You are on page 1of 42

BAB 6

Pengolahan
Citra di Kawasan
Frekuensi

Setelah bab ini berakhir, diharapkan pembaca


mendapatkan berbagai pengetahuan berikut dan mampu
mempraktikkannya.
 Pengolahan citra di kawasan spasial dan kawasan
frekuensi
 Alihragam Fourier
 Fourier 1-D
 Fourier 2-D
 Fast Fourier transform
 Visualisasi pemrosesan FFT
 Penapisan pada kawasan frekuensi
 Filter lolos-rendah
 Filter lolos-tinggi
 Penapisan dengan pendekatan high frequency
emphasis
168 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

6.1 Pengolahan Citra di Kawasan Spasial dan Kawasan Frekuensi

Citra dapat ditransformasikan di kawasan spasial maupun di kawasan


frekuensi. Dua cara untuk melakukan transformasi citra ditunjukkan pada Gambar
6.2. Sejumlah contoh transformasi di kawasan spasial atau keruangan telah
dibahas di Bab 5. Namun, sebagai alternatif citra perlu diproses di kawasan
frekuensi agar penentuan daerah frekuensinya dapat lebih ketat dan tepat. Untuk
itu diperlukan pasangan transformasi dan transformasi-balik sebelum dan sesudah
penapisan.

Gambar 6.1 Transformasi citra dapat diproses


melalui kawasan spasial maupun frekuensi

 Dalam bahasa Indonesia, istilah lain yang identik dengan


transformasi adalah alihragam.

 Adanya pasangan alihragam dan alihragam-balik tentu saja


menambah beban komputasi.

Salah satu alihragam yang biasa dipakai di kawasan frekuensi adalah


alihragam Fourier. Sejak algoritma alihragam Fourier ditemukan, telah
bermunculan pula macam-macam alihragam yang lain, seperti transformasi
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 169

gelombang-singkat (wavelet), transformasi Radon, dan DCT (Discrete Cosine


Transform).

6.2 Alihragam Fourier

Alihragam Fourier (Fourier transform) merupakan salah satu jenis


alihragam ke kawasan frekuensi yang banyak dipakai pada pengolahan citra.
Alihragam ini dimanfaatkan untuk memetakan citra dari kawasan spasial ke dalam
kawasan frekuensi. Disamping untuk melihat karakteristik spektrum citra, juga
menjadi bagian pemrosesannya. Citra dapat diamati sebagai kumpulan
gelombang sinusoid dengan frekuensi, amplitudo, dan fase yang berbeda-beda.
Meskipun pada zaman sekarang terdapat berbagai alihragam sebagai alternatif
alihragam Fourier, konsep yang mendasari alihragam Fourier perlu dimengerti.
Lagipula, beberapa pemrosesan masih bertumpu pada alihragam Fourier.
Berdasarkan temuan ahli fisika dari Prancis bernama Baptiste Joseph
Fourier (1768-1830), semua fungsi yang bersifat periodis, betapapun kompleks
fungsi tersebut, dapat dinyatakan sebagai penjumlahan sinusoid. Kuncinya
terletak pada komposisi amplitude dan fase sinus setiap frekuensi. Begitu pula
pada citra. Sebagai gambaran, suatu isyarat berdimensi satu pada Gambar 6.1(a)
dapat disusun atas tiga gelombang sinusoid seperti terlihat pada Gambar 6.1(b).

Gambar 6.1 Contoh isyarat yang tersusun atas tiga sinusoid


170 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

6.3 Fourier 1-D

Penerapan Discrete Fourier Transform (DFT) atau alihragam Fourier


diskret pada citra berdimensi satu disajikan pada pembahasan berikut. Misalnya,
terdapat fungsi f(x) yang terdiri atas N data (f(0), f(1), f(2), f(3), f(4), …, f(N-1)).
Jika dikenakan DFT, akan diperoleh hasil alihragam berupa F(u) berupa

F(u) = (F(0), F(1), F(2), F(3), F(4), .., F(N-1))

Perhatikan bahwa jumlah data diskret N yang sama di kawasan frekuensi, yang
sejalan dengan hukum kelestarian informasi. F(u) diperoleh melalui persamaan:

1 2𝜋𝑢𝑥 2𝜋𝑢𝑥
𝐹 (𝑢) = ∑𝑁−1
𝑥=0 𝑓(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ ] − 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ ]) (6.1)
𝑁 𝑁 𝑁

atau

1 2𝜋𝑢𝑥
𝐹 (𝑢) = 𝑁 ∑𝑁−1
𝑥=0 𝑓( 𝑥 ) 𝑒𝑥𝑝 [−𝑗 𝑁
] , dengan u = 0,1,2,…,N-1 (6.2)

Pada rumus di depan, j menyatakan √ −1. Dengan demikian, hasil transformasi


Fourier berupa bilangan kompleks.
Adapun alihragam-baliknya berupa:

2𝜋𝑢𝑥
𝑓 (𝑥 ) = ∑𝑁−1
𝑥=0 𝐹 ( 𝑢) 𝑒𝑥𝑝[𝑗 𝑁 ] , dengan u = 0,1,2,…,N-1 (6.3)

Sebagai contoh, terdapat f(x) = (2, 4, 1, 5). Alihragam Fourier-nya seperti


berikut.

