You are on page 1of 40

ABSTRACT

Back Ground: Acute pharyngitis is an inflamation syndrome of pharyng caused by


various microorganism with a prevalence of all ages, especially in children around
4-8 years old. Management therapy of acute pharyngitis includes bed rest,
analgesic-antipiretic and antibiotics for causative treatment of acute bacterial
pharyngitis. Leprosy is a chronic infectious disease caused by Mycobacterium
Leprae; an intracellular obligate. Peripheral nerves is a main target organ,
followed by skin, respiratory tract and various organs. High prevalence of leprosy
is found in developing and poor country with registered patients of 224.727
worldwide. Treatment regimen aprooved by WHO is MDTL (Multi Drugs
Therapy for Leprosy) paucibaciler and multibaciler.
Case: An eight-year-old female pediatric patient, 18 kg in weight was diagnosed
with acute pharyngitis and was prescribed 60 mL Erythromycin syrup with
concentration of 200 mg/ 5mL; three times daily, 5 mL each. She had also been
diagnosed with Leprosy BB type since 5 months ago and received MDTL consists
of Rifampicine 450 mg once per month; Clofazimine 150 mg once per month and
50 mg each two days; and Dapsone 50 mg per day.
Discussion: Evaluation of the above prescription’s rationalisation revealed no
drugs interaction between erythromycin and MDTL regiment. There is accurate
indication, accurate dose and dispensing form, with accurate route and interval,
but inaccurate amount of erythromycin. Erythromycin should have been given for
5 days as much as 75 mL, but was only prescribed 60 mL which covered 4 days of
treatment. Thus, the prescription of Erythromycin syrup is irrational.

Key words: Acute pharingitis, Leprosy, erythromycin, MDTL

1
PENDAHULUAN

Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring yang disebabkan
oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi
bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring. 1  
Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis
kelamin, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak.
Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya
meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-8 tahun, tetapi tetap berlanjut
sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa.2
Pada umumnya faringitis akut disebabkan oleh virus dan bakteri. Agen
penyebab faringitis yang lain seperti Candida albicans sering didapatkan pada
bayi dan orang dewasa dalam keadaan lemah atau imunosupresi.3
Penatalaksanaan faringitis akut pada umumnya tidak memerlukan terapi
khusus. Terapi simptomatis berupa tirah baring dan dapat diberikan analgesik dan
antipiretik. Terapi kausal berdasarkan agen penyebab. Antibiotik diberikan pada
keadaan faringitis akut bakterial.3
Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intrasellular obligat. Saraf perifer sebagai
target organ pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.4
Lepra pada umumnya dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang
sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan
kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Jumlah penderita lepra di
seluruh dunia tercatat 224.727 orang pada tahun 2006.5 Di Indonesia diketahui
22.175 orang menderita lepra. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak
penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000
penduduk.6
Berbagai masalah dapat timbul akibat penyakit lepra, mulai dari segi
medis maupun permasalahan sosial. Hingga saat ini, penyakit lepra masih sangat
ditakuti oleh masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini

2
disebabkan masih kurangnya pengetahuan, pengertian, kepercayaan yang keliru
terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya.6
Pengobatan lepra bertujuan untuk memutus mata rantai penularan,
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita dan
mencegah timbulnya komplikasi akibat penyakit. Untuk mencapai tujuan tersebut,
srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Strategi pengobatan lepra mengacu pada regimen terapi WHO menggunakan tiga
macam obat atau lebih dikenal dengan regimen Multi Drugs Therapy for Leprosy
(MDTL) yang terdiri atas Rifampicine, Dapsone dan Lamprene. Regimen tersebut
diberikan selama 6 bulan pada tipe pausibasiler dan 12 bulan pada tipe
multibasiler.4
 Seorang dokter berkewajiban untuk memberikan terapi obat yang rasional
pada penderita yang didasarkan pada prinsip-prinsip pengobatan rasional
berlandaskan pada lima tepat, yaitu tepat obat, tepat bentuk sediaan obat, tepat
dosis, tepat cara dan waktu pemberian, serta tepat penderita. Makalah ini
bertujuan untuk menganalisa rasionalitas terapi obat pada anak serta mempelajari
aspek farmakologi dari obat-obat yang digunakan. Pembahasan difokuskan
terhadap rasionalitas terapi Eritromisin pada penderita anak dengan faringitis akut
yang juga menderita lepra dan telah menjalani pengobatan menggunakan regimen
MDTL multibasiler bulan ke-5.

3
TINJAUAN PUSTAKA

FARINGITIS AKUT
1.1 Batasan
    Faringitis akut adalah suatu sindroma inflamasi dari faring dan/atau
tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda.
Faringitis dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi
lokal didaerah faring.1

1.2 Epidemiologi
Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis
kelamin. Pada 70-90% populasi anak usia 3-14 tahun di seluruh dunia
diketahui pernah mengalami faringitis akut. Di Amerika Serikat diketahui
sebanyak 12 juta orang per tahun mengunjungi klinik kesehatan akibat
mengalami faringitis akut.2 Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di
bawah 1 tahun. Angka kejadian meningkat dan mencapai puncaknya pada usia
4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir masa anak-anak dan
kehidupan dewasa. Kematian yang diakibatkan faringitis jarang, tetapi dapat
terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.3

1.3 Etiologi
Faringitis akut baik disertai demam atau tidak, pada umumnya
disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza,
Coksakie, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar (mononukleosis) dan
Cytomegalovirus. Sedangkan streptokokus beta hemolitikus grup A,
merupakan kelompok bakteri yang tersering didapatkan sebagai penyebab
terjadinya faringitis akut. Beberapa jenis bakteri lain sebagai agen kausal
faringitis akut meliputi Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheriae
dan Chlamydia pneumonia.1
Penyebab faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) lebih
sering didapatkan pada bayi dan orang dewasa dalam keadaan lemah atau
imunosupresi.3

4
1.4 Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi,
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang
meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan
hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan
yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan
limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak.1,3

1.5 Gejala Klinis


Manifestasi klinis didapatkan bervariasi tergantung dari agen penyebab.
Walaupun begitu seringkali didapatkan tumpang tindih tanda  serta gejala
faringitis akut serta seringkali sukar untuk membedakan suatu bentuk
faringitis akut berdasarkan agen penyebab hanya melalui pemeriksaan fisik.2
    Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan yang
relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan nafsu makan
disertai rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri
pada tenggorokan dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai
terasa satu atau dua hari setelah awitan gejala dan mencapai puncaknya pada
hari ke-2 sampai dengan hari ke-3. Suara serak, batuk, rinitis juga sering
ditemukan. Peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi pada
beberapa kasus dapat disertai timbulnya ulkus kecil pada langit-langit lunak
dan dinding belakang faring. Eksudat dapat terlihat pada folikel kelenjar
limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari eksudat yang
disebabkan oleh streptokokus. Nodus kelenjar limfe servikal akan membesar,
konsistensi keras dan dapat mengalami nyeri tekan.7
Faringitis akut bakterial seringkali dimulai dengan keluhan sakit kepala,
nyeri telan dan muntah. Gejala tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya
demam yang dapat mencapai suhu 40OC. Sekitar sepertiga penderita

5
mengalami pembesaran tonsil, eksudasi serta eritema faring. Derajat nyeri
telan didapatkan bervariasi. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi
secara dini dan nodus-nodus kelenjar mengalami nyeri tekan.1,2
    
