You are on page 1of 157

Diskusi Kelompok 2 

Alergi
• Scully. Medical Problems in Dentistry. 6th edition. Churchill Livingstone.
2010.
• Little J.W, Fallace D.A., Miller C.S., Rhodus N.L. Dental management of the
medically compromised patient. St. Louis, Mo.: Mosby Elsevier; 2008.
Definisi
• Alergi adalah respon abnormal atau respon
hipersensitivitas dari sistem imun terhadap
substansi yang masuk ke dalam tubuh.
• Alergi merupakan hasil dari reaksi imunologis
terhadap substansi asing non infeksius (antigen).
• Alergi terjadi karena reaksi berulang terhadap
substansi asing tersebut. Reaksi ini termasuk
beberapa tipe hipersensitivitas imunologik.
• Menurut coombs & gell terdapat 4 tipe
hipersensitivitas: Tipe I (anaphylactic
hypersensitivity), Tipe II (antibody-dependent
cytotoxic hypersensitivity), Tipe III (immune
complex-mediated hypersensitivity), Tipe IV
(cell- mediated hypersensitivity)
Etiologi

• Berasal dari reaksi imunologi terhadap benda asing yang non infeksi
(antigen).
• Terdiri dari beberapa tipe yaitu humoral (Limfosit T), selular (Limfosit
B) dan nonspesifik.
• Substansi asing yang memicu terjadinya reaksi hipersensitivitas
dinamakan allergen atau antigen. Alergi biasanya dipicu oleh allergen
berupa serbuk sari (pollen), debu tungau (dust mites), jamur
(mould), bulu hewan peliharaan (pet dander), susu dan protein
telur, pada beberapa kasus alergi tidak dapat diidentifikasi.
Gejala
• Gejala klinis alergi bergantung pada asal respon,
antigen, dan predisposisi alergi individu.
• Gejala dan tanda awal reaksi hipersensitivitas tipe I
(immediate) yaitu wheezing, breathlessness,
sneezing, runny eyes, itching dan urticaria, biasanya
terjadi selama beberapa menit hingga jam.
• Seiring dengan reaksi berlanjut, dapat terjadi
bronkospasm, hipotensi akut, dan angiodema wajah
dan laringofaring yang dapat mengancam jiwa yaitu
shock anafilaktif.
Gejala
• Reaksi yang terjadi <1 jam • Reaksi yang terjadi >1
setelah terpapar alergen jam setelah terpapar
 Anafilaktik alergen
 Ruam makulopapula
 Urtikaria
 Fixed drug eruption
 Rhinitis  Different exanthema
 Conjunctivitis  urtikaria
 Bronchospasm  Blistering disease
 Gejala gastrointestinal  Drug reaction with
eosinophilia & systemic
 Angioedema syndrome
 Acute generalized
exanthematous pustulosis
Gejala
Gejala Klinis
• Terjadi pada kontak alergi (reaksi
hipersensitivitas tipe IV) yaitu
terdapat inflamasi local pada
daerah yang terkena kontak
allergen (kulit atau membrane
mukosa).
• Kontak alergi (kontak iritan)
dermatitis dapat disebabkan oleh
kontak metal, desinfektan, rubber,
detergent, dan bonding agent.
Rash atau ruam biasa terlihat pada
reaksi hipersensitivitas ini.
Manifestasi Oral & Faktor Predisposisi
• Hipersensitivitas tipe I: dermatitis alergi, eritema multiforme
• Hipersensitivitas tipe IV : stomatitis kontak, lesi linchenoid
• Faktor Predisposisi:
• Riwayat Keluarga/Genetik
• Memiliki Penyakit atropik
• Daya tahan tubuh seseorang
Sign and Symtomps
Reaksi Alergi dalam Bidang Kedokteran Gigi

• Local Anestestik
• Antibiotik
• Analgesik
• Rubber product
• Dental material dan produknya
Reaksi alergi
Sumber:
Little and Falace - Dental Management of the Medically
Compromised Patient 8th edition, 2012 (Chapter 19)
Kumar Vinay dkk. Robbins Basic Pathology 9th Edition, 2013
(Chapter 4)
Reaksi Alergi

Reaksi hipersensitivitas dibagi


kedalam empat tipe berdasarkan
prinsip mekanisme imun yang
bertanggung jawab terhadap
injuri, tiga merupakan variasi dari
antibody-mediated injury
sedangkan yang keempat
merupakan T-cell mediated (Table
4.1).
Alasan pengklasifikasian ini adalah mekanisme imun terhadap injuri yang
kemduain menjadi prediktor yang baik terhadap manifestasi klinis dan mungkin
juga membantu dalam pemilihan terapi.
IMMEDIATE (TYPE I) HYPERSENSITIVITY

Biasanya disebabkan oleh


makanan (seperti kacang, telur, terjadi segera setelah kontak
susu), antibiotik, dan gigitan dengan antigen.
serangga

Pada paparan yang pertama


Saat IgE yang pada sel tidak akan terjadi reaksi
mast/basofil atau reseptor apapun namun keadaan tubuh
spesifik lain mengikat sudah mempersiapkan akan
anafilatoksin terjadi reaksi alergi apabila ada
paparan selanjutnya

Maka sel mast/basofil akan


terstimulasi untuk
Timbul reaksi atopy hingga
mengeluarkan berbagai
anafilaksis
mediator peradangan seperti
histamin, prostaglandin
ANTIBODY MEDIATED DISEASES (TIPE II
HYPERSENSITIVITY)

Merupakan reaksi yang terjadi


ketika IgG dan IgM bersatu dan
berikatan dengan antigen yang
melekat pada sel darah.
Antibodi menempel
antigen (sel B
Antigen terdapat pada Sel  mati atau menjadi
memproduksi antibody
permukaan sel normal non fungsional
yang menyerang sel) 
aktivasi complement
IMMUNE COMPLEX DISEASES
(TYPE III HYPERSENSITIVITY)
Merupakan reaksi Setelah berikatan, masuk ke
berikatannya IgM dan IgG jaringan tubuh (pembuluh
dengan antigen. darah/synovial membrane)

Setelah berikatan dengan


activated complement akan
terjadi reaksi dengan cara
memicu neutrofil untuk
Kemudian berikatan dengan
menghasilkan zat mediator
activated complement
inflamasi seperti histamin
sehingga terjadi
vasodilatasi pada dinding
pembuluh darah
T-CELL MEDIATED (TYPE IV) HYPERSENSITIVITY
Sel hapten dari
allergen berikatan
Kulit terpapar dnegan protein Masuk kedalam
alergen pembawa dari makrofag
tubuh  ikatan
antigenik kompleks

Sensitisasi Sel limfosit T Perotein berubah


bentuk menjadi
(proliferasi dan berikatan dengan MHC kelas II 
diferensiasi) hapten keluar dari makrofag

Membelah dan
bertambah jumlahnya
Eritema Multiforme
Definisi
EM Minor
Eritema Multiforme (EM) adalah • Keterlibatan kulit < 10% dan keterlibatan
penyakit mukokutan inflamatori yang membrane mukosa minimal bahkan tidak
bersifat akut dan self-limiting. ada. Pemicunya HSV, TB &histoplasmosis

EM memiliki karakteristik berupa lesi


EM Mayor
pada kulit dan atau lesi ulser pada • Lebih ekstensif tetapi tetap ada
mukosa oral. karakteristik keterlibatan kulit, mukosa
oral dan membrane mukosa lain
Sering terjadi pada laki-laki dan pada terpengaruh. Pemicunya beberapa obat-
usia antara 20-40 tahun (dewasa obatan sistemik tertentu. Barbiturat,
muda), 20% terjadi pada anak-anak. sulfonamide, antikejang
Etiologi dan
Patogenesis
• Penyebab pasti EM belum diketahui,
namun diduga kuat karena reaksi
hipersensitivitas
• Antigennya bisa berbagai
mikroorganisme (70% HSV) dan obat

Target hostnya pada pembuluh darah kecil di kulit atau mukosa. Antigen
HSV memicu reaksi hipersensitivitas T cell-mediated delayed-type yang
menghasilkan interferon- yang dapat menguatkan sistem imun tubuh
dengan meningkatkan fungsi sel T, makrofag, dan natural killer cells. Sel T
sitotoksik dan natural killer cells ini akan merusak sel-sel epitel
Gambaran Klinis Intra Oral
• Lesi bervariasi mulai dari eritema, erosi, hingga ulserasi
berbatas tidak jelas (ill-defined margin) yang terasa nyeri 
tdk bisa makan dan minym
• Pada fase awal dapat terlihat vesikel atau bula
• Lesi bula, erosi, dan ulser dikelilingi oleh area inflamasi yang
meluas
• Paling sering mengenai bagian anterior mulut bibir, mukosa
bukal, palatum, lidah, dan mukosa labial
• Bibir sering terlihat bengkak, pecah-pecah, crusting (krusta),
dan berdarah.
• Biasanya disertai dengan gejala prodromal : malaise, demam, pusing,
sakit tenggorokan, rhinorea, batuk
Ulserasi dan eritema pada mukosa labial, bukal, dan lidah
• Lesi iris yang berbentuk cicin eritem konsentris yang dipisahkan cicin
yang menyerupai warna kulit
• Manifestasi lain pada kulit: makula, papula, vesikel, bula, dan plak urtika. paling sering
terjadi pada ekstremitas, wajah, dan leher. Kulit biasanya gatal dan terasa terbakar