1 2𝜋0𝑥 2𝜋0𝑥
𝐹 (0) = 4 ∑3𝑥=0 𝑓(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ ] − 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ ])
4 4

= (f(0)(cos(0)-j sin(0)) +
f(1)(cos(0)-j sin(0)) +
f(2)(cos(0)-j sin(0)) +
f(3)( (cos(0)-j sin(0))) / 4
= (f(0) + f(1) + f(2) + f(3)) / 4
= (2 + 4 + 1 + 5) / 4 = 12 / 4 = 3

1 2𝜋1𝑥 2𝜋1𝑥
𝐹 (1) = 4 ∑3𝑥=0 𝑓(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ 4 ] − 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ 4 ])
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 171

= (f(0)(cos(0)-j sin(0)) +
f(1)(cos(𝜋/2)-j sin(𝜋/2)) +
f(2)(cos(𝜋)-j sin(𝜋)) +
f(3)( (cos(3𝜋/2)-j sin(3𝜋/2))) / 4
= (2 (1-0) + 4(0-j) + 1(-1-0) + 5(0+j)) / 4
= (1+j)/4 = 0,25 + j0,25

1 2𝜋2𝑥 2𝜋2𝑥
𝐹 (2) = 4 ∑3𝑥=0 𝑓(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ ] − 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ ])
4 4

= (f(0)(cos(0)-j sin(0)) +
f(1)(cos(𝜋)-j sin(𝜋)) +
f(2)(cos(2𝜋)-j sin(2𝜋)) +
f(3)( (cos(3𝜋)-j sin(3𝜋))) / 4
= (2 (1-0) + 4(-1-0) + 1(1-0) + 5(-1-0) ) / 4
= -6 / 4 = -1,50

1 2𝜋3𝑥 2𝜋3𝑥
𝐹 (3) = 4 ∑3𝑥=0 𝑓(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ 4 ] − 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ 4 ])

= (f(0)(cos(0)-j sin(0)) +
f(1)(cos(3𝜋/2)-j sin(3𝜋/2)) +
f(2)(cos(3𝜋)-j sin(3𝜋)) +
f(3)( (cos(9𝜋/2)-j sin(9𝜋/2))) / 4
= (2 (1-0) + 4(0+j) + 1(-1-0) + 5(0-j) ) / 4
= (1 - j)/4
= 0,25 - j0,25

Gambar 6.2 memperlihatkan citra asli dan hasil transformasi Fourier.


172 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Gambar 6.2 Citra dimensi satu dan hasil transformasi Fourier

Pada Gambar 6.2, DFT-1 menyatakan transformasi balik dari kawasan frekuensi
ke kawasan spasial. Perhatikan bahwa data asli f(x) hanya 4, tetapi hasil alihragam
ada 8, seolah ada tambahan informasi.
Sekarang akan ditunjukkan pelaksanaan alihragam-baliknya. Perhatikan
cara menghitungnya.

2𝜋0𝑥 2𝜋0𝑥
𝑓 (0) = ∑3𝑥=0 𝐹(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ ] + 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ ])
4 4

= F(0)(cos(0)+j sin(0)) +
F(1)(cos(0)+j sin(0)) +
F(2)(cos(0)+j sin(0)) +
F(3)( (cos(0)+j sin(0))) / 4

= F(0) + F(1) + F(2) + F(3)


= 3+ j0 + 0,25 + j0,25 - 1,5+j0 + 0,25-j0,25
=2

3
2𝜋1𝑥 2𝜋1𝑥
𝑓(1) = ∑ 𝐹(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ ] + 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ ])
4 4
𝑥=0

= F(0)(cos(0)+j sin(0)) +
F(1)(cos(𝜋/2)+j sin(𝜋/2)) +
F(2)(cos(𝜋)+j sin(𝜋)) +
F(3)( (cos(3𝜋/2)+j sin(3𝜋/2))
= 3 (1+0) + (0,25 + j0,25)(0+j) - 1,5 (-1+0) +
(0,25-j0,25)(0-j)
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 173

= 3 + j0,25 -0,25 + 1,5 - j0,25 -0,25


=4

3
2𝜋2𝑥 2𝜋2𝑥
𝑓 (2) = ∑ 𝐹(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ ] + 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ ])
4 4
𝑥=0

= F(0)(cos(0)-j sin(0)) +
F(1)(cos(𝜋)-j sin(𝜋)) +
F(2)(cos(2𝜋)-j sin(2𝜋)) +
F(3)(cos(3𝜋)-j sin(3𝜋))
= 3 (1-0) + (0,25 + j0,25) (-1-0) - 1,5 (1-0) +
((0,25-j0,25))(-1-0)
= 3 – 0,25 –j0,25 -1,5 – 0,25 +j0,25
=1

3
2𝜋3𝑥 2𝜋3𝑥
𝑓(3) = ∑ 𝐹(𝑥)(𝑐𝑜𝑠 [ ] + 𝑗 𝑠𝑖𝑛 [ ])
4 4
𝑥=0

= (F(0)(cos(0)+j sin(0)) +
F(1)(cos(3𝜋/2)+j sin(3𝜋/2)) +
F(2)(cos(3𝜋)+j sin(3𝜋)) +
F(3)( (cos(9𝜋/2)+j sin(9𝜋/2))) / 4
= 3 (1-0) + (0,25 + j0,25) (0-j) - 1,5 (-1-0) +
(0,25-j0,25)(0+j)
= 3 - j0,25 + 0,25 + 1,5 + j0,25 + 0,25
= 5

Tampak bahwa f(x) tidak mengandung komponen imajiner seperti aslinya.


Berikut adalah contoh fungsi yang digunakan untuk menghitung DFT
berdimensi satu.

Program : dft1d.m
174 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

function [Re, Im] = dft1d(Fx)


% DFT1D Digunakan untuk memperoleh DFT dimensi satu.
% Hasil: Re berisi bagian real dan
% Im berisi bagian imajiner

n = length(Fx); % Jumlah nilai dalam fungsi Fx


for u = 0 : n - 1
Re(u+1) = 0;
Im(u+1) = 0;
for x = 0 : n - 1
radian = 2 * pi * u * x / n;
cosr = cos(radian);
sinr = -sin(radian);
Re(u+1) = Re(u+1) + Fx(x+1) * cosr;
Im(u+1) = Im(u+1) + Fx(x+1) * sinr;
end

Re(u+1) = Re(u+1) / n;
Im(u+1) = Im(u+1) / n;
end

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi dft1d ditunjukkan di bawah ini. Perhatikan Fx


perlu ditranspos.

>> Fx = [2,4,1,5]'; 
>> [Re,Im] = dft1d(Fx) 
Re =

3.00000 0.25000 -1.50000 0.25000

Im =

0.00000 0.25000 -0.00000 -0.25000

>>

Hasil di atas sesuai dengan perhitungan manual di depan.


Alihragam-baliknya dapat diperoleh melalui fungsi idft1d seperti
berikut.

