok Septik, Syok Anafilatik,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Ed. V, Interna Publising: Jakarta. Hal. 245-251.
5. Vincent JL, De Backer D. Circulatory shock. N Engl J Med. 2013;369(18):1726-34
6. Smith, Kristen, Bigham, Michael T. Cardiogenic Shock. The Open Pediatric Medicine
Journal, 2013, 7, (Suppl 1: M5) 19-27
7. Worthley L. Shock: Review of Pathophysiology and Management, Department of
medical critical care, Flinders Medical Centre, Adelaide, South Australia. Critical Care
and Resuscitation. 2000; 2: 55-65
8. Kurniawan B, Pradian E, Nawawi M. Lactate Clearance sebagai Prediktor Mortalitas
pada Pasien Sepsis Berat dan Syok Septik di Intesive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. JAP. 2017, April; vol 5 (1). h. 45-50
9. Reaksi Anafilaktik. BADAN POM RI (Buletin Berita MESO). 2014, November; Vol
32 (2). h. 6-10.
10. Lieberman P, Richard A. Nicklas, Oppenheimer J, MD, Stephen, Lang D. The diagnosis
and management of anaphylaxis practice parameter: 2010 Update. J Allergy clin Immunol.
2010; vol 126 (3). 477-80.
11. Mack E. Neurogenic Shock. The Open Pediatric Medicine Journal, 2013; 7 (Suppl 1: M4)
16-18

DAFPUS
2. Noer HMS, Waspadi, Rachman AM. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1. Alwi Idrus, 2014, Syok Kardiogenik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Ed. V, Interna
Publising: Jakarta. Hal. 245-251.
2. Smith, Kristen, Bigham, Michael T. Cardiogenic Shock. The open pediatric medicine journal,
2013, http://www.benthamscience.com diakses tanggal 03 April 2017.
3. Worthley L.I.G, Shock: Review of Pathophysiology and Management, Department of medical
critical care, Flinders Medical Centre, Adelaide, South Australia,
http://cicm.org.au//jurnal//2000 diakses tanggal 03 April 2017.
4. Trisnohadi HB. Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
5. Santoso T, 2007, Intervensi Koroner Percutan: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 1505-1509.
6. Price Sylvia, 2007, Disfungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Srikulasi: Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Hal 641.
7. Vincent JL, De Backer D. Circulatory shock. N Engl J Med. 2013;369(18):1726-34
8. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.

You might also like