1.6 Pemeriksaan
Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu jumlah
yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel polimorfonuklear menonjol
merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini faringitis akut akibat
virus maupun bakteri. Oleh karena itu jumlah leukosit tidak berperan
signifikan dalam menentukan agen penyebab faringitis akut.1,7
Bahan biakan dari sediaan usap tenggorokan merupakan satu-satunya
metode yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis berdasarkan agen
penyebab. Diagnosis standard faringitis akut akibat streptokokus beta
hemolitikus grup A adalah kultur usap tenggorok karena mempunyai
sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 90%; tergantung dari teknik, sample
dan media. Bakteri lain seperti gonokokus dapat dikultur pada media Thayer-
Martin hangat. Sedangkan virus dapat dikultur menggunakan media khusus
seperti monospot pada Epstein-Bar virus.1,3

1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan faringitis akut pada umumnya tidak memerlukan terapi
khusus. Terapi simptomatis berupa tirah baring dan dapat diberikan analgesik
dan antipiretik. Terapi kausal berdasarkan agen penyebab. Antibiotik
diberikan pada keadaan faringitis akut bakterial.3
Faringitis akut bakterial akibat streptokokus paling baik diobati dengan
penisilin per oral (200.000-250.000 unit penisilin G diberikan 3-4 kali sehari
selama 10 hari). Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon
klinis yang cepat berupa penurunan suhu tubuh dalam waktu 24 jam.
Eritromisin atau klindamisin merupakan kelompok antibiotik lain dengan
hasil yang memuaskan pada penderita faringitis akut bakterial yang alergi
terhadap penisilin.1,3
    Terapi simptomatis berupa analgesik dan antipiretik dapat diberikan
untuk mengurangi keluhan pada penderita. Obat yang dianjurkan adalah

6
golongan asetaminofen atau ibuprofen. Jika penderita mengalami nyeri
tenggorokan yang sangat hebat, pemberian kompres panas atau dingin pada
leher dapat membantu meringankan rasa nyeri. Berkumur dengan larutan
garam hangat dapat pula memberikan sedikit keringanan gejala terhadap
nyeri tenggorokan, namun hal ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak usia
kurang dari 5 tahun.1,3,7

LEPRA
1.1 Batasan
Lepra adalah penyakit menular kronik yang berkembang lambat,
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kuman tersebut diketahui primer
menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lain, kecuali susunan saraf
pusat serta ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa atau neurotropik
pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ lainnya. Manifestasi berupa
gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, terdiri dari dua tipe utama yaitu
lepromatous pada ujung spektrum dan tuberkuloid di ujung yang lain.
Diantara dua tipe ini terdapat tipe borderline dengan dua sub tipe, borderline
tuberkuloid dan borderlinelepromatous. Lepra dikenal pula sebagai kusta,
Morbus Hansen atau Hansen’s Disease.4,8,9

1.2 Epidemiologi
Lepra pada umumnya dijumpai di negara berkembang sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang
baik dan memadai kepada masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh dari
WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien lepra yang teregistrasi
sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien
terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak
116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara yang memiliki
jumlah penduduk terkena lepra terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. 5
Sementara Indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki jumlah penderita lepra
sebanyak 22.175 dan didapatkan prevalensi lepra sebesar 1,7 per 10.000
penduduk.6

7
1.3 Etiologi
Mycobacterium leprae merupakan agen kausal pada lepra. Kuman ini
berbentuk batang tahan asam yang termasuk famili Mycobacteriaeceae atas
dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik. Pertama kali
ditemukan oleh ilmuwan Norwegia Gerald A. Hansen pada tahun 1878.4,8

1.4 Patofisiologi
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran
perbafasan dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita
kusta yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat diketahui secara pasti. Masa
inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, sedangkan masa
inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Secara umum disetujui
bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. Setelah kuman
masuk ke dalam tubuh melalui jaringan limfatik dan pembuluh darah, kuman
akan menuju tempat predileksinya yaitu sel Schwann saraf tepi. M. leprae
akan mengalami multiplikasi, memulai siklus invasif serta membentuk
granuloma perineural.5,8

1.5 Gejala Klinis


Manifestasi klinis dari lepra sangat beragam, namun terutama
mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa. Gejala dan keluhan penyakit
bergantung pada multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae, respon imun
penderita terhadap kuman M. Leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf perifer. 4,5,8
a. Kelainan saraf tepi
Kerusakan saraf tepi dapat bersifat sensorik, motorik dan
otonomik. Sensorik biasanya berupa hipoestesi maupun anestesi
area yang terserang. Motorik berupa kelemahan otot, biasanya pada
ekstremitas atas, bawah, muka dan otot mata. Keluhan otonomik
timbul akibat gangguan kelenjar keringat sehingga lesi yang
terserang akan tampak lebih kering. Gejala lain adalah pembesaran

8
saraf tepi yang dekat dengan permukaan kulit antara lain n. ulnaris,
n. aurikularis magnus, n. peroneus komunis dan n. tibialis
posterior.

b. Kelainan kulit dan organ lain


Kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi maupun eritematous
dengan adanya gangguan estesi yang jelas. Gejala lanjut yang
timbul akibat banyaknya jumlah kuman M.leprae dapat berupa
fasies leonina (infiltrasi difus di muka), penebalan cuping telinga,
madarosis (penipisan alis mata bagian lateral) serta anestesi
simetris pada kedua tangan dan kaki (gloves & stocking
anesthesia).

1.6 Pemeriksaan
1.6.1 Pemeriksaan Fisik
Meliputi pemeriksaan kulit dan saraf tepi. Pada pemeriksaan kulit
dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan rasa raba
pada lesi yang dicurigai. Pemeriksaan saraf tepi dilakukan pada
perjalanan saraf tepi di dekat permukaan kulit.4,5

1.6.2 Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaaan dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Ziehl


Nielsen. Sediaan didapatkan dari kerokan cuping telinga kanan dan
telinga kiri serta lei kulit yang paling aktif. Sediaan yang telah dicat
kemudian dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali.4,5

1.7. Diagnosis dan Penentuan Tipe


Berdasarkan kriteria WHO tahun 1997, diagnosis lepra ditegakkan bila
dijumpai salah satu atau lebih tanda utama berupa:4,8
1. Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematous dengan
anestesi yang jelas.
2. Kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf dengan anestesi.

9
3. Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam
Pembagian tipe lepra menurut Ridley-Jopling dibuat berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologis, histopatologi dan imunologi; meliputi tipe
tuberculoid- tuberculoid (TT), tipe borderline tuberculoid (BT), tipe
borderline- borderline (BB), tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe
lepromatous-lepromatous (LL).5 Sedangkan WHO membagi lepra
berdasaarkan pengobatan yang diberikan; meliputi pausibasiler (PB) dan
multibasiler (MB). Tipe TT dan BT termasuk dalam tipe pausibasiler
(PB), sedangkan tipe BB, BL dan LL termasuk tipe multibasiler (MB). 4

1.8. Penatalaksanaan
Diberikan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy):
Tipe pausibasiler (PB) pengobatan diberikan secara teratur selama 6
bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan. Setelah selesai
minum 6 dosis, penderita dinyatakan RFT (Release From Treatment).4,9

Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum
Diminum di depan petugas di rumah
kesehatan

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum


(10-14 th) Diminum di depan petugas di rumah
kesehatan

Tabel 1. Regimen MDT pausi basiler (PB)


Dikutip sesuai kepustakaan no. 4

Tipe multibasiler (MB) pengobatan dilakukan secara teratur selama 12


bulan dan dapat diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai
minum 12 dosis, penderita dinyatakan RFT (Realease From Treatment)
meskipun lesinya masih aktif dan BTA positif.

