You are on page 1of 31

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan


yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis.1
Menurut WHO pada tahun 2010 angka kejadian TB di Indonesia menempati
urutan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun
terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi
TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi
pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun).1

Menurut laporan WHO untuk tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6
juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5
juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB
tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang
(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan
kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB
Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.2
Sementara itu jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO untuk
tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000
penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk).
Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk).
Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan
sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV
diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan
sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan
ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.2
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena
masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan, dan
pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.

1
2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum
menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC
seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak
baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan
dan pelaporan yang baku.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di Daerah
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko tinggi
seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi permukiman
padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan
dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko
terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,
merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat
terjangkit TB.
Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan
tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000
penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua
indikator MDG’s untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan angka
insidens yang sudah tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi
supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang akan datang.2

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia mengartikan penyakit tuberkulosis


adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

2.2 Kuman tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran


sekitar 0,4 x 3 µm.3

Gambar 2.1. Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam

Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan


pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas
asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan
kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga
disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).4

Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit


intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob,
sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.5

2.3 Cara penularan

Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara pada

3
suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke
dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia
melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung
ke bagian-bagian tubuh lainnya.1

2.4 Risiko penularan

Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)


di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya diantara 1000
penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan
menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita tuberkulosis.1

2.5 Patogenesis tuberkulosis

2.5.1 Infeksi primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran
limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai
kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang
terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.1

4
2.5.2 Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau


tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.1

2.6 Diagnosis tuberkulosis

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan


dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.

2.6.1 Diagnosis klinis

Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau


tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk
terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang
mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan
lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan.1

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan


konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam
pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang
lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering
asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis
dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.5

2.6.3 Pemeriksaan radiologis

5
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan
sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada
awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran
radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.1

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan


densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan
yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada
sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema.5

Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di
bawah ini :

Gambar 2.2 Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Thorak.5

2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis

6
a. Sputum

Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga untuk


menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji
dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):

S (Sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes.

P (Pagi) : dahak ditampung pada pagi segera setelah
bangun tidur. Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal
rawat inap bilamana pasien menjalani rawat inap.2

7
Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB paru.2

b. Darah

Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED
mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan:
anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat,
dan kadar natrium darah menurun.1

8
c. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan


diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes
tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen
lainnya.1

Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D


(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi
alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi
berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara penyuntikan tes
tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini5:

Gambar 2.4 Penyuntikan Tes Tuberkulin.5

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,


2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no
sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm :
Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade
sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15 mm : Mantoux
positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling
menonjol.

Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux


yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada

9
pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, alergi, penyakit sistemik serta
(Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar
air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin,
pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan.
Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif.5

d. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB


Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan
untuk evaluasi hasil pengobatan.2

2.7 Komplikasi tuberkulosis

Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan


komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB milier
dan kavitas TB).5

2.8 Tipe penderita tuberkulosis

Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,


yaitu :

a. Kasus baru

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b. Kambuh (relaps)

Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah


mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali
lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan (transfer in)


10
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).

d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)

Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian
datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.

d. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada
akhir bulan kedua pengobatan.
e. Kasus kronis

Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.

f. Tuberkulosis resistensi ganda


Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya.1

2.9 Pengobatan Tuberkulosis Paru

2.9.1 Prinsip pengobatan

Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid


di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh
kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).
Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil
yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari
angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai
sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik

11
dan masih berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan
Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan
Streptomisin menempati urutan lebih bawah.6

2.9.2 Kemoterapi TB

Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak


tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H),
Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R)
dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah
mengacu pada program Directly observed Treatment Short-course (DOTS) yang
didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan,
penyediaan OAT gratis dan pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki
2 prinsip dasar : Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat
yang basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus
bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat
yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah, sedangkan Z mempunyai
efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang
baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan
untuk mengeleminasi basil yang persisten.6

Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-


24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS pengobatan TB
diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT, dalam jumlah yang
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh.
Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap
intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis OAT terutama Rifampisin. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita
tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.
Pengawasan ketat dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi

12
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman
persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.1,6

2.9.3 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat


lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian
pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-
obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan
Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine,
Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan
Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi
drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil
adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol.6

Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT

Jenis OAT Sifat Keterangan

Isoniazid Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman


(H) dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
terkuat
yang sedang berkembang. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat cell-wall
biosynthesis pathway

Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-


(R) dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M.
Tuberculosis

Pirazinamid bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


(Z) berada dalam sel dengan suasana asam.
Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan

13
pertama pengobatan.

