You are on page 1of 21

HADITS TENTANG IHSAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hadits 2
Dosenpengampu:

Disusunoleh :

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS


JURUSAN USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2011
1

A. Lafad Hadis


:









Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, telah menceritakan
kepada kami Al-Nadhr Syamil, dia berkata, telah memberitakan kepada kami Kahmas bin
Al-Hasan, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah dari
Yahya bin Yamar bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar berkata, telah menceritakan
kepadaku Umar bin al-Khattab, ia berkata, Ketika suatu hari kami bersama Rasulullah
saw. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang pakaiannya sangat putih dan rambutnya
sangat hitam: tidak terlihat darinya bekas berjalan jauh, dan tidak seorang pun dari kami
yang mengenalnya. Lalu ia duduk di depan Rasulallah serta meletakkan tangannya di
atas paha beliau. Setelah itu ia berkata, Wahai Muhammad, ceritakanlah kepadaku
tentang Islam! Rasulullah saw menjawab. (Islam itu adalah) bahwa engkau bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika mampu.
Anda benar, kata laki-laki itu tiba-tiba. Kami herean kapda laki-laki itu, dia yang
bertanya dan dia yang membenarkannya. Kemudian ia berkata lagi, Ceritakanlah
kepadaku tentang Iman! Beliau saw menjawab, (Iman itu adalah) bahwa engkau
beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
2

kepada hari akhir, dan kepada qadar-Nya, baik qadar yang baik maupun qadar yang
buruk. Anda benar, kata laki-laki itu lagi. Orang itu kembali bertanya: Wahai
Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw menjawab: Engkau beribadah kepada
Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah,
kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw menjawab: Orang yang ditanya mengenai
masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Orang itu bertanya lagi: maka
ceritakan kepada tanda-tandanya? Nabi menjawab: Apabila budak perempuan
melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang
miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila
para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Kemudian orang
itu berlalu, maka Rasulullah saw bersabda: Wahai Umar, tahukah kau siapa yang
bertanya tadi? Umar menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah saw
bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama kalian.

B. Biografi Rawi dari jalur sahabat

Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah saw.


Ayahnya bernama Khattab dan ibunya bernama Khatmah. Perawakannya tinggi besar
dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat
dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan.
Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari
suku Quraisy. Beliau merupakan khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar As
Siddiq.
Nasabnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qarth bin Razah bin 'Adiy bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib. Nasab beliau
bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya Ka'ab. Antara beliau dengan Nabi selisih 8
kakek. lbu beliau bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah.
Rasulullah memberi beliau "kun-yah" Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah adalah
anaknya yang paling tua; dan memberi "laqab" (julukan) al Faruq.
Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat, Beliau
ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu
Luluah, budak milik al-Mughirah bin Syubah diduga ia mendapat perintah dari
kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar
as Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.
3

C. Takhrij Hadis
1. Imam Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Sual Jibril al-Nabiyya, 50.
Imam Bukhari, Kitab al-Tafsir, Bab Alif Lam Mim Ghulibat al-Rum, 4499.
2. Imam Muslim, Kitab al-Iman, 102, 106, 108.
3. Abu Dawud, Kitab Awwalu Kitab al-Sunnah, Bab Fi al-Qadr, 4697.
4. Ibn Majah, Kitab al-Muqaddimah, Bab fi al-Iman, 63, 64.
5. Imam Tirmidzi, Bab Washfu Jibril li al-Nabiy saw, 2610.
6. Imam Nasai, Kitab tauqir al-Ulama, 5883.
Imam Nasai, Kitab Shifah al-Iman wa al-Islam, 11721, 11722.

D. Itibar Sanad
1. Abu Dawud, Kitab Awwalu Kitab al-Sunnah, Bab Fi al-Qadr, 4697.



- 4697


.

- -




- -

- -




- -

.















.

.
.
.





.
.





.

.
.




.
.



.
.


.


:.

2. Ibn Majah, Kitab al-Muqaddimah, Bab fi al-Iman, 63, 64.

- 63

- : .

4

. (

) . . . . (
) . . .
( . ) (
) ( ( )

) . " "
. ( . )

- 64

- : . . (

) . (

) (
) . (

. .
) . {
. } / 31 ( .
/ ) 34

:
3. Imam Tirmidzi, Bab Washfu Jibril li al-Nabiy saw, 2610.