Program : idft1d.m
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 175

function Fx = idft1d(Fu)
% IDFT1D Digunakan untuk melaksanakan transformasi balik
% 1D DFT.
% Masukan: Fu berupa bilangan kompleks

n = length(Fu); % Jumlah nilai dalam fungsi Fu


for u = 0 : n - 1
Fx(u+1) = 0;
for x = 0 : n - 1
radian = 2 * pi * u * x / n;
cosr = cos(radian);
sinr = sin(radian);
Fx(u+1) = Fx(u+1) + Fu(x+1) * (cosr+ j*sinr);
end
end

Fx = real(Fx); % Peroleh bagian real

Akhir Program

Berikut adalah contoh penggunaan DCT dan alihragam-baliknya:

>> Fx = [2,4,1,5]'; 
>> [Re,Im] = dft1d(Fx); 
>> F = idft1d(Re+Im*j) 
F =

2.0000 4.0000 1.0000 5.0000

>>

Perhatikan, argumen pada fungsi idft1d berupa bilangan kompleks, tetapi


tidak ada komponen imjinernya atau nilai imajinernya nol. Pengalian dengan j
pada Im*j dipakai untuk membentuk bagian imajiner. Hasilnya terlihat sama
dengan isi Fx.
176 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

6.4 Fourier 2-D

Suatu citra diskret berdimensi dua f(x, y) dapat dinyatakan sebagai deret
Fourier, yang dituliskan seperti berikut:

𝑢𝑥 𝑣𝑦 𝑢𝑥 𝑣𝑦
𝐹(𝑢, 𝑣) = ∑𝑀 −1 𝑁−1
𝑦=0 ∑𝑥 =0 𝑓(𝑥, 𝑦)(cos(2𝜋 ( 𝑁 + )) − 𝑗 sin (2𝜋 ( 𝑁 + ))) (6.4)
𝑀 𝑀

Dalam hal ini, citra berukuran MxN (M baris dan N kolom). Komponen v bernilai
dari 0 sampai dengan M-1 dan u bernilai dari 0 sampai dengan N-1. Dalam hal
ini, u dan v menyatakan frekuensi, sedangkan nilai F(u, v) dinamakan koefisien
Fourier atau spektrum frekuensi diskret.
Adapun alihragam-baliknya berupa:

1 𝑢𝑥 𝑣𝑦 𝑢𝑥 𝑣𝑦
𝑓(𝑦, 𝑥) = ∑𝑀−1 𝑁−1
𝑦=0 ∑ 𝑥=0 𝐹(𝑣, 𝑢)(cos (2𝜋 ( + )) + 𝑗 sin (2𝜋 ( + ))) (6.5)
𝑀𝑁 𝑁 𝑀 𝑁 𝑀

Berdasarkan rumus di atas, setiap piksel akan ditransformasikan dengan


kompleksitas berupa O(MN) atau O(N 2 ) jika ukuran citra berupa NxN. Dengan
demikian, untuk citra berukuran NxN, kompleksitas berupa O(N 4 ). Tentu saja,
untuk ukuran yang besar akan diperlukan waktu yang sangat lama. Itulah
sebabnya, dalam praktik cara tersebut dihindari karena terdapat metode lain yang
jauh lebih cepat dalam melakukan transformasi.
Sekedar untuk kepentingan ilustrasi, alihragam Fourier yang menggunakan
Persamaan 6.4 dapat diimplementasikan seperti berikut.

Program : dft2d.m

function [Re, Im] = dft2d(berkas)


% DFT2D Digunakan untuk memperoleh DFT dimensi dua.
% Masukan: nama berkas berskala keabuan
% Hasil: Re berisi bagian real dan
% Im berisi bagian imajiner

Fx = double(imread(berkas));
[m, n] = size(Fx); % Ukuran citra
% m = jumlah baris
% n = jumlah kolom
for v = 0 : m -1
for u = 0 : n - 1
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 177

Re(v+1, u+1) = 0;
Im(v+1, u+1) = 0;
for y = 0 : m - 1
for x = 0 : n - 1
radian = 2 * pi * …
(u * x / n + v * y / m);
cosr = cos(radian);
sinr = -sin(radian);
Re(v+1, u+1) = Re(v+1, u+1) + ...
Fx(y+1, x+1) * cosr;
Im(v+1, u+1) = Im(v+1, u+1) + ...
Fx(y+1, x+1) * sinr;
end
end
end
end

Akhir Program

Fungsi dft2d digunakan untuk mentransformasikan citra berskala keabuan.


Contoh penggunaannya misalnya seperti berikut:

>> [Dr, Di] = dft2d(’C:\Image\lena64.png’); 

Dengan cara seperti itu, Dr mencatat bagian real dan Di mencatat bagian
imajiner.
Tabel berikut memberikan contoh waktu pengeksekusian yang dilakukan
pada tiga citra dengan ukuran yang berlainan dengan menggunakan fungsi
dft2d. Terlihat bahwa semakin besar ukuran citra yang diproses, terjadi
peningkatan waktu komputasi yang sangat signifikan.

Tabel 6.1 Waktu komputasi menggunakan dft2d


Citra Waktu
(detik)
lena64.png (ukuran 64 x 64) 3,51
lena128.png (ukuran 128 x 128) 54,42
lena256.png (ukuran 256 x 256) 870,09
178 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Pendekatan lain memungkinkan penghitungan baris dan kolom tidak


dilakukan sekaligus. Pertama, transformasi berdimensi satu hanya dikenakan pada
baris-baris saja. Selanjutnya, hasilnya ditransformasi menurut kolom. Contoh
program dalam bahasa C terdapat di Vandevenne (2007).

