You are on page 1of 32

SESI 1

Suyamto A.Kep MPH


Medical Surgical Nursing Department
Chain of survival adalah rantai kelangsungan hidup
manusia yang mengarah kepada pasien yang tidak sadar
atau henti jantung sehingga menjadi survive yang lebih
baik.
CHAINS OF SURVIVAL TERDIRI DARI :
1. Mengenal secara dini korban henti jantung, segera menghubungi
ambulans (early acces),
2. Melakukan CPR (early CPR),
3. Memberikan defibrilasi secepat mungkin (early defibrillation),
4. Memberikan bantuan hidup lanjut yang efektif dan
5. Memberikan perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi (early
advance care) (travers, et al, 2010).
Penanganan cardiac arrest menggunakan prinsip chains
of survival yang dikeluarkan oleh American Heart
Association (AHA) 2010, dan jika terjadi diluar rumah
sakit penggunaannya dengan menggunakan pendekatan
Emergency Medical Services (EMS).

TINDAKAN JIKA TERJADI DI LUAR


RUMAH SAKIT
In Hospital Cardiac Arrests (IHCAs) vs Out-Hospital Cardiac Arrests (OHCAs)
Patients with OHCA depend on elements within the community for
support.

Penolong awam harus mengetahui tanda dan gelaja terjadinya


cardiac arrest, call for help, dan memulai CPR dan melakukan
defibrilasi awal sampai tim EMS datang dan membawa pasien ke
rumah sakit.

Idealnya, semua korban OHCA menerima CPR dan defibrilasi secara


standar. Jika CPR dan defibrilasi tidak dilakukan hingga tim EMS
datang, kesempatan korban bertahan hidup lebih rendah.
 Menurut Faferman (2007), sejumlah penelitian sekarang
mengkonfirmasi kesempatan terbaik untuk bertahan hidup
tergantung pada dua faktor yaitu bystander cardiopulmonary
resuscitation (CPR) dan defibrilasi.

 CPR adalah link penting yang masih lemah dalam chain of


survival untuk serangan jantung diluar rumah sakit (OHCA)
(Vaillancourt, Stiell, Wells, 2008).
1. Pasien dengan IHCA lebih tergantung pada
pengawasan dan pencegahan cardiac arrest.

2. Ketika cardiac arrest terjadi, informasi dan respon


yang cepat harus menghasilkan interaksi dari
berbagai multidisiplin, seperti dokter, perawat, terapis
pernafasan, dan lainnya. Tim ini harus memiliki
kualitass CPR yang tinggi, defibrilasi cepat, dan
bantuan kardiovaskuler.
Pasien dengan kegawatdaruratan jantung, dapat
memasuki sistem perawatan di salah satu poin yang
berbeda.
1. Tahapan chains of survival yang harus dilakukan menurut Travers et al
(2010) adalah yang pertama mengenal korban henti jantung secara cepat
dan menghubungi ambulans (early acces).

Kecepatan mengenali tanda-tanda henti jantung dan segera


menghubungi ambulans (EMS) adalah faktor penentu pertama
kesuksesan resusitasi dan defibrilasi pasien henti jantung (Suharsono
dan Ningsih, 2009).
Penolong harus mengetahui informasi mengenai tanda pasien
henti jantung seperti korban tidak sadar dan tidak bernapas atau
bernapas tetapi tidak normal. Setelah menentukan bahwa korban
tersebut dalam kondisi henti jantung selanjutnya menghubungi
ambulans (Travers, et al., 2010)
1. Rantai kedua adalah Cardio Pulmonary Resuscitation (Early
CPR) dengan penekanan pada kompresi.

2. CPR merupakan aspek fundamental dari tindakan resusitasi


pada korban henti jantung.
CPR harus dilakukan oleh semua penolong:
Tanpa memperhatikan tingkat kemampuan
penolong; Karakteristik korban; Sumber daya
yang tersedia.

CPR yang seharusnya diberikan kepada korban henti


jantung adalah CPR yang berkualitas tinggi (Travers, et al.,
2010).
 CPR yang dilakukan oleh bystander CPR sebelum kedatangan
tim penyelamat telah terbukti dapat meningkatkan
kelangsungan hidup setelah serangan jantung diluar rumah
sakit (out-of-hospital).

 CPR yang dilakukan oleh orang awam sebelum kedatangan tim


kesehatan dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien
dengan henti jantung
1. Rantai ketiga adalah pemberian defibrilator secepat mungkin
(Rapid Defibrilator).
2. Defibrilasi merupakan faktor penting dalam menentukan
keberhasilan penanganan henti jantung karena defibrilasi
diberikan dengan tujuan untuk mengembalikan ritme jantung
ke kondisi normal.
3. Pentinganya defibrilasi dini diberikan pada korban henti
jantung karena 85% kasus terjadi di luar rumah sakit.
1. Defibrilator atau kerap disebut juga sebagai alat pacu jantung adalah alat
yang digunakan untuk memberikan pertolongan kepada pasien serangan
jantung. Tindakan ini dilakukan degan cara memberikan terapi energi
listrik dengan jumlah tertentu pada jantung pasien.

2. Defibrilasi dilakukan dengan menempelkan elektrode pada alat


defibrilator ke dada pasien untuk memberikan kejut jantung. Dengan alat
pacu jantung diharapkan dapat membangun kembali irama sinus normal
jantung yang tadinya mengalami gangguan
Post Cardiac Arrest Care
Targeted Temperature Management

Induced Hypotermia

Untuk melindungi otak dan organ lainnya, hipotermia harus diatur pada pasien setelah
mendapatkan Return of Spontaneous Circulation (ROSC).
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa hipotermia meningkatkan fungsi neurologis
pada pasien koma.

Penelitian pada tikus, durasi hipotermia yang pendek (≤ 1 jam) dicapai < 10 sampai 20
menit setelah ROSC lebih bermanfaat jika dibandingkan hipotermia yang tertunda.
Suhu : 32-34o C (89, 6 oF-93,2 oF)
Durasi yang optimal : minimal 1 jam dan < 24 jam sesegera mungkin
Indikasi :
1. Pada pasien dewasa yang koma dengan ROSC setelah out-of-hospital VF
cardiac arrest
2. Pada pasien dewasa koma dengan ROSC setelah cardiac arrest di rumah
sakit

Metode yang digunakan adalah:


1. Cooling blankets and frequent application of ice bags.
2. Iced isotonic fluid (500mL to 30 mL/kg of saline 0,9% or Ringer’s
lactate)

Pengukuran:
1. Esophageal thermometer
2. Bladder Catheter in nonanuric patients
3. Pulmonary artery Catheter
KEGAWATDARURATAN SISTEM PERSYARAFAN

• CVA
1 • Kelompok 1

• Kejang Demam
2 • Kelompok 2

• Cedera Kepala
3 • Kelompok 3

You might also like