- 2610


, :
: .
: :

: :

: : :

:
: :

: : :

:
: : :
: : : :

: :

:
:

4. Imam Nasai, Kitab tauqir al-Ulama, 5883.

:












Imam Nasai, Kitab Shifah al-Iman wa al-Islam, 11721, 11722.

- 11721

- 11722 :













5. Imam Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Sual Jibril al-Nabiyya, 50.

- 50 :
(
) . (
) . ( ) . (


) . { } ( )

( )

Imam Bukhari, Kitab al-Tafsir, Bab Alif Lam Mim Ghulibat al-Rum, 4499.

- 4499 :

(
) . (
) . (

) . (

{ } ) . ( )

. ( )

6. Imam Muslim, Kitab al-Iman, 102, 106, 108.




- -

- -

- -




- -


- -


- -

.
.










.

.


.
.
.




.
.

.
.







.




.
.

.




- 106



- -







.












.





.














. - ( -



) .







-

.
- -
.
-
.



- 108 - -
- - .






.







.





.
.



.








.












. (



- -
- .

E. Kritik Hadis
1. Imam Al-Bani mengatakan hadis tersebut shahih. Sedangkan Abu Isa menilai
dengan hasanun shahihun.
, 2. Dengan menggunakan metode sama yang ditandai dengan lafad
menunjukkan adanya pertemuan langsung antaraguru dan murid ketika periwayatan
hadis itu. Selain itu, sanad hadis ini juga bersambung mulai dari mukharij sampai
Nabi saw.
3. Dengan banyaknya jalur sanad yang ada, juga menguatkan keshahihan hadis itu.
4. Dalam Kutub al-Sittah, dapat diketahui hadis ini ditulis dalam bab yang masih
berkaitan dengan iman/akidah.

F. Skema Sanad

G. Rangkaian Skema Sanad


1. Dari jalur sahabat Umar bin Khattab ra.

10

2. Dari jalur sahabat Abu Hurairah ra.

3. Sanad dari jalur sahabat Ibn Umar

Dalam rangkaian sanad yang diriwayatkan oleh Imam Nasai, pada tingkat sahabatnya selain Abu Hurairah juga
terdapat Abu Dzar

11

A. Pendahuluan
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk sealu berbuat baik, baik itu
terhadap Allah maupun terhadap sesame makhluk-Nya. Terhadap Allah, perbuatan baik
kita dapat diwujudkan dengan menjalankan shalat, puasa, dan ibadah ritual lain yang
telah disyariatkan. Sedangkan terhadap sesama makhluk, banyak sekali sesuatu yang
bisa kita amalkan. Minimal, dengan perbuatan kita, orang lain tidak merasa terganggu
maka kita sudah berbuat baik dengan hal itu.
Dengan hal di atas, kita (manusia) yang diciptakan Allah yang tujuannya hanya
untuk beribadah kepada-Nya, sebenarnya tidaklah sulit menjadi hamba yang sesuai
dengan tujuan penciptaan tersebut. Segala sesuatu yang baik yang kita lakukan atas
dasar hanya karena Allah semata, maka perbuatan itu bernilai ibadah.
Yang menjadi persoalan adalah mengatur niat tersebut supaya hanya atas dasar
Allah. Seringkali seorang muslim melakukan ibadah dan segala amalan saleh lainnya,
namun motivasinya bukan karena Allah. Jika pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut
dipenuhi dengan keikhlasan yang tulus hanya mengharap ridha Allah, maka orang
tersebut telah mencapai ihsan. Ini sesuai dengan makna ihsan dalam hadis Rasulullah
saw ketika menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut
dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, Engkau menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu. Dengan ihsan pula, seseorang telah menjalankan ajaran agamanya
secara sempurna.

B. Pengertian Ihsan.
Secara bahasa, ihsan berasal dari kata , yang artinya adalah berbuat
baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah , yang artinya kebaikan.2 Orang yang
melakukan kebaikan tersebut, disebut muhsin. Sedangkan menurut istilahnya, adalah
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam
Nasai:

Mengikuti wazan afala. Syeikh Muhammad Mashum bin Ali, Amtsilah al-Tashrifiyah, 18.