Bibir bengkak, berdarah, dan terdapat krusta


Vesikel
Gambaran Klinis Ekstra Oral
• Lesi kulit muncul cepat selama beberapa hari
• Diawali dengan bentuk makula merah pada kulit  menjadi papular
terutama di daerah ekstremitas tubuh (dimulai dari tangan 
berpindah ke batang tubuh secara simetris  paling sering di daerah
ekstremitas atas, wajah dan leher)
• Lesi kulit yang khas berupa blister/lepuhan atau jaringan nekrosis di
beberapa tempat dan dibatasi cincin konsentrik dengan warna yang
bervariasi di sekitarnya  disebut typical target atau iris lesion
• Morfologi lesi bervariasi, maka digunakan terminologi “multiforme”
 dapat berupa makula, papular, vesikel, bula, atau plak urtikaria
• Kulit terasa gatal, sakit dan terbakar
• Pada individu yang berkulit gelap dapat terjadi hiperpimentasi setelah
inflamasi  makin memburuk oleh paparan matahari

• Pada EM Mayor keterlibatan dapat terjadi pada mulut, mata, kulit,


genital, esofagus, dan saluran pernafasan biasanya disebut SJS/
Steven Johnson Syndrome
• Ulserasi superficial, sering didahului oleh bulla, umum terjadi pada
seluruh area yang terpengaruh. Inflamasi ocular (conjunctivitis dan
uveitis) dapat menyebabkan jaringan parut dan kebutaan
Gambaran • Gambaran histopatologi EM
Histopatologis terdiri dari:
• Apoptosis dan nekrosis
keratinocyte  biasanya
ditemukan keratinosit basal
dan parabasal yang
mengalami apoptosis
• Edema atau hiperplasia
epitel&spongioisis
(epitelialedema)
• Infiltrasi limfosit di bawah
epitel dan di sekitar
pembuluh darah
(perivaskular) dermis
• Pembentukan vesikel atau
bula intraepitel dan pada
subepitel (antara epithel dan
jaringan ikat)
Diagnosis
Diagnosis Banding
• Pemeriksaan klinis • Apabila terdapat lesi kulit target 
• Tes serologi untuk HSV, Mycoplasma sudah jelas EM, namun apabila
pneumonia, atau mikroorganisme lain tidak ada lesi kulit dan hanya ada
• Biopsi jaringan sekitar lesi, dengan manifestasi oral, terdapat
pemeriksaan histologis dan immuno- beberapa kemungkinan diagnosis
staining banding:
• Kurangnya gejala sistemik, lokasi lesi • Infeksi primer HSV
(bibir, mukosa oral, lidah dan palatum)
ukuran lesi yang besar, adanya lesi kulit • Aphtous ulcers
target, dan adanya riwayat pemakaian • Pemphigus dan pemphigoid
obat dan penyakit infeksi merupakan
tanda-tanda untuk mendiagnosis EM • Erosive lichen planus
Diagnosis
Banding Infeksi primer HSV

EM Infeksi HSV
Tampakan Ulser besar Ulser kecil
Gejala Target lesion pada kulit Ulserasi kulit
Mild – severe Moderate – severe
Lokasi Mukosa bukal dan labial, Gingiva, bibir, kulit perioral
lidah, bibir, palatum,
ektermitas
Usia Dewasa muda Anak-anak
Penyebab Reaksi hipersensitivitas HSV
Perawatan Terapi simptomatik, steroid Acyclovir
Diagnosis Banding

Aphtous Ulcers Masing-masing lesi terpisah dengan jelas,


sedangkan lesi EM diffuse.

Ada ulserasi oral dan lesi kulit tapi berupa bula


Pemphigus dan bukan makula/papula, penyebaran lesinya ke
Pemphigoid arah tengah mendekati batang tubuh sama
seperti EM, sifatnya kronis, berkembang lambat,
biasanya berlangsung selama beberapa bulan
sedangkan EM hanya beberapa minggu.
Perawatan

-Untuk EM minor  dibutuhkan perawatan simptomatik untuk menghilangkan


nyeri berupa analgesik sistemik atau topikal, kortikosteroid topikal, chlorhexidine,
atau gel lidokain, serta terapi suportif yaitu menjaga kebersihan rongga mulut.

-Untuk EM mayor  topical dan sistemik kortikosteroid untuk mengatasi lesi,


acyclovir 400-600mg 2x sehari untuk mencegah terjadinya rekurensi, hospitalisasi.

-Perawatan suportif berupa irigasi rongga mulut, intake cairan yang adekuat, dan
penggunaan antipiretik.
STEVENS-JOHNSON SYNDROME (SJS)
&
TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS (TEN)

Burkets Oral Medicine 12th ed - Michael Glick


Scully - Medical Problems in Dentistry 5th Ed
Definisi
• Stevens-Johnson Syndrome  suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium, dan disertai gejala umum yang
berat.
• Toxic Epidermal Necrolysis  istilah yang digunakan ketika
detachment kulit yang sangat luas dan terjadi keterlibatan mukosa.

Stevens-Johnson Syndrome  <10% detachment pada permukaan tubuh.

Overlapping SJS & TEN (transisi)  10-30% detachment pada tubuh.

Toxic Epidermal Necrolysis  >30% detachment pada permukaan tubuh.


Etiologi
• Etiologi  reaksi toksik terhadap obat. (terutama antibakteri
sulfonamide, NSAID oxicam, allopurinol, antipsikotik, dan
antiepileptic/antikonvulsan).
• Terkait dengan HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah
nevirapine dan kotrimoksazol. Reaksi ini biasanya dialami
setelah mulai konsumsi obat, biasanya dalam 2-3 minggu.
• infeksi Mycoplasma Pneumonia dan tidak berkaitan dengan
HSV
Patogenesis
• SJS merupakan reaksi hipersensitivitas obat spesifik dimana limfosit T sitotoksik
berperan pada tahap inisiasi.  tipe II
• Tahap awal penyakit ditandai dengan cairan lepuhan (blister fluid) yang
mengandung banyak limfosit T CD8+ dan ditandai dengan gambaran MHC kelas I
yang mengakibatkan CD8+, CTL (cytotoxic T lymphocytes).
• Hal ini juga diikuti dengan reaksi imun sehingga mengakibatkan SJS/TEN. Selain
itu, ada keterlibatan dari molekul sitotoksik FasL dan granylysin sebagai molekul
yang berperan dalam apoptosis keratinosit yang meluas.
• Sasaran utama pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan
terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 dan sitokin meningkat
• CD4 terdapat di dermis, CD8 pada lapisan epidermis.
• Keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II.
• Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF-α epidermis meningkat.
Gambaran Klinis
• Tampak secara klinis 8 minggu setelah paparan obat
• demam, sakit kepala, rhinitis, dan myalgia mungkin
dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbulnya lesi
mukokutaneus
• keterlibatan mukosa membrane nyeri saat
menelan/ rasa terbakar pada mata dapat terjadi
• Lesi Kutaneus
• Lesi awalnya menyebar secara simetris pada wajah,
dada, dan ekstrimitas bagian proksimal. Bagian distal
ekstrimitas biasanya tidak terkena, namun setelah
beberapa hari atau bahkan beberapa jam, rash dapat
menyebar ke seluruh tubuh.
• Lesi kulit awalnya berupa macula kemerahan yang
bentuknya ireguler. Terkadang lesi berbentuk seperti
target dengan warna yang lebih gelap di bagian tengah
• Epidermis eritematous yang luas dan menyebar
menandakan terjadinya nekrosis. Daerah yang
kemerahan ini mudah mengalami dislodgement akibat
tekanan lateral. Dislodgement tersebut menandakan
Nikolsky’s sign positif
• Pada tahap ini lesi menjadi flaccid blister, yang mudah
rapuh ketika diberi tekanan.
• Lesi epidermis yang nekrotik tersebut mudah detach
ketika diberi gaya friksi, sehingga menampakkan lapisan
dermis yang merah dan terkadang berdarah
Signs and Symptoms
• Gejala prodromal: demam tinggi, nyeri kepala, batuk, pilek,
pegal otot, muntah, dan nyeri tenggorokan yang berlangsung
selama 2 minggu.
• Gejala ini dengan segera akan menjari berat yang ditandai
meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, kelemahan
hebat serta menurunnya kesadaran.
Kelainan kulit

• Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal,


dan bulla. Eritema berbentuk cincin yang
berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler
berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi
sejenis dengan vesikel kecil.
• Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga
terjadi erosi yang luas.
• Erupsi hemorrhagis berupa ptechiae atau purpura.
Kelainan selaput lendir di orifisium

• Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa


mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat
genetalia (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-
masing 8% - 4%).
• Kelainan yang terjadi berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah,
mukosa mulut bagian buccal. Stomatitis ini kemudian menjadi lebih
berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi,
excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan berbentuk krusta kehitaman. Juga
dapat terbentuk pseudomembran.
• Pada bibir  krusta berwarna hitam yang tebal.
• Kelainan di mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius
bagian atas dan esophagus. Terbentuknya pseudomembran di faring
dapat memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat
makan dan minum.
Kelainan mata

• Yang sering terjadi ialah conjunctivitis kataralis.


