You are on page 1of 55

CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE

Sabtu, 20 Januari 2018


Oleh:
Andy Bariyadi

Seminar Patelki Cabang Bogor

1
LATAR BELAKANG

DIFTERI merupakan penyakit menular

disebabkan oleh bakteri


CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE

SALURAN LAIN-LAIN
PERNAFASAN ATAS • Kulit
• Hidung • Selaput lendir
• Tonsil • Konjungtiva
• Faring • Kelamin
• Laring
2
LATAR BELAKANG

Penyakit difteri merupakan penyakit menular disebabkan oleh bakteri


C. DIPHTHERIAE yang menyerang saluran pernapasan bagian atas
(hidung, tonsil, faring, laring), selaput lendir atau kulit, kadang-kadang
konjungtiva atau vagina ( 1 – 2 % kasus toksigenik)

pertama kali digambarkan abad ke-5 oleh Hipocrates &


menjadi epidemi abad ke-6
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Klebs tahun 1883, &
berhasil dikembangbiakan oleh Loffler tahun 1884

3
LATAR BELAKANG

 1970an difteri endemis di negara berkembang seperti Karibia, Amerika


Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara & Afrika
 Rusia (1990 an), Seattle Amerika Serikat (1970)

Epidemiologi and Prevention of Vaccine-Preventable Disease


(CDC 2015)

 Difteri  tiga penyebab utama kematian bagi anak-anak < 15 thn


 Tahun 1921, sebanyak 206.000 kasus & 15.520 kematian
 Tahun 1980 – 2011  kasus difteri rata-rata 1 atau 2 per tahun
 Dari 53 kasus dilaporkan 34 (64%) usia >20 thn; 41% usia >40 thn.
Sebagian besar kasus terjadi pada orang yang tidak
diimunisasi/tidak diimunisasi dengan baik

4
LATAR BELAKANG

5
LATAR BELAKANG

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia


merilis data Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit difteri per
November 2017 yaitu terdapat 23 provinsi KLB difteri.

Dari 23 provinsi di Indonesia ini:


1. Jawa Timur  271 kasus & 11 kematian.
2. Jawa Barat  95 kasus &10 kematian
3. Provinsi Banten  81 kasus & 3 kematian

6
LATAR BELAKANG

 Data Kemenkes Januari - Desember 2017 terdapat 450 kasus


difteri di Indonesia, dengan penderita terbanyak adalah anak
berusia 5-9 tahun.

 Karena itu pemerintah akan melaksanakan outbreak response


immunization (ORI) melalui imunisasi DPT dan DT ulang
kepada semua anak <15 th yang tinggal di daerah KLB

7
KARAKTERISTIK UMUM C. DIPHTHERIA

Taksonomi
Kingdom : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Familia : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebecterium
Spesies : Corynebacterium diphtheria

8
KARAKTERISTIK UMUM C. DIPHTHERIA

 Saprofit, banyak ditemukan di air, tanah & udara


 Gram (+), tidak berspora, diameter 0,5-1 μm
 granula metakromatik (Babes-Ernst granules),
susunan V & L
 Tidak tahan terhadap panas & disinfektan
 Dapat bertahan dalam keadaan kering pada
lingkungan selama beberapa minggu

9
KARAKTERISTIK UMUM C. DIPHTHERIA

 Toxin  menyebar ke seluruh tubuh  meninggal dunia

 Berdasarkan bentuk koloni pada media tellurite, derajat keparahan


penyakit yang ditimbulkan & kemampuan memproduksi toksin,
C. Diphtheriae mempunyai 4 tipe yaitu :
1. Gravis
2. Intermedius
3. Mitis
4. Belfanti
Ditumbuhkan dalam suhu 35 – 37OC minimal 24 jam & 3 tipe yang
menghasilkan toksin