10
Rifampicin Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan
diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dengan 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum 150 mg/bulan


(10-14 th) diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dengan 50
mg selang sehari
diminum di rumah
Tabel 2. Regimen MDT multibasiler (MB)
Dikutip sesuai kepustakaan no. 4

Masa pengamatan setelah RFT (Realease From Treatment) dilakukan secara pasif
untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.4

11
Gambar 1. Regimen MDTL
Dikutip sesuai kepustakaan no. 5

12
ERITROMISIN

1.1 Sifat fisikokimia

Struktur kimia Eritromisin berupa cincin lakton makrosiklik 14 atom


yang terhubung dengan dua komponen gula deoksi yaitu desosamine dan
cladinose. Eritromisin sukar larut dalam air (0,1%) tetapi mudah larut dalam
pelarut organik. Larutan Eritromisin stabil pada suhu 4ºC tetapi aktivitasnya
menghilang dengan cepat pada suhu 20ºC dan pada pH asam.10

Gambar 2. Struktur kimia Eritromisin


Dikutip sesuai keputakaan no. 10

1.2 Farmakodinamik
Struktur kimia Eritromisin berupa cincin lakton makrosiklik 14 atom
yang terhubung dengan dua komponen gula deoksi yaitu desosamine dan
cladinose. Eritromisin bekerja dengan menghambat protein sintesis bakteri
dengan cara berikatan dengan subunit 50S RNA ribosomal. Ikatan ini akan
menghambat reaksi translokasi aminoasil dan pada akhirnya menghambat
pembentukan kompleks inisiasi.10,11

1.3 Farmakokinetik

Eritromisin basa dihancurkan oleh asam lambung sehingga harus dibuat


dalam bentuk selaput enterik. Makanan mempengaruhi absorpsi. Bentuk
stearat dan ester lebih tahan terhadap asam dan lebih mudah diserap. Bentuk
preparat oral yang paling baik diserap adalah Eritromisin estolat, tetapi efek

13
sampingnya lebih besar. Oleh sebab itu, bentuk preparat stearat dan suksinat
lebih banyak dipakai. Dosis oral 2 g/ hari menghasilkan konsentrasi
Eritromisin basa dan ester dalam serum kira-kira 2 mcg/ mL. Akan tetapi
hanya bentuk basa yang aktif secara mikrobiologi, dan konsentrasinya
cenderung sama apapun formulasinya. Dosis Eritromisin lactobionate
intravena sebesar 500 mg menghasilkan konsentrasi dalam serum sebesar 10
mcg/ mL dalam 1 jam sesudah pemberian. Waktu paruh dalam serum adalah
sekitar 1,5 jam. Eritromisin didistribusi secara luas dalam tubuh kecuali pada
otak dan cairan serebrospinal. Eritromisin juga diserap ke dalam leukosit
polimorfonuklear dan makrofag. Eritromisin dapat melalui plasenta dan
mencapai darah janin, tetapi biasanya konsentrasi Eritromisin dalam darah
janin rendah. Eritromisin diekskresi sebagian besar di dalam empedu dan tinja,
hanya 5% yang diekskresi di dalam urine, sehingga penyesuaian dosis untuk
pasien dengan gagal ginjal tidak diperlukan. 10,11

1.4 Farmasi umum 12

a. Dosis

Dosis dewasa : 4 x 250-500 mg/hari


Dosis anak : 40 mg/kg BB/hari

b. Preparat

Sediaan eritromisin berupa kapsul 250 mg, kaplet 500 mg, suspensi
200 mg/5ml (60ml) berupa sirup kering dan drops 100 mg/2,5 ml (30 ml).

1.5 Indikasi

Eritromisin memiliki efek bakterisidal terhadap organisme gram positif


seperti pneumococci, streptococci, staphylococci, corynebacteria; organisme
gram negatif meliputi Neisseria sp.,Bordetella pertussis, Bartonella henselae,
Rickettsia sp.,Treponema pallidum, Campylobacter sp. serta beberapa

14
organisme lain mencakup Mycoplasma sp., Legionella sp., Chlamydia
trachomatis, Helicobacter sp., Listeria sp. dan Mycobacterium kansasii.11
Beberapa indikasi penggunaan Eritromisin antara lain:10
 Infeksi corynebacterial (difteri, corynebacterial sepsis, eritrasma)
 Infeksi saluran napas, neonatus, okular maupun genital yang
disebabkan oleh Chlamydia sp.
 Pneumonia komunitas dengan agen penyebab pneumococcus,
mycoplasma dan legionella.
 Pengganti preparat penisilin pada pasien yang alergi terhadap
penisilin yang mengalami infeksi staphyilococcus, streptococcus
maupun pneumococcus.
 Profilaksis endokarditis pada prosedur dental atau prosedur operasi
lain terhadap pasien dengan penyakit jantung katup.
 Infeksi akut pada kulit atau jaringan lunak dengan tingkat
keparahan ringan sampai sedang akibat Staphylococcus aureus.
 Infeksi saluran napas atas, otitis media, atau faringitis akut.

1.6 Reaksi yang tidak diinginkan

a. Efek samping

Anoreksia, mual, muntah dan diare sering terjadi pada pemberian


Eritromisin peroral. Intoleransi gastrointestinal, yang diakibatkan stimulasi
langsung pada motilitas usus, merupakan penyebab tersering penghentian
Eritromisin dan penggantian obat ini dengan antibiotik lain.10,12

b. Toksisitas

Eritromisin, khususnya yang berbentuk estolat diketahui memiliki efek


toksik pada hati dan dapat menyebabkan hepatitis kolestatik akut (demam,
ikterus, gangguan fungsi hati) yang diperkirakan sebagai akibat dari reaksi
hipersensitivitas. Sebagian besar pasien dapat pulih dari keadaan tersebut
dengan menghentikan penggunaan Eritromisin, tetapi hepatitis dapat terjadi
kembali apabila Eritromisin digunakan.11,12

15
1.7 Interaksi

Metabolit eritromisin dapat menghambat sitokrom P450 sehingga


meningkatkan konsentrasi beberapa obat di dalam serum, seperti teofilin,
antikoagulan oral, siklosporin, dan metilprednisolon. Eritromisin
meningkatkan konsentrasi digoxin oral dalam serum dengan cara
meningkatkan bioavailabilitas obat tersebut. Selain itu eritromisin juga dapat
meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin serta meningkatkan resiko
rabdomiolisis bila digunakan bersama dengan lovastatin dan simvastatin.10,12

RIFAMPICIN

1.1 Sifat fisikokimia


Rifampicin merupakan suatu komponen semisintetis yang berasal dari
Streptomyces mediterranei. Memiliki rumus kimia C43H58N4O12 dengan berat
molekul 822,96 mg/mol. Tampilan fisik berupa serbuk berwarna merah
kekuningan dan tidak berbau. Rifampicin sukar larut dalam air, aseton, karbon
tetraklorida, alkohol dan eter. Mempunyai kelarutan bebas dalam kloroform,
etil asetat, metil alkohol dan tetrahidrofuran. Kelarutan dalam air didapatkan
meningkat pada keadaan asam.13

Gambar 3. Struktur kimia Rifampicin


Dikutip sesuai kepustakaan no. 14

16
1.2 Farmakodinamik
Rifampicin merupakan suatu komples semisintetis turunan antibiotik
rifampin yang bekerja dengan cara mengikat RNA polymerase sub-unit beta
yang tergantung DNA bakteri secara kuat sehingga terjadi hambatan pada
sintesis RNA bakteri.13
Obat ini aktif secara in vitro melawan coccus gram positif dan gram
negatif, beberapa bakteri enterik serta chlamydia. Rifampicin mengikat RNA
polymerase sub-unit beta yang tergantung DNA bakteri secara kuat. Melalui
proses ini terjadi hambatan sintesis RNA.13
Resistensi disebabkan satu dari beberapa kemungkinan titik mutasi pada
rpoB; suatu gen subunit beta dari RNA polymerase. Mutasi tersebut
menghambat pengikatan rifampicin pada RNA polymerase.13,14

