You are on page 1of 2

Upaya Pemerintah Mengatasi Masalah Sanitasi Perkotaan Sejak beberapa dekade terakhir, pertumbuhan penduduk perkotaan mencapai angka

rata-rata diatas 4% per tahun. Akibatnya penduduk perkotaan melejit menjadi sekitar 100 juta yang berarti mendekati 50% dari total penduduk. Perkembangan ini tidak disertai dengan kecukupan ketersediaan fasilitas umum termasuk akses terhadap fasilitas sanitasi dasar (jamban/toilet). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa masih sekitar 17 juta penduduk perkotaan yang melakukan praktek Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Data Susenas 2007 juga menunjukkan kondisi yang relatif sama, terlihat dari 13% rumah tangga yang belum mempunyai toilet/tangki septik di perkotaan. Data studi JICA dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) bahkan menunjukkan kondisi yang lebih menyedihkan, yaitu sekitar 70-80% tangki septik di DKI Jakarta bocor dan mencemari sumur penduduk. Akibatnya secara umum terjadi penurunan kualitas lingkungan perkotaan yang dapat berujung pada meningkatnya prevalensi diare bahkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare. Mungkin semua sepakat bahwa sanitasi buruk merugikan kita semua. Tapi seberapa besar kerugian tersebut menjadi menarik untuk diketahui. Studi Dampak Sanitasi di Asia Tenggara yang dilakukan oleh Water and Sanitation Program (WSP) 2007 menunjukkan kerugian Indonesia mencapai Rp. 58 Triliun atau setara kerugian Rp. 225 ribu per jiwa per tahun. Secara sederhana, dapat dikatakan kerugian di perkotaan mencapai sekitar Rp. 25 sampai 30 Triliun. Kerugian ini dihitung berdasarkan biaya yang harus ditanggung dan kesempatan yang hilang sebagai konsekuensi produktifitas menurun akibat sakit diare, biaya pengolahan air limbah meningkat, menurunnya jumlah wisatawan, menurunnya produksi perikanan dan seterusnya. Sebelum era tahun 2000, perhatian pemerintah dalam pembangunan sanitasi masih jauh dari memadai. Namun, sejak 7-8 tahun terakhir pemerintah mulai menyadari pentingnya sanitasi. Hal terlihat dari disepakatinya kebijakan nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Berbasis Masyarakat. Mengapa berbasis masyarakat?. Hal ini sebagai upaya merubah pendekatan pemerintah yang 'top down' dan 'target oriented'. Selama ini, hasil pembangunan diukur hanya melalui target masif seperti sejuta jamban, dan banyak program sejuta lainnya. Akibatnya keberlanjutan fasilitas yang dibangun menjadi rendah. Tidak sulit menemukan monumen MCK (Mandi, Cuci, Kakus) di seputar kita. Kebijakan ini memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan bahkan diberi tanggungjawab dalam pengelolaan fasilitas. Fokus menjadi lebih pada memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek dan bukan sekedar obyek. Langkah selanjutnya adalah mencoba menerapkan kebijakan ini dengan pendekatan yang berbeda antara perdesaan dan perkotaan. Disadari sepenuhnya bahwa pembangunan sanitasi perkotaan dihadapkan pada isu keterbatasan lahan dan investasi yang besar. Untuk itu diterapkan suatu pendekatan sanitasi dengan biaya lebih terjangkau dan berbasis masyarakat. Pendekatan ini dikenal sebagai Sanitasi oleh Masyarakat (Sanimas) yang mulai diperkenalkan pada tahun 2003 pada 7 kota di Jawa Timur dan Bali. Ciri khasnya adalah berupa pembangunan tangki septik komunal yang melayani 200-250 rumah tangga sehingga tidak diperlukan lagi tangki septik di masing-masing

rumah. Masyarakat ikut berkontribusi dana dan material serta terlibat dalam prosesnya. Sejak tahun 2006, departemen PU telah menjadikan Sanimas program nasional bekerja sama dengan lebih dari 100 pemerintah daerah. Belajar dari Sanimas, kemudian dirancang upaya melaksanakan pembangunan sanitasi perkotaan secara lebih baik dan terarah. Salah satu isu yang mengemuka adalah pembangunan sanitasi yang ersifat sporadis. Pemerintah daerah tidak mempunyai rencana dan arah yang jelas. Untuk itu, sejak tahun 2007 mulai diperkenalkan konsep Strategi Sanitasi Kota (SSK) di 6 kota. SSK ini merupakan panduan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan sanitasi. Sehingga hasilnya dapat lebih optimal. SSK dibuat bersama oleh seluruh pemangku kepentingan di daerah. Sebagai bagian dari penerapan SSK, dilakukan kegiatan peningkatan kapasitas bagi pemerintah daerah. Saat ini sudah lebih dari 10 daerah yang melaksanakan konsep SSK. Secara bersamaan, pemerintah juga menjalankan kegiatan kampanye publik untuk meningkatkan kepedulian semua pihak. Beragam kegiatan dilakukan mulai dari advokasi di tingkat pengambil keputusan di daerah, baik eksekutif maupun legislatif, sampai sosialisasi di tingkat masyarakat dan swasta. Pembangunan sanitasi perkotaan juga diwarnai oleh kesalahkaprahan berupa pandangan bahwa pembangunan sanitasi hanya menjadi tanggungjawab pemerintah. Untuk itu, sejak tahun 2007 telah dibentuk suatu forum kemitraan diantara pemangku kepentingan yang diberi nama Jejaring AMPL. Forum ini dimaksudkan untuk mensinergikan upaya pembangunan AMPL termasuk sanitasi. Forum antarinstansi pemerintah sendiri telah ada sejak lama yang dikenal sebagai Pokja AMPL atau di beberapa daerah dengan nama Pokja Sanitasi. Kemitraan juga dilakukan melalui pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan swasta. Sehingga saat ini pembangunan sanitasi perkotaan telah menjadi perhatian semua, baik pemerintah, masyarakat dan swasta (OM)

Oswar Mungkasa Staf Bappenas Pelaksana Harian Pokja AMPL Nasional Ketua Pelaksana Harian Jejaring AMPL Pemimpin Redaksi Media Informasi AMPL 'PERCIK' www.ampl.or.id 0812 964 2233

You might also like