10
KARAKTERISTIK UMUM C. DIPHTHERIA

 Bakteri membuat toksin bila


o Kadar besi dalam saluran pernapasan atas turun
• Gen tox akan dihambat oleh suatu molekul
represor yaitu gen DtxR yang diaktivasi oleh besi
• Represor  terikat pada gen tox untuk mencegah
transkripsi gen tox, bila besi tidak terikat pada
molekul repressor ini maka transkripsi gen tox
dapat terjadi

o Bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang


mengandung diphtheria gene tox

11
Dinding Sel

Dikutip dari: schffler8


Cara kerja toksin difteri

Dikutip dari: Todar


Patogenesis difteri

Disadur dari
SPTiwari: CDC,
Mattos-Guaraldi: Diphtheria Remains a Threat to Health in the Developing World An Overview 14
Koneman Diphtheria Remains a Threat to Health in the Developing World An Overview
LATAR BELAKANG

15
DEFINISI OPERASIONAL DIFTERI

16
KLASIFIKASI KASUS

Cheking List for Assessing Patient with Patient Diphteriae


CDC-WHO 2014
17
KLASIFIKASI KASUS

Cheking List for Assessing Patient with Patient Diphteriae


CDC-WHO 2014
18
KLASIFIKASI KASUS

Cheking List for Assessing Patient with Patient Diphteriae


CDC-WHO 2014
19
20
SPESCIMEN COLLECTION

Persiapan Alat Pelindung Diri :


1. Masker bedah
2. Pelindung wajah / face shield
3. Schort / Jas lab
4. Penutup kepala
5. Handscoen

21
SPESCIMEN COLLECTION
Prosedur tindakan :
1. Petugas mencuci tangan
2. Sebelum melakukan tindakan, pakai APD:
• schort / jas lab
• masker bedah
• penutup kepala
• pelindung wajah / face shield
• handscoen / sarung tangan

3. Selesai tindakan, buka APD :


• handscoen
• schort / jas lab
• pelindung wajah / face shield
• penutup kepala
• masker
22
4. Petugas mencuci tangan
SPESCIMEN COLLECTION

Pengambilan Specimen dari Tonsil & Faring

23
Dikutip : Todar10
SPESCIMEN COLLECTION

Pengambilan Swab Hidung

24
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Lab difteri:


• Pemeriksaan mikrobiologi
o Pewarnaan
o Kultur
• Pemeriksaan imunoserologi
• Polymerase Chain Reaction (PCR)

25
Pewarnaan Gram

Christian Gram (1884)


1. Gentian violet
2. Mengintensifkan dengan larutan lugol
3. Menambahkan zat decolorisasi yaitu asam alkohol
4. Pemberian zat penutup larutan fuchsin
26
Pewarnaan Albert
 Pewarnaan menggunakan 2 larutan Albert 1 & Albert 2
• Albert 1  Toluidine Blue, as asetat, alkohol (95%), & air
• Albert 2  iodine, potassium iodide & air
 Prinsip pewarnaan
• Granula C. diphtheriae menyerap toluidine blue  biru tua
• Badannya menyerap iodine  coklat
• Bakteri lain berwarna pucat

27
Pewarnaan Albert

 Prosedur perwarnaan:
• Sediaan difiksasi dengan melewatkan diatas api, berikan
pewarnaan Albert 1 selama 3-5 menit.
• cuci dengan air mengalir & diberi perwarnaan Albert 2
selama 20-30

Keuntungan perwarnaan ini C. diphtheriae lebih terlihat


kontras karena granula terwarnai lebih jelas

28
Pewarnaan Albert

29
Pewarnaan Neisser
 Pewarnaan menggunakan 3 larutan Neisser A, B & C
• Neisser A  Methylen biru, alkohol 70%, asam
acetat, glaciale , & aquadest
• Neisser B  Gentian violet, alkohol absolut, &
Aquadest
Pemakaian : 2 bagian lar. Neisser A + 1 bagian lar.
Neisser B Neisser I

 Larutan Neisser C (Neisser II)


• Chrysoidin, alkohol atau
• Bismark brown, aquadest

30
Pewarnaan Neisser
 Prosedur perwarnaan:
• Setelah fiksasi berikan pewarnaan Neisser I selama
20 detik
• Cuci dengan air mengalir & diberi perwarnaan Neisser
II selama 30 detik.

