Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
P07120015095
2. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid
merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
a. Defisiensi yodium. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering
terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung
iodium, misalnya daerah pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang mengahambat sintesa hormon tyroid
1) Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (substansi dalam kol, lobak, dan
kacang kedelai).
2) Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (Triocarbamide, sulfonylurea
dan litium).
c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tyroid pada umumnya ditemui pada masa
pertumbuhan, puberitas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi
dan stress lainnya. Dimana menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid yang
dapat bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut
(Brunicardi et al, 2010).
3. Klasifikasi
Struma dapat diklasifikasikan menjadi struma difusa non- toksik, struma
difusa toksik, struma nodusa toksik dan struma nodusa non-toksik. Dimana
istlah toksik dan nontoksik ini merujuk pada adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid (kelenjar tiroid aktif menghasilkan
hormone tiroid secara berlebihan) dan hipotiroid (produksi hormone tiroid
kurang dari kebutuhan tubuh). Sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih
berfokus kepada bentuk pembesaran kelenjar tiroid.
a. Struma diffusa ditandai dengan adanya pembesaran atau benjolan diseluruh
kelenjar tiroid (seakan terjadi pembesaran leher). Ada struma diffusa toksik
(disertai gejala hipertiroidisme) dan struma diffusa non toksik (tanpa tanda
dan gejala hipertiroidisme).
b. Struma nodusa ditandai dengan membesarnya sebagian dari kelenjar tiroid,
yang dimana benjolannya terlokalisir. Pembesaran tersebut ditandai dengan
benjolan di leher yang bergerak pada saat menelan. Nodul mungkin
tunggal, tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak
berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.
Karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat
menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita
dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa gangguan.
1) Struma nodusa toksik : kelenjar tiroid aktif menghasilkan hormon tiroid
sehingga produksinya berlebihan.
2) Struma nodusa non-toksik : kelenjar tiroid tidak aktif menghasilkan
hormon tiroid. sering tidak menampakkan gejala/keluhan karena pasien
tidak mengalami hipotiroidisme ataupun hipertiroidisme.
4. Manifestasi klinis
Pada penyakit Struma Nodosa Non Toksik (SNNT) terdapat beberapa
manifestasi klinis berupa :
a. Terdapat benjolan di daerah leher
b. Pembesaran kelenjar tyroid terjadi dengan lambat.
c. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat
mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esophagus tertekan
sehingga terjadi gangguan menelan.
d. Pasien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau
hipertirodisme.
e. Peningkatan metabolism karena pasien hiperaktif dengan meningkatnya
denyut nadi.
f. Peningkatan simpatis seperti ; jantung menjadi berdebar-debar, gelisah,
berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan
5. Komplikasi
a. Gangguan menelan atau bernafas
b. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung
kongestif ( jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)
c. Osteoporosis karena tubuh kekurangan kalsium
d. Komplikasi pembedahan :
1) Perdarahan
2) Masalah terbukanya vena besar dan menyebabkan embolisme udara.
3) Trauma pada nervus laryngeus recurrens.
4) Memaksa sekresi glandula ini dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi
dengan tekanan.
5) Sepsis yang meluas ke mediastinum.
6) Hipotiroidisme pasca bedah akibat terangkatnya kelenjar para tiroid.
7) Trakeumalasia (melunaknya trakea).
6. Patofisiologi
Kelenjar tiroid dikendalikan oleh tirotropin (TSH), yang disekresikan
oleh kelenjar pituitari, yang mana, pada gilirannya, dipengaruhi oleh tirotropin
releasing hormone (TRH) dari hipothalamus. TSH menyebabkan pertumbuhan,
diferensiasi sel, dan produksi hormon tiroid serta sekresinya oleh kelenjar tiroid.
Tirotropin bekerja pada reseptor TSH pada kelenjar tiroid. Hormon tiroid dalam
serum (levothyroxine dan triiodothyronine) menyebabkan feedback ke pituitari,
yang mengatur produksi TSH. Rangsangan pada reseptor TSH oleh TSH, TSH-
receptor antibodi, atau TSH receptor agonist, seperti chorionic gonadotropin,
bisa menyebabkan struma diffuse. Ketika sejumlah kecil sel tiroid, sel-sel
peradangan, atau sel-sel keganasan bermetastase ke tiroid, bisa terbentuk nodul
tiroid.
