You are on page 1of 15

TUTORIAL

“PERTUSIS”

Oleh :
Sheila Sarasanti
Anugrah Dwi Riski
Azi Bagus M.S
Syifa Ramadhani
Azhariansyah
Andre Bastiazeno

Pembimbing : dr.Primo Parmato, Sp.A


DEFINISI

 Infeksi yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis


atau agen infeksi lainnya, seperti B. parapertusis,
Mycoplasma pneumonia maupun adenovirus. Pertussis
disebut juga sebagai batuk rejan, batuk seratus hari,
whooping cough, tussis quinta atau violent cough.
EPIDEMIOLOGI

 Pertussis paling sering dialami oleh balita (60%) dengan faktor risiko
berat lahir rendah atau imunokompremais.
 Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum
ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita
pertusis cukup tinggi.
 Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang
penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari
jumlah penduduk total.
 Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. 90%
kasus ini terjadi dinegara berkembang.
ETIOLOGI
 Bordetella pertussis merupakan bakteri gram negatif
berbentuk basil pleomorfik. Rata-rata masa inkubasi sekitar
6 hari
PENULARAN
 Cara penularan pertusis, melalui:
• Droplet infection
• Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
 Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui
percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan
yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan
perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya
kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk
dimulai.
PATOGENESIS
 Bakteri pertussis memiliki sejumlah antigen permukaan yang dapat
menempel pada silia epitel saluran pernapasan. Interaksi tersebut
menimbulkan penurunan daya tahan, tetapi daya kemotaksis
berkurang. Pada pemeriksaan darah perifer, seringkali ditemui adanya
limfositosis.
 Proses akan berlanjut hingga merusak jaringan local di saluran
pernapasan. Bakteri juga dapat menghasilkan toksin yang akan
menimbulkan gejala sistemik.
TANDA DAN GEJALA
 Masa inkubasi 5-10 hari (dapat memanjang hingga 21 hari dengan rata-rata 7 hari).
 Stadium kataralis (prodromal, preparoksismal) 1-2 minggu. Gejala umum infeksi saluran
napas atas, injeksi dan peningkatan sekret nasal, dapat disertai demam ringan. Penyakit
ini sangat infeksius pada fase-fase awal.
 Stadium paroksismal (spasmodik) 1-6 minggu. Batuk keras terus-menerus yang diawali
dengan inspirasi memanjang (whoop), batuk pada fase ekspirasi, dan diakhiri dengan
muntah. Disebut juga sebagai whooping cough syndrome. Pola batuk terjadi pada
ekspirasi karena sulitnya membuang mucus dan sekret tebal yang menempel pada
epitel saluran napas.
 Pada bayi kecil, gejala klasik pertussis sering tidak khas dan sering ditemukan pertama
kali dalam kondisi apnea. Komplikasi ke system saraf akibat hipoksia juga lebih sering
terjadi pada bayi.
 Stadium penyembuhan (beberapa minggu hingga bulan). Batuk akan menghilang
secara bertahap. Dengan demikian, total lama sakit antara 6-10 minggu
DIAGNOSIS

Ditegakkan dengan temuan gejala klinis yang khas, seperti batuk rejan dan dibuktikan
dengan identifikasi bakteri penyebab melalui :
 Biakan sekret nasofaring (pada stadium kataralis dan awal stadium paroksismal) atau
 Uji Immunofluoresent, atau
 Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) atau enzyme immunoassay IgG dan
IgM.
Sebagai pendukung, pada pemeriksaan hematologi rutin, ditemukan leukositosis dengan
limfositosis. Sementara itu, pemeriksaan radiologi bermanfaat untuk mendeteksi
komplikasi paru atau infeksi sekunder, bukan untuk diagnosis pertussis
DIAGNOSIS BANDING

 Infeksi virus RSV (Respiratory Syncytial Virus), parainfluenza virus, Klebsiella sp,
atau C. pneumonia (pada bayi).
 Infeksi M.pneumonia yang menyebabkan bronkitis kronis (pada anak besar atau
remaja).
TATALAKSANA
a) Medikamentosa
 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari per oral, terbagi menjadi 4 dosis (maksimal 2 gram)
diberikan selama 14 hari. apabila diberikan pada stadium kataralis dapat
memperpendek periode penularan.
 Alternatif : Trimetroprim-Sulfametoksazol (TMP-SMZ) 6-8 mg/kgBB/hari per oral, terbagi
menjadi 2 dosis (maksimal 1 gram).

b) Suportif
 Hindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, pemberian cairan oksigen dan nutrisi
secara adekuat.
 Untuk bayi berusia < 6 bulan, dianjurkan untuk pengobatan rawat inap karena dapat
timbul komplikasi serius seperti apnea, sianosis atau kejang.
c) Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan
perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak
dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah
batuk.

d) Oksigen
 Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk
paroksismal berat.
 Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan
memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak
menghambat aliran oksigen.
 Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi.
 Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi
yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.
e) Tatalaksana jalan napas
 Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam
posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu
pengeluaran sekret.
 Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan
dengan lembut dan hati-hati.
 Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau
dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.
KOMPLIKASI
 Kejang (1,4-3,0 %)
 Pneumonia (9,5-21,7%)1
 Ensefalopati (0,2-0,8 %)1
 Mortalitas (bayi kecil 1,3%; usia 2-11 bulan 0,2-0,3%)
PENCEGAHAN

 Imunisasi DPT diberikan 3 kali sebagai imunisasi dasar, dilanjutkan dengan imunisasi
ulangan 1 kali (interval 1 tahun setelah DPT3).
 Pada usia 5 tahun, diberikan ulangan lagi (sebelum masuk sekolah) dan pada usia 12
tahun berupa imunisasi Td.
 Pada wanita, imunisasi TT perlu diberikan 1 kali sebelum menikah dan 1 kali pada ibu
hamil, yang bertujuan untuk mencegah tetanus neonatorum (tetanus pada bayi baru
lahir).
 Apabila imunisasi DPT terlambat diberikan, berapa pun interval keterlambatannya,
jangan mengulang dari awal, tetapi lanjutkan imunisasi sesuai jadwal.

You might also like