• Selain itu dapat terjadi conjunctivities purulen,
pendarahan, simblefaron, ulcus kornea,
iritis/iridosiklitis  kebutaan.
Pemeriksaan
Histopatologis

• Terdapat kerusakan epidermal yang


bervariasi.
• Terjadi perubahan epidermal dengan
degenerasi sel basal vakuola dan vesikel
subepidermal.
• Pada dermis, terlihat adanya infiltrasi
limfosit dan histiosit yang kadang
terlihat sedikit eosinophil.
• Muncul juga gambaran apiptosis
keratinosit yang diikuti dengan
nekrosis.
DD
Perawatan
Kortikosteroid
• Pada sindrom stevens johnson yang
ringan cukup diobati dengan prednison
dengan dosis 30 - 40 mg/hari. Pada
bentuk yang berat, ditandai dengan
kesadaran yang menurun dan kelainan
yang menyeluruh, digunakan
dexametason intravena dengan dosis
awal 4 – 6 x 5mg/hari. Setelah
beberapa hari (2-3 hari) biasanya
mulai tampak perbaikan.
• Pada saat ini dosis dexametason
diturunkan secara cepat, setiap hari
diturunkan sebanyak 5mg. Setelah
dosis mencapai 5mg sehari  tablet
prednison dengan dosis 20mg sehari.
• Pada hari berikutnya dosis diturunkan
menjadi 10mg, kemudian obat tersebut
dihentikan.
Antibiotika

• Mencegah terjadinya infeksi akibat efek


imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada
dosis tinnggi.
• Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakterisidal.
• Dahulu biasa digunakan gentamisin dengan dosis 2
x 60-80 mg/hari. Sekarang dipakai netilmisin sulfat
dengan dosis 6 mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua.
Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi

• Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran


atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
ditenggorokan serta kesadaran yang menurun.
• Diberikan infus yang berupa glukosa 5% atau larutan darrow.
• Pada pemberian kortikosteroid terjadi retensi natrium ,
kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk mengurangi efek
samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah garam,
KCl 3x500mg/hari dan obat-obat anabolik.
• Untuk mencegah penekanan korteks kelenjar adrenal diberikan
ACTH (Synacthen depot) dengan dosis 1mg/hari setiap minggu
dimulai setelah pemberian kortikosteroid.
Transfusi Darah

• Bila dengan terapi di atas belum tampak tanda-tanda


perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300-500 cc setiap hari
selama 2 hari berturut-turut.
• Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki
keadaan umum dan menggantikan kehilangan darah
pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus
purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500
mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-obat
hemostatik.
Perawatan Topikal

• Untuk lesi kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle


yang bersifat sebagai protektif dan antiseptic atau
krem sulfadiazin perak.
• Lesi dimulut/bibir dapat diolesi dengan kenalog in
obrase.
• Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi
pada beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk
mengetahui apakah ada kelainan difaring, karena
kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang
dapat menyulitkan penderita bernafas.
CHEILITIS/Cheilosis

Regezi, Laskaris, SCULLY, Dan neville


Definisi

Cheilitis adalah peradangan pada bibir yang dapat disebabkan oleh berbagai
factor, antara lain seperti infeksi (virus, bakteri ataupun candida), alergi
(hipersensitivitas lokal terhadap obat-obatan, antibiotik, makanan, kosmetik,
atau bahan-bahan kimia tertentu seperti pasta gigi) dan fotosensitivitas yang
dapat menyebabkan cheilitis kronis, bibir bersisik, berfisur dan bengkak dan
dapat menyebabkan prekanker.
Daerah yang paling umum terkena cheilitis adalah bibir bawah. Lesi ini dapat
terlokalisasi di bibir atau dapat meluas ke mukokutan yang berdekatan atau
bahkan sampai ke kulit wajah.
Macam
Actinic Cheilitis
dan Solar
Cheilosis

Contact Exfoliative
Cheilitis Cheilitis

Cheilitis
Cheilitis Drug-Retaled
Granulomatosa Cheilitis

Cheilitis Angular
Glandularis Cheilitis
Cheilitis Glandularis
a. Definisi
• Cheilitis glandularis merupakan kondisi inflamasi kronik yang jarang (rare), terjadi pada kelenjar saliva minor dan
salurannya dimana saliva kental disekresikan dari duktus serta terjadi di bibir bawah
b. Etiologi
• Menurut Laskaris dan Burket: Tidak diketahui namun kemungkinan berhubungan dengan Actinic damage,
tembakau, sifilis, poor hygiene, dan hereditas/ kelainan pada autosom dominan.
c. Gambaran klinis
• karakteristik terjadi pada bibir bawah, walaupun terdapat kasus yang melibatkan bibir atas dan palatum
• Individu dapat merasakan pembengkakan/ swelling sebagai akibat dari hipertrofi/hiperplasia dan inflamasi
kelenjar
• Pembukaan duktus saliva minor terinflamasi dan terdilatasi, tekanan pada bibir dapat menghasilkan sekret
mukopurulen/ mukus/mukopustular dari pembukaan duktus/ saluran
• sering terjadi pada pria usia pertengahan (middle-aged) dan usia lanjut, walaupun juga terjadi pada wanita dan
anak-anak
• Secara historis, cheilitis glandularis diklasifikasikan menjadi tiga tipe, berdasarkan pada keparahan penyakit:
• Simple
• Superficial suppurative (Baelz’s disease)
• Deep suppurative (cheilitis glandularis apostematosa)
d. Gambaran histopatologis
• Temuan mikroskopis cheilitis glandularis tidak
spesifik dan biasanya terdiri dari sialadenitis f. Tatalaksana
kronis dan dilatasi duktus. Pada beberapa • Terapi Nonfarmakologi
kasus perubahan dysplastic mungkin dapat Treatment of choice pada cheilitis glandularis
diamati di permukaan epitel persisten yang berhubungan dengan actinic
e. Differential diagnosis damage adalah vermilionectomy (lip shave)
• Cheilits granulomatosa yang biasanya menunjukkan cosmetic result
• Melkersson-Rosental Syndrome (ini ditandai yang memuaskan. 18-35% kasus berhubungan
dgn cheilitis granulomatosa dengan perkembangan squamous cell
• paralisis wajah carcinoma pada epitel bibir. Degenerasi
• lidah berfisur malignant kemungkinan disebabkan oleh radiasi
• edem wajah dan intraoral) matahari.
• Chron disease • Terapi Farmakologi
• Sarcoidosis Farmakologi diberikan oral minocycline (100 mg
• Cystic Fibrosis 1x sehari) dengan tacrolimus ointment 0.1% 2x
sehari selama 6 minggu.
Actinic Cheilitis dan Solar Cheilosis

Actinic atau solar cheilitis merepresentasikan degenerasi jaringan


vermilion (membran mukosa yang kering) bibir, khususnya bibir
bawah sebagai hasil dari paparan kronis sinar matahari. Penyakit
ini dianggap kondisi yang berpotensi menjadi ganas. Penyakit ini
sering terjadi khususnya pada orang berkulit putih.
Patogenesisnya sama dengan actinic keratosis pada kulit.
a. Etiologi

• Paparan terhadap sinar matahari yang berkepanjangan dengan gelombang cahaya 2900 dan
3200nm (ultraviolet B). Energi ini tidak hanya mempengaruhi epitel, tetapi juga jaringan ikat
superfisial

b. Tampilan Kliinis
• Actinic cheilosis jarang terjadi pada manusia berumur < 45 tahun (seringnya diatas 50 thn).
Memiliki predileksi kuat pada laki-laki dengan rasio laki-perempuan setinggi 10:1.
• Lesi berkembang secara perlahan sehingga pasien seringkali tidak menyadari perubahannya.
Perubahan klinis yang paling awal meliputi atrofi vermilion bibir bawah, dikarakteristikan dengan
berwarna pucat hingga putih keabuan, terlihat glossy dan sering kali terdapat fisura dan kerutan
tepat pada cutaneous-vermilion junction. (Figure 3-21).
• Biasanya terdapat pembengkakan bilateral yang firm pada bibir bawah. Pada kasus yang lebih
rumit, mucocutaneous junction yang awalnya dapat dibedakan menjadi irregular atau hilang
sepenuhnya, dengan derajat epidermisasi vermilion.
• Seiring berjalannya progresi lesi, area yang kasar dan berkerak terbentuk pada daerah yang lebih
kering di vermilion. Area ini dapat menebal dan dapat terlihat sebagai lesi leukoplakik, khususnya
ketika ia meluas dekat wet line bibir. Pasien biasanya mengeluh terdapat material berkerak yang
dapat dikuliti tetapi agak sulit, dan terbentuk lagi beberapa hari kemudian. Area berupa titik-titik
akibat hiperpigmentasi dan keratosis sering ditemukan, dan juga kerak yang dangkal, bibir pecah-
pecah, erosi, ulserasi dan krusta (Figure 3-22)
• Progresi lesi lebih lanjut menyebabkan berkembangnya ulserasi fokal kronik pada satu atau dua area
(Fig. 10-92). Ulserasi seperti ini dapat bertahan hingga beberapa bulan dan dapat menunjukan
progresi ke arah squamous cell carcinoma (Fig.10-93)
c. Histopatologi
• Menurut Regezi, Epitel diatasnya umumnya atrofik dan hiperkeratotik dan dapat menunjukan epitelial dysplasia
dari ringan hingga parah. Perubahan basofilik pada submukosa yang disebut dengan solar elastosis (altered
elastin yang menggantikan kolagen normal) dan telangiectasia juga dapat terlihat. Telangiectasia merupakan
dilatasi permanen pembuluh darah kecil (kapiler, arterioles, venula) membentuk lesi fokal yang terdiskolorisasi
pada kulit atau membran mukosa.
• Menurut Neville, actinic cheilosis umumnya dikarakteristikan dengan adanya epitel skuamosa berlapis yang atrofi
dengan adanya produksi keratin. Terdapat beragam derajat epitelial dysplasia yang ditemukan. Sel-sel inflamasi
ringan menginfiltrasi umumnya di bawah epitelium displastik. Jaringan ikat dibawahnya menunjukan pita amorf,
aselular, perubahan basofilik yang disebut dengan solar (actinic) elastosis, merupakan perubahan kolagen dan
serat elastik yang diinduksi oleh ultraviolet.
d. Perawatan
• Jika terdeteksi terjadi perubahan atipikal pada
• Jika paparan terhadap sinar ultraviolet matahari epitel, dapat dilakukan vermilionectomy dengan
berlanjut, proses degeneratif dapat menuju kepada mucosal advancement untuk menggantikan
keganasan. vermilion yang rusak. Mukosa vermilion
• Penggunaan lip balm yang mengandung agen dibuang kemudian bagian mukosa labial
sunscreens contohnya para-aminobenzoic acid intraoral ditarik kedepan atau luka dibiarkan
(PABA) atau derivatny diindikasikan saat terpapar sembuh dengan intervensi sekunder. Operasi ini
matahari pada pasien beresiko tinggi. berhubungan dengen beberapa morbiditas,
• Jika pasien alergi terhadap PABA, maka harus umumnya berhubungan dengan parastesia
diresepkan yang non-para-aminobenzoic acid. Agen bibir, oleh karena itu mendorong beberapa
sun-blocking sepeti titanium dioksida atau zinc untuk melakukan wedge excision untuk lesi
oxide menyediakan proteksi penuh terhadap UV A yang mencurigakan.
dan UV B dan juga dikehendaki. • Hasil yang baik didapat dari bedah laser atau
• Kerusakan kronis akibat matahari memerlukan cryosurgery dengan topikal 5-fluorouracil.
eksaminasi dan biopsi jika ulserasi persisten atau Topical imiquimod, sebuah stimulan imun, telah
jika terjadi pengerasan. digunakan dan hasilnya lesi mulai membersih
dalam 4 minggu.
e. Differential diagnosis