1.3 Farmakokinetik
Rifampicin dapat diserap dengan baik setelah pemberian peroral dan
diekskresi terutama melalui hati menuju empedu. Rifampicin kemudian
mengalami resirkulasi enterohepatis, diekskresi dalam jumlah besar (60-70%)
sebagai metabolit deasilasi pada feses dan sisanya dikeluarkan melalui urine.
Penyesuaian dosis untuk insufisiensi ginjal tidak dibutuhkan.13
Rifampicin didistribusikan secara luas dalam cairan tubuh dan jaringan.
Kadar puncak plasma akan tercapai setelah 1-4 jam pemberian Rifampicin per
oral. Dosis per oral 450mg - 600mg/hari mampu menghasilkan kadar serum 5-
7 µg/mL. Waktu paruh Rifampicin diketahui berkisar 3-5 jam. Waktu paruh
didapatkan memanjang pada pemberian dosis besar tunggal serta pada
penderita dengan gangguan fungsi hati.13,14
Rifampicin merupakan pengikat protein yang relatif tinggi, oleh karena
itu konsentrasi cairan serebrospinal yang cukup hanya akan terjadi jika
terdapat peradangan selaput otak atau sumsum tulang belakang.13

17
1.4 Farmasi Umum14

a. Dosis

Dosis dewasa : 450-600 mg/hari

Dosis anak : 10-20 mg/kgBB/hari (maksimum 600 mg/hari)

b. Preparat

Sediaan rifampicin berupa kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.

1.5 Indikasi
Rifampicin biasanya diberikan bersama dengan isoniazid, ethambutol,
atau obat antituberkulosis untuk mencegah timbulnya resistensi obat
mikobakterium. Rifampicin 600 mg setiap hari atau dua kali seminggu selama
6 bulan sama efektifnya untuk beberapa infeksi mikobakterium atipikal dan
pada penyakit lepra jika digunakan bersama dengan sulfone.13

18
1.6 Reaksi yang tidak diinginkan

a. Efek samping

Rifampicin menyebabkan pewarnaan merah kekuningan pada urine


dan keringat. Selain itu dapat menimbulkan ikterus, hipersensitif, dan
hepatitis pada beberapa kasus. Rifampicin juga dapat menyebabkan
proteinuria rantai ringan serta menimbulkan ruam dan trombositopenia.
Jika diberikan kurang dari dua kali seminggu dapat menyebabkan suatu
sindrom yang mirip serangan flu; ditandai dengan demam, menggigil,
mialgia, anemia dan trombositopeni yang diasosiasikan dengan nekrosis
tubulus akut.13,14

1.7 Interaksi

Asam aminosalisilat diketahui mampu menurunkan absorbsi rifampicin


secara signifikan. Penggunaan bersama kedua obat tersebut tidak dianjurkan,
namun pada beberapa keadaan memungkinkan penggunaan kedua obat
tersebut melalui pemberian dengan selang waktu 8-12 jam.13

Rifampicin diketahui menginduksi sitokrom P450 isoform (CYPs 1A2,


2C9, 2C19, 2D6, and 3A4) dengan kuat sehingga dapat meningkatkann
eliminasi beberapa jenis obat meliputi metadon, antikoagulan, siklosporin,
beberaoa jenis antikonvulsan, inhibitor protease, inhibitor revere transcriptase
dan obat kontrasepsi. Pemberian rifampisin bersama dengan kelompok obat
tersebut di atas, akan menurunkan kadar serum obat tersebut secara
signifikan.14

CLOFAZIMINE

1.1 Sifat fisikokimia

Clofazimine atau Lamprene merupakan derivat zat warna


iminophenazine berwarna merah. Memiliki rumus kimia 3-(p-chloroanilino)-

19
10-(p-chlorophenyl)-2,10-dihydro-2-isopropyliminophenazine. Tampilan fisik
clofazimine berupa serbuk berwarna merah kecoklatan, larut dalam benzene
dan kloroform serta tidak larut dalam aseton dan etil asetat. Clofazimine larut
sebagian dalam metanol, etanol dan air. Clofazimine mengandung bermacam
senyawa non-aktif  seperti hidroksitoluen butil, asam sitrat, gelatin, gliserin,
oksida besi, lesitin, paraben, minyak nabati dan propilen glikol.15

Gambar 4. Struktur kimia Clofazimine


Dikutip sesuai kepustakaan no. 15

1.2 Farmakodinamik
Clofazimine menunjukkan efek bakterisidal lambat terhadap
Mycobacterium leprae (Hansen’s disease) melalui hambatan pertumbuhan
mikobakterium serta ikatan pada DNA mikobakterium yang mengakibatkan
gangguan siklus sel dan transpor NA/K ATPase bakteri. Clofazimine juga
memiliki kemampuan anti-inflamasi yang terlihat pada reaksi kusta ENL
(Erythema Nodosum Leprosum), akan tetapi mekanisme anti-inflamsi tersebut
masih belum diketahui secara pasti.13

1.3 Farmakokinetik
Clofazimine memiliki variabilitas tingkat absorbsi pada pasien lepra,
berkisar antara 45%-62% setelah pemberian oral. Konsentrasi rata-rata serum
pada pasien lepra yang mendapat dosis 100 mg dan 300 mg per hari
didapatkan 0.7 µg/mL dan 1.0 µg/mL. Setelah 24 jam pemberian dosis 300 mg
per oral, eliminasi clofazimine dan metabolitnya tidak didapatkan pada urine.
Keadaan ini menunjukkan clofazimine dapat bertahan cukup lama dalam

20
tubuh manusia. Waktu paruh clofazimine setelah pemberian dosis per oral
berulang, diperkirakan sekitar 70 hari. Sekitar 80% clofazimine dimetabolisme
melalui kandung empedu dan diekskresikan lewat feses. Sisanya akan
mengalami eliminasi melalui urine, sputum, sebum dan keringat.13
Clofazimine bersifat lipofilik dan cenderung terdeposit pada jaringan
lemak dan sel sistem retikuloendotel. Makrofag berperan dalam distribusi
clofazimin ke seluruh tubuh. Pada pemeriksaan patologi post-mortem
penderita lepra ditemukan clofazimine dalam bentuk kristal terdeposit pada
kelenjar limfe mesenterikus, kelenjar adrenal, lemak subkutan, hati, kandung
empedu, kandung kemih, limpa, usus halus, otot, tulang dan kulit.15

1.4 Farmasi umum15

a. Dosis

Dosis dewasa : 100 mg/hari


Dosis anak : 50 mg/ hari

b. Preparat

Sediaan clofazimine berupa kapsul gelatin lunak 50 mg, berwarna


coklat dan berbentuk sferis. Kemasan dalam 1 botol berisi 100 kapsul.
Selain itu didapatkan pula kemasan blister 50 mg (anak) dan 100 mg
(dewasa) MDTL (Multi Drugs Therapy for Leprosy) bersama dapsone dan
rifampicin.15

1.5 Indikasi

Clofazimine digunakan dalam regimen terapi lepra multibasiler (MB)


bersama dengan Rifampicin dan Dapsone. Terapi kombinasi tersebut
bermanfaat untuk mecegah resistensi obat lepra. Clofazimine 100-200 mg/hari
selama maksimal 3 bulan, diketahui bermanfaat dalam menurunkan
pemakaian kortikosteroid jangka panjang pada penderita reaksi kusta.