12


Jibril bertanya: Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? Nabi saw menjawab: Engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Berdasarkan pengertian di atas, sebagian ulama juga memberikan pengertian
keagungan makna ihsan. Menurut Imam Asfahani, Ihsan lebih tinggi nilainya daripada
adil. Ini disebabkan keadilan hanya memberi hak tidak kurang dan tidak lebih,
sedangkan ihsan adalah memberi hak yang lebih baik. Para ahli sufi mengatakan,
ihsan adalah mengambil yang lebih utama dan lebih sempurna, meninggalkan yang
syubhat, meninggalkan yang tidak penting, setiap gerak langkahnya mesti mempunyai
nilai ibadah, hubungannya dengan manusia selalu mempunyai sisi kemanusiaan,
persaudaraan dan kecintaan sebagaimana kita mencintai diri sendiri.3
Dengan demikian, ihsan adalah semua sikap pemikiran dan tingkah laku yang
bernilai ibadah serta memberi kemanfaatan. Ihsan adalah suatu perkara yang
diperintahkan oleh Allah swt sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (QS. An-Nahl: 90)
Dan juga dalam surat al-Baqarah ayat 112 : (tidak demikian) bahkan
Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dan masih banyak lagi ayat al-Quran yang menjelaskan tentang ihsan maupun
pelakunya (muhsin)
Hadis di atas dikemukakan Nabi saw ketika beliau ditanya oleh Jibril tentang
beberapa hal, dan salah satunya adalah tentang ihsan. Redaksi lengkap hadis tersebut
dalam Sunan Al-Nasai dari sahabat Umar ra adalah sebagai berikut:


:
3

Mukhlas As-Syarkani Al-Falahi, Rahasia dan Keajaiban Takwa, (Jogjakarta: Ad-Dawa Press, 2003), 135.

13

Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, telah menceritakan
kepada kami Al-Nadhr Syamil, dia berkata, telah memberitakan kepada kami Kahmas bin
Al-Hasan, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah dari
Yahya bin Yamar bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar berkata, telah menceritakan
kepadaku Umar bin al-Khattab, ia berkata, Ketika suatu hari kami bersama Rasulullah
saw. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang pakaiannya sangat putih dan rambutnya
sangat hitam: tidak terlihat darinya bekas berjalan jauh, dan tidak seorang pun dari kami
yang mengenalnya. Lalu ia duduk di depan Rasulallah serta meletakkan tangannya di
atas paha beliau. Setelah itu ia berkata, Wahai Muhammad, ceritakanlah kepadaku
tentang Islam! Rasulullah saw menjawab. (Islam itu adalah) bahwa engkau bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika mampu.
Anda benar, kata laki-laki itu tiba-tiba. Kami herean kapda laki-laki itu, dia yang
bertanya dan dia yang membenarkannya. Kemudian ia berkata lagi, Ceritakanlah
kepadaku tentang Iman! Beliau saw menjawab, (Iman itu adalah) bahwa engkau
beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
kepada hari akhir, dan kepada qadar-Nya, baik qadar yang baik maupun qadar yang
buruk. Anda benar, kata laki-laki itu lagi. Orang itu kembali bertanya: Wahai
4

Hadis yang semakna juga ditakhrij dalam Kutub al-Sittah. Maktabah Syamilah juz1.

14

Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw menjawab: Engkau beribadah kepada
Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah,
kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw menjawab: Orang yang ditanya mengenai
masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Orang itu bertanya lagi: maka
ceritakan kepada tanda-tandanya? Nabi menjawab: Apabila budak perempuan
melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang
miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila
para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Kemudian orang
itu berlalu, maka Rasulullah saw bersabda: Wahai Umar, tahukah kau siapa yang
bertanya tadi? Umar menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah saw
bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama kalian.