• Leukoplakia
• Lichen planus
• Lupus erythematous
• Early suamous-cell carcinoma, cheilitis due to radiation\

Cheilitis granulomatosa
Melkersson–Rosenthal syndrome
Crohn disease
Sarcoidosis
Cystic fibrosis
Cheilitis Granulomatosa (Orofacial Granulomatosis/
OFG)
a. Definisi d. Etiologi
• OFG merupakan pembengkakan kronis pada bibir. • Penyebab OFG tidak diketahui, namun
Kondisi ini jarang terjadi dan mirip dengan Crohn mungkin berhubungan dengan Crohn disease,
disease, disebabkan oleh inflamasi granulomatosa. Melkersson-Rosental Syndrome dan
OFG juga dapat bermanifestasi dengan angular predisposisi genetik. Reaksi hipersensitivitas
stomatitis dan/atau bibir pecah-pecah, ulser, mucosal mungkin terlibat
tags, cobble-stoning atau hiperplasia gingiva. e. Histopatologi
• kelainan kronis yang langka pada bibir • Kemungkinan dimediasi oleh sitokin seperti
b. Insidensi tumor necrosis factor (TNF) alfa, dan oleh
• Jarang terjadi/tidak umum protease-activated receptors (PARs), matrix
• Umur: remaja dan dewasa muda metalloproteinase (MMPs), dan cycooxygenase
• Gender: dominan pria (COXs)
c. Faktor predisposisi
• Submucosal dan kronis dengan Th1 dan
• OFG seringkali muncul sebagai adverse reaction
mononuclear, IL-1 memproduksi sel B yang
terhadap berbagai macam makanan atau aditif
besar dan aktif
seperti cinnamic aldehyde, benzoate, butylared
• Berhubungan dengan granuloma pada lamina
hydroxyinosole atau dodecyl gallate (pada margarin),
propria, yang menyebabkan obstruksi limfatik
atau menthol (pada peppermint oil). Dapat juga
muncul karena perkembangan gastrointestinal Crohn dan limfoedema, yang menyebabkan
diseas atau sarcoidosis. pembengkakan secara klinis.
f. Gambaran klinis
• Non-tender swelling, tidak sakit dan • Bentuk bibir normal pada akhirnya berubah karena
pembesaran salah satu atau kedua bibir. Bisa persistensi limfoedema dan granuloma pada lamina
juga pada salah satu atau kedua pipi propria
• Pada awalnya pembengkakan berkurang • Ketika menjadi kronis, bibir yang membesar tampak
pecah dan berfisur, dengan diskolorasi coklat
sepenuhnya dalam beberapa jam atau hari,
kemerahan dan pada akhirnya memiliki konsistensi
namun apabila terjadi rekurensi pembengkakan
seperti karet/ firm rubber.
bertahan, lambat laun meningkat dan pada • Penebalan dan pelipatan/ folding pada mukosa oral
akhirnya menjadi permanen menghasilkan tamplilan ‘cobble-stone’ dan mucosal
• Bibir yang terlibat mungkin terasa lembut, keras tags. Granulomatous enlargement berwarna ungu
atau bernodul saat palpasi mungkin nampak pada gingiva
• Terdapat vesikel- vesikel kecil dan erosi • Nampak ulser: melibatkan sulkus buccal sebagai ulser
• Pembengkakan pada lingual, palatal, gingival, linear dengan masa granulomatosa
dan buccal juga dapat terjadi namun jarang. • Fisur pada lidah (pada 20-40% kasus)
Dahi, kelopak mata, atau salah satu sisi kulit
kepala juga dapat terlibat
• Terkadang disertai dengan: g. Differential diagnosis
 Demam, sakit kepala dan gangguan visual • Cheilitis glandularis, crohn disease,
 Kehilangan kemampuan pengecapan rasa sarcoidosis, cystic fibrosis, lymphangioma,
dan penurunan sekresi kelenjar saliva angioneurotic edema
 Pembesaran nodus limfa servikal h. Perawatan
 Dapat terjadi defek pada SSP • Steroid sistemik atau topical, tetrasiklin,
 Terkadang terdapat defisit pada nervus dan bedah plastic untuk kasus yang parah
kranial (olfaktori, fasial, auditori,
glosofaringeal, vagus, dan hypoglossal).
Fasial palsy terjadi pada 30% kasus. Pada
awalnya intermittent dan dapat menjadi
permanen, dapat unilateral maupun
bilateral
Exfoliative Cheilitis
a. Definisi
• Merupakan inflamasi kronik, ditandai dengan pengerakan, krusta dan mengelupasan vermilion
border, biasanya melibatkan kedua bibir.
• kelainan inflamasi yang terus menerus dan mengelupas pada bibir terutama pada bagian
vermillion border.

b. Etiologi
• Proses ini timbul dari produksi berlebihan keratin superfisial yang selanjutnya diikuti oleh
deskuamasi keratin tsb. Kebanyakan kasus berhubungan dengan injuri kronis yang disebabkan
oleh kebiasaan seperti menjilat, menggigit, mengelupasi atau menghisap bibir. Kasus-kasus yang
terbukti timbul dari injuri kronis disebut factitious cheilitis. Beberapa kasus juga ditemukan
exfoliative cheilitis yang idiopatik.
c. Tampilan klinis
• Terdapat predominansi pada perempuan dengan < 30 tahun. Dengan tingkat keparahan bervariasi dari bulan-
tahun.
• Kasus ringan meilupti:
 Bibir kering
 Pecah yang kronik pada vermilion border bibir
• Progresi lebih lanjut, vermilion dapat tertutup dengan menebal oleh kerak hiper keratotik kekuningan yang
dapat berdarah atau yang mungkin menunjukkan fissuring luas.
• Kulit perioral mungkin terlibat dan menunjukan area crusted eritema (Gbr. 8-37). Meskipun pola ini mungkin
membingungkan dengan dermatitis perioral, nama yang paling cocok untuk kondisi ini adalah circumoral
dermatitis. Bibir atas dan bawah dapat terlibat.
Pola penyakit ini berulang dan menghasilkan warna kekuningan, penebalan hiperkeratotik, krusta, dan bibir
berfisur.
• Pada cheilitis kronis:
 fissure di perbatasan vermilion
 lebih umum pada bibir atas
 predileksi pada laki-laki. Mayoritas muncul pada orang dewasa muda, dengan kejadian langka
tercatat pada anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua
 Meskipun penyebabnya tidak diketahui, faktor yang mungkin terlibat ialah paparan berlebih dari
matahari, angin, dan cuaca dingin; bernafas melalui mulut; infeksi bakteri atau jamur ;dan
merokok
 Penggunaan lipstik atau lip balm dapat membantu.
• Differential diagnosis
 Contact cheilitits
 Actinic cheilitis
• Perawatan dan diagnosis
 Pada kasus dimana etiologinya jelas, maka eliminasi pemicunya
 Kasus yang merupakan hasil dari infeksi kandida sering kali tidak sembuh hingga trauma kronik juga
dieliminasi. Terapi menggunakan agen antifungal, antibiotik atau keduanya dapat diberikan
 Krim hidrokortison dan iodoquinol (antibakteri dan antimikotik) telah digunakan untuk menyembuhkan
fisura bibir yang kronis pada beberapa pasien (Fig. 8-38).
 Terapi lain: kortikosteroid, takrolimus topikal, sunscreens dan sediaan yang melembabkan.
 Bila terjadi resistensi terhadap terapi topikal atau rekurensi cryotherapy atau eksisi dengan atau tanpa
Z-plasty.
 Pada kasus dimana tidak terdapat penyebab fisik, infeksius atau alergi, maka beri psikoterapi (seringkali
dikombinasikan dengan mild tranquilization atau stress reduction).
 Pada kasus dimana tidak ada penyebab yang dapat ditemukan, intervensi terapetik biasanya tidak berhasil.
Drug-Retaled Cheilitis
Cheilitis umumnya disebabkan oleh reaksi kontak dengan kosmetik atau
makanan, tetapi obat-obatan juga dapat terlibat), seperti :
Angular Cheilitis
a. Definisi: Angular cheilitis atau perlèche adalah kelainan yang sering terjadi pada sudut-sudut mulut.
b. Indisdensi: Angular cheilitis umum terjadi. Seringkali terjadi pada orang dewasa, terutama kelompok usia
lanjut. Terjadi baik pada pria maupun wanita. Bersifat kronik.
c. Etiologi: dapat disebabkan infeksi (Candida albicans staphylococci, streptococci), trauma mekanis
(turunnya dimensi vertical, trauma mekanis), nutrisi atau imunologi. faktor predisposisinya dikenal
dengan 3D:
• Dental appliance atau denture-wearing, denture-related stomatitis yang merupakan faktor
predisposisi kandidiasis:
 Dry mouth
 Merokok (tembakau)
• Defisiensi, seperti:
 Anemia defisiensi
 Defisiensi besi, zinc
 Hypovitaminosis
 Malabsorsi (misalnya Crohn disease) atau eating disorders
 Penurunan laju saliva
 Defek imun, misalnya Down syndrome, infeksi HIV, diabetes, kanker, immunosupresi
• Disorders, yaitu ketika terjadi perubahan hubungan anatomis pada bibir, seperti penurunan
DV oklusi, atau bibir yang membesar, seperti orofacial granulomatosis, Crohn disease, dan
Down syndrome. Menurut Little n Falace, angular cheilits ini bisa muncul akibat manifestasi
sistemik Gejala sjrogen sindrom (krn xerostomia presisten), Hepatitis alkoholik, Sirosis hati,
Candidiasis eritemaous, anoreksia nervosa, IBD, Plasma cell gingivitis (alergi thdp permen
karet).