21
Pemberian dosis clofazimine lebih dari 200 mg/hari tidak
direkomendasikan.13,15

1.7 Reaksi yang tidak diinginkan

a. Efek samping

Efek samping clofazimine berkaitan erat dengan dosis. Pada


umumnya clofazimine dapat ditoleransi dengan baik pada dosis 100
mg/hari. Efek samping utama pemakaian clofazimine adalah diskolorasi
kulit, mulai dari merah kecoklatan sampai dengan kehitaman dan kulit
menjadi lebih kering. Efek samping tersebut berifat reversibel, namun
membutuhkan waktu sekitar 6 bulan agar kulit dapat kembali normal. Efek
samping lain meliputi gejala gastrointestinal berupa nyeri epigastrium,
diare, mual dan muntah serta gejala okuler berupa pigmentasi kornea dan
konjunctiva akibat deposit kristal clofazimine.13

1.8 Interaksi

Tidak ditemukan data menyebutkan interaksi clofazimine dengan obat


golongan lain, namun didapatkan data awal penelitian menyebutkan dapsone
mengahambat efek anti-inflamasi clofazimine. Data tersebut masih belum
dikonfirmasi dan pemakaian terapi kombinasi pada penderita reaksi kusta
masih direkomendasikan hingga saat ini. 15

DAPSONE

1.1 Sifat fisikokimia

Dapsone memiliki nama kimia 4,4'-diaminodiphenylsulfone (DDS) dan


tampilan fisik berupa serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau. Dapsone
tidak larut dalam air maupun minyak nabati serta mengandung senyawa non-

22
aktif meliputi koloid silikon dioksida, magnesium stearat, selulosa dan pati
jagung.13,16

Gambar 5. Struktur kimia Dapsone


Dikutip sesuai kepustakaan no. 16

1.2 Farmakodinamik
Dapsone merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid
(PABA) dan menghambat penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
Melalui proses ini dapsone memiliki efek bakteriostatik maupun bakterisidal.16

1.3 Farmakokinetik

Pemberian dapsone per oral mampu diabsorbsi secara lengkap oleh usus.
Konsentrasi puncak dapsone dalam plasma tercapai dalam waktu 2-8 jam
setelah pemberian. Waktu paruh diperkirakan antara 20-30 jam. Dua puluh
empat jam setelah pemberian dapsone 100 mg per oral, didapatkan konsentrasi
plasma berkisar antara 0.4 to 1.2 µg/ml. Sekitar 70% dapsone berikatan
dengan protein plasma. Dapsone terdistribusi secara sempurna ke seluruh
cairan tubuh dan dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh. Akan tetapi
dapsone cenderung terdeposit dalam hati, ginjal, otot dan kulit. Sisa obat
didapatkan pada keempat jaringan tubuh tersebut melalui pemeriksaan yang
dilakukan 3 minggu setelah penghentian terapi dapsone.13,17

Setelah melalui proses absorbsi di traktus gastrointestinal, dapsone


dibawa menuju sirkulasi portal, dimana terjadi metabolisme melalui 2 jalur
utama yaitu N-asetilasi dan N-hidroksilasi. Sekitar 85% asupan harian
dapsone akan diekskresikan secara lambat melalui urine dalam bentuk
metabolit larut air.17

1.4 Farmasi umum 16

23
a. Dosis

Dosis dewasa : 100 mg/hari


Dosis anak : 1 mg - 2 mg/kgBB/hari

b. Preparat

Sediaan dapsone berupa tablet berwarna putih 25 mg dan 100 mg.


Selain itu didapatkan pula sediaan tablet dapsone 50 mg yang digunakan
dalam regimen terapi lepra multibasiler (MB) anak.

1.5 Indikasi

Dapsone digunakan dalam perawatan berbagai jenis gangguan kulit seperti


dermatitis herpetiformis dan lepra. Dapsone diperkirakan memiliki efek
imunomodulator sehingga mampu menekan proses inflamasi. Selain itu
dapsone juga bersifat bakteriostatik; menghambat pertumbuhan bakteri serta
memiliki sifat anti-mikosis sehingga digunakan dalam terapi infeksi jamur
sistemik seperti aktinomikosis misetoma.17

1.6 Reaksi yang tidak diinginkan

a. Efek samping

Sebagian besar efek samping dapsone timbul terkait dosis pemberian


dan jarang terjadi pada rentang dosis sampai dengan 100 mg/hari. Efek
samping yang mungkin timbul antara lain anoreksia,mual, muntah, pusing,
takikardi dan insomnia.17

Hemolisis dan methemoglobinemia dapat timbul pada individu yang


mendapat dosis dapsone lebih dari 200 mg/hari. Sedangkan pada penderita
dengan defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase, pemberian
dapsone lebih dari 50 mg/hari akan meningkatkan resiko terjadinya
hemolisis.16,17

Sindroma Dapsone (Dapsone syndrome) merupakan efek samping


yang sangat jarang terjadi. Keadaan ini merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas yang cenderung timbul pada 6 bulan pertama pemberian

24
dapsone. Gejala yang muncul dapat berupa demam, limfadenopati,
eosinofilia, mononukleosis, leukopenia, ikterus, erupsi eksantematous dan
dermatitis eksfoliatif. Penghentian obat diketahui memberikan perbaikan
gejala yang timbul.17

b. Toksisitas

Toksisitas dapsone berhubungan dengan pembentukan


methemoglobin; diawali dari proses N-oksidasi yang menyebabkan
terbentuknya metabolit hidroksilamin oleh sitokrom P450.17

1.7 Interaksi

Rifampicin diketahui mampu menurunkan kadar plasma dapsone sebesar


7-10 kali lipat melalui akselerasi klirens plasma. Akan tetapi pada kasus lepra,
keadaan ini tidak membutuhkan perubahan dosis dapsone. Senyawa antagonis
asam folat seperti pirimetamin memiliki kemampuan meningkatkan
probabilitas reaksi hematologi.17

Pemberian dapsone 100 mg/oral/hari bersama dengan trimethoprim 5


mg/kgBB/hari tiap 6 jam menunjukkan interaksi yang bermakna. Pada hari ke-
7 pemberian obat-obat tersebut, didapatkan rata-rata kadar dapsone sebesar 2.1
± 1.0 μg/mL. Pada pemberian dapsone sebagai obat tunggal didapatkan rata-
rata kadar dapsone sebesar 1.5 ± 0.5 μg/mL. Sedangkan rata-rata kadar
trimethoprim sebesar 18.4 ± 5.2 μg/mL. Pada pemberian trimethoprim
sebagai agen tunggal, didapatkan rata-rata kadar trimethoprim sebesar 12.4 ±
4.5 μg/mL. Keadaan ini menunjukkan interaksi mutualisme antara dapsone
dan trimethoprim, dimana dapsone meningkatkan kadar plasma trimethoprim
sebanyak 1,5 kali; begitu pula sebaliknya.17

25
DISKUSI

Eritromisin
1.1 Pemilihan Bahan Obat
Penggunaan Eritromisin pada kasus ini sudah sesuai dengan indikasi
karena Eritromisin dapat digunakan untuk berbagai penyakit infeksi termasuk
faringitis. Eritromisin memiliki spektrum luas sehingga efektif terhadap
berbagai bakteri gram positif dan gram negatif. Oleh karena itu Eritromisin
dapat digunakan sebagai pilihan terapi pada kasus di mana kultur dan tes
sensitivitas tidak atau belum dapat dilakukan seperti pada kasus ini. 1,10
Faktor ras maupun genetik dari pasien ini tidak mempengaruhi
penggunaan Eritromisin.2 Pasien ini juga menderita penyakit lain yaitu
Morbus Hansen tipe borderline, namun hal tersebut tidak mempengaruhi
penggunaan Eritromisin.