C. Penjelasan Hadis
1. Keterkaitan antara Islam, Iman, dan Ihsan.
Dalam hadis tersebut, malaikat Jibril membagi agama ke dalam tiga cabang
utama, yang merupakan semua sumber ajaran Islam, serta induk segala sunah dan
hadis. Ia menekankan nilai penting setiap cabang itu dengan mengajukan pertanyaan
yang berbada-beda. Cabang pertama berkaitan dengan Islam (ketundukan), yang
mewakili sisi praktis agama, termasuk ibadah amaliyah dan kewajiban-kewajiban
lainnya. Cabang atau pilar ini merupakan aspek lahir yang berkaitan dangan diri
seseorang dengan masyarakatnya. Para ulama menyebutnya syariat dan mereka
mengembangkan sebuah cabang ilmu khusus yaitu ilmu fikih. Cabang kedua berkaitan
dengan Iman (keyakinan). Pilar kedua ini berkaitan dengan kepercayaan yang terletak
di hati dan pikiran, yang meliputi keimanan kepada Allah, malikat-malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir. Pilar ini dikenal di kalangan ulama
sebagai ilmu tauhid. Cabang ketiga berkaitan dengan Ihsan (kesempurnaan akhlaq).
Ulama menyebutnya dengan tasawuf. Jadi, keberagamaan seorang mulim meliputi tiga
hal itu: islam, iman, dan ihsan. Tidak disebut beragama orang yang hanya berislam,
beriman, atau yang hanya berihsan. Ketiganya merupakan bagian agama yang sangat
mendasar, dan tidak satu pun dari ketiga hal itu yang dapat diabaikan. Nabi saw ketika

15

Jibril telah berlalu menjelaskan pengertian agama kepada para sahabatnya, Jibril
datang untuk mengajari tentang agamamu.5
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan
iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya, dan lebih
khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan.
Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih
khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di
dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang
bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mumin yang lain, dan
orang yang mumin itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang
lain.6
Batasan Islam adalah berpegang pada perintah Allah swt dan meyakini
kewajiban patuh kepada-Nya. Orang Islam adalah orang yang telah menjalankan
perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Siapa saja yang membenarkan
perintah Allah dengan hatinya dan meyakini kewajiban patuh kepada-Nya, ia telah
beriman (Mukmin). Siapa saja yang telah menjalankan perintah Allah, ia telah
mengamalkan Islam (Muslim). Namun, apabila belum beramal saleh secara kontinu
(dawam), ia belum mencapai derajat ihsan.7
Ihsan merupakan derajat kesempurnaan iman, artinya, seorang Mukmin akan
sempurna imannya apabila ia dengan sungguh-sungguh dan istiqomah mengerjakan
semua yang diperintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

2. Penjelasan Khusus tentang Ihsan


Imam Nawawi memberikan syarah pada kalimatEngkau beribadah kepada
Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Ini adalah maqam penyaksian sejati (maqam
al-musyahadah). Siapa saja yang dapat menyaksikan langsung sang Raja pasti tidak
akan berani berpaling pada yang lain. Hatinya tidak akan disibukkan oleh hal-hal lain
selain Dia. Maqam ihsan adalah maqam orang-orang yang benar (maqam al-shiddiqin).

Syehh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan- Antivirus Kebatilan dan Kezaliman-, terj. Zainul Am,
(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), 42.
6
http://muslim.or.id/aqidah/islam-iman-ihsan.html, diakses pada Rabu, 26 Oktober 2011. Sebagaimana yang
dikutip dari At Tauhid li shoffil awwal al aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63
7
Abd Aziz Al-Darimi, Terapi Menyucikan Hati, terj. Ida Nursida dan Tiar Anwar Bachtia, (Bandung: Al-Bayan,
2003), 7.

16

Sesungguhnya Dia melihatmu. Dia melihat kekhusyukan hatimu dalam shalat


dan kesibukanmu bercakap dengan dirimu sendiri.8
Penjelasan lain tentang takrif ihsan dalam hadis Nabi saw di atas, dikemukakan
oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Beliau menjelaskan bahwa di antara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia
menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolaholah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah
derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam
ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua, yaitu menyembah kepada Allah
dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena
itulah Nabi bersabda, Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu. Jadi tingkatan ihsan ini mencakup
perkara lahir maupun batin.9
Merealisasikan ihsan sebagaimana yang terekam dalam hadis Jibril yang
masyhur seperti yang disebut di atas, berarti harus menyembah Tuhan seolah-olah kita
melihat-Nya, dan jika tidak melihat-Nya, maka percaya bahwa Ia melihat melihat kita.
Karena itu, pada akhirnya ihsan bermakna hidup dalam keintiman dengan Tuhan,
kondisi ketika aroma dan nuansa Kasih Sayang, Cinta Kedamaian dan Keindahan
Tuhan benar-benar dirasakan.10
Ihsan dikenal sebagai aspek rohani dari agama. Aspek ini dimaksudkan untuk
menyadarkan manusia tatkala ia hendak mempertautkan aspek pertama (islam) dan
kedua (iman), serta memperingatkan bahwa Allah selalu hadir dan mengawasinya. Ia
harus mempertimbangkan hal ini ketika berpikir dan bertindak. Apabila ia tidak melihat
Allah maka ia harus terus menjaga kesadaran dalam hatinya bahwa Allah ada dan
mengawasinya. Ia harus sadar bahwa Allah mengetahuinya setiap saat hingga hal
terkecil dari ibadah dan keyakinannya. Dengan begitu, ia akan mencapai keadaan
sempurna, suatu keadaan ketika ia merasakan kebahagiaan rohani dan cahaya
pengetahuan yang langsung Allah berikan ke dalam hatinya. Ulama menamainya
sebagai ilmu tentang kebenaran sejati (ilmu hakikat), yang dikenal pada masa sahabat