d. Gambaran klinis:
• Kondisi ini dikarakteristikan dengan eritema, fisur, erosi, krusta. Lesi tidak meluas dari border
mukokutan. Pasien merasakan burning sensation dan kering pada sudut-sudut bibir. Angular
cheilitis seringkali muncul sebagai area eritema triangular dan edem pada kedua komisura.
Mudah terjadi rekurensi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis
• Dapat meluas dari vermillion border ke kulit wajah, yang membentuk garis- garis fisur yang
berasal dari sudut mulut (rhagades) pada penggunaan GT yang severe
e. Rencana perawatan
• Koreksi dimensi vertical, steroid topikal, dan obat salep antifungal
Contact Chelitis
a. Definisi
• Contact cheilitis merupakan kelainan inflamasi akut
pada bibir
b. Etiologi
• Kontak topikal dengan agen-agen kimiawi
c. Gambaran klinis
• Dikarakteristikan dengan edema dan eritema ringan
d. Differential diagnosis
yang diikuti iritasi, sisik yang tebal biasanya berlokasi
di vermilion border kedua bibir. Diagnosis ditegakkan • Exfoliative cheilitis, plasma-cell cheilitis
berdasarkan kriteria klinis dan skin patch test. e. Rencana perawatan
• Hentikan kontak dengan agen kimiawi dan
berikan steroid topikal.
STOMATITIS
MEDIKAMENTOSA
ETIOLOGI

• Reaksi alergi obat terhadap mukosa. Reaksi


obat bergantung dari kondisi pasien dimana
terdapat individu yang memiliki
kecenderungan lebih besar untuk bereaksi
terhadap obat
PATOGENESIS
GAMBARAN KLINIS

Accquired Angioderma
- Etiologi : Disebabkan obat atau makanan seperti kacang dan ikan laut.
- Patogenesis : Reaksi alergi IgE-mediated.
Obat (antigen) sel Mast terikat dengan igE di kulit atau mukosa  sel Mast melepaskan isinya  angioderma
- Gambaran klinis :
• Lesi lunak
• Diffuse
• Bengkak, tidak sakit, terdapat pada bibir, leher, atau wajah
• Tidak ada perubahan warna
• Lesi biasanya akan berkurang dalam 1-2 hari dan bisa rekuren
• Keterlibatan laring atau pita suara membutuhkan perawatan darurat
GAMBARAN KLINIS

• Manifestasi oral dari reaksi obat dapat


berupa erythematous, vesicular atau
ulseratif. Kadang juga terlihat seperti
lichen planus, sehingga disebut
lichenoid drug reactions.
• Ulser menyebar yang mirip dengan
eritema multiformis juga merupakan
tanda-tanda dari reaksi obat
GAMBARAN HISTOPATOLOGI

Gambaran mikroskopik pada drug reaction berupa non spesifik berupa


- spongiosis,
- apotosis keratinosit,
- infiltrasi limfoid,
- eosinophil,
- ulserasi.
• Terlihat juga pola seperti mukositis (infiltrasi limfoid yang terfokus pada permukaan
jaringan ikat-epitel) pada reaksi alergi di mukosa
DIAGNOSIS

1. Riwayat penggunaan obat – obatan terakhir

2. Pada reaksi lupus-like, serum untuk melihat antibody antinuclear generic


diperlukan. Apabila merupakan reaksi obat, maka terlihat adanya ANA generic,
sedangkan pada lupus eritematosa antibody melawan DNA.

3. Pada pasien dengan lichenoid – drug reaction, tes immunofluorescence


menunjukkan adanya keterlibatan IgG.
PERAWATAN

- Utama : identifikasi dan penghentian agen penyebab drug reactions.

- Jika penghentian ini tidak mungkin dilakukan  substitusi obat

- Reaksi akut lokal : kortikosteroid topikal

- Terdapat manifestasi sistemik (misalnya stomatitis anafilaksis) : antihistamin atau


kortikosteroid
STOMATITIS
VENENATA (CONTACT ALLERGIES)
ETIOLOGI

Reaksi alergi kontak dapat diakibatkan oleh stimulasi antigenik oleh zat-zat asing, seperti :

• Makanan : permen, permen karet, kayu manis (cinnamon)

• Zat pengawet

• Produk perawatan mulut : pasta gigi, obat kumur, antimikroba topikal, steroid topikal,
golongan iodide, essential oils, anestesi topikal

• Bahan selama perawatan dental : bahan pada basis gigi tiruan seperti akrilik, bahan gloves,
dan rubber dam.
PATOGENESIS

• Reaksi hipersensitifitas tipe IV, respon umum dimediasi oleh sel T.

• Fase sensitisasi, sel epitel Langerhans muncul dan mengenali serta memproses
antigen asing yang masuk kedalam epitel tubuh.

• Sel Langerhans lalu membawa faktor penentu antigen tersebut ke limfosit T.


Limfosit mensekresikan mediator inflamasi (sitokin) yang menyebabkan terjadinya
perubahan klinis dan histologis.
GAMBARAN KLINIS

• Lesi kontak alergi muncul didekat lokasi agen


penyebab. Dapat berupa eritematous, erosive,
vesicular, lichenoid dan lesi ulseratif.

• Sering terlihat pada kulit, jarang pada intraoral

• Stomatitis kontak alergi dapat terjadi akut


maupun kronis
GAMBARAN KLINIS

Stomatitis kontak akut: Stomatitis kontak kronis:

• Rasa terbakar (burning sensation) • Erythematous atau berwarna putih


• Kemerahan yang terjadi bervariasi dari dan hyperkeratosis
• Dapaat muncul erosi pada area
ringan hingga lesi eritematous dengan
yang terkena efek
atau tanpa edema • Beberapa allergen terutama pasta
• Jarang terdapat vesikel gigi dapat menyebabkan eritema
• Ulserasi superficial yang menyebar dengan deskuamasi
• Rasa gatal, stinging, tingling dan edema. pada lapisan superfisial epitelium.
GAMBARAN HISTOPATOLOGI

Secara mikroskopis, jaringan ikat dan epitelium menunjukkan tanda- tanda inflamasi.
- Pada epitelium dapat terlihat adanya spongiosis dan vesiculation
- Infiltrasi perivascular lymphophagocytic pada immediate supporting connective tissue
- Dapat terjadi dilatasi pembuluh darah
- Terkadang ditemukan eosinophil.
DIAGNOSIS

- Stomatitis kontak akut: Jika reaksi oral akut tercatat dalam 30 menit dalam
kunjungan dental, dicurigi alergi terhadap bahan perawatan gigi yang digunakan.

- Stomatitis kontak kronis : eliminasi semua kemungkinan penyebab, tanda-tanda


oral terlihat, riwayat alergi dan tes terhadp alergen yang dicurigai.

- DD : Cheilitis kontak alergi, Plasma cell gingivitis, Orolingual Paresthesia


PENATALAKSANAAN

• Stomatitis kontak akut ringan: penghilangan allergen yang dicurigai dan lesi dapat
hilang dalam waktu 1-2 minggu.

• Pada kasus yang lebih parah: terapi antihistamin yang dikombinasikan dengan
anestesi topical

• Stomatitis kontak kronis: penghilangan allergen dan pemberian kortikosteroid


topical (contoh: gel fluocinonide atau dexametahasone).
REFERENSI

• Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RSCK. 2012 Oral Pathology: Clinical Pathologic
Correlations. 6th ed. San Fransisco: Elsevier Saunders.

• Neville BW. Damm DD. Allen CM. Bouquot JE. Oral and Maxillofacial Pathology 2nd
Ed. WB Saunders Company. 2002
Prosedur Diagnosis dan
Anamnesis Penegakkan
Diagnosis
I. Anamnesis
• Data Pasien
• Mencakup data demografis pasien seperti : usia, gender, kelompok etnis, pekerjaan, pendidikan, dsb
• Mengapa penting?  terkait kebiasaan, faktor hereditas, hormonal, medis, dan lainnya
• Keluhan saat ini
• Informasi yang ditanyakan  keluhan dental utama pasien, durasi, riwayat rasa sakit, dan lainnya
menyangkut keluhan saat ini
• Riwayat medis pasien
• Merupakan  proses pengumpulan informasi terkait riwayat medis  membantu menegakkan diagnosis
• Melihat apabila ada suatu manifestasi penyakit sistemik tertentu
• Mengetahui riwayat konsumsi medikasi pasien, serta kebiasaan buruk seperti pengonsumsian alcohol dan
tembakau
• Riwayat dental
• Penting  mendiagnosis bagaimana dan sumber rasa sakit
• Riwaya keluarga dan sosial
• Berkaitan dengan penyakit sifat herediter dan juga kebiasaan lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi
Anamnesis dalam Penegakkan Diagnosis Lesi Vesikobulosa

1. Perkembangan Lesi
• Apabila didahului vesikel yang lama-kelamaan pecah (kemungkinan lesi vesikobulosa)

2. Riwayat menderita lesi yang serupa


• Akut atau Kronis  menanyakan sudah berapa lama lesi menetap di rongga mulut, bila:
• Akut (lesi relative cepat), dicurigai  Eritema Multiform atau allergic stomatitis (stomatitis
venenata)
• Kronis (lesi relative lama), dicurigai  pemphigus vulgaris, pemphigus vegentans, pemphigus
bulosa, cicatrical pemphigoid, liken planus, dan lainnya

• Primer atau Rekuren  menanyakan apakah sebelumnya pernah menderita lesi serupa?
• Tunggal atau Multipel  menanyakan jumlah lesi yang ada
3. Keberadaan lesi  apakah lokasi lesi ada di kulit, mata, genital, rektal,
atau wilayah ekstremitas?