26
Tidak terdapat kontraindikasi pemakaian Eritromisin pada pasien ini.
Efek samping penggunaan Eritromisin yang patut mendapat perhatian adalah
rasa tidak enak di perut berupa mual, muntah atau diare; reaksi alergi ringan
meliputi ruam kulit dan demam serta hepatotoksisitas yang ditandai dengan
gejala hepatitis berupa demam dan perubahan warna kulit tubuh menjadi
kuning. Efek samping ototoksisitas perlu diperhatikan meskipun jarang
terjadi.10,12 Pasien perlu diedukasi untuk kembali ke dokter apabila didapatkan
gejala-gejala efek samping di atas. Pasien ini tidak memiliki riwayat alergi dan
Eritromisin pun jarang memberikan reaksi alergi. Oleh karena itu Eritromisin
cukup aman digunakan pada kasus ini.
Tidak terdapat interaksi obat antara Eritromisin dengan Rifampicin,
Dapsone maupun Lamprene yang merupakan komponen dari MDTL. 12
Eritromisin tersedia di apotek RSDS dan juga di wilayah tempat tinggal
pasien. Hingga saat ini belum banyak bakteri yang resisten terhadap
Eritromisin. Ditinjau dari segi biaya, sirup Eritromisin cukup terjangkau yaitu
sekitar Rp 20.000 per 60 mL.12

1.2. Penetapan Dosis


 Berdasarkan keluhan dan temuan pemeriksaan fisik, pasien ini
menderita faringitis dengan tingkat keparahan ringan. Analisis
penetapan dosis pasien ini adalah sebagai berikut:
BB pasien = 18 kg.
Rekomendasi dosis Eritromisin pada anak = 30-50 mg/ kgBB/ hari.
Sediaan yang diberikan = Sirup Eritromisin 60 mL, konsentrasi 200 mg / 5 mL.
Dosis yang diberikan = 3x1 sendok teh/hari (1 sendok teh setara dengan 5 mL).
Berarti dosis yang diberikan per hari = 3 x 5 mL x 200 mg = 600mg/ hari
5 mL
600 mg/ hari bagi pasien ini = 600 mg per hari = 33,33 mg/ kg BB/ hari
18 kg
Menurut perhitungan dosis eritromisin yang diberikan sudah sesuai dengan
tingkat keparahan penyakit pasien yang ringan.

27
 Eritromisin seharusnya diberikan selama 5 hari, maka jumlah sirup
Eritromisin yang seharusnya diberikan adalah sebagai berikut:
15 mL/ hari x 5 hari = 75 mL
Pasien ini diberi sirup Eritromisin sebanyak 60 mL yang hanya cukup
untuk 4 hari. Oleh sebab itu jumlah sirup Eritromisin yang diberikan
kurang rasional.

 Umur penderita 8 tahun. Maka penetapan dosis Eritromisin pada pasien ini
harus menggunakan dosis anak yaitu 30-50 mg/ kg BB/ hari.

 Berat badan penderita 18 kg merupakan determinan penting dalam penetapan


dosis Eritromisin pada kasus ini. Dosis yang sesuai untuk pasien ini adalah
30 mg x 18 kg = 540 mg / hari s/d 50 mg x 18 kg = 900 mg / hari
Dosis yang diberikan kepada pasien ini berada di dalam rentang dosis di atas.

 Kondisi patofisiologis berupa faringitis ringan merupakan pertimbangan untuk


memberikan Eritromisin dengan dosis kecil.
 Tidak didapatkan gangguan absorbsi, distribusi, metabolisme maupun
eliminasi pada pasien ini yang dapat mempengaruhi penetapan dosis
Eritromisin.

1.3. Pemilihan Bentuk Sediaan Obat


 Faktor penderita
Usia penderita adalah 8 tahun, walaupun masih tergolong usia
anak, pasien ini mampu menelan obat berupa tablet, kaplet ataupun
kapsul, terbukti dari terapi MDTL yang sudah dijalani selama 5 bulan
terakhir ini, di mana obat MDTL berupa tablet dan kaplet. Berdasarkan
hal tersebut maka bentuk sediaan obat cair (sirup) maupun padat
(tablet, kapsul atau kaplet) dapat diberikan pada pasien ini. Akan tetapi
bentuk sediaan padat eritromisin yang tersedia adalah kapsul 250 mg
dan kaplet 500 mg,12 sedangkan dosis Eritromisin pada pasien ini

28
adalah sekitar 180 mg/ kali maka sulit mengaplikasikan bentuk sediaan
padat. Oleh karena itu bentuk sediaan cair merupakan pilihan yang
tepat bagi pasien ini. Selain itu bentuk sediaan cair lebih nyaman bagi
pasien anak karena mudah ditelan dan rasanya manis.
Pasien dalam kondisi sadar dan dirawat jalan maka bentuk sediaan
sirup dapat diberikan. Pasien memiliki keluhan berupa nyeri telan,
sehingga bentuk sediaan cair lebih rasional dibandingkan bentuk
sediaan padat karena lebih dapat ditoleransi oleh penderita.
Harga Sirup Eritromisin cukup terjangkau bagi pasien ini.
Beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan adalah sendok takar
yang digunakan dan bentuk sediaan obat berupa sirup kering. Untuk
dapat memenuhi dosis yang diinginkan maka pemberian sirup
Eritromisin harus menggunakan sendok teh yang volumenya adalah 5
mL. Tetapi, saat ini di rumah sangat sulit untuk menemukan sendok
teh dengan ukuran 5 mL, ukuran sendok teh yang ada saat ini berkisar
3-4 mL. Kenyataan ini dapat mengakibatkan tidak tepatnya dosis
Eritromisin yang diberikan setiap harinya pada pasien ini. Oleh sebab
itu orang tua pasien perlu diedukasi untuk mengusahakan sendok takar
dengan ukuran yang tepat. Selain itu orang tua juga harus dijelaskan
tentang pelarutan sirup kering eritromisin menggunakan air. Jumlah air
yang diberikan harus sesuai takaran yaitu 60 ml agar kadar eritromisin
dalam suspensi sirup dapat tercapai dengan tepat yaitu 200 mg / 5 ml.

 Faktor obat
Sirup Eritromisin yang diberikan sebenarnya merupakan suatu
suspensi. Bentuk sediaan ini tepat sebab Eritromisin tidak larut dalam
air, sehingga harus dibuat dan diberikan dalam bentuk suspensi untuk
meningkatkan homogenitasnya. Akan tetapi obat ini memiliki
kekurangan berupa ketersediaan dalam bentuk sirup kering yang harus
dilarutkan terlebih dahulu menggunakan air yang memungkinkan
terjadi kesalahan dalam pelarutan sehingga kadar eritromisin dalam
suspensi sirup tidak tercapai dengan tepat.

29
Rasa obat ini manis sehingga cocok diberikan bagi pasien anak.
Zat aktif yaitu Eritromisin tetap efektif dalam BSO suspensi ini. Bahan
yang terkandung dalam suspensi Eritromisin adalah Eritromisin
etilsuksinat. Bahan ini cukup tahan terhadap asam lambung dan dapat
diabsorbsi dengan baik.10 Bentuk sediaan berupa suspensi juga
memungkinkan obat bekerja sistemik. Hal ini sesuai dengan lokasi
penyakit (target organ) yaitu faring yang dicapai secara efektif dengan
obat sistemik.