Ibid., 51.
http://muslim.or.id/aqidah/islam-iman-ihsan.html, diakses Rabu, 26 Oktober 2011, yang dikuti dari Taliq
Syarah Arbain hlm. 21.
10
Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Klaten: Erlangga, 2010), 18.
9

17

degan sebutan al-shiddiqiyyah, atau jalan orang-orang yang benar. Istilah tasawuf baru
muncul pada masa kemudian yang mengacu pada jalan atau metode penyucian jiwa.11
Ketika mencermati pengertian ihsan dengan sempurnaseperti yang telah
disebutkan sebelumnya, maka didapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua
sisi: Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan
dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam suatu pencapaian (natijah). Kedua,
ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan
dianjurkan untuk melakukannya. Ini adalah ihsan dalam segi usaha seorang mukmin
(mujahadah).
Ringkasnya, Islam menggambarkan perilaku seorang muslim, Iman berkaitan
dengan kepercayaan dan akidahnya, dan ihsan mengacu pada keadaan hati yang
menentukan apakah keislaman dan keimanan seseorang akan membuahkan hasil di
kehidupan ini dan kehidupan akhirat atau tidak. Inilah yang dimaksud dalam hadis
riwayat Bukhari yang artinya,Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal
daging, apabila ia baik, baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, rusaklah seluruh
tubuh. Itulah hati.12

D. Aspek Pokok dalam Ihsan


1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua
jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu
menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin
dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah
tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan
kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia
sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa
Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini ia dapat menunaikan ibadah-ibadah
tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti
yang diharapkan, sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Nabi saw.

11

Syehh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan- Antivirus Kebatilan dan Kezaliman-, terj. Zainul Am,
(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), 53.
12
Ibid.

18

Dan sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Selain jenis ibadah
yang disebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya
seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, meniatkan setiap yang mubah
untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah
saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar
jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
2. Muamalah
Dalam hal ini, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an-Nisaa ayat 36, yang
berbunyi, Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu
Sebelumnya telah dibahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan
sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah
melihat kita. Kini, pembahasan ihsan adalah dalam muamalah dan siapa saja yang
masuk dalam bahasannya, sesuai dengn yang disebutkan dalam ayat di atas.
Selain terhadap orang-orang di atas, Nabi saw juga mengajarkan berbuat baik
kepada yang lain, sekalipun terhadap binatang.
Rasulullah saw. bersabda, Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari
Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. (HR. Bukhari dan Muslim). Masih
riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, Ucapan yang baik adalah
sedekah.
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia
lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak
menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat
menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak
menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.13
3. Akhlak.
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah.
Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan

13

http://beranda.blogsome.com/2006/05/09/ihsan/, diakses Rabu, 26 Oktober 2011.

19

ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan
di awal, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah
dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah.
Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang
sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan
karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorangyang diperoleh dari hasil
maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya.
Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya,
keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka
Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, Aku diutus hanyalah demi
menyempurnakan akhlak yang mulia.

E. Pesan Moral
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh
hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan
dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan
kehilangan kesempatan yang sangat berharga untuk menduduki posisi terhormat di sisi
Allah swt. Rasulullah saw pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh
ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan
akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya
sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah
dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan
utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw
dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab
pertanyaan Malaikat Jibrilyang menyamar sebagai seorang manusiamengenai
Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para
sahabatnya, Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama
kalian. Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama.

20

21

You might also like