4. Kemungkinan terdapat gejala lain seperti athralgia, kelemahan otot,


dyspnea, diplopia (double-vision), angina di dada

5. Riwayat konsumsi medikasi/ kontak allergen/ riwayat alergi


II. Pemeriksaan Klinis
• Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti:
• Tanda vital  laju pernapasan, temperature, tingkat nyeri yang dirasakan,
denyut nadi, tekanan darah
• Pemeriksaan kepala, leher  adanya rash, swellings, pallor, erythema
• Pemeriksaan fungsi saraf kranial
• Pemeriksaan khusus system organ lainnya
• Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan dibagi menjadi 2 tahap
IIa. Pemeriksaan Ekstraoral

• Pasien dilihat secara menyeluruh sebelum dilakukan pemeriksaan intraoral

• Palpasi  kelenjar parotid, TMJ (melihat adanya clicking, krepitus, deviasi),


nodus limfa servikal dan submandibular, serta kelenjar tiroid

• Karakter pembesaran lesi (lokasi, bentuk, ukuran, tekstur permukaan dan


konsistensi)
• Tekan disekitar tulang maxilla dan frontal, bila ada nyeri  kemungkinan sinusitis
IIb. Pemeriksaan Intraoral

• Pertama kali dilakukan pemeriksaan jaringan lunak


• Mencakup visualisasi seluruh mukosa
• Adanya inflamasi atau keganasan
• Jika lesi meluas ke gingiva / pocket  perlu dilakukan probing
• Selanjutnya, pemeriksaan tonsil dan orofaring
• Pemeriksaan dicatat pada diagram
Urutan pemeriksaan:

• Bibir  angular chelitis terlihat pada kandidiasis oral atau defisiensi zat besi dan vitamin

• Mukosa labial  dilakukan saat mulut menutup

• Mukosa bukal  periksa saat mulut sedikit terbuka

• Dasar mulut dan ventral lidah  lidah dinaikkan ke palatum lalu ke sisi pipi kiri dan kanan

• Dorsum lidah  lidah menjulur

• Palate durum anterior, palatum mole posterior, daerah tonsil dan orofaring

• Gingiva

• Gigi  termasuk jaringan periodontal dan adanya restorasi dan karies, kemudian pemeriksaan
mobilitas, perkusi, dan vitalitas
Pemeriksaan alergi
Skin Prick Test (Tes Tusuk Kulit)
• Pemeriksaan untuk alergi terhadap makanan atau alergen hirup
• Misalnya untuk tes alergi terhadap: debu, tungau, serpihan kulit binatang,
seafood
• Dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, alergan yang diuji ditusukkan pada
kulit dengan jarum khusus (panjang mata jarum 2mm)
• Hasil dapat diketahui dalam waktu 30 menit
• Positif  TIMBUL BENTOL MERAH GATEL
Persiapan Skin Prick Test

1. Persiapan bahan ekstrak alergen

Gunakan ekstrak alergen Gunakan bahan yang belum


yang sudah terstandardisasi kadaluarsa
2. Persiapan pasien

Hentikan pengobatan jenis Usia pasien yang


Hentikan pengobatan antihistamin generasi baru dianjurkan adalah 4-
antihistamin 5-7 hari (ceterizine, akrivastin) 50tahun karena pada bayi
sebelum tes paling tidak 2-6 minggu dan usia lanjut tes kulit
sebelum tes kurang memberikan reaksi

Pada penderita dengan


Jangan melakukan tes cukit
keganasan, limfoma,
pada penderita dengan
sarkoidosis, diabetes
penyakit kulit misalnya
neuropati juga terjadi
urtikaria dan adanya lesi
penurunan terhadap
yang meluas pada kulit
reaktivitas tes kulit ini
3. Persiapan pemeriksa

Persiapan teknik dan


Teknik menempatkan lokasi
keterampilan agar tidak
cukitan didasarkan karena
terjadi misinterpretasi akibat
ada tempat-tempat yang
teknik dan pengertian yang
reaktivitasnya tinggi dan ada
kurang dipahami oleh
yang rendah.
pemeriksa

Urutan dari reaktivitas tinggi


ke rendah: bagian bawah
punggung  lengan atas 
siku  lengan bawah sisi
ulnar  sisi radial 
pergelangan
Tahapan Skin Prick Test

1.Pilih tempat uji paling baik


Kasih alergan setetes aja yang
(biasanya di sisi medial dari
Disinfeksi udah dilarutin sama gliserin di
lengan bawah ) dengan jaraknya 2
permukaan kulit
cm dari siku & pergelangan tangan

Berikan 2 larutan lain: yang


Cukik mengggunakan lanset pertama dengan histamine 1 %
Hasilnya bisa dibaca dalam 15- 20 dengan sudut kemiringan 45 sebagai kontrol positif dan
menit derajat jadi alergannya masuk ke larutan salin steril sebagai kontrol
dalam kulit negative untuk membaca false
positif/negative
Cara baca hasil:
Membandingkan pake bentol yang timbul akibat alergan dengan bentol positif
histamine dan bentol negative larutan kontrol, dengan nilai :
• Bentol histamine = +++
• Bentol larutan control saline = -
• Bentol +1 dan +2 digunakan kalau bentol timbul diantara control +++
• Bentol +4 (++++) : untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter
bentol histamine
Cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Rusmono
sebagai berikut :
• 0 : reaksi negatif
• 1+ : diameter bentol lebih 1 mm dari kontrol negatif
• 2+ : diameter bentol lebih 1-3 mm dari kontrol negatif
• 3+ : diameter bentol lebih 3-5 mm dari kontol negatif
• 4+ : diameter bentol lebih 5 mm dari kontrol negatif dan disertai dengan eritema
Kesalahan yang sering Terjadi pada Skin Prick Test
• Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan (<2cm)
• Terjadi perdarahan sehingga menimbulkan hasil positif palsu
• Teknik cukitan kurang benar sehingga ekstrak tidak atau kurang berpenetrasi ke
kulit sehingga menimbulkan terjadinya hasil negatif palsu
• Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes
Patch Test (Tes Tempel)
• Digunakan untuk mendeteksi zat yang akan menjadi alergan apabila berkontak
langsung dengan kulit
• Biasanya untuk deteksi reaksi alergi tipe lambat, yang baru terlihat dalam 2- 3
hari
• 25-150 material dimasukkan ke dalam kamar plastic / alumunium, lalu
diletakkan di belakang punggung
• Kemudian dibiarkan selama 48-72 jam
Indikasi :
• Dermatitis kronik, rekuren
• Inflamasi kulit : endogenous, atopic eczema, seborrheic dermatitis, stasis
dermatitis, eczema ulser sekitar kaki
• Dermatitis kontak iritan dll : paling sering dermatitis kontak tipe4
Kontraindikasi :
• Pasien defisiensi imun
• Perawatan immunosupresif
• Penyakit autoimun
Persiapan Patch Test
1. Persiapan bahan

Bahannya bisa pasien bawa


1)Bahandiberikan label
dari rumah (max 1 minggu 1)Bila
membawa bahan
nama agar tidak lupa itu
sebelumnya, agar bisa makanan gunakan yang
apa yangditempel dibagian
diproses dan ditentukan seger yang masih baru
itu
bisa atau tidak dibuat test)

1)Kosmetik kalau mau dites 1)Sabun tidak bisa di tes


juga dibawa : misalnya kaya soalnya bisa kasih reaksi
pelembab, cream, parfum, yang ngaco kalo nempel di
lotion, dll kulit lebih dari 2 hari
2. Persiapan pasien

1)Memakai baju.
1)Punggungnya disiapin
Maksudnya abis di tempel 1)Janganberenang, jangan
jangan kena sinar
pake baju yang biasa aja, digaruk, latihan OR nanti
matahari (selama 4
sayang soalnya tandanya gampang lepas
minggu) kan mau di tes
bisa kena ke baju