6.5 Fast Fourier Transform

Suatu metode bernama FFT (Fast Fourier Transform) dibuat untuk


mempercepat komputasi alihragam Fourier. Jika kompleksitas DFT untuk
mentransformasikan sebuah piksel seperti yang tertuang dalam implementasi di
depan sebesar O(N 2 ), FFT memiliki kompleksitas sebesar O(N log2 N). Sebagai
pembanding, jika N sama dengan 256 maka N 2 sama dengan 65.536, sedangkan N
log2 N menghasilkan 256 x 8 atau 2048. Jadi, FFT lebih cepat 32 kali
dibandingkan DFT untuk ukuran citra seperti itu. Pada alihragam berdimensi dua,
penghematan waktu akan lebih terasa.
Peluang adanya penghematan waktu komputasi dapat dilukiskan untuk citra
2𝜋𝑢𝑥
N=8. Nilai 𝑒𝑥𝑝 [𝑗 ] untuk u dan x sama dengan 0,1,2,3,4,5,6,7 dengan nilai
8
2𝜋𝑢𝑥 2𝜋𝑢𝑥
real cos 𝑒𝑥𝑝 [𝑗 ] + 𝑗𝑠𝑖𝑛 𝑒𝑥𝑝 [𝑗 ] ditunjukkan pada Tabel 6.2.
8 8

2𝜋𝑢𝑥
Tabel 6.2 Nilai-nilai 𝑒𝑥𝑝 [𝑗 ]
8

x 0 1 2 3 4 5 6 7
u
0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0
1 1 1 1 1 1 1 1
1 1+j0 +𝑗 0+j − +𝑗 -1+j0 − −𝑗 0-j − −𝑗
√2 √2 √2 √2 √2 √2 √2 √2
2 1+j0 0+j -1+j0 0-j 1+j0 0+j -1+j0 0-j
1 1 1 1 1 1 1 1
3 1+j0 − −𝑗 0+j + −𝑗 0-j + +𝑗 0-j − +𝑗
√2 √2 √2 √2 √2 √2 √2 √2
4 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0 1+j0
1 1 1 1 1 1 1 1
5 1+j0 +𝑗 0+j − +𝑗 -1+j0 − −𝑗 0-j − −𝑗
√2 √2 √2 √2 √2 √2 √2 √2
6 1+j0 0+ j -1+j0 0-j 1+j0 0+j -1+j0 0-j
1 1 1 1 1 1 1 1
7 1+j0 − −𝑗 0+i −𝑗 0-j + +𝑗 0-j − +𝑗
√2 √2 √2 √2 √2 √2 √2 √2
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 179

2𝜋𝑢𝑥 1
Terlihat bahwa nilai-nilai 𝑒𝑥𝑝 [𝑗 ] banyak yang sama, yaitu 0, , dan 1.
8 √2

Oleh karena itu, algoritma cepat dibuat untuk tidak mengulang proses perkalian
dengan angka-angka yang sama. Bahkan, perkalian dengan angka 1 dapat
diloncati karena tidak perlu dilakukan. Demikian pula, perkalian dengan nol sama
dengan melompati datanya untuk tidak perlu disertakan dalam perhitungan.
Namun, perlu dictata bahwa penghematan proses komputasi ini hanya dapat
terjadi untuk jumlah pikel N = 2 n , yaitu 2, 4, 8, 16, dan seterusnya. Untuk citra
dengan besar N (dan M) kurang dari angka-angka tersebut dapat dilengkapi
dengan piksel-piksel kosong (bernilai intensitas nol).
Cara melakukan komputasi dengan FFT dijabarkan oleh Cooley, dkk.
(1969). Implementasi dengan Octave berupa fungsi fft dan fft2. Contoh
penggunaan fft2 seperti berikut:

>> Img = imread(’C:\Image\lena256.png’); 


>> F = fft2(Img); 

Pada contoh di atas, citra bernama lena256.png ditransformasikan menggunakan


FFT.

6.6 Visualisasi Pemrosesan FFT

Sebagaimana telah dibahas di depan, alihragam Fourier menghasilkan


bilangan kompleks. Terkait dengan hal itu, terdapat definisi spektrum Fourier
seperti berikut:

|𝐹 (𝑣, 𝑢)| = √𝑅 2 (𝑣, 𝑢) + 𝐼 2 (𝑣, 𝑢) (6.6)

dengan R(u,v) menyatakan bagian real dan I(u,v) menyatakan bagian imajiner.
Adapun sudut fase transformasi didefinisikan sebagai:

𝐼(𝑣,𝑢)
∅(𝑣, 𝑢) = 𝑡𝑎𝑛 −1 [ ] (6.7)
𝑅(𝑣,𝑢)
180 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Selain itu, terdapat pula istilah power spectrum atau spektrum daya, yang
didefinisikan sebagai kuadrat besaran:

𝑃 (𝑣, 𝑢) = |𝐹(𝑣, 𝑢)|2 = 𝑅 2 (𝑣, 𝑢) + 𝐼 2 (𝑣, 𝑢) (6.8)

Untuk kepentingan analisis secara visual, spektrum dan sudut fase Fourier
dapat disajikan dalam bentuk gambar. Berikut adalah contoh untuk melakukan
transformasi citra lena256.png dan kemudian menyajikan spektrum.

>> Img = imread(’C:\Image\lena256.png’); 


>> F = fft2(Img); 
>> imshow(abs(F),[]); 

Citra lena256.png dan spektrum Fourier-nya diperlihatkan pada Gambar 6.3(a)


dan Gambar 6.5(b).
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 181

(a) Citra lena256.png (b) Visualisasi hasil FFT. Hanya di


pojok kiri atas yang terlihat putih

(c) Visualisasi hasil FFT dengan (d) Visualisasi hasil FFT. Dengan
skala logaritmik intensitas frekuensi nol ditengahkan

Gambar 6.3 Transformasi Fourier pada citra dan visualisasi

Mengingat nilai dalam spektrum terlalu lebar, penerapan logaritma biasa


digunakan hanya untuk kepentingan visualisasi. Sebagai contoh, Gambar 6.3(c)
diperoleh melalui:

>> S2 = log(1 + abs(F)); 


>> imshow(S2, []); 

Penambahan angka 1 dimaksudkan untuk menghindari terjadinya log(0).


182 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Hasil pada Gambar 6.3(c) menunjukkan keadaan yang seperti berulang yang
muncul pada setiap pojok dalam kotak frekuensi. Hal ini disebabkan adanya sifat
pengulangan pada transformasi Fourier. Dalam hal ini, nilai pada M/2 menuju ke
M-1 adalah pengulangan dari titik asal 0 hingga M/2 – 1. Hal ini juga berlaku
pada arah mendatar. Berdasarkan sifat ini, untuk kepentingan visualisasi, titik
awal (0,0) seringkali diubah agar terletak di tengah-tengah kotak frekuensi,
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.4.