Kekurangan sintesis hormon tiroid atau kurangnya pemasukan
menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan
peningkatan jumlah sel dan hiperplasia dari kelenjar tiroid untuk menormalkan
kadar hormon tiroid. Bila proses ini terus terjadi, bisa terbentuk struma.
Penyebab kekurangan hormon tiroid bisa karena gangguan pada sintesisnya,
kekurangan iodium, dan goitrogen.
Struma bisa terbentuk dari sejumlah TSH receptor agonist. TSH receptor
merangsang TSH receptor antibodies, resistensi pituitari terhadap hormon tiroid,
adenoma dari kelenjar tiroid atau pituitari, dan tumor yang menghasilkan human
chorionic gonadotropin
7. Pathway
Produksi TSH ↓
Struma
e. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan biopsi jaringan dilakukan jika masih belum dapat
ditentukan diagnosis, jenis kelainan jinak atau ganas. Pemeriksaan patologi
anatomi merupakan standar baku untuk sel tiroid dan memiliki nilai akurasi
paling tinggi. Pengerjaan dengan teknik Biopsi Aspirasi dengan Jarum Halus
atau Fine Needle Aspiration Biopsi (BAJAH/FNAB) harus dilakukan oleh
operator yang sudah berpengalaman. Di tangan operator yang terampil, BAJAH
dapat menjadi metode yang efektif untuk membedakan jinak atau ganas pada
nodul soliter atau nodul dominan dalam struma multinodular. BAJAH
mempunyai sensitivitas sebesar 83% dan spesifitas 92%. Bila BAJAH
dikerjakan dengan baik maka akan menghasilkan angka negatif palsu kurang
dari 5% dan angka positif palsu hampir mendekati 1%.
f. Terapi Supresi Tiroksin
Salah satu cara meminimalisasi hasil negatif palsu pada BAJAH ialah
dengan terapi supresi TSH dengan tiroksin.
9. Penatalaksanaan
a. Konservatif/medikamentosa
Indikasi : pasien usia tua, pasien berada pada fase pengobatan sangat awal,
rekurensi pasca bedah, pada persiapan operasi, struma residif, pada
kehamilan (misalnya pada trimester ke-3).
1) Struma non toksik : iodium, ekstrak tiroid 20-30 mg/dl
2) Struma toksik :
a) Bed rest
b) Propilthiouracil (PTU) 100-200 mg. PTU merupakan obat anti-tiroid,
dimana bekerjanya dengan prevensi pada sintesis dan akhir dari
tiroksin. Obat ini bekerja mencegah produksi tiroksin (T4). Diberikan
dosis 3x 100 mg/hari tiap 8 jam sampai tercapai eutiroid. Bila
menjadi eutiroid dilanjutkan dengan dosis maintenance 2 x 5 mg/hari
selama 12-18 bulan.
c) Lugol 5 – 10 tetes. Obat ini membantu mengubah menjadi tiroksin
dan mengurangi vaskularisasi serta kerapuhan kelenjar tiroid.
Digunakan 10-21 hari sebelum operasi. Namun sekarang tidak
digunakan lagi, oleh karena propanolol lebih baik dalam mengurangi
vaskularisasi dan kerapuhan kelenjar. Dosis 3 x 5-10 mg/hari selama
14 hari.
b. Radioterapi
Menggunakan Iodium (I131), biasanya diberikan pada pasien yang telah
diterapi dengan obat anti-tiroid dan telah menjadi eutiroid. Indikasi
radioterapi adalah pasien pada awal penyakit atau pasien dengan resiko
tinggi untuk operasi dan untuk pasien dengan hipotiroid rekuren. Radioterapi
merupakan kontraindikasi bagi wanita hamil dan anak-anak.
c. Pembedahan
Pembedahan dilakukan dengan indikasi berupa : adanya pembesaran
kelenjar thyroid dengan gejala penekanan berupa gangguan menelan, suara
parau dan gangguan pernafasan, keganasan kelenjar tiroid, dan kosmetik.
Beberapa jenis pembedahan yang dilakukan adalah :
1) Isthmulobectomy , mengangkat satulobus kelenjar tiroid beserta isthmus
(struktur yang menghubungkan lobus kanan dan kiri dari kelenjar tiroid).