Minta orng untuk ngasih


1)Hindaripenggunaan
tau kalo ada perubahan
1)Punggung jangan basah cream, kosmetik supaya
pada tanda yang
hasil akurat
diberikan dipunggung
INTERPRETASI HASIL
Hasil yang dinilai bisa berupa
• Negatif ( - )
• Reaksi iritasi ( IR ) : seperti terbakar  ruam- ruam halus, reaksi pustulasi, alergi dari plester
• Meragukan ( + / - ) : warnanya merah jambu  hanya eritem
• Positif lemah ( + ) : merah jambu juga tapi menonjol  eritem, edem, papul
• Positif kuat ( ++) : reaksi esktrim, kulit seperti melepuh / luka  eritem, edem, papul, vesikel
• Reaksi esktrim ( +++ ) : vesikel-vesikelnya gabung jadi bulla
• Hasil positif sangat pas jika bahan yang digunakan sesuai dengan dugaan yang diperoleh dari
riwayat pemeriksaan, tapi bisa juga hasilnya :
• Positif palsu: di plesternya keliatan unsur-unsur yang iritatif, bahan tes nya salah konsentrasi,
kulitnya lagi over peka
• Negatif palsu: bisa karna nilai ambang konsentrasi nya salah, bahan bersifat potosenstisiser
(bahannya perlu kena sinar)
RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
• Untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan
• Menggunakan sampel serum darah sebanyak 2 cc  lalu diproses dengan mesin
komputerisasi khusus
• Hasilnya setelah 4 jam.
• Kelebihan tes ini: bisa untuk segala usia, tidak dipengaruhi obat-obatan
Test Provokasi
• Digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,
alergan hirup.
• Intinya tes ini membuat pasien ganyaman jadi udah tidak digunakan, biasanya
buat makanan digantiin sama Skin Pricrt Test dan IgE
• Untuk tes provoksi obat bisa digunakan metode DBPC (Double Blind Placebo
Control) atau uji samar ganda. Jadi pasien minum obat dengan dosisi yang
dinaikkan secara bertahap, tunggu reaksinya dalam 15-30 menit. Tapi per hari
cuma boleh tes satu macam obat (Jika kebanyakan taunya alergi semua bisa
berbahaya), jadi kalo mau tes lagi tunggu 48 jam kemudian
Skin Test (Tes Kulit)
• Tes ini dilakukan untuk mengetahui alergi obat biasanya dilakukan untuk alergi
penicilin atau racun lebah.
• Tes ini juga digunakan jika skin prick test negatif tetapi masih dicurigai kuat alergi
terhadap alergen tersebut.
• Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan alergen di lapisan bawah kulit lengan
bawah. Injeksi dilakukan dengan jarum (26 atau 27 G) dengan bevel menghadap
ke atas. Kuantitas cairan yang diinjeksikan biasanya 0,05 mL. Bila hasilnya positif
maka akan timbul bentol, merah, dan gatal.
Pemilihan dan Penggunaan Obat
Anti-alergi yang Rasional
Modul Penggunaan Obat Rasional, KEMENKES RI 2011
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari
seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual
dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien
menggunakan obat secara tidak tepat.

 Tujuan: menjamin pasien mendapatkan pengobatan


yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk
periode waktu yang adekuat dengan harga
yang terjangkau.
Kriteria Penggunaan Obat Rasional
• Tepat diagnosis, indikasi penyakit, pemilihan obat, dosis, cara pemberian, interval
waktu pemberian, lama pemberian
• Waspada terhadap efek sampan
• Tepat penilaian kondisi pasien
• Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia
setiap saat dengan harga yang terjangkau
• Tepat informasi
• Tepat tindak lanjut (follow-up)
• Tepat penyerahan obat (dispensing)
Kriteria Penggunaan Obat Rasional
• Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan
minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
• Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
• Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
• Jenis sediaan obat terlalu beragam
• Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
• Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat
• Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine
menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu.
Tahapan Terapi Secara Rasional

Teliti
Tentukan
identifikasi kecocokan
tujuan
obat

Memberi
Monitor Menuliskan
penjelasan
pengobatan resep
tentang obat
Pengobatan efektif, pasien
sembuh

Pengobatan efektif, pasien


Monitor pengobatan belum sembuh dan
terdapat efek samping

Pengobatan tidak efektif


dan pasien belum sembuh
Penggunaan Obat yang Tidak Rasional
• Peresepan berlebihan (overprescribing)
• Perepan kurang (underprescribing)
• Peresepan majemuk (multiple prescribing)
• Peresepan salah (incorrect prescribing)
• Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
• Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
• Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.
• Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat
lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia
DRUG OF CHOICE
HIPERSENSITIVITAS
• Dobozin BS & Young SH. Allergies : The Complete Guide to Diagnosis, Traetment, and Daily
Management. USA : Xlibris Corporation. 2011
• Pleyer U & Foster CS. Uveitis and Immunological Disorders. Heidelberg : Springer. 2007
• Penggunaan Kortikosteroid dan Obat Imunosupresif [internet]. Available from : http://mata-
fkui-rscm.org/panduan-pasien/edukasi-pasien/penggunaan-kortikosteroid
• Cortocosteroids [internet]. Available from : https://www.aafa.org
• AAAAI Allergy and Asthma Medication Guide [internet]. 2015.
ANTIHISTAMIN
H1 (Perantara otot
polos)

H2 (perantara
stimulasi sekresi asam
lambung dan cardiac
stimulation)
Jenis Reseptor
Histamin
H3 (antagonis dari
aktivasi reseptor H1)

H4 (Menginduksi
perubahan bentuk sel
dan kemotaksis)
• Mekanisme kerja
AH1 menghambat hampir semua kerja histamin, kecuali yang hanya diperantarai reseptor H2.
Persamaan struktur antara histamin dan antihistamin mengakibatkan kedua senyawa ini berkompetisi di reseptor
pada target organ. AH1 menghambat efek histamin di jaringan termasuk peningkatan permeabilitas kapiler dan
refleks akson dengan akibat vasodilatasi.

• Farmakokinetik
Pemberian oral mencapai kadar puncak biasanya pada waktu 1-2 jam. Waktu paruh plasma adalah 4-6
jam kecuali meklizin dengan waktu paruh 12-24 jam. Distribusi mencapai seluruh jaringan, termasuk SSP, serta
metabolism di hati, namun sebagian kecil tidak di metabolism serta metabolitnya di ekskresi melalui urin.

• Farmakodinamik
Metabolisme dihati, banyak diantaranya yang menginduksi enzim mikrosom dan mempengaruhi metabolismenya
sendiri dan juga obat-obat lain
Alkilamin,
klorfeniramin dan
bromfeniramin

Etanolamin

Generasi Pertama Etilendiamin

Piperazin,
meklizin, dan
siklizin
Penggolongan
Antihistamin Fenotiazin

Piperidin
Generasi kedua
(Nonsedatif)
Benzimidazol
• Indikasi
1. Alergi > Obat pilihan untuk mengatasi gejala alergi pada rinitis dan
urtikaria, bila histamin yang merupakan penyebab / mediator utama.
Terapi AH1 tidak efektif untuk mengobati asma, karena pada asma
histamin hanya merupakan salah satu mediator.

2. Mabuk perjalanan dan mual, biasanya dikombinasi bersama


antimuskarinik, skopolamin. Beberapa AH1 misalnya difenhidramin,
dimenhidrinat, siklizin dan meklizin sangat efektif untuk mencegah
mabuk perjalanan.
3. Beberapa antihistamin, misalnya difenhidramin mempunyai efek sedatif
kuat dan dapat digunakan untuk insomnia.
• Efek samping
1. Sedasi
Efek samping yang paling sering terjadi ; telinga berdenging, lelah, pusing, malas,
pandangan kabur dan tremor. Tidak dianjurkan untuk mengerjakan pekerjaan yang
memerlukan kesadaran (seperti mengendarai mobil).
2. Dosis besar menyebabkan stimulasi SSP > halusinasi, kebahagiaan berlebih, gangguan
motorik (ex: tremor, konvulsif)
3. Mulut kering, pandangan kabur dan retensi urin akibat efek kolinergik ringan.
4. Iritasi saluran cerna, mual dan konstipasi/diare.

• Interaksi Obat
Berakibat serius, misalnya efek potensiasi dengan berbagai obat-obat
antidepresan, termasuk alkohol. Tidak boleh dimakan bersama penghambat MAO
(Monoamine Oksidase) karena dapat menimbulkan efek antikolinergik.

• Toksisitas
Batas aman AH1 cukup lebar, toksisitas kronik dan akut jarang terjadi, kecuali pada
anak-anak. Pada keracunan akut dapat timbul halusinasi, eksitasi, ataksia (pudarnya
kemampuan koordinasi gerak otot), dan kejang.
KORTIKOSTEROID
Glukokortiroid

Kelenjar
Adrenal

Mineralokortiroid
Hormon
kelamin
• Mekanisme Kerja kortikosteroid
Menstimulasi sintesis protein spesifik dijaringan.
• Efek fisiologik
- Meningkatkan ; pemecahan protein , kadar glukosa darah (melalui stimulasi
gluconeogenesis) , enzim-enzim (metabolisme glukosa dan asam amino), asam
lemak plasma dan pembentukan benda ketin melalui peningkatan liposis.
- Penurunan ambilan glukosa ke sel lemak serta redistribusi/rediposisi lemak tubuh.
- Menimbulkam retensi natrium dan air.

• Efek anti inflamasi


- Penghambatan respon antigenik makrofag dan leukosit. Penghambatan
permeabilitas pembuluh darah melalui penurunan pengelepasan histamine dan
menghambat kerja kinin. Menghambat asam arakhidonat.
- Pembentukan prostaglandin melalui penghambatan fosfolipase A2 dan
siiklooksigenase
• Efek imunologik
• Kortikosteroid menurunkan limfosit, monosit dan basofil
• Meningkatkan eosinofil dalam darah.

• Efek terhadap pertumbuhan


- Pada anak diberikan dalam jangka waktu panjang > penghambatan
sekresi hormon pertumbuhan
- Menurunnya proliferasi sel di epifis dan menghambat aktivitas
osteoblas di tulang.
• Farmakokinetik
Absorpsi kortisol maupun analog sintesisnya per oral baik.
Distribusi 80% terikat plasma globulin dan 10% albumin >
biotranformasi di hati > ekskresi dalam bentuk konjugasi dengan
glukoronat dan sulfat melalui urin.