Streptomisin bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan


(S) aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.

Etambutol bakteriostatik -
(E)

2.9.4 Regimen pengobatan (metode DOTS)

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat


mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan
strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu
WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien
menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat
pada tabel di bawah ini6,7

Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan

Kategori Paduan pengobatan TB alternatif


pengobatan Fase awal Fase lanjutan
Pasien TB
TB
(setiap hari / 3 x
seminggu)

I Kasus baru TB paru 2 EHRZ 6 HE


dahak positif; kasus baru (SHRZ)
4 HR
TB paru dahak negatif
2 EHRZ
dengan kelainan luas di 4 H 3 R3
(SHRZ)
paru; kasus baru TB
ekstra-pulmonal berat 2 EHRZ
(SHRZ)

II Kambuh, dahak positif; 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3


pengobatan gagal; HRZE

14
pengobatan setelah 2 SHRZE / 1 5 HRE
terputus HRZE

III Kasus baru TB paru 2 HRZ atau 6 HE


dahak negatif (selain 2H3R3Z3
dari kategori I); kasus
2 HRZ atau
baru TB ekstra-pulmonal 2 HR/4H
2H3R3Z3
yang tidak berat
2 HRZ atau
2H3R3Z3 2 H3R3/4H

IV Kasus kronis (dahak TIDAK DIPERGUNAKAN


masih positif setelah
(merujuk ke penuntun WHO
menjalankan pengobatan
guna pemakaian obat lini kedua
ulang)
yang diawasi pada pusat-pusat
spesialis)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah6

Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.

Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari
selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4
H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif
diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau
tidak.

Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E,


setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila

15
sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA
masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi.
Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3
hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase
lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.

Kategori III : 2HRZ/2H3R3

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.

Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup

Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya


harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja
sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda
(MDR-TB).

Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).

Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori
II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif.1

2.9.5 Dosis obat

Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien6

Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia

Jenis Dosis

Isoniazid (H)  harian : 5mg/kg BB


 intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

16
Pirazinamid (Z)  harian : 25mg/kg BB
 intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S)  harian = intermiten : 15 mg/kgBB


 usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
 usia > 60 th : 0,50 gr/hari

Etambutol (E)  harian : 15mg/kg BB


 intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

2.9.6 Kombinasi obat

Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat


kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk
menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan OAT
ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum)
disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1
pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan
sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini1

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3

Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu


selama 56 hari selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3

17
Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu
RHZE (150/75/400/275)
Badan RH (150/150) + E (400)
+S

Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu

30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab


Etambutol
Streptomisin inj

38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab


Etambutol
Streptomisin inj

55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab


Etambutol
Streptomisin inj

> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab


Etambutol
Streptomisin inj

Tabel 2.6 Dosis OAT untuk Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

2.9.7 Efek samping pengobatan

Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit


sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat
diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat
mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat
diteruskan dengan OAT yang lain.6

18
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT

Jenis Obat Ringan Berat

Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan Hepatitis, ikhterus


pada syaraf tepi,
kesemutan, nyeri otot dan
gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain
menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain
gatal-gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan Hepatitis, sindrom


kulit, sindrom flu, sindrom respirasi yang ditandai
perut. dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal

Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,


demam, mual dan serangan arthritis gout
kemerahan

19
Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII
demam, sakit kepala, yang berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran

Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna


berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan


kontrol, seperti6

a) Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol


b) Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c) Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)

2.10 Hasil pengobatan tuberkulosis

World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan


penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :

a) Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2
kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir
pengobatannya.
b) Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai
jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya
1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir
pengobatan.
c) Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada
akhir pengobatan.
a. Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
b. Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2
dari pengobatan.
d) Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari
2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.