2) Lobectomy, mengangkat satu lobus, bila subtotal sisa 3 gram
3) Tiroidectomi total, semua kelenjar tiroid diangkat
4) Tiroidectomy subtotal bilateral, mengangkat sebagian lobus kanan dan
sebagian kiri.
5) Near total tiroidectomi, isthmulobectomy dextra dan lobectomy subtotal
sinistra dan sebaliknya.
6) Radical Neck Dissection (RND), mengangkat seluruh jaringan limfoid
pada leher sisi yang bersangkutan dengan menyertakan nervus
naccessories, vena jugularis eksterna dan interna, musculus
sternocleidomastoideus dan musculus omohyoideus serta kelenjar ludah
submandibularis
10. Pencegahan
a. Pemberian edukasi
Pemberian edukasi ini bertujuan merubah perilaku masyarakat, khususnya
mengenai pola makan dan memasyarakatkan penggunaan garam beriodium.
b. Pemberian kapsul minyak beriodium, terutama bagi penduduk yang berada
di wilayah endemic sedang dan berat.
c. Penyuntikan lipidol
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah
endemic, diberikan endemic 40%tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang
dewasa dan anak diatas enam tahun 1 cc, sedangkan yang usianya sedang
atau kurang dari enam tahun hanya diberikan 0,2 – 0,8 cc.
c. Pola Kebutuhan
1) Respirasi : biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek
dari anestesi, atau karena adanya darah dalam jalan nafas.
2) Aktivitas/ istirahat : insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat,
atrofi otot dan terjadinya gangguan pola tidur
3) Integritas ego : pasien mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik,
emosi labil, depresi yang dapat disebabkan karena kurangnya informasi yang
dimilikinya mengenai penyakit yang dideritanya.
4) Makanan/cairan : kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan
meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah,
pembesaran tyroid.
5) Rasa nyaman : pada pasien post operasi akan mengalami nyeri pada luka bekas
operasi. Selain nyeri, juga gangguan pada pemenuhan kebutuhan rasa nyaman
berupa adanya rasa mual (nausea) akibat peningkatan asam lambung yang
menjadi efek samping dari anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang
sejalan dengan efek anestesi yang hilang.
6) Rasa aman : pasien post operasi akan terjadi gangguan dalam pemenuhan rasa
aman karena pasien akan mengalami gangguan keseimbangan dan koordinasi
akibat dari efek dari pembedahan sehingga risiko jatuh pada pasien akan
meningkat.
7) Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : Baik
2) Kesadaran : Compos Mentis
3) Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu cenderung
meningkat.
4) Pemeriksaan Head to Toe
a) Wajah dan Mata : wajah tampak pucat, kantung mata (+), lingkaran mata
(+), konjungtiva anemis
b) Mulut : Mukosa mulut kering
c) Leher : pada pasien dengan pre operasi terdapat pembesaran kelenjar
tiroid yang ditunjukkan dengan adanya benjolan pada leher. Sedangkan pada
pasien post operasi biasanya didapatkan adanya luka operasi yang sudah
ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang
drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.
d) Dada : adanya pergerakan otot bantu pernafasan, bunyi nafas tambahan,
frekuensi nafas cenderung lebih cepat.
e) Ekstremitas: mengalami penurunan kekuatan otot yang menjadi efek dari
anastesi sehingga terjadi gangguan keseimbangan saat melakukan aktivitas.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagosa yang mungkin muncul dalam asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit SNNT antara lain :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan
nafas
b. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis
c. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
e. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuscular.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya nyeri
g. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
h. Risiko jatuh berhubungan dengan gangguan keseimbangan
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas1. Respiratory status : 1. Airway suction
Ventilation
tidak efektif a. Auskultasi suara nafas pasien
2. Respiratory status :
b. Monitor status oksigen pasien
berhubungan dengan
Airway patency c. Berikan oksigen apabila pasien
benda asing dalam jalan3. Aspiration Control
menunjukkan bradikardi,
nafas
peningkatan saturasi O2, dll.