• Farmakodinamik
Pada pasien alergi, kostikosteroid digunakan sebagai obat
tambahan. Pada alergi berat (syok anafilaktik) beri obat pilihannya
adalah adrenalin, pada alergi ringan digunakan antihistamin.
Indikasi Penggunaan Kortikosteroid
A. Terapi substitusi
• Insufisiensi adrenal primer dan sekunder (penyakit addison), pada
pengobatan ini kadang-kadang diperlukan bukan hanya kortikosteroid
tetapu diberikan juga mineralokortikoid hiperplasia adrenal
kongenital
• Insufisiensi adrenal kronik
• Insufisiensi adrenal sekunder yang disebabkan insufisiensi
adenohipofisis dengan gejala ; hipoglikemia; sedangkan
keseimbangan elektrolit dan air tetap normal.
B. Penyakit-penyakit nonendokrin

• Artritis
• Karditis reumatik
• Penyakit ginjal, pada sindrom nefrotik akibat SLE atau penyakit ginjal
lainnya, juga digunakan untuk nefrosis idiopatik pada anak-anak.
• Penyakit kolagen, kecuali scleroderma
• Asma bronkial, hanya untuk yang tidak responsif terhadap obat lain.
• Penyakit alergi, sebagai obat tambahan
• Penyakit mata, mengatasi inflamasi pada mata.
• Penyakit kulit, sediaan kortikosteroid topikal
• Neoplastik
• Oedem serebral
Prinsip Terapi Kortikosteroid
1. Dosis > harus dilakukan trial – error, yaitu dosis harus disesuaikan
setiap penyakit, keadaan penderitanya serta lama pemberiannya.
2. Bila diberikan untuk jangka panjang, dengan dosis lebih besar dari
dosis substitusi, maka efek sampingnya akan meningkat, dapat terjadi
efek letal yang potensial.
3. Terapi kausal maupun kuratif hanya untuk keadaan insufisiensi.
4. Pada penggunaan dosis besar jangka lama, penghentian tiba-tiba
dapat menimbulkan insufisiensi, kelenjar adrenal sehingga harus
dilakukan penurunan dosis secara bertahap.
Efek Samping
Efek samping penggunaan kortikosteroid pada umumnya merupakan reaksi
lanjutan dari efek fisiologiknya ;
• Retensi natrium, keluarnya kalium dapat menimbulkan hipokalemia dan
alkalosis hipokloremik.
• Supresi kelenjar adrenal, hiperglikemia, dan gangguan metabolik lainnya.
(tergantung keadaan pasien, biasanya glukosa darah naik 10 – 20 %).
• Osteoporosis
• Gangguan lambung
• Katarak dan peningkatan tekanan intraokuler > glukoma
• Udem hipertensi
• Buffalo hump dan Moon face
Bentuk Sediaan
• Topikal: betametason (kadar 2.5-5%) untuk dermatitis dan inflamasi lain
(ex: luka bakar), hidrokortison
• Inhalasi: beklometson dalam gabungan dengan bronkodilator
• Tablet: prednisone, prednisolone, triaminisolon, deksametason,
fludokortison

• Untuk terapi jangka panjang (asma bronkial) ; pemberian lokal (inhalasi)


• Untuk penggunaan oral ; prednison
• Pada gangguan hati berat dianjurkan menggunakan prednisolon.
• Pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal yang cenderung menderita
edema ; deksametason , triamnisolon, betametason
• Sediaan parenteral yang paling sering digunakan adalah kortison dan
hidrokortison.
Dalam Kedokteran Gigi
INDIKASI KONTRAINDIKASI
• Diagnosis tepat telah ditegakkan dan telah
dilakukan perawatan gigi yang adekuat.
• Bila tidak terdapat tanda-tanda infeksi > • Tidak terdapat kontraindikasi absolut dari
berpotensi untuk menimbulkan eksaserbasi akibat kortikosteroid.
penekanan sistem imun ;
• Tidak boleh digunakan secara rutin dan jangka
- keadaan darurat (krisis adrenal, reaksi anafilaktik, panjang pada pasien dengan riwayat penyakit
dan reaksi alergi)
kronik, misalnya TBC, infeksi virus, ulkus peptikum,
- pembengkakan pasca tindakan berat, trauma DM, osteoporosis, gangguan psikiatrik, katarak dan
hebat hipertensi.
- periodontitis apikal akut (setelah pengangkatan
pulpa terinfeksi)
- inflamasi otot parah yang berhubungan dengan
TMJ dan trismus.
• Oral lichen planus, pemphigus, pemphigoid,
eritema multiform, stomatitis aftosa rekuren, dan
reaksi alergi.
• Pengobatan intrakanal.
Penggunaan Klinis Kortikosteroid
• Inflamasi gigi dan mulut ; deksametason (tablet 4 mg).Gunakan 8 mg (loading
dose), diikuti dengan 4 mg setiap 8 jam.
• Terdapat vesiculobollous lokal atau ringan dapat diberi kortikosteroid topikal,
bila lesi kecil dan mudah dijangkau. Kortikosteroid ointment atau gel misalnya
fluocinonid, triamnisolon, dan clobetasol digunakan 3 – 4 kali sehari dengan
menggunakan aplikator berujung kapas. Apabila lesi terletak di gingival dapat
dibuatkan custom fitted trays dan kemudian diisi dengan fluocinonid gel dan
digunakan selama 15 menit.
• Bila lesi terlalu banyak dan sulit memberikan obat topikal dapat digunakan
deksametason elixir (0,5 mg / 5ml) sebagai obat kumur, dikumur selama 3 – 5
menit setelah makan.
• Lesi recaltrant memerlukan suntikan kortikosteroid langsung disekeliling lesi.
Suntikan 0,5 – 1 ml deksametason fosfat (4 mg/ml) atau triamnisolon (10 mg/ml)
diberikan 2 kali seminggu sampai sembuh.
Immunomodulator
agen yang secara spesifik atau non-
spesifik menambah atau mengurangi
respon imun
Imunorestorasi
• Memperbaiki fungsi sistem imun
ISG&HSG • Defisiensi imunoglobulin sekunder terjadi ketika kehilangan imunoglobulin dalam jumlah besar

• semua jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa menimbulkan rasa sakit
Plasma

• Merupakan pemisahan sel darah dari plasma


Plasmapheresis

• Merupakan pemisahan leukosit secara selektif dari penderita terutama pada terapi rheumatoid
Leukopheresis
arthritis
Imunostimulasi
Biologis Hormon timus

Limfokin

Interferon

Antibodi
monoklonal

Transfer faktor
Imunostimulasi
LAK cells

Bahan asal
bakteri&jamur

Levamisol

ISO

Sintesis MDP
Imunosupresi
Cyclosporine
• penolakan transplantasi • digunakan untuk • penyerapan di GT tidak
(ginjal, hati, jantung), atritis imnuosupresi untuk sempurna
rheumatoid, severe profilaksis tranplantasi • T1/2 : pada anak 7-19 jam,
psoriasis organ, cyclosporine dan dewasa 10-27 jam
memberikan
penghambatan reversible
dan spesifik limfosit
imunokompoten

Indikasi Farmakodinamik Absorpsi


Cyclosporine
•Acetaminophen : metabolisme acetaminophen menurun •profilaksis transplantasi organ, dewasa (Formulasi oral)
•Diclofenac : meningkatkan aktivitas nephrotoxic •Pasien transplantasi ginjal : 9mg/kg/hari
•Pasien transplantasi hati : 8mg/kg/hari
•Pasien tranplantasi jantung : 7 mg/kg/hari
•Dibagi dalam 2 kali konsumsi
•Atritis rheumatoid, dewasa (formulasi oral)
•Dosis awal : 1,25mg/kg, 2 kali sehari selama 4-8 minggu
•Proriasis, dewasa (formulasi oral)
•Dosis awal : 1.25 mg/kg, 2 kali sehari selama 4 minggu
•Profilaksis transplantasi organ, anak (formulasi oral)
•Anak >1 tahun
•Dosis awal : diberikan 4-12 jam setelah operasi
•Pasien transplantasi ginjal : 9mg/kg/hari
•Pasien transplantasi hati : 8mg/kg/hari
•Pasien tranplantasi jantung : 7 mg/kg/hari
•Dibagi dalam 2 kali konsumsi
•Anak >6 bulan
•Dosis awal : 5-6 mg/kg/hari IV atau 1/3 dosis oral,2-6 atau 4-12 jam sebelum
transplantasi
•Dosis maintenance : 5-6 mg/kg/hari IV berlanjut pasca operasi hingga pasien bisa
mentoleransi kapsul atau sirup

Interaksi
Dosis
Obat
Basiliximab
• penolakan transplantasi • Monoclonal antibodies • T1/2 : 3.2 hari (dewasa)
(ginjal) berikatan dengan reseptor
CD25 (reseptor IL-2) pada
permukaan yang sel T aktif
(IL-2 reseptor antagonis)
yang mencegah ekspansi
CD4 dan CD 8 limfosit

Indikasi Farmakodinamik Absorpsi


Cyclosporine
• Denosumab : risiko adverse effect meningkat • profilaksis transplantasi organ, dewasa
• Ocrelizumab : meningkatkan aktivitas • 20mg infus IV selama 20-30 menit atau
imunosupresif basiliximab injeksi IV bolus 2 jam sebelum operasi dan 4
hari setelah transplantasi
• Profilaksis transplantasi organ, anak
• Anak >1 tahun
• Berat <35 kg : 10mg infus IV selama 20-30
menit atau injeksi IV bolus 2 jam sebelum
operasi dan 4 hari setelah transplantasi
• Berat >35 kg : 20mg infus IV selama 20-30
menit atau injeksi IV bolus 2 jam sebelum
operasi dan 4 hari setelah transplantasi

Interaksi
Dosis
Obat
Antibiotik
Spektrum
Antibakteri
Mekanisme
Antibiotik
Kerja
Rumus
Kimia
Referensi
• Cawson RA, Odell EW. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. 7th edition. Churchill Livingstone. 2002.
• Greenberg, Glick, Ship. Burket’s Oral Medicine. 11th edition. BC
Decker. 2008.
• Regezi, Sciubba, Jordan. Oral Pathology Clinical Pathologic
Correlations. 6th edition. St.Louis: Elsevier Saunders. 2012.
• Scully. Oral and Maxillofacial Medicine. 3rd edition. Churchill
Livingstone. 2013.

You might also like