Gambar 6.4 Frekuensi 0 diletakkan di tengah-tengah kotak frekuensi

Hal seperti itu dapat dikerjakan dengan menggunakan fungsi fftshift yang
disediakan oleh Octave. Kegunaan fungsi fftshift adalah untuk mengatur agar
komponen frekuensi nol diletakkan di tengah-tengah spektrum. Untuk
memberikan gambaran fungsi ini, perhatikan contoh berikut.

X=
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 183

1 2 3 4
5 6 7 8
9 10 11 12
13 14 15 16

Jika dikenakan perintah seperti berikut

fftshift(X)

diperoleh hasil berupa:

ans =

11 12 9 10
15 16 13 14
3 4 1 2
7 8 5 6

Gambar 6.5 menunjukkan model penukaran keempat kuadran yang bersebrangan


secara diagonal melalui fftshift.

Gambar 6.5 Penukaran kuadran melalui fftshift


184 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Contoh berikut menunjukkan efek penukaran fftshift pada hasil transformasi


Fourier:

>> G = fftshift(F); 
>> imshow(log(1+abs(G)),[]) 
>>

Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 6.3(d).

6.7 Penapisan pada Kawasan Frekuensi

Sebagaimana telah diutarakan pada Gambar 6.1, penapisan dapat dilakukan


pada kawasan frekuensi. Menurut teorema konvolusi, konvolusi pada kawasan
frekuensi dapat dilakukan dengan mengalikan F(v, u) dengan H(v,u) (Gonzalez,
dkk., 2004). Dalam hal ini, H(v,u) dinamakan sebagai fungsi transfer filter dan
diperoleh melalui pengenaan DFT terhadap h(y,x), yang merupakan kernel
konvolusi pada kawasan spasial.
Satu hal yang perlu diperhatikan pada kawasan frekuensi, penapisan dapat
menimbulkan problem akibat konvolusi. Problem yang dimaksud dikenal dengan
nama wraparound error atau spatial aliasing error (Bovik, 2009). Hal ini
disebabkan pada kawasan frekuensi terdapat fungsi periodis (yang berulang
setelah jarak tertentu) yang membuat gambar akan diulang (seperti efek
pengubinan) dan akibatnya membuat interferensi pada konvolusi. Gambar 6.6(a)
menunjukkan dua citra yaitu f dan h. Adapun Gambar 6.6(b) menunjukkan operasi
konvolusi pada koordinat (m, n). Berdasarkan Gambar 6.6(b), piksel (m, n)
dihitung sebagai penjumlahan atas perkalian antara piksel di f dan h. Hasilnya
tentu saja mengandung kesalahan yaitu ketika perkalian antara f dan h yang
berulang ikut dijumlahkan.
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 185

Gambar 6.6 Problem wraparound error

Untuk mengatasi wraparound error, fungsi f dan h dimodifikasi dengan cara


memperbesar ukurannya dan bagian yang diperluas diisi dengan nol. Cara
perluasan ukuran dan pemberian nilai nol seperti itu dinamakan sebagai zero
padding. Gambar 6.7(a) menunjukkan keadaan setelah zero padding dikenakan
pada citra f dan h. Adapun Gambar 6.7(b) menunjukkan bahwa konvolusi pada
suatu koordinat piksel tidak lagi mengandung wraparound error.
186 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Gambar 6.7 Efek zero padding pada konvolusi pengulangan

Gonzales, dkk. (2004) menjelaskan cara menentukan ukuran baru untuk citra
f dan h. Misalkan, f berukuran a x b dan h berukuran c x d. Kedua fungsi tersebut
diperluas menjadi berukuran p x q. Maka, ukuran untuk p dan q harus memenuhi

p > a + c -1 (6.9)

dan
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 187

q > b + d -1 (6.10)

Apabila menggunakan FFT, nilai p dan q dipilih sehingga memenuhi

2r

dengan r adalah bilangan bulat. Dalam praktik, nilai p dan q acapkali dibuat sama,
yaitu sebesar r. Dengan kata lain, nilai r harus memenuhi persamaan berikut:

2r > a + c -1 (6.11)

dan

2r > b + d -1 (6.12)

Dengan asumsi bahwa ukuran citra f jauh lebih besar daripada citra h, satu
pendekatan yang biasa dilakukan untuk memperoleh nilai p dan q untuk
kepentingan zero padding menggunakan algoritma seperti berikut.

ALGORITMA 6.1 – Menentukan ukuran zero padding


Masukan:
 f dan h (masing-masing berupa citra berukuran a x b dan c x
d)

Keluaran:
 pxq (ukuran baru citra untuk f dan h)

1. m  max(a, b)

2. Cari nilai r sehingga memenuhi 2r > 2m – 1

3. p 2q
4. q 2q
188 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Di Octave dan MATLAB, nilai q berdasarkan Algoritma 6.1 dapat


diperoleh melalui:

nextpow2(2 * max(a, b))

Adapun contoh berikut menunjukkan pemakaian zero padding.

>> Fs = imread('C:\Image\kotatua.png'); 
>> Hs = fspecial('sobel'); 
>> size(Fs) 
ans =

747 500

>> Ff = fft2(Fs, 512, 512); 


>> Hf = fft2(Hs, 512, 512); 
>> G = Hf .* Ff; 
>> F = real(ifft2(G)); 
>> Fx = F(1:250, 1:250); 
>> imshow(uint8(Fx)) 

Pada contoh di atas, pengaturan 512 didasarkan pada perhitungan untuk zero
padding seperti yang telah dibahas di depan, mengingat ukuran citra berupa
250x250. Pada perintah di atas,

Fx = F(1:250, 1:250);

digunakan untuk mengambil citra seperti ukuran citra semula. Gambar 6.8
menunjukkan contoh citra yang diproses dan hasil pemfilteran.
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 189

Gambar 6.8 Contoh pemfilteran dengan filter Sobel pada kawasan frekuensi

Pada perintah di depan

Hs = fspecial('sobel');

digunakan untuk memperoleh filter Sobel. Fungsi fspecial


disediakan oleh paket Image Processing. Implementasi fungsi
Sobel yang tidak menggunakan fspecial akan dibahas pada
Bab 10.