Setelah dilakukan tindakan
asuhan keperawatan selama 2. Airway Management
3 x 24 jam diharapkan a. Buka jalan nafas, gunakan teknik
bersihan jalan nafas tidak chin lift atau jaw thrust bila perlu
b. Auskultasi suara nafas, catat
efektif dapat berkurang
adanya suara tambahan
atau hilang, dengan kriteria
c. Monitor respirasi dan status O2
hasil : d. Posisikan pasien untuk
a. Menunjukkan jalan memaksimalkan ventilasi
e. Identifikasi pasien perlunya
nafas yang paten
pemasangan alat jalan nafas buatan
(pasien tidak merasa
f. Atur intake untuk cairan
tercekik, irama nafas,
mengoptimalkan keseimbangan.
frekuensi pernafasan
dalam rentang normal,
tidak ada suara nafas
abnormal.
b. Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah factor
yang dapat
menghambat jalan
nafas
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan
data berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan sesudah
pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan
yang ditarik dari evaluasi menentukan menentukan apakah intervensi
keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan, atau diubah untuk memperbaiki
kekurangan dan memodifikasi rencana asuhan sesuai kebutuhan (Kozier, 2010).
Adapun beberapa evaluasi keperawatan yang ingin dicapai sesuai dengan
masalah keperawatannya antara lain :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam
jalan nafas. Kriteria hasil yang ingin dicapai dalam evaluasi keperawatan :
1) Pasien menunjukkan jalan nafas yang paten (pasien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak
ada suara nafas abnormal
2) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas
b. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis. Kriteria hasil yang
ingin dicapai dalam evaluasi keperawatan :
1) Pasien mengatakan rasa mual berkurang atau tidak mual lagi
2) Pasien mengatakan tidak muntah
3) Tidak ada peningkatan kelenjar saliva
c. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi. Kriteria hasil yang
ingin dicapai dalam evaluasi keperawatan :
1) Mampu mengindentifikasi dan mengungkapan (tanda dan gejala)
kecemasan.
2) Mengatakan kecemasan sudah berkurang yang dinyatakan verbal
maupun nonverbal.
3) Pasien tampak tenang dan adanya dukungan keluarga
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi).
Kriteria hasil yang ingin dicapai dalam evaluasi keperawatan :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang yang diekspresikan melalui verbal
dan non verbal
2) Mampu mengontrol nyeri dengan manajemen nyeri
e. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuscular.
Kriteria hasil yang ingin dicapai dalam evaluasi keperawatan:
1) Mampu berkomunikasi dengan menunjukkan ekspresi verbal dan atau
non verbal yang bermakna
2) Mampu mengkoordinasikan gerakan dalam menggunakan bahasa isyarat
3) Mampu mengontrol respon ketakutan dan kecemasan terhadap
ketidakmampuan berbicara
4) Mampu memanajemen kemampuan fisik yang dimiliki
5) Mampu menerima , memahami dan menyampaikan pesan
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya nyeri. Kriteria hasil yang
ingin dicapai dalam evaluasi keperawatan :
1) Pasien dapat tidur dengan tenang dan nyenyak
2) Jumlah tidur pasien sesuai dengan kebutuhan pasien (6-8 jam/hari)
g. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive. Kriteria hasil
yang ingin dicapai dalam evaluasi keperawatan :
1) Tidak tampak adanya tanda dan gejala infeksi
2) Jumlah leukosit dalam batas normal
3) Menunjukkan perilaku hidup sehat
h. Risiko jatuh berhubungan dengan gangguan keseimbangan. Kriteria hasil
yang ingin dicapai dalam evaluasi keperawatan :
1) Mampu mempertahakan keseimbangan tubuh
2) Tidak terjadi kejadian jatuh
3) Mempunyai pemahaman dan perilaku pencegahan kejadian jatuh
4) Lingkungan aman
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Syamat, dkk, 2006. Edisi Revisi Buku Ilmu Penyakit Dalam,EGC : Jakarta.
Nurarif A, H, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan Nanda NIC-NOC, Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta : Mediaction Jogja.
Potter and Perry. 2006. Fundamental Keperawatan . Volume 2. Jakarta:EGC
Price, Sylvia A. 2009. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
Reeves, J.C.2007. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta Selatan : DPP PPNI
Wilkinson, Judith M. 2013. Buku Saku Keperawatan: Diagnosa NANDA, Intervensi
NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC