Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Menurut laporan WHO untuk tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6
juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5
juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB
tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang
(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan
kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB
Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.2
Sementara itu jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO untuk
tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000
penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk).
Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk).
Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan
sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV
diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan
sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan
ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.2
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena
masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan, dan
pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.
1
2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum
menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC
seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak
baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan
dan pelaporan yang baku.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di Daerah
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko tinggi
seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi permukiman
padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan
dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko
terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,
merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat
terjangkit TB.
Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan
tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000
penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua
indikator MDG’s untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan angka
insidens yang sudah tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi
supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang akan datang.2
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara pada
3
suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke
dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia
melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung
ke bagian-bagian tubuh lainnya.1
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran
limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai
kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang
terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.1
4
2.5.2 Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)
5
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan
sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada
awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran
radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.1
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di
bawah ini :
6
a. Sputum
7
Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB paru.2
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED
mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan:
anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat,
dan kadar natrium darah menurun.1
8
c. Tes Tuberkulin
9
pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, alergi, penyakit sistemik serta
(Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar
air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin,
pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan.
Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif.5
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian
datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
d. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada
akhir bulan kedua pengobatan.
e. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
11
dan masih berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan
Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan
Streptomisin menempati urutan lebih bawah.6
2.9.2 Kemoterapi TB
12
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman
persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.1,6
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
13
pertama pengobatan.
Etambutol bakteriostatik -
(E)
14
pengobatan setelah 2 SHRZE / 1 5 HRE
terputus HRZE
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah6
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari
selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4
H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif
diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau
tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
15
sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA
masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi.
Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3
hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase
lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori
II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif.1
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien6
Jenis Dosis
16
Pirazinamid (Z) harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
17
Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu
RHZE (150/75/400/275)
Badan RH (150/150) + E (400)
+S
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
18
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
19
Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII
demam, sakit kepala, yang berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran
a) Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2
kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir
pengobatannya.
b) Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai
jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya
1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir
pengobatan.
c) Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada
akhir pengobatan.
a. Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
b. Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2
dari pengobatan.
d) Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari
2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
20
e) Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa
melihat sebab kematiannya.
2.11Evaluasi pengobatan
Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode
yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru8
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan
pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah,
berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai
menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan.
WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada
akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru
yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi
pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila
BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang
sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan
pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain
yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.8
21
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
MR : 038395
Umur : 60 Tahun
Anamnesis
Keluhan Utama :
Batuk sejak 5 bulan ini yang tidak sembuh-sembuh. Batuk berdahak kekuningan
dan tidak berdarah.
Batuk disertai sesak napas, dan tidak dipengaruhi oleh cuaca ataupun makanan.
Demam sejak 5 bulan ini, demam naik turun, dirasakan terutama pada malam
hari hingga pasien menggigil.
Penurunan berat badan (+) lebih kurang 9kg dalam 5 bulan ini.
Mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (-), penurunan nafsu makan (+)
BAK dan BAB tidak ada keluhan.
22
Dalam 5 bulan ini pasien telah berobat ke beberapa dokter dan dinyatakan
mengalami penyakit paru, diberikan obat, gejala membaik, namun setelah habis
obat keluhan muncul lagi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum :
23
Keadaan umum = sedang Suhu = 38,5o C
Kesadaran = CMC Napas = 25x/menit
Tekanan Darah = 100/puls BB = 31kg
Nadi = 88x/menit
Kepala
Normochepal
Konjuntiva anemis (-/-)
Sclera ikterik (-/-)
Leher
Paru
Jantung
Abdomen
Ekstrimitas
Pemeriksaan Penunjang
24
- Hb : 12,3 gr/dl
- Leukosit : 15.570
- Trombosit : 683.000
- Hematocrit : 37
- GDS : 116
- SGOT : 10
- SGPT :5
- Bilirubin : 0,7
- HIV : (-)
25
Diagnosis kerja
Terapi
Tanggal S/ O/ A/ P/
26
Trombosit 615.000
27
nafsu makan Pulmo : R-/-,W-/- Sulit
(+)
- mual (-),
muntah (-)
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien wanita 60 tahun, datang ke poli paru dengan keluhan utama batuk sejak 5 bulan
ini yang tidak sembuh-sembuh. Saat pasien datang dengan keluhan batuk lebih dari 2 minggu
hal pertama yang harus dipikirkan adalah TB paru, karena ciri khas TB paru adalah batuk
28
lebih dari 2 minggu dan masih tingginya kasus TB paru di Indonesia. Gejala respirologi lain
pada pasien ini adalah batuk berdahak kekuningan. Batuk disertai sesak napas, dan tidak
dipengaruhi oleh cuaca ataupun makanan. Gejala sistemik yang ditemui adanya demam sejak
5 bulan ini, demam naik turun, dirasakan terutama pada malam hari hingga pasien menggigil.
Penurunan berat badan (+) lebih kurang 9kg dalam 5 bulan ini. Mual (+),penurunan nafsu
makan (+). Gejala-gejala ini sangat khas untuk kasus TB paru, ditambah lagi dalam 5 bulan
ini pasien telah berobat ke beberapa dokter dan dinyatakan mengalami penyakit paru,
diberikan obat, gejala membaik, namun setelah habis obat keluhan muncul lagi. Hal ini karena
diagnosis yang tidak sehingga pasien diberikan antibiotic yang tidak tepat serta pasien
diberikan obat untuk mengurangi gejala yang dialami sehingga ketika obat telah habis gejala
muncul lagi.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan suhu tubuh 36,5oC. padahal pasien mengeluhkan
demam, hal ini bisa saja terjadi karena demam pada pasien sering timbul pada malam hari,
sementara suhu tubuh diukur pada siang hari. Frekuensi napas pasien sedikit meningkat yakni
25x/menit. Pemeriksaan paru ditemukan adanya ronki dikedua paru. Ronki dirasakan
terutama di apeks paru kanan. Hal ini khas pada TB karena kuman M. TB sangat aerob dan
pO2 Alveoulus paling tinggi di apeks. Pemeriksaan abdomen ditemukan hepatomegali.
Pemeriksaan darah ditemukan leukosit 15.570. dan pemeriksaan fungsi hepar dalam
batas normal. Sehingga hepatomegaly yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat
diabaikan dan terjadi mungkin karena pasien ini sangat kurus, sehingga hepar terkesan
membesar.
Pada pasien ini juga ditegakkan diagnosis CAP dikarenakan ditemukannya infiltrate
pada foto thoraks dan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
29
3. Suhu tubuh 38,5oC / riwayat demam.
Pada pasien ini ditemukan semua kriteria dari CAP sehingga bisa ditegakkan diagnosis
CAP.
Tatalaksana pada pasien ini untuk TB paru nya sesuai dengan pedoman tatalaksana TB
paru. Sementara untuk CAP nya diberikan dua antibiotic sekaligus yakni cephalosporin
generasi ketiga dan fluoroquinolon respirasi. Pengobatan lain diperuntukkan untuk
mengurangi gejala.
DAFTAR PUSTAKA
30
3 Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick & Adelbergh’s:
Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi FKU
Unair, Jakarta : Salemba Medika.
4 Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13
Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
5 Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi
IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
6 Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.
7 Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
8 Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474
31