Skrip berikut ditujukan untuk memudahkan dalam menangani penapisan pada


kawasan frekuensi melalui FFT.

Program : filterdft.m

function F = filterdft(berkas, H)
% FILTERDFT Digunakan untuk melaksanakan pemfilteran
% pada kawasan frekuensi menggunakan FFT.
% Masukan:
% berkas - nama citra
% H - kernel pada kawasan spasial
% Keluaran:
% F - citra yang telah difilter
190 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Fs = double(imread(berkas));
[a, b] = size(Fs); %Peroleh ukuran citra

% Menentukan ukuran baru untuk perluasan citra


r = nextpow2(2 * max(a, b));
p = 2 ^ r;
q = p;

% Transformasi via FFT dengan zero padding


Ff = fft2(Fs, p, q);
Hf = fft2(H, p, q);

% Konvolusi
G = Hf .* Ff;

% Peroleh citra hasil pemfilteran


F = real(ifft2(G));
F = uint8(F(1:a, 1:b));

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi filterdft:

>> H = fspecial(’sobel’); 
>> F = filterdft('C:\Image\kotatua.png', H); 
>> imshow(F) 

6.8 Filter Lolos-Rendah

Filter lolos-bawah (low-pass filter) adalah filter yang mempunyai sifat dapat
meloloskan yang berfrekuensi rendah dan menghilangkan yang berfrekuensi
tinggi. Efek filter ini membuat perubahan level keabuan menjadi lebih lembut.
Filter ini berguna untuk menghaluskan derau atau untuk kepentingan interpolasi
tepi objek dalam citra. Tiga jenis filter lolos-rendah dilihat pada Tabel 6.1.
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 191

Tabel 6.1 Filter lolos-rendah


Filter Citra terkait
Ideal

Butterworth

Gaussian
192 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Jenis filter lolos-rendah pada kawasan frekuensi yang paling sederhana


adalah yang dinamakan ILPF (Ideal Low Pass Filter). Filter ini memiliki fungsi
transfer seperti berikut:

1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐷(𝑣, 𝑢) ≤ 𝐷0
𝐻 (𝑣, 𝑢) = { (6.13)
0 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐷(𝑣, 𝑢) > 𝐷0

Dalam hal ini, D0 adalah bilangan non-negatif yang biasa disebut radius filter,
yang menentukan ambang frekuensi, dan D(v,u) adalah jarak antara (v,u) terhadap
pusat filter, yang dinyatakan dengan

𝐷 (𝑣, 𝑢) = √𝑣 2 + 𝑢2 (6.14)

Skrip berikut menunjukkan suatu fungsi yang ditujukan untuk memfilter citra
menggunakan ILPF.

Program : ilpf.m

function F = ilpf(berkas, d0)


% ILPF Digunakan untuk melaksanakan pemfilteran
% pada kawasan frekuensi menggunakan ILPF.
% Masukan:
% berkas - nama citra
% d0 - menentukan frekuensi ambang
% Keluaran:
% F - citra yang telah difilter

Fs = double(imread(berkas));
[a, b] = size(Fs); %Peroleh ukuran citra

% Menentukan ukuran baru untuk perluasan citra


r = nextpow2(2 * max(a, b));
p = 2 ^ r;
q = p;

% Menentukan jangkauan frekuensi u dan v


u = 0:(p - 1);
v = 0:(q - 1);

% Hitung indeks untuk meshgrid


idx = find(u > q/2);
u(idx) = u(idx) - q;
idy = find(v > p/2);
v(idy) = v(idy) - p;
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 193

% Peroleh array meshgrid


[V, U] = meshgrid(v, u);

% Hitung jarak D(v,u)


D = sqrt(V.^2 + U.^2);

% Hitung frekuensi ambang sebesar d0 kalai lebar citra


ambang = d0 * q;

% Peroleh fungsi transfer


Hf = double(D <= ambang);

% Transformasi via FFT dengan zero padding


Ff = fft2(Fs, p, q);

% Pemfilteran
G = Hf .* Ff;

% Transformasi balik
F = real(ifft2(G));
F = uint8(F(1:a, 1:b));

Akhir Program

Contoh pemakaian fungsi ilpf:

>> F = ilpf('C:\Image\kotatua.png', 0.08); imshow(F) 

Gambar 6.9 merupakan contoh penerapan IDLF untuk berbagai nilai d0 yang
diterapkan pada kotatua.png.
194 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Gambar 6.9 Hasil penerapan ILPF

BLPF (Butterworth low pass filter) merupakan jenis filter lolos-rendah yang
digunakan untuk memperbaiki efek bergelombang yang dikenal dengan sebutan
ringing, yang diakibatkan oleh ILPF. Berbeda dengan ILPF, BLPF tidak memiliki
titik diskontinu yang tajam. Fungsi transfernya berupa

1
𝐻 (𝑣, 𝑢) = (6.15)
1+[𝐷 (𝑣,𝑢)/𝐷0 ]2𝑛

Dalam hal ini, n dinamakan orde filter.


Skrip berikut menunjukkan suatu fungsi yang ditujukan untuk memfilter citra
menggunakan BLPF.

Program : blpf.m
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 195

function F = blpf(berkas, d0, n)


% BLPF Digunakan untuk melaksanakan pemfilteran
% pada kawasan frekuensi menggunakan BLPF.
% Masukan:
% berkas - nama citra
% d0 - menentukan frekuensi ambang
% n - menentukan faktor n
% Keluaran:
% F - citra yang telah difilter

Fs = double(imread(berkas));
[a, b] = size(Fs); %Peroleh ukuran citra

% Menentukan ukuran baru untuk perluasan citra


r = nextpow2(2 * max(a, b));
p = 2 ^ r;
q = p;

% Menentukan jangkauan frekuensi u dan v


u = 0:(p - 1);
v = 0:(q - 1);

% Hitung indeks untuk meshgrid


idx = find(u > q/2);
u(idx) = u(idx) - q;
idy = find(v > p/2);
v(idy) = v(idy) - p;

% Peroleh array meshgrid


[V, U] = meshgrid(v, u);

% Hitung jarak D(v,u)


D = sqrt(V.^2 + U.^2);

% Menentukan n kalau n tidak disebutkan


if nargin == 2
n = 1;
end

ambang = d0 * p; % Hitung frekuensi ambang


Hf = 1 ./ (1 + D ./ ambang^(2 * n));

% Transformasi via FFT dengan zero padding


Ff = fft2(Fs, p, q);

% Pemfilteran
G = Hf .* Ff;

% Transformasi balik
F = real(ifft2(G));
F = uint8(F(1:a, 1:b));

Akhir Program
196 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Contoh pemakaian fungsi blpf:

>> F = blpf('C:\Image\kotatua.png', 0.02, 0.3 ); 


>> imshow(F) 

Gambar 6.10 dan 6.11 merupakan contoh penerapan IDLF untuk berbagai nilai d0
dan n yang berbeda yang diterapkan pada kotatua.png.