31
Pewarnaan

32
Kultur C. diphtheriae
 Kultur untuk membedakan varian C. diphtheriae jarang
dilakukan  tidak penting untuk penanganan kasus
atau outbreak secara klinis

 Kultur  agar darah (non selektif) &Tellurite Blood


Agar (selektif)
• Garam Tellurite  menghambat pertumbuhan flora
normal traktus respiratorius, tetapi tidak
menghambat pertumbuhan C. diphtheriae

 Tes Biokimia seperti katalase, nitrat dan urease dapat


digunakan untuk membedakan tipe C. diphtheriae

33
Kultur C. diphtheriae
• Dilakukan pada agar darah (media non selektif) dan
Tellurite Blood Agar (media selektif)

Koloni C.diphtheriae pada agar darah dan agar Tellurite


Dikutip : National standard method
Identifikasi C.diphtheriae berdasarkan kultur
dan tes biokimia
Tipe Media Kultur Tes Biokimia
Agar Tellurite Agar Darah Nitrat urease
C. diphtheriae Koloni berwarna Non Positif Negatif
var gravis hitam/ abu-abu, hemolitik
tidak jernih dengan
diameter 1,5-2,0
mm

C. diphtheriae Koloni berwarna βHemolisis Positif Negatif


var mitis hitam/ abu-abu,
dengan diameter
1,5-2,0 mm,
permukaan halus
dan berkilap,
ukuran bervariasi

C. diphtheriae Koloni berwarna βHemolisis Positif Negatif


var hitam/ abu-abu,
intermedius dengan diameter
1,5-2,0
mm,permukaan
transparan
Dikutip dari: National Standard Method
ALUR LABORATORIUM

36
Tes Biokimia

Public Health England.2014


37
Polymerase Chain Reaction (PCR)

• Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah proses yang


dimediasi oleh enzim untuk mensintesis, mengkopi,
mengamplifikasi asam nukleat tertentu

• PCR digunakan untuk mengidentifikasi bakteri & gen


toksin C. diphtheriae

• Identifikasi bakteri menggunakan analisis dari sekuens


nukleotida dari 16S gen RNA ribosomal (16S rDNA) atau
disebut ribotyping & untuk Identifikasi gen toksin dapat
menggunakan multiplex PCR

38
Polymerase Chain Reaction (PCR)

 Ribotyping

• Merupakan suatu teknik molekular yang


digunakan untuk mengidentifikasi bakteri yang
menggunakan informasi dari analisis pylogenetik
rRNA

• Primer yang digunakan adalah gen 16Sr RNA


pada sekuens 3’ dan 23 Sr RNA pada sekuens 5’

39
Polymerase Chain Reaction (PCR)

40
Polymerase Chain Reaction (PCR)

• Pemeriksaan Multiplex PCR digunakan untuk


mengidentifikasi gen toksin C. diphteriae (dTx)
• mendeteksi sekuens DNA
• Primer yang digunakan adalah (5’
ATCCACTTTTAGTGCGAGAACCTTCGTCA-3’) &
(5’GAAAACTTTTCTTCGTACCACGGGACTAA-3’).

Dikutip dari : Mikhailovich 41


Tes Elek
 Tes Elek adalah tes imunopresipitasi in vitro
(imunodifusi) untuk menentukan apakah strain C.
diphtheriae bersifat toksigenik atau tidak

 Prosedur
Strip/disk yg mengandung antitoksin difteri
ditempatkan di tengah media agar rendah besi
isolat pasien pada permukaan agar & inkubasi
selama 24 – 48 jam dalam suhu 35 – 37°C

 Bila bakteri menghasilkan toksin difteri maka akan


terjadi ikatan antigen-antibodi yang membentuk
garis presipitasi

42
Tes Elek

Baris 1  kontrol negatif


Baris 2  adalah kontrol positif
Baris 3  organisme uji C. diphtheriae non toksigenik
Baris 4  organisme uji C. diphtheria toksigenik