20
e) Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa
melihat sebab kematiannya.
2.11Evaluasi pengobatan
Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode
yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru8
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan
pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah,
berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai
menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan.
WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada
akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru
yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi
pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila
BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang
sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan
pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain
yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.8

21
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. Sineng

MR : 038395

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Jalan Tanjung Paku, Koto Besar

Tanggal masuk : 17 September 2018

Anamnesis

Keluhan Utama :

 Batuk sejak 5 bulan ini yang tidak sembuh-sembuh

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Batuk sejak 5 bulan ini yang tidak sembuh-sembuh. Batuk berdahak kekuningan
dan tidak berdarah.
 Batuk disertai sesak napas, dan tidak dipengaruhi oleh cuaca ataupun makanan.
 Demam sejak 5 bulan ini, demam naik turun, dirasakan terutama pada malam
hari hingga pasien menggigil.
 Penurunan berat badan (+) lebih kurang 9kg dalam 5 bulan ini.
 Mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (-), penurunan nafsu makan (+)
 BAK dan BAB tidak ada keluhan.

22
 Dalam 5 bulan ini pasien telah berobat ke beberapa dokter dan dinyatakan
mengalami penyakit paru, diberikan obat, gejala membaik, namun setelah habis
obat keluhan muncul lagi.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat hipertensi (-)


 Riwayat DM (-)
 Riwayat batuk-batuk lama dan makan obat 6 bulan sebelumnya (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan umum :

23
 Keadaan umum = sedang  Suhu = 38,5o C
 Kesadaran = CMC  Napas = 25x/menit
 Tekanan Darah = 100/puls  BB = 31kg
 Nadi = 88x/menit

Kepala

 Normochepal
 Konjuntiva anemis (-/-)
 Sclera ikterik (-/-)

Leher

 KGB tidak teraba


 JVP 5-2 cm H2O

Paru

 Inpeksi = Thorak simetris kiri = kanan


 Palpasi = fremitus meningkat terutama di bagian apeks paru kiri
 Perkusi = sonor
 Auskultasi = wheezing (-/-), rhonki (+/+) terutama di apeks paru dextra.

Jantung

 Inpeksi = ictus tidak terlihat


 Palpasi = ictus teraba 1 jari medial linea mid clavicula sinistra RIC V
 Perkusi = batas jantung kiri 1 jari medial linea mid clavicula sinistra RIC V,
batas jantung kanan linea sternalis kanan RIC IV, pinggang jantung linea sternalis
sinistra RIC II.
 Auskultasi = regular, bising (-)

Abdomen

 Inpeksi = perut tidak membuncit


 Palpasi = nyeri ulu hati (-), hepar teraba 2 jari dibawah procesus xypoideus
 Perkusi = timpani, hepar 2 jari bawah prosesus xypoideus.
 Auskultasi = bising usus (+) normal.

Ekstrimitas

 Tidak ada kelainan

Pemeriksaan Penunjang

24
- Hb : 12,3 gr/dl

- Leukosit : 15.570

- Trombosit : 683.000

- Hematocrit : 37

- GDS : 116

- SGOT : 10

- SGPT :5

- Bilirubin : 0,7

- HIV : (-)

Gambar 3.1. Foto thoraks PA pasien

25
Diagnosis kerja

 TB Paru Rontgen (+)


 CAP
 Intake Sulit

Terapi

 IVFD D5% : Amiparen 12tpm


 Inj ceftriaxone 1x2gr (iv)
 Inf moxifloxacin 1x400mg (iv)
 Inf Paracetamol 3x1gr (iv)
 Inj ranitidine 2x50mg (iv)
 Inj farmavon 2x1 (iv)
 Syr antacid 3x1cth (iv)
 Tab Domperidone 3x10mg (po)
 Tab diazepam 2x2mg (po)
 FDC 1x2 (po)
Anjuran
 Cek BTA dan GxP.
Follow up

Tanggal S/ O/ A/ P/

Selasa -Batuk (+) KU: Sedang TB Paru Terapi lanjut


18/9 -Sesak (+) Kes : CMC
BTA
-Demam (-) TD : 90/60
2018
Napas : 24 (+)Rontgen
berkeringat
Nadi : 90
(+) + CAP
malam (+) T: 36,2 oC
-Penurunan Pulmo : R+/+,W-/- + Intake
GxP: MTB
nafsu makan Sulit
DETECTED HIGH,
(+)
Rif RESISTANCE
NOT DETECTED

Rabu -Batuk (↓) KU: Sedang TB Paru P/ -PCT infus aff 


-Sesak (↓) Kes : CMC
19/9 BTA PCT tab 3x500mg
-Demam (-) TD : 100/60
- Curcuma tab 3x1
2018 Napas : 22 (+)Rontgen
berkeringat - Terapi lain lanjut
Nadi : 88
(+) + CAP
malam (+) T: 36,1 oC
-Penurunan Pulmo : R+/+,W-/- + Intake
Darah rutin :
nafsu makan Sulit
Hb  11,2
(+) Leukosit  9700
Ht 34

26
Trombosit 615.000

Kamis -Batuk (↓) KU: Sedang TB Paru P/ -FDC aff 


20/9 -Sesak (↓) Kes : CMC R300 1x1
BTA
-Demam (-) TD : 110/70 H100 1x2
2018
Napas : 22 (+)Rontgen Z500 1x1
berkeringat
Nadi : 90 E500 1x1
(+) + CAP
malam (+) T: 36,1 oC - Tab
-Penurunan Pulmo : R+/+,W-/- + Intake
metoclopramide
nafsu makan Sulit
3x1
(+) - Moxifloxacin
- mual (+),
dan ceftriaxone
muntah (+)
aff  cefixime
setiap makan
tab 200mg 2x1

Jumat -Batuk (↓) KU: Sedang TB Paru P/ Terapi lanjut


-Sesak (↓) Kes : CMC
21/9 BTA
-Demam (-) TD : 100/60
2018 Napas : 22 (+)Rontgen
berkeringat
Nadi : 88
(+) + CAP
malam (+) T: 36,3 oC
-Penurunan Pulmo : R+/+,W-/- + Intake
nafsu makan Sulit
(+)
- mual (↓),
muntah (↓)

Sabtu -Batuk (↓) KU: Sedang TB paru P/ inj metoklopramid


-Sesak (-) Kes : CMC
22/9 BTA aff  tab
-Demam (-) TD : 100/70
2018 Napas : 21 (+)Rontgen metoklopramid 3x1
berkeringat
Nadi : 88 -terapi lain lanjut
(+) + CAP
malam (-) T: 36,4 oC
-Penurunan Pulmo : R-/-,W-/- + Intake
nafsu makan Sulit
(+)
- mual (-),
muntah (-)

Minggu -Batuk (↓) KU: Sedang TB paru P/ Terapi lanjut


-Sesak (-) Kes : CMC
23/9 BTA
-Demam (-) TD : 100/70
2018 Napas : 21 (+)Rontgen
berkeringat
Nadi : 86
(+) + CAP
malam (-) T: 36,5 oC
-Penurunan + Intake

27
nafsu makan Pulmo : R-/-,W-/- Sulit
(+)
- mual (-),
muntah (-)

Senin -Batuk (-) KU: Baik TB paru P/ Terapi lain lanjut


-Sesak (-) Kes : CMC
24/9 BTA
-Demam (-) TD : 120/80
2018 Napas : 20 (+)Rontgen
berkeringat
Nadi : 88
(+) + CAP
malam (-) T: 36,5 oC
-Penurunan Pulmo : R-/-,W-/- + Intake
nafsu makan Sulit
(+)
- mual (-),
muntah (-)

Selasa -Batuk (-) KU: Baik TB paru P/ control 1 minggu lagi


-Sesak (-) Kes : CMC Obat pulang :
25/9 BTA
-Demam (-) TD : 110/70 - Cefixime 200mg
2018 Napas : 20 (+)Rontgen
berkeringat 2x1
Nadi : 88
(+) + CAP - Sucralfate syr
malam (-) T: 36,5 oC
-Penurunan Pulmo : R-/-,W-/- + Intake 3x1C
- Domperidon 2x1
nafsu makan Sulit
- Diazepam 2mg
(↓)
2x1
- mual (-),
- Ambroxol syr
muntah (-)
3x1
- PCT 2x1
- Fortibi 1x1
- Vitacur syr 3x1
- R300 1x1
- H100 1x2
- Z500 1x1
- E500 1x1

BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien wanita 60 tahun, datang ke poli paru dengan keluhan utama batuk sejak 5 bulan
ini yang tidak sembuh-sembuh. Saat pasien datang dengan keluhan batuk lebih dari 2 minggu
hal pertama yang harus dipikirkan adalah TB paru, karena ciri khas TB paru adalah batuk

28
lebih dari 2 minggu dan masih tingginya kasus TB paru di Indonesia. Gejala respirologi lain
pada pasien ini adalah batuk berdahak kekuningan. Batuk disertai sesak napas, dan tidak
dipengaruhi oleh cuaca ataupun makanan. Gejala sistemik yang ditemui adanya demam sejak
5 bulan ini, demam naik turun, dirasakan terutama pada malam hari hingga pasien menggigil.
Penurunan berat badan (+) lebih kurang 9kg dalam 5 bulan ini. Mual (+),penurunan nafsu
makan (+). Gejala-gejala ini sangat khas untuk kasus TB paru, ditambah lagi dalam 5 bulan
ini pasien telah berobat ke beberapa dokter dan dinyatakan mengalami penyakit paru,
diberikan obat, gejala membaik, namun setelah habis obat keluhan muncul lagi. Hal ini karena
diagnosis yang tidak sehingga pasien diberikan antibiotic yang tidak tepat serta pasien
diberikan obat untuk mengurangi gejala yang dialami sehingga ketika obat telah habis gejala
muncul lagi.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan suhu tubuh 36,5oC. padahal pasien mengeluhkan
demam, hal ini bisa saja terjadi karena demam pada pasien sering timbul pada malam hari,
sementara suhu tubuh diukur pada siang hari. Frekuensi napas pasien sedikit meningkat yakni
25x/menit. Pemeriksaan paru ditemukan adanya ronki dikedua paru. Ronki dirasakan
terutama di apeks paru kanan. Hal ini khas pada TB karena kuman M. TB sangat aerob dan
pO2 Alveoulus paling tinggi di apeks. Pemeriksaan abdomen ditemukan hepatomegali.

Pemeriksaan darah ditemukan leukosit 15.570. dan pemeriksaan fungsi hepar dalam
batas normal. Sehingga hepatomegaly yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat
diabaikan dan terjadi mungkin karena pasien ini sangat kurus, sehingga hepar terkesan
membesar.

Radiologi menunjukkan infiltrate terutama di apeks paru dextra disertai peningkatan


corakan bronkovaskuler. Hal ini mendukung pemeriksaan fisik dimana ronki terdengar lebih
keras di apeks paru dextra. Gambaran ini sangat umum untuk infeksi paru. Tetapi bisa
mendukung TB karena pada fase awal kavitas dan jaringan fibrosis yang khas untuk TB
belum terlihat. Pemeriksaan pasti adalah dengan hasil pemeriksaan cepat genexpert (+) pada
pasien ini sehingga bisa ditegakkan diagnosis TB paru BTA (+), rontgen (+).

Pada pasien ini juga ditegakkan diagnosis CAP dikarenakan ditemukannya infiltrate
pada foto thoraks dan 2 atau lebih gejala di bawah ini :

1. Batuk- batuk bertambah.

2. Perubahan karakteristik dahak.

29
3. Suhu tubuh 38,5oC / riwayat demam.

4. Ditemukannya ronki pada pemeriksaan fisik.

5. Leukosit >10.000 atau <4.500

Pada pasien ini ditemukan semua kriteria dari CAP sehingga bisa ditegakkan diagnosis
CAP.

Tatalaksana pada pasien ini untuk TB paru nya sesuai dengan pedoman tatalaksana TB
paru. Sementara untuk CAP nya diberikan dua antibiotic sekaligus yakni cephalosporin
generasi ketiga dan fluoroquinolon respirasi. Pengobatan lain diperuntukkan untuk
mengurangi gejala.

DAFTAR PUSTAKA

1 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
2 Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 67 Tahun 2016. Tentang Penanggulangan Tuberkulois. Jakarta

30
3 Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick & Adelbergh’s:
Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi FKU
Unair, Jakarta : Salemba Medika.
4 Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13
Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
5 Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi
IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
6 Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.
7 Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
8 Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474

31

You might also like