Gambar 6.10 Hasil penerapan BLPF dengan N =1


Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 197

Gambar 6.11 Hasil penerapan BLPF untuk berbagai N

GLPF (Gaussian low pass filter) merupakan filter lolos-rendah dengan fungsi
transfer seperti berikut:

𝐷2 (𝑣,𝑢)
𝐻 (𝑣, 𝑢) = 𝑒 2𝜎2 (6.16)

dengan 𝜎 merupakan deviasi standar. Sebagai contoh, dengan menggunakan 𝜎


sama dengan Do maka

𝐷2 (𝑣,𝑢)
2
𝐻 (𝑣, 𝑢) = 𝑒 2𝐷0 (6.17)

Saat D(v,u) = D0 , filter turun menjadi 0.607 terhadap nilai maksimum 1.


198 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Contoh berikut merupakan fungsi yang digunakan untuk melakukan


pemfilteran dengan GLPF.

Program : glpf.m

function F = glpf(berkas, d0)


% GLPF Digunakan untuk melaksanakan pemfilteran
% pada kawasan frekuensi menggunakan GLPF.
% Masukan:
% berkas - nama citra
% d0 - menentukan frekuensi ambang
% Keluaran:
% F - citra yang telah difilter

Fs = double(imread(berkas));
[a, b] = size(Fs); %Peroleh ukuran citra

% Menentukan ukuran baru untuk perluasan citra


r = nextpow2(2 * max(a, b));
p = 2 ^ r;
q = p;

% Menentukan jangkauan frekuensi u dan v


u = 0:(p - 1);
v = 0:(q - 1);

% Hitung indeks untuk meshgrid


idx = find(u > q/2);
u(idx) = u(idx) - q;
idy = find(v > p/2);
v(idy) = v(idy) - p;

% Peroleh array meshgrid


[V, U] = meshgrid(v, u);

% Hitung jarak D(v,u)


D = sqrt(V.^2 + U.^2);

% Menentukan n kalau n tidak disebutkan


if nargin == 2
n = 1;
end

ambang = d0 * p; % Hitung frekuensi ambang


Hf = exp(-(D.^2) ./ (2 * ambang ^ 2));

% Transformasi via FFT dengan zero padding


Ff = fft2(Fs, p, q);

% Pemfilteran
G = Hf .* Ff;

% Transformasi balik
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 199

F = real(ifft2(G));
F = uint8(F(1:a, 1:b));

Akhir Program

Contoh pemakaian fungsi di glpf:

>> F = glpf('C:\Image\kotatua.png', 0.05); 


>> imshow(F) 

Gambar 6.12 merupakan contoh penerapan GLPF untuk berbagai nilai d0 yang
diterapkan pada kotatua.png.

Gambar 6.12 Hasil penerapan filter GLPF


200 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

6.9 Filter Lolos-Tinggi

Filter lolos-tinggi adalah filter yang ditujukan untuk menekan frekuensi


rendah hingga frekuensi tertentu dan meloloskan frekuensi lainnya. Filter ini
memiliki hubungan dengan filter lolos-rendah seperti berikut:

𝐻𝑙𝑡 (𝑣, 𝑢) = 1 − 𝐻𝑙𝑟 (𝑣, 𝑢) (6.18)

Dengan Hlt (v,u) adalah fungsi transfer filter lolos-tinggi dan Hlf(v,u) adalah fungsi
transfer filter lolos-rendah.
Tiga jenis filter lolos-tinggi dilihat di Tabel 6.3. Ketiga filter yang tercantum
dalam tersebut yaitu IHPF (Ideal high pass filter), BHPF (Butterworth high pass
filter), dan GHPF (Gaussian high pass filter).

Tabel 6.3 Filter lolos-tinggi


Filter Citra terkait
Ideal

Butterworth
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 201

Filter Citra terkait


Gaussian

Contoh berikut menunjukkan implementasi filter BHPF untuk memfilter


citra.

Program : bhpf.m

function F = bhpf(berkas, d0, n)


% BHPF Digunakan untuk melaksanakan pemfilteran
% pada kawasan frekuensi menggunakan BHPF.
% Masukan:
% berkas - nama citra
% d0 - menentukan frekuensi ambang
% n - menentukan faktor n
% Keluaran:
% F - citra yang telah difilter

Fs = double(imread(berkas));
[a, b] = size(Fs); %Peroleh ukuran citra

% Menentukan ukuran baru untuk perluasan citra


r = nextpow2(2 * max(a, b));
p = 2 ^ r;
q = p;

% Menentukan jangkauan frekuensi u dan v


u = 0:(p - 1);
v = 0:(q - 1);

% Hitung indeks untuk meshgrid


202 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

idx = find(u > q/2);


u(idx) = u(idx) - q;
idy = find(v > p/2);
v(idy) = v(idy) - p;

% Peroleh array meshgrid


[V, U] = meshgrid(v, u);

% Hitung jarak D(v,u)


D = sqrt(V.^2 + U.^2);

% Menentukan n kalau n tidak disebutkan


if nargin == 2
n = 1;
end

ambang = d0 * p; % Hitung frekuensi ambang


Hlr = 1 ./ (1 + (D ./ ambang) .^(2 * n)); % Lolos-rendah
Hlt = 1 - Hlr; % Lolos-tinggi

% Transformasi via FFT dengan zero padding


Ff = fft2(Fs, p, q);

% Pemfilteran
G = Hlt .* Ff;

% Transformasi balik
F = real(ifft2(G));
F = uint8(F(1:a, 1:b));

Akhir Program

Contoh pemakaian fungsi blpf:

>> F = bhpf('C:\Image\goldhill.png', 0.005, 1 ); 


>> imshow(F) 

Gambar 6.13 menunjukkan gambar asli dan hasil pemrosesan dengan perintah di
atas.
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 203

Gambar 6.13 Pemfilteran dengan BHPF

Hasil pada Gambar 6.13(b) menunjukkan bahwa penerapan BHPF pada citra
membuat latarbelakang menjadi hampir hilang, karena nilai intensitas reratanya
hilang (menjadi nol).