1.4. Penetapan Cara Pemberian Obat


 Tujuan terapi pada kasus ini adalah mengatasi infeksi pada faring
sehingga pemberian suspensi Eritromisin secara per oral sehingga
menimbulkan efek sistemik merupakan cara yang tepat.
 Munculnya kerja obat (Onset of Action) Eritromisin suspensi lebih cepat
dibandingkan Eritromisin bentuk padat karena suspensi tidak melalui
proses disintegrasi dan deagregasi. Lama kerja obat (Duration of
Action) dari Eritromisin suspensi per kali pemberian sesuai dosis adalah
sekitar 6-8 jam.
 Eritromisin etilsuksinat cukup stabil dalam cairan lambung dan cairan
usus sehingga pemberian secara per oral adalah rasional.
 Walaupun penderita memiliki keluhan nyeri telan, penderita masih
dapat menelan bentuk sediaan obat berupa sirup sehingga pemberian
obat per oral masih dapat dikatakan rasional.
 Pemberian Eritromisin secara per oral cukup memudahkan penderita
maupun pelaksana pelayanan kedokteran.

1.5. Penetapan Waktu Pemberian obat


 Interval pemberian sirup Eritromisin 3x sehari sudah rasional sebab
sesuai dengan waktu paruh Eritromisin yaitu 6-8 jam. Interval ini juga
mudah dipatuhi oleh penderita.
 Pengobatan dengan Eritromisin pada kasus ini merupakan pengobatan
kausatif untuk infeksi akut, oleh sebab itu Eritromisin seharusnya

30
diberikan selama 5 hari, tetapi pada kasus ini jumlah sirup Eritromisin
yang diberikan kurang (seharusnya diberikan sebanyak 75 mL tetapi
hanya diresepkan sebanyak 60 mL yang hanya cukup untuk 4 hari)
sehingga resep ini tidak rasional. Tidak adekuatnya masa terapi dengan
Eritromisin dapat menyebabkan resistensi.
 Sirup Eritromisin dapat diminum sebelum atau sesudah makan.10,12

Rifampicin
1.1. Pemilihan Bahan Obat
Rifampicin merupakan suatu obat yang aktif secara in vitro melawan
coccus gram positif dan gram negatif, beberapa bakteri enterik,
mikobakterium serta chlamydia.13 Rifampicin biasanya digunakan bersama
dengan agen lain seperti isoniazid dan ethambutol yang berperan dalam
pengobatan tuberkulosis.14 Selain itu rifampicin dimasukkan ke dalam regimen
MDTL bersama dengan Dapsone dan Lamprene; bermanfaat dalam
pengobatan lepra.4
Pemberian Rifampicin sudah sesuai pada pasien ini, dimana selain
menderita faringitis akut juga didapatkan lepra. Rifampicin diketahui tidak
berinteraksi dengan eritromisin yang dipakai dalam terapi faringitis akut.
Selain itu pasien juga mendapatkan Rifampicin dalam bentuk regimen MDTL
secara gratis melalui program pemberantasan lepra oleh Departemen
Kesehatan.
Efek samping yang perlu diberitahukan kepada penderita dan orang
tuanya adalah timbulnya warna kemerahan pada air seni dan keringat. 13,14 Hal
tersebut perlu dijelaskan agar pengobatan dapat berlangsung secara teratur dan
penderita tidak memutuskan untuk menghentikan pengobatan. Efek samping
lain yang perlu diwaspadai adalah ikterus dan hepatitis. Jika timbul perubahan
warna kulit tubuh menjadi kuning, penderita harus segera menemui dokter.

1.2. Penetapan Dosis


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diketahui bahwa pasien
menderita lepra tipe borderline dan selama 5 bulan terakhir, pasien

31
mendapatkan regimen MDTL multibasiler (MB) anak dimana di dalamnya
didapatkan tablet rifampicin 300 mg dan 150 mg (total 450 mg) yang diminum
sekali sebulan di hadapan petugas.
Dosis Rifampicin untuk anak adalah 10-20 mg/kgBB/hari.14 Pasien ini
memiliki berat badan 18 kg, sehingga harus mendapatkan rifampicin dengan
rentang dosis antara 180 mg – 360 mg / hari.
Berdasarkan perhitungan dosis di atas maka dosis rifampicin yang
diberikan pada pasien tidak rasional, dimana melebihi rentang dosis harian
rifampicin untuk anak.

1.3. Pemilihan Bentuk Sediaan Obat


 Faktor Penderita
Usia penderita 8 tahun dan masih tergolong usia anak. Bentuk sediaan
yang sesuai untuk anak biasanya adalah bentuk sediaan cair ataupun
padat berbentuk puyer. Akan tetapi penderita ini diketahui mampu
mengkonsumsi obat dalam bentuk padat, dimana selama 5 bulan
terakhir penderita mengkonsumsi MDTL tablet dan kapsul.

 Faktor Obat
Selain alasan tersebut di atas, pemilihan bentuk sediaan rifampicin juga
dipengaruhi ketersediaan di pasaran. Sediaan rifampicin yang beredar
di pasaran berupa kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg. 14
Keadaan ini mengakibatkan penderita tidak memiliki pilihan dalam
pemilihan bentuk sediaan obat.

1.4. Penetapan Cara Pemberian Obat


Tujuan terapi pada kasus ini adalah membunuh mikobakterium
penyebab lepra. Pemberian tablet rifampicin per oral sehingga menimbulkan
efek sistemik merupakan cara yang tepat untuk mencapai tujuan terapi.
Selain itu pemberian tablet rifampicin per oral dapat diabsorbsi dengan baik
dan didistribusikan ke hampir seluruh jaringan tubuh. 13,14 Pemberian tablet

32
rifampicin per oral pada penderita ini cukup rasional karena mudah
dilakukan oleh penderita maupun tenaga pelayanan kesehatan.

1.5. Penetapan Waktu Pemberian obat


Pemberian tablet rifampicin 450 mg sekali sebulan pada penderita telah
rasional karena memenuhi aturan pemberian MDTL multibasiler (MB) yang
disusun oleh WHO (World Health Organization). Selain itu pemberian
rifampicin per oral dosis besar tunggal diketahui mampu meningkatkan
waktu paruh sehingga obat dapat bekerja lebih lama.14

Clofazimine
1.1. Pemilihan Bahan Obat
Penggunaan clofazimine sesuai indikasi pada pasien ini karena
bakterisidal lambat terhadap Mycobacterium leprae melalui hambatan
pertumbuhan mikobakterium serta ikatan pada DNA mikobakterium yang
mengakibatkan gangguan siklus sel dan transpor NA/K ATPase bakteri. 13
Tidak ditemukan interaksi clofazimine dengan penggunaan eritromisin pada
terapi faringitis akut. Clofazimine juga tersedia gratis dalam regimen MDTL
serta mudah diakses oleh penderita melalui program pemberantasan penyakit
lepra yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan.

1.2. Penetapan Dosis


Dosis Clofazimine pada anak didapatkan sebesar 50 mg/hari.15 Pada
penderita ini, clofazimine diberikan 150 mg sekali sebulan dan dilanjutkan
dengan 50 mg selang sehari. Dosis Clofazimine pada penderita ini rasional
dengan berepedoman pada regimen terapi MDTL. Namun perlu diperhatikan
efek samping yang sering timbul terkait pemberian Clofazimine yaitu
diskolorasi kulit menjadi coklat kemerahan sampai dengan kehitaman.
Penderita harus diberi penjelasan bahwa hal tersebut bersifat reversibel dan
kembali normal beberapa bulan setelah penghentian terapi.