43
Tes Elek

44
45
Test Shick
 Tes kulit untuk menentukan kerentanan atau
kekebalan terhadap difteri
 Toksin difteri akan menyebabkan reaksi
inflamasi ketika jumlah yang sangat kecil
disuntikkan secara intrakutan
 dievaluasi pada 48 jam

46
VAKSIN DIFTERI
• Vaksin DTaP terdiri dari tiga komponentoksoid difteri (D),
toksoid tetanus (T) & komponen antigen bakteri pertusis (aP)

• Vaksin DTP berisi sel bakteri Pertusis utuh dengan ribuan antigen
di dalamnya, termasuk antigen yang tidak diperlukan, Karena
banyak mengandung antigen, maka sering menimbulkan reaksi
panas tinggi, bengkak, merah, nyeri ditempat suntikan.
Sedangkan vaksin DTaP berisi bagian bakteri pertusis yang tidak
utuh, hanya mengandung sedikit antigen yang dibutuhkan saja
sehingga minim efek di atas

• Vaksin DT terdiri dari toksoid difteri (D) & tetanus (T) yang
khusus ditujukan untuk anak yang memiliki reaksi alergi
terhadap vaksin pertusis.

49
MEDIA AMIES

50
Definisi KLB dan kriteria KLB ?

• timbulnya atau meningkatnya


Peraturan Menteri kejadian kesakitan atau
Kesehatan RI No. kematian yang bermakna
949/MENKES/SK/VII secara epidemiologis pada
/2004 suatu daerah dalam kurun
waktu tertentu

• timbulnya atau meningkatnya


kejadian kesakitan yang

DEPKES bermakna secara


epidemiologis dalam kurun
waktu tertentu dan daerah
tertentu
Kriteria KLB
1. Timbulnya suatu penyakit / penyakit menular yang sebelumnya
tidak ada
2. Peningkatan kejadian penyakit / kematian terus menerus selama 3
kurun waktu berturut-turut
3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, dua kali atau lebih.
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan
dua kali lipat atau lebih
5. Angka rata-rata perbulan selama 1 tahun menunjukkan kenaikan
dua kali
6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih
7. Proportional rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu
menunujukkan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama
dan kurun waktu atau tahun sebelumnya.
Daftar Pustaka
• Peraturan menteri kesehatan RI No 1501/2010.
2014. Tersedia dari
https://www.hukor.depkes.go.id/kriteriaKLB
• Gambaran umum kejadian KLB dan wabah. 2015.
tersedia dari https://www.depkes.go.id
Perbedaan antara difteroid dengan C. diphtheriae?

• Difteroid telah digunakan dalam bakteriologi


kedokteran untuk batang gram (+) yang mirip
dengan C. diphtheriae.
• Difteroid tumbuh secara aerob, mempunyai
bentuk yang irreguler
• C. diphtheriae club shape morfology
• Contoh difteroid : Actinomyces spp.,
Actinobaculum spp., Propionibacterium spp.,
Propioniferax spp., Gardnella spp.. etc
G. Funke, A Von Grafenitz. Clinical Microbiology of Coryneform bacteria. Clinical Microbiology reviews.
Jan 2016, 125-159
Han XY. Bacterial Identification Based on Sequence Analysis. Dalam: Tang Y-W, Stratton CW.
Advanced Techniques in Diagnostic Microbiology. Edisi ke-9, United States of America: Springer;
2006. Hlm 323-32
• G. Funke, A Von Grafenitz. Clinical Microbiology
of Coryneform bacteria. Clinical Microbiology
reviews. Jan 2016, 125-159
• Han XY. Bacterial Identification Based on
Sequence Analysis. Dalam: Tang Y-W, Stratton
CW. Advanced Techniques in Diagnostic
Microbiology. Edisi ke-9, United States of
America: Springer; 2006. Hlm 323-32

You might also like