6.10 Pemfilteran dengan Pendekatan High Frequency Emphasis

Penerapan filter lolos-tinggi dengan cara yang telah dibahas menimbulkan


efek berupa hilangnya latarbelakang. Hal ini disebabkan pemfilteran dengan cara
tersebut menghilangkan komponen DC (F(0,0)).
Nah, untuk mengatasi hal itu, terdapat pendekatan yang dinamakan
pemfilteran high frequency emphasis (HFE). Dalam hal ini, penonjolan frekuensi
tinggi diatur melalui rumus:

𝐻ℎ𝑓𝑒 (𝑣, 𝑢) = 𝑎 + 𝑏𝐻𝑙𝑡 (𝑣, 𝑢) (6.19)

Dalam hal ini,

 Hlt adalah fungsi transfer filter lolos-tinggi;


 a adalah nilai ofset, sebagai penambah nilai rerata intensitas;
 b adalah nilai pengali, untuk meningkatkan kontras.
204 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

Gonzales, dkk. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan a sebesar 0,5 dan b


sebesar 2 memberikan hasil yang memuaskan pada citra medis. Nilai a dan b
itulah yang dicoba digunakan pada program berikut.

Program : hfe.m

function F = hfe(berkas, d0, n)


% HFE Digunakan untuk melaksanakan pemfilteran
% pada kawasan frekuensi menggunakan BHPF
% dan menerapkan HFE (High frequency emphasis).
% Masukan:
% berkas - nama citra
% d0 - menentukan frekuensi ambang
% n - menentukan faktor n
% Keluaran:
% F - citra yang telah difilter

Fs = double(imread(berkas));
[a, b] = size(Fs); %Peroleh ukuran citra

% Menentukan ukuran baru untuk perluasan citra


r = nextpow2(2 * max(a, b));
p = 2 ^ r;
q = p;

% Menentukan jangkauan frekuensi u dan v


u = 0:(p - 1);
v = 0:(q - 1);

% Hitung indeks untuk meshgrid


idx = find(u > q/2);
u(idx) = u(idx) - q;
idy = find(v > p/2);
v(idy) = v(idy) - p;

% Peroleh array meshgrid


[V, U] = meshgrid(v, u);

% Hitung jarak D(v,u)


D = sqrt(V.^2 + U.^2);

% Menentukan n kalau n tidak disebutkan


if nargin == 2
n = 1;
end

ambang = d0 * p; % Hitung frekuensi ambang


Hlr = 1 ./ (1 + (D ./ ambang) .^(2 * n)); % Lolos-rendah
Hlt = 1 - Hlr; % Lolos-tinggi

% Proses HFE
Hfe = 0.5 + 2 * Hlt;
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 205

% Transformasi via FFT dengan zero padding


Ff = fft2(Fs, p, q);

% Pemfilteran
G = Hfe .* Ff;

% Transformasi balik
F = real(ifft2(G));
F = uint8(F(1:a, 1:b));

Akhir Program

Contoh penggunaan fungsi hfe:

>> F = hfe('C:\Image\goldhill.png', 0.05, 1 ); 


>> imshow(F) 

Gambar 6.14 menunjukkan gambar asli goldhill.png dan hasil pemrosesan di atas.

Gambar 6.14 Hasil penerapan high frequency emphasis

Terlihat bahwa terjadi penonjolan citra tanpa menghilangkan latarbelakang.


206 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

 Latihan
1. Berikan beberapa contoh transformasi yang mengalihkan ke kawasan
frekuensi.
2. Terdapat data seperti berikut:

f(x) = (3, 4, 4, 5)

Hitunglah transformasi Fourier F(0) hingga F(3).


3. Jelaskan maksud istilah berikut.
(a) Spektrum Fourier
(b) Spektrum daya (power spectrum)
4. Apa yang Anda ketahui mengenai FFT?
5. Apa kegunaan fungsi fftshift?
6. Jelaskan yang dimaksud dengan istilah berikut.
(a) Filter lolos-rendah
(b) Filter lolos-tinggi
7. Apa yang dimaksud dengan wraparound error? Jelaskan cara mengatasinya.
8. Apa yang dimaksud dengan filter- filter berikut?
(a) ILPF
(b) BLPF
(c) GLPF
(d) IHPF
(e) BHPF
(f) GHPF
(g) HFE
9. Buatlah fungsi bernama fillrb dengan 4 buah argumen yang secara
berturut-turut menyatakan matriks citra, frekuensi ambang, dan orde filter.
Fungsi tersebut memberikan nilai balik berupa fungsi transfer filter lolos-
rendah tipe Butterworth. Bantuan: modifikasilah berdasarkan blpf.m.
Pengolahan Citra di Kawasan Frekuensi 207

10. Gambarkan fungsi transfer fillrb pada Soal 9 dengan menggunakan f.


Sebagai contoh, gunakan citra boneka2.png, dengan frekuensi sebesar 0,1, dan
orde filter sebesar 1.
Bantuan: Misalkan, H adalah fungsi transfer yang dihasilkan oleh fillrb,
maka Anda bisa menyajikan filter transfer dengan menggunakan perintah
berikut:

mesh(fftshift(H));
colormap(jet);

11. Dengan menggunakan fungsi fillrb (Soal 9), bagaimana kalau dikehendaki
untuk memperoleh fungsi transfer filter lolos-tinggi Butterworth?
208 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi

You might also like