1.3. Pemilihan Bentuk Sediaan Obat

33
 Faktor Penderita
Pada pasien anak dan ada keluhan nyeri telan, bentuk sediaan obat yang
dipilih seharusnya tidak diberikan lewat mulut yang memerlukan
kemampuan untuk menelan. Tetapi bila nyeri telan tidak terlalu sakit,
bisa juga diberikan melalui mulut.

 Faktor Obat
Clofazimine tersedia dalam bentuk kapsul lunak gelatin yang
cenderung lebih mudah ditelan, meskipun penderita mengalami keluhan
nyeri telan.

1.4. Penetapan Cara Pemberian Obat


Pada pasien ini clofazimine diberikan per oral dalam bentuk kapsul
lunak. Hal ini memungkinkan untuk mencapai efek sistemik. Clofazimine
diabsorbsi cukup baik (45%-65%) dalam saluran cerna dan bertahan cukup
lama dalam tubuh manusia.13,15 Waktu paruh clofazimine setelah pemberian
dosis per oral berulang dapat mencapai 70 hari., 15 sehingga clofazimine dapat
diberikan selang sehari.

1.5. Penetapan Waktu Pemberian obat


Clofazimine bisa diberikan sebelum maupun setelah makan karena tidak
ada hal spesifik yang mengganggu absorbsi clofazimine melalui saluran
cerna.13 Hanya saja karena pemberiannya sekali dalam sehari, maka lebih
baik bila diberikan pada pagi hari agar penderita tidak lupa.

Dapsone
1.1. Pemilihan Bahan Obat
Penggunaan dapsone sesuai dengan indikasi pada pasien ini karena
bersifat bakteriostatik terhadap kuman mikobakterium dengan menghambat
enzim dihidrofolat sintetase.13 Dapsone relatif aman karena efek samping
yang jarang timbul serta interaksi obat lain termasuk eritromisin yang cukup
minimal. Pada pemberian dapsone seringkali mengalami resistensi sehingga

34
WHO melalui kebijakannya mengeluarkan program MDTL yang merupakan
kombinasi beberapa obat khususnya rifampisin dan clofazimine untuk
mengatasi resistensi dapsone yang semakin meningkat. Selain itu, dapsone
telah disediakan secara gratis oleh pemerintah dan terjangkau oleh penderita.

1.2. Penetapan Dosis


Dapsone biasanya diberikan sebagai dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari
untuk dewasa atau 1-2 mg/kg berat badan/hari untuk anak-anak. 9,15 Pada
penderita ini, diberikan 50 mg perhari, padahal menurut ketentuan dosis yang
lazim yang seharusnya diberikan perharinya adalah 36 mg. Sehingga dosis
terlalu besar perharinya. Hal ini bisa mengakibatkan efek samping yang
seharusnya bisa diminimalkan akhirnya keluar. Dan efek yang paling sering
terlihat yang berhubungan erat dengan dosis ialah hemolisis. Jadi sebaiknya
pada setiap pemberian dapson diperhatikan kondisi klinis penderita serta
diperiksakan laboratorium secara berkala.

1.3. Pemilihan Bentuk Sediaan Obat


 Faktor Penderita
Pada pasien anak dan ada keluhan nyeri telan, bentuk sediaan obat yang
dipilih seharusnya tidak diberikan lewat mulut yang memerlukan
kemampuan untuk menelan. Tetapi bila nyeri telan tidak terlalu sakit,
bisa juga diberikan melalui mulut.

 Faktor Obat
Dapsone pada umumnya disediakan dalam bentuk tablet. Sehingga
pada pasien ini yang mengalami gangguan menelan dapson dapat
diberikan dalam bentuk puyer yang dilarutkan dalam air.

1.4. Penetapan Cara Pemberian Obat


Pada pasien ini dapsone diberikan lewat mulut dalam hal ini dalam
bentuk pil. Hal ini memungkinkan untuk mencapai efek sistemik. Dapsone
diserap lambat dalam saluran cerna dan kadar puncaknya baru tercapai

35
setelah 1-3 jam.9,15 Waktu paruh eliminasi berkisar antara 10-50 jam dengan
rata-rata 28 jam,15 sehingga dapsone dapat diberikan sekali dalam sehari.

1.5. Penetapan Waktu Pemberian obat


Dapsone bisa diberikan sebelum maupun setelah makan karena tidak
ada hal spesifik yang mengganggu penyerapan dari dapson melalui saluran
cerna. Hanya saja karena pemberiannya yang sekali dalam sehari, maka lebih
baik bila diberikan pada pagi hari agar penderita tidak lupa.

KESIMPULAN

Pemberian eritromisin pada pasien ini sudah memenuhi kriteria tepat obat karena
dapat digunakan pada infeksi saluran pernafasan atas dan sensitif untuk organisme
gram positif maupun gram negatif. Pemilihan bentuk sediaan obat dan cara
pemberian obat juga sudah tepat serta termasuk dalam kriteria tepat penderita
karena tidak ditemukan interaksi obat dengan regimen MDTL tipe MB yang
sedang dijalani oleh penderita. Akan tetapi masih belum memenuhi kriteria tepat
dosis, dimana sirup eritromisin hanya diberikan sebanyak 60 ml sehingga tidak
dapat diberikan secara optimal selama minimal 5 hari.

36
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam, Goerge L.. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Boeis
Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta 1997; 328-29.
2. Halsey, Eric S. Pharyngitis, Bacterial. 19 Mei 2009. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/225243-overview. Diakses tanggal
20 Oktober 2009
3. Berhman, E. Richard dan Victor C.V. Sistem pernafasan: Infeksi-infeksi
Saluran Nafas Bagian Atas. Nelson Ilmu Penyakit Anak Bagian 2. EGC.
Jakarta 2000; 297-98.
4. Listiawan M. Yulianto, Indropo Agusni, Sunarko Martodihardjo. Morbus
Hansen. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi III. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.
2005;41-45.
5. Wolff, Klauss. et al. Leprosy in Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine 7th edition. New York: McGraw Hill. 2008 ; 1787-97

37
6. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan
Penyakit Kusta. Jakarta 2006: Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Nasional.
7. Simon, Harold K., Pharyngitis. 24 November 2008. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/967384-overview.htm
8. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti
Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007;73- 88.
9. Lewis, Felisha S., Teresa Conologue. Leprosy: Treatment & Medication.
2008. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1104977-
treatment.htm
10. Chambers, HF. Tetracyclines, Macrolides, Clindamycin,
Chloramphenicol, & Streptogramins. Boston: McGraw Hill, 2007; 748-50.
11. Kirst, Herbert A., Gregory D. Sides. New Directions for Macrolide
Antibiotics: Pharmacokinetics and Clinical Efficacy. Antimicrobial
Agents and Chemotherapy–American Society of Microbiology Vol.33,
No.9. September 1989. p.1419-22
12. Fun LW, et al. 7d. Macrolides. In: MIMS 104th Edition 2006 Indonesia.
Jakarta: CMP Medica, 2006; 238-240.
13. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 9th edition,
section VIII McGraw Hill 2004.
14. Hartigan, Keneth. Rifampicin. Available at http://inchem.com/rifam-htm.
Diakses tanggal 20 Oktober 2009.
15. Novartis Pharmaceuticals Corporation. Lamprene. 2006. Available at
http://www.fda.gov/lamprene/fdaDruginfo.cfm.htm.
16. New Zealand Medicine and Medical Devices Safety Authority. Dapsone.
Available at http://www.medsafe.govt.nz/regulatory/reg.asp.
17. Wolf, Ronni; Hagit Matz, Edith Orion. Dapsone. Dermatology Online
Journal Volume 8:1 (2). 2002.

38
39
40

You might also like